Anda di halaman 1dari 66

TINJAUAN TEORI

1. PERSPEKTIF DAN KONSEP PERAWATAN PALIATIF


2. ETIKA DALAM PERAWATAN PALIATIF
3. KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF
4. TEKNIK MENYAMPAIKAN BERITA BURUK DAN PRINSIP KOMUNIKASI
DALAM PERAWATAN PALIATIF
5. PENGKAJIAN FISIK DAN PSIKOLOGIS PENYAKIT KRONIK
6. PATOFISIOLOGI DAN ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT KRONIK
7. TINJAUAN SOSIAL DAN BUDAYA TENTANG PERAWATAN PALIATIF
8. TINJAUAN AGAMA TENTANG PERAWATAN PALIATIF DAN MENJELANG
AJAL
9. MACAM – MACAM PENYAKIT KRONIK DAN PENYAKIT TERMINAL
10. PATOFISIOLOGIS DAN ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT TERMINAL
11. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERMINAL
12. MANAJEMEN NYERI PADA PASIEN TERMINAL
13. MANAJEMEN NYERI PADA TERAPI KOMPLEMENTER

Disusun Oleh :
AINUL MARDHIYAH
(21010219)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES MEDIKA SERAMO BARAT
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah kumpulan teori dari kelompok 1 sampai

dengan kelompok 13 ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah

untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif.

Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ns. Aghnia Kamila. S.Kep.M.Kep. Selaku

dosen pada mata kuliah Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif telah memberikan tugas ini

sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya

tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian

pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena

itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Banda Aceh, 18 Juni 2022


Penulis

AINUL MARDHIYAH
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………… 5
A. Latar Belakang……………………………………………………………. 5

B. Rumusan Maslah …………………………………………………………. 5

C. Tujuan penulisan …………………………………………………………. 6

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………… 7

A. PERSPEKTIF DAN KONSEP PERAWATAN PALIATIF ………………… 7


B. ETIKA DALAM PERAWATAN PALIATIF ………………………………. 8
C. KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF ………………… 13
D. TEKNIK MENYAMPAIKAN BERITA BURUK DAN PRINSIP KOMUNIKASI
DALAM PERAWATAN PALIATIF ………………………………………... 20
E. PENGKAJIAN FISIK DAN PSIKOLOGIS PENYAKIT KRONIK ………... 26
F. PATOFISIOLOGI DAN ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT KRONIK . 34
G. TINJAUAN SOSIAL DAN BUDAYA TENTANG PERAWATAN PALIATIF . 39
H. TINJAUAN AGAMA TENTANG PERAWATAN PALIATIF DAN MENJELANG
AJAL …………………………………………………………………………. 42
I. MACAM – MACAM PENYAKIT KRONIK DAN PENYAKIT TERMINAL …. 45
J. PATOFISIOLOGIS DAN ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT TERMINAL . 46
K. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERMINAL ………………. 53
L. MANAJEMEN NYERI PADA PASIEN TERMINAL ……………………… 56
M. MANAJEMEN NYERI PADA TERAPI KOMPLEMENTER ……………… 60

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………... 62

A. Kesimpulan ………………………………………………………………. 62

B. Saran ……………………………………………………………………… 62

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perawatan paliatif merupakan bagian penting dalam perawatan pasien yang terminal y

ang dapat dilakukan secara sederhana seringkali prioritas utama adalah kualitas hidup dan buk

an kesembuhan dari penyakit pasien.Tujuan perawatan paliatif adalah meningkatkan kualitas 

hidup dan menganggap kematiansebagai prose normal, tidak mempercepat atau menunda kea

matian, menghilangkan nyeri dankeluhan lain yang mengganggu, menjaga keseimbangan psik

ologis dan spiritual,mengusahakan agar penderita tetap aktif sapai akhir hayatnya dan danmen

gusahakanmembantu mengatasi duka cita pada keluarga. Namun masih jarang terdapat peraw

atan paliatif dirumah sakit berfokus kepada kuratif,. Sedangkan perubahan pada fisik social da

n spiritual tidak bisa intervensi . Reaksi emosional tersebut ada lima yaitu denail,anger, bergai

ning, depression dan acceptance (Kubler-Ross,2003). 

B. Rumusan Masalah

1. Perspektif dan Konsep Perawatan Paliatif


2. Etika dalam Perawatan Paliatif
3. Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif
4. Teknik Menyampaikan Berita Buruk dan Prinsip Komunikasi Dalam Perawatan Paliatif
5. Pengkajian Fisik dan Psikologi Penyakit Kronik
6. Patofisiologi dan Asuhan Keperawatan Penyakit Kronik
7. Tinjauan Sosial dan Budaya Tentang Perawatan Paliatif
8. Tinjauan Agama Tentang Perawatan Paliatif dan Menjelang Ajal
9. Macam – Macam Penyakit Kronik dan Penyakit Terminal
10. Patofisiologis dan Asuhan Keperawatan Penyakit Terminal
11. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terminal
12. Manajemen Nyeri Pada Pasien Terminal
13. Manajemen Nyeri Pada Terapi Komplementer

C. Tujuan Penulisan

Untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. PERSPEKTIF DAN KONSEP PERAWATAN PALIATIF


1. Pengertian Paliatif Care

Perawatan paliatif berasal dari kata palliate (bahasa inggris) berarti meringankan, d

an“Palliare” (bahsa latin yang berarti “menyelubungi”), merupakan jenis pelayanankesehat

an yang berfokus untuk meringankan gejala klien, bukan berarti kesembuhan.Perawatan pa

liatif care adalah penedekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan kelua

rga yang menghadapi masalah berhubungan dengan penyakit yang dapatmengancam jiwa, 

mealaui pencegahan dan membantu meringankan penderitaan, identifikasidini dan penilaia

n yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah lain baik fisik, psikososialdan spiritual (

WHO 2011).Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan beban pend

erita kanker terutama yang 

tidakmungkin desembuhkan tetapi juga pada penderita yang mempunyaiharapan untuk sem

buh bersamasama dengan tindakan kuratif (Menghilangkan nyeri dankeluhan lain serta per

baikan dalam bidang psikologis, sosial dan spiritual). (Depkes PedomanKnker Terpadu Par

ipurna 1997).

2. Tujuan Perawatan paliatif 

Tujuan dari perawatan palliative adalah untuk mengurangi penderitaan pasien,mem

perpanjangumurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan supportkepada kel

uarganya.Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelummeninggal dia s

udah siap 
secara psikologis dan spiritual, tidak stres menghadapi penyakityang dideritanya.Perawatan 

paliatif meliputi :

1) Menyediakan bantuan dari rasa sakit dan gejala menyedihkan lainnya.

2) Menegaskan hidup dan memepercepat atau menunda kematian.

3) Mengintegrasikan aspek-aspek psikologis dan spiritual perawatan pasien

4) Tidak mempercepat atau memperlambat kematian

5) Meredakan nyeri dan gejala fisik lain yang mengganggu

6) Menawarkan sistem pendukung untuk membantu keluarga menghadapi penyakit pasien

dan kehilangan mereka.

3. Prinsip Perawatan Paliatif Care

Menghormati atau menghargai martabat dan harga diri dari pasien dan keluarga pasie

n,Dukungan untuk caregiver, Palliateve care merupakan accses yang competent dancompassi

onet, Mengembangkan professional dan social support untuk pediatric palliativecare, Melanj

utkan serta mengembangkan pediatrik palliative care melalui penelitian dan pendidikan (Ferr

ell, & Coyle, 2007: 52) Perawatan paliatif berpijak pada pola dasar berikut ini :

1) Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang normal

2) Tidak mempercepat atau menunda kematian.

3) Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu

4) Menjaga keseimbangan psikologis, sosial dan spiritual.

5) Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya

6) Berusaha membantu mengatasi suasana dukacita pada keluarga

7) Menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarganya

8) Menghindari tindakan yang sia-sia
B. ETIKA DALAM PERAWATAN PALIATIF
1. Pengertian
Perawatan paliatif adalah adalah kesehatan terpadu yang aktif dan menyeluruh,
degan pendekatan multi disiplin yang terintregrasi. Tujuannya untuk mengurangi
penderitaan pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidup nya,juga
memberikan support kepada keluarganya. Meski pada akhirnya pasien meninggal, sebelum
meninggal sudah siap secara psikologis dan spiritual.Etik adalah Kesepakatan tentang
praktik moral, keyakinan, sistem nilai standar perilaku individu dan atau kelompok
tentang penilaian terhadap apa yang benar dan apa  yang salah, mana  yang baik  dan mana 
yang buruk, apa yang merupakankejahatan, apa yang dikehendaki dan apa yang
ditolak.Etika Keperawatan adalah Kesepakatan / peraturan tentang penerapan nilaimoral
dan keputusan keputusan yang ditetapkan untuk profesi keperawatan (Wikipedia,2008).
Etik atau ethics berasal dari bahasa yunani yaitu ethos, yang artinya ada, kebiasaan,
perilaku, atau karakter. Sedangkan menurut kamus Webster, etik adalah suatu ilmu yang
mempelajari tentang apa yang baik secara moral. Dari pengertian di atas, etika adalah ilmu
tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana sepatutnya manusia hidup didalam
masyarakat yang menyangkut aturan – aturan atau prinsip – prinsip yang menentukan
tingkah laku yang benar, yaitu : baik dan buruk dan kewajiban dan tanggung jawab. Dalam
memberikan perawatan pelayanan pada individu, keluarga atau komunitas perawat sangat
memerlukan etika keperawatan yang merupakan filsafat yang mengarahkan tanggung
jawab moral yang mendasar terhadap pelaksanaan praktik keperawatan, dimana inti dari
falsafah tersebut adalah hak dan martabat manusia.
2. Prinsip – Prinsip Etik Keperawatan
1) Beneficence (kemurahan hati/berbuat baik) Adalah tanggung jawab untuk melakukan
kebaika yang menguntungkan klien dan menghindari perbuatan yang merugikan atau
membahayakan klien. Prinsip ini sering kali sulit diterapkan dalam praktik keperawatan.
Perawat diwajibkan untuk melaksanakan tindakan yang bermanfaat bagi klien, tetapi
dengan meningkatnya teknologi dalam sistem asuhan kesehatan, dapat juga merupakan
resiko dari suatu tindakan yang membahayakan.
2) Justice (keadilan) Menurut Beauchamp dan Childress adalah mereka yang sederajat
harus diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak sederajat diperlakuan secara tidak
sederajat, sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini berarti bahwa kebutuhan kesehatan
mereka yang sederajat harus menerima sumber pelayanan kesehatan dalam jumlah
sebanding. Ketika seseorang mempunyai kebutuhan kesehatan yang besar maka
menurut prinsip ini, ia harus mendapatkan sumber kesehatan yang besar pula. Kegiatan
alokasi dan distribusi sumber ini memungkinkan dicapainya keadilan dalam pembagian
sumber asuhan kesehatan kepada klien secara adil sesuai kebutuhan.
3) Otonomi Prinsip otonomi menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kebebesan
untuk menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang mereka pilih.
Masalah yang muncul dari penerapan prinsip ini adalah adanya variasi kemampuan
otonomi klien yang dipengaruhi dalam banyak hal seperti : tingkat kesadaran, usia,
penyakit, lingkungan rumah sakit, ekonomi, tersedianya informasi dll.
4) Non – maleficienci (tidak merugikan ) Prinsip ini berati tidak menimbulkan bahya /
cedera fisik dan psikologis pada klien. Prinsip tidak merugikan, bahwa kita berkwaiban
jika melakukan suatu tindakan agar jangan sampai merugikan orang lain.
5) Veracity (kejujuran)
Menurut Veatch dan Fry didefinisikan sebagai menyatakan hal yang sebenarnya dan
tidak bohong. Kejujuran harus dimiliki perawat saat berhubungan dengan klien.
Kejujuran merupakan dasar terbinanya hubungan saling percaya antara perawata –
klien. Perawat sering tidak memberitahukan pada klien yang sakit parah. Namun
penelitian pada klien dalam keadaan terminal menjelaskan bahwa klien ingin diberitahu
tentang kondisinya secara jujur.
6) Fidelity didefinisikan oleh Veatch dan Fry sebagai tanggung jawab untuk tetap setia
pada suatu kesepakatan. Tanggng jawab dalam konteks hubungan perawat – klien
meliputi tanggung menjaga janji, mempertahakan konfidensi, dan memberikan
perhatian atau kepedulian dalam hubungan antar manusia, individu cenderung
menempati janji dan tidak melanggar, kecuali ada alasan demi kebaikan. Pelanggaran
terhdap konfdensi merupakan hal yag serupa, terutama bila pelanggaran terseut
merupakan pilihan tindakan yang lebih baik daripada jika tidak dilanggar. Kesetiaan
perawat terhadap janji janji tersebut mungkin tidak mengurangi penyakit atau mencegah
kematian, tetapi akan mempengaruhi kehidupan klien serta kualitas kehidupannya.
Salah satu cara untuk menerapakan prinsip dalam menepati janji adalah dengan
memasukkan ketaatan dalam tanggung jawab. Untuk mewujudkan hal ini, perawat haru
selektif dalam mempertimbangkan informasi apa yang perlu dijaga konfidensinya dan
mengetahui waktu yang tepat untuk menepati janji sesuai hubungan perawat –klien.
Peduli pada klien merupakan salah satu aspek dari prinsip keperawatan. Peduli pada
klien merupakan komponen paling penting dari praktik keperawatan, terutama pada
klien dalam keadaan terminal. Rasa kepedulian perawat di wujudkan dalam memberi
keperawatan dengan pendekatan individual, bersikap baik pada klien, memberikan
kenyamanan, dan menunjukan kemampuan professional.
7) Confidentality (kerahasiaaan) aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa
informasi tentang pasien harus dijaga privasinya. Apa yang terdapat dalam dokumen
catatan kesehatan pasien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan pasien. Tak ada
satu orang pun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali diijinkan oleh pasien
dengan bukti pesetujuannya.

3. Hal – hal yang harus mendapat perhatian dalam hal etika perawatan paliatif
1) Persetujuan tindakan terapi (informed consent) Semua isi dalam bab ini menganggap
pasien telah memberikan persetujuan tindakan terapi. .Kegagalan untuk mendapatkan
persetujuan adalah risiko klaim malpraktik. Seorang dokter harus memberikan informasi
tentang risiko, keuntungan, dan alternatif untuk pengobatan tertentu dengan cukup detil
sehingga orang yang mampu dapat mengandalkan informasi tersebut untuk mengambil
keputusan. Perawatan paliatif memerlukan perhatian khusus untuk persetujuan karena
adanya taruhan emosional yang tinggi, dan pasien sedang dalam kondisi .yang baik
untuk mendengarkan. Masih terdapat perdebatan etis yang serius di masyarakat tentang
perawatan paliatif pada penyampaian kebenaran pada akhir kéhidupan. 33 Praktisi yang
memilih untuk melindungi pasien dari fakta-fakta yang berat harus meyakinkan dirinya
sendiri bahwa itu adalah keputusan yang matang dan hati-hati.
2) Memberi harapan palsu Tenaga kesehatan seringkali merasa tidak tega untuk
menyampaikan fakta yang sebenarnya kepada penderita dan keluarga sehingga
memberikan harapan yang berlebihan, bahkan harapan palsu. Penderita dan keluarga
berhak untuk mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Akan tetapi, perlu diingat
bahwa dalam menyampaikan berita tersebut, dokter perlu mempertimbangkan keadaan
psikologis penderita. Namun pada prinsipnya dokter tidak berhak menyembunyikan
informasi yang perlu diketahui oleh penderita.
3) Tindakan diskriminatif Prognosis yang buruk untuk penyakit penderita seringkali
dijadikan alasan untuk tidak memberikan pelayanan kesehatan yang baik pada
penderita. Seringkali, haIhal yang sangat ’ mengganggu bagi penderita kanker lanjut
seperti rasa nyeri, tidak terlalu diperhatikan dan pengobatan diberikan dari jarak jauh.
Padahal, kehadiran tenaga kesehatan pada saat-saat ini sangatlah diperlukan untuk
rr‘wemberikan rasa aman bagi penderita.
4) Tidak resusitasi Bila terjadi keadaan yang membutuhkan dokter untuk melakukan
resusitasi, seringkali halangannya adalah kehendak penderita agar dirinya tidak
diresusitasi. Dalam hal ini, sebaiknya masalah resusitasi tidak diputuskan oleh dokter
seorang, tetapi dibicarakan terlebih dahulu dengan penderita dan keluarga.
5) Eutanasia aktif Penyakit kanker stadium lanjut seringkali menyebabkan penderita
mengalami ketidaknyamanan yang amat sangat sehingga penderita menjadi putus asa
dan ingin mengakhiri hidupnya. Penderita akan meminta tenaga kesehatan untuk
mengakhiri hidupnya atau setidaknya mempercepat kematian. Di Indonesia, eutanasia
ini bertentangan dengan etika.
6) Mengakhiri dan menghentikan perawatan sebagai eutanasia pasif Kapan dan bagaimana
berhenti melakukan perawatan kuratif agresif adalah isu etis yang vital. Pertanyaan
etisnya adalah bagaimana untuk mendefinisikan persyaratan yang siapa yang boleh
membuat keputusan untuk menghentikan perawatan dan kapan serta bagaimana
keputusan itu diambil.
7) Dokter memutuskan siapa yang kompeten untuk mengambil keputusan Hanya pasien
yang memiliki. kemampuan untuk mengambil keputusanlah yang dapat memberikan
persetujuan. Kemampuan untuk mengambil keputusan didefinisikan sebagai
"kemampuan individu untuk memahami manfaat yang aignifikan, risiko, dan alternatif
untuk diusulkan kesehatan dan untuk membuat dan mengkomunikasikan keputusan
kesehatan". Dokter memiliki hak dan tanggung jawab untuk menentukan apakah pasien
memiliki kompetensi tersebut. Ini adalah kewajiban hukum dari dokter dan kewajiban
tugas kepada pasien. Dalam praktiknya, etika dan konsultasi kejiwaan dapat membantu
membentuk keputusan, dan terdapat peluang untuk diskusi sensitif dengan anggota
keluarga. Jika anggota keluarga tidak setuju, mereka harus membawa keprihatinan
mereka untuk disahkan oleh hakim pengadilan.
8) Pasien yang kompetenlah yang berhak mengambil keputusan setelah mendapat
informasi yang cukup Orang dewasa yang kompeten memiliki hak yang tak terbatas
untuk menolak perawatan medis dan untuk mengundurkan diri dari perawatan. Pasien
yang kompeten tidak harus sakit parah untuk menolak perawatan. Keputusan tidak harus
masuk akal bagi tim medis atau berada dalam kepentingan terbaik pasien. Keluarga
tidak harus setuju dan, kecuali pasien masih kecil, bahkan tidak memiliki hak hukum
untuk tahu. Dalam beberapa yurisdiksi, terdapat istilah pengecualian untuk "dewasa
remaja" sehingga sejumlah anak di bawah umur bisa mengambil keputusan untuk diri
mereka sendiri. Kewajiban hukum dokter adalah untuk menginformasikan kepada
pasien secara penuh, memastikan bahwa konsekuensi dan risiko telah dipahami, dan
kemudian menghormati instruksi pasien atau merujuk pasien ke dokter lain yang mau
melakukan instruksi pasien.
9) Komgman ponderita dan warisan Tanaga kesehatan seringkali kurang memperhatikan
keinginan pendants yang menghadapi kematian. Penderita seringkali ingun untuk
didampingi oleh keluarga dan penasehat agamanya don ngin dilaksanakan upacara ritual
sesuai dengan agamanya. Same halnya dengan keinginan untuk menulis surat warisan
hendaknya sedapat mungkin dipenuhi.

C. KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF


1. Pengertian Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif adalah adalah kesehatan terpadu yang aktif dan menyeluruh,

dengan pendekatan multidisiplin yang terintregrasi. Tujuannya untuk mengurangi

penderitaan pasien, memperpanjang umurnya,meningkatkan kualitas hidup nya,juga

memberikan support kepada keluarganya. Meski pada akhirnya pasien meninggal, sebelum

meninggal sudah siap secara psikologis dan spiritual. Etik adalah Kesepakatan tentang
praktik moral, keyakinan, sistem nilai,standar perilaku individudan atau kelompok tentang

penilaian terhadap apa yang benar dan apayang salah, mana yang baik dan mana yang

buruk, apa yang merupakankejahatan, apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak.

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup

pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang

dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan

penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial

dan spiritual (sumber referensi WHO, 2002). Etika Keperawatan adalah Kesepakatan /

peraturan tentang penerapan nilai moral dan keputusan keputusan yang ditetapkan untuk

profesi keperawatan (Wikipedia,2008).

2. Dasar Hukum Keperawatan Paliatif

1) Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif. Pasien harus

memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif. Resusitasi/Tidak

resisutasi pada pasien paliatif. Keputusan dilakukan atau tidak dilakukan tindakan

resusitasi dapat dibuat oleh pasien yang kompeten atau oleh Tim perawatan paliatif.

Informasi tentang hal ini sebaiknya telah di informasikan pada saat pasien memasuki

atau memulai perawatan paliatif.

