PENDAHULUAN
Kanker kolorektal adalah suatu keganasan dari sel epitel kolon dan rectum. Berdasarkan
American Cancer Society, kanker kolorektal menempati urutan ke-3 dalam hal insiden tetapi
kedua dalam hal mortalitas. Lebih dari 1,8 juta kasus kanker kolorektal baru dan 881.000
kematian diperkirakan terjadi pada tahun 2018, terhitung sekitar 1 dari 10 kasus kanker dan
kematian. Insiden kanker kolorektal (KKR) diperkirakan akan meningkat sebesar 80% pada
tahun 2035.1,2,3
Menurut data GLOBOCAN 2018, kanker usus besar adalah kanker dengan insiden
terbanyak keempat di dunia, sedangkan kanker dubur adalah yang paling sering ke delapan.
Bersama-sama, KKR adalah bentuk kanker yang paling sering didiagnosis. Di Indonesia,
kejadian kanker kolorektal sekitar 15.985 pada pria dan 11.787 pada wanita; dengan mortalitas
sekitar 10,2% pada pria dan 8,5% pada wanita.4
Pasien dengan kanker beresiko sangat tinggi untuk kekurangan gizi karena penyakit itu
sendiri dan pengobatan yang mengancam status gizi mereka. Malnutrisi dapat mempengaruhi
hingga 85% pasien kanker dan khususnya 30-60% pada kanker kolorektal. 5
Malnutrisi dan penurunan berat badan merupakan masalah yang sangat sering terjadi
pada pasien kanker yang mempengaruhi prognosis, lama rawat inap, biaya perawatan, kualitas
hidup dan kelangsungan hidup. Prevalensi malnutrisi bervariasi di antara jenis dan lokasi tumor
dan stadium kanker. Penurunan nutrisi diukur dengan perubahan berat dan Penilaian Gizi Mini
Skor (MNA) 6
Pedoman nutrisi secara konsisten menyarankan skrining gizi pada pasien kanker diikuti
dengan penilaian nutrisi ketika faktor risiko malnutrisi terjadi dengan tujuan dapat dilakukan
terapi gizi. Penilaian status gizi dilakukan dengan mengevaluasi asupan makan, perubahan berat
badan dan indeks massa tubuh (IMT) secara langsung atau dengan menggunakan skrining
nutrisi.7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Kanker Kolorektal
3.1.1 Definisi
Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar, terdiri dari
kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan/atau rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar
sebelum anus).1
3.1.2 Epidemiologi
Menurut American Cancer Society, kanker kolorektal (KKR) adalah kanker ketiga
terbanyak dan merupakan kanker penyebab kematian ketiga terbanyak pada pria dan wanita di
Amerika Serikat.2Berdasarkan survei GLOBOCAN 2012, insidens KKR di seluruh dunia
menempati urutan ketiga (1360 dari 100.000 penduduk [9,7%], keseluruhan laki-laki dan
perempuan) dan menduduki peringkat keempat sebagai penyebab kematian (694 dari 100.000
penduduk [8,5%], keseluruhan laki-laki dan perempuan).2 Di Amerika Serikat sendiri pada tahun
2016, diprediksi akan terdapat 95.270 kasus KKR baru, dan 49.190 kematian yang terjadi akibat
KKR.3
Secara keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal adalah 1 dari 20 orang
(5%).1 Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada wanita dibandingkan pada pria. Banyak
faktor lain yang dapat meningkatkan risiko individual untuk terkena kanker kolorektal. Angka
kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak 20 tahun terakhir. Ini berhubungan dengan
meningkatnya deteksi dini dan kemajuan pada penanganan kanker kolorektal.1
Secara umum perkembangan KKR merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan
faktor genetik.
Faktor tidak dapat dimodifikasi: adalah riwayat KKR atau polip adenoma individual dan
keluarga4,5,6 , dan riwayat individual penyakit kronis inflamatori pada usus 7. Faktor risiko yang
dapat dimodifikasi:
inaktivitas, obesitas, konsumsi tinggi daging merah, merokok dan konsumsi alkohol moderat-
sering. Sementara aktivitas fisik6, diet berserat6 dan asupan vitamin D10 termasuk dalam faktor
protektif.
Pencegahan kanker kolorektal dapat dilakukan mulai dari fasilitas kesehatan layanan
primer melalui program KIE di populasi/masyarakat dengan menghindari faktor-faktor risiko
kanker kolorektal yang dapat di modifikasi dan dengan melakukan skrining atau deteksi dini
pada populasi, terutama pada kelompok risiko tinggi.
Tujuan
Tujuan skrining kanker kolorektal adalah deteksi dini, membuang lesi pre-kanker dan
mendeteksi penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.
Indikasi
Indikasi pemeriksaan dini atau skrining kanker kolorektal adalah individu dengan risiko
sedang dan risiko tinggi. Yang termasuk risiko sedang adalah:11
pemeriksaan genetik
Bila hasil pemeriksaan genetik
positif, pertimbangkan kolektomi
Kolonoskopi setiap 1-2 tahun
Pertimbangkan pemeriksaan
genetik untuk HNPCC
B. Diagnosis
Nilai prediksi tinggi KKR
Berikut ini adalah gejala dan tanda yang menunjukkan nilai prediksi tinggi akan adanya KKR15,16
a. Keluhan utama dan pemeriksaan klinis:
a) Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi defekasi dan/atau diare selama
minimal 6 minggu (semua umur)
b) Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (di atas 60 tahun) Peningkatan frekuensi defekasi
atau diare selama minimal 6 minggu (di atas 60 tahun)
c) Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur)
d) Massa intra-luminal di dalam rektum
e) Tanda-tanda obstruksi mekanik usus.
f) Setiap pasien dengan anemia defisiensi Fe (Hb <11g% untuk laki-laki atau <10g% untuk
perempuan pascamenopause)
b. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan gejala ano-rektal.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan keutuhan sfingter ani dan menetapkan ukuran
dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan colok dubur
ini yang harus dinilai adalah:
a) Keadaan tumor: Ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap
cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis.
b) Mobilitas tumor: Hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan.
c) Ekstensi dan ukuran tumor dengan menilai batas atas, bawah, dan sirkuler.
Pemeriksaan penunjang17
1. Endoskopi
Endoskopi merupakan prosedur diagnostik utama dan dapat dilakukan dengan
sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rektosigmoid) atau dengan kolonoskopi total.
2. Enema barium dengan kontras ganda
Pemeriksaan enema barium yang dipilih adalah dengan kontras ganda.
3. CT colonography (Pneumocolon CT)
Modalitas CT yang dapat melakukan CT kolonografi dengan baik adalah modalitas CT
scan yang memiliki kemampuan rekonstruksi multiplanar dan 3D volume rendering.
Kolonoskopi virtual juga memerlukan software khusus.
1. Penyakit Crohn
2. Hemoroid
3. Fisura anal
4. Penyakit divertikulum
Sistem Pentahapan (Staging)20 N1c Tumor deposit(s) in the subserosa, mesentery, or
Klasifikasi pentahapan kanker digunakan untuk menentukan luas atau nonperitonealized pericolic or perirectal tissues
ekstensi kanker dan nilai prognostik pasien. Sistem yang paling banyak without regional nodal metastases.
digunakan adalah sistem TNM American Joint Committee on Cancer N2 Metastases in ≥4 regional lymph nodes.
(AJCC) 2010 (Tabel 2 - Tabel 5). N2a Metastases in 4–6 regional lymph nodes.
N2b Metastases in ≥7 regional lymph nodes.
Tabel 2. Tumor primer (T)
TX Primary tumor cannot be assessed. Tabel 4. Metastasis (M)
T0 No evidence of primary tumor. M0 No distant metastasis.
Tis Carcinoma in situ: intraepithelial or invasion of lamina M1 Distant metastasis.
propria
M1a Metastasis confined to 1organ or site (e.g., liver, lung,
T1 Tumor invades submucosa. ovary, nonregional node).
T2 Tumor invades muscularis propria. M1b Metastases in >1 organ/site or the peritoneum.
T3 Tumor invades through the muscularis propria into
pericolorectal tissues.
Tabel 5. Stadium kanker kolorektal
T4a Tumor penetrates to the surface of the visceral peritoneum.
T4b Tumor directly invades or is adherent to other organs or Stage T N M Dukes MAC
structures. 0 Tis N0 M0 -- --
I T1 N0 M0 A A
Tabel 3. Kelenjar getah bening (N) T2 N0 M0 A B1
IIA T3 N0 M0 B B2
NX Regional lymph nodes cannot be assessed.
