Anda di halaman 1dari 20

Transactional Leadership,

Tranformational Leadership
Dan
Kritik dan Jawaban terhadap
Konsep Transformational
Leadership
Kepemimpinan transaksional
adalah berfokus pada hasil.
Pemimpin transaksional berusaha
mengarahkan perilaku pencapaian
tujuan kepada bawahan, dengan
cara menawarkan reward atau
memberi punishment atau
kombinasinya, agar tugas selesai
dan tujuan tercapai.
Pemimpin transaksional yang efektif adalah
pemimpin yang benar-benar mengenali hal yang
diingini dan ditakuti oleh bawahannya, sehingga
bisa memberi ‘perlakuan’ yang khas pada setiap
bawahannya (Kuhnert & Lewis, 1987).
Muchinsky (1987) menyatakan bahwa keadilan
sendiri adalah persepsi terhadap dua hal.
Pertama adalah perbandingan intrapersonal.
Individu melakukan perbandingan antara
harapan dengan kenyataan yang ditemuinya
dalam pekerjaan. Jika harapan yang dimiliki
individu sesuai dengan kenyataan yang ditemui
maka individu memersepsikan sebagai adil.
Namun jika harapan dan kenyataan tidak sesuai,
di mana kondisi kenyataan lebih rendah
daripada yang diharapkan, maka individu akan
memersepsikan tidak adil.
Kedua hal tersebut adalah teori perbandingan
interpersonal. Individu membandingkan antara dirinya
dengan orang lain yang bekerja pada pekerjaan yang
sama. Jika hal yang didapat oleh individu tersebut lebih
baik atau minimal sama dengan yang diperoleh orang
lain maka individu akan memersepsikan situasi itu
sebagai adil. Namun, jika yang diterima lebih rendah,
individu akan menganggap itu tidak adil.
Kompetensi lain yang dibutuhkan
pemimpin transaksional adalah kemampuan
memberi kritik yang bersifat korektif. Ini
adalah umpan balik negatif ditambah dengan
penguatan negatif.
Pemimpin transaksional dapat memiliki
dua pilihan strategi.
 Pertama, pemimpin dapat
memonitor karyawan,
memerhatikan kesalahan dan
pelanggaran, kemudian mengambil
tindakan korektif.
• Kedua, pemimpin dapat memantau
hasil kerja, mengawasi pekerjaan
yang di bawah standar, kemudian
mengambil tindakan korektif.
Berdasarkan uraian di atas, seharusnya
kita menyadari bahwa sebenarnya banyak
pemimpin yang mengaku menganut teori
transformational leadership sebenarnya
juga menerapkan praktik-praktik
transactional leadership dalam organisasi.
Inilah yang coba diluruskan oleh Bass
(1990) dalam tulisannya.
Inspirational Motivation

Individualized consideration Idealized Influence

Intellectual Stimulation
Kepemimpinan transaksional
adalah berfokus pada manusia.
Bukan berarti mereka tidak
mengarahkan perhatian pada
hasil, namun hasil tidak menjadi
prioritas kepemimpinannya
dibanding manusia.
Kedua faktor transaksional dan
keempat faktor transformasional
seolah memiliki overlap di beberapa
aspek. Misalnya, faktor contingent
reward dengan individual
consideration. Keduanya sebenarnya
mementingkan pertimbangan
individual dalam memberikan sesuatu
atau dalam sebuah pengambilan
keputusan.
Kritik utama yang selalu muncul
adalah karakteristik transformational
leadership dianggap seperti utopia,
terlalu sempurna untuk dikejar.
Cornelius (1985), bahkan
menyatakan karakteristik-
karakteristik yang disebutkan itu
seperti sesuatu bakat given yang
tidak mungkin diajarkan.
Bass (1990) menjawab kritikan itu dengan
menyatakan bahwa, “Transformational
leadership can be learned, and it can—and
should—be the subject of management training
and development. Research has shown that
leaders at all levels can be trained to be
charismatic.”
(Kepemimpinan transformasional dapat dipelajari.
Itu dapat dan harus menjadi salah satu materi
pembelajaran dalam pelatihan dan pengembangan
pemimpin. Riset menunjukkan bahwa pemimpin di
semua level dapat dilatih
sampai menjadi karismatik)
Transformational leadership sering dianggap sebagai konsep
kepemimpinan yang lembek (soft). Tidak ada hukuman, terlalu
fokus pada manusia, sampai melupakan hasil.
Transformational leadership sendiri
sesungguhnya adalah seni
menyeimbangkan. Keseimbangan antara
fokus pada proses dan fokus pada hasil.
Keseimbangan antara fokus pada visi
organisasi, kelompok, sekaligus
mempertimbangkan visi individu demi
pengembangan individu itu.
Anon (2010) menyatakan bahwa pemimpin perlu
belajar untuk beradaptasi dan eksplorasi terhadap
berbagai gaya dan strategi leadership untuk
menghadapi situasi yang kompleks dan beragam.
Stonehouse (2011), menyatakan kunci keberhasilan
memimpin adalah bukan menjadi rigid pada pilihan
gayanya, tapi bergerak antara berbagai gaya yang
berbeda sesuai tuntutan situasi. Fleksibilitas dan
ketrampilan adaptasi itu yang akan membedakan satu
leader dengan lainnya.
Seorang pemimpin harus mampu
beradaptasi dari kepemimpinan
transaksional ke kepemimpinan
transformasional sesuai dengan
situasi dan bawahan seperti apa
yang sedang ia hadapi.
Kepemimpinan transformasional dianggap sebagai
kepemimpinan transaksional yang diperhalus saja.
Pemimpin transaksional memberikan reward dan
punishment yang berasal dari luar diri bawahan dan
dalam bentuk material atau bisa juga dalam bentuk
pseudo-material (nama jabatan, seragam, tanda
kepangkatan, skor kinerja yang tinggi, award, dan
lain-lain). Sementara, pemimpin transformasional
memberikan reward dan punishment yang berasal
dari dalam diri bawahan dan dalam bentuk
pemaknaan.
Maka, meskipun sekilas sama, namun
kepemimpinan transaksional dan
kepemimpinan transformasional tetap
berbeda. Dari sisi bawahan, reward atau
punishment yang berasal dari luar diri
(eksternal), cenderung bersifat temporer
dan tidak bertahan lama. Bila stimulus
dicabut, perilaku tidak akan menetap.
Sebaliknya, reward atau punishment
yang tumbuh dari dalam diri akan
permanen dan bertahan lama.

Anda mungkin juga menyukai