Anda di halaman 1dari 26

ASPEK GENETIK

PADA PASIEN INFERTILITAS

Pendahuluan
Infertilitas merupakan keadaan dimana suatu
pasangan tidak mampu memiliki keturunan. Berdasarkan
World Health Organisatoin (WHO), infertilitas
didefinisikan sebagai kegagalan pasangan dalam
mendapatkan kehamilan dalam kurun waktu 12 bulan
dengan hubungan seksual teratur tanpa kontrasepsi atau
biasa dikenal dengan infertilitas primer. Sedangkan
apabila suatu pasangan tidak memiliki atau tidak mampu
mepertahankannya disebut dengan infertilitas sekunder.
Infertilitas dapat disebabkan berdasarkan faktor
laki-laki maupun atau keduanya. Infertilitas pada laki-
laki terjadi karena kualitas sperma yang kurang baik.
Jumlah sperma yang rendah serta kualitas yang kurang
baik, menjadi penyebab 20% pasangan mengalami
infertilitas 2 Kualitas sperma dinilai berdasarkan faktor
kuantitas, motilitas, dan morfologi sperma. Seorang laki-
laki yang subur mampu menghasilkan lebih dari 20 juta
sperma per ce dengan jumlah sperma motil sebanyak
25% dan 30% bentuknya tidak terputus.
Faktor perempuan penyebab infertilitas dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu gangguan ovulasi,
gangguan tuba dan pelvis, serta gangguan uterus.
Gangguan ovulasi meliputi sindrom ovarium polikistik
dan gangguan menstruasi. Gangguan tuba dan pelvis
dapat disebakan oleh infeksi (Chlamidia, Gonorrhoea,
Tubercullosis) maupun endometriosis. Sedangkan untuk
gangguan uterus termasuk mioma submukosum, polip
endometrium, leiomiomas, sindrom Asherman.
Selain faktor di atas faktor genetik juga berperan
dalam penyebab infertilitas. Baik pada perempuan
maupun laki-laki. Faktor genetik dapat berpengaruh
dalam variasi proses fisiologi termasuk keseimbangan
hormon, spermatogenesis dan oogenesis. Oleh sebab itu,
mengetahui faktor genetik penting untuk mengetahui
penanganan pada pasangan yang mengalami infertilitas.

Faktor Genetik yang Mempengaruhi Kualitas


Sperma
Infertilitas laki-laki merupakan permasalahan
utama di seluruh dunia. Kerusakan anatomi,
endokrinopatik, masalah imunologi, kegagalan ejakulasi
dan faktor lingkungan menjadi penyebab utama
infertilitas Akan tetapi regulasi dasar yang berhubungan
dengan penyebab infertilitas secara genetik masih belum
diketchui secara pasti Diperkirakan 30% penyebab
infertilitas laki-laki disebabkan oleh aberasi kromosom
atau mutasi pada tingkat gen. Penyebab infertilitas pada
laki-laki dapat dilihat pada gambar 1.
Pemeriksaan kualitas sperma saat ini hanya
terbatas pada analisis semen, biopsi testis, dan
pemeriksaan hormonal. Pemeriksaan terkait faktor
genetik saat ini jarang dilakukan. Sehingga banyak laki-
laki infertil yang belum diketahui secara pasti penyebab
infertilitasnya. Kerusakan genetik baik pada jumlah
maupun struktur kromosom, dapat merusak produksi
hormonal atau spermatogenesis.
(Gambar Diagram lingkaran penyebab infertilitas
pada laki-laki)
Kelainan genetik baik berupa jumlah maupun
struktur kromosom dapat memengaruhi kualitas sperma.
Keterlibatan faktor genetik dalam manifestasi infertilitas,
yaitu kelainan kromosom, mutasi DNA mitokondria
(mtDNA), kelainan monogenik, kelainan multifaktorial,
dan kelainan endokrin Faktor genetik yang terpenting
dalam penyebab infertilitas dapat dilihat pada tabel 1.
A. Kelainan Kromosom
Infertilitas laki-laki sering berkaitan dengan
abnormalitas kromosom Angka kejadian kelainan
kromosom akan meningkat pada laki-laki yang infertil
dan berbanding terbalik dengan jumlah sperma. Kejadian
kelainan akibat faktor kromosom pada laki-laki infertil
berkisar antara 2 sampai 8% dengan rata-rata 5% dan
meningkat menjadi 15% pada laki-laki azoospermia.
Sindrom klinefelter (XXY) dan translokasi spesifik
merupakan salah satu kelainan kromosom akibat
aneuploidi Sindrom ini mengakibatkan terhambatnya
spermatogenesis pada tahap spermatosit primer.
Terdapat dua jenis sindrom klinefelter, yaitu nonmosaik
(47, XXY) dan mosaik (47, XXY/46, XY) Diketahui
laki-laki dengan SK normosaik 100% menderita
azoospermia, sedangkan laki-laki dengan SK mosaik
ditemukan sisa spermatogenesis pada tubulus
seminiferusnya dan 74% diantaranya menderita
azoospermia.
Translokasi kromosom dapat menyebabkan
hilangnya material genetik Translokasi autosomal pada
laki-laki infertil 4-10 kali lebih tinggi jika dibandingkan
dengan laki-laki normal. Translokasi Robertsonian
terjadi akibat ujung akrosentrik kromosom berfusi.
Translokasi ini menyebabkan 1 dari 1000 laki-laki
mengalami infertilitas Translokasi robertsonian dapat
mengakibatkan ketidakmampuan menghasilkan
spermatogonia Translokasi ini umumnya terjadi pada
laki-laki yang mengalami oligozoospermia dan
azoospermia.
Tabel 1. Prevalensi dan Fenotipe Abnormalitas
Kromosom dikaitkan dengan Infertilitas Laki-laki

