Anda di halaman 1dari 23

BUKU BAHAN AJAR MAHASISWA

KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL KH. HASYIM ASYARI DI


PONDOK PESANTREN TEBUIRENG JOMBANG

MOHAMMAD SYAUQI
BAB I

PENGANTAR TEORI KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL

Tujuan Intruksional

Setelah mempelajari Bab ini, Mahasiswa diharapkan mampu:

Memahami pengertian transaksional

Menjelaskan teori transaksional

Uraian Materi

1. Pengertian Kepemipinan Transaksional

Kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang berorientasi pada


hubungan kepala sekolah dan pengawas sekolah, warga sekolah, dan stakeholders
sekolah lainnya berdasarkan pada pertukaran beberapa sumber yang berharga
melalui kesepakatan bersama. Sumber daya yang berharga itu contohnya adalah
uang, benda bergerak (kendaraan bermotor) atau tidak bergerak (rumah atau
tanah), jabatan, atau kemudahan fasilitas lainnya.

Definisi transaksional menurut Miller dan Miller’s (2001) merujujuk pada


kepemimpinan traksaksional sebagai proses pertukaran. Esensi dari
kepemimpinan transaksional adalah kesepakatan antara pemimpin dengan yang
dipimpin akan kebagian apa dan berapa yang saling menguntungkan.

Pemimpin transaksional mempraktikkan Management-By-Exception


(MBE) dan ganjaran (hadiah). Management-By-Exciption meliputi aktif dan pasif.
Management-By-Exception aktif berarti pemimpin memantau, mencegah
penyimpangan standar, dan mendukung prosedur. Management-By-Exception
pasif berarti pemimpin menerapkan tujuan kerja dan standar kinerja, kemudian
membiarkan sampai muncul masalah. Kepemimpinan transaksional adalah pola
kepemimpinan yang mendasarkan relasi dengan guru yang didasarkan atas
pertukaran sumber daya. Kepemimpinan transaksional merupakan pengembangan
gaya kepemimpinan otoriter menjadi transaksional. Pemimpin menurut teori
transaksional fokus pada transaksi. Kepemimpinan transaksional selanjutnya
berkembang menjadi kepemimpinan transformasional.

Menurt Bass (1985) pemimpin transaksional memotivasi pengikutnya


dengan cara menukar imbalan untuk perkerjaan atau tugas yang telah
dilaksanakan misalnya dengan penghargaan, pujian, terhadap pengikutnya yang
melakukan kinerja yang tinggi. Tetapi sebaliknya akan memberikan penalti
(punishment) terhadap pengikutnya yang mempunyai kinerja yang rendah atau
berada dibawah target. Menurut Bass (1990) dan Hughes, et al, (2002) imbalan
akan mempengaruhi motivasi bawahan dan selanjutnya akan mempengaruhi
kinerja dan keputusan bawahan. Pertukaran mengenai imbalan didasarkan pada
kesepakatan menegnai tugas yang harus dilaksanakan. Pemimpin transaksional
selalu mendorong pengikutnya untuk mencapai tingkat kinerja yang telah
disepakati bersama.

Menurut Burn (1978) gaya kepemimpinan transaksional merupakan


kepemimpinan yang melakukan transaksi memotivasi para pengikut dengan
menyerukan kepentingan pribadi mereka. Lebih lanjut Yukl (2010)
kepemimpinan transaksional dapat melibatkan nilai-nilai tetapi nilai tersebut
relevan dengan proses pertukaran seperti kejujuran, tanggung jawab, dan timbal
balik. Pemimpin tansaksional membantu para pengikut mengindentifikasi apa
yang harus dilakukan, dengan identifikasi tersebut pemimpin harus
mempertimbangkan konsep diri dan selfesteem dari bawahan (Ivancevich dan
Matteson, 2006). Indiktor kepemimpinan transaksional yang digunakan dalam
penelitian ini, menurut Bass (1990) dalam Mujiasih dan Hadi (2003):

2. Teori Kepemimpinan Transaksional


a. Imbalan Kontingen

Pemimpin memberitahukan bawahan tentang apa yang harus dilakukan


bawahan jika ingin mendapatkan imbalan tertentu dan menjamin bawahan akan
memperoleh apa yang diinginkannya sebagai pengganti usaha yang dilakukan.
Kontrak pertukaran imbalan untuk suatu upaya, menjanjikan imbalan bagi mereka
yang melakukan kinerja dengan baik, menghargai prestasi kerja. Pada
kepemimpinan transaksional, pemberian imbalan sesuai dengan upaya
penyelesaian pekerjaan yang dilakukan pengikut atau bawahan. Bentuk
kesepakatan ini merupakan bentuk pertukaran aktif antara pemimpin dan
pengikut, yaitu bawahan akan menerima imbalan atas target tujuan tugas atau
pekerjaan yang diupayakan dan target tersebut merupakan hasil kesepakatan
antara keduanya. Selain itu, pemimpin transaksional bertransaksi dengan bawahan
dengan memfokuskan pada aspek kesalahan yang dilakukan bawahan, menunda
keputusan, atau hal-hal lain yang kemungkinan mempengaruhi terjadinya
kesalahan.

b. Manajemen Eksepsi Aktif

Pemimpin berusaha mempertahankan prestasi dan cara kerja dari


bawahannya, apabila ada kesalahan pemimpin langsung bertindak
memperbaikinya. Pemimpin secara aktif mencari apa ada kesalahan dan jika
ditemukan akan mengambil tindakan seperlunya. Pemimpin transaksional
menekankan fungsi manajemen sebagai kontrol, pemimpin secara terus menerus
melakukan pengawasan terhadap bawahanya untuk mengantisipasi adanya adanya
kesalahan. Namun demikian apabila terjadi kesalahan pemimpin akan melakukan
tindakan koreksi.

c. Manajemen Eksepsi Pasif

Pemimpin hanya bertindak jika ada laporan kesalahan, sehingga tanpa ada
informasi maka pemimpin tidak mengambil tindakan. Pemimpin melakukan
intervensi, kritik dan koreksi setelah kesalahan terjadi dan standar atau target yang
telah disepakati tidak tercapai, sehingga pemimpin hanya menunggu semua proses
dalam tugas atau pekerjaan setelah selesai.

d. Teori Motivasi

Motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi


individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu (Rivai &
Sagala, 2009), Koontz (dalam Notoatmodjo, 2009) mendenisikan motivasi yaitu
“Motivasi mengacu pada dorongan dan usaha untuk memuaskan kebutuhan atau
suatu tujuan”. Berdasarkan definisi motivasi yang telah dirumuskan oleh para ahli,
dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu dorongan yang dimiliki oleh
setiap individu dalam mengarahkan kemampuan dan keterampilannya dalam
tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan psikologis yang
nantinya berdampak pada pencapaian kinerja yang optimal.

Teori motivasi sendiri dibagi menjadi dua yaitu: Teori Proses dan Teori
Kepuasan. Teori proses menekankan pada bagaimana dan dengan tujuan apa
setiap individu didorong agar melakukan tugasnya dengan maksimal. Teori proses
ini dianut oleh Edwin Locke dengan teori penetapan tujuan, Victor Vroom dengan
teori harapan, Stacy Adams dengan teori keadilan, serta Porter dan Lawler dengan
teori kepuasan kinerja.

Sedangkan, teori kepuasaan menjelaskan arti pentingnya pemahaman


faktor-faktor yang ada di dalam individu yang menyebabkan mereka bertingkah
laku tertentu. Teori ini membahas bahwa individu memiliki kebutuhan-kebutuhan
fisiologis dan psikologis tertentu yang memuaskan seseorang dan penyebab
seseorang itu termotivasi melakukan sesuatu untuk memenuhi kepuasaan tersebut.

Teori Trikotomi Kebutuhan McClelland dalam Mangkunegara (2009)


dalam teorinya menyatakan bahwa produktivitas seseorang dipengaruhi “virus
mental” yang ada di dalam dirinya. Virus mental adalah kondisi jiwa yang
mendorong seseorang untuk dapat mencapai hasil maksimal. Virus mental yang
dimaksud adalah kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan kepuasan, dan
kebutuhan akan afiliasi.

e. Kebutuhan Prestasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, prestasi adalah hasil yang


dicapai. Prestasi dapat dicapai dengan menggunakan kemampuan intelektual,
spritual, dan emosional, serta ketahanan diri terhadap segala situasi dalam aspek
kehidupan. Kebutuhan prestasi akan mendorong seseorang berprestasi dalam
keadaan bila target yang akan dicapai nyata dan memiliki peluang untuk diperolah
serta cenderung menimbulkan kreatifitas pada seseorang. Kebutuhan prestasi
dirumuskan dan menetapkan bahwa pencapaian perilaku yang terkait adalah hasil
dari konflik antara harapan sukses dan takut gagal. Kecenderungan pendekatan
dan penghindaran terdiri dari fungsi kebutuhan pencapaian, harapan dari
keberhasilan dan kegagalan, dan nilai insentif dari keberhasilan dan kegagalan.

f. Kebutuhan Kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan individu atau kelompok untuk


mempengaruhi tingakah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan
individu tersebut. Seseirang yang memiliki tingkat kebutuhan kekuasaan yang
tinggi cenderung berperilaku lebih tegas. Veroff dalam Nindyati (2014)
mendefiniskan tujuan kebutuhan kekuasaan sebagai mengerahkan pangaruh dan
mencari peningkatan sub-kategori yang sudah ditetapkan sebagai bagian dari
tujuan perilaku untuk memperoleh kebutuhan prestasi

g. Kebutuhan Afiliasi

Afiliasi merupakan pembentukan kontak sosial yang menghasilkan sebuah


hubungan atau pertalian. Seseorang yang memiliki kebutuhan seperti ini tentu
mereka memiliki motivasi untuk persahabatan, menanggung dan bekerjasama
daripada sebagai ajang kompetisi di dalam suatu organisasi.

McClelland dalam Nindyati (2014 menjelaskan bahwa karakter individu


dengan kebutuhan afiliasi yang yang tinggi) cenderung dapat menjaga hubungan
sosial dengan baik, tidak bisa berada di dalam kondisi yang kompetitif, nyaman
dalam norma dan harapan orang lain serta cocok dalam pekerjaan yang
membutuhkan kerja sama tim.

h. Motivasi Berprestasi

Definisi berprestasi Murray (dalam Chaplin, 2004) mendefinisikan


motivasi berprestasi sebagai motif untuk mengatasi rintangan-rintangan atau
berusaha melaksanakan secepat dan sebaik mungkin pekerjaan yang ada. Selain
itu menurut McClelland, Atkinson, Clark, dan Lowell (dalam Meinawati, 2007)
motivasu berprestasi merupakan tujuan dari individu agar berhasil dalam
persaingan dengan standar tinggi. Individu mungkin gagal mencapai tujuan ini,
tetapi memungkinkan individu tersebut untuk mengindentifikasikan tujuan yang
akan dicapai.

McClelland mengemukakan bahwa motivasi berprestasi adalah dorongan


untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien daripada yang
dikerjakan sebelumnya serta lebih berorientasi pada pekerjaan atau tugas
(Robbins, 1986).

McClelland mengemukan bahwa motivasi berprestasi berkaitan dengan


hasrat atau keinginan individu untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-
baiknya, bukan untuk memperoleh penghargaan social atau prestasi melainkan
untuk mencapai kepuasan dalam dirinya. McClelland juga mengemukakan bahwa
orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan lebih memperhatikan
hal-hal yang berhubungan dengan perbaikan kinerja dan belajar lebih baik.

Menurut McClelland dan Atkinsin (dalam Rahmawati, 2006), motivasi


yang paling penting untuk pendidikan adalah motivasi berprestasi, dimana
seseorang cenderung berjuang untuk mencapai sukses atau memilih suatu kegiatan
yang berorientasi untuk tujuan sukses atau gagal.

Ciri Motivasi Berprestasi ada beberapa krakteristik dari individu yang


memiliki motivasi berprestasi yang dijabarkan oleh McClelland (1987), yakni
menyukai tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang, bertanggung jawab secara
personal atas performa kerja, menyukai umpan balik, inovatif.

Rangkuman

1. Kepemimpinan traksaksional sebagai proses pertukaran. Esensi dari


kepemimpinan transaksional adalah kesepakatan antara pemimpin
dengan yang dipimpin akan kebagian apa dan berapa yang saling
menguntungkan.
2. Teori Kepemimpinan Transaksional meliputi : imbalan kontigen,
manajemen eksepsi aktif, manajemen eksepsi pasif, teori motivasi,
kebutuhan prestasi, kebutuhan kekuasaan, kebutuhan afiliasi, dan
kebutuhan berprestasi

Tugas

Jelaskan pengertian kepemimpinan transaksional

Jelaskan konsep dan tau teori kepemimpinan transaksional


BAB II

KEPEMIMPINAN KH. HASYIM AS’ARI

Tujuan Intruksional

Setelah mempelajari Bab ini, Mahasiswa diharapkan mampu:

Memahami gaya kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari

Memahami kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari di lembaga pendidikan


Islam

Memahami kepemimpinan dalam organisasi Nahdlatul Ulama

Memahami kepemimpinan transaksional KH. Hasyim Asy’ari

Uraian Materi

1. Gaya Kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari

Kepemimpinan secara bahasa adalah orang yang mejadi pemimpin di


suatu lembaga atau institusi. Jika secara fungsinya, kepemimpinan adalah suatu
strategi yang dipakai oleh pemimpin untuk memengaruhi kegiatan seseorang atau
kelompok, sebagai kemampuan untuk menggerakkan Secara interaksional
kepemimpinan adalah suatu relasi yang saling memengaruhi antara pemimpin
dengan pengikut (bawahan atau staf) yang menginginkan tercapainya tujuan
bersama. Sedangkan gaya kepemimpinan, merupakan spefikasi kepemimpinan
dari seorang pemimpin tertentu, yang dapat diartikan sebagai gaya perilaku
pemimpin ketika mengatur lembaga atau instansinya.

Gaya kepemimpinan biasanya tidak dapat dipisahkan dengan sistem atau


bentuk pemerintahan dari lembaganya. Ada gaya kepemipinan yang otoriter
karena bentuk pemerintahan negaranya adalah monarki. Tetapi, pengertian ini,
bukan berarti bisa menjadi patokan dalam menganalisa gaya kepemimpinan dari
seseorang. Karena, belakangan ini, muncul pemimpin yang otoriter dari bentuk
pemerintahan negara yang demokratis.
Abdul Karim menyebut istilah manajemen dan kepemimpinan dalam
desertasinya “Kepemimpinan dan Manajemen Kiai dalam Pendidikan” dengan
istilah Gaya, karena beragamnya istilah yang dipakai. Sehingga kemudian,
kepemimpinan sering disebut dengan sebuah cara, perilaku, pola tingkah laku
(perkataan dan tindakan) dan norma perilaku dari seorang pemimpin. Bahkan
Abdul Karim menjelaskan dalam teori Great Man bahwa gaya kepemimpinan
dengan memusatkan pada karakteristik pribadi sorang pemimpin. Klasifikasi gaya
kepemimpinan diantaranya; birokratis, permisif, laissez-faire, partisipatif,
otokratis dan kepemimpinan demokratis.

Pembahasan kepemimpinan dalam manajemen, merupakan suatu


komponen penting yang tidak dapat ditinggalkan bagi sebuah pengembagan
lembaga, organisasi maupun lembaga pendidikan Islam. Dalam suatu lembaga
dikatakan memenuhi komponen strategis dalam pengembangan lembaganya,
biasanya ditentukan dari penerapan pola manajemennya. Sehingga lembaga
tersebut akan menentukan pengembangannya dimulai dari tahap perencanaan
untuk menentukan tujuan dari lembaganya, pengorganisasian, penerapan hingga
kemudian hasil yang diterapkan masih di evaluasi untuk menemukan format yang
lebih baik kedepannya.

Lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren, dalam sejarahnya masih


belum menerapakan pola manajemen dalam lembaganya. Karena masa itu,
pesantren sebagai sebuah wadah bagi umat Islam untuk mencari pengetahuan
agama saja, dari mengajari anak usia dini di surau-surau hingga menjadi basis
kelompok Islam dalam kemerdekaan bangsa Indonesia.

