Anda di halaman 1dari 8

Dampak Covid-19 Terhadap Budaya Organisasi Perusahaan

Senin, 15 Juni 2020 Adib Auliawan Herlambang

whatsapp sharing button

facebook sharing button

twitter sharing button

linkedin sharing button

messenger sharing button

email sharing button

Yuni Rosdiana, SE, M.Si, Ak, CA, Dosen tetap Program Studi Akuntansi FEB Unisba

AYOSEMARANG.COM -- Pembukaan kembali sejumlah sektor menuju fase masyarakat yang


produktif dan aman dari Covid-19 harus melalui tahapan-tahapan yang ketat dan hati-hati. Kebijakan
ini merupakan langkah terkait adaptasi kebiasaan baru agar masyarakat tetap produktif dan aman
dari penularan Covid-19.

Hampir semua lini kehidupan termasuk sektor ekonomi mengalami pelemahan yang sangat terasa.
Pada fase masa transisi menuju kebiasaan baru, sektor ekonomi harus segera bangkit, seiring
penanganan Covid-19 dari sisi kesehatan.

Kondisi perekonomian global telah berubah secara signifikan dengan merebaknya Covid-19 di awal
2020. Perubahan ini diperlihatkan dengan menurunnya kondisi perekonomian di berbagai sektor
setelah WHO menyatakan secara resmi Covid-19 sebagai pandemi.

Kerugian diakibatkan oleh penyebaran Covid-19 telah dirasakan oleh berbagai sektor di tanah air,
dimulai dari sektor manufaktur hingga pariwisata mengalami penurunan pendapatan cukup tajam.

Pemerintah telah mengeluarkan beberapa strategi dan kebijakan preventif sebagai upaya
meminimalisasi risiko penyebaran Covid-19. Presiden mengeluarkan kebijakan social distancing
sebagai antisipasi penyebaran virus yang diikuti oleh pejabat daerah yang mengeluarkan juga
kebijakan WFH (Work from Home) dan belajar dari rumah.

Strategi kebijakan ini dilakukan untuk setiap karyawan agar tetap dapat berkarya secara optimal
dalam menjalankan kebijakan tersebut dengan memperhitungkan berbagai skenario Covid-19
termasuk budaya organisasi.
Budaya organisasi perusahaan

Budaya organisasi perusahaan yang selama ini telah terbentuk, dengan adanya beberapa kebijakan
pemerintah yang dikeluarkan saat pandemi maka perusahaan harus mulai bersahabat dan
melakukan penyesuaian dengan kondisi saat ini.

Membangun budaya organisasi perusahaan yang tangguh dan relevan dengan kondisi saat ini
merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk bisa menyesuaikan dengan perkembangan
kondisi pandemi sehingga perusahaan memiliki kemampuan yang cukup. Harapannya tetap unggul
dan mampu bersaing pada masa ketidakpastian yang tinggi.

Budaya selalu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Budaya adalah cermin
dari masyarakatnya termasuk pada komunitas paling kecil. Budaya merupakan “the way of life” bagi
suatu masyarakat yang didefinisikan sebagai sistem nilai masyarakat yang mencirikan suatu nilai-nilai
yang dianut dan diterima bersama dalam satu pemahaman dengan latar belakang anggota organisasi
yang berbeda-beda serta digunakan sebagai dasar dalam aturan perilaku dalam organisasi tersebut.

Budaya perusahaan merupakan keinginan kelompok untuk berbuat sesuai harapan dan manifestasi
kehidupan dalam mencapai nilai-nilai yang dianut organisasi. Membangun budaya organisasi yang
efektif di masa pandemi saat ini, perlu adanya penyesuaian-penyesuaian, sehubungan dengan
banyaknya perubahan-perubahan yang terjadi pada tatanan kehidupan, mulai dari kehidupan sosial
dan juga dalam berorganisasi.

Dampak dari kebijakan dengan menjaga jarak atau social distancing, telah merubah pola prilaku
dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan cara kerjapun telah digantikan dengan cara daring atau virtual
demi mencegah penyebaran pandemi covid-19. Dengan demikian bagaimana penyesuaian yang
harus dilakukan pada budaya organisasi perusahaan.