B. Mikrodelesi Kromosom Y
Mikrodelesi pada lengan panjang kromosom Y
(Yq) merupakan kerusakan molekular genetik yang
paling sering terjadi. Mikrodelesi ditemukan pada laki-
laki dengan azoozpermia (13%), oligospermia berat (1-
7%), primary testicular failure berat (5%) , dan laki-laki
dengan jumlah sperma kurang dan 5 juta/ml Penyebab
utama kelainan kromosom adalah delesi de novo pada
Yq Mikrodelesi kromosom Y merupakan kelainan
kromosom yang dapat diturunkan dari seorang ayah
terhadap keturunannya jika laki-laki tersebut melalukan
teknik reproduksi berbantu (TRB).
Kromosom Y mengandung gen yang sangat
berpengaruh dalam proses spermatogenesis dan
pembentukan gonad pada laki-laki. Pada lengan panjang
kromosom Y terdapat daerah khusus yang mengatur
pertumbuhan dan perkembangan sperma, yaitu
azoospermia factor region (AZF) Bagian ini memiliki 3
subbagian, yaitu AZFa, AZFb, dan AZFc Ketiga
subbagian ini berperan dalam proses spermatogenesis.
Gen lainnyan yaitu CDY dan TSPY Gambaran mengenai
kromosom Y beserta bagian-bagiannya, dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2 Gambaran kromosom Y, menunjukkan
daerah AZF dan gen terkait. Perbesaran bagian AZF
memperlihatkan mikrodelesi. (A) Bagian AZFa normal;
(B) delesi gr/gr; (C) Delesi b1/b3; (D) Delesi g1g3; (E)
Dapllikasi gr/gr.
AZFa memiliki dua gen utama, yaitu USP9Y dan
DBY (DDX3Y) yang berperan dalam spermatogenesis
Delesi pada sub bagian ini menyebabkan Sertoli cell-
only syndrome, kondisi dimana sel sertoli tidak mampu
menghasilkan spermatozoa Delesi pada kedua gen ini
dapat menyebabkan oligospermia, azoospermia, dan
oligoastenozoospermia.
AZFb memiliki gen utama RBMY dan PRY. Gen
RBMY mengode RNA hinding protein, yang
diekspresikan pada inti sprematogonia, spermatosit, dan
spermatid. Ekspresi gen RBMY berkurang pada laki-laki
yang mengalami azoospermia. Gen PRY mengatur
regulasi apoptosis yang berperan dalam mereduksi
sperma abnormal. Delesi pada kedua gen ini dapat
menyebabkan hipospermatogenesis Delesi pada AZFe
menyebabkan rendahnya konsentrasi sperma. Subdelesi
yang paling sering terjadi pada daerah ini adalah gr/gr,
bl/b3, dan gl/g3. Subdelesi ini akan menyebabkan
hilangnya setengah dari komponen AZFC yang
mengakibatkan ketidakmampuan melakukan
spermatogenesis. Gen yang berperan dalam subbagian
ini adalah DAZ Gen lainnya yang terletak pada
kromosom Y yaitu CDY dan TSPY Gm CDY
diekspresikan di testis yang berperan dalam
menggantikan protein histon pada spermatogenesis
Sedangakan protein TSPY yang berlokasi di lengan
pendek krosomom Y, berfungsi dalam mengatur waktu
spermatogenesis dengan memberikan sinyal pada
spermatogonia untuk melakukan meiosis. Ringkasan
mengenai gen pada kromosom Y serta kaitannya dengan
infertilitas laki-laki dapat dilihat pada tabel 2.

Table 2. Gen pada kromosom Y dan kaitannya dengan


infertilitas pada laki-laki.

C. Mutasi Gen Autosomal dan Polimorfisme


Banyak motasi gen yang dapat menyebabkan
infertilitas. Salah satunya gen CFTR (cystic fibrosis
transmembrane conducted regulator) pada kromosom
namor?. Mutasi titik pada gen CFTR ditemukan 60-70%
pada pasien penderita congenital bilateral abece of was
deferens abnormalities (CBAVD) CBAVD merupakan
obstruksi azoospermia yang diakibatkan terputusnya
epididimis dan saluran ejakulator yang menghambat
fertilisast alami.
Gen sex hormone-binding globulin (SHBG),
berlokasi di kromosom 17 berfungsi dalam menibawa
hormon seks ke jaringan target dan mengatur konsentrasi
androgen pada testis Androgen berperan dalam
diferensias dan spermatogenesis. Gangguan pada kadar
androgen akan menurunkan fertilitas. Studi mengenai
pengaruh polimorfisme SHBG menyatakan bahwa
semakin pendek alel gen SHBG, spermatogenesis
semakin meningkat dan konsentrasi sperma semakin
tinggi. Alel gen SHBG yang semakin pendek
berhubungan dengan meningkatnya sirkulasi SHBG, dan
mengakibatkan kenaikan level androgen bebas untuk
menstimulasi spermatogenesis.
Gen autosomal lainnya yang berperan pada
fertilitas, yaitu gen reseptor enterogen ESRI dan ESR2,
masing-masing berlokasi pada kromosom 6 dan 14.
Polunorfime pada kedus gen ini berbeda pada setiap
kelompok etnik. Diduga variasi ini terjadi akibat
interaksi antara gen dan lingkungan.
Gen FSH receptor (FSHR) berlokasi pada
kromosom 2, yang mengode reseptor untuk FSH, yaitu
hormon yang mengatur fungsi gonad. Studi sebelumnya
menjelaskan bahwa delen pada gen FSHR dapat
menganggu spermatogeness Gen MTHFR
(methylenetetrahydrofolate reductare) berlokasi pada
lengan pendek kromosoen 1, mengode enzim yang
mengatur metabolisine folat, faktor penting pada metilasi
DNA dan proses spermatogenetik. Polimorfisme 677C/T
mengakibatkan penggantian asam amino alanin menjadi
valin, sehingga aktivitas enzim tersebut menurun.
Menurutnya aktivitas gen MTHFR memudahkan
terjadinya perubahan proses metabolisme asam folat,
sehingga mengakibatkan kegagalan metilass DNA yang
dapat memengaruhi sprematogenesis Mutasi gen
reseptor androgen (AR) pada kromosom X
mengakibatkan androgen intensitivity tyndrome (AIS).
Mutasi pada AR merupakan penyabah genetik infertilitas
laki-laki dengan angka kejadian 2% pada azoospermia,
olizoospermia berat, dan oligoszoospermia sedang.
Penelitian terkait yang telah dilakukan tim
Inarepromed-Yasmin yaitu menganalisis polimorfisme
gen MTHFR SNP A1298C dan C677T serta mengetahui
hubungannya dengan infertilitas laki-laki oligospermia
dan azoospermia di Indonesia. Hasil penelitian
menunjukan bahwa distribusi alotip gen MTHFR SNP
A1298C tidak berbeda bermakna (p>0,05) antara
kelompok oligozoospermia dan azoospermia.
Selanjutnya, distribusi alotip gen MTHFR SNP A677T
antara kelompok oligozoospermia dan azoospermia juga
tidak berbeda bermakna (p> 0,05). Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
polimorfisme gen MTHFR pada SNP A 1298C dan
C677T tidak berhubungan dengan infertilitas laki laki
oligozoospermia dan azoospermia di Indonesia.
Faktor Genetik yang Mempengaruhi Infertilitas pada
Perempuan
Berdasarkan data dari WHO, penyebab infertilitas
pada perempuan antara lain, adalah faktor tuba fallopii
(saluran telur) 36%, gangguan ovulasi 33%,
endometriosis 6%, dan faktor yang lain sekitar 40%.
A. Gangguan Ovulasi
Ovulasi atau proses pengeluaran sel telur dari
ovarium akan terganggu bila terjadi ketidakseimbagan
hormonal. Salah satunya adalah tejadinya polikistik pada
ovarium. Sindrom ovarium polikistik (SOPK) adalah
gangguan reproduksi dan endokrinologik umum
ditemukan di 6-10% dari populasi perempuan." Tiga
karakteristik fenotipe utama kondisi sesuai dengan
Rotterdam Criteria adalah hiperandrogenisme, ovarium
polikistik, dan disfungsi ovulasi." Sindrom ini juga
sering dikaitkan dengan masalah metabolik, yaitu antara
lain obesitas, resistensi insulin (ditemukan pada 60-80%
dari perempuan dengan SOPK), hiperinsulinemia, dan
diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) Sindrom ovarium
polikistik juga berhubungan dengan masalah
kardiovaskular, neurologis dan efek psikologis
(kecemasan dan depresi), kanker payudara, dan kanker
endometrium. Sebanyak 20% perempuan dengan
masalah infertilitas, seperti kegagalan kehamilan dini
telah didiagnosis karena SOPK." Hal tersebut sering
disebut penyebab paling umum dari anovulasi pada
perempuan Sampai saat ini belum diketahui penyebab
pasti dari SOPK namun beberapa penelitian dan
pendapat para ahli menunjukkan bahwa faktor
lingkungan dan faktor genetik berperan penting dalam
etiologi sindrom tersebut. Banyak penelitian
menyimpulkan bahwa genetika adalah faktor utama dari
kelainan tersebut melalui pendekatan asosiasi genotipe-
fenotipe. Beberapa bukti menyatakakan bahwa genetika
orang yang mengalami resistensi insulin berasosiasi pada
penderita SOPK. Mutasi pada sinyal transduksi insulin
terbukti berhubungan erat dengan kejadian SOPK
Namun demikian, penelitian genetik pada SOPK masih
awal dan harus banyak dievaluasi. Hal tersebut
dikarenakan masih terdapat beberapa inkonsistensi
antara studi genetik tentang SOPK Kompleksitas dan
heterogenitas fenotipik yang tinggi dan terkait dengan
SOPK mempersulit fokus penelitian genetik. Saat ini,
ada banyak studi yang berkaitan dengan hubungan antar
gen pada fenotipe SOP, antara lain meliputi penelitian
pada gen insulin (INS), reseptor insulin (INSR), dan
hormon seks pengikat globulin (SHBG).
Studi hubungan antar genom/Genome-wide
association study (GWAS) merupakan hal penting dari
penelitian SOPK. Sejak diperkenalkan pada tahun. 2005,
GWAS telah digunakan untuk memindai seluruh genom
dan menentukan lokus rentan pada beberapa penyakit,
termasuk penyakit Crohn, diabetes tipe 2, dan asma
Terdapat beberapa kelompok GWAS tentang SOPK
sampai saat ini 19 Pertama GWAS termasuk kelompok
744 perempuan dengan SOPK dengan 895 kontrol pada
populasi perempuan Cina Han. Kedua kelompok
penelitian masig masing terdiri dari 2 840 perempuan
dengan SOPK dan 5012 kontrol, dan 498 perempuan
dengan SOPK dan 780 kontrol. Lokus pertama
diidentifikasi pada kromosom 2p16.3, yang berisi dua
gen. GTF2AIL, yang ditemukan dalam testis, dan
LHCGR, yang berperan dalam reseptor LH penting
untuk ovulasi dan pemeliharaan kehamilan Ada juga dua
polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) terpisah yang
terletak pada lokus kedua pada kromosom 2p21, di
wilayah gen Thada (gen adenoma tiroid). Lokus terakhir
diidentifikasi pada 9q33.3 di DENNDIA, yang
mengontrol produksi retikulum endoplasma amino-
peptidase 1, digunakan untuk membran penghubung.
Sejak publikasi studi GWAS-SOPK pertama kali,
terdapat studi yang mendukung hasil ini. Yang pertama,
dilakukan oleh Goodarzi et al pada tahun 2012,
menganalisis dua kelompok perempuan menikah di
Eropa dengan SOPK dengan kontrol. Mereka
menyimpulkan bahwa terjadi signifikansi antara
DENNDIA dan Thada dalam populasi Eropa
dibandingkan dengan studi awal pada perempuan Cina.
Studi kedua dilakukan oleh Welt et al. pada tahun 2012
pada perempuan dari Islandia, Massachusetts, dan
Illinois. Kelompok perempuan tersebut juga
menunjukkan hubungan yang signifikan antara gen
DENNDIA dengan SOPK.
Penelitian terbaru oleh Pau et al. 2013,
membuktikan bahwa gen lain yaitu gen FBN3
diidentifikasi mengontrol SOPK dalam sejumlah kecil
kelompok sampel. Gen ini telah terbukti untuk kode
untuk protein fibrillin-3, yang biasa digunakan untuk
struktur jaringan ikat," di samping intron lain yang
terkait dengan komplikasi metabolik pada perempuan
dengan SOPK" Ekspresi gen fibrillin-3 menunjukkan
penurunan pada sampel SOPK. Ekpresi gen SHBG
rendah pula pada perempuan dengan SOPK Data ini
menunjukkan bahwa SOPK berhubungan erat dengan
tingginya IMI dan kasus obesitas selain faktor yang
berhubungan dengan kesuburan dan reproduksi.
Sampai saat ini, GWAS menjadi studi yang paling
penting dalam penelitian genetik SOPK. Namun,
konsistensi hasil antara studi genetik ini terus menjadi
kendala utama. Kolaborasi antara peneliti akan
memperkuat kredibilitas dan otoritas studi genome-wide
dan asosiasi gen kandidat masa depan. Hal ini penting
untuk mengembangkan sistem dan mengumpulkan
kelompok sampel yang besar dari berbagai etnis
perempuan untuk memeriksa kemungkinan varian yang
lebih besar. Penemuan data baru yang terpercaya. dan
mantap adalah titik tolak untuk mengembangkan kriteria
evaluasi faktor risiko yang terstruktur dan modalitas
pengobatan baru.

B. Kegagalan Implantasi
Setelah sel telur dibuahi oleh sperma dan
seterusnya berkembang menjadi embrio, selanjutnya
terjadi proses nidasi (penempelan) pada endometrium.
Perempuan yang memiliki kadar hormon progesteron
rendah, cenderung mengalami gangguan pembuahan.
Diduga hal ini disebabkan oleh antara lain karena
struktur jaringan endometrium tidak dapat menghasilkan
hormon progesteron yang memadai. Selain faktor
hormonal, keberhasilan implantasi memerlukan
pertumbuhan trofoblas, invasi ke dalam endometrium
dan stimulasi vaskularisasi untuk menyediakan suplai
darah sendiri. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
faktor genetik yang mengatur invasi dan angiogenesis
proses sangat penting dalam implantasi embrio. Cacat
genetik dan polimorfisme bahkan genetik gen yang
terlibat dalam proses ini dapat menyebabkan atau
setidaknya meningkatkan kerentanan terhadap kegagalan
implantasi.
Beberapa faktor genetik yang terlibat dalam
kegagalan implantasi antara lain adalah P53 gen supresor
tumor. P53 mengaktifkan implantasi embrio ke dalam
rahim sebagai sinyal stres dan menginduksi ekspresi
beberapa gen yang diperlukan untuk inisiasi dan
pembentukan embrio implantasi. Gen leukemia (LIF)
manusia memainkan peran penting dalam implantasi
embrio Ekspresi LIF selalu konstan dalam rahim namun
menunjukkan puncak ekspresi selama kehamilan dan
bertepatan dengan terjadinya implantasi. Langkah
terpenting dalam implantasi embrio adalah adhesi
lapisan trofektoderm luar blastokista ke epitel luminal.
Proses tersebut tergantung pada ekspresi molekul adhesi
dan turunnya ekspresi gen molekul anti adhesi." Mucins
adalah kelompok penting molekul adhesi yang
terekspresi di berbagai jaringan." Di antara molekul
musin, Muc-4 merupakan kandidat menarik untuk
mengeksplorasi karena tingkat ekspresi tinggi dalam
epitel endometrium.

C. Endometriosis:
Endometriosis adalah istilah untuk menyebutkan
kelainan jaringan endometrium yang tumbuh di luar
kendali. Jaringan abnormal tersebut biasanya terdapat
pada yang menahan uterus, ovarium, tuba fallopii,
rongga panggul, usus, dan berbagai tempat lain.
Sebagaimana jaringan endometrium normal, jaringan ini
mengalami siklus yang menjadi respons terhadap
perubahan hormonal sesuai siklus menstruasi
perempuan. Endometriosis merupakan sifat yang
diwariskan namun mekanisme pewarisan tersebut
sampai saat ini masih belum jelas. Besarnya peningkatan
risiko (5% sampai 8% dari keluarga) lebih bersifat
poligenik atau kecenderungan multifaktorial dari gen
mutan tunggal. Namun, risiko kekambuhan lebih tinggi
sekitar 2% sampai 5%, mengacu pada pewarisan
poligenik. Frekuensi kerabat yang terkena mungkin akan
lebih tinggi jika langsung dapat mengukur produk gen
yang terekspresi. Karena endometriosis diwariskan
secara poligenik, maka peningkatan keparahan dalam
kasus familial juga konsisten dengan prediksi
berdasarkan model pewarisan poligenik. Model seperti
itu memiliki konsekuensi bahwa semakin besar tingkat
keparahan, semakin besar faktor genetik yang
memengaruhi dan semakin besar rasio kerabat yang
dapat menderita endometriosis dalam satu keluarga.
Analisis atau studi tentang hubungan antar
genome/Genome-wide association study (GWAS)
sedang dilakukan oleh beberapa kelompok yang
berusaha melokalisasi berbagai gen penting yang dapat
menjelaskan etiologi endometriosis. Kennedy et. al.
Dalam penelitiannya menggunakan analisis sibling-pair
dengan penanda DNA polimorfik. Identifikasi beberapa
gen nonlinked akan terlihat konsisten pada gen poligenik
atau heterogenitas genetik yang diwariskan. Beberapa
daerah pengecualian telah teridentifikasi tetapi terdapat
hubungan satu dengan yang lain. Kurangnya
keberhasilan bisa mencerminkan ketimpangan dalam
diagnosis. Studi yang dilakukan pada sampel perempuan
Islandia pada "lokus sugestif" ditemukan di 9q yang
bukan terdapat di wilayah transferase uridyl galaktosa-1-
fosfat (Galt) gene19. Sebuah polimorfisme pada gen Galt
transisi adenin kepada guanin dalam exon 10,
menggantikan aspartat untuk asparagin (N314D) -
ditemukan terkait dengan endometriosis.
Dalam endometriosis, pola penyimpangan
kromosom dikombinasikan paralel dengan sifat invasif
gangguan antara endometriosis dan Patogenesis
neoplasia. Keduanya merupakan hasil dari mutasi
somatik. Beberapa peneliti berspekulasi bahwa kanker
ovarium endometrioid dapat timbul dengan transformasi
malignan dari implan endometriotik. Kanker yang timbul
dari endometriosis biasanya dibagi menjadi dua
kelompok utama yaitu: ovarium dan ekstraovarium.
Kanker ovarium mencapai lebih dari 75% dari kasus,
yang terdiri sebagian besar dari endometrioid (70%) dan
sel karsinoma yang jelas (14%). Dari tumor
ekstraovarium, sekitar 66% adalah karsinoma
endometrioid terlokalisasi pada septum rektovaginal
(paling umum), rahim, saluran telur, rektum, atau
kandung kemih. Oleh karena itu, dalam pencarian gen
yang terlibat dalam endometriosis, penapisan awal
kromosom atau perubahan-gen tertentu atau keduanya
harus diidentifikasi.

Manfaat Tinjauan Genetik pada Penanganan Pasien


Infertilitas
Bagi pasangan yang menginginkan memiliki anak
karena terdapat faktor laki-laki, konseling mengenai
genetik dengan tenaga medis sangat diperlukan bagi
pasangan yang ingin mengikuti teknik reproduksi
berbantu (TRB). Konseling ini bertujuan untuk
membekali pasangan mengetahui faktor genetik dan
kaitannya dengan faktor psikologis. Pemeriksaan genetik
juga mampu memberikan gambaran kepada pasien
mengenai risiko yang akan dihadapi kemungkinan
terburuk yang akan terjadi di masa datang, seperti
kelainan genetik yang dapat diturunkan ke anak-anak
mereka.
Konseling genetik diutamakan bagi penderita
mikrodelesi pada kromosom Y. Dengan adanya
konseling, diharapkan dapat membantu menghilangkan
stres perasaan bersalah pada laki-laki yang mengalami
delesi Yq. Dengan mengetahui jenis mikrodelesi yang
terjadi, seorang dokter dapat memutuskan tindakan TRB
terbaik. Setiap pasangan yang akan melakukan TRB
harus mengetahui risiko bahwa kemungkinan infertilitas
dapat diturunkan keketurunan mereka.
Pasien yang mengalami sindrom Klinefelter dan
berkeinginan memiliki keturunan, dapat melakukan bayi
tabung dengan melakukan intra cytoplasmic injection
(ICSI) akan tetapi sangat berisiko diturunkan, Oleh
sebab itu, deteksi dini sangat diperlukan sebelum
melakukan TRB. Teknik deteksi dini yang dapat
digunakan, yaitu dengan preimplantation genetic
diagnosis (PGD). Diharapkan dengan melakukan PGD
kelainan kromosom dapat diketahui lebih dini sehingga
dapat meminimalisir diturunkannya kelainan genetik
kepada keturunannya.
RESEPTIVITAS
ENDOMETRIUM

Keberadaan endometrium bertujuan untuk


memfasilitasi implantasi embrio. Pada siklus natural
dengan satu embrio, rasio keberadaan endometrium
bervariasi antara 20 dan 25% pada perempuan dibawah
usia 30 tahun (Bongaarts, 1975). Sejak kehamilan
didapatkan dari fertilisasi in vitro untuk pertama kalinya,
kemajuan besar dalam hiperstimulasi ovarium,
pengambilan oosit, teknik laboratorium dan
perkembangan embrio telah tercapai dengan baik.
Namun, angka keberhasilan implantasi (12%) dan
kehamilan (28%) masih tetap rendah, meskipun
dilakukan transfer embrio multiple.
Istilah "reseptivitas endometrium" mengacu pada
kemampuan dari lining uterus untuk menerima dan
mengakomodasi embrio baru, yang berujung pada
keberhasilan terjadinya kehamilan. Konsep dari
endometrium hostile dan receptive telah berkembang
selama bertahun tahun dari pengamatan yang dilakukan
oleh banyak peneliti dan klinisi yang mempelajari
implantasi dan fungsi endometrium. Reseptivitas
endometrium adalah model yang berguna untuk
mempelajari penyebab dari infertilitas yang tidak
diketahui penyebabnya atau unexplained infertility dan
juga mempelajari keguguran pada kehamilan. Konsep
yang masih berkorelasi yaitu "Jendela Implantasi" atau
"Window of implantation" (WOI) yang mencerminkan
periode reseptivitas saat terjadinya interaksi
endometrium-embrio juga dapat membantu pemahaman
dari terjadinya keguguran pada kehamilan dan
infertilitas.
Populasi yang memerlukan pemeriksaan
reseptivitas endometrium secara khusus yaitu:
1. Perempuan dengan riwayat kegagalan
implantasi berulang
2. Perempuan dalam tatalaksana teknik reproduksi
berbantu (TRB)

Peran Korpus Luteum dan Fase Luteal


Pembentukan dari korpus luteum menyulut pada
perubahan endokrin tubuh yaitu terjadinya sekresi
steroid pada saat progesteron mendominasi paruh kedua
dari sebuah siklus. Korpus luteum memproduksi
progesteron dan menurunkan jumlah estradiol. Estradiol
menyiapkan endometrium untuk aksi dari progesteron,
dimana progesteron menyulut perubahan morfologi dan
sekresi protein. Progesteron bekerja pada endometrium,
glandula epithelial, dan stroma melalui reseptor spesifik.
Reseptor ini adalah protein yang berada di dalam
nukleus dari sel endometrial dan memiliki afinitas
spesifik untuk progesteron. Pada intinya, untuk
kepentingan klinis, telah terbukti bahwa estradiol tidak
mempengaruhi keberhasilan implantasi.
Korpus luteum terbentuk dari beberapa
subpopulasi sel dengan morfologi komponen endokrin
dan biokimia yang berbeda-beda. Kurang lebih 30% dari
selnya adalah sel yang memproduksi steroid, dan 70%
lainnya merupakan sel nonsteroidogenik. Yang termasuk
sel steroidogenik adalah sel luteal besar (22-35μm) dan
sel luteal kecil (12-22μm) dan yang termasuk
subpopulasi sel nonsteroidogenik adalah leukosit
(makrofag, neutofil, dan limfosit), fibroblas, dan sel
endotel. Meskipun kedua sel steroidogenik mensekresi
progesteron, mekanisme regulator yang turut serta
berbeda antar kedua sel. Mayoritas dari reseptor luteal
untuk LH dan hCG ada pada sel luteal kecil. Sel luteal
besar merupkan sumber primer untuk sintesis steroid
meskipun terdapat respons kecil terhadap faktor
regulator termasuk hCG. Oleh karena itu, regulasi dari
aktivitas steroidogenik dari korpus luteum didominasi
oleh respons sel luteal kecil melalui sinyal endokirn,
parakrin/autokrin yang berbeda yang mencapai jaringan.
Di antara sel nonsteroidogenik, 30% dari korpus luteum
matang adalah sel endotel, yang merefleksikan jaringan
kapiler yang ekstensif untuk korpus luteum. Untuk sel
imunitas, makrofag dan limfosit T cukup berperan dalam
produksi interleukin-1β (IL-1 β) dan tumor necrosis
factor-α (TNF-α) secara berurutan. Kedua sitokin
tersebut memodulasi steroidogenesis luteal.
Defek fase luteal ditemukan pada 17-28%
perempuan dengan keguguran berulang. Diagnosis dari
defek fase luteal biasanya berdasarkan pada evaluasi
histologi dari endometrium, yang terjadi pada fase luteal.
Defek fase luteal dapat terjadi sebagai dampak dari
insufisien korpus luteum yang menjadikan produksi
progesteron yang suboptimal.
Saat ini kualitas dari fase luteal dapat dikaji
dengan metode yang tidak invasif menggunakan
ultrasound Doppler untuk mengetahui aliran darah
menuju ovarium dan endometrium. Pengkajian
menggunakan Doppler ini memiliki beberapa
keuntungan dibanding pemeriksaan histologi dari
endometrium. Ultrasound transvaginal merupakan
pemeriksaan noninvasif yang tidak mempengaruhi
proses implantasi, dimana biopsi endometrial lebih
invasif dan berpotensi menggangu implantasi.
Pemeriksaan Doppler juga dapat diulang beberapa kali
secara serial pada fase luteal, untuk melihat perubahan
berdasarkan waktu implantasi.

Cara Pemeriksaan Reseptivitas Endometrium


Memahami regulasi dari reseptivitas endometrium
pada perempuan fertil telah memberikan pemahaman
dari unexplained infertility dan keguguran berulang,
Terdapat beberapa cara untuk menilai reseptivitas
endometrium yaitu dengan:
1. Ultrasonografi (USG)
2. Biopsi Endometrium
3. Aspirasi/flushing sekret endometrium
4.
Modalitas Ultrasonografi untuk Menilai Reseptivitas
Endometrium
Untuk menilai reseptivitas endometrium, modalitas
USG merupakan modalitas yang paling efisien untuk
dilakukan. Pemeriksaan dengan USG dilakukan untuk
menilai ketebalan endometrium. Nilai potong >8mm
ketebalan endometrium dilaporkan dapat mengasilkan
kesuksesan implantasi >30% dan dan angka kehamilan
mencapai >40%.
Penilaian arteri uterina dengan velosimetri
ultrasound Doppler dapat pula merepresentasikan
reseptivitas endometrium. Adanya aliran darah yang baik
menuju endometrium diketahui merupakan syarat
penting untuk keberhasilan implantasi. Aliran darah
arteri uterina telah diketahui dari banyak penelitian dapat
merefleksikan aliran darah ke endometrium.
Pemeriksaan ini menggunakan Doppler berwarna mode
2D, velocity atau kecepatan dari aliran dapat diketahui
dari cabang ascending utama arteri uterina dari sisi
kanan atau kiri serviks dalam bidang longitudinal
sebelum cabang ini memasuki uterus. Gerbang Doppler
diposisikan saat pembuluh darah menunjukan sinyal
warna yang baik pada layar. Indeks pulsatil dan indeks
resistensi dari arteri uterina dapat dikalkulasi secara
otomatis saat gelombang yang baik ditangkap oleh
Doppler. Sinyal Doppler berwarna pada lining
endometrium perifer (1-2 mm dari lining endometrium)
dapat dianalisis dan arteri spiral dapat dinilai. Oleh
karena itu, untuk kepentingan reseptivitas endometrium,
pemeriksaan ultrasound dapat menilai ketebalan
endometrium, volume endometrium, indeks resistensi
dan indeks pulsatil arteri uterina, serta indeks resistensi
dan indeks pulsatil arteri spiral.

Modalitas Biopsi Endometrium untuk Menilai


Reseptivitas Endometrium
Secara konvensional penilaian jendela implantasi
dilakukan pada hari ke-6 sampai 10 setelah ovulasi.
Untuk menilai suatu jendela implantasi yang memiliki
nilai reseptivitas yang paling baik digunakan penilaian
histologi metode Noyes. Namun, metode penilaian ini
memiliki kelemahan yaitu meiliki variasi intra dan
interobserver yang sangat tinggi (Gambar 1).