IIB T4a N0 M0 B B2
N0 No regional lymph node metastasis.
IIC T4b N0 M0 B B3
N1 Metastases in 1–3 regional lymph nodes.
IIIA T1–T2 N1/N1c M0 C C1
T1 N2a M0 C C1
IIIB T3–T4a N1/N1c M0 C C2
T2–T3 N2a M0 C C1/C2
T1–T2 N2b M0 C C1
IIIC T4a N2a M0 C C2
N1a Metastasis in 1 regional lymph node. T3–T4a N2b M0 C C2
N1b Metastases in 2–3 regional lymph nodes. T4b N1–N2 M0 C C3
IVA Any T Any N M1a -- --
3.1.6 Tatalaksana2
Terapi endoskopik
Terapi endoskopi dilakukan untuk polip kolorektal, yaitu lesi mukosa kolorektal yang
menonjol ke dalam lumen. Metode yang digunakan untuk polipektomi tergantung pada ukuran,
bentuk dan tipe histolopatologinya. Polip dapat dibiopsi terlebih dahulu untuk menentukan
tindakan selanjutnya. Biopsi polip umumnya dilakukan dengan mengambil 4-6 spesimen atau 8-
10 spesimen untuk lesi yang lebih besar.
3.1.7 Tatalaksana Nutrisi Umum pada Kanker2
a. Kebutuhan energi
Idealnya, perhitungan kebutuhan energi pada pasien kanker ditentukan dengan kalorimetri
indirek, namun, apabila tidak tersedia, penentuan kebutuhan energi pada pasien kanker dapat
dilakukan dengan formula standar, misalnya rumus Harris-Benedict yang ditambahkan dengan
faktor stres dan aktivitas, tergantung dari kondisi dan terapi yang diperoleh pasien saat itu.
Perhitungan kebutuhan energi pada pasien kanker juga dapat dilakukan dengan rumus rule of
thumb:
Pemenuhan energi dapat ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dan toleransi pasien.
b. Makronutrien
Kebutuhan protein : 1.2 2,0 g/kgBB/hari, pemberian protein perlu disesuaikan dengan fungsi
35–50% dari energi total (pada pasien kanker stadium lanjut yang
mengalami penurunan BB2
c. Mikronutrien
Sampai saat ini, pemenuhan mikronutrien untuk pasien kanker hanya berdasarkan empiris
saja, karena belum diketahui jumlah pasti kebutuhan mikronutrien untuk pasien kanker. ESPEN
menyatakan bahwa suplementasi vitamin dan mineral dapat diberikan sesuai dengan angka
kecukupan gizi (AKG).
d. Cairan
Kebutuhan cairan pasien kanker perlu diperhatikan dengan baik, terutama pada pasien kanker
yang menjalani radio- dan/atau kemo-terapi, karena pasien rentan mengalami dehidrasi. Dengan
demikian, kebutuhan cairan dapat berubah, sesuai dengan kondisi klinis pasien.
e. Nutrien spesifik
BCAA juga sudah pernah diteliti manfaatnya untuk memperbaiki selera makan pada
pasien kanker yang mengalami anoreksia, lewat sebuah penelitian acak berskala kecil dari
Cangiano (1996). Penelitian intervensi BCAA pada pasien kanker oleh Le Bricon, menunjukkan
bahwa suplementasi BCAA melalui oral sebanyak 3 kali 4,8 g/hari selama 7 dapat meningkatkan
kadar BCAA plasma sebanyak 121% dan menurunkan insiden anoreksia pada kelompok BCAA
dibandingkan plasebo.
Selain dari suplementasi, BCAA dapat diperoleh dari bahan makanan sumber dan
suplementasi. 10 bahan makanan sumber yang diketahui banyak mengandung BCAA antara lain
putih telur, ikan, ayam, daging sapi, kacang kedelai, tahu, tempe, polong-polongan.
Pilihan pertama pemberian nutrisi melalui jalur oral. Apabila asupan belum adekuat dapat
diberikan oral nutritional supplementation (ONS) hingga asupan optimal.
Bila 5-7 hari asupan kurang dari 60% dari kebutuhan, maka indikasi pemberian enteral.
Pemberial enteral jangka pendek (<4 6 minggu) dapat menggunakan pipa nasogastrik (NGT).
Pemberian enteral jangka panjang (>4 6 minggu) menggunakan percutaneus endoscopic
gastrostomy (PEG). Penggunaan pipa nasogastrik tidak memberikan efek terhadap respons tumor
maupun efek negatif berkaitan dengan kemoterapi. Pemasangan pipa nasogastrik tidak harus
dilakukan rutin, kecuali apabila terdapat ancaman ileus atau asupan nutrisi yang tidak adekuat.
Nutrisi parenteral digunakan apabila nutrisi oral dan enteral tidak memenuhi kebutuhan
nutrisi pasien, atau bila saluran cerna tidak berfungsi normal misalnya perdarahan masif saluran
cerna, diare berat, obstruksi usus total atau mekanik, malabsorbsi berat.
Pra pembedahan: makanan padat dapat diberikan hingga 6 jam dan makanan cair hingga
2 jam sebelum induksi anestesi. Jika klinis dan fasilitas memungkinkan, pasien dapat diberikan
karbohidrat oral pra pembedahan pada pasien non-diabetes. Sedangkan pada pasien diabetes,
karbohidrat oral diberikan bersama dengan obat diabetes (Rekomendasi tingkat A)
Pasca pembedahan: bila kondisi klinis memungkinkan, pasien dapat diberikan nutrisi
secara dini berupa makanan biasa, sedangkan oral nutritional supplement diberikan untuk
mendukung pencapaian nutrisi total (Rekomendasi tingkat A).
Pemasangan nasogastric tube (NGT) tidak rutin dilakukan pasca pembedahan
(Rekomendasi tingkat A).
3. Farmakoterapi
a. Progestin
Menurut studi meta-analisis MA bermanfaat dalam meningkatkan selera
makan dan meningkatkan BB pada kanker kaheksia, namun tidak memberikan efek dalam
peningkatan massa otot dan kualitas hidup pasien.18,19 Dosis optimal penggunaan MA
adalah sebesar 480–800 mg/hari. Penggunaan dimulai dengan dosis kecil, dan ditingkatkan
bertahap apabila selama dua minggu tidak memberikan efek optimal.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan zat oreksigenik yang paling banyak digunakan. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada pasien kaheksi dapat
meningkatkan selera makan dan kualitas hidup pasien.
c. Siproheptadin
Siproheptadin merupakan antagonis reseptor 5-HT, yang dapat memperbaiki selera
makan dan meningkatkan berat badan pasien dengan tumor karsinoid. Efek samping yang
sering timbul adalah mengantuk dan pusing. Umumnya digunakan pada pasien anak dengan
kaheksia kanker, dan tidak direkomendasikan pada pasien dewasa.
d. Antiemetik
Berikan anti emetik 5-HT3 antagonis (ondansetron) 8 mg atau 0,15 mg/kg BB (i.v) atau
16 mg (p.o). Jika keluhan menetap ditambahkan deksametason. Pertimbangkan pemberian
antiemetik intravena secara kontinyu jika keluhan masih berlanjut. Penanganan antiemetic
dilakukan berdasarkan penyebabnya
Pemberian hidrasi melalui oral dan intravena dilakukan untuk mengganti kehilangan cairan
dan elektrolit. Selain itu, dapat diberikan loperamid 4 mg (p.o) hingga 16 mg per hari. Jika diare
disebabkan oleh infeksi diberikan antibiotik.
4. Aktivitas fisik
Para penyintas kanker sebaiknya memiliki berat badan yang sehat (ideal) dan menerapkan
pola makan yang sehat (terutama berbasis tanaman), tinggi buah, sayur dan biji-bijian, serta
rendah lemak, daging merah, dan alkohol.
3.2 Displipidemia20
Dislipidemia disebabkan oleh terganggunya metabolisme lipid akibat interaksi faktor
genetik dan faktor lingkungan. Walau terdapat bukti hubungan antara kolesterol total dengan
kejadian kardiovaskular.
Terdapat bukti kuat hubungan antara kolesterol LDL dengan kejadian kardiovaskular
berdasarkan studi luaran klinis21 sehingga kolesterol LDL merupakan target utama dalam
tatalaksana dislipidemia.
3.2.1 Diet
Diet yang dapat dipakai untuk menurunkan kolesterol LDL adalah diet asam lemak tidak
jenuh seperti MUFA dan PUFA karena faktor diet yang paling berpengaruh terhadap
peningkatan konsentrasi kolesterol LDL adalah asam lemak jenuh. Penurunan kolesterol LDL
yang diakibatkan oleh diet PUFA lebih besar dibandingkan dengan diet MUFA atau diet rendah
karbohidrat. PUFA omega-3 tidak mempunyai efek hipokolesterolemik langsung, tetapi
kebiasaan mengonsumsi ikan (mengandung banyak PUFA omega-3) berhubungan dengan
reduksi risiko kardiovaskular independen terhadap efek pada lipid plasma. Konsumsi PUFA
omega-3 pada dosis farmakologis (>2 gram/hari) mempunyai efek netral terhadap konsentrasi
kolesterol LDL dan mengurangi konsentrasi TG.48 Data dari penelitian klinis acak, kasus kelola
dan kohor menunjukkan bahwa konsumsi PUFA omega-6 setidaknya 5% hingga 10% dari total
energi mereduksi risiko PJK. Konsumsi PUFA omega-3, PUFA omega-6 dan MUFA
berhubungan dengan peningkatan konsentrasi kolesterol HDL sampai 5% dan penurunan TG
sebesar 10-15%.
Asam lemak trans diproduksi dari minyak nabati dengan cara hidrogenasi, dan dapat
ditemukan secara alami di dalam lemak hewani. Asam lemak trans meningkatkan kolesterol
LDL26,27 dan menurunkan kolesterol HDL. Sumber asam lemak trans di dalam diet biasanya
berasal dari produk yang terbuat dari minyak terhidrogenasi parsial seperti biskuit asin
(crackers), kue kering manis (cookies), donat, roti dan makanan lain seperti kentang goreng atau
ayam yang digoreng memakai minyak nabati yang dihidrogenasi.
Diet karbohidrat bersifat netral terhadap kolesterol LDL, sehingga makanan kaya
karbohidrat merupakan salah satu pilihan untuk menggantikan diet lemak jenuh. Di lain pihak,
diet kaya karbohidrat (>60% kalori total) berhubungan dengan penurunan konsentrasi kolesterol
HDL dan peningkatan konsentrasi TG. Oleh karena itu, asupan karbohidrat dianjurkan kurang
dari 60% kalori total. Asupan lebih rendah dianjurkan bagi pasien dengan peningkatan
konsentrasi TG dan konsentrasi kolesterol HDL rendah seperti yang ditemukan pada pasien
sindrom metabolik. Diet karbohidrat yang kaya serat dianggap diet optimal pengganti lemak
jenuh yang tujuannya meningkatkan efek diet pada konsentrasi kolesterol LDL dan mengurangi
efek yang tidak dikehendaki dari diet kaya karbohidrat pada lipoprotein lain. Diet makanan tinggi
serat seperti kacang-kacangan, buah, sayur dan sereal memiliki efek hipokolesterolemik
langsung.
Tujuan melakukan aktivitas fisik secara teratur adalah mencapai berat badan ideal,
mengurangi risiko terjadinya sindrom metabolik, dan mengontrol faktor risiko PJK. Pengaruh
aktivitas fisik terhadap parameter lipid terutama berupa penurunan TG dan peningkatan
kolesterol HDL. Olahraga aerobik dapat menurunkan konsentrasi TG sampai 20% dan
meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL sampai 10%. Sementara itu, olahraga resisten hanya
menurunkan TG sebesar 5% tanpa pengaruh terhadap konsentrasi HDL. 34,35 Efek penurunan TG
dari aktivitas fisik sangat tergantung pada konsentrasi TG awal, tingkat aktivitas fisik, dan
penurunan berat badan.36,37Tanpa disertai diet dan penurunan berat badan, aktivitas fisik tidak
berpengaruh terhadap kolesterol total dan LDL.
Aktivitas fisik yang dianjurkan adalah aktivitas yang terukur seperti jalan cepat 30 menit
per hari selama 5 hari per minggu atau aktivitas lain setara dengan 4-7 kkal/menit atau 3-6
METs. Beberapa jenis latihan fisik lainnya antara lain:
a) Fitosterol
b) Protein kedelai
Protein kedelai berhubungan dengan penurunan 3-5% kolesterol LDL.Sebagian besar studi
menggunakan asupan protein kedelai lebih dari 40 mg/hari. Sebuah studi menunjukkan asupan
25 mg/hari berhubungan dengan penurunan kolesterol LDL sebesar 5 mg/dL.
Diet serat yang larut dalam air seperti kacang polong, sayuran, buah, dan sereal mempunyai
efek hipokolesterolemik. Diet serat yang larut dalam air sebanyak 5-10 gram/hari dapat
menurunkan kolesterol LDL sebesar 5%. Anjuran diet serat yang larut dalam air untuk
menurunkan kolesterol LDL adalah 5-15 gram/hari.
d) PUFA Omega-3
Polyunsaturated fatty acid omega-3 adalah komponen yang ada dalam minyak ikan atau diet
mediterania. Asupan PUFA omega-3 yang berasal dari produk laut (seperti minyak ikan) sebesar
4 gram sehari dilaporkan menurunkan konsentrasi TG 25-30%, menurunkan konsentrasi
kolesterol LDL 5-10%, dan menaikkan konsentrasi kolesterol HDL sebesar 1-3%. Produk laut
mengandung banyak PUFA omega-3 rantai panjang seperti EPA dan DHA. Polyunsaturated fatty
acid omega-3 yang berasal dari tanaman seperti kedelai dan kenari mengandung asam linolenik
alfa (PUFA rantai moderat) yang tidak menurunkan konsentrasi TG secara konsisten. Dosis
farmakologis untuk menurunkan konsentrasi TG adalah >2 gram/ hari. Suplementasi PUFA
omega-3 rantai panjang dosis rendah (400 mg/hari) dalam margarin tidak menurunkan
konsentrasi TG secara bermakna.83 Faedah PUFA omega-3 terhadap mortalitas kardiovaskular
berdasarkan berbagai studi tidak konsisten84 walau satu studi di Jepang melaporkan terapi EPA
berhubungan dengan penurunan 19% kejadian kardiovaskular
3.3 Nutrisi Geriatri41
Perubahan Fisiologis
Tubuh manusia mengalami perubahan sesuai dengan masanya. Semakin bertambah usia,
akan semakin berkurang fungsi tubuhnya dan terjadi berbagai perubahan baik secara fisik
maupun persepsi, penurunan massa tubuh, kecepatan metabolisme basal, dan menurunnya fungsi
organ-organ untuk bekerja yang kemudian mempengaruhi kebutuhan gizi lansia.
Meliputi, terjadinya :
1. Penurunan massa tubuh (kurus) antara 1% – 2% per tahun dimulai pada usia 30 tahun.
2. Terjadi peningkatan jaringan adiposa, lemak berkurang di daerah kaki tetapi meningkat
sekitar organ dan perut. Peningkatan ini terkait erat dengan tingkat kebugaran lansia dan
berat badan.
Perubahan indera dan persepsi seperti kepekaan terhadap rasa, aroma, bahkan pendengaran
dan penglihatan juga merupakan faktor yang mempengaruhi pemenuhan gizi lansia. Contoh :
ketika kemampuan seseorang untuk mengecap rasa berkurang, makanan terasa hambar atau pahit
sehingga mempengaruhi bagaimana seseorang memilih jenis makanan dan berpengaruh terhadap
jumlah asupan makan lansia.
Papila pengecap mulai mengalami atrofi pada usia 50 tahun, terutama penurunan
sensitivitas terhadap rasa manis dan asin. Selain itu muncul glossodyna atau nyeri pada lidah.
Namun penurunan indera pengecap juga perlu memperhatikan pengaruh obat-obatan.
Penurunan sekresi air liur, kehilangan gigi geligi, penggunaan gigi tiruan
dan xerostomia (mulut kering) dapat menyebabkan gangguan mengunyah dan menelan.
Sehingga lansia dengan masalah gigi dan mulut lebih menyukai makanan lunak yang lebih
mudah dikunyah. Di sisi lain lansia akan membatasi makanan padat gizi seperti biji-bijian, buah
segar, sayur-sayuran dan daging. Oleh sebab itu persiapan makanan lansia yang kaya cairan
seperti sup, rebusan, dan makanan cincang akan membuat makanan lebih mudah dikunyah dan
ditelan.
Selain perubahan di atas kebutuhan gizi dan status gizi lansia juga dipengaruhi oleh faktor
komorbid lain seperti perubahan saluran cerna, perubahan pada ginjal, kardiovaskular,
neurologis dan masih banyak lagi.
1. Jaga keseimbangan energi untuk mencapai dan menjaga berat badan normal. Makan
utama dan selingan harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan lansia sehingga
mencukupi kebutuhan gizinya. Kebanyakan lansia tidak mampu mengonsumsi makanan
dalam jumlah banyak dalam sekali makan, sehingga makanan diberikan porsi kecil
namun sering.
Pola makan diutamakan seperti asupan makanan dan minuman padat gizi. Contoh pilih
susu dan hasil olahannya yang rendah lemak, seafood, daging has dan unggas, telur,
kacang-kacangan dan biji-bijian. Perhatikan cara pengolahannya yang disesuaikan
dengan kemampuan dan faktor penyakit lain yang diderita oleh lansia.
2. Batasi konsumsi gula, karbohidrat sederhana : tepung, garam, dan lemak jenuh.
3. Pilih sayuran, buah, biji-bijian dan hasil olahannya sebagai sumber kalium, serat
makanan, kalsium, dan vitamin D. Makan berbagai macam sayuran terutama yang
berwarna hijau, orange.
4. Biasakan mengkonsumsi sumber kalsium untuk menjaga kesehatan dan kekuatan tulang
dan gigi. Lansia dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang kaya kalsium serta
vitamin D seperti ikan, susu. Selain itu terpapar sinar matahari pagi juga dapat membantu
pembentukan vitamin D aktif dalam tubuh.
5. Kebutuhan gizi sebaiknya terpenuhi dari asupan makan. Bila dibutuhkan, makanan yang
difortifikasi dan suplemen diperbolehkan pada kondisi khusus sesuai dengan intruksi
medis.
6. Biasakan konsumsi makanan berserat karena lansia sering mengalami sembelit, selain
sayur dan buah lansia dapat mengonsumsi produk whole grain yang tinggi serat.
7. Minum air putih sesuai kebutuhan. Karena Seiring dengan bertambahnya usia, sistem
hidrasi lansia menurun sehingga kurang peka terhadap kekurangan atau kelebihan cairan.
Sebaiknya lansia mengonsumsi 1500 – 1600 ml sekitar 6 gelas atau 25 – 30 ml/Kg BB
per hari. Ini lebih sedikit daripada anjuran konsumsi air untuk orang dewasa yang
sebanyak 8 gelas per hari.
8. Tetap melakukan aktivitas fisik dan kurangi waktu untuk aktivitas sedenter. Lansia
dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik ringan, seperti berjalan santai, bersepeda,
berkebun, yoga atau senam lansia.
9. Dari semua rekomendasi yang telah disebutkan tadi, tentunya bahan makanan yang akan
diolah harus disesuaikan dengan penyakit penyerta atau makanan pantangan masing-
masing individu, selain itu pengolahan yang tepat sehingga makanan dapat diterima
dengan baik oleh lansia.
Selain rekomendasi diet gizi seimbang untuk lansia, berikut ini ada beberapa bantuan terhadap
lansia yang dapat dilakukan oleh keluarga saat makan dan minum untuk mencegah terjadinya
malnutrisi :
2. Jika pasien gelisah atau tertekan, jangan paksa mereka untuk makan atau minum. Tunggu
sampai tenang sebelum menawarkan makanan atau minuman untuk menghindari risiko
tersedak.
3. Pastikan bahwa pasien nyaman dan duduk tegak. Jika terbaring di tempat tidur, aturlah
posisi yang baik sebelum memberikan makanan dan minuman (dudukkan pasien antara
30-45 derajat untuk mrnghindari tersedak).
5. Jika pasien kesulitan menggunakan sendok dan garpu, bimbinglah tangan mereka ke
mulut untuk mengingatkan cara makan.
6. Pasien dengan kesulitan menelan harus diberikan makanan dengan konsistensi yang dapat
mereka toleransi dan harus diberikan oleh keluarganya.
7. Pasien yang tidak dapat duduk lebih dari 15 menit dapat diberikan makanan ringan antara
waktu makan karena pasien sering merasa lapar akibat gelisah.