Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

OBAT UNTUK ANESTESI UMUM DAN TAHAPAN ANESTESI

KELOMPOK 2

Nama Anggota:

Anisatulumah (2004015106)

Denti Marantika (2004015148)

Intan Juan Cahyani (2004015096)

Azizah Ayu K.K (2004015077)

Reka Anindia Mulya Nur (2004015171)

Ayu Gina Agustiana (2004015165)

Anisa Fitri (2004015170)

Risky Dea Novita (2004015207)

FAKULTAS FARMASI DAN SAINS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA

JAKARTA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anestetika umum adalah obat yang dapat menimbulkan suatu keadaan depresi
umum dari bagian pusat di SSP yang bersifat reversible, dimana seluruh perasaan dan
kesadaran ditiaadakan, sehingga agak mirip dengan keadaan pingsan. Anestetika
umum dibedakan menjadi dua yaitu anestetika inhalan dan intravena. Secara
tradisional, efek anestetika pada otak menimbulkan empat stadium tingkat.

Pada praktikum kali ini, dilakukan pengamatan keempat stadium anestetika


umum pada tikus yang diberi anestesi inhalam eter dan etanol. Eter dan etanol
merupakan cairan yang memiliki bauk has yang mudah menyerap. Eter memiliki
fungsi analgesia dan anestetika yang kuat dengan relaksasi otot baik.

B. Tujuan Praktikum
Diharapkan setelah praktikum ini mahasiswa dapat :
Mengenal tahap-tahap manifestasi anestesi umum dan tahap-tahap pemulihan dari
anestesi umum
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi umum adalah obat yang digunakan untuk meniadakan persepsi terhadap semua
rangsangan. Anestesi umum digunakan dalam berbagai tindakan pembedahan (operasi).
Untuk menimbulkan efek anestesi yang ideal, sering diperlukan kombinasi dari beberapa
obat. Obat anestesi umumnya diberikan secara inhalasi atau injeksi IV. Mekanisme
kebanyakan anestesi umum belum diketahui. Tetapi, semua sifatnya menghilangkan rasa
sakit dengan mendepresi SSP melalui mekanisme yang belum diketahui sepenuhnya
(Ganiswara, 2007).

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anestesi ideal
terdiri dari hipnotik, analgesik, dan relaksasi otot. Tahapan analgesia terdiri dari beberapa
fase, yaitu:

Fase I: analgesia. Fase ini diawali analgesi tanpa amnesia, kemudian amnesia terjadi.

Fase II: eksitasi. Fase ini ditandai dengan mengigau, gelisah, pernafasan tidak teratur,
penderita meronta, muntah, urinasi, diakhiri dengan nafas mulai teratur.

Fase III: pembedahan/operasi. Fase ini ditandai dengan pernafasan mulai teratur, perubahan
gerak bola mata, ukuran pupil, hilangnya refleks bulumata, dan nafas stabil.

Fase IV: depresi medula. Fase ini ditandai dengan nafas berhenti dan kematian.

Cara pemberian anastesi umum:

a. Parenteral (intramuskular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang singkat atau


induksi anestesi. Umumnya diberikan Tiopental, namun pada kasus tertentu dapat
digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anestesi parenteral
dikombinasikan dengan cara lain.
b. Perektal. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
c. Anestesi inhalasi, yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang
mudah menguap sebagai zat anestesi melalui udara pernafasan. Zat anestetik yang
digunakan berupa campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat anestetik tersebut
tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak akan
menentukan kekuatan daya anestesi, zat anestetik tersebut dikatakan bila dengan
tekanan parsial yang rendah sudah dapat memberikan annestesi yang adekuat
(Katzung, 2014).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
 Hewan percobaan (tikus jantan 3 ekor)
 Timbangan hewan
 Toples kaca dengan penutupnya
 Kapas
 Gelas ukur
 Jarum suntik
 Alkohol
 Eter
 Ketamin
B. Prosedur Kerja
1. Timbang salah satu tikus dan hitung dosis yang digunakan untuk ketamin.
2. Ukur eter dan alkohol sebanyak 15 mL dan tuangkan kedalam toples yang
sudah dieri kapas.
3. Suntikkan ketamine pada tikus yang telah ditimbang tadi bersamaan
dengan 2 tikus lain yang dimasukkan kedalam toples alkohol dan eter.
4. Hitung waktu dan catat setiap perubahan yang terjadi pada masing-masing
tikus.
5. Setelah dicapai tingkat anestesi untuk pembedahan, pemberian anestesi
dihentikan.
6. Perhatikan dan catat tahap-tahap pemulihan kesadaran tikus.
7. Buat tabel pengamatan selengkap mungkin.
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN PRAKTIKUM