Dimana dan apakah unsur budaya yang memiliki peranan terpenting dalam perusahaan pada masa
pandemi covid-19. Inilah pertanyaan yang muncul dalam setiap benak pengelola organisasi. Mau
dibawa kemana organisasi perusahaan yang selama ini menjadi sandaran orang banyak disektor
ekonomi.

Adaptasi ditengah situasi krisis


Sudah saatnya segera lakukan adaptasi ditengah situasi krisis saat ini, jangan sampai menunggu
pandemi surut bahkan hilang, yang kemudian akan menyurutkan tingkat pendapatan perusahaan
secara signifikan.

Langkah apa yang harus diambil agar perusahaan tetap survival? Untuk mengatasinya, perusahaan
harus mempersiapkan diri dalam menghadapi hal terburuk dengan kemampuan bertahan hidup
(survival skill) dibawah karakteristik budaya organisasi perusahaan sebagai pijakan.

Paling tidak ada Lima karakteristik budaya organisasi perusahaan yangbisa digunakanuntuk
menganalisis agar perusahaan menjadi tegar menghadapi baik pada saat Covid-19 masih
berlangsung maupun pasca-covid-19.

Pertama, adanya Inovasi dan Pengambilan Resiko. Berinovasi dan bereksperimen dalam bekerja
serta berani mengambil resiko merupakan karakteristik pertama dari budaya organisasi perusahaan.
Bersikap selalu inovatif dan bereksperimen dalam bekerja khususnya terutama pada penyelesaian
masalah yang timbul di masa pandemic ini.

Tujuannya, agar perusahaantetap berinovasi dalam menghasilkan dan mendistribusikan produk


serta menata tatanan dalam berorganisasi dengan tetap mengutamakan kesehatan dan keselamatan
anggota-anggota organisasi atau karyawan, termasuk anggota keluarganya di rumah.

Hal ini perlu diperhatikan karena inovasi tidak akan terbentuk jika karyawan atau anggota organisasi
masih khawatir dengan kesehatan dan keselamatan diri sendiri juga anggota keluarganya. Selain itu
karyawan dituntut untuk berani dalam mengambil resiko dengan berdasarkan pada perhitungan
kerja yang tepat dan matang.

Kedua, memperhatikan secara mendetail. Karakteristik budaya organisasi perusahaan menuntut


agar anggota organisasi diminta fokus dan cermat dalam bekerja serta ketepatan dalam
menganalisis hasil pekerjaan. Selain itu perhatian pada hal-hal yang rinci dengan selalu teliti dan
mendetail dalam menganalisis, baik produk, proses dan juga pelanggan, karena prilaku pelanggan
akan berubah ketika muncul Covid-19.

Perhatian secara mendetail ini, dalam masa pandemi diperluas tidak hanya fokus pada hal yang
dikerjakan dan juga pelanggan tetapi memberi perhatian detail pada kesehatan dan keselamatan
karyawan dengan memberikan bentuk perhatian.

Bentuk perhatian ini bisa berupa pemberian informasi dari sumber-sumber terpercaya sampai pada
pemberian dukungan baik moril maupun materiil dan memberikan rasa aman dan nyaman dalam
situasi yang tidak pasti ini sehingga tidak terjadi kepanikan dan ketakutan. Hal ini dilakukan karena
perlu juga membangun kesehatan mental dan emosional anggota organisasi, walaupun kerja
dilakukan secara daring atau virtual.

Ketiga, berorientasi pada kebermanfaatan. Fokus pada kebermanfaatan berbagai fihak dengan fokus
pada hasil akhir pekerjaan dengan harapan yang tinggi atas hasil akhir pekerjaan tersebut
merupakan karakteristik budaya organisasi yang ketiga.

Akan tetapi di masa pandemi Covid-19 ini harapan yang tinggi tidak hanya fokus pada hasil akhir
pekerjaan tetapi juga kesehatan dan keselamatan selama proses yang dilakukan. Untuk membantu
hasil akhir yang tinggi, perlu adanya suatu teknologi yang dapat mendukung dengan memasukkan
alat kerja digital yang bisa dilakukan dari jarak jauh, sehingga walaupun kebijakan WFH dilakukan,
hasil akhir yang tinggi tetap tercapai.

