Anda di halaman 1dari 141

SKRIPSI

HUBUNGAN SELF-EFFICACY DENGAN KEPATUHAN MINUM


OBAT PADA PASIEN TB PARU DI PUSKESMAS GENTENG
KULON KABUPATEN BANYUWANGI
TAHUN 2021

Oleh :

EKO PRAYUGO SAPUTRO


NIM 202002T044

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
2021
HUBUNGAN SELF-EFFICACY DENGAN KEPATUHAN MINUM
OBAT PADA PASIEN TB PARU DI PUSKESMAS GENTENG
KULON KABUPATEN BANYUWANGI
TAHUN 2021

SKRIPSI

Untuk memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)


Pada Program Studi S1 Keperawatan STIKES Banyuwangi

Oleh :

EKO PRAYUGO SAPUTRO


NIM 202002T044

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
2021

i
PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS

Yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Eko Prayugo Saputro

NIM : 202002T044

Tempat, tanggal lahir : Banyuwangi 05 juni 1993

Institusi : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Hubungan Self-Efficacy Dengan

Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB Paru Di Puskesmas Genteng Kulon

Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021” adalah hail karya tulis ilmiah saya

sendiri, saya tidak melakukan tindakan plagiat dalam penulisan skripsi ini.

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka

saya akan menerima sanksi yang telah ditetapkan. Demikian surat pernyataan ini

saya buat dengan sebenar-benarnya.

Banyuwangi, Agustus 2021

Eko Prayugo Saputro


Nim : 202002T044

ii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi Dengan Judul :
“Hubungan Self-Efficacy Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB Paru
Di Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021”
Diajukan Oleh :

Eko Prayugo Saputro


202002T044

Skripsi telah disetujui


Pada Tanggal, Agustus 2021
Oleh :
Pembimbing I

Masroni, S.Kep., Ns., M.S. (in Nursing)


NIDN. 0709108605

Pembimbing II

Novita Surya Putri, S.Kep., Ns., M.kep.


NIDN. 0725119003

Mengetahui
Ketua Program Studi S1 Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi

Sholihin, S.Kep., Ns., M.Kep.


NIK. 06.005.0906

iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Skripsi Dengan Judul
“Hubungan Self-Efficacy Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB Paru
Di Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021”
Diajukan Oleh :
Nama : Eko Prayugo Saputro
NIM : 202002T044
Telah Diuji Dihadapan Tim Penguji Pada
Progran Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi
Pada Tanggal : Agustus 2021

PANITIA PENGUJI

Penguji 1 : Ukhtul Izzah, S.Kep., Ns., M.Kep. CWCC

Penguji 2 : Anang Satrianto, S.Kep., Ns.

Penguji 3 : Masroni, S.Kep., Ns., M.S. (in Nursing)

Mengetahui,
Ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi

DR. H. SOEKARDJO
NUPN. 9907159603

iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Eko Prayugo Saputro

NIM : 202002T044

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa hasil penelitian saya dengan judul :

“Hubungan Self-Efficacy Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB Paru

Di Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021”

Bersedia untuk dimuat dalam majalah atau jurnal ilmiah atas nama pembimbing

dengan tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Banyuwangi, Agustus 2021

Yang membuat pernyataan

Eko Prayugo Saputro


NIM : 202002T044

v
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat

dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul

“Hubungan Self-Efficacy Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tb

Paru Di Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021”

sesuai waktu yang ditentukan. Proposal penelitian ini penulis susun sebagai salah

satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan di Sekolah Tinggi

Ilmu Kesehatan Banyuwangi.

Dalam penyusunan proposal penelitian, penulis mendapatkan banyak

pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini

penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1 Dr. H. Soekardjo, selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi..

2 Solihin, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Ketua Program Studi S1 Keperawatan

sekaligus selaku pembimbing I penelitian yang telah memberikan bimbingan

dan pengarahan kepada penulis.

3 Masroni, S.Kep., Ns., M.S. (in Nursing) selaku pembimbing I penelitian yang

telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.

4 Novita Surya Putri, S.Kep., Ns., M.kep selaku pembimbing II penelitian yang

telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.

5 dr. Yos Hermawan selaku Kepala UPTD Puskesmas Genteng Kulon

Banyuwangi yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis.

6 Rekan-rekan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi dan

seluruh pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini yang tidak dapat

peneliti sebutkan satu persatu.

vi
Penulis berusaha untuk dapat menyelesaikan proposal penelitian ini

dengan sebaik-baiknya, namun penulis menyadari bahwa masih banyak

kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua

pihak untuk kesempurnaan proposal penelitian ini.

Banyuwangi, Agustus 2021

Penulis

Eko Prayugo Saputro

vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAN ........................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................... iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI........................................ iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI................................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi
DAFTAR BAGAN....................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xiv
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................... 4
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 5
1.4.1 Bagi Peneliti........................................................................ 5
1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan............................................ 5
1.4.3 Bagi Tempat Penelitian....................................................... 6
1.4.4 Bagi Responden.................................................................. 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Tuberkulosis......................................................... 7
2.1.1 Pengertian Tuberkulosis...................................................... 7
2.1.2 Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis.............................. 8
2.1.3 Etiologi Tuberkulosis.......................................................... 12
2.1.4 Manifestasi Klinis Tuberkulosis......................................... 13
2.1.5 Patofisiologi Tuberkulosis ................................................. 14
2.1.6 Pencegahan Tuberkulosis.................................................... 16
2.1.7 Pengobatan Tuberkulosis.................................................... 17
2.2 Konsep Self-Efficacy................................................................... 22
2.2.1 Pengertian Self-Efficacy..................................................... 22
2.2. Konsep Self-Efficacy............................................................ 23
2.2.3 Sumber Self-Efficacy.......................................................... 23
2.2.4 Pengaruh Self-Efficacy....................................................... 26
2.2.5 Dimesnsi Self-Efficacy....................................................... 28
2.2.6 Faktor yang Mempengaruhi Self – Efficacy....................... 29
2.2.7 Alat Ukur Self-Efficacy...................................................... 32
2.3 Konsep Kepatuhan....................................................................... 34
2.3.1 Pengertian Kepatuhan......................................................... 34

viii
2.3.2 Teori-teori Kepatuhan......................................................... 36
2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan.................. 38
2.3.4 Alat Ukur Kepatuhan.......................................................... 41
2.4 Hubungan Self – Efficacy dengan Kepatuhan Minum Obat....... 43
2.5 Table Sintesis............................................................................... 45
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS....................... 49
3.1 Kerangka Konseptual .................................................................. 49
3.2 Hipotesa Penelitian...................................................................... 50
BAB 4 METODE PENELITIAN................................................................ 51
4.1 Desain Penelitian......................................................................... 51
4.2 Kerangka Kerja ........................................................................... 52
4.3 Populasi, Sampel, dan Sampling.................................................. 53
4.3.1 Populasi penelitian ............................................................. 53
4.3.2 Sampel penelitian ............................................................... 53
4.3.3 Teknik Sampling ................................................................ 53
4.3.4 Kriteria Subjek Penelitian................................................... 54
4.4 Identifikasi Variabel..................................................................... 55
4.4.1 Variabel independen (bebas)............................................... 55
4.4.2 Variabel Dependen (terikat)................................................ 55
4.5 Definisi Operasional ................................................................... 56
4.6 Pengumpulan dan Pengolahan Data............................................. 57
4.6.1 Sumber Data........................................................................ 57
4.6.2 Instrumen Pengumpulan Data............................................. 57
4.6.3 Prosedur dan pengambilan data.......................................... 60
4.6.4 Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................. 63
4.6.5 Prosedur Penelitian............................................................. 64
4.6.6 Analisa Data........................................................................ 64
4.6.7 Cara Analisa Data............................................................... 67
4.7 Etika Dalam Penelitian................................................................ 70
4.7.1 Informed Consent................................................................ 70
4.7.2 Anonimity........................................................................... 70
4.7.3 Confidentiality ................................................................... 71
4.7.4 Non Malefecence................................................................ 71
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 70
5.1 Hasil Penelitian............................................................................ 71
5.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian................................................ 71
5.1.2 Data Umum.......................................................................... 72
5.1.3 Data Khusus......................................................................... 77
5.1.4 Crosstabulation Data............................................................ 78
5.2 Pembahasan.................................................................................. 79
5.2.1 Mengidentifikasi self - efficacy pada pasien TB paru.......... 79
5.2.2 Mengidentifikasi kepatuhan minum obat............................. 83
5.2.3 Menganalisis hubungan self efficacy dengan kepatuhan minum
obat................................................................................................ 85
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 88

ix
6.1 Kesimpulan.................................................................................. 88
6.2 Saran............................................................................................. 88
6.2.1 Bagi Responden.................................................................... 89
6.2.2 Bagi Tempat Penelitian........................................................ 89
6.2.3 Bagi Profesi Keperawatan.................................................... 89
6.2.4 Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan............................... 90
6.2.5 Bagi Peneliti......................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 91
LAMPIRAN.................................................................................................. 98

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mikroskopis bakteri tahan asam (BTA)....................................... 13

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 OAT lini pertama.......................................................................... 18


Tabel 2. 2 Dosis untuk panduan OAT dan KDT untuk kategor I.................. 12
Tabel 2. 3 Dosis Panduan OAT-Kombipak untuk kategori 1........................ 20
Tabel 2. 4 Dosis untuk panduan OAT dan KDT untuk kategori 2................ 21
Tabel 2. 5 Dosis paduan OAT Kombipak untuk kategori 2.......................... 21
Tabel 2.6 Kuesioner General self efficacy scale ........................................... 33
Table 2.7 Kuisioner Morisky Medication Adherence Scale........................... 42
Tabel 2.8 Tabel sintesis.................................................................................. 45
Tabel 4.1 Definisi Operasional...................................................................... 56
Tabel 4.2 Blue Print Kuesioner MMAS-8..................................................... 59
Tabel 4.3 SOP Pengumpulan data................................................................. 62
Tabel 4.3 Metode analisis variabel independen dan variabel dependen........ 65
Tabel 4.4 Tabel kontingensi chi square......................................................... 68
Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan usia.......................................... 72
Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin........................... 73
Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan status pernikahan..................... 73
Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan................... 74
Tabel 5.5 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan................................. 74
Tabel 5.6 Distribusi responden berdasarkan tipe penyakit............................ 75
Tabel 5.7 Distribusi responden berdasarkan jumlah penghasilan.................. 75
Tabel 5.8 Distribusi responden berdasarkan penerimaan informasi.............. 76
Tabel 5.9 Distribusi responden berdasarkan sumber informasi..................... 76
Tabel 5.10 distribusi responden berdasarkan self efficacy dan tingkat
kepatuhan minum obat................................................................. 77
Tabel 5.11 crosstabulation hubungan self efficacy dengan tingkat
kepatuhan minum obat pada pasien tb paru................................. 78
Tabel 5.12 Hasil analisa data chi square....................................................... 79

xii
DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1. Kerangka konseptual...............................................................48


Bagan 4.1 Kerangka Kerja.........................................................................51

xiii
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Matrik Rencana Kegiatan Penelitian......................................81

Lampiran 2 Surat Ijin Pengambilan Data Awal.........................................82

Lampiran 3 Surat Permohonan Pengantar ke Puskesmas..........................83

Lampiran 4 Surat Ijin Penelitian Dinkes Kabupaten Banyuwangi............84

Lampiran 5 Lembar Permintaan Menjadi Responden...............................85

Lampiran 6 Lembar Persetujuan Menjadi Responden...............................87

Lampiran 7 Lembar Kuesioner demografi.................................................88

Lampiran 8 Lembar Kuesioner self efficacy..............................................89

Lampiran 9 Lembar Kuesioner kepatuhan berobat....................................91

Lampiran 10 Lembar Konsultasi...............................................................93

xiv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang menjadi masalah

utama bagi masyarakat di negara berkembang. Pada 2015, sebanyak 10,4 juta

orang terinfeksi microbacterium tuberculosis, dimana 1,8 juta orang di

antaranya meninggal karena TB. Lebih dari 95% angka kematian karena TB

terjadi di negara berpenghasilan rendah hingga menengah (Putri et al., 2018).

Terdapat 8 negara dikategorikan sebagai hight-burden countries terhadap TB,

termasuk Indonesia (World Health Organization, 2020). Pengobatan pasien

baru TB yang terdiagnosis diberikan selama enam bulan dan delapan bulan

terapi untuk kasus TB relaps. Panjangnya waktu pengobatan Tuberkulosis

(TB) tersebut berisiko pada kegagalan pengobatan dan berakibat resistensi

terhadap Obat Anti Tuberkulosis, sehingga terjadi transmisi lanjutan hingga

kematian (Putri et al., 2018).

WHO merekomendasikan Direct Observation of Therapy (DOT) dimana

tenaga kesehatan ditugaskan untuk memperhatikan kepatuhan pengobatan

harian setiap pasien (Mohammed et al., 2016). Kepatuhan penderita TB dalam

pengobatan dipengaruhi lima dimensi yang saling terkait satu sama lain yaitu

faktor pasien, faktor terapi, faktor sistem kesehatan, faktor lingkungan dan

faktor sosio ekonomi. Salah satu faktor dari pasien itu sendiri yaitu self-

efficacy yang rendah (Sutarto et al., 2019). Self efficacy yang rendah terjadi

karena secara sosial penderita mendapatkan pengucilan akibat stigma negative

dari masyarakat (Muhtar, 2013). Keyakinan diri (self efficacy) penderita untuk
2

sembuh dicapai salah satunya dari kognitif atau pengetahuan yang diberikan

oleh petugas kesehatan melalui konseling namun hal tersebut belum tercapai

karena petugas kesehatan dengan pelatihan TB DOTS belum memadai

(Hendiani et al, 2013)

Secara global, diperkirakan 10 juta orang jatuh sakit dengan TB pada

2019, sedangkan Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia setelah india

sebagai negara kasus TB baru terbanyak dimana jumlahnya meningkat dari

331.703 pada 2015 menjadi 562.049 pada 2019 bertambah 69% (World

Health Organization, 2020). Jumlah tertinggi dilaporkan dari provinsi dengan

jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Propinsi Jawa Timur terdapat 65.448 kasus tuberculosis (Kemenkes RI, 2019).

Jumlah penderita tuberkulosis di Kabupaten Banyuwangi tahun 2019 untuk

kasus baru sebesar 2.509 kasus dan kambuh sebesar 108 kasus (Dinas

Kesehatan Kabupaten Banyuwangi, 2020). Menurut data Puskesmas Genteng

Kulon penderita TB yang melakukan pengobatan di poli TB DOTS puskesmas

Genteng kulon dari tahun ketahun yaitu pada tahun 2018 sebanyak 96

penderita, tahun 2019 sebanyak 100 penderita, dan tahun 2020 sebanyak 109

penderita.

Pada tahun 2019 jumlah penderita TB paru di Puskesmas genteng kulon

menduduki peringkat ke 3 di Banyuwangi setelah Puskesmas Singotrunan

sebanyak 206 pendetita dan Puskesmas Kabat sebanyak 154 pendertita (Dinas

Kesehatan Kabupaten Banyuwangi, 2020). Pada tahun 2021 menurut data

Puskesmas Genteng Kulon per Juni 2021 penderita TB yang menjalani

pengobatan yaitu 29 penderita. Menurut studi pendahuluan yang dilakukan


3

peneliti tahun 2020 terdapat penderita Tuberculosis Multi drug resisten

sebanyak 3 orang, dimana salah satunya pasien putus obat semenjak ditinggal

suaminya setelah terjangkit TB paru dan 2 penderita lainya karena di kucilkan

oleh keluarga dan masyarakat sekitar tempat tinggal.

Pengobatan pada penderita TB yaitu Paket OAT (Obat Anti TBC)

memerlukan waktu panjang, untuk kategori I (Pasien baru) Memerlukan

waktu 6 bulan pengobatan, dan tambahan 3 bulan (Kategori II) untuk pasien

yang masih dinyatakan positif (Relaps) setelah pengobatan 6 bulan pertama,

dalam meminum Obat Anti Tuberculosis harus sesuai aturan, sesuai waktu

yang ditentukan dan tanpa putus, bertujuan untuk mencegah terjadinya

resistensi basil terhadap obat (Sari et al., 2018). Masa pengobatan TB yang

panjang mengakibatkan ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan TB dan

berakibat pada timbulnya resistensi sehingga memerlukan pengobatan yang

lebih lama dan lebih mahal, serta rendahnya tingkat kesembuhan

dibandingkan TB yang sensitif OAT (Zainaro & Gunawan, 2020).

Kepatuhan (compliance atau adherence) adalah tingkat pasien

melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau

orang lain. Ketidakpatuhan pengobatan pada pasien TB paru akan

mengakibatkan Multi- Drug Resistance yang membuat pengobatan akan lebih

sulit. Pengobatan dan perawatan TB menjadi suatu proses panjang dimana

pasien memerlukan strategi untuk mengelola penyakitnya. Ketidakpatuhan

tersebut dapat disebabkan akibat pengaturan diri pasien yang kurang baik

(Yulianti, 2018). Salah satu faktor terpenting dalam kepatuhan pengobatan

adalah adanya Self Efficacy atau kepercayaan diri yang tinggi dari diri pasien
4

tersebut (Isnainy et al., 2020). Self-efficacy dapat didefinisikan sebagai sejauh

mana individu meyakini mereka kompeten untuk menghadapi tantangan

dalam hidup. Self-efficacy memberikan konstribusi terhadap pemahaman yang

lebih baik dalam proses perubahan perilaku kesehatan. Self-efficacy yang

turun dapat mempengaruhi keinginan penderita untuk sembuh (Herawati,

2015) sedangkan self-efficacy tinggi akan cenderung mengalami peningkatan

yang signifikan terhadap kepatuhan pengobatan (Mamiri et al., 2020).

Pencegahan penularan TB paru di Indonesia yaitu dengan pendidikan

kesehatan tentang perilaku hidup sehat, pemberian vaksin BCG untuk

mencegah terjadinya kasus infeksi TB yang lebih berat, serta menerapkan

strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) (Wahyuni,

Indarwati, 2015). Strategi DOTS adalah pengawasan langsung pengobatan

jangka pendek dengan keharusan setiap pengelola program tuberkulosis untuk

memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan penderita

dengan pemeriksaan mikroskop. Setiap penderita harus di observasi

(observed) dalam menelan obatnya, setiap obat yang ditelan pasien harus

didepan seorang pengawas. Pasien juga harus menerima pengobatan

(treatment) yang tertata dalam sistem pengeolaan, distribusi dengan

penyediaan obat yang cukup, kemudian setiap pasien harus mendapat obat

yang baik, artinya pengobatan jangka pendek (short course) standar yang telah

terbukti ampuh secara klinis (Samhatul & Bambang, 2018). Berdasarkan

uraian di atas, peneliti bermaksud melakukan penelitian tentang “Hubungan

self-efficacy dengan kepatuhan minum obat pada Pasien TB paru di

Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021”.


5
6

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah hubungan antara self-efficacy (efikasi diri) dengan

kepatuhan minum obat pada pasien TB paru di Puskesmas Genteng Kulon

Kabupaten Banyuwangi 2021?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Teranalisis hubungan antara self-efficacy (efikasi diri) dengan

kepatuhan minum obat pada pasien TB paru di Puskemas Genteng Kulon

tahun 2021.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Teridentifikasi self-efficacy (efikasi diri) pada pasien TB paru yang

menjalani rawat jalan di Puskemas Genteng Kulon tahun 2021.

2. Teridentifikasi kepatuhan minum obat pada pasien TB paru yang

menjalani rawat jalan di Puskesmas Genteng Kulon tahun 2021.

3. Teranalisis hubungan self-efficacy (efikasi diri) dengan kepatuhan

minum obat pada pasien TB paru yang menjalani rawat jalan di

Puskesmas Genteng kulon tahun 2021.

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang

hubungan antara self-efficacy (efikasi diri) dengan kepatuhan minum obat

pada pasien TB paru. Self-efficacy (efikasi diri) merupakan bagian dari

promosi kesehatan dalam konteks asuhan keperawatan. Self-efficacy

(efikasi diri) juga merupakan bagian yang perlu ditingkatkan untuk


7

melakukan perawatan diri secara mandiri dalam meningkatkan kualitas

hidup.

1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi, studi

literatur, serta pengembangan penelitian tema terkait bagi mahasiswa

keperawatan dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien dengan

TB paru sehingga dapat meningkatkan kompetensi peserta didik, terutama

bagi perawat/mahasiswa keperawatan yang berada di institusi pendidikan,

khususnya STIKES Banyuwangi yang lebih bersifat komprehensif

meliputi aspek bio-psiko-sosial dan spiritual.

