Anda di halaman 1dari 9

Al-Jami' al-Aqsha

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Halaman ini berisi artikel tentang masjid yang menjadi salah satu bagian dari kompleks
Al-Aqsha. Untuk keseluruhan kompleks, lihat Masjid Al-Aqsha.

Jami' Al Aqsha
‫الجامع االقصى‬

Informasi umum

Letak Masjid Al Aqsha, Yerusalem

Koordinat 31°46′35″N 35°14′8″E


geografi

Afiliasi agama Islam

Distrik Kota Lama Yerusalem

Status Masjid

Kepemimpinan Yayasan Wakaf

Deskripsi arsitektur

Jenis arsitektur Masjid


Gaya arsitektur Arsitektur Islam

awal, Mamluk

Peletakan batu 685 (konstruksi pertama)

pertama 1033 (konstruksi kedua)

Rampung 705 (konstruksi pertama)

1035 (konstruksi kedua)

Spesifikasi

Arah fasad Utara

Kapasitas 5.000[1]

Panjang 83 meter (272 kaki)

Lebar 56 meter (184 kaki)

Kubah 1

Menara 4

Tinggi menara 37 meter (121 kaki)

Bahan Batu kapur (tembok luar,

menara, fasad), stalaktit

(menara), timah (kubah),

marmer putih (kolom

interior)

Al-Jami' al-Aqsha (bahasa Arab: ‫ )الجامع االقصى‬adalah salah satu bangunan utama
yang terdapat dalam kompleks Masjid Al-Aqsha bagian selatan dengan ciri khas kubah
timahnya yang berwarna abu-abu. Al-Jami' al-Aqsha sering dianggap sebagai Masjid
Al-Aqsha itu sendiri, walaupun sesungguhnya nama Masjid Al-Aqsha merujuk kepada
keseluruhan kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa bangunan penting; seperti
Al-Jami' al-Aqsha itu sendiri, Kubah Ash-Shakhrah, Mushalla Al-Marwani, Kubah Al-
Mi’raj, Kubah As-Silsilah, Kubah An-Nabi, dan bangunan-bangunan lainnya.
Al-Jami' al-Aqsha pertama kali dibangun pada masa Umar bin Khaththab, meskipun
beberapa pendapat menyatakan bahwa masjid ini dibangun pada masa Kekhalifahan
Umayyah. Setelah gempa bumi tahun 746, masjid ini hancur seluruhnya dan dibangun
kembali oleh khalifah Abbasiyah Al-Mansur pada tahun 754, dan dikembangkan lagi
oleh penggantinya Al-Mahdi pada tahun 780. Gempa berikutnya menghancurkan
sebagian besar Al-Jami' al-Aqsha pada tahun 1033, tetapi dua tahun kemudian
khalifah Fatimiyyah Ali azh-Zhahir membangun kembali masjid ini yang masih tetap
berdiri hingga kini.
Dalam berbagai renovasi berkala yang dilakukan, berbagai dinasti kekhalifahan
Islam telah melakukan penambahan terhadap Al-Jami' al-Aqsha dan kawasan
sekitarnya, antara lain pada bagian kubah, fasad, mimbar, menara, dan interior
bangunan. Ketika Tentara Salib menaklukkan Yerusalem pada tahun 1099, mereka
menggunakan masjid ini sebagai istana dan Kubah Ash-Shakhrah sebagai gereja,
tetapi fungsi masjid dikembalikan seperti semula setelah Salahuddin mengambil alih
kepemimpinan kota itu. Renovasi, perbaikan, dan penambahan lebih lanjut dilakukan
pada abad-abad kemudian oleh para
penguasa Ayyubiyah, Mamluk, Utsmaniyah, Majelis Tinggi Islam, dan Yordania.
Pembakaran Al-Jami' al-Aqsha pada tanggal 21 Agustus 1969 telah mendorong
berdirinya Organisasi Konferensi Islam yang saat ini beranggotakan 57 negara.
Pembakaran tersebut juga menyebabkan mimbar kuno Salahuddin Al-Ayyubi terbakar
habis. Dinasti Bani Hasyim penguasa Kerajaan Yordania telah menggantinya dengan
mimbar baru yang dikerjakan di Yordania,[2] meskipun ada pula yang menyatakan
bahwa mimbar buatan Jepara digunakan di masjid ini.[3][4]

Penamaan
Informasi lebih lanjut: Masjid Al-Aqsha
Al-Jami' al-Aqsha adalah bangunan berkubah abu-abu yang berada di kompleks Masjid
Al-Aqsha, yaitu di bagian selatan. Kata Al-Jami’ (‫ )ا َ ْل َجامِ ع‬makna 'masjid', yang berasal
dari kata Al-Jumu'ah yang berarti 'mengumpulkan' (untuk salat jemaah). [5]
Selama berabad-abad, Masjid Al-Aqsha dengan keseluruhan kompleksnya telah
dianggap sebagai sebuah wilayah yang suci. Perubahan penyebutan kemudian terjadi
pada masa pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah, di mana wilayah kompleks secara
keseluruhan disebut sebagai Al-Haram asy-Syarif; sedangkan bangunan yang terletak
di bagian selatan disebut sebagai Al-Jami' al-Aqsha, yaitu tempat Umar bin
Khaththab pertama kali mendirikan masjid di antara reruntuhan.[6] Hadits
Imam Ahmad menyebutkan percakapan Umar bin Khattab dan Ka'ab al-Ahbar, di mana
Ka'ab menyarankan untuk membangun masjid di belakang batu Ash-Shakhrah,
sedangkan Umar menolak dan memilih tempat di sebelah selatan untuk membangun
masjid dengan kiblat yang mengarah ke Ka'bah saja, sehingga posisi batu tersebut
berada di belakangnya.[6][7][8]
Informasi lebih lanjut: Masjid Umar (Yerusalem)
Al-Jami' al-Aqsha yang didirikan Umar bin Khattab tersebut, juga berbeda
dengan Masjid Umar, yaitu sebuah masjid yang dibangun pada masa kekuasaan
Dinasti Ayyubiyah pada abad ke-12, untuk mengenang pengambil-alihan Yerusalem
oleh Umar bin Khattab yang mewakili umat Islam.[9] Tradisi setempat menceritakan
bahwa pada saat pengambil-alihan tersebut, Umar diundang oleh Patriark Sophonius
untuk beribadah di dalam Gereja Makam Kudus, tetapi Umar memilih mengerjakan
salat di luar, di dekat pintu masuk gereja.[9] Masjid Umar terletak berseberangan
dengan Gereja Makam Kudus, di luar kompleks Masjid Al-Aqsha.[9]

Sejarah
Pra konstruksi
Area masjid ini dahulu adalah bagian perluasan pembangunan bukit oleh Raja Herodes
Agung, yang dimulai pada tahun 20 SM. Herodes memerintahkan tukang batu untuk
memotong permukaan batu di sisi timur dan selatan bukit, dan melapisinya. Sisa-sisa
pembangunan tersebut saat ini masih dapat ditemukan di beberapa lokasi. [10]
Ketika Bait Kedua masih berdiri, situs tempat masjid saat ini berdiri disebut dengan
nama Serambi Salomo, dan pada tiap sisinya terdapat gudang kuil yang
dinamakan chanuyot, yang memanjang sampai ke sisi selatan bukit. Konstruksi tiang-
tiang kolom besar persegi di bagian utara masjid serta tembok-temboknya, baru-baru ini
ditetapkan memiliki usia jauh lebih tua daripada yang diperkirakan sebelumnya oleh
peneliti-peneliti terdahulu (berdasarkan tulisan para saksi mata dari masa itu), yaitu
bahwa konstruksi tersebut berasal dari masa kekuasaan Romawi. Tembok-tembok
tersebut dibangun kembali atau diperkuat tidak lama setelah penghancuran Yerusalem
pada tahun 70 Masehi. Struktur bawah tanah bangunan ini berasal dari masa
kembalinya orang Yahudi dari pembuangan Babilonia mereka, yaitu 2.300 tahun yang
lalu. Situasi politik telah menyebabkan penggalian lebih lanjut di area tersebut tidak
memungkinkan. Pada saat gempa bumi tahun 1930-an merusak masjid ini,
penanggalan atas beberapa bagian yang terbuat dari kayu sempat dilakukan, yang
menunjukkan kurun 900 SM. Kayu-kayu tersebut adalah cypress (sejenis cemara)
dan akasia. Jenis yang disebut terakhir menurut Alkitab digunakan oleh
Raja Salomo dalam konstruksi bangunan-bangunannya di bukit tersebut pada sekitar
900 SM.[11]
Bersama dengan Bait Suci, chanuyot yang ada ikut hancur oleh serangan Kaisar
Romawi Titus (saat itu masih jenderal) pada tahun 70. Kaisar Yustinianus membangun
sebuah gereja Kristen di situs ini pada tahun 530-an, yang dipersembahkan
bagi Perawan Maria dan dinamakan "Gereja Bunda Kami". Gereja ini belakangan
dihancurkan oleh Kaisar Sassania Khosrau II pada awal abad ke-7, hingga tersisa
sebagai reruntuhan.[12]
Konstruksi Umayyah
Al-Jami' al-Aqsha di sepanjang dinding selatan Masjid Al-Aqsha

Ada beberapa pendapat terkait waktu Al-Jami' al-Aqsha pertama kali dibangun.
Pendapat yang paling masyhur adalah Al-Jami' al-Aqsha merupakan tempat Umar bin
Khaththab melaksanakan salat jemaah saat berkunjung ke Yerusalem dan Umar pula
yang memerintahkan pendirian bangunan tersebut.[6][7][8] Beberapa pendapat lain
menyatakan bahwa bangunan ini dibangun pada masa pemerintahan Kekhalifahan
Umayyah, sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa bangunan awalnya dibangun
Umar dan kemudian dibangun ulang pada masa Kekhalifahan Umayyah.
Merujuk pada kesaksian Arculf, seorang biarawan Galia yang berziarah
ke Palestina pada 679-82, sejarawan arsitektur Sir Archibal Creswell berpendapat
bahwa Umar bin Khaththab mungkin adalah orang yang pertama kali mendirikan
bangunan persegi empat primitif dengan daya tampung 3.000 jamaah di suatu tempat
di kompleks Masjid Al-Aqsha (disebut kompleks Bukit Bait Suci oleh umat Yahudi).
Meski demikian, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Muawiyahlah yang
mungkin sebenarnya memerintahkan pembangunan dan bukan Umar. Pendapat
terakhir ini didukung oleh tulisan dari ulama Yerusalem awal Al-Mutahhar bin Tahir al-
Maqdisi.[13] Analisis atas panel dan balok kayu yang diambil dari bangunan ini selama
renovasi pada tahun 1930-an menunjukkan bahwa kayu-kayu tersebut adalah cedar
Libanon dan cypress. Penanggalan radiokarbon menunjukkan berbagai macam usia,
beberapa bahkan setua abad ke-9 SM, yang menunjukkan bahwa beberapa dari kayu
tersebut sebelumnya telah digunakan pada bangunan-bangunan yang lebih tua.[14]
Menurut beberapa ulama Islam, antara lain Mujiruddin al-Ulaimi, Jalaluddin as-Suyuthi,
dan Syamsuddin al-Maqdisi, masjid ini dibangun kembali dan diperluas
oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada 690 bersama dengan Kubah Batu.[13][15] Guy
le Strange mengklaim bahwa Abdul Malik menggunakan bahan-bahan dari Gereja
Bunda Kami yang hancur untuk membangun masjid dan menunjukkan bukti bahwa
kemungkinan substruktur di sudut tenggara masjid adalah sisa-sisa gereja tersebut.[15]
Dalam merencanakan proyek megahnya di Bukit Bait Suci, yang pada akhirnya akan
mengubah keseluruhan kompleks itu menjadi Masjid Al-Aqsha, Abdul Malik ingin
mengubah bangunan primitif sebagaimana digambarkan oleh Arculf menjadi struktur
yang lebih terlindung yang melingkupi kiblat, suatu faktor penting dalam skema lengkap
rancangannya. Namun, seluruh kompleks Al-Aqsha itu dimaksudkan untuk
melambangkan masjid. Seberapa banyak perubahan yang ia lakukan pada aspek
bangunan sebelumnya tidak diketahui, tetapi panjang bangunan baru ditunjukkan
dengan adanya bekas jembatan yang mengarah ke istana Umayyah, yang terletak di
sebelah selatan dari bagian barat kompleks. Jembatan kemungkinan dahulunya
membentang dari jalan di luar tembok selatan Al-Aqsha, sebagai jalan langsung menuju
masjid. Adanya jalan langsung dari istana ke masjid adalah sebuah ciri khas yang
terkenal pada masa Umayyah, sebagaimana terdapat pada situs-situs awal lainnya.
Abdul Malik menggeser poros tengah masjid sekitar 40 meter ke arah barat, sesuai
dengan rencana lengkapnya atas Masjid Al-Aqsha. Poros bangunan sebelumnya yang
berbentuk sebuah ceruk, saat ini masih dikenal dengan sebutan "Mihrab Umar". Karena
memperhatikan benar posisi Kubah Batu, Abdul Malik meminta arsiteknya
menyejajarkan Al-Jami' al-Aqsha yang baru dengan posisi batu Ash-Shakhrah,
sehingga sumbu utama utara-selatan Al-Aqsha yang sebelumnya, yaitu garis yang
melalui Kubah As-Silsilah dan Mihrab Umar, menjadi bergeser.[16]
Creswell, yang merujuk pada Papyri Aphrodito, sebaliknya mengklaim bahwa Al-Walid
bin Abdul Malik adalah yang membangun kembali Al-Jami' al-Aqsha selama periode
enam bulan sampai satu tahun, dengan para pekerja dari Damaskus. Kebanyakan
peneliti berpendapat bahwa rekonstruksi masjid dimulai oleh Abdul Malik, tetapi Al-
Walid lah yang mengawasinya hingga selesai. Dalam tahun 713-714, serangkaian
gempa bumi telah merusak Yerusalem dan menghancurkan bagian timur masjid, yang
akhirnya dibangun kembali pada masa pemerintahan Al-Walid tersebut. Untuk
membiayai rekonstruksi ini, Al-Walid memerintahkan emas dari Kubah Ash-Shakhrah
dicetak sebagai sebagai uang logam untuk membeli bahan-bahan bangunan.[13] Al-Jami'
al-Aqsha yang dibangun Umayyah kemungkinan besar berukuran 112 x 39 meter. [16]
Gempa bumi dan pembangunan kembali

Fasad dan serambi masjid ini dibangun dan diperluas oleh para penguasa Fatimiyah, Tentara
Salib, Mamluk dan Ayyubiyah.

Pada tahun 746, Al-Jami' al-Aqsha rusak akibat gempa bumi, yaitu empat tahun
sebelum Abul Abbas as-Saffah menggulingkan Ummayah dan mendirikan kekhalifahan
Abbasiyah. Khalifah Abbasiyah yang kedua Abu Jafar al-Mansur pada tahun 753
menyatakan niatnya untuk memperbaiki masjid itu. Ia memerintahkan agar lempengan
emas dan perak yang menutupi gerbang masjid dilepaskan dan dicetak menjadi
uang dinar dan dirham untuk membiayai kegiatan rekonstruksi, yang diselesaikan pada
tahun 771. Gempa kedua yang terjadi pada tahun 774 kemudian merusak sebagian
besar perbaikan Al-Mansur itu, kecuali perbaikan pada bagian selatan masjid.[15][17] Pada
tahun 780, khalifah selanjutnya Muhammad al-Mahdi membangunnya kembali, tapi ia
mengurangi panjangnya serta memperbesar lebarnya.[15][18] Renovasi Al-Mahdi adalah
renovasi pertama yang diketahui memiliki catatan tertulis yang menjelaskan hal
itu.[19] Pada tahun 985, seorang ahli geografi Arab kelahiran Yerusalem bernama Al
Maqdisi mencatat bahwa masjid hasil renovasi memiliki "lima belas lengkungan dan
lima belas gerbang".[17]
Pada tahun 1033 terjadi lagi sebuah gempa bumi, yang sangat merusak masjid. Antara
tahun 1034 dan 1036, khalifah Fatimiyah Ali Azh Zhahir membangun kembali dan
merenovasi masjid secara menyeluruh. Jumlah lengkungan secara drastis dikurangi
dari lima belas menjadi tujuh. Azh Zhahir membangun empat buah arkade untuk aula
tengah dan lorong, yang saat ini berfungsi sebagai fondasi masjid. Aula tengah
diperbesar dua kali lipat dari lebar lorong lainnya, dan memiliki ujung atap besar yang di
atasnya dibangun sebuah kubah dari kayu.[13]

Daerah Al-Haram (daerah yang suci) terdapat di sebelah timur dari kota ini; dan
melalui bazar di (bagian kota) ini anda akan memasukkan Daerah tersebut melalui pintu
gerbang (Dargah) yang besar dan indah... Setelah melewati gerbang ini, di sebelah kanan anda
terdapat dua baris tiang-tiang besar (Riwaq), masing-masing memiliki sembilan dan dua puluh
pilar-pilar marmer, yang bagian puncak dan dasarnya berupa pualam berwarna, dan
persambungannya terbuat dari timah. Di atas pilar-pilar terdapat lengkungan-lengkungan, yang
terbuat dari batu bata, tanpa pelapis plester atau semen, dan setiap lengkungan dibangun
dengan tidak lebih dari lima atau enam blok batu. Pilar-pilar ini mengarah sampai ke
dekat Maqsurah.

Nasir Khusraw', deskripsi masjid pada tahun 1047 Masehi (Safarnama, terjemahan Guy Le
Strange)[20]

Yerusalem direbut oleh Tentara Salib pada tahun 1099, selama Perang Salib Pertama.
Alih-alih menghancurkan Al-Jami' al-Aqsha, yang mereka sebut "Bait Salomo", Tentara
Salib menggunakannya sebagai istana kerajaan dan kandang kuda. Pada tahun 1119,
tempat ini berubah menjadi markas para Ksatria Templar. Selama periode ini, masjid
mengalami beberapa perubahan struktural, termasuk perluasan serambi utara,
penambahan apse, dan sebuah dinding pembatas. Sebuah kloster baru dan sebuah
gereja juga dibangun di situs tersebut, bersama dengan beberapa struktur bangunan
lainnya.[21] Para Ksatria Templar membangun paviliun berkubah di sisi barat dan timur
bangunan. Paviliun barat saat ini berfungsi sebagai masjid untuk jemaah perempuan
dan paviliun timur berfungsi sebagai Museum Islam.[17]
Setelah Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil memimpin Ayyubiyah merebut kembali
Yerusalem melalui pengepungan pada tahun 1187, beberapa perbaikan dilakukan atas
Al-Jami' al-Aqsha.[2] Nuruddin Zengi yang menjadi sultan sebelum Salahuddin,
sebelumnya telah menugaskan pembangunan mimbar baru yang terbuat
dari gading dan kayu pada tahun 1168-1169, tetapi mimbar itu baru selesai setelah ia
wafat. Mimbar Nuruddin telah ditambahkan oleh Salahuddin ke masjid pada bulan
November 1187.[22] Penguasa Ayyubiyah di Damaskus, Sultan Al-Muazzam, pada tahun
1218 membangun serambi utara masjid dengan tiga buah gerbang. Pada tahun 1345,
penguasa Mamluk di bawah pemerintahan Al Kamil Shaban menambahkan dua
lengkungan dan dua gerbang pada bagian timur masjid.[17]
Setelah Utsmaniyah merebut kekuasaan pada 1517, mereka tidak melakukan renovasi
atau perbaikan besar atas Al-Jami' al-Aqsha secara khusus, tetapi mereka melakukan
perbaikan pada Masjid Al-Aqsha secara keseluruhan. Hal ini termasuk antara lain
pembangunan Air Mancur Qasim Pasya (1527), perbaikan kembali Kolam Raranj, serta
pembangunan tiga kubah yang berdiri bebas. Kubah yang paling terkenal ialah Kubah
An-Nabi, dibangun pada tahun 1538. Semua pembangunan adalah atas perintah para
gubernur Utsmaniyah di Yerusalem dan bukan atas perintah para sultan.[23] Walaupun
demikian, para sultan melakukan penambahan pada menara-menara yang telah ada.[23]
Masa modern

Kubah masjid pada tahun 2013, terbuat dari aluminium (dan tampak seperti perak). Kubah telah diganti lapisan
timah sebagaimana aslinya pada tahun 1983.

Renovasi pertama pada abad ke-20 dilakukan pada tahun 1922, yaitu setelah Majelis
Tinggi Islam Yerusalem di bawah pimpinan Amin al-Husseini mempekerjakan Ahmet
Kemalettin Bey, seorang arsitek berkebangsaan Turki, untuk merestorasi Al-Jami' al-
Aqsha dan monumen-monumen di sekitarnya. Dewan tersebut juga menugaskan
arsitek-arsitek Inggris, ahli-ahli Mesir, dan para pejabat lokal untuk ikut berpartisipasi
dan mengawasi perbaikan yang dilakukan pada tahun 1924–25 di bawah pengawasan
Kemalettin. Renovasi meliputi penguatan fondasi kuno masjid Umayyah, perbaikan
tiang-tiang kolom interior, penggantian balok-balok, pendirian perancah,
perawatan lengkungan dan bagian dalam kubah, pendirian kembali dinding selatan,
serta penggantian tiang kayu di ruangan tengah dengan tiang beton. Renovasi tersebut
juga menampilkan kembali mozaik era Fatimiyah dan kaligrafi di lengkungan-
lengkungan interior yang sebelumnya tertutupi oleh lapisan pelapis. Lengkungan-
lengkungan dihiasi dengan gipsum berwarna hijau dan emas dan balok kayu
landasannya digantikan dengan tembaga. Seperempat dari jendela kaca patri juga
diperbarui dengan hati-hati agar dapat melestarikan desain asli Abbasiyah dan
Fatimiyahnya.[24] Kerusakan hebat telah terjadi karena gempa bumi tahun 1927 dan
1937, tetapi masjid itu diperbaiki kembali pada tahun 1938 dan 1942. [17]

Al-Jami' al-Aqsha dilihat dari plaza Tembok Barat, 2005.

Pada tanggal 21 Agustus 1969, terjadi kebakaran di dalam Al-Jami' al-Aqsha yang
memusnahkan bangunan bagian tenggara masjid. Mimbar Salahuddin adalah termasuk
di antara barang-barang yang rusak terbakar.[22] Orang-orang Palestina awalnya
menyalahkan otoritas Israel atas kebakaran tersebut, dan beberapa orang Israel
menyalahkan Fatah dan menganggap bahwa mereka yang menyulut sendiri apinya,
agar dapat menyalahkan Israel dan memancing permusuhan. Namun kemudian terbukti
bahwa kebakaran itu bukan disebabkan oleh Fatah maupun Israel, melainkan oleh
seorang turis Australia bernama Denis Michael Rohan. Rohan adalah anggota dari
sekte evangelis Kristen Worldwide Church of God.[25] Ia berharap bahwa dengan
membakar Al-Jami' al-Aqsha, ia dapat mempercepat Kedatangan Kedua Yesus,
dengan cara mempermudah dibangunnya kembali Bait Suci Yahudi di kompleks Masjid
Al-Aqsha. Rohan dirawat di lembaga perawatan mental, didiagnosa mengalami
gangguan kejiwaan, dan akhirnya dideportasi.[26] Serangan terhadap Al-Aqsha disebut-
sebut sebagai salah satu penyebab dibentuknya Organisasi Konferensi Islam pada
tahun 1971, yang merupakan organisasi dari 57 negara yang banyak berpenduduk
Islam.[27]
Pada tahun 1980-an, Ben Shoshan dan Yehuda Etzion, keduanya anggota kelompok
bawah tanah Gush Emunim, merencanakan untuk meledakkan Al-Jami' al-Aqsha
dan Kubah Batu. Etzion berpendapat bahwa meledakkan dua bangunan tersebut akan
menyebabkan kebangkitan spiritual Israel, dan menyelesaikan semua permasalahan
orang Yahudi. Mereka juga berharap bahwa Bait Suci Ketiga di Yerusalem dapat
didirikan di atas lokasi tersebut. Rencana mereka mengalami kegagalan karena lebih
dahulu diketahui pihak kepolisian.[28][29] Pada tanggal 15 Januari 1988, yaitu saat
berlangsungnya Intifadah Pertama, pasukan Israel menembakkan peluru karet dan gas
air mata kepada para demonstran di luar masjid, mengakibatkan 40 orang jemaah luka-
luka.[30][31] Pada tanggal 8 Oktober 1990, dalam suatu kerusuhan 22 orang warga
Palestina terbunuh dan lebih dari 100 lainnya luka-luka karena tindakan keras Polisi
Perbatasan Israel. Kerusuhan dipicu oleh pengumuman dari Gerakan Setia Bait Suci,
suatu kelompok Yahudi Ortodoks, yang menyatakan bahwa mereka akan meletakkan
batu pertama untuk pembangunan Bait Suci Ketiga.[32][33]

Anda mungkin juga menyukai