Gambar 1. Variasi intra dan inter observer yang besar


pada penilaian biopsi endometrium metode Noyes
Dengan menggunakan pemeriksaan histologi
jaringan biopsi endometrium, terdapat beberapa kandidat
biomarker seperti integrins, tastin dan trophinin,
osteopontins, selektins, lektin dan lainnya yang terus
dikembangkan untuk menjadi modalitas baku emas
untuk mengetahui reseptivitas endometrium.
Proyeksi mikroskopis yang dikenal sebagai
pinopodes (juga dikenal sebagai pinopods atau
uterodomes) menjadi biomarker potensial yang cukup
baik untuk dipelajari sebagai penanda reseptivitas. Epitel
luminal dari endometrium terbentuk dari lembaran sel
epitel spesifik yang berbeda dari sel glandular dan
stroma di bawahnya, lapisan ini membentuk barier
primer untuk perlekatan dan invasi embrio. Pinopodes
merepresentasikan lapisan ini.
Biomarker lain yang merefleksikan karakter
endometrium dan berkaitan dengan infertilitas adalah
integrin αvβ3. Integrin merupakan kelas molekul adhesi
sel yang mengandung glikoprotein heterodimerik dan
berada di membran plasma, salah satunya berfungsi pula
di endometrium. Integrin αvβ3 berada pada apeks
permukaan sel luminal dan glandular, yang muncul
bersamaan saat jendela implantasi. Korelasi yang erat
akan gambaran histologi dan integrin αvβ3 telah diteliti
dan ekspresinya terus ada hingga kehamilan dengan
ekspansi ke desidua. Ekspresi molekul ini dibatasi
dengan regulasi produksi subunit B3 yang diregulasi
langsung oleh faktor transkripsi HOXA10. HOXA10 dan
integrin αvβ3 telah menunjukan penurunan kadar yang
signifikan pada endometrium eutopik pada perempuan
dengan endometriosis ringan namun tidak pada
endometriosis sedang dan berat. Selain itu, kedua
biomarker ini juga dilaporkan berkurang pada
perempuan dengan adenomiosis dan sindrom polikistik
ovarium. Pada perempuan dengan hidrosalping,
keberadaan kedua biomarker ini tidak ada dan dapat
dikembalikan keberadaanya setelah perempuan tersebut
menjalani salpingektomi. Hal ini juga terbukti oleh
Lassey dkk, yang melaporkan pasien dengan
endometriosis yang dapat mengekspresikan integrin ini,
memiliki angka kehamilan yang lebih baik secara
signifikan dibandingkan dengan pasien endometriosis
yang kekurangan integrin ini.
Penanda yang sudah diketahui baik dan juga sering
digunakan untuk mengetahui reseptivitas endometrium
adalah HOXA10 dan HOXAII. HOXA10/Hoxa10
(manusia/tikus) merupakan zat yang mengandung faktor
transkripsi penting utuk perkembangan embrio
intrauterin. Zat ini juga penting untuk perkembangan
endometrium pada perempuan dewasa selama siklus
menstruasi dan tentu saja zat ini juga berpengaruh pada
reseptivitas endometrium.8 Pemeriksaan Hoxa10 pada
tikus menunjukan penurunan ekspresi Hoxa10
berkorelasi pada kegagalan implantasi, dimana hal ini
menunjukan adanya perubahan kadar dari Hoxa10
meregulasi derajat dari reseptivitas endometrium.
Leptin merupakan media komunikasi antarembrio
dan endometrium yang reseptif, sehingga menjamin
terjadinya proses implantasi yang baik. 10 Reseptivitas
yang baik dapat ditunjukkan dengan nilai potong leptin
serum praovulasi 25,40 ng/dl (sensitivitas 64,3% dan
spesifisitas 65,4%).
Reseptivitas endometrium juga dapat dinilai
dengan adanya variasi ekspresi genetik dari jaringan
biopsi endometrium. Terdapat modalitas diagnostik
multipel untuk menilai variasi genetik pada endometrium
tersebut antara lain metode-metode seperti kromatografi
lapisan tipis dari sekresi uterin atau thin-layer
chromatography of uterine secretions,
immunohistokimia, penampakan dan reaksi rantai
transkripsi-polimerase terbalik, microarray DNA,
pemeriksaan mikro RNA, dan analisis proteomik telah
menambah daftar kompleksitas dari pemahaman akan
reseptivitas endometrium.

Modalitas Flushing Endometrium untuk Menilai


Reseptivitas Endometrium
Pemeriksaan penanda reseptivitas endometrium
dan ekspresi genetik dapat pula dilakukan dengan
pengambilan sampel flushing sekret endometrium.
Pemeriksaan dilakukan pada hari suntik hCG, fase
praovulasi atau pada hari transfer embrio. Flushing yang
dilakukan pada hari transfer embrio dilaporkan tidak
menggangu keberhasilan kehamilan program TRB.
Metode ini dilakukan dengan menggunakan kateter
embrio transfer atau kateter inseminasi biasa dan
menggunakan cairan NaCl 0,9%.

Penyakit yang Mengganggu Reseptivitas


Endometrium
Beberapa penyakit sudah diketahui dapat
menurunkan kemampuan reseptivitas endometrium,
seperti endometriosis, adenomiosis, sindrom ovarium
polikistik, hidrosalping dan polip endometrium.
Berbagai penelitian telah menunjukan adanya kaitan
signifikan penyakit-penyakit ini dengan reseptivitas
endometrium yang dinilai dari beberapa biomarker dan
juga pemeriksaan biopsi histologi.
Pada fertilisasi in vitro (FIV), reseptivitas
endometrium dapat dipelajari dengan baik sebagai model
Penyakit-penyakit tuba seperti hidrosalping dan
endometriosis telah diasosiasikan dengan penurunan
keberhasilan FIV, dan penyakit ini secara surgikal
terbukti meningkatkan kebersailan kehamilan.
Biomarker seperti integrin αvß3 juga sudah sebagai
predictor keberasilan FIV, namun publikasi penelitian ini
masih sangat terbatas. Ekspresi aromatase endometrial
memiliki hasil yang tidak baik pada perempuan dengan
endometriosis dan diasosiasikan dengan kurangnya
angka keberhasilan kehamilan dari FIV. Ekspresi
aromatase diasosiasikan dengan inflamasi yang terlihat
dari lesi merah pada endometriosis ringan. Hasil ini
sama dengan kadar ekspresi integrin. Supresi inflamasi
menggunakan GnRH analog yang lebih panjang juga
menunjukan peningkatan luaran keberhasilan FIV saat
digunakan sebelum stimulasi FIV, kemungkinan hal ini
mereduksi endometriosis dan meningkatkan reseptivitas
endometrium.
Polip endometrium dan mioma submukosa juga
terbukti mempengaruhi reseptivitas endometrium.
Sebuah penelitian mengevaluasi kadar HOXA10 dan
HOXA11, menunjukan adanya penurunan ekspresi kadar
secara signifikan kedua biomarker ini pada pasien
dengan polip dibandingkan dengan kontrol, yang
menunjukan adanya gangguan reseptivitas endometrium
di uterus pasien dengan polip. Keberadaan polip
kemungkinan merubah ekspresi gen HOX melalui
endometrium dan perubahan jalur sinyal endometrium
yang menyulut pada gangguan reseptivitas endometrium.
Penemuan ini disokong dengan adanya temuan klinis
angka kehamilan meningkat setelah polipektomi
histeroskopik.

Anda mungkin juga menyukai