Anda di halaman 1dari 28

Tugas Kelompok

Mata kuliah : Psikologi dalam Pelayanan Kebidanan


Dosen : Sutrani Syarif, S.ST., M.Keb

KESEHATAN MENTAL PADA PRENATAL

DISUSUN OLEH

KELOMPOK I

1. NURMALIZA A1A221095

2. VICARIANI A1A221233

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


UNIVERSITAS MEGA REZKY MAKASSAR
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atas rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Kesehatan mental pada prenatal.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak
dan kerjasama kelompok yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata psikologi dalam pelayanan
kebidanan. Semoga makalah ini dapat digunakan secara efektif dan dapat menjadi
media untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan untuk memahami kesehatan
mental pada prenatal.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 13 April 2022


Tim penyusun

Kelompok I

2
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................5
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi kesehatan mental pada prenatal........................................................6
B. perubahanPnormal emosi dalam kehamilan, persalinan dan nifas.................8
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan emosi..................................11
D. Tantangan kesehatan mental.........................................................................13
E. Peran bidan dalam mempromosikan kesehatan mental...............................19
F. Kebijakan asuhan pada perempuan dengan gangguan kesehatan mental.....21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................24
B. Saran.............................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................27

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara global, selama tiga dekade terakhir, kesehatan mental merupakan
isu sentral pembangunan kesehatan. Sejak beberapa dekade lalu, WHO
menegaskan bahwa definisi sehat merupakan definisi yang sifatnya intergral;
artinya bukan sekedar bebas dari penyakit, namun kondisi dimana seseorang
mencapai kesejahteraan paripurna secara fisik, mental dan sosial. Garis kebijakan
WHO ini memiliki implikasi penting seluruh batang tubuh kebijakan kesehatan
yang diterapkan oleh negara-negara anggota WHO, harus seluruhnya mencakup
ketiga aspek diatas (Ridlo I, Zein R 2018).
Melihat tren global, kesehatan mental tidak lagi dipandang sebagai isu
perifer dalam pembangunan kesehatan, mengingat betapa seriusnya dampak yang
diakibatkan oleh lemahnya kondisi kesehatan mental terutama bagi ibu hamil,
bersalin dan nifas (Ridlo I, Zein R 2018).
Kehamilan, bersalin, nifas dan menyusui merupakan masa yang sangat
penting dalam kehidupan perempuan. Pada masa tersebut, mereka rentan
mengalami masalah kejiwaan. Masalah kejiwaan adalah gangguan pada pikiran
perasaan dan perilaku, sehingga menimbulkan penderitaan dan terganggunya
fungsi sehari-hari baik pribadi dan social (Nuryati T, Amir Y, 2021)..
Salah satu masalah kejiwaan yang sering dialami oleh ibu hamil, bersalin,
nifas dan menyusui adalah: depresi, cemas, gangguan tidur, psikotik. Sejumlah
riset juga melaporkan bahwa wanita yang melahirkan tidak jarang mengalami
cemas, takut, bahkan depresi. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
permasalahan psikologis (stress) ibu hamil, diantaranya tingkat pengetahuan
tentang kehamilan dan persalinan, serta dukungan dari orang-orang sekitarnya
(Nuryati T, Amir Y, 2021).

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi kesehatan mental pada prenatal?
2. Bagaimana perubahan normal emosi dalam kehamilan, persalinan dan nifas?
3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan emosi selama kehamilan,
persalinan dan nifas?
4. Apa tantangan kesehatan mental dalam priode kehamilan, persalinan dan
nifas?
5. Bagaimana peran bidan dalam mempromosikan kesehatan mental yang
baik/posesif pada perempuan dalam masa reproduksi?
6. Bagaiamana kebijakan asuhan pada perempuan dengan gangguan kesehatan
bayi, secara lokal, nasional dan internasional?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi kesehatan mental pada prenatal.
2. Untuk mengetahui perubahan normal emosi dalam kehamilan, persalinan dan
nifas.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan emosi selama
kehamilan, persalinan dan nifas.
4. Untuk mengetahui tantangan kesehatan mental dalam priode kehamilan,
persalinan dan nifas.
5. Untuk mengetahui peran bidan dalam mempromosikan kesehatan mental
yang baik/posesif pada perempuan dalam masa reproduksi.
6. Untuk mengetahui kebijakan asuhan pada perempuan dengan gangguan
kesehatan bayi, secara lokal, nasional dan internasional.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Kesehatan Mental pada Prenatal
1. Kesehatan mental
Menurut WHO (World Health Organization) (2018), kesehatan mental
merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di
dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres
kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan,
serta berperan serta di komunitasnya. Maka dapat dipahami ketika Individu
berada diluar definisi tersebut maka dimungkinkan dapat ditemukanya suatu
kelainan, kita menyebutnya gangguan jiwa
Kesehatan Mental dapat diartikan tercapainya keselarasan yang alami
antara fungsi-fungsi dari kejiwaan serta terciptanya penyesuaian diri antara
diri kita sebagai manusia dengan diri kita sendiri serta lingkungannya.
Berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai
hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat (Kemenkes, 2019).
Seseorang yang bermental sehat dapat menggunakan kemampuan atau
potensi dirinya secara maksimal dalam menghadapi tantangan hidup, serta
menjalin hubungan positif dengan orang lain. Sebaliknya, orang yang
kesehatan mentalnya terganggu akan mengalami gangguan suasana hati,
kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang pada akhirnya bisa mengarah
pada perilaku buruk (Kemenkes, 2019).
2. Masa prenatal
Masa pranatal merupakan masa (waktu) di mana manusia mengalami
perkembangan untuk pertama kalinya atau biasa disebut dengan awal
perkembangan. Masa ini terjadiselama dalam rahim seorang ibu, yaitu
berkisar sekitar 9 bulan lebih 10 hari, ini merupakan perkiraan rata-rata yang
sering dialami oleh sebagian besar perkembangan manusia di dalam rahim