1.4.3 Bagi Tempat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi untuk

membantu pasien meningkatkan self-efficacy (efikasi diri) sehingga

kepatuhan minum obat yang diprogramkan untuk pasien TB paru dapat

berjalan dengan lancar.

1.4.4 Bagi Responden

Hasil penelitian ini dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan

masyarakat terutama bagi keluarga dengan klien TB paru bahwa self-

efficacy (efikasi diri) sangat diperlukan dalam pengobatan TB paru yang

optimal.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Tuberkulosis

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang

sebabkan oleh bakteri Mikobacterium tuberkulosa. Bakteri ini lebih

sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain dari

tubuh manusia (Hafiz et al., 2021).

Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena

infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis (Djojodibroto, 2009).

Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang

parenkim paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

(Somantri, 2008) .

Tuberkulosis terdiri dari tuberkulosis primer dan tuberkulosis

sekunder. Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita

yang belum mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB,

sedangkan tuberkulosis sekunder merupakan reaktivasi penyakit TB

(TB pasca primer) terjadi bila daya tahan tubuh menurun, alkoholisme,

keganasan, silikosis, diabetes melitus, dan AIDS (World Health

Organization, 2020). Kuman Tuberkulosisini berbentuk batang,

mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan.

Oleh karena itu disebut pula sebagaiBasil Tahan Asam (BTA). Kuman

TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan

hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan
8

tubuh, kuman ini dapat dormant (tidur lama) beberapa tahun

(Wahyuni, Indarwati, 2015).

2.1.2 Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis (TB)

Diagnosis tuberkulosis ditegakkan dengan pemeriksaan spesimen

dahak pada penderita yang diduga suspek TB, pemeriksaan spesimen

ini dilakukan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu –

pagi – sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru ditegakkan dengan

ditemukannya bakteri Microbacterium tuberculosis (BTA) pada

sample dahak. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji

kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis, namun

mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja

tidak dibenarkan karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran

yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis

(Mardiah, 2019).

Selanjutnya untuk kepentingan pengobatan dan surveilans

penyakit, pasien harus dibedakan berdasarkan klasifikasi dan tipe

penyakitnya dengan maksud (Kemenkes RI, 2019) :

2.1.2.1 Berdasarkan definisi pasien TB

1) Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan

bakteriologis

Adalah seseorang pasien TB yang dikelompokkan berdasarkan

hasil pemeriksaan contoh uji biologinya dengan pemeriksaan

mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat yang

direkomendasikan oleh Kemenkes (misalnya : Gene Expert).


9

Termasuk dalam kelompok ini adalah :

(1) Pasien TB paru BTA positif.

(2) Pasien TB paru hasil biakan Mycobacterium

tuberculosis positif.

(3) Pasien TB paru hasil tes cepat Mycobacterium

tuberculosis positif.

(4) Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara

bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun tes

cepat dari uji contoh jaringan yang terkena.

(5) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan

bakteriologis.

2) Pasien TB terdiagnosis secara klinis

Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis

secara bakteriologis tetapi di diagnosis sebagai pasien TB aktif

oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :

(1) Pasien paru BTA negatif dengan hasil

pemeriksaan foto toraks mendukung TB.

(2) Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara

klinis maupun laboratoris dan histopatologis

tanpa konfirmasi bakteriologis.

(3) TB anak terdiagnosis dalam sistem scoring.

2.1.2.2 Berdasarkan lokasi anatomi penyakit

1) TB paru
10

TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru.

Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi

pada jaringan parut. Limfadenitis TB dirongga dada (hillus

atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat

gambaran radiologis yang mendukung TB paru dinyatakan

sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan

ekstra paru, diklasifikasikan sebagai TB paru.

2) TB ekstra paru

TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya:

pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kuli,

sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru

dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan

bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ektra paru harus

diupayakan berdasarkan penemuan mycobacterium

tuberculosi. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada

beberapa organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

2.1.2.3 Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

1) Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT

namun kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis)

2) Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya

pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28

dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil

pengobatan TB terakhir yaitu :


11

(1) Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan

sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosa

TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis

(baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).

(2) Pasien yang diobati kambali setelah gagal adalah pasien TB

yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan

terakhir.

(3) Pasien yang diobati kembali setelah berobat (loss to follow

up) adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan loss

to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai

pengobatan pasien setelah putus berobat/default).

(4) Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun

hasil pengobatan akhir sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

2.1.2.4 Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

1) Mono resistan (TB MR) adalah pasien yang resisten terhadap

salah satu jenis OAT lini pertama.

2) Poli resistan (TB PR) adalah pasien yang resisten terhadap

lebih dari salah satu jenis OAT lini pertama selain isoniazid

(H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.

3) Multi drug resistan (TB MDR) adalah pasien yang resisten

terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.

4) Extensive drug resistan (TB XDR) adalah TB MDR yang

sekaligus juga resiste terhadap salah satu OAT golongan


12

fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua

jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).

5) Resistan rifampisin (TB RR) adalah pasien yang resisten

terhadap rifampisin dengan atau tanpa resisten terhadap OAT

lain yang terdeteksi menggunakan genotip (tes cepat) atau

metode fenotipe (konvensional).

2.1.3 Etiologi Tuberkulosis (TB)

Penyebab Tuberkulosis (TB) adalah kuman Mycobacterium

tuberculosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini dapat

merupakan organisme patogen maupun saprofit. Bakteri yang

berbentuk batang (basil) berukuran panjang 5µ dan lebar 3µ, tidak

berspora dan tidak berkapsul (Price & Wilson, 2006) (Gambar 2.1).

Sebagian besar kuman terdiri atas lemak (lipid). Lipid inilah yang

membuat kuman lebih tahan lama terhadap asam dan tahan terhadap

gangguan kimia dan fisik. Oleh karena itu, disebut pula sebagai Basil

Tahan Asam (Widayanti et al., 2013). Kuman tersebut dapat tahan

hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan

bertahun-tahun dalam lemari es), hal ini terjadi karena kuman berada

dalam sifat dormant (Somantri, 2008).

Microbacterium Tuberculosis hidup di dalam jaringan sebagai

parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain kuman

tersebut adalah aerob berarti kuman lebih menyenangi jaringan yang

tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada

bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga


13

bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit Tuberkulosis

(Widayanti et al., 2013).

Gambar 2.1. Mikroskopis bakteri tahan asam (BTA) pada pengamatan


sediaan dari usap sputum, pasien TB paru. Tampak BTA
berupa batang langsing, berwarna merah, ada yang
soliter, ada yang bergerombol diantara latar belakang
biru, lendir, leukosit dan monosit, pada sediaan usapan
sputum dari pasien TB paru. Sediaan mikroskopis
dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. Pengamatan
mikroskopis pembesaran 1000x (Kemenkes RI, 2018)

2.1.4 Manifestasi Klinis Tuberculosis

Gejala Klinis TB paru sangat sulit di deteksi dan di

diagnosadikarenakan menyerupai penyakit lain dan dapat terjadi

bersama dengan penyakit paru lainnya. Maka dari itu diperlukan

pemeriksaan subjektif dan hasil pengujian objektif, riwayat penderita

TB meliputi paparan teradap TB, pekerjaan, aktivitas harian, dan

riwayat tinggal dengan kasus TB (Black & Hawks, 2009).

Gejala akibat TB paru adalah batuk produktif yang

berkepanjangan (lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis.

Gejala sistemik termasuk demam, menggigil, keringat malam,

kelemahan, hilangnya nafsu makan, dan penurunan berat badan.

Seseorang yang dicurigai menderita TB harus dianjurkan untuk


14

menjalani pemeriksaan fisik, tes tuberkulin Mantoux, foto toraks, dan

pemeriksaan bakteriologi atau histologi. Tes tuberkulin harus

dilakukan pada semua orang yang dicurigai menderita TB klinis aktif,

namun nilai tersebut dibatasi oleh reaksi negatif palsu, khususnya

seseorang dengan imunosupresif (misal, TB dengan infeksi HIV).

Seseorang yang diperkirakan memiliki gejala TB, khususnya batuk

produktif yang lama dan hemoptisis, harus menjalani foto toraks,

walaupun reaksi terhadap tes tuberkulin intradermalnya negative

(Price & Wilson, 2006).

2.1.5 Patofisiologi Tuberkulosis (TB)

Saat awal pasien terinfeksi oleh tuberkulosis disebut sebagai

“infeksi primer” dan biasanya terdapat pada apeks paru atau dekat

pleura lobus bawah. Infeksi primer mungkin hanya berukuran

mikroskopis, dan karenanya tidak tampak pada foto rontgen. Tempat

infeksi primer dapat mengalami proses degenerasi nekrotik tetapi bisa

saja tidak, yang menyebabkan pembentukan rongga yang terisi oleh

massa basil tuberkel seperti keju, sel-sel darah putih yang mati, dan

jaringan paru nekrotik. Pada waktunya, material ini mencair dan dapat

mengalir ke dalam percabangan trakheobronkhial dan dibatukkan.

Rongga yang terisi udara tetap ada dan mungkin terdeteksi ketika

dilakukan rontgen dada (Icksan & Reny, 2008).

Sebagian besar tuberkel primer menyembuh dalam periode

bulanan dengan membentuk jaringan parut dan pada akhirnya

terbentuk lesi pengapuran yang juga dikenal sebagai tuberkel Ghon.


15

Lesi ini dapat mengandung basil hidup yang dapat aktif kembali meski

telah bertahun-tahun dan menyebabkan infeksi sekunder. Infeksi TB

primer menyebabkan tubuh mengalami reaksi alergi terhadap basil

tuberkel dan proteinnya. Respons imun seluler ini tampak dalam

bentuk sensitisasi sel-sel T dan terdeteksi oleh reaksi positif pada tes

kulit tuberkulin. Perkembangan sensitivitas tuberkulin ini terjadi pada

semua sel-sel tubuh 2 sampai 6 minggu setelah infeksi primer dan

akan dipertahankan selama basil hidup berada dalam tubuh. Imunitas

didapat ini biasanya menghambat pertumbuhan basil lebih lanjut dan

terjadinya infeksi aktif (Asih et al., 2004).

Faktor yang mempunyai peran dalam perkembangan TB menjadi

penyakit aktif termasuk usia lanjut, imunosupresi, infeksi HIV,

malnutrisi, alkoholisme, penyalahgunaan obat, adanya keadaan

penyakit lain (diabetes melitus, gagal ginjal kronis, atau malignansi),

dan predisposisi genetik. Selain penyakit primer progresif, infeksi

ulang juga mengarah pada bentuk klini TB aktif. Tempat primer

infekksi yang mengandung basil TB dapat tetap laten selama bertahun-

tahun dan kemudia gteraktifkan kembali jika daya tahan klien

menurun. Penting untuk mengkaji kembali secara periodik klien yang

telah mengalami infeksi TB untuk mengetahui adanya penyakit aktif

(Asih et al., 2004).

2.1.6 Pencegahan Tuberculosis

Pencegahan Tuberkulosis dilakukan untuk mencegah agar tidak

menularkan ke orang lain dan tidak membuat penderita TB paru


16

mengalami keparahan. Adapun pencegahan yang dapat dilakukan ialah

sebagai berikut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2020) :

1) Menelan OAT secara lengkap dan teratur sampai sembuh. Pasien

TB harus menutup mulut dengan sapu tangan atau tissu atau

tangan pada waktu bersin dan batuk, dan mencuci tangan.

2) Tidak membuang dahak di sembarang tempat tetapi dibuang pada

tempat khusus dan tertutup, misalnya dengan menggunakan

wadah atau kaleng bertutup yang sudah diberi air sabun. Buanglah

dahak ke lubang WC.

3) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

(1) Menjemur alat tidur

(2) Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar udara dan sinar

matahari masuk. Sinar matahari langsung dapat mematikan

kuman TB

(3) Makan makanan bergizi

(4) Tidak merokok dan minum minuman keras

(5) Olahraga secara teratur

(6) Mencuci pakaian hingga bersih

(7) Buang air besar di jamban/WC

(8) Mencuci tangan hingga bersih di air yang mengalir setelah

selesai buang air besar, sebelum dan sesudah makan

(9) Beristirahat cukup

2.1.7 Pengobatan Tuberkulosis (TB)

Pengobatan TB paru menggunakan obat anti TB paru (OAT)


17

dengan metode directly observed treatment shortcourse (DOT‟S).

Pengobatan TB paru bertujuan untuk menyembuhkan pasien,

mencegahkematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai

penularan dan mencegahterjadinya resistensi kuman terhadap OAT

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2020). TB paru diobati

terutama dengan agens kemoterapi (agens anti TB paru) selama

periode 6 sampai 12 bulan. Lima medikasi garis depan digunakan:

isoniasid (INDH), rifampisin (RIF), streptomisin (SM), etambutol

(EMB), dan pirasinamid (PZA). Kapreomilisin, kanamisin, etionamid,

natrium para-aminosalisilat, amikasin, dan siklisin merupakan obat-

obat baris kedua (Smeltzer & Bare, 2002).

Tahapan pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua tahapan

yaitu tahapan awal (fase intensif) dan tahapan lanjutan (Muttaqin,

2012).

1) Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat.

(1) Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah rifampisin (R)

dan streptomisin (S).

(2) Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah rifampisin dan

isoniazid (INH).

2) Aktivitas sterilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant)

(1) Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah rifampisin dan

isoniazid.

(2) Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan rifampisin

dan isoniazid dan untuk very slowly growing bacilli digunakan


18

pirazinamid (Z).

3) Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas

bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.

(1) Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah etambutol (E),

asam para-amino salisilik (PAS), dan sikloserine.

(2) Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh

isoniazid dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder.

Tabel 2. 1 OAT lini pertama

Jenis Sifat Efek Samping


Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik,
gangguan fungsi hati, kejang.
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrointestinal,
urine berwarna merah, gangguan fungsi
hati, trombositopeni, demam, skin rash,
sesak nafas, anemia hemolitik
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal,gangguan
fungsi hati, gout artritis
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia,
agranulositosis, trombositopeni
Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta
warna, neuritis perifer
Sumber : (Kementrian Kesehatan RI, 2016)

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu fase

intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Panduan obat yang

digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama

yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah rifampisin,

isoniazid, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol (Muttaqin, 2012).

Program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan

panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan


19

pada urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Penderita dibagi

dalam empat kategori sebagai berikut (Muttaqin, 2012) :

1) Kategori I

Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan

penderita dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier,

perikarditis, peritonitis, pleuritis masif atau bilateral, spondiolitis

dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum negatif

tetapi dengan kelainan paru, TB usus, TB saluran perkemihan, dan

sebagainya. Pengobatan awal dengan fase 2 HRZS(E) obat yang

diberikan setiap hari selama dua bulan. Apabila selama dua bulan

sputum menjadi negatif, maka dimulai fase lanjutan. Namun,

setelah dua bulan sputum masih tetap positif maka fase intensif

diperpanjang 2 - 4 minggu lagi (dalam program P2TB Depkes

diberikan 1 blan dan dikenal sebagai obat sisipan), kemudian

diteruskan dengan fase lanjutan tanpa melihat apakah sputum

sudah negatif atau belum. Pengobatan pada fase lanjutan yaitu 4

HR atau 4 H3R3. Pada penderita meningitis, TB milier,

spondiolitis dengan kelainan neurologis, fase lanjutan diberikan

lebih lama, yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan.

Panduan alternatif pada fase lanjutan ialah 6 HE.

Tabel 2. 2 Dosis untuk panduan OAT dan KDT untuk kategori 1

Berat Tahap Intensif selama 56 Tahap Lanjutan 3 kali


Badan hari RHZE (150/75/400/275) seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
30-37kg 2 Tablet 4KDT 2 Tablet 2KDT
38-54kg 3 Tablet 4KDT 3 Tablet 2KDT
55-70kg 4 Tablet 4KDT 4 Tablet 2KDT
20

≥ 71kg 5 Tablet 4KDT 5 Tablet 2KDT

Sumber : (Kementrian Kesehatan RI, 2016)


21

Tabel 2. 3 Dosis Panduan OAT-Kombipak untuk kategori 1

Tahap Lama Dosis per hari /kali Jumlah


Pengobatan pengobatan Tablet Tablet Tablet Tablet hari/kali
menelan
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
obat
@ 300mg @ 450mg @ 500mg @ 250gm
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Sumber : (Kementrian Kesehatan RI, 2016)

2) Kategori II

Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum

tetap positif. Fase intensif dalam bentuk 2 HRZES-1 HRZE.

Setelah fase intensif sputum menjadi negatif, kemudian diteruskan

ke fase lanjutan. Apabila setelah tiga bulan sputum masih tetap

positif, maka fase intensif diperpanjang 1 bulan lagi dengan HRZE

(dikenal sebagai obat sisipan). Namun, setelah empat bulan sputum

masih tetap positif, maka pengobatan dihentikan 2-3 hari. Periksa

biakan dan uji resistensi kemudian pengobatan diteruskan dengan

fase lanjutan.

Tabel 2. 4 Dosis untuk panduan OAT dan KDT untuk kategori 2

Berat Tahap Intensif tiap hari RHZE Tahap Lanjutan 3 kali


Badan (150/75/400/275) + S seminggu RH (150/150)
+ E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37kg 2 Tab 4KDT + 500mg 2 Tab 4KDT 2 Tab 4KDT + 2 Tab
Streptomisin inj. Etambutol
38-54kg 3 Tab 4KDT + 750mg 3 Tab 4KDT 2 Tab 4KDT + 3 Tab
Streptomisin inj. Etambutol
55-70kg 4 Tab 4KDT + 1000mg 4 Tab 4KDT 4 Tab 2KDT
Streptomisin inj.
≥ 71kg 5 Tab 4KDT + 1000mg 5 Tab 4KDT 5 Tab 2KDT + 5 Tab
Streptomisin inj. Etambutol
(Sumber : Kemenkes RI, 2016)
22

Tabel 2. 5 Dosis paduan OAT Kombipak untuk kategori 2

Etambutol Jumlah
Tablet Kaplet Tablet
Tahap Lama Streptomisin hari/
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet
Pengobatan Pengobatan Inj. menelan
@300mg @450 mg @500mg @250mg @400mg
obat
Tahap
2Bulan 1 1 3 3 - 0,75gr 56
Intensif
1Bulan 1 1 3 3 - - 28
(dosis harian)
Tahap
lanjutan 4 Bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3 x
seminggu)
(Sumber : Kemenkes RI, 2016)

3) Kategori III

Kategori III adalah kasus dengan sputum negatif tetapi

kelainan parunya tidak luas. Pengobatan yang diberikan yaitu

2HRZ/6HE, 2HRZ/4HR, dan 2HRZ/4 H3R3.

4) Kategori IV

Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas

pengobatan rendah karena kemungkinan keberhasilan kecil sekali.

Pada negara kurang mampu dari segi kesehatan masyarakat, dapat

diberikan H saja seumur hidup. Pada negara maju dapat dicoba

pemberian obat berdasarkan uji resistensi atau obat lapis kedua

seperti quinolon, ethioamide, sikloserin, amikasin, kanamisin, dan

sebagainya.

2.2 Konsep Self-Efficacy

2.2.1 Pengertian Self-Efficacy

Self-efficacy merupakan keyakinan individu dalam mengelolah

perilaku-perilaku tertentu untuk mencapai kesembuhan . Keyakinan

diri penderita untuk sembuh dicapai salah satunya dari kognitif atau

pengetahuan yang diberikan oleh petugas kesehatan melalui konseling


23

(Kawulusan et al., 2019).

Self - efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuan

dirinya dalam mengorganisasikan dan melaksanakan kegiatan yang

mendukung kesehatannya berdasarkan tujuan dan harapan yang

diinginkan (Alliigood & Tomey, 2006).

Teori sosial kognitif menjelaskan bahwa self - efficacy adalah

keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur dan

melaksanakan suatu tindakan yang ingin dicapai. Keyakinan tentang

self – efficacy akan memberikan motivasi, kesejahteraan dan prestasi

seseorang (Peterson & Bredow, 2009). Teori self - efficacy didasarkan

pada premis bahwa individu membuat penilaian tentang kapasitas

mereka untuk terlibat dalam perilaku perawatan diri dalam

menghasilkan sesuatu yang diinginkan. Penilaian ini memberikan

jembatan antara pengetahuan dan perilaku perawatan diri yang

sebenarnya. Keyakinan self - efficacy juga membantu menentukan

banyak usaha yang dikeluarkan seseorang dalam suatu perilaku,

berapa lama mereka bertahan dalam menghadapi situasi yang

merugikan (Bandura, 1994) .

2.2.2 Konsep Teori Self - Efficacy

Menurut Lenz dan Bagget (2002) , dua konsep utama yang

terdapat pada self – efficacy adalah ekspektasi (self efficacy/efficacy

expectation) dan sukses (outcome expectation) menentukan bagaimana

seseorang akan berperilaku secara spesifik. Outcome expectation

merupakan keyakinan seseorang terhadap capaian dari hasil yang


24

diberikan akibat berperilaku. Sedangkan self – efficacy berfokus

kepada kepercayaan, keyakinan kemampuan seseorang untuk

menghasilkan perilaku tertentu. Seseorang termotivasi untuk

menunjukkan perilaku yang mereka yakini akan menghasilkan hasil

yang mereka inginkan.

2.2.3 Sumber Self - Efficacy

Menurut Ghufron dan Risnawita (2011) self - efficacy seseorang

dapat terbentuk oleh empat sumber yang mempengaruhi. Self –

efficacy tersebut dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan

melalui salah satu atau kombinasi empat faktor yang terdiri atas:

2.2.3.1 Performance Accomplishment

Pencapaian performa seseorang dapat terwujud melalui

berlatih dan pengalaman terdahulu. Berlatih adalah self - efficacy

terpenting karena hal tersebut berdasarkan pengalaman seseorang

sendiri. Selain itu pengalaman terdahulu seseorang dapat

berpengaruh terhadap self – efficacy. Pengalaman sukses/prestasi

akan membuat peningkatan pada self - efficacy, dan kegagalan juga

dapat menurunkan self – efficacy.

2.2.3.2 Vicarious Experience

Sumber lain yang dapat membentuk self – efficacy adalah

melalui mengamati orang lain. Seseorang dapat belajar dari

pengalaman orang lain dan meniru perilaku mereka untuk

mendapatkan seperti apa yang orang lain peroleh. Orang lain

dalam hal ini dapat menjadi role model yang menyediakan


25

informasi tentang tingkat kesulitan atau hal apapaun yang

berkaitan dengan perilaku spesifik tertentu. Orang yang menjadi

role model harus menunjukkan kemiripan karakteristik dengan diri

pengamat itu sendiri. Semakin orang yang diamati memiliki

kemiripan dengan dirinya, maka semakin besar potensial self –

efficacy yang akan disumbangkan oleh faktor ini. Orang yang

mengamati seseorang akan menggunakan indikator yang teramati

untuk mengukur kemampuan merekas sendiri dan menjadi dasar

mereka menentukan tujuannya.

2.2.3.3 Verbal Persuasion

Persuasi verbal merupakan sumber yang paling sering

digunakan sebagai pembentuk self - efficacy. Dengan memberi

arahan, persuasi, sarah, dan nasihat dapat membuat orang

menyadari kemampuan mereka serta mempengaruhi bagaimana

seseorang bertindak atau berperilaku. Seseorang yang senantiasa

diberikan keyakinan dan dorongan untuk sukses, maka akan

menunjukkan perilaku untuk mencapai kesuksesan tersebut, begitu

pula sebaliknya. Faktor ini sifatnya dapat berasal dari luar atau

dalam diri individu. Besar pengaruh yang dapat diberikan oleh

pemberi persuasi adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi

serta kriteria kerealistisan tentang apa yang dipersuasikan.

2.2.3.4 Physiological and Emotional Arousal

Kondisi fisiologis dan emosional juga dapat mempengaruh

pengambilan keputusan seseorang terkait self - efficacy. Dua fakor


26

tersebut dapat mempengaruhi seseorang dalam menilai

kemampuannya untuk menujukkan perilaku tertentu termasuk

mempertahankan perilaku kesehatan. Tekanan, ansietas serta

depresi adalah tanda defisiensi diri. Selain itu, kelelahan, nyeri,

hipoglikemi merupakan indikator self - efficacy fisik yang rendah.

Keadaan emosi yang menyertai induvidu ketika dirinya senang

melakukan suatu kegiatan akan mempengaruhi self - efficacy

seseorang tersebut. Emosi yang dimaksud adalah emosi yang kuat

seperti perasaan takut, stess, cemas dan gembira. Keadaan stress

dapat memberikan pengaruh negatif pada self - efficacy.

Self - efficacy dapat diperkuat melalui berbagai pengalaman

yang berhubungan dan akan mempengaruhi perilaku selanjutnya.

Seseorang akan memutuskan untuk berperilaku berdasarkan pada

pemikiran reflektif, penggunaan pengetahuan secara umum dan

kemampuan untuk melakukan suatu tindakan (Lenz dan Bagget,

2002).

2.2.4 Pengaruh Self - Efficacy

Bandura (1997) menjelaskan self - efficacy akan mempengaruhi

bagaimana orang berpikir, merasakan, memotivasi dirinya dan

bertindak dalam diri manusia melalui empat proses besar yakni:

2.2.4.1 Proses Kognitif

Self - efficacy mempengaruhi bagaimana pola pikir yang

dapat mendorong atau menghambat perilaku seseorang. Proses

kognitif terdiri atas tiga bentuk menurut Lenz dan Bagget (2002),
27

yakni :

1) Target dan aspirasi. Adanya self - efficacy yang kuat serta target

yang tinggi akan menantang seseorang untuk mengatur dirinya

dan komitmennya untuk mendapatkan hal yang diinginkan.

2) Visualisasi skenario positif dan negatif. Bagi mereka yang

memiliki self - efficacy yang tinggi akan memvisualisasikan

skenario secara positif dan mendukung begitu pula sebaliknya.

3) Kualitas berfikir analitik, self - efficacy akan meningkatkan

kemampuan berfikir analitik melakui proses berpikir terhadap

rintangan dan kesulitan.

2.2.4.2 Proses Motivasional

Seseorang juga dapat termotivasi oleh harapan yang

diinginkan. Di samping itu, kemampuan untuk mempengaruh diri

sendiri dan mengevaluasi penampilan pribadinya merupakan

sumber utama motivasi dan pengaturan dirinya. self - efficacy

merupakan salah satu hal terpenting dalam mempengaruhi diri

sendiri untuk membentuk sebuah motivasi. Self - efficacy

mempengaruhi tingkat pencapaian tujuan, kekuatan untuk

berkomitmen, seberapa besar usaha yang diperlukan, dan

bagaimana uasaha tersebut ditingkatkan ketika motivasi menurun.

2.2.4.3 Proses Afektif

Self - efficacy berperan penting dalam mengatur kondisi

afektif. Self - efficacy dapat mengatur emosi seseorang melalui

beberapa cara, yaitu seseorang yang percaya bahwa mereka mampu


28

mengelola ancaman tidak akan mudah tertekan oleh diri mereka

sendiri, dan sebaliknya self – efficacy seseorang yang rendah

cenderung memperbesar risiko, seseorang dengan self - efficacy

yang tinggi dapat menurunkan tingkat stress dan kecemasan

mereka dengan melakukan tindakan untuk mengurangi ancaman

lingkungan, memiliki kontrol pemikiran yang baik dan sebaliknya

seseorang dengan self – efficacy rendah dapat mendorong

munculnya depresi.

2.2.4.4 Proses Seleksi

Proses kognitif, motivasional, dan afektif akan

memungkinkan seseorang untuk membentuk keputusan untuk

melakukan tindakan dan bagaimana mempertahankanya.

Lingkungan yang sesuai akan membantu dalam pembentukan diri

serta pencapaian tujuan yang berpengaruh pada pengambilan

keputusan. Pengambilan keputusan melibatkan pilihan aktivitas

yang dipengaruhi oleh penilaian self - efficacy. Orang akan

cenderung menghindari tugas dan situasi yang mereka percaya

melebihi kemampuan mereka, sambil melanjutkan apa yang

mereka anggap masih berkompenten untuk dilakukan.

2.2.5 Dimensi Self – Efficacy

Self - efficacy memiliki tiga dimensi yang digunakan untuk

mengukur self - efficacy itu sendiri (Lenz dan Bagget, 2002),dimensi

self – efficacy terdiri atas :

2.2.5.1 Magnitude
29

Dimensi yang berfokus pada tingkat kesulitan yang

dihadapi oleh seseorang terkait usaha yang dilakukan. Magnitude

berhubungan dengan bagaimana kesulitan seseorang untuk

beradaptasi dengan perilaku spesifik tertentu. Dimensi ini

berimplikasi pada pemilihan perilaku yang dipilih berdasarkan

harapan akan keberhasilannya.

2.2.5.2 Generality

Berkaitan dengan seberapa besar atau luas cakupan tingkah

laku yang diyakini mampu dilakukan. Generality merupakan

derajat yang mana kepercayaan terhadap self - efficacy tersebut

terkait secara positif, baik dalam sebuah domain perilaku terhadap

domain perilaku, atau terhadap waktu. Berbagai pengalaman

pribadi dibandingkan pengalaman orang lain pada umumnya akan

lebih mampu meningkatkan self - efficacy seseorang.

2.2.5.3 Strength

Dimensi ini berfokus pada bagaimana kekuatan sebuah

harapan atau keyakinan induvidu akan kemampuan yang dimiliki.

Strenght merefleksikan seberapa yakin seseorang mampu

melakukan tugas tertentu. Keyakinan ataupun harapan yang lemah

bisa disebabkan karena adanya kegagalan, tetapi seseorang dengan

harapan yang kuat pada dirinya akan tetap berusaha gigih

meskipun mengalami kegagalan.

2.2.6 Faktor yang Mempengaruhi Self – Efficacy

Rosenstock dalam Lenz dan Bagget (2002), mengatakan bahwa


30

ciri personal, kedudukan, dan proses dalam diri seseorang dapat

mempengaruhi self – efficacy seseorang, hal tersebut antara lain: locus

of contol, self esteem, self confidence dan hardlines. Coppel dalam

Lenz dan Bagget (2002), menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara self – efficacy dengan faktor personal, yakni self esteem dan self

efficacy yang memiliki hubungan positif, self confidence dengan self

efficacy yang juga memiliki hubungan positif. Selain faktor personal,

faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi self - efficacy seseorang

adalah ekspektasi dan dukungan dari orang lain yakni berupa

dukungan sosial. Dukungan sosial salah satunya adalah dukungan

keluarga. Bentuk dukungan sosial adalah dapat berupa dukungan

instrumental, serta komunikasi persuasi yang bersifat membangun

keyakinan serta mengarahkan untuk menguatkan kemampuan yang

dimilikinya. Selain itu proses dan pemberian informasi juga termasuk

dalam pembentukan self – efficacy seseorang. Selain faktor-faktor

diatas terdapat variabel-variabel yang berkaitan dengan self - efficacy

antara lain :

2.2.6.1 Usia

Usia seseorang akan mempengaruhi tingkat self - efficacy

seseorang, hal tersebut bergantung kepada tahap perkembangan

mereka. Kemampuan fisik, psikologi dan kemampuan sosial

memungkinkan kebanyakan orang dapat meningkatkan self -

efficacy mereka karena kematangan serta kemampuan kontrol

mereka dalam kehidupan. Pengukuran self - efficacy pada diabetes


31

yang dilakukan pada anak berusia 8-12 tahun menghasikan hasil

yang bias dan tidak sesuai dengan penelitian yang diharapkan akibat

belum mampu mengambil keputusan secara pasti. Sedangkan pada

remaja pengukuran self - efficacy akan menjadi tantangan dan

berdampak pada self – efficacy seseorang. Menurut Chyntia et al

(2011) self – efficacy pada remaja awal diperlukan keterlibatan

dengan orang tua sehingga tidak menimbulkan salah tafsir.

Sedangkan pada usia lansia pengukuran ini akan menjadi bias

dilakukan akibat adanya penurunan kapasitas seseorang.

2.2.6.2 Jenis Kelamin

Penelitian yang dilakukan pada kelompok diabetes

ditemukan bahwa wanita memiliki self - efficacy lebih rendah dari

pada pria. Hal tersebut berhubungan dengan faktor sosial budaya

(Aamond et al, 2013).

2.2.6.3 Tipe Penyakit

Menggambarkan bahwa tipe penyakit dapat mempengaruhi

pengukuran self - efficacy seseorang. DM tipe 1 dan tipe 2

misalnya, meskipun sama-sama penyakit kronis namun DM tipe 2

memiliki komplikasi jangka panjang yang membutuhkan waktu

pengobatan yang lebih panjang. Pengukuran self - efficacy dapat

dilakukan pada aspek yang sama-sama dimiliki oleh tipe penyakit

misalkan melakukan exercise, penerapan diet pada penyakit DM.

2.2.6.4 Tingkat Keparahan Penyakit

Tingat keparahan penyakit dapat mempengaruhi self -


32

efficacy seseorang. Penelitiannya menunjukkan bahwa pasien

rheumatoid arthritis kronik dengan tingkat penyakit yang lebih

parah memiliki tingkat self - efficacy lebih rendah untuk

mengontrol rasa sakit, melakukan tugas fungsional, serta

mengontrol gejala lainnya (Somers et al, 2010). Hal tersebut terjadi

akibat orang yang mengalami tingkat penyakit lebih parahakan

berpengaruh terhadap bagaimana seseorang memandang

kemampuan dirinya sehingga berpengaruh terhadap keyakinannya.

2.2.6.5 Pendidikan

Orang dewasa dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi

cenderung memiliki tingkat self – efficacy yang relatif tinggi, serta

optimisme dan kebahagiaan (Riazi, 2014). Penelitian Aamond et al

(2013) menunjukkan bahwa pasien dengan tingkat pendidikan

tinggi memiliki self – efficacy yang lebih tinggi dibandingkan

pasien dengan pendidikan rendah pada pengelolaan diet DM tipe 2.

2.2.6.6 Status Pernikahan

Menurut penelitian Melba et al (2012) ditemukan bahwa

orang yang telah menikah dan tinggal bersama keluarga memiliki

self – efficacy lebih tinggi dari orang yang tinggal sendiri dalam

pengelolaan diabetes tipe 2, hal tersebut dikarenakan adanya

pemberdayaan keluarga sehingga keluarga juga berperan dalam

manajemen diabetes.

2.2.7 Alat Ukur Self-Efficacy

Pengukuran mengenai self efficacy dilakukan dengan


33

menggunakan skala yang dikembangkan berdasarkan aspek-aspek self

efficacy dari Albert Bandura (2006). Menurut Bandura (dalam

Lönnfjord & Hagquist, 2017) self-effcacy dapat digeneralisasikan

ketika terdapat persamaan yang terstruktur secara kognitif dalam

berbagai kegiatan oleh individu.

Scheier & Carver (1992) juga mengemukakan bahwa pengukuran

self effcacy pada konteks umum cukup stabil dalam berbagai domain

dan waktu pengukuran yang berbeda. General Self-Effcacy Scale pada

mulanya dikembangkan oleh Matthias Jerusalem dan Ralf Schwarzer

pada tahun 1979 yang terdiri dari 20 item (Scholz et al., 2002). Pada

tahun 1995 instrumen ini dimodifkasi menjadi 10 item (Teo & Kam,

2014). General Self-Effcacy Scale adalah instrumen yang bersifat

unidimensional, atau hanya mengukur satu faktor yaitu general self-

effcacy. General Self-Effcacy Scale telah diterjemahkan ke dalam 32

bahasa dan dipergunakan dalam penelitian di berbagai negara

termasuk Indonesia.

Berdasarkan jumlah pilihan jawaban, general self efficacy scale

terdiri dari 10 item dan menggunakan skala model Likert dengan

empat pilihan jawaban, yaitu: “sangat tidak sesuai” hingga “sangat

sesuai”. General self efficacy scale memiliki skor yang berkisar antara

10 –40. Perhitungan dalam skala ini dengan cara menjumlahkan setiap

skor yang di dapatkan oleh subjek pada setiap item pernyataan. Selain

itu, koefisien reliabilitas skala self efficacy ini yaitu 0,75 sampai 0,90.

Validitas pada skala ini teruji secara Internasional dan di Indonesia


34

dengan nilai 0,373 – 0,573 (Rahmawati, 2017). General Self efficacy

scale ini berkorelasi positif dengan optimisme dan kepuasan bekerja

sedangkan berkorelasi negatif dengan kecemasan, depresi, setres,

kelelahan, dan keluhan kesehatan (Novrianto et al., 2019). General

self efficacy scale memiliki 10 item pernyataan sebagai berikut :

Tabel 2.6 Kuesioner General self efficacy scale

Keterangan alternatif jawaban : STS (Sangat Tidak Sesuai) : 1, TS (Tidak

Sesuai) : 2, CS (Cukup Sesuai) : 3, SS (Sangat Sesuai) : 4

No. Item Pernyataan STS TS CS SS


Pemecahan soal – soal yang sulit selalu berhasil
1
bagi saya, kalau saya berusaha
Jika seseorang menghambat tujuan saya, saya akan
2
mencari cara dan jalan untuk meneruskannya
Saya tidak mempunyai kesulitan untuk
3
melaksanakan niat dan tujuan saya
Dalam situasi yang tidak terduga saya selalu tahu
4
bagaimana saya harus bertingkah laku
Kalau saya akan berkonfrontasi dengan sesuatu
5 yang baru, saya tahu bagaimana saya dapat
menanggulanginya
6 Untuk setiap problem saya mempunyai pemecahan
Saya dapat menghadapi kesulitan dengan tenang,
7 karena saya selalu dapat mengandalkan
kemampuan saya
Kalau saya menghadapi kesulitan, biasanya saya
8
mempunyai banyak ide untuk mengatasinya
Juga dalam kejadian yang tidak terduga saya kira,
9
bahwa saya akan dapat menanganinya dengan baik
10 Apapun yang terjadi, saya akan siap menanganinya
Sumber : (Novrianto et al., 2019)

2.3 Konsep Kepatuhan

2.3.1 Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan


35

atau pasrah pada tujuan yang telah ditentukan (Bastable, 2002).

Literatur perawatan kesehatan mengemukakan bahwa kepatuhan

berbanding lurus dengan tujuan yang dicapai pada program

pengobatan yang telah ditentukan. Kepatuhan sebagai akhir dari tujuan

itu sendiri, berbeda dengan faktor motivasi yang dianggap sebagai cara

untuk mencapai tujuan. Kepatuhan pada program kesehatan

merupakan perilaku yang dapat diobservasi dan dengan begitu dapat

langsung diukur. Motivasi, bagaimanapun, merupakan prekursor untuk

tindakan yang dapat diukur secara tidak langsung melalui konsekuensi

atau hasil yang berkaitan dengan perilaku (Bastable, 2002).

Komitmen atau keterikatan pada suatu program disebut sebagai

kesetiaan (adherence), yang mungkin bersifat abadi. Baik kepatuhan

maupun kesetiaan mengacu pada kemampuan untuk mempertahankan

program-program yang berkaitan dengan promosi kesehatan, yang

sebagian besar ditentukan oleh penyelenggara perawatan kesehatan.

Penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa karakteristik situasional

dan kepribadian memainkan suatu peran penting dalam menentukan

kepatuhan (Luker & Caress dalam Bastable, 2002).

Kepatuhan dalam pengobatan adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secara benar

tentang dosis, frekuensi, dan waktunya (Kurniawati & Nursalam,

2007). Ketidakpatuhan dalam pengobatan juga dapat dilihat terkait

dengan dosis, cara minum obat, waktu minum obat, dan periode

minum obat yang tidak sesuai dengan aturan (Lailatushifah, 2012).


36

Jenis-jenis ketidakpatuhan meliputi ketidakpatuhan yang disengaja

(intentional non compliance) dan ketidakpatuhan yang tidak disengaja

(unintentional non compliance). Ketidakpatuhan yang disengaja

(intentional non compliance) disebabkan karena keterbatasan biaya

pengobatan, sikap apatis pasien, dan ketidakpercayaan pasien akan

efektivitas obat. ketidakpatuhan yang tidak disengaja (unintentional

non compliance) karena pasien lupa minum obat, ketidaktahuan akan

petunjuk pengobatan, dan kesalahan dalam hal pembacaan etiket.

Beberapa dampak ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi

obat antara lain dikemukakan oleh Hayers, dkk dalam Lailatushifah

(2012), yaitu terjadinya efek samping obat yang dapat merugikan

kesehatan pasien, membengkaknya biaya pengobatan dan rumah sakit.

Selain hal tersebut, pasien juga dapat mengalami resistensi terhadap

obat tertentu. Terdapat sebagian obat yang bila penggunaannya

berhenti sebelum batas waktu yang ditentukan justru berakibat harus

diulang lagi dari awal. Pada penyakit TB paru, ketidakpatuhan dalam

minum obat yang seharusnya diminum secara berturut-turut selama

enam bulan, dapat berakibat penderita TB paru harus mengulang

pengobatan dari awal walaupun pasien tersebut telah minum obat

selama 1-2 minggu berturut-turut. Hal tersebut tentu akan memakan

waktu dan biaya yang lebih banyak dan kesembuhan menjadi

terhambat atau lebih lama.

Pengukuran kepatuhan sebagai perilaku, aspek-aspek yang diukur

sangat tergantung pada metode yang digunakan, seperti frekuensi,


37

jumlah pil/obat lain, kontiunitas, metabolisme dalam tubuh, aspek-

aspek bilogis dalam darah serta perubahan fisiologis dalam tubuh.

Morisky secara khusus membuat skala untuk mengukur kepatuhan

dalam mengkonsumsi obat yang dinamakan MMAS (Morisky

Medication Adherence Scale), dengan delapan item yang berisi

pernyataan-pernyataan yang menunjukkan frekuensi lupa dalam

minum obat, kesengajaan berhenti minum obat tanpa sepengetahuan

dokter, kemampuan mengendalikan dirinya untuk tetap minum obat

(Morisky & Muntner dalam Lailatushifah, 2012).

2.3.2 Teori-Teori Kepatuhan

Terdapat tiga teori utama yang dapat menjelaskan munculnya

perilaku patuh dalam pengobatan, yaitu Health Belief Model, Theory

of Planned Behavior (Weinman & Horne dalam Lailatushifah, 2012),

dan Model of Adherence (Morgan & Horne dalam Lailatushifah,

2012).

2.3.2.1 Health Belief Model

Health Belief Model yang asli dikembangkan di tahun

1950-an dari perspektif psikologi sosial untuk mengkaji mengapa

orang tidak berpartisipasi dalam program skrining kesehatan

(Rosenstock dalam Bastable, 2002). Model ini dimodifikasi oleh

Becker (1974) untuk menangani permasalahan kepatuhan pada

program pengobatan terapeutik. Dua alasan utama yang menjadi

dasar dibentuknya model itu yaitu keberhasilan terhadap

pencegahan penyakit dan program penyembuhan yang


38

memerlukan kepatuhan klien untuk berpartisipasi dan keyakinan

bahwa kesehatan memang sangat dihargai (Becker dalam

Bastable, 2002). Model ini didasarkan pada perkiraan bahwa

prediksi terhadap perilaku kesehatan dapat dilakukan jika tiga

komponen utama yang berinteraksi : persepsi individu, faktor

pemodifikasi, dan kemungkinan tindakan (Bastable, 2002).

2.3.2.2 Theory of Planned Behavior

Teori ini berusaha menguji hubungan antara sikap dan

perilaku yang fokus utamanya adalah pada intensi (niat) yang

mengantarkan hubungan antara sikap dan perilaku, norma subjektif

terhadap perilaku, dan kontrol terhadap perilaku yang dirasakan.

Sikap terhadap perilaku merupakan produk dari keyakinan tentang

hasil akhir dan nilai yang dirasakan dari hasil akhir tersebut.

2.3.2.3 Model of Adherence

Morgan & Horne dalam Lailatushifah (2012),

mengemukakan model unintentional nonadherence &

intentational nonadherence. Unintentional nonadherence

mengacu pada hambatan pasien dalam proses pengobatan.

Hambatan dapat muncul dari kapasitas dan keterbatasan sumber

dari pasien, meliputi defisiensi memori, keterampilan,

pengetahuan, atau kesulitan dengan rutinitas normal harian.

Intentional nonadherence menggambarkan cara pasien yang

terlibat dalam pengambilan keputusan pengobatan.

2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan


39

Kepatuhan dipengaruhi oleh 5 dimensi sebagaimana yang

dijelaskan dalam buku panduan WHO tahun 2003 mengenai

pengobatan jangka lama. Meskipun oleh sebagian orang mengatakan

bahwa kepatuhan ialah tentang bagaimana individu yang bersangkutan

mengatur dirinya agar selalu patuh, namun tidak bisa dihilangkan

faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan individu tersebut.

Berikut dijelaskan faktor yang dianggap sebagai 5 dimensi, yaitu :

2.3.3.1 Faktor Sosial dan Ekonomi (Social and Economic Factors)

Meskipun status ekonomi sosial tidak konsisten menjadi

prediktor tunggal kepatuhan, namun di negara-negara berkembang

status ekonomi sosial yang rendah membuat penderita untuk

menentukan hal yang lebih prioritas daripada untuk pengobatan.

Beberapa faktor yang secara signifikan dapat mempengaruhi

kepatuhan ialah status ekonomi sosial, kemiskinan,

kebutahurufan, pendidikan yang rendah, pengangguran,

kurangnya dukungan sosial, kondisi kehidupan yang tidak stabil,

jarak ke tempat pengobatan, transportasi dan pengobatan yang

mahal, situasi lingkungan yang berubah, budaya dan kepercayaan

terhadap sakit dan pengobatan, serta disfungsi keluarga.

2.3.3.2 Faktor Penderita (Patient-related Factors)

Persepsi terhadap kebutuhan pengobatan seseorang

dipengaruhi oleh gejala penyakit, harapan, dan pengalaman.

Mereka meyakini bahwa dari pengobatan akan memberikan

sejumlah efek samping yang dirasa mengganggu, selain itu


40

kekhawatiran tentang efek jangka panjang dan ketergantungan

juga mereka pikirkan. Pengetahuan dan kepercayaan penderita

tentang penyakit mereka, motivasi untuk mengatur pengobatan,

dan harapan terhadap kesembuhan penderita dapat mempengaruhi

perilaku penderita. Sedangkan faktor penderita yang

mempengaruhi kepatuhan itu sendiri ialah lupa, stress psikososial,

kecemasan akan keadaan lebih parah, motivasi yang rendah,

kurangnya pengetahuan dan ketidakmampuan untuk me-manage

gejala penyakit dan pengobatan, kesalahpahaman dan

ketidakterimaan terhadap penyakit, ketidakpercayaan terhadap

diagnosis, kesalahpahaman terhadap instruksi pengobatan,

rendahnya harapan terhadap pengobatan, kurangnya kontrol

pengobatan, tidak ada harapan dan perasaan negatif, frustasi

dengan petugas kesehatan, cemas terhadap komplektisitas

regimen pengobatan, dan merasa terstigma oleh penyakit.

Motivasi penderita untuk patuh dalam pengobatan

dipengaruhi oleh nilai dan tempat dimana mereka berobat (baik

biaya maupun kepercayaan terhadap pelayanan). Sehingga untuk

meningkatkan tingkat kepatuhan penderita, maka petugas

kesehatan perlu meningkatkan kemampuan manajerial,

kepercayaan diri, serta sikap yang meyakinkan kepada penderita.

2.3.3.3 Faktor Terapi (Therapy-Related Factors)

Ada banyak faktor terapi yang mempengaruhi kepatuhan,

diantaranya komplektisitas regimen obat, durasi pengobatan,


41

kegagalan pengobatna sebelumnya, perubahan dalam pengobatan,

kesiapan terhadap adanya efek samping, serta ketersediaannya

dukungan tenaga kesehatan terhadap penderita.

2.3.3.4 Faktor Kondisi (Conditions-Related Factors)

Faktor kondisi merepresentasikan keadaan sakit yang

dihadapi oleh penderita. Beberapa yang dapat mempengaruhi

kepatuhan ialah keparahan gejala, tingkat kecacatan, progres

penyakit, adanya pengobatan yang efektif. Pengaruh dari faktor-

faktor tersebut tergantung bagaimana persepsi penderita, namun

hal yang paling penting ialah penderita tetap mengikuti pengobatan

dan menjadikan prioritas.

2.3.3.5 Faktor Tim atau Sistem Kesehatan (Health Care

System/Team Factors)

Penelitian yang menghubungkan antara sistem kesehatan

dan kepatuhan sendiri masih sedikit. Meski demikian hubungan

yang baik antara tenaga kesehatan dan penderita dapat

meningkatkan kepatuhan penderita dalam pengobatan. Beberapa

faktor yang dapat memberi pengaruh negatif antara lain

kurangnya pengembangan sistem yang dibiayai oleh asuransi,

kurangnya sistem distribusi obat, kurangnya pengetahuan dan

pelatihan kepada tenaga kesehatan tentang me-manage penyakit

kronik, jam kerja yang berlebih, imbalan biaya yang tidak sepadan

terhadap tenaga kesehatan, konsultasi yang sebentar,

ketidakmampuan membangun dukungan komunitas dan


42

manajemen diri penderita, kurangnya pengetahuan tentang

kepatuhan dan intervensi yang efektif untuk meningkatkannya.

2.3.4 Alat Ukur Kepatuhan

Kepatuhan merupakan kejadian multifaktor yang saling terkait

yaitu antara faktor sosial dan ekonomi, faktor sistem kesehatan, faktor

kondisi penyakit, faktor terapi dan faktor pasien (Julaiha, 2019). Salah

satu instrumen kepatuhan pengobatan yang dapat dipakai adalah

MMAS-8 (Morisky Medication 8- item Adherence Scale) yaitu nilai

kepatuhan mengkonsumsi obat dengan 8 skala pengukuran yang

digunakan untuk mengukur kepatuhan minum obat pada penderita

penyakit kronik yang membutuhkan terapi jangka panjang seperti

hipertensi, diabetes mellitus, TBC, dll (Morisky, et al, 2008).

Kuesioner ini tersusun atas delapan pertanyaan. Kategori respon

diisi dengan jawaban “ya” atau “tidak” untuk item pertanyaan nomor 1

sampai 7. Pada item pertanyaan nomor 1- 4 dan 6-7 nilai 1 bila

jawaban “tidak” dan 0 bila jawaban “ya”, sedangkan item pertanyaan

nomor 5 (unfavorable) dinilai 1 bila jawaban “ya” dan 0 bila jawaban

“tidak”. Item pertanyaan nomor 8 dinilai dengan 5 skala likert dengan

nilai 4 = tidak pernah, 3 = sesekali, 2 = kadang-kadang, 1 = biasanya,

dan 0 = selalu (Morisky dkk, 2008). Skor totar dari hasil perhitungan

kuesioner ini berentang antara 0-8.

Interpretasi kepatuhan penggunaan obat MMAS-8 dikategorikan

menjadi 3 tingkatan kepatuhan, yaitu kepatuhan tinggi (nilai = ≥8),

kepatuhan sedang (nilai = 6 - 7), dan kepatuhan rendah (nilai = ≤5)


43

(Srikartika et al., 2016). Kuesioner MMAS-8 memiliki validitas yang

baik dengan hasil internal consistency reliability yang dinilai

menggunakan Cronbach's alpha coefficient adalah α = 0,824 dan

reliabilitas tinggi α = 0,83 dengan nilai sensitivitas 93% dan

spesifisitas 53% (de Oliveira-Filho et al., 2014). Berikut kuisioner

kepatuhan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) :

Table 2.7 Kuisioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8)

No Pertanyaan IYA TIDAK


1 Apakah anda terkadang lupa minum obat? NILAI 0 NILAI 1
2 Orang terkadang melewatkan minum obat karena NILAI 0 NILAI 1
alasan laindaripada melupakan. Berpikir selama
dua minggu terakhir, apakah adahari-hari ketika
anda tidak minum obat?
3 Apakah anda pernah mengurangi atau berhenti NILAI 0 NILAI 1
minum obat tanpamemberitahu dokter anda,
karena anda merasa lebih buruk ketika anda
meminumnya?
4 Saat anda bepergian atau keluar rumah, apakah NILAI 0 NILAI 1
anda terkadang lupa membawa sepanjang
pengobatan anda?
5 Apakah anda minum obat kemarin? NILAI 1 NILAI 0
6 Ketika anda merasa kondisi kesehatan anda NILAI 0 NILAI 1
terkendali, apakah anda terkadang berhenti minum
obat?
7 Minum obat setiap hari adalah ketidaknyamanan NILAI 0 NILAI 1
yang nyata bagi beberapa orangorang-orang.
Apakah anda pernah merasa kerepotan menjalani
perawatanrencana?
8 Seberapa sering anda kesulitan mengingat untuk Tidak pernah/jarang (4)
Sesekali (3)
mengambil semua milik anda obat-obatan?
44

No Pertanyaan IYA TIDAK


Terkadang (2)
Biasanya (1)
Sepanjang waktu (0)
Sumber : Morisky DE, Green LW, Levine DM. Current and Predictive
Validity of a Self-reported measure of Medication Adherence. Med
Care.2008
45

2.4 Hubungan Self – Efficacy dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien

TB Paru

Hubungan peran keluarga dan self efficacy pasien dengan kepatuhan

berobat pada pasien TB paru dibuktikan oleh Ahmad Sapiq pada tahun 2015.

Penelitian tersebut menggunakan desain analitik cross sectional dengan

jumlah sampel 27 pasien TB paru. Teknik pengambilan sampel menggunakan

sampling jenuh. Pengumpulan data dengan kuesioner dan analisa data

menggunakan korelasi spearman rank α = 5%. Penelitian ini dilakukan pada

pasien TB paru di wilayah kerja Puskemas Pekauman Banjarmasin Selatan,

dengan hasil penelitian 91,3% dari 27 responden mempunyai self efficacy

yang tinggi dan patuh dalam menjalani pengobatan TB paru.

Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang adalah

pada variabel independen. Variabel independen penelitian sebelumnya yaitu

self efficacy dan konsep diri dan penelitian sekarang yaitu self efficacy.

Perbedaan juga pada analisa data, lokasi dan tempat antara penelitian

sebelumnya dan penelitian sekarang. Penelitian sebelumnya menggunakan

analisa data spearman rank dan penelitian sekarang menggunakan analisa

data chi square. Teknik pengambilan sampel pada penelitian sebelumnya

menggunakan sampling jenuh dan penelitian sekarang menggunakan total

sampling. Lokasi dan tempat penelitian sebelumnya berada di wilayah kerja

Pekauman Banjarmasin Selatan, sedangkan penelitian sekaran berada di

wilayah kerja Puskesmas Genteng Kulon, Kabupaten Banyuwangi.


2.5 Tabel Sintesis

Tabel 2.8 Tabel sintesis

No Judul; Penulis; Tahun Metode (Desain, Sampel, Hasil


Variabel, Instrumen, Analisis)
Gambaran Self- Efficacy Desain : deskriptif non Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS Khusus
pada Klien dengan Penyakit eksperimental dengan Paru (Respira), Puskesmas Piyungan dan Puskesmas
TBC dalam Pengobatan di rancangan single variable Sewon II Bantul dapat diambil kesimpulan sebagai
RS Khusus Paru Sampel : 31 orang penderita TB berikut :
(RESPIRA), Puskesmas yang menjalani program 1 Distribusi frekuensi mengenai karakteristik responden
Piyungan dan Puskesmas pengobatan TB paling banyak klien berumur 18-40 tahun (38,7%),
Sewon II Bantul Variabel : pendidikan klien SMA (29,0%), jenis kelamin laki-
Yogyakarta (Tarafannur, Single variable : Gambaran self laki (74,2%), pekerjaan dengan tidak bekerja (29,0%).
2017) efficacy pada klien dengan 2 Distribusi frekuensi mengenai Self-Efficacy klien
penyakit TBC dalam pengobatan TBC dalam kategori tinggi
Instrumen : Guide for sebanyak (64,5%)
Constructing Self-Efficacy Scale
Analisis : Wilcoxon Sign
Rank, Mann-Whitney
Pengaruh Health Coaching Desain : quasy eksperiement Intervensi health coaching berbasis health promotion
berbasis Health Promotion dengan rancangan pre test post model dapat meningkatkan efikasi diri dan perilaku
Model terhadap test group design dengan pencegahan penularan pada pasien TB paru
Peningkatan Efikasi Diri kelompok kontrol.
dan Perilaku Pencegahan Sampel : penderita TB yang
Penularan pada Pasien TB menjalani pengobatan di
Paru. (Sitanggang, 2017) Puskesmas Martapura dan
Puskesmas Martapura Timur 15

46
No Judul; Penulis; Tahun Metode (Desain, Sampel, Hasil
Variabel, Instrumen, Analisis)
responden untuk kelompok
perlakuan dan 15 responden
untuk keelompok kontrol
Variabel :
Independen : health coaching
Dependen : efikasi diri dan
perilaku pencegahan penularan
yang terdiridari pengetahuan,
sikap, dan tindakan.
Instrumen : general self efficacy
scale dan pre test post test self
efficacy
Analisis : uji MANOVA
(multivariate analisis of
variance)
3 Hubungan Efikasi Diri Desain : penelitian kuantitatif, Berdasarkan hasil penelitian diperoleh presentase
dengan Kepatuhan Minum dengan pendekatan deskriptif responden yang memiliki efikasi diri kategori tinggi
Obat Penderita analitik, rancangan penelitian sebanyak 25 responden (64,1%), 14 responden kategori
Tuberkulosis Paru di retrospektif sedang (35,9%). Persentase sebanyak 23 responden
Rumah Sakit Paru Respira Sampel : 39 orang yang tidak patuh (59%), 16 responden patuh
Yogyakarta. (Sutrisna, menjalani pengobatab TB paru di (41%). Keeratan hubungan efikasi diri dengan kepatuhan
2017) RS Paru Respira Yogyakarta minum obat penderita tuberkulosis paru sebesar 0,407
Variabel : termasuk dalam keeratan cukup.
Independen : Efikasi diri
penderita TB
Dependen : Kepatuhan minum

47
No Judul; Penulis; Tahun Metode (Desain, Sampel, Hasil
Variabel, Instrumen, Analisis)
obat penderita TB
Intrumen : Guide for
Constructing Self-
Efficacy Scale dan
MMAS-8
A : analisis
deskriptif dan uji kendall tau
pada analisis inferensial
Hubungan Antara Desain : Penelitian kuantitatif Adanya hubungan yang positif dan signifikan antara
Pengetahuan dengan dengan pendekatan cross pengetahuan dengan efikasi diri penderita TB paru di
Efikasi Diri Penderita sectional BBKPM Surakarta.
Tuberkulosis Paru di Balai Sampel : 72 orang penderita TB
Kesehatan Paru Masyarakat paru yang menjalani rawat jalan
Surakarta. (Herawati, 2015) di Poliklinik TB BBKPM
Variabel :
Independen : Pengetahuan
Dependen : Efikasi diri
penderita Tuberkulosis Paru
Instrumen : kuesioner
pengetahuan penderita TB Paru
dan efikasi diri penderita TB
Paru.
Analisis : analisa deskriptif
(Univariat)
dengan tabel distribusi frekuensi
dan

48
No Judul; Penulis; Tahun Metode (Desain, Sampel, Hasil
Variabel, Instrumen, Analisis)
analisis Bivariat dengan uji
koefisien korelasi spearman
rank (Rho).

The Relationship between Desain : deskriptif korelasional Berasar hasil analisis dapat disimpulkan bahwa terdapat
perceived family support as Sampel : 44 orang Penderita TB hubungan positif antara persepsi dukungan keluarga
drug consumption yang berobat di BKPM Semarang sebagai PMO dengan efikasi diri penderita TB di BKPM
controller / pengawas Variabel: wilayah Semarang.
minum obat (PMO)’S and Independen : persepsi dukugan
Self Efficacy og keluarga
tuberculosis Patients in sebagai PMO
BKPM Semarang Region. Dependen : efikasi diri
(Hendiani Nurlita, Instrumen : Perceived Family
Hastaning Sakti, 2012) Support as PMOScale (22 aitem α
= 0.906) and the Self-Efficacy
Scale (20 aitem α = 0.932)
Analisis : simple analysis
regresion

49
BAB 3
KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep


Faktor yang mempengaruhi
kepatuhan pengobatan TB:
1. Faktor Sosial dan Ekonomi
Faktor yang mempengaruhi (Social and Economic
Domain general self-
self efficacy: Factors) efficacy scale :
1. Usia 2. Faktor Penderita (Patient- 1. Magnitude
2. Jenis Kelamin related Factors) 2. Generality
3. Tipe Penyakit - Self efficacy 3. Strength
4. Tingkat Keparahan Penyakit
3. Faktor Terapi (Therapy-
5. Pendidikan
6. Status pernikahan Related Factors)
4. Faktor Kondisi (Conditions-
Related Factors) Output Self Efficacy :
5. Faktor Tim/Sistem Kesehatan Skor rentang antara 0 sampai
(Health Care System/Team 40 semakin tinggi skor
menunjukkan self efficacy
Factors)
yang semakin tinggi

Pasien TB paru dengan


program pengobatan TB Kepatuhan Pengobatan

Domain alat ukur kepatuhan


MMAS – 8 :
1. Kesengajaan berhenti minum
obat
2. Kemampuan mengontrol diri
3. Frekuensi kelupaan dalam
minum obat

Output Kepatuhan
1. Tinggi : nilai skor ≥ 8
2. Sedang : nilai skor 6-7
3. Rendah : nilai skor ≤ 5

Keterangan :
: diteliti

: tidak diteliti

Bagan 3.1. Kerangka konseptual Hubungan Self Efficacy dengan


Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Genteng Kulon Kabuaten Banyuwangi
Tahun 2021

50
51

3.2 Hipotesa Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pertanyaaan penelitian (Nursalam, 2016). Hipotesis disusun sebelum peneliti

melakukan penelitian karena hipotesis akan bias memberikan petunjuk pada

tahap pengumpulan analiss dari interpretasi data.

Berdasarkan kerangka konseptual diatas maka dapat diturunkan suatu

hipotesis : Ada hubungan antara Self-efficacy penderita TB paru dengan

kepatuhan minum obat pada pasien TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas

Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021.


BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah suatu rancangan yang disusun untuk

memperoleh jawaban pertanyaan penelitian, tujuan penelitian serta sebagai

pedoman yang membantu peneliti mendapat jawaban yang sahih, objektif,

akurat, serta hemat (Setiadi, 2007). Desain yang digunakan dalam

penelitian ini adalah survei analitik korelasi dengan menggunakan

pendekatan cross sectional (Notoatmodjo, 2012). Cross sectional adalah

suatu pendekatan dengan variabel sebab dan akibat yang terjadi pada objek

penelitian diukur secara bersamaan, sesaat atau satu kali saja dalam satu

kali waktu (point time approach) (Setiadi, 2007). Peneliti melakukan

observasi serta melakukan pengukuran tentang self efficacy serta

kepatuhan minum obat pada pasien TB paru di wilayah kerja Puskesmas

Genteng Kulon dalam satu waktu untuk mengetahui seberapa besar

hubungan antara kedua variabel.

52
53

4.2 Kerangka Kerja


Populasi : Penderita TB paru yang sedang menjalani program pengobatan TB di
wilayah kerja Puskesmas Genteng Kulon, Banyuwangi 2021, yaitu sejumlah 29
orang

Total Sampling

Sampel : Penderita TB paru yang sedang menjalani program pengobatan TB


di wilayah kerja Puskesmas Genteng Kulon, Banyuwangi 2021, yaitu
sejumlah 29 orang

Desain penelitian : survei analitik korelasi dengan


menggunakan pendekatan cross sectional

Informed consent

Pengumpulan data

Kuisioner Self Efficacy Kuisioner kepatuhan minum obat


(General Self Efficacy Scale) (Morisky Medication Adherence
Scale (MMAS-8))

Editing, scoring, tabulating


Editing, scoring, tabulating

Uji hipotesis dengan uji korelasi : chi square

Kesimpulan

Bagan 4.1 Kerangka Kerja : Hubungan Self-Efficacy Dengan Kepatuhan


Minum Obat Pada Pasien Tb Paru Di Puskesmas Genteng Kulon
Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021
54

4.3 Populasi, Sampel, dan Sampling Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subjek/objek yang mempunyai

kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2014).

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penderita TB

paru yang sedang menjalani program pengobatan TB di wilayah

kerja Puskesmas Genteng Kulon, Kecamatan Genteng, Kabupaten

Banyuwangi yaitu sejumlah 29 orang berdasarkan data bulan Juni

2021.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2014). Sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah 29 penderita TB paru yang

sedang menjalani program pengobatan TB di wilayah kerja

Puskesmas Genteng Kulon, Kecamatan Genteng, Kabupaten

Banyuwangi.

4.3.3 Teknik Sampling Penelitian

Peneliti ingin menggunakan teknik non probability

sampling. Teknik non probability sampling adalah teknik

penarikan sampel yang tidak memberikan peluang yang sama bagi

setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih untuk menjadi

sampel (Nursalam, 2008). Dan peneliti menggunakan teknik total

sampling. Menurut Sugiyono (2014) mengatakan bahwa total


55

sampling adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota

populas digunakan sebagai sampel. Sampel ini digunakan jika

jumlah populasi relatif kecil yaitu tidak lebih dari 30 orang, total

sampling disebut juga sensus, di mana semua anggota populasi

dijadikan sebagai sampel. Maka dari uraian di atas, teknik

penarikan sampel yang digunakan sebagai penelitian sebanyak 29

penderita TB paru yang sedang menjalani program pengobatan TB

di wilayah kerja Puskesmas Genteng Kulon, Kecamatan Genteng,

Kabupaten Banyuwangi.

4.3.4 Kriteria Subjek Penelitian

Menentukan kriteria subjek penelitian dilakukan agar

karakteristik sampel tidak menyimpang dari populasinya

(Notoatmodjo, 2012).

4.3.4.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subjek

penelitian dari suatu populasi target dan terjangkau yang akan

diteliti (Setiadi, 2007). Kriteria inklusi pada penelitian ini

adalah:

1) Merupakan penderita TB yang sedang dalam pengobatan

kategori 1 dan 2

2) Merupakan penderita TB yang telah menjalani pengobatan

selama 1 bulan

3) Merupakan penderita TB berusia 17 tahun keatas


56

4.3.4.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan ciri-ciri anggota populasi yang

tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012).

Adapun kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :

1) Merupakan penderita TB yang tidak bersedia mengikuti

penelitian.

2) Merupakan penderita TB disertai diagnose gangguan

kejiwaan.

4.4 Identifikasi Variabel

4.4.1 Variabel independen

Variabel independen merupakan variabel yang menjadi

penyebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat)

(Aziz Alimul, 2011). Variable independen dalam penelitiannya

adalah self efficacy penderita TB Paru.

4.4.2 Variabel Dependen

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi

atau menjadi akibat karena independen. (Aziz Alimul, 2011).

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tingkat kepatuhan

minum obat penderita TB Paru.


4.5 Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Indikator Alat Ukur Skala Hasil Ukur


1 Variabel Keyakinan seseorang a. Pengobatan TB Kuesioner Nominal Skor rentang antara 0
Independen : akan kemampuan Paru : cara atau yang terdiri dari sampai 40 semakin tinggi
Self efficacy dirinya untuk Proses dalam 10 skor menunjukkan self
Penderita TB mencapai suatu tujuan penyembuhan pertanyaan efficacy yang tinggi
yang diinginkan, yaitu b. Pencegahan TB modifikasi dari
Skor :
menjalani pengobatan Paru : menguragi General self 1. Self efficacy tinggi ≥
TB Paru sesuai resiko infeksi efficacy scale mean 20
anjuran petugas dan penularan 2. Self efficacy rendah ≤
kesehatan. penyakit mean 20
2 Variable Perilaku penderita a. Patuh : Kuesioner yang Ordinal 1. Tinggi : nilai skor ≥ 8
Dependen : untuk melakukan melaksanakan terdiri dari 8 2. Sedang : nilai skor 6-
Kepatuhan instruksi dalam sesuai dengan pertanyaan oleh 7
Minum Obat pengobatan yang yang dianjurkan Morisky 3. Rendah : nilai skor ≤
Penderit TB Paru dianjurkan b. Tidak patuh : Medication 5
tidak melakukan Adherence Scale
yang telah
dianjurkan

57
4.6 Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

Pengumpulan data merupakan suatu proses pendekatan kepada

subjek dan pengumpulan karakteristik subyek dalam penelitian (Nursalam,

2008).

4.6.1 Sumber Data

4.6.1.1 Data Primer

Data primer merupakan data sumber yang diperoleh sendiri

oleh peneliti dari hasil pengukuran, pengamatan, survei, dan lain-

lain (Setiadi, 2007). Data primer pada penelitian ini adalah data

hasil kuesioner mengenai self efficacy dan kepatuhan minum obat.

4.6.1.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti yang

berasal dari sumber lain (Notoatmodjo, 2010). Data sekunder

diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi dan data

dari Puskesmas Genteng Kulon berupa jumlah pasien TB di setiap

puskesmas.

4.6.2 Instrumen Pengumpulan Data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan lembar kuesioner mengenai variabel independen dan

variabel dependen

4.6.2.1 Kuesioner Karakteristik Responden

Kuesioner ini untuk mendapatkan gambaran karakteristik

responden dan gambaran karakterisitik penyakit responden.

58
Karakteristik responden meliputi nama, usia, jenis kelamin, alamat,

pendidikan, status perkawinan, pekerjaan.

4.6.2.2 Kuesioner Self-Effcacy

General Self-Effcacy Scale pada mulanya dikembangkan

oleh Matthias Jerusalem dan Ralf Schwarzer pada tahun 1979 yang

terdiri dari 20 item (Scholz et al., 2002). Pada tahun 1995 instrumen

ini dimodifkasi menjadi 10 item (Teo & Kam, 2014). General Self-

Effcacy Scale adalah instrumen yang bersifat unidimensional, atau

hanya mengukur satu faktor yaitu general self-effcacy. General Self-

Effcacy Scale telah diterjemahkan ke dalam 32 bahasa dan

dipergunakan dalam penelitian di berbagai Negara termasuk

Indonesia.

Berdasarkan jumlah pilihan jawaban, general self efficacy

scale terdiri dari 10 item dan menggunakan skala model Likert

dengan empat pilihan jawaban, yaitu: “sangat tidak sesuai” hingga

“sangat sesuai”. General self efficacy scale memiliki skor yang

berkisar antara 10 – 40. Perhitungan dalam skala ini dengan cara

menjumlahkan setiap skor yang di dapatkan oleh subjek pada setiap

item pernyataan. Selain itu, koefisien reliabilitas skala self efficacy

ini yaitu 0,75 sampai 0,90. Validitas pada skala ini teruji secara

Internasional dan di Indonesia dengan nilai 0,373 – 0,573 (dalam

Rahmawati, 2017). General Self efficacy scale ini berkorelasi positif

dengan optimisme dan kepuasan bekerja sedangkan berkorelasi

59
negatif dengan kecemasan, depresi, setres, kelelahan, dan keluhan

kesehatan (Novrianto et al., 2019).

4.6.2.3 Kuesioner Kepatuhan

Kuesioner kepatuhan disusun dalam bentuk pertanyaan

dengan menggunakan kuesioner Morisky Medication Adherence

Scale : MMAS-8 yakni dengan 2 kategori, dimana 2 sebagai cut of

point. Penentuan jawaban kuesioner menggunakan skala Guttman,

yaitu jawaban responden hanya terbatas pada dua jawaban ya atau

tidak (Vika et al., 2016).

Kuesioner ini tersusun atas delapan pertanyaan. Kategori

respon diisi dengan jawaban “ya” atau “tidak” untuk item pertanyaan

nomor 1 sampai 7. Pada item pertanyaan nomor 1- 4 dan 6-7 nilai 1

bila jawaban “tidak” dan 0 bila jawaban “ya”, sedangkan item

pertanyaan nomor 5 (unfavorable) dinilai 1 bila jawaban “ya” dan 0

bila jawaban “tidak”. Item pertanyaan nomor 8 dinilai dengan 5 skala

likert dengan nilai 4 = tidak pernah, 3 = sesekali, 2 = kadang-kadang,

1 = biasanya, dan 0 = selalu (Morisky dkk, 2008). Skor totar dari hasil

perhitungan kuesioner ini berentang antara 0-8.

Interpretasi kepatuhan penggunaan obat MMAS-8 dikategorikan

menjadi 3 tingkatan kepatuhan, yaitu kepatuhan tinggi (nilai = ≥8),

kepatuhan sedang (nilai = 6 - 7), dan kepatuhan rendah (nilai = ≤5)

(Srikartika et al., 2016). Kuesioner MMAS-8 memiliki validitas yang

baik dengan hasil internal consistency reliability yang dinilai

menggunakan Cronbach's alpha coefficient adalah α = 0,824 dan

60
reliabilitas tinggi α = 0,83 dengan nilai sensitivitas 93% dan

spesifisitas 53% (de Oliveira-Filho et al., 2014).

Tabel 4.2 Blue Print Kuesioner MMAS-8

Variabel /Sub Indikator Pernyataan Jumlah


Variabel Butir
Favorabel Unfavorabel
Kepatuhan Kepatuhan 1,2,3,4, 6,7,8 5 8
Minum Obat
Pasien Tb Paru
Total 8

4.6.3 Prosedur Pengambilan Data

Dalam masa pandemi Covid-19 ini, persoalan darimana data itu

berasal, tentunya menjadi persoalan krusial yang harus dipecahkan dan

disepakati (Basuki, 2020). Penelitian yang menggunakan data primer,

yakni face to face antara peneliti dengan manusia lain yang diteliti,

banyak mengalami kendala. Misalnya masalah perijinan penelitian,

banyaknya pabrik dan kantor-kantor yang tutup dan lain sebagainya.

Survey sulit dilakukan tanpa adanya proses perijinan, serta terdapat

kendala social and physical distancing pada masa pandemi ini sehingga

sangat menyulitkan untuk melakukan penelitian survey di lapangan.

Walaupun demikian, dalam masa pandemi Covid-19 ini,

mahasiswa masih mungkin untuk melakukan penelian dengan angket dan

wawancara mendalam secara face to face dengan subyek penelitian,

terutama yang berkaitan dengan tema - tema misalnya policy and

everydaylife, dampak sosial, dampak ekonomi masyarakat, partisipasi

masyarakat, pendampingan masyarakat dan lain lain namun harus dengan

protocol kesehatan yang berlaku. Protokol kesehatan yang dimaksud

61
adalah dengan menerapkan 3M, memakai masker, menjaga jarak dan

mencuci tangan (Maksum, 2020). Dalam penelitian ini metode

pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

4.6.3.1 Metode Angket (Kuesioner)

Kuesioner adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara memberi seperangkat pertanyaan kepada responden (Sugiono, 142).

Pada penelitian ini menggunkan dua kuesioner yaitu kuesioner general

self efficacy scale dan kuesioner Morisky Medication Adherence Scale

(MMAS-8). Variabel independen penelitian yaitu self efficacy diukur

dengan menggunakan skala likert. Hasil penilaian akan dikatagorikan

menjadi dua melalui cut off point yakni self efficacy akan menjadi self

efficacy tinggi dan self efficacy rendah jika data terdistribusi normal. Data

tersebut merupakan data kategorik yang dianalisa untuk menghitung

frekuensi dan persentase variabel. Variabel dependen penelitian yaitu

kepatuhan akan diukur menggunakan skala Guttman. Hasil penilaian

akan dikatagorikan menjadi dua melalui cut off point yakni kepatuhan

tinggi, kepatuhan sedang dan kepatuhan rendah.

4.6.3.2 Wawancara

Wawancara seperti yang dikatakan oleh Kvale ( 1966 : 35 ) dalam

Furqon dan Emi emilia ( 2010 : 51 ) merupakan “an interaction

between two people,with the interviewer and the subject acting in

relation to each other and reciprocally influencing each other”.

Wawancara memainkan peran yang sangat penting dalam penelitian ini

62
karena wawancara memungkinkan peneliti untuk mengecek akurasi

data.

Tabel 4.3 SOP Pengumpulan data dengan menerapkan protocol kesehatan

PENGUMPULAN DATA
PENELITIAN DIMASA PANDEMI
COVID 19

Disetujui Oleh : Disiapkan Oleh :


Ka.Prodi S1 Keperawatan Dosen Pembimbing Dosen Pembimbing Mahasiswa
1 2

Sholihin, S.Kep., Ns., Masroni, S.Kep., Ns., Novita Surya Putri, Eko Prayugo
M.Kep. M.S. (in Nursing) S.Kep., Ns., M.kep. Saputro

Standart Operasional Tanggal Terbit Satuan Kerja :


Prosedur Prodi S1 Keperawatan STIKES
Banyuwangi
1. Pengertian
Pengumpulan data merupakan kegiatan mencari data di lapangan yang akan
digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian.
2. Prosedur :
1) Persiapan Alat
(1) Masker bedah
(2) Faceshield
(3) Hand sanitizer
(4) Handscoond
(5) Gown
2) Persiapan Pasien
(1) Berikan penjelasan tujuan penelitian, manfaat, kerugian, hak
partisipan dan kewajiban partisipan (inform) Ajak pasien dan
keluarga turut berpartisipasi

63
(2) Meminta tanda tangan persetujuan setelah pasien menyatakan setuju
untuk menjadi partisipan (consent)
(3) Melakukan identifikasi partisipan (nama dengan kode)
3) Pelaksanaan
(1) Mencuci tangan
(2) Menggunakan masker, faceshield, dan gown
(3) Memberikan salam
(4) Memperkenalkan diri
(5) Menjaga privasi partisipan
(6) Memberikan penjelasan tentang penelitian yang akan dilakukan
(inform)
(7) Memberikan hak partisipan untuk bertanya
(8) Menanyakan persetujuan kepada pasien (consent)
(9) Menjelaskan dan menjabarkan tentang pertanyaan kuesioner
(10) Menjelaskan cara pengisian kuesioner
(11) Memberikan waktu untuk pasin mengisi kuesioner sesuai kehendak
partisipan
4) Evaluasi
(1) Tanyakan kepada pasrtisipan mungkin ada pertanyaan kuesioner
yang kurang jelas
(2) Pastikan semua pertanyaan terisi
(3) Pastikan jawaban pasien dengan tehnik wawancara
(4) Meminta kembali kusioner yang sudah diisi oleh partisipan
(5) Mengucapkan salam

4.6.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Genteng

Kulon, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini

dilakukan pada bulan Februari sampai Juli 2021. Waktu ini dimulai dari

64
pembuatan proposal, proses penelitian, pembuatan laporan, dan

dipublikasikan.

65
4.6.5 Prosedur Penelitian

Tahap awal penelitian peneliti mengajukan judul penelitian kepada

pembimbing akademik. Peneliti selanjutnya mengajukan judul pada

Lembaga Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STIKES

Banyuwangi. Peneliti meminta surat ijin penelitian kepada LPPPM

STIKES Banyuwangi kemudian diteruskan meminta ijin ke Badan

Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat dan Dinas

Kesehatan Banyuwangi. Langkah berikutnya setelah mendapat surat

balasan dari DINKES Banyuwangi peneliti meminta ijin ke Unit

Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Puskesmas Genteng Kulon karena

merupakan tempat penelitian. Sebelum mengambil data penelitian, peneliti

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, kemudian peneliti

berkoordinasi dengan ketua program TB DOTS untuk menentukan waktu

penelitia. Setelah data diperoleh dilakukan observasi (pengamatan) dan

data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan diambil kesimpulan.

4.6.6 Analisis Data

4.6.5.1 Editing

Editing merupakan proses pemeriksaan isi kuesioner dirasa belum

lengkap (Notoatmodjo, 2010). Kegiatan editing dalam penelitian

adalah kegiatan pengecekan terhadap hasil kuesioner, meliputi :

1) Lengkap : semua hasil sudah terisi jawabannya

2) Jelas : apakah hasil tertulis dengan jelas

3) Relevan : apakah hasil relevan dengan pernyataan

66
4) Konsisten : apakah beberapa pertanyaan yang berkaitan

hasilnya konsisten

4.6.5.2 Coding

Coding atau pengkodean adalah data yang berbentuk kalimat atau

huruf diubah menjadi bentuk angka atau bilangan (Notoatmodjo,

2010). Pemberian kode pada penelitian ini meliputi :

1) Variabel Self efficacy

(1) Tinggi :1

(2) Rendah :2

2) Variabel kepatuhan

(1) Rendah :1

(2) Sedang :2

(3) Tinggi :3

4.6.5.3 Scoring

Scoring adalah pemilaian skor atau nilai untuk tiap item

pertanyaan (Notoatmodjo, 2010). Scoring pada penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1) Variable self efficacy

(1) Rendah : ≤ 20

(2) Tinggi : ≥ 20

2) Variable kepatuhan

(1) Rendah :≤5

(2) Sedang :6–7

(3) Tinggi :≥8

67
4.6.5.4 Tabulating

Tabulating atau tabulasi adalah usaha untuk menyajikan data

terutama pengolahan data yang akan menjurus ke analisa kuantitatif

(Wasis, 2008).

4.6.7 Cara analisa data

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan self efficacy

dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru di wilayah kerja

Puskesmas Genteng Kulon, Kabupaten Banyuwangi. Analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan analisis

analitik.

Tabel 4.4 Metode analisis variabel independen dan variabel dependen

No Tujuan Variabel Measurement Scale Statistic


Approach
1 Identifiksi Self efficacy Deskriptif
variable data 1) Usia Ratio statistik
demografi 2) Jenis kelamin Nominal
3) Tipe penyakit Ordinal
4) Tingkat keparahan Ordinal
penyakit
5) Pendidikan Ordinal
6) Status pernikahan Nominal
7) Tingkat ekonomi Ordinal
2 Hubungan self 1) Data tingkat Self Ordinal Uji chi square
efficacy dengan efficacy (General
tingkat kepatuhan self efficacy scale)
minum obat 2) Data tingkat Ordinal
pasien dengan TB kepatuhan berobat
Paru mengunakan
Morisky
Medication
Adherence Scale
(MMAS-8)

68
4.6.6.1 Analisa Univariat

Tujuan dari analisis ini adalah untuk menjelaskan atau

mendiskusikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti

(Hastono, 2007). Variabel yang diteliti adalah variabel independen self

efficacy dan variabel dependen yaitu kepatuhan minum obat serta

variabel karakteristik responden. Karakteristik responden meliputi

jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan merupakan data kategorik

yang dianalisa untuk menghitung frekuensi dan persentase variabel.

Usia dan penghasilan merupakan data numerik yang dianalisis untuk

menghitung mean, median, standar deviasi, nilai maksimal, dan nilai

minimal. Penyajian data dalam bentuk tabel dan diinterpretasikan

berdasarkan hasil yang diperoleh.

Variabel independen penelitian yaitu self efficacy diukur dengan

menggunakan skala likert. Hasil penilaian akan dikatagorikan menjadi

dua melalui cut off point yakni self efficacy akan menjadi self efficacy

tinggi dan self efficacy rendah jika data terdistribusi normal. Data

tersebut merupakan data kategorik yang dianalisa untuk menghitung

frekuensi dan persentase variabel. Variabel dependen penelitian yaitu

kepatuhan akan diukur menggunakan skala Guttman. Hasil penilaian

akan dikatagorikan menjadi dua melalui cut off point yakni kepatuhan

tinggi, kepatuhan sedang dan kepatuhan rendah. Data tersebut

merupakan data kategorik yang dianalisa untuk menghitung frekuensi

dan persentase. Penyajian data masing-masing variabel dalam bentuk

tabel dan diinterpretasikan berdasarkan hasil yang diperoleh.

69
4.6.6.2 Analis Bivariat

Hasil analisis deskriptif dari karakteristik masing-masing variabel,

selanjutnya akan dianalisis untuk mengetahui hubungan antara dua

variabel tersebut. analisis analitik untuk menganalisa hubungan antara

masing-masing variabel yaitu menganalisa hubungan self efficacy

dengan kepatuhan minum obat. Skala data pada variabel independen

adalah nominal dan variabel dependen adalah ordinal. Jenis data pada

analisa ini masing-masing variabel adalah kategorik, sehingga data

yang diperoleh tersebut akan diuji menggunakan Chi Square. Uji Chi

Square digunakan untuk mengetahui hubungan antar dua variabel

bermakna atau tidak bermakna (Notoatmodjo, 2010). Proses pengujian

Chi Square adalah membandingkan frekuensi yang terjadi dengan nilai

frekuensi harapan (Hastono, 2007).

Tabel 4.5 Tabel kontingensi chi square

Variable Kepatuhan Total P-Value


(Y)

Tinggi Sedang Rendah


(1) (2) (3)

Variable Tinggi O11 O12 O13 T1


Self Efficacy (1)
(X)
Rendah O21 O22 O23 T2
(2)

Total T1 T2 T3 T

Ha diterima, jika > 0,05, artinya tidak ada hubungan antara self-

efficacy dengan kepatuhan minum obat pada pasien tb paru di

puskesmas genteng kulon kabupaten banyuwangi tahun 2021.

70
Ho ditolak, jika < 0,05, artinya ada hubungan antara self-efficacy

dengan kepatuhan minum obat pada pasien tb paru di

puskesmas genteng kulon kabupaten banyuwangi tahun 2021.

4.7 Masalah Etika

Penelitian yang dilakukan harus menempatkan manusia sebagai subjek dan

tidak boleh bertentangan dengan etik. Tujuan penelitian harus etis atau

melindungi hak-hak dari responden (Setiadi, 2007). Oleh karena itu,

penelitian yang dilakukan harus memperhatikan etika dalam penelitian yaitu

(Notoatmodjo, 2010);

4.7.1 Informed Consent (lembar persetujuan)

Peneliti memberikan informed consent (lembar persetujuan)

kepada responden sebelum dilakukan penelitian untuk memberikan

informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian, prosedur,

pengumpulan data, potensial bahaya, dan keuntungan serta metode

alternatif pengobatan sehingga responden berhak mengikuti maupun

menolak berpartisipasi dalam penelitian (Potter & Perry, 2006). Dalam

informed consent perlu mencantumkan pernyataan bahwa data yang

diperoleh hanya untuk pengembangan ilmu (Nursalam, 2003). Dalam

informed consent harus mempertahankan keanoniman dan kerahasiaan

responden (Potter & Perry, 2006).

4.7.2 Anonimity (tanpa nama)

Subjek tidak perlu mencantumkan namanya pada lembar

pengumpulan data cukup menulis nomor atau kode saja untuk menjamin

kerahasiaan identitasnya.

71
4.7.3 Confidentiality (kerahasiaan)

Responden berhak meminta kerahasiaan identitas sesuai dengan

prinsip keadilan (right to justice). Semua informasi yang telah

dikumpulkan dari subyek dijamin kerahasiaannya. Hanya kelompok data

tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan pada hasil penelitian.

Peneliti menggunakan coding sebagai ganti dari identitas responden.

4.7.4 Justice (keadilan)

Peneliti memberikan kesempatan yang sama bagi responden yang

memnuhi kriteria untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Selain itu,

peneliti memberikan kesempatan yang sama dengan responden untuk

mengungkapkan seluruh pengalamannya terkait dengan penelitian saat ini.

4.7.5 Non Malefecence (tidak membahayakan)

Peneliti tidak membahayakan responden dan peneliti berusaha

melindungi responden dari bahaya ketidaknyamanan (praction from

discomfort). Peneliti menjelaskan tujuan, manfaat penggunaan data

penelitian sehingga dapat dipahami oleh responden dan bersedia

menandatangani surat ketersedian berpartisipasi atau informed consent.

72
BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menyajikan mengenai hasil dan pembahasan dari penelitian

tentang “Hubungan Self Efficacy dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB

Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Genteng Kulon Banyuwangi Tahun 2021”.

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2021 – 2 Juli 2021dan

dilakukan pada responden yang menjadi sampel penelitian di Wilayah Kerja

Puskesmas Genteng Kulon Banyuwangi yaitu penderita TB paru yang menjalani

pengoabatan OAT yang akan mengisi kuesioner General Self Efficacy Scale dan

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8).

Peneliti mengambil data dengan cara membagikan kuesioner kepada

responden yang berisi tentang pertanyaan – pertanyaan yang berkaitan dengan self

efficacy dan kepatuhan minum obat. Setelah kuesioner diisi dan dikumpulkan

maka peneliti memeriksa kembali (editing) untuk memastikan jawaban sudah

terisi semua atau tidak. Setelah itu peneliti memberikan kode (coding) serta

memberikan skor (scoring) dan mengelompokkan data (tabulating) dengan

menggunakan aplikasi SPSS versi 16.0 (statistikal package for the social sciens).

Penyajian data hasil penelitian dibagi dalam dua bagian, yaitu data umum dan

data khusus. Data umum menampilkan karakteristik responden yang meliputi

usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, pekerjaan, tipe penyakit, dan

tingkat penghasiln. Sedangkan data khusus meliputi data tingkat self efficacy dan

tingkat kepatuhan minum obat pada pasien TB paru yang menjalani pengobatan di

Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021, serta

menganalisa hubungan antara kedua variabel tersebut.

73
5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian ini bertempat di Puskesmas Genteng Kulon Banuwangi

yang beralamat di Jl. Diponegoro No. 30, Dusun Krajan, Genteng Kulon,

Kec. Genteng, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 684665. Luas wilayah

mencapai 5.124 Ha yang terdiri dari lima wilayah kerja yaitu Desa

Kaligondo, Desa Setail, Desa Genteng Kulon, Desa Genteng Wetan serta

Desa Kembiritan. Di Puskesmas Genteng Kulon terdapat ruang laktasi,

ruang pemeriksaan gigi dan mulut, ruang farmasi, laboratorium, ruang

KIA, KB, imunisasi, ruanga pemeriksaan umum, ruang tindakan, ruang

promkes serta ruang pendaftaran.

1 Batas Geografis

Puskesmas Genteng Kulon Banuwangi yang beralamat di Jl.

Diponegoro No. 30, Dusun Krajan, Genteng Kulon, Kec. Genteng,

Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur 684665 dengan batas wilyah

sebagai berikut :

1) Sebelah utara : Kecamatan Sempu

2) Sebelah timur : Genteng wetan

3) Sebelah selatan : Kecamatan Gambiran

4) Sebelah barat : Kecamatan Glenmore

2 Data tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Genteng Kulon

meliputi:

1) Dokter umum =2

2) Dokter gigi =1

74
3) Perawat =8

4) Bidan = 19

5) Perawat gigi =2

6) Sanitarian =1

7) Surveilans epidemiologi =1

8) Gizi =2

9) Tenaga administrasi =6

10) Petugas loket =3

11) Petugas laborat =1

12) Petugas apotik =2

13) Pengemudi ambulance =1

14) Admin pustu =2

15) Kebersihan =1

16) Keamanan =1

75
5.1.2 Data Umum

5.1.2.1 Karakteristik responden berdasarkan usia

Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan usia di Puskesmas


Genteng Gulon Kabupaten Banyuwangi tahun 2021
Berdasarkan
Umur n Presentase (%) tabel
18 – 30 tahun 11 37,93
31 – 40 tahun 9 31,04
41 – 50 tahun 3 10,34
51 – 60 tahun 2 6,90
> 60 tahun 4 13,79
Total 29 100
berada di rentang usia antara 18 – 30 tahun sebanyak 11 orang atau (37,94%) dan

rentang usia 30 – 40 tahun sebanyak 9 orang atau 31,03%.

5.1.2.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di


Puskesmas Genteng Gulon Kabupaten Banyuwangi tahun 2021
Jenis Kelamin n Presentase (%)
Laki laki 16 55,17
Berdasarkan tabel
Perempuan 13 44,83
Total 29 100
berjenis kelamin laki – laki yaitu 16 responden atau 55,17%. Sisanya 13

responden berjenis kelamin perempuan atau 44,83%.

5.1.2.1 Karakteristik responden berdasarkan status pernikahan

Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan status pernikahan di


Puskesmas Genteng Gulon Kabupaten Banyuwangi tahun 2021

76
B e r
Status Pernikahan d a
n s a r (%)k
Presentase a n
Menikah 16 55,17
Belum menikah 9 31,04
Duda atau janda 4 13,79
Total 29 100
pernikahan responden paling banyak sudah menikah dengan jumlah 16 responden

atau 55,17%. Responden yang belum menikah sebanyak 9 responden atau 31,04%

dan 4 responden atau 13,79% berstatus duda atau janda.

77
5.1.2.2 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan di


Puskesmas Genteng Gulon Kabupaten Banyuwangi tahun 2021
Berdasarkan
Tingkat Pendidikan n Presentase (%) tabel
SD 9 31,04
SMP 2 6,89
SMA 18 62,07
S1 0 0
S2 0 0
Tidak Sekolah 0 0
Total 29 100
tingkat pendidikan berada di tingkat SMA yaitu sebanyak 18 orang atau 62.07%.

renponden dengan tingkat pendidikan SD sebanyak 9 responden atau 31,04% dan

2 responden atau 6,89% memiliki tingkat pendidikan SMP.

5.1.2.3 Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan

Tabel 5.5 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan di


Puskesmas Genteng Gulon Kabupaten Banyuwangi tahun 2021
Berdasarkan
Pekerjaan N Presentase (%) tabel
Tidak Bekerja 2 6,89
Ibu Rumah Tangga 5 17,24
Pelajar / Mahasiswa 4 13,79
Wiraswasta 12 41,38
Pedagang 3 10,35
Petani 3 10,35
ASN 0 0
Total 29 100
memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta sebanyak 12 orang atau 41,38%.

Sedangakan, ibu rumah tangga sebanyak 5 responden atau 17,24%, pelajar atau

mahasiswa sebanyak 4 responden atau 13,79%, pedagang dan petani masing –

masing 3 orang atau 10,35%, dan 2 responden atau 6,89% tidak bekerja.

78
5.1.2.4 Karakteristik responden berdasarkan tipe penyakit

Tabel 5.6 Distribusi responden berdasarkan tipe penyakit di Puskesmas


Genteng Gulon Kabupaten Banyuwangi tahun 2021
Berdasarkan tabel 5.6 diatas diketahui
Tipe Penyakit n bahwa Presentase (%)
Fase Awal 28 96,55
Fase lanjutan 1 3,45
(relaps)
Total 29 100
mayoritas responden adalah penderita TB paru pada fase awal dengan jumlah 28

orang atau 96,55% dan 1 responden atau 3,45% penderita TB paru fase relaps.

5.1.2.5 Karakteristik responden berdasarkan jumlah penghasilan

Tabel 5.7 Distribusi responden berdasarkan jumlah penghasilan di


Puskesmas Genteng Gulon Kabupaten Banyuwangi tahun 2021
Berdasarkan
Jumlah Penghasilan N Presentase (%) tabel
Tidak Berpenghasilan 11 37,93
500.000 sampai 1000.000 8 27,59
1000.000 sampai 2000.000 9 31,03
Diatas 2000.000 1 3,45
Total 29 100
tidak memiliki penghasilan dengan jumlah 11 orang atau 37,93%, hal itu

dikarenakan banyak dari respoden terdiri dari ibu rumah tangga dan pelajar

ataupun mahasiswa. Tingkat penghasilan 1000.000 sampai 2000.000 sebanyak 9

responden atau 31,03%, penghasilan 500.000 sampai 1000.000 sebanyak 8

responden atau 27,59%, penghasilan Diatas 2000.000 sebanyak 1 responden atau

3,45%.

79
5.1.2.6 Karakteristik responden berdasarkan penerimaan informasi

tentang TB Paru

Tabel 5.8 Distribusi responden berdasarkan penerimaan informasi TB


Paru di Puskesmas Genteng Gulon Kabupaten Banyuwangi tahun 2021
Penerimaan N Presentase (%)
Informasi
Pernah 29 100
Belum pernah 0 0
Total 29 100

Berdasarkan tabel 5.8 diatas diketahui bahwa mayoritas 29

responden (100%) sudah menerima informasi tentang TB Paru

5.1.2.7 Karakteristik responden berdasarkan sumber informasi

tentang TB Paru

Tabel 5.9 Distribusi responden berdasarkan sumber penerimaan


informasi TB Paru di Puskesmas Genteng Gulon Kabupaten
Banyuwangi tahun 2021
Sumber Informasi n Presentase (%)
Kesehatan
Tenaga kesehatan 29 100
Media sosial 0 0
Total 29 100

Berdasarkan tabel 5.8 diatas diketahui bahwa mayoritas 29

responden (100%) sudah menerima informasi tentang TB Paru dari

tenaga kesehatan di Puskesmas Genteng Kulon.

80
5.1.3 Data Khusus

Alat ukur untuk variabel penelitian ini menggunakan kuesioner

yang sudah baku dan telah diuji validitas dan reabilitasnya. Variabel self

efficacy di ukur dengan kuesioner self efficacy scale sedangkan variable

kepatuhan minum obat di ukur dengan kuesioner Morisky Medication

Adherence Scale (MMAS-8). Dari hasil pengukuran kedua kuesioner

didapatkan data khusus sebagai berikut :

Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Self Efficacy dan Tingkat

Kepatuhan Minum Obat

Variabel n %
Self Efficacy :
Tinggi 26 89,65
Rendah 3 10,35
Total 29 100
Tingkat Kepatuhan Minum obat :
Tinggi 25 86,20
Sedang 3 10,35
Rendah 1 3,45
Total 29 100

Berdasarkan Tabel 5.8 diatas menunjukkan bahwa persebaran

frekuensi responden sebagian besar memiliki tingkat Self Efficacy tinggi

sejumlah 26 (89,65%), serta sebagian besar menunjukkan bahwa

responden memiliki tingkat kepatuhan minum obat tinggi sejumlah 25

(86,20%).

81
5.1.4 Crosstabulation Data

Tabel 5.11 Crosstabulation Hubungan Self Efficacy dengan Tingkat

Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas

Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021.

Berdasarkan table 5.9 diatas hasil proses tabulasi silang diketahui

bahwa self efficacy dengan tingkat kepatuhan minum obat pada pasien dengan

TB paru yang menjalani pengobatan di Puskesmas Genteng Kulon sebagian

besar memiliki tingkat self efficacy tinggi sebanyak 26 orang (89,6%), dan

memiliki kepatuhan minum obat yang tinggi sejumlah 24 orang (86,2).

82
5.1.5 Hasil Analisa Data

Tabel 5.12 Analisa data Chi Squre Hubungan Self Efficacy dengan Tingkat

Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021.

Analisis lebih lanjut dengan menggunakan uji chy square (fisher’s

exact test) pada SPSS for windows, diperoleh nilai ρ value = 0,001 artinya

nilai ρ <0,05 maka hipotesis Ha diterima yang berarti adanya hubungan

yang signifikan antara self efficacy dengan tingkat kepatuhan minum obat

pada pasien TB paru di wilayah kerja Puskesmas Genteng Kulon

Kabupaten Banyuwangi tahun 2021.

5.2 Pembahasan

5.2.1 Mengidentifikasi self - efficacy pada pasien TB paru di Puskesmas

Genteng Kulon.

Berdasarkan tabel 5.8 penelitian ini menunjukkan bahwa self

Efficacy pasien TB paru yang menjalani pengobatan di wilayah kerja

Puskesmas Genteng Kulon pada tahun 2021 sebagian besar berada pada

83
kategori self Efficacy tinggi sebanyak 26 responden (89,65%). Penelitian

ini sejalan dengan penelitian Iswari (2017), menunjukkan bahwa sebagian

besar responden memiliki self-efficacy tinggi yaitu 54,7%. Penelitian

tersebut, menjelaskan bahwa seseorang memiliki self-efficacy tinggi

dipengaruhi oleh karena adanya 2 faktor yaitu faktor internal dan

eksternal. Faktor internal meliputi, umur, jenis kelamin, lama menderita

suatu penyakit, dan kepercayaan terhadap efektivitas pengobatan.

Sedangkan faktor eksternal meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan,

dukungan sosial, bahasa dan budaya.

Self-efficacy tinggi yang di jumpai pada responden di Puskesmas

Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi muncul karena adanya faktor

umur, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dapat dilihat pada tabel 5.1

didapatkan lebih dari 50% responden berusia antara 18 – 40 sebanyak

orang 20 responden (68,96%). Menurut Chyntia et al (2011) self – efficacy

pada remaja awal diperlukan keterlibatan dengan orang tua sehingga tidak

menimbulkan salah tafsir. Sedangkan pada usia lansia pengukuran ini akan

menjadi bias dilakukan akibat adanya penurunan kapasitas seseorang.

Peneliti berasumsi terdapat hubungan antara usia dengan self efficacy

yaitu bertambahnya usia terkait dengan jumlah pengalaman yang semakin

banyak, yang juga mempengaruhi cara berfikir dan kedewasaan seseorang.

Pada rentang usia 18 sampai 40 tahun merupakan usia produktif dimana

memiliki optimisme yang baik dalam menjalani pengobatan walaupun

terkadang mereka merasakan efek samping obat. Optimisme tersebut juga

dipengaruhi oleh dorongan untuk bisa beraktivitas secara normal kembali

84
dan dapat bekerja lagi untuk keluarganya (Muljono dkk, 2018; Ibrahim

dkk, 2014).

Sedangkan dari segi pendidikan pada tabel 5.4 didapatkan lebih dri

50% responden berpendidikan SMA dengan self efficacy tinggi sebanyak

18 responden (62,07%). Hasil tersebut sejalan dengan teori Xu et al (2010)

yang menyatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi umumnya

memiliki pemahaman yang lebih tentang self efficacy. Peneliti bersumsi

bahwa pendidikan formal yang didapatkan melalui sekolah dapat

mendukung pada proses pembentukan self-efficacy. Pada proses

pendidikan di sekolah, individu akan dapat mengembangkan kemampuan

kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga ranah ini berperan penting dalam

pengembangan pola pikir dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang mengenai

suatu hal, bagaimana menyikapinya, dan kemudian pengembangan

keterampilan atau ketepatan bertindak sesuai dengan informasi yang

didapatkan. Self efficacy yang telah terbentuk dapat mendukung perubahan

perilaku individu, sehingga diharapkan pasien dapat memiliki kepatuhan

yang tinggi terhadap pengobatan, meskipun diketahui selain berdampak

positif terhadap penurunan viral load, banyak juga dampak kurang

mengenakkan yang akan dialami oleh pasien yang mengkonsumsi OAT

(Adefolalu et al., 2014).

Menurut tabel 5.5 responden yang bekerja dan memiliki tingkat

self efficacy tinggi sebanyak 22 responden (75,86%). Hasil tersebut sejalan

dengan teori Xu et al (2010) yang menyatakan bahwa orang yang memiliki

pekerjaan tetap cenderung mempunyai kepercayaan diri yang tinggi.

85
Bandura (dalam Betz, 2004), menyatakan bahwa self-efficacy merupakan

keyakinan individu bahwa ia dapat berhasil menjalankan perilaku yang

dibutuhkan oleh situasi tertentu. Dengan kata lain, self-efficacy merupakan

kepercayaan seseorang terhadap keyakinan diri dan kemampuannya dalam

melakukan suatu pekerjaan, dan memperoleh suatu keberhasilan.

Responden di Puskesmas Genteng Kulon yang memiliki pekerjaan tetap

dan produktif atau memiliki penghasilan dari pekerjaan cenderung

memiliki self efficacy yang tinggi karena self efficacy terbentuk sebagai

suatu proses adaptasi dan pembelajaran yang ada dalam situasi kerjan.

Semakin lama seseorang bekerja maka semakin tinggi self efficacy yang

dimiliki individu tersebut dalam pekerjaan tertentu (Locke et al, 2004).

Pada tabel 5.8 didapatkan mayoritas responden 29 orang (100%)

sudah mendapat informasi tentang penyakit TB paru dari petugas

kesehatan di Puskesmas Genteng Kulon. Menurut Bandura, dalam Anwar

(2019), Ada faktor informasi kesehatan yang mempengaruhi self efficacy,

dimana Individu akan memiliki self efficacy tinggi, jika individu

memperoleh informasi positif mengenai penyakit yang dideritanya. Dari

hasil tersebut peneliti berpendapat seseorang yang telah menerima dan

mengolah informasi kesehatan secara baik akan mengimplementasikan

secara maksimal sesuai dengan informasi yang diberikan. Selain itu,

semakin tinggi tingkat pendidikan formal individu semakin mudah

menyerap informasi kesehatan yang diberikan, semakin tinggi pula

kesadaran dalam berperilaku sehat.

86
5.2.2 Mengidentifikasi kepatuhan minum obat pada pasien TB paru yang

menjalani rawat jalan di Puskesmas Genteng Kulon tahun 2021.

Berdasarkan tabel 5.8 penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat

kepatuhan minum obat pasien TB paru yang menjalani pengobatan di

wilayah kerja Puskesmas Genteng Kulon pada tahun 2021 sebagian besar

berada pada kategori kepatuhan tinggi yaitu 25 responden (89,65%).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Chairil (2016),

ketaatan minum obat anti tuberkulosis (OAT) Faktor yang memengaruhi

kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu faktor petugas, faktor obat, dan

faktor penderita. Karakteristik petugas yang memengaruhi kepatuhan

antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya bekerja, frekuensi

penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi kepatuhan

adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan ke arah

penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor

penderita yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin,

pekerjaan (Lestari, & Mustofa, 2016). Pada hasil penelitian ini

berdasarkan karakteristik responden berdasarkan usia pada tabel 5.1

didapatkan 20 responden (68,96%) pasien berumur 18 - 40 tahun, sehingga

bisa dikatakan responden sebagian besar berada diusia produktif. Hal ini

sejalan dengan pendapat (Mukidjam 2011).

Seseorang yang menjalani pengobatan akan tetap patuh karena di

pengarui oleh factor usia. Penderita dalam usia produktif merasa terpacu

untuk sembuh mengingat dia masih muda mempunyai harapan hidup yang

tinggi, sebagai tulang punggung keluarga, sementara usia lanjut

87
mempunyai kecenderungan untuk menyerahkan keputusan pada keluarga

atau anak-anaknya. Kaitanya dengan kepatuhan minum obat pada pasien

TBC, usia mempunyai peran yang cukup penting, karena dengan semakin

matang usia pasien, maka kepatuhan untuk melakukan pengobatan juga

semakin baik (Pameswari, Halim, & Yustika, 2016).

Faktor lain mempengaruhi kepatuhan adalah pendidikan, Semakin

tinggi tingkat pendidikan, maka seseorang akan mudah menerima hal-hal

baru dan mudah menyesuaikan dengan yang baru tesebut (Notoatmodjo,

2012). Pada hasil penelitian ini berdasarkan karakteristik responden

didapatkan segi pendidikan pada tabel 5.4 didapatkan lebih dari 50%

responden berpendidikan SMA sebanyak 18 responden (62,07%).

Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi mempunyai

kecenderungan untuk menjalankan instruksi yang diberikan. Sedangkan

untuk menjalankan instruksi, seseorang memerlukan pemahaman dan

pengetauan dari instruksi tersebut. Individu yang memiliki pendidikan

rendah akan sulit untuk menjalankan instruksi yang di berikan karenah

rendahnya pemahaman dari instruksi tersebut. Pendidkan yang

menunjukan tinggi rendahnya pengetauan seseorang akan berdampak pada

pengambilan keputusan yang mempengaruhi keputusan yang

mempengaruhi perilaku seseorang. Kaitannya dengan kepatuhan,

pendidikan mempunyai peran untuk mendorong seseorang untuk

menjalankan instruksi sesuai dengan pengetauan yang dimiliki

(Notoatmodjo, 2012).

88
Menurut teori Niven (2002), faktor yang mempengaruhi

ketidakpatuhan yaitu kurangnya pengetahuan. Hal ini dikuatkan dalam

penelitian Gopi et al. (2007) dalam penelitian tersebut didapatkan faktor

yang berhubungan dengan ketidakpatuhan adalah tidak sekolah sebanyak

39% yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya

terapi dibawah pengawasan. Berbeda dengan penelitian ini didapatkan

bahwa 29 responden (100%) sudah mendapatakan informasi tentang TB

Paru dan pengobatanya dari tenaga kesehatan di Puskesmas Genteng

Kulon sehingga semua responden sudah mengetahui tujuan dari

pengobatan dan efek samping apabila responden tidak patuh dalam

pengobatan.

5.2.3 Menganalisis hubungan self efficacy dengan kepatuhan minum obat

pada pasien TB Paru di Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten

Banyuwangi Tahun 2021

Untuk mengetahui adanya hubungan self efficacy dengan

kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru di Puskesmas Genteng Kulon

Kabupaten Banyuwangi tahun 2021 peneliti menggunakan uji statistic chi

square (fisher’s exact test) SPSS for windows 25, dengan tingkat

signifikan 0,05 (5%) diperoleh nilai 0,001 < α 0,05. Maka Ha diterima

artinya terdapat hubungan antara self efficacy dengan kepatuhan minum

obat pada pasien TB Paru di Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten

Banyuwangi tahun 2021. Berdasarkan hasil penelitian dari 29 responden

penderita TB Paru yang menjalani pengobatan diketahui responden dengan

self efficacy tinggi dan memiliki tingkat kepatuhan tinggi yaitu sejumlah

89
25 responden (86,2%). Sedangkan responden dengan self efficacy rendah

sebanyak 3 responden (10,3%) dengan kepatuhan minum obat sedang 2

responden (6,9%) dan kepatuhan minum obat rendah 1 orang (3,4%).

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa

seseorang yang memiliki self efficacy tinggi akan cenderung untuk

memilih terlibat langsung dalam menjalankan suatu tugas, walaupun tugas

tersebut adalah tugas yang sulit. Sebaliknya, seseorang yang memiliki self

efficacy yang rendah akan menjauhi tugas tugas yang sulit karena mereka

menganggapnya sebagai suatu beban (Anindita, Diani, & Hafifah, 2019).

Self efficacy merupakan aspek yang penting yang harus dimiliki

seseorang karena dapat memengaruhi kepatuhan minum obat. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian Adefolalu dkk pada tahun 2013

terhadap penderita penyakit kronis HIV menunjukan hasil adanya

hubungan antara self efficacy dengan kepatuhan minum obat. Dalam

penelitian tersebut didapatkan p-value 0,041 (Fitriawan, 2018). Penelitian

lain yang relevan oleh Warren-Findlow juga menyatakan terdapat

hubungan antara Self efficacy dengan kepatuhan minum obat.

Penelitiannya menunjukan bahwa prevalensi kepatuhan minum obat 1,2

kali lebih tinggi terhadap orang dengan Self efficacy yang baik baik

(Warren-Findlow, Seymour, & Huber, 2013).

Penelitian oleh Adefolalu di Afrika Selatan bahwa ada hubungan

yang kuat antara self efficacy kepatuhan dan kepatuhan antiretroviral

therapy (ART). Melalui analisis regresi juga menunjukkan signifikansi

untuk kepatuhan pada ART (p-value=0,041). Kepatuhan pasien dapat

90
dijelaskan sebagian besar variasi dalam ketidakpatuhan terhadap ART,

yang memberi kesan bahwa self efficacy kepatuhan yang rendah

berpengaruh pada ketidakpatuhan ART. Intervensi yang bertujuan untuk

meningkatkan kepatuhan terhadap ART harus dapat menerapkan self

efficacy terhadap kepatuhan (Adefolalu dkk, 2014).

Penelitian oleh Rizqah dkk, menjelaskan bahwa hubungan self

efficacy dalam kepatuhan diet dan faktor lain yang bisa mempengaruhi

kepatuhan diet seseorang meskipun keyakinan dirinya kurang, seperti

adanya rasa takut akan keadaan yang lebih buruk. Begitu juga dengan

seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi tetapi tidak patuh

melaksanakan diet, karena ada faktor lain yang mempengaruhi

ketidakpatuhan misalnya, kurangnya pengawasan atau dukungan orang

terdekat (Rizqah dkk, 2018).

Dari beberapa temuan penelitian tersebut peneliti menyimpulkan

bahwa terdapat hubungan antara self efficacy dengan kepatuhan minum

obat anti tuberkulosis yaitu semakin baik self efficacy maka patuh pula

seseorang dalam minum obat. Self efficacy yang baik secara umum akan

membentuk perilaku kepatuhan yang baik pula, karena kepercayaan diri

kuat ketika dukungan lingkungnnya juga kuat, dalam hal ini keluarga

terdekat. Persepsi masyarakat terhadap sehat sakit erat hubungannya

dengan perilaku pencarian pengobatan yang akan mempengaruhi dipakai

atau tidak dipakainya fasilitas kesehatan yang disediakan. Apabila persepsi

sehat sakit masyarakat belum sama dengan konsep sehat sakit kita maka

91
jelas masyarakat belum tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas yang

diberikan (Marwansyah & Sholikhah, 2015).

92
BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian hubungan antara self efficacy dengan

kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas

Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi tahun 2021 adalah sebagai berikut :

1. Teridentifikasi dari 29 responden penderita TB Paru yang menjalani

pengobatan di Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten Banyuwngi

tahun 2021 diketahui responden dengan self efficacy tinggi sejumlah

26 responden (89.,65%)

2. Teridentifikasi dari 29 responden penderita TB Paru yang menjalani

pengobatan di Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten Banyuwngi

tahun 2021 diketahui responden dengan tingkat kepatuhan tinggi

sejumlah 25 responden (86,20%)

3. Teranalisa hubungan self efficacy dengan kepatuhan minum obat pada

pasien TB Paru di Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi

tahun 2021 menggunakan uji statistic chi square (fisher’s exact test)

SPSS for windows 25, dengan tingkat signifikan 0,05 (5%) diperoleh

nilai 0,001 < α 0,05. Maka Ha diterima artinya terdapat hubungan

antara self efficacy dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru

di Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi tahun 2021.

6.2 Saran

Mempertimbangkan hasil penelitian hubungan antara self efficacy dengan

kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas

93
Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi tahun 2021 diharapkan menjadi

masukan untuk pihak terkait bahwa :

6.2.1 Bagi Responden

Penderita TB paru diharapkan dapat lebih memanfaatkan sumber-

sumber dukungan baik dari keluarga, masyarakat, dan Puskesmas agar

patuh untuk minum obat dan meningkatkan angka kesembuhan yang

optimal.

6.2.2 Bagi Tempat Penelitian

Meningkatkan penerapan program TB paru seperti program

pengawasan minum obat dan kunjungan rumah dengan cara membuat

jadwal tetap pelaksanaan tiap 1-2 minggu sekali sehingga tidak ada

pasien yang menghentikan program pengobatan tanpa sepengetahuan

petugas kesehatan.

Melakukan berbagai tindakan prevensi meliputi prevensi primer

dengan cara melakukan berbagai penyuluhan dengan demonstrasi,

prevensi sekunder dengan cara melakukan deteksi dini terkait penyakit

TB paru, dan prevensi tersier dengan cara melakukan penanganan

masalah penyakit TB paru sehingga mencegah terulangnya masalah

selama proses penyembuhan.

6.2.3 Bagi Profesi Keperawatan

Diharapkan penelitian ini membuka mata profesi keperawatan

bahwa factor self efficacy pada pasien dengan TB paru berhubungan

erat dengan tingkat kepatuhan pasien minum obat OAT, sehingga

profesi keperawatan yang selama ini hanya memberikan tidak hanya

94
melakukan tindakan dengan pengobatan yang berorientasi pada tanda

dan gejala yang dirasakan pasien. Namun perofesi keperawatan juga

harus memperhaikan tingkat self efficacy pasien agar pengobatan

pasien dapat berjalan lancar dan tidak mengarah ke resistensi obat.

6.2.4 Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan

Institusi pendidikan keperawatan melakukan kerja sama dengan

pihak puskesmas dalam bentuk praktik belajar lapangan (PBL)

mahasiswa untuk ikut serta menjalankan program-program seperti

penyuluhan atau pendidikan kesehatan terkait penyakit TB paru,

pengobatan, dan pencegahan guna meningkatkan pengetahuan pasien

dan masyarakat agar tidak terjadi peningkatan resistensi obat.

Institusi pendidikan keperawatan perlu melakukan pendidikan

kesehatan dengan menggunakan metode diskusi bersama dengan

pasien TB paru mengenai proses selama masa penyembuhan dan

pengobatan.

6.2.5 Bagi Peneliti

Hasil penelitian dapat memberikan pengalaman baru pada peneliti

tentang kesenjangan antara teori dan konsep yang diperoleh dari

perkuliahan dengan penemuan di lapangan, serta hasil penelitian dapat

menjadi rujukan dan mengembangkan penelitian selanjutnya yang

lebih mendalam terkait efikasi diri dan masalah-masalah dalam proses

pengobatan TB paru.

95
Daftar Pustaka

Aena Mardiah, ‘Skrining Tuberkulosis (Tb) Paru Di Kabupaten Banyumas

Provinsi Jawa Tengah’, Jurnal Kedokteran, 4.1 (2019), 694

<https://doi.org/10.36679/kedokteran.v4i1.62>.

Albert Bandura, Self-Efficacy. In V.S. Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of

Human Behavior, 4th edn (San Diego: Encyclopedia of Mental Health,

1994).

Alfredo Dias de Oliveira-Filho and others, ‘The 8-Item Morisky Medication

Adherence Scale: Validation of a Brazilian-Portuguese Version in

Hypertensive Adults’, Research in Social and Administrative Pharmacy,

10.3 (2014), 554–61 <https://doi.org/10.1016/j.sapharm.2013.10.006>.

Arif Muttaqin, 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.

Aris Sugianto Wahyuni, Indarwati, ‘Kajian Persepsi, Pengetahuan Terhadap

Pencegahan Penularan Penyakit TB Di Puskesmas’, Profesi, 12.2 (2015),

1–7 <https://ejournal.stikespku.ac.id/index.php/mpp/article/view/86>.

Aziza G Icksan and Luhur S Reny, Radiologi Toraks Tuberkulosis Paru (jakarta:

Sagung Seto, 2008).

Bandura, A. (1997). Self Efficacy The Exercise of Control. New York : W. H.

Freeman and Company.

Bandura, A. (Ed.). (2006). Guide for constructing Self-efficacy scales. Self-

Efficacy Beliefs of Adolescents, 307–337

Bandura, A. 1977. Self-efficacy : Toward a Unifying Theory of Behavioral

Change. Psychological review 84 (2), 191-251.

96
Bastable, S. 2002. Perawat sebagai Pendidik : Prinsip-Prinsip Pengajaran dan

Pembelajaran. Jakarta : EGC.

Cynthia A. Berg and others, ‘Parental Involvement and Adolescents’ Diabetes

Management: The Mediating Role of Self-Efficacy and Externalizing and

Internalizing Behaviors’, Journal of Pediatric Psychology, 36.3 (2011),

329–39 <https://doi.org/10.1093/jpepsy/jsq088>.

Depkes RI, Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB, 2020th edn (Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2020).

Dicky Y.Wiratma and Ariustika Situmorang, ‘Pengaruh Perbedaan Metode

Pemeriksaan Laju Endap Darah (Led) Terhadap Nilai Led Pasien

Tersangka Penderita Tuberkulosis Paru Di Upt.Kesehatan Paru

Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Medan Tahun

2015’, Jurnal Analis Laboratorium Medik, 1.1 (2016), 24–25.

Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi, ‘Profil Kesehatan Kabupaten

Banyuwangi Tahun 2019’, Profil Kesehatan Kabupaten Banyuwangi

Tahun 2019, 53.9 (2020).

Elok Dwi Mamiri, Ulfa Husnul Fata, and Thatit Nurmawati, ‘Pengaruh

Pendidikan Kesehatan Metode Guidance and Counseling Terhadap

Peningkatan Efikasi Diri (Self Efficacy) Pada Pasien TBC Di Wilayah

Kerja Puskesmas Boro’, Jurnal Ners Dan Kebidanan (Journal of Ners and

Midwifery), 7.2 (2020), 190–95

<https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p190-195>.

97
Erna Widayanti, Siti Harnina Bintari, and Darwani, ‘Uji Resistensi MTB

Terhadap OAT Dengan Metodde Penipisan’, Unnes Journal of Life

Science, 1.2 (2013), 31–38.

Erni Herawati, ‘Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Efikasi Diri Penderita

Tuberkulosis Paru Di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta’,

Publikasi Ilmiah, 02.XV (2015), 3–12.

Ghufron & Risnawita. 2011. Teori-teori psikologi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Global tuberculosis report 2020. Geneva: World Health Organization; 2020.

Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO.

Hafizil Arzit Hafiz, Asmiyati, and Susi Erianti, ‘Open Acces’, HUBUNGAN

SELF EFFICACY DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA

PASIEN TB PARU, 02.02 (2021), 456–68.

Hendiani, N., Sakti, H., & Widiyanti, C. G. (2013). Hubungan Antara Persepsi

Dukungan Keluarga Sebagai Pengawas Minum Obat dan Efikasi Diri

Penderita Tuberkulosis di BKPM Semarang. Jurnal Psikologi Undip,

12(1), 1-10.

Hernandez-Tejada MA, Campbell JA, Walker RJ, Smalls BL, Davis KS, Egede

LE. Diabetes empowerment, medication adherence and self-care

behaviors in adults with type 2 diabetes. Diabetes Technol Ther. 2012

Jul;14(7):630-4. doi: 10.1089/dia.2011.0287. Epub 2012 Apr 23. PMID:

22524548; PMCID: PMC3389377.

Ida Diana Sari and others, ‘Analisis Biaya Tuberkulosis Paru Kategori Satu Pasien

Dewasa Di Rumah Sakit Di DKI Jakarta’, Jurnal Kefarmasian Indonesia,

8.1 (2018) <https://doi.org/10.22435/jki.v8i1.6200.44-54>.

98
Inayah Samhatul and Wahyono Bambang, ‘Penanggulangan Tuberkulosis Paru

Dengan Strategi DOTS Samhatul’, Higeia J Public Heal Res Dev, 2.2

(2018), 331–41.

Irman Somantri, Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan Pada

Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan (jakarta: Salemba Medika,

2008).

J Sandra Peterson and Thimothy S Bredow, Middle Range Theories. Aplikasi to

Nursing Research (Philadelphia: Lippincott, 2009).

Joyce M Black and Jane Hokanson Hawks, Keperawatan Medikal Bedah (8th

Ed.), 8 th ed (Singapore: Elsevier ltd, 2009).

Kemenkes RI, ‘Infodatin Tuberkulosis’, Kementerian Kesehatan RI, 2018, 1–8.

Kemenkes RI, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, Kementrian Kesehatan

Repoblik Indonesia, 2019, XLII.

Kementerian Kesehatan RI, Sekretariat Jenderal, Profil Kesehatan Indonesia

Tahun 2019, Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2020

Kementrian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis

(jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2016).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No. 67 Tentang Pedoman Penanggulangan

Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Data dan Informasi Profil

Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta: Pusat Data dan Informasi

Kementerian Kesehatan RI.

99
Kevin B Kawulusan, Mario E Katuuk, and Yolanda B Bataha, ‘Hubungan Self-

Efficacy Dengan Kepatuhan Minum Obat Hipertensi Di Puskesmas

Ranotana Weru Kota Manado’, Jurnal Keperawatan, 7.1 (2019), 1–9.

Kurniawati & Nursalam. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi

HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika.

Lenz, E. R., & Shortridge-Baggett, L. M. (2002). Self efficacy in nursing:

research and measurement perspectives. New York: Springer Pub.

Martha Raile Alliigood and Ann Marriner Tomey, Model of Nursing Theory, ed.

by Amitya Komara, 7th edn (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2006).

Morisky., Donald E, Ang., Alfonso, KrouselWood., Marie Ward., Harry J. (2008).

Predctive validity of a Medication Adherence Measure in an Outpatient

Setting. Le Jacq. 5(10), 348-354.

Muhammad Arifki Zainaro and Ahmad Gunawan, ‘Kualitas Pelayanan Kesehatan

Rawat Jalan Dengan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Penderita

Tuberkulosis Paru’, Holistik Jurnal Kesehatan, 13.4 (2020), 381–88

<https://doi.org/10.33024/hjk.v13i4.1658>.

Muhtar, ‘PEMBERDAYAAN KELUARGA DALAM PENINGKATAN SELF

EFFICACY DAN SELF CARE ACTIVITY KELUARGA DAN

PENDERITA Tb PARU (Family Empowerment in Increasing Self-Effi

Cacy and Self-Care Activity of Family and Patients with Pulmonary Tb)’,

Jurnal Ners, 8.Oktober (2013), 229–39

<https://doi.org/http://dx.doi.org/10.20473/jn.v8i2.3826>.

Muttaqin, A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Pernapasan. Jakarta : EGC.

100
Niluh Gede Yasmin Asih, Monica Ester, and Christantie Effendy, Keperawatan

Medikal Bedah : Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan, ed. by

Monica Ester (jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 2004).

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka

Cipta.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka

Cipta.

Novita Surya Putri and others, ‘Telenursing Using Mobile Phone Features For

Medication Adherence Tuberculosis Patients : A Systematic Review’, The

9th International Nursing Conference 2018, 2018, 122–27.

Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.

Jakarta : Salemba Medika.

Nursalam. 2008. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.

Jakarta : Salemba Medika.

R. Darmanto Djojodibroto, RESPIROLOGI, I (jakarta: EGC Penerbit Buku

Kedokteran, 2009).

Rahmawati, R. (2017). Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Tingkat Setres

Pada Lansia Pensiunan Di Peguyuban Wredatama Universitas Diponegoro

Semarang. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Semarang.

Riangga Novrianto, Anggia Kargenti Evanurul Marettih, and Hasbi Wahyudi,

‘Validitas Konstruk Instrumen General Self Efficacy Scale Versi

Indonesia’, Jurnal Psikologi, 15.1 (2019), 1

<https://doi.org/10.24014/jp.v15i1.6943>.

101
Riazi A, Aspden T, Jones F. Stroke Self-efficacy Questionnaire: a Rasch-refined

measure of confidence post stroke. J Rehabil Med. 2014 May;46(5):406-

12. doi: 10.2340/16501977-1789. PMID: 24658341.

Sapiq, A. 2015. Hubungan Self Efficacy dan Konsep Diri dengan Kepatuhan

Minum Obat pada Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas

Pekauman Banjarmasin Selatan Tahun 2015.

Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha

Ilmu.

Shama Mohammed, Rachel Glennerster, and Aamir J. Khan, ‘Impact of a Daily

SMS Medication Reminder System on Tuberculosis Treatment Outcomes:

A Randomized Controlled Trial’, PLoS ONE, 11.11 (2016), 1–13

<https://doi.org/10.1371/journal.pone.0162944>.

Siti Noor Fatmah Lailatushifah, ‘Kepatuhan Pasien Yang Menderita Penyakit

Kronis Dalam Mengonsumsi Obat Harian’, Fakultas Psikologi Universitas

Mercu Buana Yogyakarta, 2012, 1–9 <http://fpsi.mercubuana-

yogya.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/Noor-Kepatuhan...pdf>.

Somers TJ, Shelby RA, Keefe FJ, Godiwala N, Lumley MA, Mosley-Williams A,

Rice JR, Caldwell D. Disease severity and domain-specific arthritis self-

efficacy: relationships to pain and functioning in patients with rheumatoid

arthritis. Arthritis Care Res (Hoboken). 2010 Jun;62(6):848-56. doi:

10.1002/acr.20127. PMID: 20535796; PMCID: PMC2885011.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :

Alfabeta.

102
Sutarto Sutarto and others, ‘Efikasi Diri Pada Kepatuhan Minum Obat Anti

Tuberkulosis (OAT)’, Jurnal Kesehatan, 10.3 (2019), 405

<https://doi.org/10.26630/jk.v10i3.1479>.

Suzanne C Smeltzer and Brenda G Bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah

Brunner Dan Suddarth, ed. by Ellen Panggabean, Monica Ester, and

Agung Waluyo, Ed 8 cet.1 (jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran,

2002).

Sylvia Anderson Price and Lorraine Mc Carty Wilson, Patifisiologi: Konsep

Klinis Proses-Proses Penyakit, ed. by Brahm U. Pendit, Vol 2 (jakarta:

EGC Penerbit Buku Kedokteran, 2006).

Usastiawaty Cik Ayu Saadiah Isnainy, Sri Sakinah, and Heri Prasetya, ‘Hubungan

Efikasi Diri Dengan Ketaatan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Pada

Penderita Tuberkulosis Paru’, Holistik Jurnal Kesehatan, 14.2 (2020),

219–25 <https://doi.org/10.33024/hjk.v14i2.2845>.

Vika Vika, Minarma Siagian, and Grace Wangge, ‘Validity and Reliability of

Morisky Medication Adherence Scale 8 Bahasa Version to Measure Statin

Adherence among Military Pilots’, Health Science Journal of Indonesia,

7.2 (2016), 129–33 <https://doi.org/10.22435/hsji.v7i2.5343.129-133>.

World Health Organization, Are Updated Every Year . for the Tuberculosis (word,

2020) <https://www.who.int/tb/publications/global_report/en/>.

World Health Organization, Global Tuberculosis Report 2017 Document

WHO/HTM/TB/2017.23. Geneva., 2017

<http://www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr2017_main_text.pd

f>.

103
Yeni Yulianti, ‘Hubungan Efikasi Diri Dan Dukungan Keluarga Dengan

Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita Tuberkulosis Di Wilayah Kerja

Puskesmas Sukabumi Kota Sukabumi’, Jurnal Ummi, 12.3 (2018), 53–60

<https://jurnal.ummi.ac.id/index.php/ummi/article/view/338>.

104
Lampiran 1 Matrik Rencana Kegiatan Penelitian

105
Lampiran 2 Surat Ijin Permohonan Data Awal

106
Lampiran 3 Surat Permohonan Pengantar ke Puskesmas

107
Lampiran 4 Surat Ijin Penelitian Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi

108
Lampiran 5 Surat permohonan ijin penelitian

109
Lampiran 6 Surat permohonan pengantar ke Puskesmas

110
Lampiran 7 Surat pengantar penelitian ke Puskesmas

111
Lampiran 8 Dokumentasi pengambilan data

112
Lampiran 9 Lembar Permintaan Menjadi Responden

INFORMED
SURAT PERMOHONAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Eko Prayugo Saputro
NIM : 202002T044
Pekerjaan : Mahasiswa Prodi S1 Keperawatan STIKES Banyuwangi
Alamat : Perum Taman Alam Surya No 5B, Jatisari, Gambiran,
Banyuwangi
Judul : “Hubungan Self-Efficacy dengan Kepatuhan Minum Obat
pada Pasein TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Genteng
Kulon Kabupaten Banyuwangi”
Pada kesempatan ini akan melakukan melakukan penelitian dengan judul
“Hubungan Self-Efficacy dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien TB Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Genteng Kulon Kabupaten Banyuwangi Tahun 2021”.
Adapun tujuan, manaat dn kerugian dari penelitian ini diantaranya adalah:
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana self efficacy
berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat pada pasien TB paru di wilayah
kerja Puskesmas Genteg Kulon.
2. Manfaat
Berkontribusi dalam teridentifikasinya hubungan antara self efficacy
dengan kepatuhan minum obat pasien TB Paru. Hasil penelitian ini dapat
meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat terutama bagi keluarga
dengan klien TB paru bahwa self-efficacy (efikasi diri) sangat diperlukan
dalam pengobatan TB paru yang optimal.
3. Kerugian
Dalam penelitian ini tidak ada bahaya dan kerugian bagi partisispan,
karena penelitian ini hanya dengan proses pengisian kuesioner dan tidak ada
perlakuan khusus bagi partisipan. Kerahasiaan semua informasi yang
diberikan akan dijaga dan hanya digunakan untuk kepentigan penelitian.

113
4. Hak partisipan
Setelah dilakukan penjelasan (informed consent) maka partisipan berhak
untuk tidak mau menjadi partisipan, dan jika partisipan sudah menyetujui,
maka partisipan berhak untuk mengundurkan diri dari menjadi partisipan,
berhak menunda waktu jika partisipan berhalangan, dan partisipan berhak
menolak untuk mengisi kuesioner untuk sementara waktu.
5. Kewajiban partisipan
Kewajiban partisipan setelah menandatangani lembar persetujuan adalah
mematuhi apa yang sudah ditentukan oleh peneliti, misalnya mengisi semua
pertanyaan yang diberikan dan partisipan harus mengisi dengan benar tanpa
dimanipulasi.
Jika Anda bersedia menjadi responden, maka saya mohon kesediaan untuk
menandatangani lembar persetujuan yang saya lampirkan dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang saya sertakan. Atas perhatian dan kesediaannya
menjadi responden saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,

Eko Prayugo Saputro


NIM 202002T044

114
Lampiran 10 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

CONSENT
SURAT PERSETUJUAN
Setelah saya membaca dan memahami isi dan penjelasan pada lembar
permohonan menjadi responden, maka saya bersedia turut berpartisipasi sebagai
responden dalam penelitian yang akan dilakukan oleh mahasiswa Program Studi
S1 Keperawatan STIKES Banyuwangi, yaitu :
Nama : Eko Prayugo Saputro
NIM : 202002T044
Pekerjaan : Mahasiswa Prodi S1 Keperawatan STIKES Banyuwangi
Alamat : Perum Taman Alam Surya No 5B, Jatisari, Gambiran,
Banyuwangi
Judul : “Hubungan Self-Efficacy dengan Kepatuhan Minum Obat
pada Pasein TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Genteng
Kulon Kabupaten Banyuwangi”
Saya memahami penelitian ini tidak membahayakan dan merugikan saya maupun
keluarga saya, sehingga saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Dengan ini saya bersedia menjawab semua pertanyaan dengan sadar dan sebenar-
benarnya

Genteng, 2021

(……………………………….)
Nama terang dan tanda tangan

115
Lampiran 11 Lembar Kuesioner Data Demografi

KODE RESPONDEN :

KUESIONER DATA DEMOGRAFI

PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER


Bacalah dengan teliti setiap pertanyaan. Kemudian jawablah pertanyaan sesuai
dengan keadaan anda yang sesungguhnya. Apabila terdapat pertanyaan yang tidak
dimengerti dapat menanyakannya kepada pihak kami.
Karakteristik Demografi
1. Inisial Nama :
2. Usia : a. 18 - 30
b. 31 - 40
c. 41 - 50
d. 51 - 60
e. > 60
3. Jenis Kelamin : a. Laki-laki
b. Perempuan
4. Status pernikahan : a. Menikah
b. Belum menikah
c. Duda/Janda

5. Pendidikan Terakhir: : a. SD e. S1
b. SMP f. S2
c. SMA g. Tidak Sekolah
d. D3 h. Lain-lain(sebutkan):

6. Pekerjaan : a. Tidak bekerja f. Petani


b. Ibu Rumah g. ASN
Tangga h. Lain-lain
c. Pelajar/mahasiswa
d. Wiraswasta
e. Pedagang
7. Tipe Penyakit : a. Fase awal
b. Fase lanjutan
(relaps)

8. Tingkat penghasilan a. Tidak Berpenghasilan


b. Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000
c. Rp 1.000.000 sampai Rp. 2.000.000
d. Diatas Rp. 2.000.000

9. Apakah anda pernah a. Pernah

116
menerima informasi b. Belum pernah
tentag TB paru?

10. Dari manakah a. Tenaga kesehatan


informasi tersebut b. Media elektronik
c. Lain lain

117
Lampiran 12 Lembar Kuesioner Self Efficacy
KODE RESPONDEN :

KUESIONER SELF EFFICACY


(General Self Efficacy Scale)

PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER


1. Bacalah dengan teliti setiap pertanyaan. Kemudian jawablah pertanyaan sesuai
dengan keadaan anda yang sesungguhnya. Apabila terdapat pertanyaan yang
tidak dimengerti dapat menanyakannya kepada pihak kami.

2. Kriteria :

a. Sangat Sesuai : Sangat yakin sekali melakukan (tingkat Keyakinan 100%).

b. Cukup Sesuai : Cukup yakin melakukan (tingkat Keyakinan 50 %).

c. Tidak Sesuai : tidak yakin melakukan (tingkat Keyakinan 25%).

d. Sangat tidak sesuai : tidak yakin sama sekali melakukan.

Dalam kuesioner ini tidak terdapat penilaian benar atau salah, sehingga tidak

terdapat jawaban yang dianggap salah. Semua jawaban dianggap benar jika anda

memberikan jawaban sesuai dengan keadaan anda sebenarnya.

118
Keterangan alternatif jawaban : STS (Sangat Tidak Sesuai) : 1, TS (Tidak

Sesuai) : 2, CS (Cukup Sesuai) : 3, SS (Sangat Sesuai) : 4

No. Item Pernyataan STS TS CS SS


Pemecahan soal – soal yang sulit selalu berhasil
1
bagi saya, kalau saya berusaha
Jika seseorang menghambat tujuan saya, saya akan
2
mencari cara dan jalan untuk meneruskannya
Saya tidak mempunyai kesulitan untuk
3
melaksanakan niat dan tujuan saya
Dalam situasi yang tidak terduga saya selalu tahu
4
bagaimana saya harus bertingkah laku
Kalau saya akan berkonfrontasi dengan sesuatu
5 yang baru, saya tahu bagaimana saya dapat
menanggulanginya
6 Untuk setiap problem saya mempunyai pemecahan
Saya dapat menghadapi kesulitan dengan tenang,
7 karena saya selalu dapat mengandalkan
kemampuan saya
Kalau saya menghadapi kesulitan, biasanya saya
8
mempunyai banyak ide untuk mengatasinya
Juga dalam kejadian yang tidak terduga saya kira,
9
bahwa saya akan dapat menanganinya dengan baik
10 Apapun yang terjadi, saya akan siap menanganinya
Sumber : (Novrianto et al., 2019)

119
Lampiran 13 Lembar Kuesioner MMAS-8
KODE RESPONDEN :

KUESIONER KEPATUHAN MINUM OBAT


(Morisky Medication 8- item Adherence Scale)

PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER

1. Bacalah dengan teliti setiap pernyataan. Kemudian jawablah pernyataan sesuai

dengan keadaan anda yang sesungguhnya. Apabila terdapat pernyataan yang

tidak dimengerti dapat menanyakannya kepada pihak kami.

2. Berikan jawaban dari pertanyaan dibawah ini dengan menggunakan tanda

centang (√) di kolom jawaban YA atau TIDAK. Setiap pertanyaan harus

dijawab tanpa terkecuali sesuai dengan keadaan anda.

3. Dalam kuesioner ini tidak terdapat penilaian benar atau salah, sehingga tidak

terdapat jawaban yang dianggap salah. Semua jawaban dianggap benar jika

anda memberikan jawaban sesuai dengan keadaan anda sebenarnya.

120
KUESIONER KEPATUHAN MINUM OBAT
No Pertanyaan IYA TIDAK
1 Apakah anda terkadang lupa minum obat?
2 Orang terkadang melewatkan minum obat karena
alasan lain dari pada melupakan. Berpikir selama
dua minggu terakhir, apakah ada hari-hari ketika
anda tidak minum obat?
3 Apakah anda pernah mengurangi atau berhenti
minum obat tanpa memberitahu dokter anda,
karena anda merasa lebih buruk ketika anda
meminumnya?
4 Saat anda bepergian atau keluar rumah, apakah
anda terkadang lupa membawa sepanjang
pengobatan anda?
5 Apakah anda minum obat kemarin?
6 Ketika anda merasa kondisi kesehatan anda
terkendali, apakah anda terkadang berhenti minum
obat?
7 Minum obat setiap hari adalah ketidaknyamanan
yang nyata bagi beberapa orangorang-orang.
Apakah anda pernah merasa kerepotan menjalani
perawatanrencana?
8 Seberapa sering anda kesulitan mengingat untuk Tidak pernah/jarang
mengambil semua milik anda obat-obatan?
Sesekali

Terkadang

Biasanya

Sepanjang waktu

Sumber : Morisky DE, Green LW, Levine DM. Current and Predictive Validity of

a Self-reported measure of Medication Adherence. Med Care. 1986;24;67-74.

121
Lampiran 14 Lembar Konsultasi
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
(Institute of Healt Science)
Jl. Letkol Istiqlah No. 109 Banyuwangi Telp. (0333) 425270 fax. (0333) 425270

BANYUWANGI
LEMBAR KONSULTASI
Nama : Eko Prayugo Saputro
NIM : 202002T044
Judul Proposal : “HUBUNGAN SELF-EFFICACY DENGAN TINGKAT
KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN TB PARU DI
WILAYAH KERJA PSKESMAS GENTENG KULON
KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN 2021”
Dosen pembimbing : Masroni, S.Kep., Ns., M.S. (in Nursing)

No Tanggal Revisi TTD

1 10/03/2021 1) Bab 1 : Revisi paragraf introduction, justifikasi, dan


solusi
2) Untuk kata bahasa asing di cetak miring italic
3) Paragraph spacing gunakan 2 spasi

2 16/03/2021
1) Tambahkan paragraf solusi
2) Lanjutkan bab 2 dan bab 3
3 29/03/2021
1) Perbaiki paragraf solusi
2) Tambahkan alat ukur self efficacy dan alat ukur
kepatuhan minum obat
3) Pada tabel sintesis bedakan tiap varibel independen dan
dependen, instrument setiap variable dan alat uji analis
data
4) Revisi bab 3, terlalu panjang dan kurang fokus

122
No Tanggal Revisi TTD

4 16/04/2021
1) Bab 1 acc
2) Bab 2 acc
3) Bab 3 tambahkan domain self efficacy dan domain
kepatuhan minum obat
5 18/04/2021
1) Bab 3 acc
2) Bab 4 pada definisi operasional hasil ukur variable
disesuaikan dengan kerangka konsep bab 3
3) Bab 4 tambahkan tabel analisis data
6 22/04/2021
1) Bab 4 acc
2) Masukkan lampiran lampiran

123
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
(Institute of Healt Science)
Jl. Letkol Istiqlah No. 109 Banyuwangi Telp. (0333) 425270 fax. (0333) 425270

BANYUWANGI
LEMBAR KONSULTASI
Nama : Eko Prayugo Saputro
NIM : 202002T044
Judul Proposal : “HUBUNGAN SELF-EFFICACY DENGAN TINGKAT
KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN TB PARU DI
WILAYAH KERJA PSKESMAS GENTENG KULON
KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN 2021”
Dosen pembimbing : Novita Surya Putri, S.Kep., Ns., M.kep.

No Tanggal Revisi TTD

1 10/03/2021 1) Bab 1 : Revisi paragraf introduction, justifikasi, dan


solusi
2) Untuk kata bahasa asing di cetak miring italic

2 16/03/2021
1) Bab 1 paragraf 1 terlalu panjang, setiap paragraf terdiri
dari 5 sampai 7 kalimat
2) Kata asing di cetak miring
3) Awal kalimat tidak diperbolehkan menggunakan kata
hubung
4) Paragraf solusi terdiri dari preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitative
5) Jika menggunakan kata self efficacy semua harus
menggunakan self efficacy bukan efikasi diri
3 20/03/2021
1) Bab 1 ac
2) Lanjut bab 2 dan bab 3

124
No Tanggal Revisi TTD

4 29/03/2021
1) Penulisan citasi tidak perlu diberi halaman
2) Bab 2 : gunakan hasil penelitian lain sebagai pembanding
pada keaslian penelitian
3) Untuk kolom judul tabel mohon di repeat agar terlihat
kebawah
4) Revisi bab 3, terlalu panjang dan kurang fokus gunakan
teori Lawrence green
5 16/04/2021
1) Bab 2 acc
2) Bab 3 revisi
3) Bab 4 revisi kriteria inklusi
6 20/04/2021
1) Bab 3 acc
2) Bab 4 acc
3) Tambahkan lampiran

125

Anda mungkin juga menyukai