A. Perhitungan Dosis
Diketahui :
BB Tikus : 262 gram → 0,262 kg
DIH : 6,5 mg/kg BB – 13 mg/kg BB
Konsentrasi Obat : 100 mg/ml

Rumus :

HED = Animal Dose x

6,5 mg/kg BB = Animal Dose x

Animal Dose = 6,5 mg/kg BB x

= 40,08 mg/kg BB

( ) ( )
VAO = ( )

= 0,105 ml

B. Hasil Praktikum Menggunakan Eter


t (Waktu t hilang
Tikus BB (Kg) Efek yang ditimbulkan
Pemberian) respon
Diam dengan nafas tidak
Tikus 2 - 01:00 02:34
beratur
02:35 Detak jantungnya cepat 03:24
03:25 Ataksia 06:06
06:07 diam 07:01
07:02 Sadar kembali -

C. Hasil Praktikum Menggunakan Kloroform

t (Waktu t hilang
Tikus BB (Kg) Efek yang ditimbulkan
Pemberian) respon
Tikus 3 - 01:40 Diam 09:00
09:01 Gelisah 13:01
13:02 Sadar kembali/aktif -

D. Hasil Praktikum Menggunakan Ketamin


t hilang
Tikus BB (Kg) t (Waktu Efek yang ditimbulkan
Pemberian) respon
1 0,262 Kg 01:28 Masih aktif bergerak 02:55
02:56 Gelisah 03:35
03:36 Nafas masih teratur 04:36
04:37 Lemas 05:04
05:05 Sempoyongan 06:11
06:12 Berguling-guling 09:13
09:14 Tertidur Lemas 11:03
11:04 Tidak Bergerak 33:09
33:10 Sudah Mulai bergerak
52:31
kembali dan berjalan
52:32 Sadar -

E. Pembahasan
Pada praktikum kali ini digunakan tiga jenis obat anastesi yang berbeda, yaitu
eter, klorofom, dan ketamine. Rute pemberian ketiga obat tersebut berbeda, yaitu pada
tikus 2 dan 3dengan menjenuhkan toples dengan kapas yang sudah ditetesi eter atau
kloroform, kemudian dimasukkan kedalam toples tersebut. Namun pada tikus 1
terlebih dahulu diberi ketamin yang disuntikkan sesuai perhitungan dosis sebelum.
Dengan diberikannya tiga jenis obat yang berbeda, sehingga dapat membedakan
kemampuan masing-masing dalam menganastesi sehingga tikus dapat memasuki tiap
tingkat anastesi.