6
meskipun terkadang sering juga ditemukan usia janin yang kurang dari usia
tersebut yang biasa disebut dalam ilmu kedokteran sebagai janin prematur
(waktu yang semestinya bayi belum bisa dilahirkan) (Pratiwi K, Rusinani D,
2020).
Periode pranatal atau pra lahir merupakan masa kritis bagi
perkembangan fisik, emosi dan mental bayi. Ini adalah masa mulai
terbentuknya kedekatan antara bayi dan orang tua dengan konsekuensi yang
akan berdampak panjang, terutama yang berkaitan dengan kemampuan dan
kecerdasan bayi dalam kandungan (Pratiwi K, Rusinani D, 2020).
3. Kesehatan mental masa prenatal
Kesehatan mental yang baik seperti merasa tenang dan bahagia, sangat
diperlukan saat masa perinatal, karena sangat mempengaruhi kesehatan
seorang ibu hamil dan bayi yang dilahirkannya. Munculnya gangguan
kesehatan mental perinatal dapat memicu perilaku berisiko bagi kehamilan
seperti merokok, konsumsi alkohol, asupan nutrisi yang tidak sesuai,
menghindari pemeriksaan kehamilan, atau memicu perilaku berbahaya bagi
ibu dan bayinya. Sayangnya, perasaan depresi dan sumber stress masa
perinatal biasanya sering diabaikan dan tidak ditangani.
Kesehatan mental wanita saat kehamilan, persalinan dan nifas adalah
sangat penting untuk menghindari masalah psikologis yang mungkin terjadi
selama kehamilan, persalinan dan nifas. Kondisi kesehatan mental ibu selama
kehamilan, persalinan dan nifas menjadi salah satu faktor tingginya angka
kematian ibu.
World Health Organization (2016), menyatakan bahwa kesehatan
mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di
dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres,bekerja
secara produktif dan menghasilkan, serta ikut berpartisipasidi masyarakat
sekitar gangguan kesehatan mental yang dapat muncul di masa prenatal
kesehatan mental yang baik seperti merasa tenang dan bahagia, sangat

7
diperlukan saat masa prenatal, karena sangat mempengaruhi kesehatan
seorang ibu hamil dan bayi dalam kandungannya. Munculnya gangguan
kesehatan mental saat prenatal dapat memicu perilaku berisiko bagi ibu
seperti merokok, konsumsi alkohol, asupan nutrisi yang tidak sesuai,
menghindari pemeriksaan kesehatan, atau memicu perilaku berbahaya bagi
ibu.
B. Perubahan Normal Emosi dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas
1. Kehamilan
Berkomunikasi dengan buah hati tidak hanya bisa dilakukan setelah
bayi lahir dan bisa berbicara. Namun, sebetulnya komunikasi antara ibu dan
janin, lingkungan dengan janin sudah dimulai tercipta sejak dalam
kandungan. Tanpa banyak disadari, ibu dan janin sudah memiliki hubungan
emosional yang sangat kuat. Biasanya dimulai sejak usia kehamilan enam
bulan. Janin sudah bisa merasakan emosi ibu, baik saat senang atau sedih
melalui hormon ibu yang disalurkan kedalam tubuh janin. Tentu kesempatan
berharga untuk menjalin kedekatan secara emosional dengan buah hati tidak
boleh dilewatkan (Mziyatul, Fahmi, & Febri, 2020).
Beberapa pakar anak mengemukakan bahwa jika janin dalam
kandungan secara terus-menerus mendapatkan stimulasi (rangsangan) positif,
maka kelak anak tersebut akan menjadi anak yang lebih cepat perkembangan
otaknya jika dibandingkan dengan teman-temanya yang tidak mendapatkan
stimulasi saat masih dalam kandungan. Pada umumnya seorang anak telah
memiliki ikatan atau jalinan yang kuat dengan ibu, walaupun masih dalam
kandungan. Berbagai cara yang dapat dilakukan untuk memberi stimulasi
pada janin, di antaranya sebagai yaitu membelai, menepuk dan mengusap
dengan lembut, mengajak bicara dan mendongengkan. Selain memberi
stimulus, keadaan emosional ibu selama kehamilan juga mempunyai
pengaruh yang besar terhadap perkembangan masa prenatal. Hal ini
dikarenakan ketika seorang ibu hamil mengalami ketakutan, kecemasan, stres

8
dan emosi lain yang mendalam, maka terjadi perubahan psikologis, antara
lain yang meningkatnya pernapasan dan sekresi oleh kelenjar (Idaningsih A,
Indriani Y, 2021).
Menurut Idaningsih A, Indriani Y (2021), perubahan emosi ibu hamis
setiap semester senagai berikut:
a. Perubahan emosional trimester I (Penyesuaian) ialah penurunan kemauan
seksual karena letih dan mual, perubahan suasana hati seperti depresi atau
khawatir, ibu mulai berpikir mengenai bayi dan kesejahteraannya dan
kekhawatiran pada bentuk penampilan diri yang kurang menarik, dan
menurunnya aktifitas seksual.
b. Perubahan emosional trimester II (Kesehatan yang baik) terjadi pada
bulan kelima kehamilan terasa nyata karena bayi sudah mulai bergerak
sehingga ibu mulai memperhatikan bayi dan memikirkan apakah bayinya
akan dilahirkan sehat. Rasa cemas pada ibu hamil akan terus meningkat
seiring bertambah usia kehamilannya.
c. Perubahan emosional trimester III (Penantian dengan penuh
kewaspadaan) terutama pada bulan-bulan terakhir kehamilan biasanya
gembira bercampur takut karena kehamilannya telah mendekati
persalinan. Kekhawatiran ibu hamil biasanya seperti apa yang akan
terjadi pasa saat melahirkan, apakah bayi lahir sehat, dan tugas-tugas apa
yang dilakukan setelah kelahiran. Pemikiran dan perasaan seperti ini
sangat sering terjadi pada ibu hamil. Sebaiknya kecemasan seperti ini
dikemukakan istri kepada suaminya.
2. Persalinan
Perubahan psikologis seorang wanita yang sedang mengalami
persalinan sangat bervariasi, tergantung pada persiapan dan bimbingan
antisipasi yang diterima selama persiapan menghadapi persalinan, dukungan
yang diterima wanita dari pasangannya, keluarga dan orang terdekat lainnya.
Dukungan yang diterima atau tidak diterima oleh ibu melahirkan, termasuk

9
yang mendampingi saat persalinan, sangat mempengaruhi aspek psikologis
ibu (Pratiwi K, Rusinani D, 2020).
Perasaan positif berupa kelegaan hati, seolah olah pada saat itulah
benar-benar terjadi realitas kewanitaan sejati yaitu munculnya rasa bangga
bisa melahirkan bayinya. Keadaan psikologi ibu mempengaruhi persalinan.
Ibu bersalin yang didampingi oleh suami dan orang-orang dicintainya
cenderung mengalami proses persalinan yang lebih lancar. Ini menunjukkan
bahwa dukungan mental berdampak positif bagi psikis ibu (Pratiwi K,
Rusinani D, 2020).
3. Nifas
Perubahan emosi ibu postpartum menurut Pratiwi K, Rusinani D,
(2020) secara umum antara lain:
a. Thrilled dan excaited, ibu merasakan bahwa persalinan merupakan
peristiwa besar dalam hidup. Ibu heran dengan keberhasilan melahirkan
seorang bayi dan selalu bercerita seputar peristiwa persalinan dan
bayinya.
b. Overwhelmed, merupakan masa kritis bagi ibu dalam 24 jam pertama
untuk merawat bayinya, ibu mulai melakukan tugas-tugas baru.
c. Let down, status emosi ibu berubah-ubah, merasa sedikit kecewa
khususnya dengan perubahan fisik dan peran.
d. Weepy, ibu mengalami baby blues postpartum kareana perubahan yang
tiba-tiba dalam kehidupannya, merasa cemas dan takut dengan
ketidakmampuan merawat banyinya dan merasa bersalah. Perubahan
emosi ini dapat membaik dalam beberapa hari setelah ibu dapat merawat
diri dan bayinya serta mendapat dukungan keluarga.
e. Feeling beat up, merupakan masa kerja keras fisik dalam hidup dan
akhirnya merasa kelelahan.

10
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Emosi selama Kehamilan,
Persalinan dan Nifas
Menurut catatan Takegata, Ohashi, Lazarus dan Kitamura (2017), sejumlah
faktor yang berperan dalam munculnya persoalan psikologis pada masa prenatal
diantaranya adalah faktor biologis (seperti anemia), faktor demografis (misalnya,
kemiskinan), hubungan interpersoanal (misalnya, KDRT, kehamilan yang tidak
diharapkan), faktor kepribadian yang lemah (seperti, keyakinan diri dan
penghargaan diri yang rendah). Selain itu juga terdapat faktor-faktor yang terkait
dengan budaya, terutama pada masyarakat Asia, seperti preferensi terhadap jenis
kelamin tertentu (Nuryati T, Amir Y, 2021)..
Faktor lainnya yaitu ketakutan akan kematian, takut kesulitan dalam
melahirkan, kurangnya kepercayaan pada tim medis, khawatir pada kompetensi
tim medis dalam menolong persalinan, khawatir pada kemampuan diri untuk
menjadi orang tua adalah sejumlah determinan yang berperan dalam munculnya
gangguan psikologis yang dialami ibu yang akan melahirkan (Nuryati T, Amir Y,
2021)..
1. Kehamilan
Faktor penyebab terjadinya perubahan psikologi wanita hamil ialah
meningkatnya produksi hormon progesteron. Hormon progesterone
mempengaruhi kondisi psikisnya, akan tetapi tidak selamanya pengaruh
hormon progesterone menjadi dasar perubahan psikis, melainkan kerentanan
daya psikis seorang atau lebih dikenal dengan kepribadian. Wanita hamil
yang menerima atau sangat mengharapkan kehamilan akan lebih
menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan. Berbeda dengan wanita
hamil yang menolak kehamilan. Mereka menilai kehamilan sebagai hal yang
memberatkan ataupun mengganggu estetika tubuhnya seperti gusar, karena
perut menjadi membuncit, pinggul besar, payudara membesar, capek dan
letih. Tentu kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan psikis ibu
menjadi tidak stabil (Wulandari R, dkk, 2021).

11
Faktor penting lainnya penyebab masalah kesehatan mental pada ibu
adalah faktor sosial, beberapa diantaranya adalah rendahnya status ekonomi,
rendahnya status dan  peran sosial, kehamilan yang tidak diinginkan dan
kekerasan pada perempuan (Wulandari R, dkk, 2021).
2. Persalinan dan nifas
Perubahan hormon setelah melahirkan yang luar biasa. Pada saat
hamil, level hormon estrogen dan progesteron meningkat. Setelah
melahirkan, level kedua hormon itu menurun drastis sehingga memicu
insomnia, kecemasan, kesulitan berkonsentrasi, yang bisa berujung pada
depresi. Pada saat yang sama, hormon prolaktin yang mendorong produksi
ASI meningkat pesat. Rendahnya hormon tiroid juga dapat menimbulkan
gangguan fisik dan emosional bagi Ibu yang baru melahirkan. Dengan kata
lain, perubahan hormon setelah melahirkan dapat mempengaruhi emosi Ibu
(Nikma N, 2020).
Menurut Nikma N (2020) Faktor penyebab gangguan mental pada ibu
nifas yaitu sebagai berikut:
1. Riwayat gangguan depresi sebelumnya
2. Riwayat gangguan bipolar
3. Mengalami kejadian yang berat dan mengganggu emosi psikis dalam satu
tahun terakhir
4. Kesulitan dalam memberikan ASI
5. Memiliki permasalahan dengan pasangan
6. Masalah finansial saat menjelang persalinan
7. Bayi memiliki kebutuhan khusus atau keadaan khusus
8. Bayi kembar, atau kehamilan triplet yang membutuhkan perhatian lebih
9. Kehamilan yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan.