Keempat, berorientasi pada tim. Kegiatan kerja yang diorganisasikan dalam tim-tim bukan dalam
individu-individu dengan melakukan kolaborasi merupakan karakteristik budaya organisasi
perusahaan yang strategis. Berorientasi pada tim dalam segala hal termasuk pada tiap keputusan
yang diambil oleh organisasi harus melalui pertimbangan bahwa dampaknya harus positif terhadap
anggota dalam organisasi.

Dalam masa pandemi seperti ini karyawan hendaknya diberikan kepercayaan yang lebih besar agar
kemandirian karyawan terbangun. Selalu menjaga komunikasi dengan tim dan melakukan interaksi
antar tim dengan menyediakan fasilitas komunikasi yang lebih efektif.Fungsi kontrol sosial dari
budaya organisasi mampu mempengaruhi keputusan dan perilaku karyawan. Cara yang efektif
mengarahkan karyawan untuk mencapai tujuan atau sasaran organisasi sesuai dengan yang
diharapkan yaitu dengan melakukan peninjauan ulang prioritas perusahaan ditengah kondisi
pandemi ini.

Selanjutnya pastikan bahwa sasaran dan yang menjadi prioritas utama tersebut tersosialisasikan dan
dipahami oleh para karyawan hingga level yang paling bawah. Komunikasi yang sangat intens dan
jelas atas inisiatif-inisiatif brilian sangat dibutuhkan pada situasi seperti ini, sehingga karyawan
disamping merasa diperhatikan, juga akan termotivasi dengan komunikasi intens seperti ini.

Kelima, bersifat agresif. Memiliki inisiatif dan adanya semangat berkompetisi dalam bekerja serta
membuat anggota bertindak agresif merupakan karakteristik terakhir dari budaya organisasi. Dimasa
pandemi Covid-19 ini tinjau kembali seluruh perspektif biaya, inventaris, pertumbuhan, rencana, dan
strategi dari sudut pandang yang berbeda.

Evaluasi rencana bisnis dengan menemukan hal-hal yang perlu diperhitungkan dan dipertimbangkan
dalam menghadapi masa selama dan pasca pandemi. Terapkan strategi yang paling tepat dengan
selalu menghormati dan memperkuat hubungan dengan pelanggan agar target pendapatan tetap
tercapai dengan memberikan kepuasan pelanggan yang optimal.

Tujuannya keuntungan yang maksimal dapat diperoleh dengan selalu mengikuti protokol kesehatan
dan keselamatan baik di tempat kerja, di jalan maupun di rumah yang tidak luput dari pantauan
organisasi. Berdasarkan berbagai perubahan tatanan kehidupan baik personal maupun usaha, maka
hendaknya dengan segera membentuk budaya organisasi baru yang sehat, bersih, nyaman, aman
dan tetap menguntungkan.

Dengan demikian di masa pandemi Covid-19 perusahaan mampu bertahan hidup dan menyesuaikan
diri dalam pola hidup yang dipedomani protokol kesehatan yang dilakukan untuk memutus mata
rantai penyebaran sambil beraktivitas seperti biasa, sehingga keuntungan tetap diraih walaupun
ditengah ketidakpastian yang cukup tinggi.

Penulis: Yuni Rosdiana, SE, M.Si, Ak, CA, Dosen tetap Program Studi Akuntansi FEB Unisba dan
Kandidat Doktor Pada Program Doktoral FEB Universitas Trisakti

https://ayosemarang.com/read/2020/06/15/58742/dampak-covid-19-terhadap-budaya-organisasi-
perusahaan
Covid-19, Resesi Ekonomi, dan Perubahan Budaya Kerja Kompas.com - 29/08/2020, 18:15 WIB
Bagikan: Komentar Ilustrasi virus corona (SARS-CoV-2), Covid-19 Lihat Foto Ilustrasi virus corona
(SARS-CoV-2), Covid-19(Shutterstock) Editor Heru Margianto PANDEMI Covid-19 telah
menjerumuskan ekonomi global ke dalam kontraksi yang parah. Menurut perkiraan Bank Dunia,
ekonomi global akan menyusut 5,2 persen tahun ini. “Ini merupakan resesi terdalam sejak Perang
Dunia II, dan penurunan out put perkapita terbesar sejak 1870,” ungkap Bank Dunia dalam Prospek
Ekonomi Global Juni 2020. Menurut Bank Dunia, aktivitas ekonomi di negara-negara maju
diperkirakan menyusut 7 persen pada 2020 karena permintaan dan penawaran domestik,
perdagangan, dan keuangan telah sangat terganggu. Sedangkan pasar dan ekononomi berkembang
atau Emerging Market and Developing Economies (EMDEs) diperkirakan menyusut 2,5 persen tahun
ini. Pendapatan perkapita di EMDEs juga diperkirakan turun 3,6 persen sehingga jutaan orang akan
jatuh miskin tahun ini. Di Indonesia, Pandemi Covid 19 belum ada tanda-tanda menurun.
Berdasarkan data satuan tugas penanganan covid 19 pada 27 Agustus 2020, jumlah kasus positif
Covid 19 yang terkonfirmasi telah meningkat 2.719 kasus dari hari sebelumnya menjadi 162.884
kasus. Pada periode yang sama, jumlah kematian meningkat 120 pasien menjadi 7.064, sedangkan
jumlah pasien yang pulih meningkat 3.166 menjadi 118.575. Resesi Di tengah tren pandemi Covid-19
yang demikian, Indonesia kemungkinan besar akan masuk ke fase resesi pada kuartal III 2020.
Pasalnya, aktivitas ekonomi masyarakat dan dunia usaha yang mulai pulih sejak juni 2020 rupanya
belum cukup kuat untuk mengangkat laju ekonomi Juli-September "Untuk kuartal III outlook-nya
antara 0 persen hingga negatif 2 persen. Negatif 2 persen karena ada pergeseran dari pergerakan
yang terlihat belum sangat solid, meskipun ada beberapa yang sudah positif," ujar Menteri Keuangan
Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual APBN KiTa, Selasa (25/8/2020). Sri Mulyani menjelaskan
bahwa untuk mengurangi kontraksi ekonomi pemerintah menggunakan tiga program ekonomi yang
meliputi ekselerasi dan eksekusi program Pemulihan Eknomi Nasional (PEN), memperkuat konsumsi
Pemerintah, dan memperkuat konsumsi masyarakat. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II (Q2) 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32
persen year on year (yoy). Angka ini memburuk dari Q1 2020 yang mencapai 2,97. Jika kondisi ini
berlanjut, maka Indonesia akan mengalami resesi. Perlu dipahami, menurut The National Bureau of
Economic Research (NBER), resesi adalah kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau
ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun.
Perubahan budaya kerja Managing Director- Accenture Consulting Luis Diaz Gutierrez menyatakan,
budaya kerja yang dianut selama ini ditentukan oleh sejumlah faktor di antaranya struktur organisasi
dan praktik manajemen; proses siklus hidup karyawan (dari rekrutmen hingga manajemen kinerja
dan konsep keseimbangan kerja/ hidup); filosofi dan kebijakan perusahaan; jenis orang yang
dipekerjakan dalam bisnis dan cara mereka berinteraksi; misi, visi dan nilai perusahaan; dan yang
terpenting lingkungan tempat kerja. Tetapi, semenjak Covid-19 menjadi pandemi global (11 Maret
2020), dan pemerintah di berbagai negara memberlakukan upaya isolasi untuk mencegahnya,
budaya kerja (working culture) para pekerja di berbagai perusahaan berubah secara dramatis, dari
‘kerja bersama’ di suatu lingkungan kantor menjadi ‘kerja secara individual’ dari jarak jauh atau dari