- Anastesi dengan Klorofrom dan Eter


Pada tikus 2 diinhalasi oleh eter. Dan tikus 3 diinhalasi oleh kloroform. Eter
merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau khas mengiritasi saluran
napas, mudah terbakar/meledak, dan dapat terurai oleh udara serta cahaya. Eter
merupakan obat anestesi yang sangat kuat sehingga pasien dapat memasuki setiap
tingkat anestesi. Eter pada kadar tinggi dan sedang menyebabkan relaksasi otot serta
hambatan neuromuskular yang tidak dapat dilawan oleh neostigmin. Eter
menyebabkan iritasi napas dan produksi kelenjar bronkus. Pada induksi dan
pemulihan waktu eter menimbulkan salivasi, tetapi pada stadium yang lebih dalam
salivasi akan menghambat dan terjadi depresi napas. Eter dapat menekan
kontraktilitas otot, namun in vivo efek ini dilawan oleh aktivitas yang simpatik
sehingga curah jantung tidak berubah atau sedikit meninggi. Eter tidak menyebabkan
sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Pada anastesi ringan, eter menyebabkan
pembesaran pembuluh darah kulit sehingga timbul terutama didaerah muka. Terhadap
pembuluh darah ginjal, eter menyebabkan vasokontriksi sehingga terjadi penurunan
laju filtrasi glomerolus dan produksi urin menurun secara reversibel. Sebaliknya pada
pembuluh darah otak menyebabkan vasodilatasi. Eter dieksresikan melalu paru,
sebagian kecil dieksresikan melalui urin, air susu, dan keringat serta melalui difusi
utuh.
Sedangkan Klorofom atau triklorometana dan triklorid metil memiliki sifat
mudah menguap pada suhu dan tekanan normal, jernih, dan tidak mudah terbakar.
Tidak seperti eter, bau klorofom manis tidak, uap kloroform pekat yang terinhalasi
dapat menyebabkan iritasi permukaan mukosa. Kloroform bersifat hepatotoksik.
mekanisme kerjanya dengan merusak sel hati melalui reaktifitas reaktif yaitu radikal
triklorometil. Radikal ini secara kovalen mengikat protein dan lipid jenuh sehingga
terbentuk peroksidasi lipid pada membran sel yang akan menyebabkan kerusakan
yang dapat mengakibatkan pecahnya membran sel peroksidasi lipid yang
menyebabkan penekanan pompa Ca2+ mikrosom yang menyebabkan gangguan awal
hemostatik Ca2+ sel hati yang dapat menyebabkan kematian sel. diabsopsi cepat dan
sempurna melalui saluran cerna, konsentarasi tertinggi dalam plasma mencapai dalm
waktu jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam, obat ini tersebar keseluruh cairan
tubuh.
Kloroform memiliki koefisien partisi minyak-gas lebih 280 besar dari eter dan
gas-darah sebesar 7.43. MAC kloroform lebih rendah dari eter. Besarnya koefisien
partisi minyak-gas menunjukkan masa induksi dari anastesi, dimana nilai koefisien
partisi gas-minyak kloroform lebih tinggi dari eter sehingga masa induksi kloroform
lebih awet dari eter hal ini dibuktikan pada praktikum bahwa kloroform efeknya lebih
lama dibandingkan dengan efek eter. Besarnya koefisien partisi darah-gas
menunjukkan lama mulainya induksi anastesi, dimana koefisien darah-gas kloroform
lebih rendah dari eter sehingga induksi kloroform lebih cepat dari eter. Hal ini sesuai
dengan praktikum karena mulainya anastesi kloroform pada praktikum lebih cepat
dari eter.
Nilai MAC menunjukkan kekuatan menghilangkan gerak/rangsang/nyeri
anastesi misalnya sewaktu operasi. Dapat dilihat dari nilai MAC eter lebih besar dari
kloroform sehingga dapat dikatakan lebih mungkin sebagai anastesi dibandingkan
kloroform. Hal ini dapat dilihat ketika praktikum dimana tikus yang diberi kloroform
tetapi tidak sampai stadium 3 masih dapat berjalan-jalan sedangkan yang diberi eter
lebih diam. Pada praktikum, saat mempersembahkan eter, efek yang dicapai sampai
pada stadium 2 hal ini ditunjukkan dengan ciri-ciri pernapasan dan detak jantung yang
cepat dan tidak teratur. Hal ini mungkin disebabkan karena pemberian eter pada tikus
lama dan setelah mencapai stadium 2 dihentikan pemberian eternya.

- Anastesi dengan Ketamin


Tikus yang di beri anastesi dengan cara pemberian ketamine ini terlebih
dahulu di timbang berat badannya . Lalu di hitug dosis yang sesuai dengan berat
badannya. Dalam hasil praktikum yang telah kami laksanakan, dimenit awal awal
tikus masih dapat bergerak aktif atau yang kita kenal dengan Fase I. Kemudian di
menit kedua, tikus memasuki Fase II yaknis merasa gelisah, nafas mulai tidak teratur.
Fase II ini berakhir hingga menit ke-6. Pada menit ke-6, tikus mulai merasakan lemas
dan nafas teratur. Hal ini menunjukkan tikus sudah memasuki Fase III .Fase III ini
berakhir pada menit ke-33. Fase III menunjukan respon tikus yang sudah tidak bisa
bergerak dan hanya tertidur di meja praktikum. Pada menit ke-33 Tikus sudah mulai
bergerak. Sedikit berjalan-jalan namun efek anastesinya masih terasa. Hal ini berakhir
hingga pada menit ke-52. Pada menit ke-52 tikus sudah sadar dan dapat bergerak
seperti biasanya.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat dikatakan bahwa anastesi umum dibagi menjadi
empat fase, yaitu Fase I (analgesia) Fase ini diawali analgesi tanpa amnesia, kemudian
amnesia terjadi. Fase II (eksitasi) Fase ini ditandai dengan mengigau, gelisah,
pernafasan tidak teratur, penderita meronta, muntah, urinasi, diakhiri dengan nafas
mulai teratur. Fase III (pembedahan/operasi) Fase ini ditandai dengan pernafasan
mulai teratur, perubahan gerak bola mata, ukuran pupil, hilangnya refleks bulumata,
dan nafas stabil. Dan fase IV (depresi medulla) Fase ini ditandai dengan nafas
berhenti dan kematian.
Hasil praktikum kali ini, dari tiga jenis obat anastesi berbeda yang digunakan,
efek yang paling lama untuk kembali sadar yaitu dengan pemberian obat anastesi
ketamine yang diberikan dengan disuntikkan sesuai perhitungan dosis sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Siska, Dkk. 2019. Modul Praktikum Farmakologi. Universitas Muhammadiyah Prof.


Dr. Hamka. Jakarta.
Hasa, Delina, dkk. 2017. Penuntun Praktikum Farmakologi. UIN Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai