Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi Pancasila yang
mana sistem ini menjunjung tinggi hak-hak asasi seorang warga negara dan
menjamin kebebasan bagi setiap individu untuk berserikat, berkumpul,
mengeluarkan pendapat, serta mengakui persamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan. Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang demokrasi
sepakat untuk berkomitmen dalam menegakkan keadilan dan hak setiap individu
masyarakatnya termasuk menjamin bebasnya masyarakat laki-laki maupun
perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam dunia politik maupun sosial dimana hal
tersebut menggambarkan adanya prinsip demokratis dalam suatu negara.
Adanya kesamaan (equality) hak dalam berbagai aspek sosial, tanpa
diskriminasi/membedakan jenis kelamin (gender) merupakan konsep yang ada di
dalam negara hukum. Di Indonesia, sebagai negara hukum memiliki hak
konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga
negara yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 berlaku bagi setiap warga negara Indonesia.
Pasca ratifikasi Convention on Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women (CEDAW) apakah persoalan kesetaraan perempuan dan anti
diskriminasi terhadap perempuan Indonesia telah selesai? Tentu saja tidak. Dalam
bidang peraturan perundang-undangan saja masih banyak peraturan perundang
undangan yang bias gender, netral gender, bahkan belum mengakomodir
kepentingan perempuan. Hukum diyakini tidak lahir dalam sebuah ruang hampa,
namun merupakan hasil pergulatan kepentingan sosial, budaya, ekonomi, politik
serta mencerminkan standar nilai dan ideologi yang dianut masyarakat dan
kekuasaan dalam proses pembuatannya.
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengungkapkan masih banyak
kebijakan publik yang diskriminatif terhadap perempuan dan minoritas. Kebijakan
diskriminatif ini tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Indrawari, Komisioner
Komnas Perempuan, mengatakan kebijakan diskriminatif antara lain dituangkan
dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Isi Perda tersebut banyak bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni Undang-undang.
II. Kebijakan publik yang diskriminatif terhadap Perempuan
Berdasarkan data Agustus 2016, ada 421 kebijakan publik yang diskriminatif
terhadap perempuan dan minoritas,” kata Indrawari, dalam seminar
nasional bertajuk “Eksploitasi Seks Komersial Anak dan Inklusi Sosial” yang
diselenggarakan oleh KAP dan LPPM Unpar di Kampus Universitas Katholik
Parahyangan (Unpar), Jalan Merdeka, Bandung, Selasa (30/8/2016).
Perda-perda diskriminatif tersebut antara lain mengatur prilaku perempuan,
misalnya cara berbusana perempuan, mengatur perempuan di ruang publik.
Banyak juga perda yang mendiskriminasi kelompok-kelompok minoritas seperti
kelompok agama dan kepercayaan. “Saat ini daerah seperti kerajaan kecil yang
membuat perda yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih
tinggi.” Lebih lanjut Indrawari mengatakan berdasarkan Undang-undang No
23/2014 tentang Pemerintah Daerah, perda yang bertentangan dengan peraturan di
atasnya bisa dibatalkan oleh menteri. Undang-undang No 23/2014 tentang
Pemerintah Daerah mengatur bahwa perda tidak boleh bertentangan dengan Hak
Asasi Manusia. “Undang-undang ini lebih maju, bisa membatalkan perda jika
perda tersebut bertentangan dengan HAM dan peraturan yang lebih tinggi oleh
menteri. Beda dengan dulu sebelum ada Undang-undang Pemerintah Daerah,
pembatalan perda hanya bisa dilakukan presiden. Sekarang menteri bisa
membatalkan,” ungkap Indrawari.
Komnas Perempuan juga mencatat masih ada peraturan perundang-undangan
yang saling bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Contohnya, Undang-undang No 23/2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) tidak optimal dalam melindungi perempuan dan anak. “Padahal
Undang-undang KDRT sudah 12 tahun berlaku,” katanya. Menurutnya, dalam UU
KDRT ada celah untuk mengkriminalisasi perempuan sebagai korban. Hal ini
diperparah dengan lemahnya aparat hukum dalam memahami kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak. Aparatur negara dinilai tidak memiliki perspektif
gender. Seringkali di lapangan, aparat hukum menganjurkan korban untuk tidak
memperkarakan kasus KDRT secara hukum. “Untuk kasus KDRT solusinya
perceraian, sehingga perempuan lepas dari pelaku. Sehingga pelaku dibiarkan
bebas dan tidak menutup nantinya bisa melakukan hal serupa,” katanya.
Contoh lain, adanya inkonsistensi antara Undang-undang yang satu dengan
Undang-undangnya dalam mendefinisikan usia anak. Akibat inkonsistensi ini
negara jadi terlibat dalam menikahkan anak di bawah umur. “Sebesar 42 persen
perempuan menikah dalam usia 15-19 tahun,” katanya. Dampaknya, pernikahan
dini menyumbang angka kematian ibu dan anak. Sehingga Indonesia masih
menjadi negara dengan kematian ibu dan anak tertinggi di Asia.