rumah. Ilustrasi Lihat Foto Ilustrasi(Shutterstock) International Labour Organization/ILO (2020:1)
mendefinisikan bekerja jarak jauh (teleworking) sebagai penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) seperti ponsel cerdas, tablet, laptop, dan desktop komputer untuk pekerjaan yang
dilakukan di luar tempat kerja/kantor (Eurofound dan ILO, 2017). Menurut ILO, teleworking
seharusnya dilakukan dalam kesepakatan sukarela antara majikan dan karyawan. Selain, menyetujui
lokasi pekerjaan (di rumah karyawan atau di tempat lain) ada beberapa aspek lainnya yang perlu
diperjelas yaitu cara kerja, jam atau jadwal, alat komunikasi yang digunakan, deadline pekerjaan,
mekanisme pengawasan dan pengaturan untuk pelaporan pekerjaan yang dilakukan. Teleworking
sebelum pandemi ILO (2020:2) menyatakan sebelum pandemi Covid-19, hanya sebagian kecil dari
angkatan kerja global yang bekerja dari rumah. Di Uni Eropa (UE) misalnya, jumlah karyawan yang
berkerja reguler atau sesekali (dari rumah atau dari ponsel cerdas) bervariasi. Lebih dari 30 persen
terdapat di Denmark, Belanda, dan Swedia. Sementara itu, sekitar 10 persen di Republik Ceko,
Yunani, Italia, dan Polandia. Beberapa studi mengungkapkan, sekitar 2 persen dari angkatan kerja
Amerika Serikat (AS) secara teratur atau sesekali bekerja dari rumah atau lokasi alternatif lain, 16
persen di Jepang, dan hanya 1,6 persen di Argentina. Namun, ketika Covid-19 merebak, dunia usaha
mengalah, mewajibkan para pekerjanya bekerja dari jarak jauh atau dari rumah. Setelah pandemi
ILO (2020) mencatat, per akhir Maret 2020 sekitar 4 dari 10 karyawan di Eropa mulai teleworking. Di
Finlandia, hampir 60 persen karyawan beralih bekerja dari rumah. Di Luksemburg, Belanda, Belgia,
dan Denmark, lebih dari 50 persen, sedangkan di Irlandia, Austria, Italia, dan Swedia, sekitar 40
persen karyawan melakukan teleworking. Perlu dicatat, bekerja dari rumah selama pandemi Covid-
19, berbeda dengan teleworking dalam kondisi normal. Ilustrasi ruang kerja di rumah selama Work
From Home. Lihat Foto Ilustrasi ruang kerja di rumah selama Work From Home.(SHUTTERSTOCK)
Teleworking selama pandemi Covid-19 jauh lebih menantang karena bersifat wajib, bukan sukarela,
dan penuh waktu, bukan paruh waktu atau sesekali. Survei yang dilakukan atas para karyawan yang
bekerja dari rumah selama pandemi Covid-19 mengungkapkan, bahwa ada pengalaman positif
dengan bekerja dari rumah. Dampak positif Menurut Gutierrez, bekerja dari rumah menimbulkan
dampat positif dan negatif sekaligus. Positifnya, dengan memberlakukan kebijakan bekerja dari
rumah, perusahaan berhasil menciptakan budaya kerja yang efisien, dan berhasil menurunkan
beberapa biaya seperti listrik dan alat tulis kantor. Selain itu, para karyawan dapat menjaga
keseimbangan hidup profesional dan personal, termasuk tanggung jawab atas keluarganya, secara
lebih efektif. Selain menghemat waktu (tak perlu melakukan perjalanan ke kantor), fleksibel (tidak
begantung pada jumlah jam dan jadwal) dan bisa berpakaian secara kasual, dengan bekerja dari
rumah para karyawan dapat meningkatkan konsentrasi sehingga bisa lebih produktif. Namun,
awalnya bekerja dari rumah menimbulkan kecemasan yang signifikan di antara para pekerja
(https://talentorganization-blog.accenture.com). Dampak negatif Sementara, survei Gallup,
perusahaan konsultan global yang berbasis di Washington D.C, menunjukkan bahwa bekerja dari
jarak jauh bisa berdampak buruk bagi perusahaan yaitu menurunnya produktivitas hingga 17 persen,
dan omset hingga 24 persen. Survei Eurofound yang dirilis 9 April 2020 mengungkapkan, 18 persen
responden UE mengatakan bahwa bekerja dari rumah membuat mereka merasa sangat tegang dan
stres hampir sepanjang waktu. Dan, menurut jurnal medis The Lancet para karyawan yang bekerja