12
D. Tantangan Kesehatan Mental dalam Priode Kehamilan, Persalinan dan
Nifas
1. Tantangan Kesehatan mental secara umum
Menurut Rahayu P, dkk (2021) Secara umum tantangan kesehatan
mental di Indonesia antara lain sebagai berikut:
a. Stigma terhadap pengidap gangguan kesehatan mental
Stigma atau nilai buruk yang diberikan kepada pengidap kesehatan
mental di Indonesia didapatkan melalui pengaruh lingkungan yang
buruk. Labelling, pengucilan, dan stereotip terhadap pengidap gangguan
kesehatan mental membuat orang yang menderita gangguan mental
memilih bungkam atau tidak berkonsultasi kepada ahli. Akibatnya,
berdasarkan data dari Riskesdas pada tahun 2018, 12 juta penduduk
berusia di atas 15 tahun mengalami depresi dan 19 juta penduduk di atas
15 tahun mengalami gangguan mental emosional.
b. Rendahnya pemahaman mengenai kesehatan mental
Di Indonesia, informasi mengenai kesehatan mental masih belum
banyak dipahami oleh masyarakat. Minimnya pengetahuan tentang
kesehatan mental membuat penilaian masyarakat terhadap pengidap
gangguan kesehatan mental menjadi negatif. Akibatnya, terjadi salah
penanganan terhadap penderita kesehatan mental.
c. Kesehatan mental di Indonesia masih jadi hal tabu
Keterbatasan pemahaman dan pengetahuan mengenai kesehatan
mental di Indonesia tidak dapat lepas dari nilai-nilai tradisi budaya atau
kepercayaan masyarakat. Sebagian masyarakat masih mempercayai
penyebab kesehatan mental berasal dari hal-hal supernatural atau
takhayul sehingga pengidap gangguan kesehatan mental menganggap
gangguan yang terjadi dalam dirinya adalah aib. Pemahaman ini
membuat orang yang membutuhkan bantuan tenaga ahli enggan untuk

13
ditangani. Tak jarang, pengidap gangguan kesehatan mental merasa
malu untuk berada di masyarakat.
d. Diskriminasi terhadap pengidap gangguan kesehatan mental
Kesadaran masyarakat yang rendah tidak jarang mengakibatkan
munculnya diskriminasi terhadap pengidap gangguan kesehatan mental.
Bentuk diskriminasi tersebut dapat berupa perlakuan kasar, penghinaan,
maupun perundungan. Tak jarang pula masyarakat menjauhi pengidap
gangguan kesehatan mental serta keluarganya.
e. Akses terhadap kesehatan mental belum merata
Akses terhadap kesehatan mental di Indonesia masih sulit.
Anggaran pemerintah untuk kesehatan mental, kapasitas rumah sakit
jiwa, serta bangsal psikiatri di rumah sakit umum masih belum dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Di Indonesia, ada delapan
provinsi yang tidak memiliki rumah sakit jiwa dan tiga provinsi tidak
memiliki seorang pun psikiater. Kementerian Kesehatan Indonesia
memprediksi setidaknya 90% orang dengan gangguan kesehatan mental
tidak mendapatkan akses terhadap perawatan yang memadai.
2. Tantangankesehatan mental bidang kebidanan
a. Kehamilan
Kehamilan adalah kondisi yang menimbulkan perubahan fisik
maupun psikologi seorang wanita. Ibu hamil di trimester pertama akan
mengalami mual yang membuatnya merasa tidak sehat dan tidak
nyaman, bahkan beberapa ibu hamil biasa jadi menolak kehamilannya
tersebut. Pada trimester kedua, ibu hamil mulai merasa nyaman dengan
kehamilannya, namun di trimester ketiga saat janin sudah memasuki
rongga panggul, ibu hamil bisa jadi merasa cemas dan khawatir
dikarenakan ketakutan akan kehilangan perhatian spesial yang
didapatkan semasa kehamilan (Idaningsih A, Indriani Y, 2021).

14
1) Bagaimana kehamilan dapat mempengaruhi kesehatan mental.
Merasa cemas dan bingung merupakan hal yang wajar bagi
seseorang yang menjalani kehamilan atau ketika segera akan
melahirkan. Namun sumber stress tersebut dapat meningkatan
risiko seseorang untuk mengalami masalah kesehatan mental,
seperti depresi dan gangguan psikosis. Risiko tersebut juga jauh
lebih tinggi jika ibu hamil memiliki riwayat gangguan kesehatan
mental serius sebelumnya. Masalah kesehatan mental pada ibu
hamil juga dapat bertahan hingga beberapa waktu setelah
melahirkan. Tidak hanya itu, masalah kesehatan mental yang lebih
ringan seperti gangguan mood dan merasa cemas, bisa menjadi
lebih serius pada waktu tersebut. Akibatnya, hal tersebut tidak
hanya mempengaruhi kesehatan mental dan fisik seorang ibu pasca
melahirkan, namun juga dapat mengganggu kedekatan antara ibu
dan bayi yang baru lahir (Idaningsih A, Indriani Y, 2021).
2) Pemicu masalah kesehatan mental saat hamil
Menurut Idaningsih A, Indriani Y, (2021) Selain riwayat
gangguan kesehatan mental, beberapa hal juga dapat memicu ibu
hamil mengalami gangguan mental, di antaranya:
a) Kehamilan pada usia remaja
b) Pengalaman mengalami trauma fisik, emosi ataupun kekerasan
seksual
c) Riwayat ketergantungan obat, termasuk perilaku merokok
d) Kurangnya dukungan social
e) Menjadi orang tua tunggal saat hamil
f) Memiliki tingkat sosio-ekonomi rendah
g) Pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga
h) Pengobatan depresi yang tidak tuntas

15
i) Mengalami kesulitan finansialMemiliki pemikiran yang
bertentangan akan kehamilannya
3) Masalah kesehatan mental yang mungkin terjadi saat hamil
Menurut Nuryati T, Amir Y. (2020) Berikut beberapa masalah
kesehatan mental yang dapat muncul pada ibu hamil dan bagaimana
mengatasinya.
a) Depresi
Depresi merupakan gangguan kesehatan mental yang
paling umum pada masa kehamilan. Hal ini sering menjadi
pemicu, dan muncul bersamaan dengan gejala gangguan
kesehatan mental lainnya seperti gangguan kecemasan,
obsessive compulsive disorder, dan gangguan pola makan.
Depresi pada ibu hamil memiliki pola yang bervariasi. Pada
trimester pertama dan ketiga, biasanya depresi akan terasa
makin berat, namun cenderung lebih rendah atau menurun pada
trimester kedua. Depresi saat hamil ditangani sama seperti
depresi pada umumnya dengan pilihan penanganan utama yang
aman bagi janin, seperti terapi perilaku kognitif dan terapi
kejiwaan interpersonal.
b) Panic disorder
Gangguan yang dapat muncul saat masa kehamilan
meskipun wanita tersebut tidak memiliki riwayat pernah
menderita panic disorder. Hal ini dapat muncul dari rasa cemas
dan stress yang ditandai dengan peningkatan hormon kortisol.
Jika tidak ditangani, peningkatan kortisol dapat mempengaruhi
perkembangan janin dalam kandungan. Penanganan tanpa obat
dapat dilakukan dengan cara terapi perilaku kognitif dan
supportif, menerapkan teknik relaksasi, penerapan sleep
hygiene ,serta pengaturan pola makan.

16
c) Obsessive-compulsive disorder (OCD)
OCD adalah gangguan berupa obsesi dan kebiasaan
berulang yang sulit dikendalikan, yang dapat muncul di periode
awal masa kehamilan, dan meningkat seiring masa kehamilan
hingga pasca melahirkan. OCD saat hamil dapat sangat
mengganggu aktivitas ibu hamil dan perlu ditangani dengan
terapi perilaku atau dengan konsumsi obat.
d) Gangguan pola makan
Meskipun hal ini cenderung membaik saat masa
kehamilan, namun gangguan pola masih dapat terjadi saat masa
kehamilan. Gangguan pola makan bukan hanya dapat
mempengaruhi kesiapan ibu hamil untuk melahirkan normal,
tapi juga dapat meningkatan risiko depresi pascamelahirkan
serta dapat berdampak melahirkan bayi berat lahir rendah.
e) Gangguan bipolar
Bipolar disorder merupakan gangguan yang terjadi secara
kambuhan pada ibu hamil, namun kejadiannya lebih sering
terjadi pasca melahirkan. Seperti gangguan bipolar pada
umumnya, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan obat
mood stabilizer, namun memerlukan pemeriksaan serta
pertimbangan risiko beserta manfaat. Meskipun demikian,
pengawasan kondisi kejiwaan dan perilaku dari ibu hamil
dengan bipolar adalah hal yang paling penting.
f) Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan psikosis yang dapat
meningkat ataupun menurun pada masa kehamilan. Ibu hamil
dengan gangguan ini membutuhkan pengawasan dan
penanganan oleh dokter. Skizofrenia berdampak pada
kesehatan ibu dan bayi akibat mendapat perawatan yang tidak

17
sesuai, bisa memicu lahir prematur dan berat lahir rendah,
hingga kematian janin dan ibu hamil. Penanganan gejala
psikosis akut pada masa kehamilan sangat diharuskan, untuk
mengurangi intensitas dan dampak skizofrenia. Hal ini
mencakup dukungan, pengobatan, dan penanganan intensif di
rumah sakit. Terapi elektroconvulsive juga diperlukan untuk
menangani gejala depresi pada penderita.
b. Persalinan dan nifas
Setelah persalinan, karena perubahan hormon, perubahan peran,
tantagan dalam merawat bayi dan masalah keluarga, ibu dapat berisiko
lebih tinggi menderita gangguan keadaan emosi. Depresi
pascapersalinan dapat memengaruhi kemampuan ibu dalam merawat
bayinya dan berdampak pada kesehatan fisik, perkembangan kognitif
serta perkembangan emosi dan perilaku bayi. Pasangan ibu yang
mengalami depresi pasapersalinan juga berisiko lebih tinggi menderita
gangguan emosional. Dengan demikian, memelihara kesehatan jiwa ibu
mulai dari periode prapersalinan hingga pascapersalinan adalah sangat
penting (Pratiwi K, Rusinani D, 2020).
Menurut Pratiwi K, Rusinani D, (2020) Penyebab pasti depresi
sesudah persalinan belum diketahui. Penemuan riset menunjukkan
bahwa faktor-faktor risiko yang tercantum dalam tabel di bawah ini
berhubungan dengan peningkatan risiko depresi pascapersalinan:
1) Faktor Klinis
a) Kondisi psikiatris sebelumnya yang termasuk gangguan depresi
dan kegelisahan
b) Depresi atau kegelisahan prapersalinan
2) Faktor psikologis
a) Kepribadian yang rentan gelisah
b) Kurangnya dukungan sosial

18
c) Hubungan perkawinan yang buruk
d) Hubungan dengan ipar tidak memuaskan
e) Kekerasan dalam rumah tangga
f) Kesulitan keuangan
g) Peristiwa dalam hidup yang membuat tertekan
3) Faktor yang berhubungan dengan obstetri dan bayi
a) Komplikasi perinatal
b) Bagian sesar darurat
c) Keguguran / kesulitan kehamilan sebelumnya
d) Kehamilan yang tidak terencana
e) Bayi lahir dengan penyakit bawaan/ kelahiran prematur
E. Peran Bidan dalam Mempromosikan Kesehatan Mental yang Baik/Posesif
pada Perempuan dalam Masa Reproduksi
1. Penanganan gangguan mental pada ibu hamil
Pratiwi K, Rusinani D (2020), penanganan mental ibu hamil sebagi
berikut:
a. Perencanaan Kehamilan, sebaiknya kehamilannya perlu direncanakan
atau dikonsultasikan dengan ahli kebidanan dan kandungan, dan psikiater
tentang masalah resiko serta keuntungan setiap pemakaian obat obat
psikofarmakologi.
b. Rawat Inap, sebaiknya dipikirkan sebagai pilihan pengobatan
psikofarmakologis pada trimester I untuk kasus kehamilan yang tidak
direncanakan, dimana pengobatan harus dihentikan segera dan apabila
terdapat riwayat gangguan yang sama.
c. Perawatan seperti terapi perilaku kognitif
d. Terapi berbicara tatap muka
e. Konseling dan mencari tahu apa sebabnya, selanjutnya dapat diberikan semangat
dan kegiatan untuk meningkatkan perasaan positif
f. Memberikan kebahagiaan sepenuhnya pada ibu hamil tersebut

19
2. Peran Bidan Sebagai Advokator
Advokasi merupakan proses menciptakan dukungan, membangun
konsensus, membantu perkembangan suatu iklim yang menyenangkan dan
suatu lingkungan yang suportif terhadap suatu sebab atau issu tertentu
melalui serangkaian tindakan yang direncanakan dengan baik.
Persyaratan Advokasi yaitu:
a. Credible, artinya program yang ditawarkan harus dapat meyakinkan para
penentu kebijakan
b. Feasible, artinya program tersebut harus baik secara teknis, politik,
maupun ekonomi
c. Urgent, artinya program tersebut memiliki tingkat urgensi yang tinggi
d. High priority, artinya program tersebut memiliki prioritas yang tinggi
3. Peran Sebagai Edukator
a. Memberikan pendidikan kesehatan dan konseling dalam asuhan dan
pelayanan kebidanan di setiap tatanan pelayanan kesehatan agar mereka
mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka.Fungsi bidan
sebagai edukator
b. Melaksanakan pendidikan kesehatan dan konseling dalam asuhan dan
pelayanan kebidanan.
c. Membina kader dan kelompok masyarakat
d. Mentorship dan preseptorsip bagi calon tenaga kesehatan dan bidan baru.
4. Peran Sebagai Fasilitator yaitu bidan mempunyai tanggung jawab untuk
menciptakan, mengkondisikan iklim kelompok yang harmonis, serta
menfasilitasi terjadinya proses saling belajar dalam kelompok.
5. Peran Sebagai Motivator yaitu upaya yang di lakukan bidan sebagai
pendamping adalah menyadarkan dan mendorong kelompok untuk mengenali
potensi dan masalah, dan dapat mengembangkan potensinya untuk
memecahkan masalah itu.

20
Upaya pembangunan keluarga sejahtera dan pemberdayaan bidan tidak
bisa dipisahkan. Bidan adalah ujung tombak pembangunan keluarga sejahtera
dari sudut kesehatan dan pemberdayaan lainnya. Bidan menempati posisi
yang strategis karena biasanya di tingkat desa merupakan kelompok
profesional yang jarang ada tandingannya. Masyarakat dan keluarga
Indonesia di desa, dalam keadaan hampir tidak siap tempur, menghadapi
ledakan generasi muda yang sangat dahsyat. Bidan dapat mengambil peran
yang sangat penting dalam membantu keluarga Indonesia mengantar anak-
anak dan remaja tumbuh kembang untuk berjuang membangun diri dan nusa
bangsanya
F. Kebijakan Asuhan pada Perempuan dengan Gangguan Kesehatan Baik
secara Lokal, Nasional dan Internasional
Perumusan kebijakan kesehatan mental di Indonesia terbilang mengalami
kemajuan apabila dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya, meskipun
kemajuannya cenderung lambat. Termasuk usaha-usaha yang telah dilakukan
oleh pemerintah rupanya belum mampu menangani problem kesehatan mental
sampai ke akar-akarnya. Perumusan kebijakan kesehatan mental belum didukung
oleh data penunjang yang adekuat, sama halnya seperti yang dialami banyak
negara berkembang lainnya. Padahal data yang berkualitas mengenai distribusi
dan dampak penyakit sangat dibutuhkan untuk merumuskan kebijakan yang
efektif serta penting untuk proses perencanaan layanan (Ridlo I, Zein R, 2018).
Problem kesenjangan perawatan sejatinya tidak hanya terjadi di Indonesia,
melainkan di seluruh dunia. Di seluruh dunia, tercatat sekitar 32,2% penderita
skizofrenia yang tidak mendapatkan akses ke layanan kesehatan.18 Sedangkan di
Indonesia angkanya jauh lebih mencengangkan, yakni 96,5% penderita
skizofrenia tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai. Artinya, kurang
dari 10% penderita skizofrenia mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan
(Ridlo I, Zein R, 2018).

21
Selama ini, layanan kesehatan mental banyak berpusat di rumah sakit jiwa
milik pemerintah dan swasta yang jumlahnya hanya 48 dan hanya ada di 26
propinsi di Indonesia.13 Lebih lanjut, jumlah tempat tidur yang dialokasikan
untuk pasien psikiatrik hanya ada 7500 tempat tidur di seluruh Indonesia.
Keterbatasan sumber daya yang dimiliki rumah sakit jiwa tentunya memaksa
pemerintah untuk mengubah orientasinya dari pelayanan kesehatan mental
berbasis rujukan (pasien gangguan mental dirujuk ke rumah sakit jiwa) menjadi
kesehatan mental komunitas dasar (pasien dirawat di layanan kesehatan primer)
(Ridlo I, Zein R, 2018).
Faktanya, gangguan kesehatan mental adalah ancaman global yang juga
harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Kebijakan kesehatan mental yang
evidence-based tentunya tak mungkin dapat disusun apabila data epidemiologis
yang berkualitas tidak tersedia, sehingga langkah pertama yang harus diambil
oleh pemerintah adalah berupaya untuk memotret kondisi kesehatan mental
masyarakat Indonesia melalui riset yang komperhensif. Dengan data yang
komperhensif, perancangan program-program kunci dan alokasi anggaran
tentunya akan dapat diatur secara proporsional. Persoalan politik anggaran adalah
hal selanjutnya yang harus diselesaikan pemerintah. Tanpa ada komitmen politik
yang ditunjukkan oleh pemerintah untuk mengalokasikan anggaran yang cukup
untuk membuka akses layanan kesehatan mental, tentunya persoalan mengenai
kesenjangan perawatan tak akan pernah selesai. Pemerintah harus mulai
memprioritaskan untuk membangun puskesmas-puskesmas yang mampu
menyediakan layanan kesehatan mental yang berkualitas, disertai dengan
menyediakan tenaga kesehatan mental yang professional (Ridlo I, Zein R, 2018).
Menurut Kemenkes (2019) upaya atau kegiatan program pencegahan
kesehatan mental di Indinesia yaitu
1. Advokasi dan Sosialisasi kepada Gubernur/Bupati/Wali kota, DPRD
Provinsi/Kabupaten/Kota untuk membuat kebijakan yang memihak kepada
upaya peningkatan Kesehatan Jiwa/mental Masyarakat.

22
2. Mengoptimalkan peran Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota dalam
upaya kesehatan jiwa/mental.
3. Meningkatkan cakupan dan pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan
kesehatan.
4. Membangun kemitraan yang efektif dengan lintas program/sektor, organisasi
profesi, swasta dan LSM dengan membentuk Tim Pengawas Kesehatan
Jiwa/mental Masyarakat di provinsi dan kabupaten/kota.
5. Mendorong pemberdayaan keluarga dan masyarakat dalam upaya kesehatan
jiwa/mental.
6. Mengembangkan sistem informasi kesehatan jiwa/mental melalui berbagai
survei dan penelitian

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari
individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk
mengelola stres,bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta ikut
berpartisipasidi masyarakat sekitar gangguan kesehatan mental yang dapat
muncul di masa prenatal kesehatan mental yang baik seperti merasa tenang
dan bahagia, sangat diperlukan saat masa prenatal, karena sangat
mempengaruhi kesehatan seorang ibu hamil dan bayi dalam kandungannya.
Munculnya gangguan kesehatan mental saat prenatal dapat memicu perilaku
berisiko bagi ibu seperti merokok, konsumsi alkohol, asupan nutrisi yang
tidak sesuai, menghindari pemeriksaan kesehatan, atau memicu perilaku
berbahaya bagi ibu.
2. Perubahan emosi pada ibu hamil, bersakin dan nifas yaitu:
a. Perubahan emosi ibu hamil setiap trimester senagai berikut: Perubahan
emosional trimester I (Penyesuaian) ialah penurunan kemauan seksual
karena letih dan mual, perubahan suasana hati seperti depresi atau
khawatir, ibu mulai berpikir mengenai bayi dan kesejahteraannya dan
kekhawatiran pada bentuk penampilan diri yang kurang menarik, dan
menurunnya aktifitas seksual, Perubahan emosional trimester II
(Kesehatan yang baik) terjadi pada bulan kelima kehamilan terasa nyata
karena bayi sudah mulai bergerak sehingga ibu mulai memperhatikan
bayi dan memikirkan apakah bayinya akan dilahirkan sehat. Rasa cemas
pada ibu hamil akan terus meningkat seiring bertambah usia
kehamilannya dan Perubahan emosional trimester III (Penantian dengan
penuh kewaspadaan) terutama pada bulan-bulan terakhir kehamilan
biasanya gembira bercampur takut karena kehamilannya telah

24
mendekati persalinan. Kekhawatiran ibu hamil biasanya seperti apa
yang akan terjadi pasa saat melahirkan, apakah bayi lahir sehat, dan
tugas-tugas apa yang dilakukan setelah kelahiran. Pemikiran dan
perasaan seperti ini sangat sering terjadi pada ibu hamil. Sebaiknya
kecemasan seperti ini dikemukakan istri kepada suaminya.
b. Perubahan psikologis seorang wanita yang sedang mengalami persalinan
sangat bervariasi, tergantung pada persiapan dan bimbingan antisipasi
yang diterima selama persiapan menghadapi persalinan, dukungan yang
diterima wanita dari pasangannya, keluarga dan orang terdekat lainnya.
c. Perubahan emosi ibu secara umum antara lain: Thrilled dan excaited,
Overwhelmed, Let down, Weepy dan Feeling beat up.
3. Faktor yang berperan dalam munculnya persoalan psikologis pada masa
prenatal diantaranya adalah faktor biologis (seperti anemia), faktor
demografis (misalnya, kemiskinan), hubungan interpersoanal (misalnya,
KDRT, kehamilan yang tidak diharapkan), faktor kepribadian yang lemah
(seperti, keyakinan diri dan penghargaan diri yang rendah). Selain itu juga
terdapat faktor-faktor yang terkait dengan budaya, terutama pada masyarakat
Asia, seperti preferensi terhadap jenis kelamin tertentu
4. Secara umum tantangan kesehatan mental di Indonesia antara lain sebagai
berikut: Stigma terhadap pengidap gangguan kesehatan mental, Rendahnya
pemahaman mengenai kesehatan mental, Kesehatan mental di Indonesia
masih jadi hal tabu, Diskriminasi terhadap pengidap gangguan kesehatan
mental dan Akses terhadap kesehatan mental belum merata.
5. Penanganan kesehatan mental yaitu Perencanaan Kehamilan, sebaiknya
kehamilannya perlu direncanakan atau dikonsultasikan dengan ahli
kebidanan dan kandungan, dan psikiater tentang masalah resiko serta
keuntungan setiap pemakaian obat obat psikofarmakologi, Rawat Inap,
sebaiknya dipikirkan sebagai pilihan pengobatan psikofarmakologis pada
trimester I untuk kasus kehamilan yang tidak direncanakan, dimana