Komnas Perempuan menyatakan sebagian besar kebijakan pemerintah masih


bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Sepanjang tahun 1999-2010 terdapat
189 kebijakan diskriminatif yang tujuh di antaranya diterbitkan di tingkat
nasional. Dari jumlah itu sebanyak 80 kebijakan daerah secara langsung menyasar
kepada perempuan.  
 
"Kebijakan diskriminatif ini dalam proses perumusannya minim melibatkan
perempuan atau kelompok agama lain yang juga memiliki hak sebagai warga
penghuni nusantara,” kata Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan), Yuniyanti Chuzaifah dalam diskusi yang
bertajuk “Meneguhkan Perjuangan Kita: Pelaksanaan Mandat Konstitusi untuk
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan” di Gedung MK Jakarta beberapa
waktu lalu.
 
Menurut Yuniyanti, kebijakan diskriminatif ini mengatasamakan agama dan
moralitas yang merupakan salah satu tantangan terberat Indonesia dalam
memastikan pelaksanaan mandat Konstitusi. Tantangan lainnya adalah
kemiskinan, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, penanganan kasus-kasus
pelanggaran HAM dipertaruhkan jika kebijakan diskriminatif dibiarkan.
 
Ia menegaskan 80 dari 182 kebijakan daerah (Perda) dinilai masih
diskriminatif terhadap perempuan. Seperti pembatasan hak berekspresi khususnya
mengatur cara berpakaian (23), kebijakan prostitusi dan pornografi dengan
mengurangi hak perlindungan dan mengkriminalkan perempuan (52),
penghapusan hak perlindungan dengan larangan ber-khalwat (1), dan pengabaian
hak perlindungan buruh migran (4).                     
 
“Selebihnya 98 kebijakan tentang agama, 96 di antaranya dikeluarkan
pemerintah daerah meski seharusnya kewenangan pusat. Sebelas kebijakan lain
merupakan pembatasan terhadap kebebasan memeluk agama bagi kelompok
Ahmadiyah,” tuturnya.   
  
Ia menyayangkan hingga hari ini belum ada informasi tentang pembatalan
kebijakan diskriminatif yang mengatasnamakan agama dan moralitas itu oleh
Kemendagri, kecuali Perda di Sukabumi terkait buruh migran. Mahkamah Agung
(MA) pun dua kali menolak permohonan judicial review kebijakan diskrimatif
dengan alasan prosedural.
 
“Soal ini Komnas Perempuan telah mengusulkan agar MA mengkaji kembali
aturan batas waktu dan tata cara pengajuan permohonan judicial review agar
terbuka bagi keikutsertaan publik.”              
 
Meski demikian, Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada sekitar 46
kebijakan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten yang mendukung pelaksanaan
mandat konstitusi untuk mengakhiri kekerasan dan diskriminasi terhadap
perempuan. “Beberapa daerah juga telah menerbitkan kebijakan guna mendorong
pemenuhan hak konstitusional. Dalam dua tahun, Bulukumba telah menerbitkan
tiga kebijakan daerah untuk berupaya menghapus diskriminasi berbasis gender
dan mengadakan layanan bagi perempuan korban.”
 
Ia menilai persoalan kebijakan diskriminiatif bermuara pada lima lapisan
konseptual yang penting diurai dalam menguatkan pondasi tata kelola bangsa
Indonesia. Yakni, relasi negara dan agama, relasi mayoritas dan minoritas, relasi
pusat dan daerah, relasi negara dan masyarakat, dan relasi laki-laki dan
perempuan dalam rangka kesetaraan akses dan manfaat penikmatan hak asasi
sebagai manusia.
 
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah, GKR Hemas
mengatakan kebijakan yang mengatasnamakan mayoritas versus minoritas pada
akhirnya akan berujung mendiskriminasi kelompok minoritas. Menurutnya, setiap
kebijakan yang disusun seharusnya menempatkan jaminan perlindungan hukum
yang bisa diperoleh semua warga negara tanpa membedakan latar belakang
apapun.     

"Kebijakan diskriminatif ini tak boleh dipandang sebelah mata, ini sudah terbukti
menumbuhkembangkan potensi intoleransi yang akan merugikan proses
demokrasi di Indonesia, termasuk ancaman disintegrasi bangsa,” kata Hemas.
 
Sebagai contoh, ia menilai UU Administrasi Kependudukan diskriminatif pada
kelompok adat penganut agama lokal, UU Pornografi yang masih ditolak keras
oleh rakyat dan pemerintah provinsi Bali. “Namun berbagai daerah juga merasa,
negara sudah melakukan separatism cultural terhadap kebudayaan mereka, seperti
di Papua, Maluku, Yogyakarta,” katanya.

Anda mungkin juga menyukai