dari rumah selama pandemi Covid-19 mengalami depresi, stres, suasana hati rendah, mudah
tersinggung, gampang marah dan insomnia (Brooks et al., 2020). Sebuah penelitian yang dilakukan
Statitistic Canada baru-baru ini mengungkapkan, bekerja dari rumah menimbulkan efek sosio-
psikologis yang tak terbayangkan sebelumnya. Budaya baru itu membuka peluang bagi rekan kerja
untuk mengintip kehidupan pribadi kolega, klien, dan bahkan atasannya. Sebab melalui panggilan
Zoom misalnya, rekan kerja seakan mendapat izin untuk masuk ke ruang pribadi rekan kerjanya
dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Rapat Zoom telah membuat kehidupan pribadi
kolega terlihat.” Budaya kerja dan organisasi Caitlin Mullen, lewat artikelnya yang dirilis Jurnal Bisnis
‘Bizwomen’ (14/8/2020), mengungkapkan, sebuah jajak pendapat atas 2.100 pekerja secara global
yang dilakukan oleh Quartz dan Qualtrics belum lama ini menemukan bahwa 48 persen mengatakan,
budaya kerja mereka tetap sama sejak pandemi dimulai, dan 37 persen mengatakan budaya
kerjanya membaik, dan 15 pesen mengatakan budaya kerjanya memburuk. Mithilesh Kumar Singh,
(Juli 2020), mengatakan, sejatinya di samping budaya kerja, budaya organisasi adalah salah satu aset
paling berharga yang berisiko selama Covid-19. Soliditas dan norma sosial yang sebelumnya
menyatukan para karyawan, sekarang tidak sama karena banyak - jika bukan mayoritas - karyawan
bekerja dari rumah dan ada ketidakpastian baru di setiap sudut. Ilustrasi work from home atau
bekerja dari rumah. Lihat Foto Ilustrasi work from home atau bekerja dari rumah.(Shutterstock)
Bahkan, bekerja dari rumah untuk jangka panjang dapat menimbulkan kesenjangan komunikasi
antar anggota tim, kurangnya hubungan interpersonal, rendahnya perhatian terhadap keamanan
bekerja, dan semakin melemahnya budaya organisasi secara keseluruhan. Jake Herway dan Adam
Hickman, manajer Gallup mengatakan, bekerja jarak jauh dapat menimbulkan risiko besar terhadap
budaya organisasi. Merujuk ke data Gallup, keduanya menunjukkan, tanpa dipaksa untuk bekerja
secara virtual, sekitar 60 persen karyawan tak dapat menjelaskan perihal budaya perusahaan
mereka. Jadi, karyawan yang bekerja dari jarak jauh dipastikan terputus dari komponen inti dari
budaya organisasinya. Mereka dipastikan juga memiliki hubungan yang rendah dengan visi dan misi
perusahaan (https://www.gallup.com/workplace, Selasa, 25/8/2020). Masa depan Apakah
perubahan budaya kerja yang ditimbulkan pandemi Covid-19 akan berlangsung terus pada masa
depan? Pertanyaan ini tentu tidak mudah dijawab. Pasalnya, hingga saat ini masyarakat global masih
berhadapan dengan ketidakpastian seputar pengembangan dan penyebaran vaksin yang aman dan
efektif. Dunia juga berhadapan dengan minimnya solusi alternatif untuk memulihkan kinerja dunia
usaha dan ekonomi Negara. Namun, menurut penulis, pasca pandemi Covid-19, tampaknya dunia
usaha akan melakukan kombinasi antara bekerja dari rumah dan bekerja di kantor. Artinya,
beberapa hari, karyawan bekerja di kantor, beberapa hari karyawan bekerja di rumah. Atau,
mungkin perusahaan akan memberi karyawan sebuah pilihan; mereka dapat bekerja dari rumah jika
mereka mau, karena teknologi memang sudah siap. Dengan model kerja seperti itu, maka akan
menciptakan efisiensi bagi perusahaan dan dunia usaha.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Covid-19, Resesi Ekonomi, dan Perubahan
Budaya Kerja", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/29/181520165/covid-
19-resesi-ekonomi-dan-perubahan-budaya-kerja?page=all.

Editor : Heru Margianto

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:

Android: https://bit.ly/3g85pkA

iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Anda mungkin juga menyukai