PROPOSAL PENELITIAN
Disetujui Pembimbing
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Mengetahui
Ns. Abdul Wahab, Pakaya, MM, M. Kep Ns. Harismayanti, S.Kep, M.Kep
NIDN. 8825150017 NIDN. 0920048704
ii
KATA PENGANTAR
Dengan Sepenuh hati yang meliputi pengertian syukur dan puji, penulis
memanjatkan syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal dengan judul
“Hubungan Inkontinensia Urin Dengan Kualitas Tidur Pada Lansia di Wilayah
kerja Puskesmas Telaga”.
iii
11. Teman seperjuangan S1 Keperawatan 2017 dengan penuh keikhlasan
membantu penulis dan selalu menemani dalam menyelesaikan proposal ini.
Seluruh Civitas Akademika Program Studi Ners Universitas
Muhammadiyah gorontalo, terimah kasih atas ilmu yang diberikan. Seluruh Staf
Pegawai Admistrasi dilingkungan fakultas Ilmu Kesehatan yang lebih khusus
lagi pada jurusan ilmu keperawatan Universitas Muhammadiyah gorontalo yang
telah banyak membantu dalam penyelesaian studi.
Kedua orang tua yang telah membimbing dengan kasih sayang dan
pengorbanannya hingga dapat mengikuti program pendidikan ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan, wawasan dan kemampuan penulis, Oleh karena itu,
penulis sangat menghargai masukan guna penyempurnaan dalam penyusunan
hasil penelitian ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pengambil
keputusan, pemerhati dan mahasiswa khususnya keperawatan.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... ix
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah....................................................................................5
1.3 Rumusan Masalah......................................................................................5
1.4 Tujuan Penelitian........................................................................................5
1.5 Manfaat Penelitian......................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7
2.1 Konsep Teori...............................................................................................7
2.2 Inkontinensia Urin......................................................................................14
2.3 Penelitian Relevan.....................................................................................17
2.4 Kerangka Teori..........................................................................................18
2.5 Kerangka Konsep......................................................................................19
2.6 Hipotesis Penelitian...................................................................................19
BAB III METODOLOGI PENELITIAN................................................................20
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian....................................................................20
3.2 Desain Penelitian.......................................................................................20
3.3 Variabael Penelitian...................................................................................20
3.4 Definisi Operasional...................................................................................21
3.5 Instrumen Penelitian..................................................................................22
3.6 Populasi dan Sampel.................................................................................23
3.7 Tehnik Pengumpulan Data........................................................................24
3.8 Tehnik Pengolahan Data...........................................................................24
v
3.9 Teknik Analisa Data...................................................................................25
3.10 Hipotesis Statistik.......................................................................................26
3.11 Etika Penelitian..........................................................................................27
3.12 Alur Penelitian............................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Surat Pengambilan Data Awal.........................................................................28
Permohonan Menjadi Responden...................................................................29
Persetujuan Menjadi Responden.....................................................................30
Kuisioner Penelitian............................................................................................31
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
karena desakan berkemih, serta terasa lesu pada pagi hari karena tidur yang
tidak berkualitas, beberapa juga mengatakan pada pagi hari mereka baru
tersadar bahwa telah mengompol di tempat tidur.
Pada masa lanjut usia secara bertahap seseorang mengalami
kemunduran, baik kemunduran fisik, mental, dan sosial. Perubahan fisik yang
terjadi pada setiap lanjut usia sangat bervariasi, perubahan ini terjadi dalam
berbagai sistem gastrointestinal, sistem reproduksi, sistem muskuloskeletal,
sistem neurologis, dan sistem urologi (Azizah, 2013).
Proses penuaan menimbulkan masalah kesehatan yaitu kurang bergerak
(immobility), infeksi (infection), berdiri dan berjalan tidak stabil (instability),
gangguan intelektual/dementia (intellectual impairment), sulit buang air besar
(Impaction), depresi (isolation), menderita penyakit dari obat-obatan
(iatrogenesis), daya tahan tubuh menurun (immune deficiency), gangguan tidur
(insomnia), dan besar buang air kecil (urinary incontinence). Salah satu masalah
proses penuaan adalah inkontinensia urin (Tamber, 2013).
Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak terkendali dan tanpa melihat frekuensi maupun jumlahnya yang
mana keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial, dan
higienis bagi penderitanya (Martin & Frey, 2013). Inkontinensia urin merupakan
masalah kesehatan yang sangat sering terjadi pada wanita terutama usia lanjut,
namun secara keseluruhan inkontinensia dapat terjadi pada laki-laki maupun
perempuan, baik anak-anak, dewasa maupun orang tua. Inkontinensia urin juga
jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang
biasa, malui atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter,
dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urin sendiri
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan
kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Soetojo,
2013).
Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien ataupun
keluarganya, hal ini karena adanya anggapan bahwa masalah tersebut
merupakan hal yang sangat memalukan atau tabu untuk diceritakan. Pihak
kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis yang lain juga terkadang tidak
mamahami penatalaksanaan pasien dengan inkontinensia urin dengan baik.
Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan pada usia lanjut yang dapat
2
diselesaikan. Inkontinensia urin mempunyai dampak medik, psikososial, dan
ekonomik. Dampak medik dari inkontinensia urin antara lain dikaitkan dengan
infeksi saluran kemih, urosepsis, gagal ginjal. Dampak psikososial dari
inkontinensia urin adalah kehilangan percaya diri, depresi, menurunnya aktifitas
sosial dan pembatasan aktifitas sosial (Darmojo & Hadi Martono, 2013).
Proses menua diyakini sebagai salah satu faktor predisposisi terjadinya
inkontinensia urin. Penuaan menyebabkan banyak perubahan anatomis dan
fisiologis organ urogenital bagian bawah, antara lain fibrosis, atrofi mukosa,
perubahan vaskularisasi submukosa dan menipisnya lapisan otot yang
mengganggu kontraktilitas dan mudah terbentuk trabekulasi hingga divertikel
(Rijal C, 2014). Angka kejadian inkontinensia urin bervariasi antara satu negara
dengan negara lainnya. WHO menyebutkan bahwa sekitar 20 juta penduduk di
dunia mengalami inkontinensia urin, tetapi angka sebenarnya tidak diketahui
karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Lebih dari 12 juta orang diperkirakan
mengalami inkontinensia urin di Amerika, hal ini dapat dialami pada semua usia
oleh pria dan wanita dari semua status sosial. Sekitar 15-30% individu yang
mengalami inkontinensia urin diperkirakan berusia lebih dari 60 tahun (Agoes
dkk, 2013).
Menurut Asia Pasific Continence Advisor Board (APCAB), prevalensi
inkontinensia urin pada perempuan asia adalah 14,6%, dimana sekitar 5,8
berasal dari Indonesia. Survei inkontinensia urin oleh rumah sakit umum Dr.
Soetomo pada 793 pasien menunjukan bahwa prevalensi inkontinensia urin pada
perempuan 6,79%, sedangkan pada laki-laki 3,02%. Survei lainnya oleh rumah
sakit umum pusat Nasional Cipto Mangunkusumo pada 179 lansia menunjukan
bahwa angka kejadian inkontinensia urin tipe stress pada laki-laki 20,5%,
sedangka pada perempuan 32,5%. Hal tersebut menunjukan bahwa prevalensi
inkontinensia urin pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki (Soetojo,2019).
Di Indonesia, survei inkontinensia urin yang dilakukan oleh divisi geriatri
Bagian Imu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum DR. Cipto Mangunkusumo pada
208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta,
didapatkan angka kejadian inkontinensia urin tipe stress sebesar 32,2%,
sedangkan penelitian yang dilakukan di Poli Geriatri RS Dr. Sardjito didapatkan
angka prevalensi inkontinensia urin sebesar 14,47 % (Bustan, 2018). Menurut
studi epidemiologi dilaporkan bahwa Inkontinensia urin dua sampai lima kali lebih
3
sering pada wanita dibanding pria. Inkontinensia urin menyebabkan gangguan
dari fungsi kandung kemih, yang memberikan masalah gangguan tidur, masalah
pada kulit, masalah fisik, isolasi sosial dan masalah psikologis.
Inkontinensia urin juga bisa menyebabkan kualitas tidur lansia terganggu.
Kualitas tidur menurun pada lansia yang mengalami inkontinensia urin
disebabkan karena banyak faktor. Misalnya lingkungan tidur dan sering
terbangun pada malam hari yang disebabkan oleh ketidaknyamanan akibat
inkontinensia urin. Selian itu stres juga dapat mempengaruhi kualitas tidur yang
disebabkan oleh lansia tersebut sering memikirkan keadaannya yang mengalami
inkontinensia urin. Masalah kesehatan yang ditimbulkan kualitas tidur tidak hanya
pada lansia saja tetapi juga dapat menyerang semua umur. Masalah kesehatan
yang timbul bisa dari yang ringan sampai yang berat. Kualitas tidur yang
menurun dapat mengakibatkan kurang konsentrasi, mudah marah, dan sulit
untuk mengambil keputusan. Kualitas hidup yang menurun dapat mengakibatkan
kesehatan mental menurun, fungsi sosial terganggu, dan menurunnya
kemampuan fungsional (aktivitas) (Wiramihardja, 2013).
The International Continence Society mendefinisikan inkontinensia urin
sebagai kehilangan urin yang tidak di sengaja. Gejala inkontinensia urin sangat
umum di kalangan wanita, memiliki efek substansi pada kualitas hidup terkait
kesehatan. Dua tipe utama di jelaskan: inkontinensia urin stres yaitu urin bocor
terkait dengan aktivitas fisik dan inkontinensia urgensi yaitu urin bcor terkait
dengan keinginan kuat yang tiba-tiba untuk berkemih.
Seperti yang tertera pada Hadits Sunan Ibnu Majah No. 343 - Kitab
Thaharah dan sunah-sunahnya yang berbunyi:
ََّّدث َثنا ْاَأل ُه َم<<ا
َ ش َيبا َن َح
ْ َ ْسو ُد ْب ُن َ ب ْكِر ْب ُن َأ ا َأ نَ نِي
َ ب ْح ُر ْب ُن َح
َ َّدث َ شي َب َة ُبو َ د نَ َح
ْ َ َّدث ِبي
ب ُّي َصلَّى َ َّ ا َل ِإنَّ قَ ْب َر ْي ِنဃَ ُب ْكَر َة قَ َم َّراٍر َع ْن َِّجدِه َأ ُيعَ َّذ َح ُد ُه
ِ ف َم ِبقَ ْي ِه َو َسل َّ ا َل َم َّر ال َّن َ علَ ِبي
4
Meskipun inkontinensia urin bukan merupakan masalah yang mengancam
jiwa, jika tidak di obati dapat menjadi suatu kondisi yang merusak gaya hidup,
psikologis, mengurangi harga diri dan kualitas hidup juga menyebabkan kurang
tidur dan mengurangi kualitas tidur. (Fouad & Hafez 2017, Winkleman dkk, 2018)
Penelitian ini dilakukan untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap
inkontinensia urin sebagai salah satu penyakit yang perlu ditangani karena
selama ini inkontinensia urin dianggap penyakit yang wajar dialami oleh lansia
dan hal yang tabu untuk diceritakan kepada dokter maupun petugas kesehatan.
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena inkontinensia urin yang selama ini
dianggap tabu dan penyakit yang wajar yang dialami oleh lansia. Tanggapan
masyarakat terkait dengan inkontinensia urin bahwa inkontinensia urin salah satu
penyakit yang perlu dianggap penting. Karena apabila inkontinensia urin tidak
ditangani dapat mengganggu kualitas tidur. Tidak hanya itu saja tetapi juga bisa
mengganggu kesehatan.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan kajian lebih
lanjut dengan judul “Hubungan Inkontinensia Urin Dengan Kualitas Tidur Pada
Lansia Diwilayah Kerja Puskesmas”
1.2 Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis dapat mengidentifikasi masalah sebagai
berikut:
1. Selama ini inkontinensia urin dianggap penyakit yang wajar dialami oleh
lansia dan hal yang tabu untuk diceritakan kepada dokter maupun petugas
kesehatan.
2. Adanya anggapan bahwa inkontinensia urin merupakan penyakit yang tidak
dianggap penting.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “apakah terdapat hubungan inkontinensia urin
dengan kualitas tidur lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Telaga Kabupaten
Gorontalo?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
5
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui
hubungan inkontinensia urin dengan kualitas tidur lansia di Wilayah Kerja
Puskesmas Telaga Kabupaten Gorontalo.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik responden.
2. Untuk mengidentifikasi inkontinensia urin dengan kualitas tidur lansia.
3. Untuk menganalisis hubungan inkontinensia urin dengan kualitas tidur
lansia.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
Menjadi tua merupakan proses alamiahn yang berarti seseorang telah melalui
tahap-tahap kehidupannya, yaitu neonates, toodler, pra sekolah, sekolah,
remaja, dewasa dan lansia. Tahap berbeda ini dimulai baik secara biologis
maupun psikologis (Padila, 2016).
4. Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lanjut Usia
Menurut (Nugroho, 2012) dalam (Marno, 2017) secara umum, perubahan-
perubahan yang terjadi pada lanjut usia, meliputi :
a. Perubahan Fisik
Perubahan fisik pada lansia mencakup perubahan pada sel, sistem indra,
sistem muskuloskeletal, sistem kardiovaskuler dan respirasi, pencernaan
dan metabolisme, perkemihan, sistem saraf, dan sistem reproduksi.
b. Perubahan Kognitif
Lansia mengalami penurunan daya ingat, yang merupakan salah satu
fungsi kognitif. Ingatan jangka panjang kurang mengalami perubahan,
sedangkan ingatan jangka pendek memburuk. Lansia akan kesulitan
mengungkapkan kembali cerita atau kejadian yang tidak begitu menarik
perhatiannya.
c. Perubahan Spiritual
Agama atau kepercayaan makin berintegrasi dalam kehidupan lansia
dimana ketika lansia makin teratur dalam menjalankan rutinitas kegiatan
keagamaannya seharihari. Lansia juga cenderung tidak terlalu takut
terhadap konsep dan realitas kematian.
d. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial yang dialami oleh lansia, yaitu masa pensiun,
perubahan aspek kepribadian, dan perubahan dalam peran sosial di
masyarakat. Pensiun adalah tahap kehidupan yang dicirikan oleh adanya
transisi dan perubahan peran yang menyebabkan stres psikososial.
e. Penurunan fungsi potensi dan seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lansia seringkali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik. Menurut Kuntjoro bahwa
faktor psikologis yang menyertai lansia berkaitan dengan seksualitas,
yaitu: rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada
lansia. Sikap keluarga dan masyarakat juga kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya.
8
f. Perubahan Pola Tidur dan Istrahat
Perubahan otak akibat proses penuaan menghasilkan eksitasi dan inhibisi
dalam sistem saraf. Bagian korteks otak dapat berperan sebagai inhibitor
pada sistem terjaga dan fungsi inhibisi ini menurun seiring dengan
pertambahan usia. Korteks frontal juga mempengaruhi alat regulasi tidur.
2.1.2 Tinjauan tentang Tidur
1. Definisi Tidur
Menurut (Meridean, 2011) dalam (Marno, 2017), ada beberapa definisi
tentang tidur menurut beberapa ahli, diantaranya :
a. Tidur adalah suatu keadaan yang berulang-ulang, perubahan status
kesadaran yang terjadi selama periode tertentu
b. Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar saat individu dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsangan
c. Tidur adalah keadaan saat terjadinya proses pemulihan bagi tubuh dan
otak serta sangat penting terhadap pencapaian kesehatan yang optimal
2. Fisiologi Tidur
Tidur dapat diartikan sebagai manifestasi proses deaktivasi system saraf
pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron
di substansia retikularis batang otak melakukan sinkronasi. Bagian susunan
saraf pusat yang melakukan sinkronasi terletak pada substansia vertiko
retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep center).
Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi
terdapat pada bagian rostral batang otak disebut sebagai penggugah
(arousal center) (Sya’diyah, 2018).
3. Tahapan/Fase Tidur
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu
diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM
terjadi secara bergantian 4-6 kali siklus semalam.Tidur NREM yang meliputi
75% dari keseluruhan waktu tidur, diabagi dalam empat stadium antara lain :
a. Stadium 1, terjadi selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini
dianggap stadium tidur paling ringan. EEG mengambarkan gambaran
tidur, ditandai dengan aktivitas yang rendah, tegangan yang bervoltase
rendah dengan frekuensi 3 – 7 siklus perdetik, yang disebut dengan
gelombang teta.
9
b. Stadium 2, terjadi paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur.
EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped)
yang terjadi frekuensi 12 – 14 siklus perdetik (sleep spindle), lambat dan
trifasik yang dikenal sebagai komplek K. Pada stadium ini, orang dapat
dibangunkan dengan mudah.
c. Stadium 3, terjadi selama 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5
hingga 2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta yang merupakan
aktivitas tegangan yang tinggi. Pada stadium ini seseorang akan tidur
nyenyak dan sulit untuk dibangunkan.
d. Stadium 4, terjadi selama 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran
EEG pada stadium ini mirip dengan stadium 3 dengan perbedaan secara
kuantitatif pada jumlah gelombang delta. Stadium dan 4 juga dikenal
dengan nama tidur dalam, atau delta sleep atau sleep wave sleep (SWS)
(Sya’diyah, 2018).
Sedangkan pada fase tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu
tidur. Tidak dibagi-bagi dalam stadium seperti dalam tidur NREM
(Sya’diyah, 2018).
4. Perubahan Tidur Akibat Proses Menua
Sejak meninggalkan masa remaja, kebutuhan tidur seseorang menjadi
relative menetap. Faktor usia merupakan faktor terpenting yang
berpengaruh terhadap kualitas tidur. Telah dikatakan bahwa keluhan
terhadap kualitas tidur seiring dengan bertambahnya usia (Bandiyah,
2017).
Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur
(berbaring lama di tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih
sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya. Orang usia lanjut juga lebih
sering terbangun ditengah malam akibat perubahan fisik karena usia dan
penyakit yang dideritanya sehingga kualitas tidur secara nyata menurun
(Sya’diyah, 2018).
Kelompok lanjut usia lebih banyak mengeluh sulit untuk memulai tidur,
terbangun lebih awal dari jam 05.00 pagi. Selain itu terdapat 30% kelompok
lanjut usia tujuh puluh tahun yang banyak terbangun diwaktu malam hari.
10
Angka ini ternyata tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok
usia dua puluh tahun (Bandiyah, 2017).
Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur lanjut usia yang sehat juga
tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari
sibuk dan aktif sepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam
tidurnya, sebaiknya bila siang hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak
aktif, maka malamnya akan sulit tidur (Sya’diyah, 2018)
5. Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga
seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah
terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata,
kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-
pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006,
dalam (Marno, 2017).
Kualitas tidur menjadi ukuran dimana seseorang dapat
kemudahan dalam memulai tidur dan untuk mempertahankan tidur,
kualitas tidur seseorang dapat digambarkan dengan lama waktu tidur,
dan keluhan – keluhan yang dirasakan saat tidur ataupun sehabis
bangun tidur (Potter dan Perry, 2005 dalam Rusdiana, 2019).
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur
Menurut (Sya’diyah, 2018), Fakto-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur,
diantaranya adalah ;
a. Stress
Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga
dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk
tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stress, seperti kematian atau
penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan,
dapat menyebabkan insomnia.
b. Kecemasan dan Depresi
Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau
karena kekhawatiran yang menyertai depresi
11
c. Obat-obatan
Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk
beberapa anti depresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi,
stimulant seperti Ritalin dan kortikosteroid.
d. Kafein, nikotin dan alcohol
Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein dan stimulant
yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan
insomnia. Alcohol adalah obat penenang yang dapat memabntu
seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan
sering menyebabkan terbangun ditengah malam.
e. Kondisi medis
Jika seseroang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan
sering buang air kecil, kemungkinan mereka akan mengalami insomnia
lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini
dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit
paru-paru, gastroesopagheal reflux disease/GERD, stroke, penyakit
Parkinson dan penyakit alzhaimer.
f. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat
menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk
tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur siklus
tidur bangun, metabolism, dan suhu tubuh.
7. Pengukuran Kualitas Tidur Lansia
Dalam studi kasus ini, untuk mengukur kualitas tidur akan
menggunakan skala adaptasi dari Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).
Buysse et al. mendesain suatu pengukuran kualitas tidur yang dikenal
sebagai Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). PSQI ini kemudian
dikembangkan oleh University of Pittsburgh untuk digunakan dalam
berbagai penelitian.
Menurut American Psychiatric Association dalam (Sanjaya, 2011),
didefinisikan sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa
dimensi. (Bussye, 1989) berpendapat bahwa kualitas tidur merupakan
sebuah fenomena yang kompleks, yang mempunyai beberapa dimensi.
12
Beberapa dimensi tersebut menjadi standar penilaian kualitas tidur dalam
skala PSQI yaitu sebagai berikut
a. Kualitas tidur subyektif
Kualitas tidur subjektif, yang baik atau buruk dapat dievaluasi dengan
persepsi tentang parameter tidur diantaranya adalah berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk tertidur, frekuensi terbangun pada malam hari,
total waktu tidur di malam hari dan kepulasan tidur.
b. Durasi Tidur
Durasi tidur adalah lamanya tidur yang didapat pada malam hari. Durasi
tidur akan sangat dipengaruhi oleh masa perkembangan seseorang.
c. Latensi Tidur
Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur atau tertidur. Masa
latensi tidur yang normal biasanya kurang dari 15 menit.
d. Kebiasaan efisiensi Tidur
Merupakan rasio antara waktu sebenarnya yang digunakan untuk tidur
dengan waktu yang dihabiskan di tempat tidur.
e. Gangguan Tidur
Gangguan tidur sebenarnya bukanlah suatu penyakit melainkan gejala
dari berbagai gangguan fisik, mental dan spiritual. Pada orang normal,
gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-
perubahan pada siklus tidur biologisnya, menurun daya tahan tubuh
serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang
konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
keselamatan diri sendiri atau orang lain.
f. Penggunaan Obat-obat tidur
Penggunaan obat tidur memiliki fungsi untuk membantu seseorang agar
mudah untuk tertidur. Namun penggunaan obat-obatan tidur tidak
sekedar membuat tidur nyenyak, tetapi juga memiliki efek samping
diantaranya gangguan kesehatan kronis, depresi hingga kematian. Obat
tidur akan menekan sistem pernafasan yang akan memperburuk
masalah pernafasan saat tidur. Selain itu, obatobatan tersebut juga
bekerja pada sistem syaraf pusat sehingga mempengaruhi penilaian dan
suasana hati serta meningkatkan resiko bunuh diri.
13
g. Disfungsi di Siang Hari
Disfungsi di siang hari merupakan sebagian masalah yang ditimbulkan
akibat tidur yang kurang maupun tidak baik. Sebagai contoh mengalami
masalah saat berkendara di siang hari.
Adapun hasil dalam pengukuran keseluruhan adalah 0-21 yang
diperoleh dari 7 komponen penilaian diantaranya kualitas tidur secara
subyektif (subjective sleep quality), waktu yang diperlukan untuk
memulai tidur (sleep latency), lamanya waktu tidur (sleep duration),
efisiensi tidur (habitual sleep efficiency), gangguan tidur yang sering
dialami pada malam hari (sleep disturbance), penggunaan obat untuk
membantu tidur (using medication), dan gangguan tidur yang sering
dialami pada siang hari (daytime disfunction). semakin tinggi skor nilai
maka akan semakin buruk kualitas tidurnya. Seseorang dikatakan
memiliki kualitas tidur baik apabila skor nilai 1-5, ringan 6-7, sedang 8-
14 dan kualitas tidur buruk jika skor nilai mencapai 15-21.
2.2 Inkontinensia Urin
1. Definisi inkontinensia urin
Inkontinensia urin merupakan pengosongan urin diluar kesadaran
dengan jumlah frekuensi yang memadai. Inkontinensia urin bisa disebut
dengan keluranya urin yang tidak dapat dikontrol tetapi bisa dimati secara
obyektif sehingga menjadi gangguan kesehatan dan masalah social
(Delly, 2021) . Variasi dari inkontinensia urin dapat berupa pengeluaran urin
yang terkadang hanya beberapa tetes atau sebaliknya benar-benar banyak,
Lansia akan sering berkemih pada malam hari dan frekuensi berkemih
meningkat akibat kehilangan kontraktibilitas dan kelemahan dari tonus otot
kandung kemih (Insani et al., 2019)
2. Tipe inkontinensia urin
Menurut (Juananda & Febriantara, 2017), tipe inkontinensia win ada 4 yaitu
inkontinensia stres, inkontinensia urge, inkontinensia reflek, inkontinensia
overflow.
a. Inkontinensia Stres Hilangnya paksa urin selama kegiatan yang meningkatkan
perut dan tekanan.
b. Inkontinensia Urgensi Hilangnya paksa win terkait dengan keinginan yang
kuat untuk buang air kecil.
14
c. Inkontinensia Reflek Kontraksi detrusor perut terjadi akibat kelainan
neurologis.
d. Inkontinensia Overflow Hilangnya paksa urin yang berhubungan dengan over
distensi kandung kemih saat kapasitas kandung kemih telah mencapai
maksimum
3. Penyebab inkontinensia urin
Menurut (Diani, 2019), penyebab inkontinensia urin satu dengan yang lain
tidak sama tetapi tergantung dari tipe inkontinensia urin.
a. Inkontinensia Stres
Kondisi keluarnya urin ketika tekanan intraabdomen meningkat
sepertipadasaat batuk, bersin, tertawa, atau latihan yang disebabkan oleh
melemahnya otot dasar panggul.
b. Inkontinensia urgensi
Kondisi ketidakmampuan untuk menahan urin cukup lama untuk mencapai
toilet, keinginan yang kuat dan tiba-tiba diikuti keluarnya urin tanpa dapat
ditahan. Penyebabnya karena daya tampung kandung kemih yang menurun,
iritasi pada reseptor peregang kandung kemih, konsumsi alkohol atau kafein,
peningkatan asupan dan adanya infeksi iritasi pada reseptor peregang
kandung kemih, konsumsi alkohol atau kafein,peningkatan asupan dan
adanya infeksi.
c. Inkontinensia reflek
Kondisi keluarnya urin secara involunter terjadi pada interval atau jarak waktu
tertentu yang dapat diprediksi bila isi kandung kemih terpenuhi. Biasanya
terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, dalam hal ini
pengosongan kandung kemih dipengaruhi reflek yang dirangsang oleh
pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada.
d. Inkontinensia overflow Kondisi keluarnya urin dalam jumlah sedikit dari
kandung kemih yang selalu penuh, kehilangan urin tanpa disengaja yang
biasanya dihubungkan dengan overdistensi kandung kemih.
4. Patofisiologi inkontinensia urin
Inkontinensia urin pada lanjut usia berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologi
juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis, dan lingkungan. Pada tingkat
yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat
berkemih di sacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung
15
kemih di medula spinalis (Nadhir, Nadhir et al., 2020). Pengosongan kandung
kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan kontraksi
kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang.
Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang
timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat
disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin.
Karena dengan kerusakan dapat mengganggu koordinasi antara kontraksi
kandung kemih danrelaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung
kemih akan menimbulkan inkontinensia (Winda & Nim, 2018). Inkontinensia urin
dipengaruhi oleh mekanisme detrusor dan sfingter.
Pada lansia otot detrusor dan sfingter mengalami kemunduran fungsi,
akibatnya seseorang tidak dapat mengontrol berkemihnya. Hal ini biasa terjadi
pada semua orang, terutama lansia. Jika inkontinensia tidak terkontrol, dapat
menyebabkan kedua masalah psikologis dan fisik. Konsekuensi psikologis
inkontinensia serius. Klien dapat mengisolasi diri mereka sendiri, dan takut malu
dapat menyebabkan depresi. Komplikasi fisik inkontinensia termasuk infeksi,
kerusakan kulit, dan disfungsi berkemih permanen (Kurniasari & Soesilowati,
2017).
5. Penanganan inkontinensia urin
pendapat (Collein, 2017) mengatakan penanganan inkontinensia urine
meliputi.
a. Perubahan gaya hidup: menggunakan pampers, menganjurkan mengurangi
masukan cairan, menghindari the, kopi, alcohol, mengurangi berat badan dan
berhenti merokok.
b. Latihan otot dasarpanggul: dengan tujuan untuk menguatkan otot-otot
panggul.
c. Bladder training: Pasien dilakukan latihan untuk mengosongkan bladder
dalam jangka waktu tertentu. Pada awal latihan dicoba untuk menahan
selama satu jam. Kemudian periode penundaan ditingkatkansecara bertahap
dan
d. Intervensi pembedahan: Menaikkan dan menyokong leher kandung kemih,
dikembalikan pada posisi normalnya yaitu diatas otot pelvis.
16
6. Pengukuran inkontinensia urin
Instrumen inkontinensia urin menggunakan International Consultant
Incontinence Questionnaire-Urine Incontinence Short Form (ICIQ-UISF).
Penilaian jawaban berdasarkan skala guttman. Instrument ini terdiri dari 8
pertanyaan dan mempunyai total skor minimal 0 dan maksimal 21. Skor
Inkontinensia ringan: 0-7, skor inkontinensia sedang 8-14, skor inkontinensia
berat: skor 15-21.
2.3 Penelitian Relevan
Tabel 1. Penelitian Relevan
17
2.4 Kerangka Teori
Inkontinensia Urin
3. Inkontinensia Overflow
3. Berkurangnya tahapan tidur
4. Inkontinensia Reflek
Kualitas Tidur
5. Stres emosional
18
2.5 Kerangka Konsep
Variabel independen Variabel dependen
Inkontinensia Kualitas
Urin Tidur
Lansia
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
20
6 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah
yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya
mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian (Setiadi,
2017).
21
malam hari
f.Penggunaan
obat untuk
membantu tidur
g.Gangguan tidur
yang sering
dialami pada
siang hari
7 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitiaan adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
dalam pengumpulan data agar pekerjaan lebih mudah dan hasilnya lebih baik
dalam arti lebih cermat, lengkap sehingga mudah diolah.
a. Kuesioner International Consultation on Incontinence Questionnaire Short
Form (ICIQ-SF)
International Consultant Incontinence Questinaire-Urine Incontinence Short
Form merupakan salah satu contoh alat ukur yang berisi pertanyaan penapis
diagnosis Inkontinensia urine. ICIQ-SF merupakan instrumen yang telah
diterima setelah perkembangan dari beberapa seri kuesioner yang dapat
diaplikasikan pada pasien dengan inkontinensia. Pertanyaan pada kuesioner,
ICIQSF telah secara penuh tervalidasi. ICIQ-SF ini menggambarkan usaha
untuk menangkap dan merefleksikan pandangan pasien, serta disusun untuk
mengevaluasi kondisi pasien secara tepat (Abrams, 2003 dalam Rivai, 2017).
Penilaian skor inkontinendis adalah skor total dari setiap jawaban yang
didapatkan dimana pada jawaban sama sekali tidak skor bernilai 0, Jarang
bernilai 1, kadang-kadang bernilai 2, kerap bernilai 3, seringkali bernilai 4, dan
setiap waktu bernilai 5Adapun quesioner ini terdiri atas 6 item pertanyaan
dimana Variabel kategori derajat inkontinensia dari quesioner ICIQ-SF yaitu :
a. Inkontinensia Ringan : 1 - 10
b. Inkontinensia Sedang : 11- 20
c. Inkontinensia Berat : 21 – 30
22
b. Kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
Kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) adalah ukuran subjektif tidur.
Alat ukur Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) ini sudah dibukikan oleh
university of pittsburg. Dalam kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) ini
terdapat 7 komponen yang digunakan sebagai parameter penilaiannya. Tujuh
komponen tersebut yaitu, kualittas tidur, letensi tidur, durasi tidur, efisiensi
kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi siang hari
Kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) masing-masing pertanyaan
dijawab dengan skor nilai 0 = tidak selama satu bulan terakhir, 1 = kurang dari
sekali seminggu, 2 = sekali atau dua kali seminggu, 3 = tiga kali atau lebih dari
seminggu. Rentang skor dari kualitas tidur adalah 0-21. Minimum skor = 0 (baik),
maksimum skor = 21 (buruk). Dengan interpretasi total, jika nilai ≤ 5 = kualitas
tidur baik dan jika nilai >5 = kualitas tidur buruk.
8 Populasi dan Sampel
3.3.3 Populasi
Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya manusia, klien) yang
memenuhi kriteria yang telah di tetapkan (Nursalam, 2013). Populasi dalam
penelitian ini adalah semua lansia sebanyak 30 orang.
3.3.4 Sampel
Sampel adalah sebagian unsur populasi yang di jadikan objek penelitian.
Sampel adalah wakil dari populasi dan ciri-cirinya akan diungkapkan dan akan
digunakan untuk menaksir cirri-ciri populasi (Neolaka, 2016). Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah total sampling. Untuk menetukan besarnya
sampelyang diambil dari Populasi peneliti menggunakan rumus yang
dikemukakan oleh Slovin dengan tingkat kepercayannya 90% dengan nilai
e=10% adalah sebagai berikut.
Rumus :
Keterangan:
n = Jumlah Sampel
N= Jumlah Populasi
23
e = Tingkat kesalahan dalam memilih anggota sampel yang ditolelir
sebesar 5%. sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan sebanyak
5 %. Jadi :
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut:
a) Kriteria inklusi adalah :
1) Lansia yang berusia ≥ 60 tahun
2) Lansia yang bisa membaca dan menulis.
2) Lansia yang sehat jasmani dan rohani.
3) Lansia yang ada ditempat saat penelitian.
b) Kriteria eksklusi adalah :
1) Lansia yang tidak ada saat penelitian.
2) Lansia yang mengalami gangguan mental
3) Lansia yang mengalami hambatan dalam penerimaan informasi
9 Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian, karena tujuan utamanya ialah mendapatkan data (Sugiyono, 2017).
Pengumpulan data dimulai setelah peneliti mendapatkan izin melakukan
penelitian dengan judul yang telah diterima oleh pihak kampus Universitas
Muhamadyiah Gorontalo.
24
Pengumpulan data yang dilakukan peneliti dimulai dari menjelaskan
maksud dan tujuan tentang pelaksanaan penelitian. Setelah disetujui peneliti
melakukan observasi dan wawancara kepada beberapa lansia.
3.3.5 Cara Pengumpulan Data
3.3.6 Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden
(Sugiyono, 2017). Dalam penelitian ini data primer didapatkan dengan cara
retrofleksi dimana kuesioner yang digunakan untuk mengetahui inkontinensia
urin pada lansia. Ataupun lembar observasi yang terkait dengan Variabel
Independen Inkontinensia Urin dan Variabel Dependen Kualitas Tidur Lansia.
3.3.7 Data sekunder adalah data yang diperoleh dari lingkungan penelitian
(Sugiyono, 2017). Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari Puskesmas
9.1.1 Tehnik Pengolahan Data
Menurut Sujarweni (2017), ada beberapa kegiatan yang akan dilakukan oleh
peneliti dalam pengolahan data, yaitu :
Pengumpulan data yang dilakukan peneliti dimulai dari menjelaskan maksud dan
tujuan tentang pelaksanaan penelitian. Setelah disetujui peneliti melakukan
observasi dan wawancara kepada beberapa lansia.
1. Editing data
Peneliti memberikan kuesioner dan menjelaskan tentang cara pengisian.
Kuesioner dikembalikan oleh responden diperiksa oleh peneliti kebenaran dan
kelengkapannya pada lembar kuesioner yang sudah dijawab.
2. Coding
Klasifikasi jawaban-jawaban yang ada pada lembar kuesioner dengan
memberikan tanda-tanda pada masing-masing jawaban berupa angka dan
selanjutnya dimasukkan dalam lembar tabel agar mempermudah pembaca.
3. Entry data
Data yang telah didapat dari penelitian kemudian dimasukkan pada komputer
dengan menggunakan program atau “softwer” komputer.
4. Tabulasi data
Setelah dilakukan entry data kemudian dilakukan pengolahan data, sehingga
dapat diperoleh frekuensi dari kedua variabel-variabel tersebut.
10 Teknik Analisa Data
Analisis data dilakukan dengan komputer menggunakan program Komputer.
25
3.3.8 Analisa Univariat
Analisa univariat adalah proses analisa data yang bertujuan untuk
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel yang diukur (Hastono, 2007).
Analisa ini dilakukan terhadap variabel dependen yang terkait dengan
karakteristik remaja putri seperti usia, usia menarche, tinggi badan den berat
badan, dan pola asuh dianalisis menggunakan distribusi frekuensi dan proporsi.
Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dengan cara
mendeskripsikan tiap-tiap variabel dalam penelitian yaitu dengan melihat
distribusi frekuensinya dengan menggunakan rumus:
Keterangan :
p : Persentase.
f : Jumlah penerapan yang sesuai prosedur (nilai 1).
N : Jumlah item observasi (Aryani, 2014)
3.3.9 Analisa Bivariat
Analisa bivariat dimaksudkan untuk menganalisa hubungan antara dua
variabel. Analisa bivariat dilakukan untuk menganalisa pengaruh yang signifikan
antara dua variabel dan mengetahui perbedaan yang signifikan antara dua
variabel atau lebih untuk membuktikan hipotesis penelitian (Hastono, 2007).
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel bebas terhadap
Dimana:
: Chi Square.
f0 : Frekuensi observasi.
fh : Frekuensi harapan (Sugiono, 2012).
26
Untuk hasil akhir digunakan uji statistik Chi Square ( ) dengan tingkat
kemaknaan α = 0,05 dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Terlebih dahulu membuat rumusan hipotesis baik hipotesis nol (H0) maupun
hipotesis alternatif (Ha).
2. Menyusun tabel koefisien korelasi dan tafsirannya serta tabel kerja untuk
melakukan pengolahan data yang diperoleh ke dalam tabel.
ditentukan (α = 0,05).
4. Untuk menghitung derajat kebebasan dengan rumus: ,
dimana:
n : derajat kemaknaan (df).
c : banyaknya kolom.
r : banyaknya baris (Chandra, 2012)
5. Menarik kesimpulan terhadap pengujian x2hitung yaitu H0 gagal ditolak jika x2hitung
< x2tabel dan H0 ditolak jika x2hitung ≥ x2tabel
10.1.1.1.1 Hipotesis Statistik
Hipotesis Statistik dalam penelitian ini adalah kausalitas (sebab akibat)
yaitu:
Ha : ρ ≠ 0, Ada hubungan Inkontinensia Urin dengan Kualitas Tidur Lansia.
H0 : ρ = 0, tidak Ada hubungan Inkontinensia Urin Kualitas Tidur Lansia.
11 Etika Penelitian
Menurut Hidayat (2018), secara umum prinsip utama dalam etika
penelitian keperawatan adalah :
27
untuk menjadi responden. Jika responden bersedia, maka mereka harus
menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka
peneliti harus menghormati hak responden.
2. Tanpa nama (Anonimity)
Tanpa nama adalah masalah etika yang ditunjukan untuk memberikan
jaminan dalam penggunaan responden penelitian dengan cara tidak
memberikan atau menceritakan nama responden pada lembar alat ukur
dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.
3. Kerahasiaan (Confidentially)
Semua informasi yang dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti,
hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.
4. Terhindar dari bahaya
Peneliti menjelaskan kepada responden, bahwa penelitian yang akan di
lakukan tidak akan membahayakan bagi status kesehatan responden
karena bukan perlakuan yang fatal.
28
12 Alur Penelitian
Pengajuan judul
29
DAFTAR PUSTAKA
30
Nugroho. (2012). Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Edisi 3. EGC.
Padila. (2017). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Nuha Medika.
Rusdiana. (2019). Hubungan Kualitas Tidur Dengan Peningkatan Tekanan Darah
Pada Pasien Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Guntung Payung.
4(12).
Sanjaya, R. D. (2017). Hubungan antara kualitas tidur dengan kecenderungan
berperilaku agresif pada remaja. 20.
Sunaryo. (2016). Asuhan Keperawatan Gerontik. CV. Andi Offset.
Sya’diyah. (2018). Keperawatan Lanjut Usia ; Teori dan Aplikasi.
Tresnayanti, S. (2014). Perilaku hidup bersih dan sehat pada keluarga lansia di
desa damarraja kecamatan warungkiara kabupaten sukabumi. Jurnal
Komunitas.
Winda, R., & Nim, S. (2018). Program Studi Fisioterapi Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta 2015. Jurnal Keshatan, 1–10.
31
Lampran 1
32
SURAT PENGAMBILAN DATA AWAL
Lampiran 2
33
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
Kepada Yth,
Calon Responden
Di-
Tempat
Assalamualaikum Wr.WB
Peneliti
Lampiran 3
34
PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Setelah membaca dan mendapatkan penjelasan tentang maksud, tujuan dan
Nama : ...............................................
Umur : ................................................
Alamat : .............................................
Tidur Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Telaga.”, dengan suka rela dan
tanpa paksaan dari siapapun. Saya percaya apa yang saya informasikan dijamin
Gorontalo, 2021
Responden
Lampiran 4
35
KUISIONER PENELITIAN
Hubungan Antara Inkontinensia Urin Dengan Kualitas Tidur Pada Lansia di
Wilayah Kerja Puskesmas Telaga
B. Identitas Responden
Nama/ Inisial :
Umur :
Status perkawinan :
Jenis kelamin :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Lampiran 5
36
Lembar Kuisioner Inkontinensia Urin
Berilah tanda checklist (√) pada jawaban yang paling mewakili kondisi dalam
menyikapi pernyataan yang di berikan.
37
Lampiran 6
Lembar Kuisioner Kualitas Tidur
(PSQI) Pittsburgh Sleep Quality Index
Berilah tanda checklist (√) pada jawaban yang paling mewakili kondisi dalam
menyikapi pernyataan yang di berikan.
b. Terbangun di tengah
malam atau dini hari
c. Terbangun untuk ke
kamar mandi
f. Kedinginan/kepanasan
di malam hari
g. Mimpi buruk/terasa
nyeri
38
4. Selama sebulan terakhir
berapa banyak masalah
yang anda dapatkan dan
anda selesaikan
permasalahan tersebut?
39