Anda di halaman 1dari 5

Analisis Anomali Total Electron Content (TEC) Terinduksi Near-Field Coseismic Ionospheric Disturbance

(CID) Tahun 2004 - 2012 Sebagai Identifikator Tsunami Disekitar Pulau Sumatera

Abstrak
Ionosfer merupakan salah satu lapisan Atmosfer yang terionisasi oleh radiasi matahari sehingga memiliki kerapatan
elektron. Kerapatan ini disebut juga sebagai Total Electron Content (TEC). Lapisan ini dapat terganggu oleh
aktifitas gangguan dari gelombang yang kuat, terutama pada saat gempabumi terjadi. Gempabumi menghasilkan tiga
jenis gelombang yang dapat mengganggu kerapatan elektron Ionosfer, yaitu : (1) Gravity Wave dihasilkan oleh
gelombang tsunami akibat gempabumi (tsunamigenic earthquake) dengan kecepatan 0.3km/s. (2) Accoustic Wave
yang bergerak vertikal dari-dekat (near-field) pusat gempabumi menuju lapisan F dengan kecepatan 1km/s dalam
kurun waktu 10 menit. (3) Rayleigh Wave bergerak menjauh secara vertikal-horisontal dari pusat gempabumi
dengan kecepatan 4km/s. Fenoma tersebut kemudian disebut sebagai CID (Coseismic Ionospheric Disturbance)
yang menunjukkan nilai perubahan TEC beberapa saat setelah gempa terjadi, pada umumnya 15 hingga 25 menit.
Fenomena ini dapat dikaji dengan mengamati delay (arah, kecepatan, kekuatan, amplitude, dan frekuensi) yang
terjadi pada saat satelit GNSS memancarkan sinyal melalui lapisan ionosfer yang terganggu. Dalam penelitian ini
dilakukan pengamatan perubahan dari data GNSS dari stasiun SuGAr. Hasil data menunjukkan adanya anomali TEC
yang muncul dalam kurun waktu 6 – 20 menit setelah gempabumi terjadi.

Kata Kunci : Coseismic Ionospheric Disturbance, Total Electron Content, Gempabumi, Tsunami

1. Latar Belakang
GPS (Global Positioning System) adalah sistem navigasi yang menyediakan pelacakan posisi dan pengaturan
waktu kepada pengguna berbasiskan satelit yang saling berhubungan yang berada pada orbitnya [1]. GPS juga
menjadi salah satu wahana untuk mempelajari adanya fenomena pada ionosfer yang didapatkan melalui
perambatan sinyal gelombang mikro dari satelit pemancar ke stasiun penerima GPS di permukaan atau dekat
permukaan bumi. Stasiun GPS penerima di permukaan bumi dengan sinyal frekuensi ganda memungkinkan
untuk dapat mengukur jumlah elektron total, atau yang dikenal sebagai TEC (Total Electron Content)
disepanjang jalur rambat sinyal antar kedua stasiun GPS tersebut. GPS-TEC juga merupakan teknik untuk
mempelajari fenomena fisik atmosfer, misalnya LSTID dan MSTID (Large and Medium – Travelling
Ionospheric Disturbances), semburan matahari (solar flare), plasma bubbles, serta bentuk formasi lubang pada
ionosfer yang dapat disebabkan oleh peluncuran senjata misil, maupun gempabumi. Hingga saat ini 31 satelit
GPS mengorbit bumi dengan ketinggian 20.200 Km dan membentuk sudut inklinasi 55 0 dan dengan periode
orbit 11 jam 58 menit 2 detik (siderial hours). Terdapat beberapa penentuan nilai mutlak untuk TEC yang
telah ditemukan oleh peneliti terdahulu, yaitu dengan menggunakan teknik Kalman Filter untuk penentuan
secara tepat, baik itu bias instrumen maupun nilai TEC itu sendiri, dan dengan menganggap bahwa nilai
distibusi VTEC (Vertical-Total Electron Content) adalah linier secara spasial disekitar zenith stasiun penerima,
[1] dan [2]. Teknik lain dalam penentuan TEC juga diperkenalkan oleh [3] yaitu SCORE (Self-Calibration of
Pseudorange Errors) yang selanjutnya teknik tersebut divalidasi lagi dengan melakukan pengukuran secara
terpisah oleh [3] dan kemudian bentuk pemodelannya dibuat oleh [4] [5]. Selanjutnya dengan metode Laplace
Spherical Harmonics Expansion [6] memodelkan VTEC dari data jaringan GPS global. Serta pengamatan dan
analisis pada stasiun tunggal dengan teknik Polynomial Interpolation, [7] serta [8] menentukan nilai mutlak
untuk VTEC. Pada penelitian kali ini, akan digunakan sistem Kalman Filter untuk dapat menentukan nilai
TEC. Gempabumi menjadi salah satu bencana alam yang masih sangat sulit untuk diprediksi. Hingga kini
belum ada teknologi ataupun metode untuk memprediksi secara akurat kapan gempabumi akan terjadi.
Indonesia terlatak pada cincin api (ring of fire) yang banyak terjadi gempabumi berskala besar serta banyak
erupsi vulkanikdi sekitar pulau-pulau Sumatra, Jawa, dan Bali. Gempabumi di Indonesia memiliki skala dan
magnitudo yang luas, yang dapat melebihi M w 9.0 (Magnitude Moment). Gempabumi dengan kekuatan lebih
dari Mw 8.0 adalah pengaruh utama bagi CID (Co-Seismic Ionospheric Disturbances) terlebih lagi Indonesia
terletak dibagian selatan dari equator magnetik yang membuat Indonesia menjadi tempat bernilai untuk
mempelajari fenomena asimetri direktivitas dari propagasi perambatan gelombang CID. Secara umum prediksi
gempabumi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu prediksi jangka panjang (long term), menengah
(mid-term) dan jangka pendek (short term). Dalam penentuan prediksi mid-term yang kemudian dikenal
sebagai CID dibutuhkan beberapa fenomena alam yang dapat teramati sebagai tanda-tanda awal (precursor),
yang berhubungan dengan kejadian gempabumi. Perubahan variasi densitas elektron pada ionosfer terinduksi
karena adanya gelombang akustik serta gravitasi yang dibangkitkan oleh pergerakan lempeng dari gempabumi
yang besar [9] [10] [11] [12] [13]. CID dapat diamati secara temporal baik yang berdekatan dengang pusat
gempa (epicenter) maupun yang berjauhan dengan pusat gempa. Yang kemudian pengamatan ini dikenal
sebagai Short-Distance CID dan Long-Distance CID. Baik SD-CID ataupun LD-CID memiliki perbedaan
dalam karakteristik perambatannya menuju atmosfer, yaitu kecepatan, durasi tempuh, periode, bahkan bentuk
gelombangnya. SD-CID sendiri biasanya akan muncul dalam 10-15 menit setelah terjadi gempabumi, hal ini
berarti waktu yang dibutuhkan gelombang akustik untuk berpropagasi dari permukaan bumi menuju ionosfer.
Karena adanya hubungan antara SD-CID dengan besaran gempa, sehingga CID dapat digunakan sebagai
bagian dari sistem peringatan dini tsunami. Dengan kata lain, dimungkinkan untuk memprediksi besaran
gempa menggunakan amplitudo CID sebelum tsunami mencapai daerah pantai. Amplitudo dari CID juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk line-of-sight geometry, momen direktivitas, asimetrisitas
gelombang, serta jenis gempabumi itu sendiri.

2. Metodologi Penelitian
Metodologi kuantitatif digunakan dalam penelitian ini karena menggunakan data-data yang terukur dan ilmiah.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Studi Literatur

Studi literatur dilakukan untuk pencarian berbagai referensi, dapat berupa buku-buku, arsip, artikel, jurnal dan
dokumen-dokumen lain. Studi literatur digunakan untuk menentukan topik dalam penelitian, sebelum
mengumpulkan data, dan memahami keterkaitan antara CID terhadap anomali TEC, serta penggunaan metode
Kaplan dalam penentuan nilai mutlak anomali TEC yang disebabkan oleh CID.

Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara tidak langsung dari pusat gempabumi
terhadap stasiun GPS. Bahan penelitian ini didapat dari data GPS-SUGAR (Sumatran GPS Array) yang terdiri
dari jaringan stasiun receiver GPS di Pulau Sumatra. Peneliti mengumpulkan data dengan cara mengunduhnya
dari situs penyedia data SUGAR.

Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah semua data yang dibutuhkan telah terkumpul. Pengolahan data awal
dilakukan dengan pencarian nilai pseudorange (ρ1 dan ρ2) dari kanal L1 dan L2 pada GPS, dengan input tables
parameter pada GAMIT (GPS-site, Obs, ID & Date, sampling interval, epochs, receiver, antenna, dan session
time) untuk mendapatkan nilai TEC (STEC, VTEC).
3. Hasil Penelitian
Dari hasil pengolahan data GPS-TEC pada masing-masing gempabumi yang terjadi dari tahun 2004 hingga
2012 menunjukkan bahwa adanya fluktuasi nilai TEC beberapa saat setelah gempabumi terjadi. Nilai TEC
berfluktuasi pada rentang nilai ±4TECU yaitu 6 hingga 20 menit setelah gempa utama terjadi. Tidak
ditemukan pengaruh gangguan badai magnetik yang signifikan terhadap CID yang terjadi pada semua
gempa. Perubahan nilai elektron pada beberapa kejadian juga berpengaruh pada jarak episenter terhadap
stasiun pengamatan. Gempabumi Andaman 2004 menunjukkan nilai fluktuasi rata-rata yang tidak terlalu
jelas terlihat. Hal ini juga dimungkinkan karena ketersediaan jumlah satelit yang mengorbit disekitar
episenter pada saat gempa terjadi. Lima gempabumi yang terjadi memiliki magnitudo >Mw 7.0 dan semua
memunculkan anomali TEC yang cukup jelas terlihat. Nilai magnitudo yang besar akan memunculkan
gelombang pasang yang cukup kuat untuk berpropagasi menuju ionosfer yang akhirnya akan
mengakibatkan fluktuasi elektron. CID mempunyai peluang yang cukup besar untuk dapat dijadikan
prediksi jangka pendek terhadap bencana tsunami. Tsunami membutuhkan waktu lebih lama sebelum tiba
menuju daerah pesisir dibandingkan gelombang akustik yang ditimbulkannya menuju lapisan F-ionosfer.
Daftar Pustaka

[1] E. Sardon, A. Rius and N. Zarraoa, Estimation of the Transmitter and Receiver Differential Biases and the
Ionospheric Total Elctron Content from Global Positioning System Observations, Belgium: Radio Sci, 1994.

[2] A. Komjathy, Global Ionospheric Total Electron Mapping Using the Global Positioning System, New
Brunswick: The University of New Brunswick, 1997.

[3] G. J. Bishop, A. J. Mazzella, E. Holland and S. Rao, "Algorithms that Use the Ionosphere to Control GPS
Error," in in Proceedings of the IEEE 1996 Position Location and Navigation Symposium (PLANS),
Piscataway, N.J, 1996.

[4] N. Lunt, L. Kersley, G. J. Bishop, A. J. Mazzella and G. J. Bailey, The Effect of Protonosphere on the
Estimation of GPS Total Electron Content : Validation Using Simulations, Belgium: Radio Sci, 1999a.

[5] N. Lunt, L. Kersley and G. J. Bailey, The Influence of the Protonosphere on GPS Observations : Model
Simulation, Belgium: Radio Sci, 1999b.

[6] B. D. Wilson, A. J. Mannucci, C. D. Edward and T. Roth, "Global Ionospheric Maps Using a Global Network
of GPS Receivers," in The International Beacon Satellite Symposium, Cambridge, MA, 1992.

[7] G. E. Lanyi and T. Roth, A Comparison of Mapped and Measured Total Ionospheric Electron Content Using
Global Positioning System and Beacon Satellite Observation, Belgium: Radio Sci, 1998.

[8] D. S. Coco, G. J. Bishop, N. Lunt, C. Coker, A. J. Mazzella and L. Kersley, "Application SCORE to Extract
Protonospheric Electron Content from GPS/GNSS Observations," in Proceedings of ION GPS '97,
Alexandria, VA, 1997.

[9] E. Calais and B. M. J, GPS Detection of Ionospheric Perturbation Following the January 17, 1994, Northridge
Earthquake, Geophys. Res., 1998.

[10] K. Heki and S. P. J, Directivity and Apparent Velocity of Coseismic Ionospheric Disturbances Observed with a
Dense GPS Array, pp. 845-855, 2005.

[11] E. Astafyeva, H. K, K. V, A. E and S. S, "Two-Mode Long-Distance Propagation of Coseismic Ionosphere


Disturbances," Journal of Geophysics, p. 114, 2009.

[12] E. L. Afraimovich, P. P. N, V. P. A and M. U. A, "The Shock-acoustic Waves Generated by Earthquake," Ann.


Geophys. 19, pp. 394-410, 2001.

[13] T. Tsugawa, S. A, O. Y, N. M, M. T, K. H, N. T and T. M. K, Ionospheric Disturbances Detected by GPS Total


Electron Content, Kyoto: Earth Planet Space, 2011.

[14] R. W. Briggs, Deformation and Slip Along the Sunda Megathrust in the Great 2005 Nias-Simeulue
Earthquake, Kyoto: Science, 2006.

[15] A. R. Gusman, T. Y, K. T, L. H and P. W, "Slip Distribution of the 2007 Bengkulu Earthquake Inferred from
Tsunami Waveforms and InSAR Data,," Journal of Geophysics, p. 115, 2007.
[16] P. Banerjee, F. P. F and B. R, "The size and duration of the Sumatra Andaman Earthquake from far-field static
offsets," Science, p. 308, 2005.

[17] W. J. Simons, "A decade of GPS in Southeast Asia: Resolving Sundaland Motion and Boundaries," Journal of
Geophysics, pp. 110-115, 2007.

[18] K. Davies, "Ionospheric Radio," Peter Pregrinus Ltd, New York, 1990.

[19] R. B. Langley, "NAVSTAR GPS Internet Connections," Gauss, Ottawa, 1997.

[20] H. Z. Abidin, "Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya," Pradnya Paramita, Jakarta, 2000.

[21] O. A. Molchanov and H. M, "VLF Signal Perturbations Possibly Related to Earthquake," Journal Geophysics,
p. 17, 1998.

[22] J. Y. Liu, I. C. Y, J. C. Y and F. T. H, " Variations of Ionospheric Total Electron Content During the Chi-chi
Earthquake," Geophys. Res. Lett., pp. 30-45, 2001.

[23] K. Heki, "Ionospheric Electron Enhancement Preceding the 2011 Tohoku-Oki Earthquake," Geophys. Res.
Lett., p. 39, 2011.

[24] S. Y. Oh and Y. Y, "Solar Magnetic Polarity Dependency of Geomagnetic Storm Seasonal Occurrence," J.
Geophys. Res., p. 116, 2011.

[25] E. H. Vestine, L. L, L. I and E. S. W, The Geomagnetic Field, its Description and Analysis, Washington D.C:
Carnegie Institution of Washington Publication 580, 1997.

[26] R. A. Langel, H. E. R, D. M. G, B. F. E and R. L. E, "Initial Geomagnetic Field Model from Magsat Vector
Data," Geophys. Res. Lett., pp. 34-38, 1980.

[27] G. Pendleton, The Fundamentals of GPS, Ney Work: Directions Magazine, 2002.

[28] M. Kamogawa and K. Y, "Is an Ionospheric Electron Enhancement Preceding the 2011 Tohoku-Oki
Earthquake a Precursor?," J. Geophys. Res., p. 11, 2011.

Anda mungkin juga menyukai