25
pengobatan harus dihentikan segera dan apabila terdapat riwayat gangguan
yang sama, Perawatan seperti terapi perilaku kognitif , Terapi berbicara tatap
muka dan Konseling dan mencari tahu apa sebabnya, selanjutnya dapat diberikan
semangat dan kegiatan untuk meningkatkan perasaan positif dan Memberikan
kebahagiaan sepenuhnya pada ibu hamil, bersalin dan nifas tersebut
6. Upaya atau kegiatan program pencegahan kesehatan mental di Indinesia
yaitu
a. Advokasi dan Sosialisasi kepada Gubernur/Bupati/Wali kota, DPRD
Provinsi/Kabupaten/Kota untuk membuat kebijakan yang memihak
kepada upaya peningkatan Kesehatan Jiwa/mental Masyarakat.
b. Mengoptimalkan peran Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota
dalam upaya kesehatan jiwa/mental.
c. Meningkatkan cakupan dan pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan
kesehatan.
d. Membangun kemitraan yang efektif dengan lintas program/sektor,
organisasi profesi, swasta dan LSM dengan membentuk Tim Pengawas
Kesehatan Jiwa/mental Masyarakat di provinsi dan kabupaten/kota.
e. Mendorong pemberdayaan keluarga dan masyarakat dalam upaya
kesehatan jiwa/mental.
f. Mengembangkan sistem informasi kesehatan jiwa/mental melalui
berbagai survei dan penelitian
B. Saran
Diharapkan dengan makalah ini dapat menjadi bahan bacaan dan
menambah wawasan mengenai kesehatan mental masa prenatal, serta bidan,
kelyarga, masyarakat serta pemerintah bisa membantu setiap individu dala
penanganan masalah kesehatan mental yang dialami terutama pada masa
prenatal.

DAFTAR PUSTAKA

26
Idaningsih A, Indriani Y. (2021). Psikologi Kebidanan. Rumah Pusataka.
https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=6AlBEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR4&dq=psikologi+untuk
+kebidanan&ots=GcJuIz5cR0&sig=KDdR3ZhLfcb-
5lEv6z9TKTmoh7k&redir_esc=y#v=onepage&q=psikologi%20untuk
%20kebidanan&f=false.

Kartal, Y.A., & Oskay, U.Y. (2017). Anxiety, depression, and coping with stress
style of pregnant women with preterm labor risk. International Journal of
Caring Sciences, vol. 10 (02), 716-725.

Kemenkes RI (2019). Situasi kesehatan jiwa di Indonesia. Pusat data dan


informasi kementrian kesehatan Repuvlik Indonesia. Jakarta.

Nikma N, (2020). Gangguan Psikologi Dalam Kebidanan Dan Penatalaksanaan.


Stikes Ngudia Husada. Madura.

Nuryati T, Amir Y. (2020). Analisis Kesehatan Mental Ibu Hamil, Faktor


Penyebab, Dan Kebutuhan Dukungan Sosial Di Wilayah Kerja Puskesmas
Bojong Menteng, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi.
file:///C:/Users/HP/Downloads/Laporan%20Penelitian%20Kesehatan
%20Mental%20Ibu%20Hamil.pdf.

Pratiwi K, Rusinani D. (2020). Psikologi Perkembangan dalam Siklus Hidup


Wanita. Deepbulish Publisher.
https://www.google.co.id/books/edition/Buku_Ajar_Psikologi_Perkemban
gan_Dalam_S/zZoCEAAAQBAJ?
hl=id&gbpv=1&dq=psikologi+masa+persalinan&printsec=frontcover.

Rahayu P, dkk (2021). Pengantar Psikologi Untuk Kebidanan. Yayasan Kita


Menulis. https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=aQYWEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR13&dq=psikologi+unt
uk+kebidanan&ots=4xLUpbRDb3&sig=3kKjOOflISiFo2JWlidd2gNkg7I
&redir_esc=y#v=onepage&q=psikologi%20untuk%20kebidanan&f=false.

Ridlo I, Zein R (2018). Arah Kebijakan Kesehatan Mental: Tren Global dan
Nasional Serta Tantangan Aktual. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol 46
(1). 45-52.
Widyastuti, N. V., Herlansyah, F. A., & Musruroh, L. (2018). Perkembangan
Masa Prenatal dan Kelahiran. IAIN Ponorogo.

27
Wulandari R, dkk. (2021). Asuhan Kebidanan Kehamilan. Media Sain Indonesia.
https://www.google.co.id/books/edition/Asuhan_Kebidanan_Kehamilan/
mZ5BEAAAQBAJ?
hl=id&gbpv=1&dq=psikologi+masa+kehamilan&printsec=frontcover

Menurut WHO (World Health Organization) (2018).

28

Anda mungkin juga menyukai