Seiring waktu bergulir, pesantren semakin menemukan jati dirinya sebagai


bagian penting dari pendidikan Islam. Terbukti, ketika pada abad ke-20 pesantren
menjadi cikal bakal dari pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini, ditinjau dari
terobosan-terobosan yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh
pahlawan Nasional sekaligus pemikir pembaruan pendidikan Islam Indonesia.
Terobosan-terobosan pembaruan dalam aspek pendidikan Islam yang
dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari, tentunya tidak terlepas dari kepribadian yang
terdapat dalam sosok beliau. Sosok yang berkarismatik yang dapat menyatukan
seluruh elemen masyarakat dalam kepemimpiannya sebagai tokoh ulama Islam.
Mengeluarkan fatwa jihad untuk melawan dari kekangan penjajah, sehingga
mengakibatkan pertempuran 10 Nopember di Surabaya.

Awal kepemipinan KH. Hasyim Asy’ari terlacak dari pesantren Tebuireng


yang didirikannya. Beliau mendirikan pesantren tersebut, karena menganggap
bahwa untuk merubah masyarakat kearah yang lebih baik harus dimulai dengan
pendidikan.

Kondisi bangsa Indonesia waktu itu masih dalam penjajahan Belanda.


sehingga hal ini menjadi perhatian utama beliau. Di sinilah beliau juga
memberikan peran semangat nasionalismenya. KH. Hasyim Asy’ari dikenal
memiliki sikap yang kurang begitu manis terhadap Belanda. Bahkan, tawaran
Belanda yang akan menganugerahkan bintang jas terbuat dari perak dan emas
pada 1937 ditolaknya.

KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resulusi Jihad. Hal ini terjadi
setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan. Waktu itu NICA
mendompleng pasukan sekutu untuk melaksanakan kembalinya kekuasaan
Belanda dengan dalih melucuti tawanan perang Jepang. Menyikapi hal ini, baliau
kemudian mengundang seluruh ulama dan konsul se-Jawa dan Madura untuk
bermusyawarah dan menghasilkan keputusan bahwa kemerdekaaan yang sudah
doproklamirkan hukumnya wajib dipertahankan dan dibela.

Kemudian pada 21-22 Oktober 1945, untuk merespon datangnya pasukan


sekutu di Surabaya dan beberapa pelabuhan lainnya di Indonesia, beliau
mengumpulkan ulama dan konsul-konsul NU untuk membicarakan langkah-
langkah yang diperlukan.

KH. Hasyim Asy’ari juga memiliki relasi dengan pihak luar dan
koresponden dengan banyak pemimpin-pemimpin dunia Islam pada masa itu,
diantaranya dengan Syeikh Abdul Aziz Tsa’alibi, Sayyidina Aliya ad-Dien
Syairazi, dll.

Sedikitnya ada 4 faktor yang melatar belakangi watak kepemimpinan KH.


Hasyim Asy’ari. Pertama, ia lahir di tengah-tengah meningkatnya islamic
revivalisme baik di Indonesia maupun di seluruh dunia Islam yang berpusat di
Timur-Tengah, khususnya di Makkah. Kedua, orang tua dan kakeknya adalah
pemimpin-pemimpin pesantren yang berpengaruh di desa-desa di Jombang, Jawa
Timur. Ketiga, ia sendiri dilahirkan sebagai seorang yang amat cerdas dan
memiliki bakat kepemimpinan. Ini ia tunjukkan bahwa pada umur yang baru 12
tahun telah mampu mengajar para santri di pesantren orang tuanya. Keempat, dan
faktor ini berhubungan dengan faktor pertama, berkembangnya perasaan anti
kolonial, nasionalisme Arab, dan Plan-Ilsamisme di dunia Islam. Faktor keempat
ini amat penting, yang turut membentuk kepribadian dan watak kepemimpinan
beliau, kerena sewaktu berusia 20-an, selama 8 tahun ia tinggal di Makkah untuk
memperdalam ilmunya. Dan usia muda ini ia penuh idealisme dan sedang giat-
giatnya menuntut pelajaran, serta akan ketinggalannya dengan dunia barat.

2. Kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari di Lembaga Pendidikan


Islam

Kepemimpinan beliau yang diawali dengan bentuk perjuangan agama,


yaitu dengan mendirikan pondok pesantren Tebuireng. Di sinilah letak kegigihan
beliau nantinya sebagai pejuang. Kondisi daerah yang sangat bobrok mendorong
semangatnya untuk segera mendirikan pesantren.

Beliau bukanlah orang yang apatis kepada lingkungan dan sesamanya, tapi
seorang intelektual sekaligus pemimpin yang juga terjun ke lapangan, agar ilmu
yang diperolehnya bisa bermanfaat untuk masyarakat.

Beliau pernah ditawari jabatan startegis di pemerintahan dan menolaknya,


dengan mengatakan bahwa beliau beramal tidak mengaharapkan menjadi
pemimpin atau menduduki suatu jabatan tapi, semata-mata untuk berkhidmah
kepada agama, Negara dan bangsanya untuk mendapat ridla Allah.
Perilaku beliau dalam setiap kondisi tidak pernah berlaku kasar, marah,
atau bersikap emosional. Selalu tersenyum ramah kepada setiap orang, bahkan
pada saat paling genting atau saat-saat sulit. KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang
yang tenang, sabar, dan tidak keburu nafsu. Menghadapi masalah dengan dada
yang lapang, tidak terseret perasaaan. Beliau banyak bekerja, tapi beliau lakukan
pekerjaan-pekerjaannya dengan sabar dan tenang (Asy’ari, 2018).

Bentuk kepemimpinan beliau ketika mendirikan pondok pesantren


Tebuireng, beliau dengan pesantrennya bukan hanya mendidik masyarakat untuk
memberantas kebodohan, tapi beliau juga mengubah masyarakat dari jurang
kegelapan menuju sebuah masyarakat yang sehat dan produktif, serta menjadi
individu yang siap menjadi pemimpin dalam segala bidang.

Selain itu beliau juga memperjuangkan pembaruan sistem pendidikan di


pesantrennya dengan mengenalkan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Hal ini
mendapat kecaman dan teguran dari teman-temannya sendiri, dan dicap
melaukan bid’ah. Namun, beliau kembali maju terus dengan alasan ingin
mempersiapkan lulusan pesantren yang siap terjun di masyarakat (Amiruddin,
2018).

Perubahan politik berikut pemahaman dan cara praktik Islam di Saudi


Arabia juga mempengaruhi kaum pembaru untuk setidaknya meniru dan
menerapkan hal itu di kalangan umat Islam di Indonesia. Inilah kemudian yang
menjadi dasar lahirnya NU. KH. Hasyim Asy’ari memiliki peran yang sangat vital
sebagai arsitek atau pencipta NU di Indonesia. Hal ini dikarenakan karena
beliaulah yang menjadi tokoh yang menulis aturan-aturan dasar bagi organisasi
NU dan pengembangannya yang dipakai sampai kini.

KH. Hasyim Asy’ari adalah pribadi yang besar. Beliau merupakan


pemimpin, panutan, pendidik dan pejuang yang rendah hati. Suka memaafkan
orang, lembut dalam pergaulan, ramah kepada semua tamu yang datang kepada
beliau.
Pondok pesantren Tebuireng yang dulunya adalah pesantren kecil,
kemudian menjadi salah satu pesantren yang sangat berpengaruh merupakan salah
satu hasil dari kepemimpinan beliau yang gigih.

Jasanya yang sangat mencolok adalah perhatiannya di bidang pondok


pesantren, sehinga beliau mampu menyumbangkan usaha-usaha modernisasi
pondok pesantren. Sejarah telah mencatat bahwa KH. Hasyim Asy’ari adalah
tokoh modernisasi pondok pesantren yang pertama di Indonesia. Beliau
menyiapkan kader-kader yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin umat.

Pada 50 tahun pertama abad ke-20, KH. Hasyim Asy’ari sudah menjadi
kiai yang paling berpengaruh dan mengorganisir mereka dalam wadah organisasi
modern, Nahdlatul Ulama.

Tahun 1890, dengan diperkenalkannya sitem pendidikan barat, para


lulusan sekolah tersebut merupakan contoh ideal bagi golongan terdidik
Indonesia. Dalam fase ini, mulai tercipta kelompok elit baru sebagai pemimpin
organisasi-organisasi pemuda yang menjadi inti pergerakan kemerdekaan. Dalam
fase ini peranan KH. Hasyim Asy’ari dan kelompoknya ternyata cukup tangguh.

Mereka dengan caranya sendiri mampu menelorkan kiai-kiai yang kuat


kepemimpinannya, yang relatif dan responsif terhadap perkembangan baru serta
mampu bekerjasama dengan pemimpin-pemimpin pergerakan nasional tersebut.

3. Kepemimpinan dalam Organisasi Nahdlatul Ulama

Organisasi Nahdlatul Ulama adalah organisasi Islam yang didirikan oleh


KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1926. Organisasi ini, memiliki pijakan dalam
bidang ekonomi kerakyatan, wawasan keilmuan, sosial budaya dan wawasan
kebangsaan. Sedangkan tujuan didirikannya organisasi Nahdlatul Ulama untuk
memperkokoh pengetahuan keagamaan kepada masyarakat. Hal ini, tercantum
dalam Statuten Perkoempoelan Nahdlatoul-‘Oelama, fatsal 2.
“Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: “memegang dengan tegoeh
pada salah satoe dari mazhabnja Imam empat, jaitoe Imam Moehammad
bin Idris asj-Sjafi’I, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah an-
Noeman, atau Imam bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang
mendjadikan kemaslahatan Agama Islam” (A’dlom, 2014).

Dapat diketahui dalam draft Statuten Perkoempoelan


Nahdlatoul-‘Oelama, fatsal 2, menjelaskan bahwa awal dari bentuknya organisasi
Nahdlatul Ulama bermaksud untuk mengokohkan paham dan cara bermazhab
kepada Imam yang memiliki dasar keilmuan yang jelas (sanad) dan beberapa
syarat lainnya dalam ilmu pengetahuan agama Islam. Karena masa itu, Indonesia
berada dalam keadaan yang belum ada kesepakatan kolektif dalam bermazhab,
lebih-lebih ketika kondisi di Timur Tengah yang sedang melancarkan paham
Wahabisme, dan pemikiran Muhamammad Abduh yang melepaskan diri dari
bermazhab yang waktu itu sudah menyebar luas di kalangan Islam Indonesia
(Nizar, t.t).

Awal dasawarsa kedua abad ke-20, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud
berencana menjadikan mazhab Wahabi sebagai mazhab resmi Negara dan
berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini
banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap musyrik dan bid’ah. Di
Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan Islam modernis
seperti Muhammadiyah di bawah pempinan KH. Ahmad Dahlan maupun Partai
Serikat Islam Indonesia (PSII) di bawah dipimpin H.O.S Tjokroaminoto.

Sikap Muhammadiyah ini, akibat dari Syekh Achmad Khatib Al-


Minangkabawi yang mendukung beberapa pemikiran Muhammad Abduh
meskipun berbeda dalam beberapa hal. Sehingga KH. Ahmad Dahlan sebagai
murid dari Syekh Achmad Khatib Al-Minangkabawi ketika kembali ke Indonesia
ada yang mengembangkan ide-ide dan gagasan-gagasan Muhammad Abduh
(Baso, 2017)
Pro dan kontra terkait kebijakan pemerintah Saudi Arabia memuncak pada
Kongres Al-Islam IV yang diselenggarakan di Bandung tahun 1925 sewaktu
dicari masukan dari berbagai kelompok umat Islam, untuk dibawa ke Kongres
Umat Islam di Mekkah. Karena aspirasi golongan pesantren tidak tertampung,
golongan ini, membentuk Komite Hijaz yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab
Chasbullah, yang bertugas menyampaikan aspirasi kepada penguasa Suadi Arabia.
Komite Hijaz sukses karena aspirasinya diterima baik oleh Ibnu Saud, yang
membolehkan paham bermazhab tetap hidup di Saudi Arabia (Ibid).

Setalah kembali dari Saudi Arabia akhir tahun 1925, Komite Hijaz tidak
dibubarkan tetapi ditugasi membentuk organisasi keagamaan yang menampung
ulama dan santri serta masyarakat berlatar pesantren. Sejarah mencatat, setelah
direstui KH. Hasyim Asy’ari, Komite Hijaz membentuk organisasi Nahdlatul
Ulama (Ibid).

Pada rapat dalam pembentukan organisasi Nahdlatul Ulama menurut


catatan Martin van Bruneissen, antropolog Belanda, setidaknya ada 11 pengurus
yang ikut dalam rapat tersebut, 5 diantaranya adalah guru agama yaitu KH.
Hasyim Asy’ari, Kiai Abdullah Faqih, KH. Abdul Wahab Chasbullah, Kiai Bisri
Syansuri dan Kiai Muhammad Nur. Sementara yang lain memiliki profesi
berbeda, misalnya 4 diantara mereka adalah tuan tanah, 1 orang adalah pedagang,
dan sorang jurnalis percetakan. Meskipun di kemudian hari nama yang paling
menonjol adalah KH. Hasyim Asy’ari dalam Organisasi Nahdlatul Ulama tetapi,
inisiasi ide pembentukan Nahdlatul Ulama adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah.
Bahkan Martin menyebutkan ia adalah seorang organisatoris, penggerak dibalik
berdirinya Nahdlatul Ulama. Ia ingin menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama lebih
dari sekedar mempertahankan tradisi sendiri. Nahdlatul Ulama lebih dari sekedar
usaha mempertahankan tradisi dari serangan kaum modernis dan reformis
(Muhaemin, 2013).

Sebelum berdirinya Nahdlatul Ulama sudah ada organisasi Islam yang


sudah lebih dulu didirikan, misalnya Taswirul Afkar yang berdiri tahun 1918,
tepat 17 tahun setelah KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng.
Tokoh utama dibalik pendirian Taswirul Afkar ini adalah KH. Abdul Wahab
Chasbullah yang juga santri KH. Hasyim Asy’ari.

Keberadaan Nahdlatul Ulama merupakan peneguhan kembali tradisi


keagamaan dan sosial. Perkembangan Nahdlatul Ulama sangat mudah diterima
oleh masyarakat kerena sebelumnya lembaga-lembaga pesantren, kiai, santri dan
jamaahnya sudah tersebar luar di Indonesia. Apalagi sturuktur dan pola
kepemimpinan pesantren sudah terjalin kekarabatan antar pesantren yang lain.
Sehingga kelompok tradisional kegamaan ini menjadi unit komunitas sosial tanpa
disadari. Hal ini, didasarkan pada pola kepemimpinan yang berpusat kepada kiai
(Man, 2018)

Setelah Nahdlatul Ulama berdiri, golongan pesantren tradisional semakin


kuat dimana pada Muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin 1936, ditetapkan
bahwa organisasi Nahdlatul Ulama ingin mewujudkan Negara Darussalam
(Negara Damai). Dan pada tahun 1937 ormas-ormas Islam membentuk badan
federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebutan
MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), KH. Hasyim Asy’ari pun menjadi Rois
MIAI dan ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Sturuktur kepengurusan yang ada dalam tubuh organisasi Nahdlatul Ulama


terdiri dari kalangan ulama atau kiai. Sedangkan ulama dan kiai sendiri umumnya
bekerja di bidang pertanian yang menetap, kalaupun mereka berdagang mereka
kurang intensif seperti umumnya pedagang luar jawa. Sejak abad lalu kiai
merupakan sisi penting dalam kehidupan tradisional petani di pedesaan. Apalagi
petani sering mendapat tekanan dari pemerintah kolonial. setelah mendapat
ayoman kepemimpinan ulama petani menemukan legitimasi untuk melancarkan
protes mereka.

Yovenska L. Man mengutip dari Harry J. Benda menyebutkan pada masa


itu sebagai akibat dari landasan ikatan-ikatan tradisional, petani semakin
mengambang dan di sisi lain nilai-nilai priyayi mulai surut di bawah pengaruh
Westernisasi, maka ulama mengambil peran serta menempati posisi sentral
sebagai pusat protes.

Sekitar tiga puluhan Nahdlatul Ulama mengembangkan mitos perjuangan


keadilan sosial, sehingga sejumlah lulusan pendidikan di Tuban terlibat dalam
pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun 1945 yang mereka anggap
sebagai perjuangan membela kaum miskin tertindas. Bahkan lulusan pesantren
sendiri tidak sedikit yang kemudian tergabung dalam gerakan PESINDO yang
berhaluan “kiri” kerena terkesan membela kaum petani miskin. Mitos ulama
sebagai pembawa panji pembela kaum tani miskin merupakan salah satu faktor
penting Nahdlatul Ulama terangkat namanya, ditambah para kiai dan pesantren
senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat pedesaan (Ibid).

Perjuangan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama setelah penjajahan


Belanda diganti Jepang masih kerap dilakukan. Upaya diplomasi dan perlawanan
dalam bentuk fisik juga dilancarkan. Tidak hanya itu, keterlibatan dalam
mempertahankan ideologi dan kebebasan juga dilakukan oleh warga Nahdliyin
(Ibid).

Pendudukan Jepang terhadap Indonesia cukup melonggar kerena politik


yang digunakan oleh Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan
kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Japang adalah penahanan terhadap KH. Hasyim
Asy’ari. Ini dilakukan karena KH. Hasyim Asy’ari menolak melakukan seikerei,
yaitu membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai
simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito titisan Dewa Matahari (Amaterasu
Omikami). Sebab hanya Allah saja yang wajib disembah, bukan manusia. Selama
dipenjara KH. Hasyim Asy’ari mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga
tulang-tulang jari tangan kanannya patah tidak dapat digerakkan.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, KH. Hasyim Asy’ari


dibebaskan oleh Jepang, sebab banyaknya protes dari para kiai dan santri,
termasuk usaha yang dilakukan oleh KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdul Wahab
Chasbullah melalui tokoh muslim Jepang, yang memohonkan pembebasan kepada
Saiko Sikikan di Jakarta.

Ketika pemerintah pendudukan militer Jepang membentuk Tentara


Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) pada Oktober 1943, sebagian perwira-
perwiranya dijabat oleh kiai pesantren, KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan agar
dibentuk satuan khusus milisi santri terlatih yang disebut Hisbullah. Permohonan
ini, dipenuhi oleh pemerintahan pendudukan militer Jepang dengan dibentuknya
Lasykar Hisbullah pada Nopember 1944. Kader-kader didikan PETA dan
Hisbullah inilah yang mendominasi militer Indonesia sewaktu Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) dibentuk 5 Oktober 1945.

Pada 22 Oktober 1945 KH. Hasyim Asy’ari dan para ulama NU se-Jawa
dan Madura menjawab permintaan fatwa Presiden Soekarno yang sebelumnya
sudah mengirim utusan karena mendapat kabar bahwa tentara NICA (Netherland
Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh Belanda akan membonceng
Sekutu yang dipimpin Ingris berusaha melakukan agresi ke Jawa (Surabaya).
Fatwa ini dikenal dengan Resolusi Jihad yang ditanda tangani kantor GP Ansor,
Bubutan, Surabaya. Sedangkan fatwa Jihad fii Sabilillah, KH. Hasyim Asy’ari
menetapkan hukum fardlu ‘ain (wajib) bagi umat Islam untuk membela tanah
airnya yang diserang musuh dalam jarak 94 kilometer.

Berikut ini adalah isi dari Resolusi Jihad Nahdlatu Ulama, pernah dimuat
di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-1, Jumat Legi, 26
Oktober 1945. Salinan di bawah ini telah disesuaikan dengan ejaan saat ini (Baso.
Mummaziq, 2017).

Bismillahirrahmanirrahim
Resolusi
Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul-konsul)
Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura
Pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya:

Mendengar:
Bahwa ditiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa
besarnya hasrat umat Islam dan Alim Ulama di tempatnya masing-masing
untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.

Menimbang:
a. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negera Republik
Indonesia menurut hukum AGAMA ISLAM, termasuk sebagai suatu
kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam.
b. Bahwa di Indonesia ini warga Negaranya adalah sebagian besar
terdiri dari umat Islam.

Mengingat:
a. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada
di sini telah banyak sekali dijalankan banyak kejahatan dan kekejaman
yang mengganggu ketenteraman umum.
b. Bahwa semua yang dilakukan oleh semua mereka itu dengan maksud
melanggar Kedaulatan Republik Indonesia dan Agama, dan ingin
kembali menjajah di sini, maka di beberapa tempat telah terjadi
pertempuran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia.
c. Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan
umat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya untuk
mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.
d. Bahwa di dalam menghadapi sekalian kejadian-kejadian itu belum
mendapat perintah dan tuntutan yang nyata dari Pemerintah Republik
Indonesia yang sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut.

Memutuskan:
1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia
supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan
terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan Agama
dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki
tangannya.
2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah”
untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Akibatnya, perang 10 Nopember 1945 meletus dan memecut semangat
jihad dalam diri rakyat Indonesia. Umat Islam yang mendengar Resulusi Jihad ini
berbondong keluar menuju medan perang di Surabaya hanya mamakai
perlengakapan perang seadanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan
Ingris. Sehingga peristiwa 10 Nopember diperingati sebagai Hari Pahlawan
Nasional.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari menurut


hemat penulis dapat diasumsikan sebagai pola kepemimpinan yang struktur,
sistematis dan perencanaan yang matang. Sehingga beberapa peristiwa pada saat
beliau menjabat sebagai pimpinan Nahdlatul Ulama, MIAI dan Masyumi dalam
melawan penjajah didasarkan pada pengetahuan, pengamatan, analisa situasi yang
terencana dan matang. Di samping itu, KH. Hasyim Asy’ari terkenal sebagai
ulama yang dihormati karena kealiman ilmunya. Maka tak heran, seperti
Soekarno, Bung Tomo dan beberapa tokoh lainnya sering minta pendapat dan
saran kepada sosok kharismatik ini.

4. Kepemimpinan Transaksional KH. Hasyim Asy’ari

Kepemimpinan KH. Hasyim As’ari adalah kepemimpinan yang menitik


beratkan kepada moral, sehingga bawahan yang dalam konteks ini adalah santri.
Kepemimpinan yang ada pada sosok ulama ini adalah pengajaran yang beliau
contohkan secara langsung kepada santri-santrinya dalam setiap melakukan
pekerjaan, bahkan cakupannya sampai etika dalam bersosial antar sesama.

Kepemimpinan transaksioanal menurut hemat penulis adalah terletak pada


teori motivasi yang mendasarkan bahwa seorang pemimpin harus bisa merasakan
dan mengetahui keadaan psikis karyawan (santri) bahwa dalam keadaan tertentu
harus melakukan motivasi agar keadaan kegiatan belajar-mengajar bisa tercapai
secara efektif dan efisien. Jika dihubungkan dalam dunia kerja, maka seorang
karyawan bisa bekerja lebih semangat dan maksimal dalam mencapai tujuan
organisasi.

Rangkuman

1. Gaya kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari merupakan gaya


kemimpinan partisipatif.
2. Kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari di lembaga pendidikan Islam
adalah kepemimpinan ayang mengajarkan peserta didik dan
masyarakat dengan sabar, ramah dan memberikan contoh akhlak yang
mulia
3. Kepemimpinan dalam organisasi Nahdlatul Ulama adalah dengan
bertumpu kepada sikap nilai-nilai akhwalussunnah wal jamaah yang
meliputi tawassuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh.
4. Kepemimpinan transaksioanal terletak pada teori motivasi yang
mendasarkan bahwa seorang pemimpin harus bisa merasakan dan
mengetahui keadaan psikis karyawan yang dalam hal ini adalah santri.

Tugas

Jelaskan gaya kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari

Jelaskan kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari di lembaga pendidikan Islam

Jelaskan kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari di Organisasi Nahdlatul


Ulama

Jelaskan kepemimpinan transaksional KH. Hasyim Asy’ari


DAFTAR RUJUKAN

Abdul Karim, “Kepemimpinan dan Manajemen Kiai dalam Pendidikan”


(Desertasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017)
Asy’ari, Hasyim. 2018. Mawaid. Pasuruan, Maktabah al-Mukarrom.
A’dlom, Syamsul. 2014. Kiprah KH. Hasyim Asy’ari dalam Mengembangkan
Pendidikan Agama Islam. Malang. STAI Al-Qolam Gondanglegi.
Baso, Ahmad, Sunyoto, K Ng H Agus dan Mummaziq, Rijal, 2017, KH. Hasyim
Asy’ari Pengabdian Seorang Kiai Untuk Negeri, Jakarta: Museum
Kebangkitan Nasional Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Coirun Nizar, Muchamad. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Persatuan.
Semarang. Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi.
Faiz Amiruddin, Muhamad. 2018. Konsep Pendidikan Islam Menurut KH.
Hasyim Asy’ari. Kediri. Jurnal Dirasah.
Irra Chrisyanti Dewi, Nuri Herachwati, Analisis Dampak Kepemimpinan
Transaksional Dan Transformasional Terhadap Pembelajaran Organisasi.
L. Man, Yovenska. 2018. Urgensi Nahdlatul Ulama dalam Pemerintahan
Indonesia. AL-IMARAH: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam.
Muhammedi. 2016. Modernisasi Pendidikan Islam Indonesia Pengalaman
Nahdlatul Ulama. Jurnal Tarbiyah.
M. Wardianto , Fabiola Hendrati, Korelasi Motivasi Berprestasi Dan
Kepemimpinan Transformasional Dengan Komitmen Organisasi
Pengurus Pondok Pesantren, Jurnal Psikologi Indonesia, (Persona,
September 2014), Vol. 3, No. 03, hal 269 – 282
Miyv Fayzhall, et. al., Transformational versus Transactional Leadership:
Manakah yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Guru, (Journal of
Education, Psychology and Counseling, 2020), Volume 2 Nomor 1 ISSN
Online : 2716-4446
Mohammed Aboramadan, Khalid Abed Dahleez, Leadership styles and
employees work outcomes in nonprofit organizations: the role of work
engagement, (Journal of Management Development, 2020) Vol. 39 No.
7/8, 869-893
Pada Pt Bangun Satya Wacana Surabaya, (Jurnal Manajemen Teori dan Terapan,
2010), volume 3, No. 3.
Timothy R. Hinkin a, A.Chester. Schriesheim, The Leadership Quarterly,.
Schriesheim, Pemeriksaan teoritis dan empiris dari transaksional dan
non-kepemimpinan dimensi Kuesioner Kepemimpinan Multifaktor (MLQ),
(The Leadership Quarterly, 2008)19, 501–513.

Anda mungkin juga menyukai