2) Perawatan pasien paliatif di ICU Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU

mengikuti ketentuan umum yang berlaku.

3) Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif yaitu tindakan yang

bersifat kedokteran harus dkerjakan oleh tenaga medis, tetapi dengan pertimbangan

yang mempertimbangkan keselamatan pasien tindakan tindakan tertentu dapat

didelegasikan kepada tenaga kesehatan yang terlatih.


3. Kajian Etik Tentang Perawatan Paliatif

a. Prinsip Dasar Dari Perawatan Paliatif terkait dengan seluruh bidang perawatan mulai

dari medis, perawatan, psikologis sosial, budaya dan spiritual, sehingga secara paliatif

dapat praktis, prinsip dasar perawatan dipersamakan dengan prinsip pada praktek medis

yang baik. Prinsip dasar perawatan paliatif (Rasjidi,2010 ).

1) Sikap peduli terhadap pasien Termasuk sensifitas dan empati. Perlu dipertimbangkan

segala aspek dari penderitaan pasien, bukan hanya masalah kesehatan. Pendekatan

yang dilakukan tidak boleh bersifat menghakimi. Faktor karakteristik, kepandaian,

suku, agama, atau faktor induvidal lainnya tidak boleh mempengaruhi perawatan.

2) Menganggap pasien sebagai seorang individu. Setiap pasien adalah unik, meskipun

memiliki penyakit ataupun gejala-gejala yang sama, namun tidak ada satu pasienpun

yang sama persis dengan pasien lainnya. Keunikan inilah yang harus inilah yang

harus dipertimbangkan dalam merencanakan perawatan paliatif untuk tiap individu.

b. Pertimbangan kebudayaan Faktor etnis, ras, agama, dan factor budaya lainnya bisa jadi

mempengaruhi penderitaan pasien. Perbedaan ini harus diperhatikan dalam perencanaan

perawatan.

c. Persetujuan Persetujuan dari pasien adalah mutlak diperlukan sebelum perawatan

dimulai atau diakhiri. Pasien yang telah diberi informasi dan setuju dengan perawatan

yang akan diberikan akan lebih patuh mengikuti segala usaha perawatan.

d. Memilih tempat dilakukannya perawatan Untuk menentukan tempat perawatan, baik

pasien dan keluarganya harus ikut serta dalam diskusi ini. Pasien dengan penyakit

terminal sebisa mungkin diberi perawatan di rumah.


e. Komunikasi Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien maupun dengan keluarga

adalah hal yang sangat penting dan mendasr dalam pelaksanaan perawatan paliatif.

f. Aspek klinis Perawatan yang sesuai semua perawatan paliatif harus sesuai dengan

stadium dan prognosis dari penyakit yang diderita pasien. Hal ini penting karena karena

pemberian perawatan yang tidak sesuai, baik itu lebih maupun kurang, hanya

penderitaan pasien. Pemberian perawatan yang akan menambah berlebihan beresiko

untuk memberikan harapan palsu kepada pasien. Hal ini berhubungan dengan masalah

etika yang akan dibahas kemudian. Perawatan yang diberikan hanya karena dokter

merasa harus melakukan sesuatu meskipun itu sia sia adalah tidak etis.

g. Perawatan komprehensif dan terkoordinasi dari berbagai bidang profesi perawatan

palitif memberikan perawatan yang bersifat holistik dan intergratif sehingga dibutuhkan

sebuah tim yang mencakup keseluruhan aspek hidup pasien serta koordinasi yang baik

dari masing masing anggota tim tersebut untuk memberikan hasil yang maksimal

kepada pasien dan keluarga.

h. Kualitas perawatan yang sebaik mungkin Perawatan medis secara konsisten,

terkoordinasi dan berkelanjutan. Perawatn medis yang konsisten akan mengurangi

kemungkinan terjadinya perubahan kondisi yang tidak terduga, dimana hal ini akan

sangat mengganggu baik pasien maupun keluarga.

i. Perawatan yang berkelanjutan Pemberian perawatan simtomatis dan suportif dari awal

hingga akhir merupakan dasar tujuan dari parawatan paliatf. Masalah yang sering terjadi

adalah pasien dari satu tempat ketempat lain sehingga sulit untuk dipindahkan

mempertahanka komunitas perawatan.


j. Mencegah terjadinya kegawatan Perawatan paliatif yang baik mencakup perencanaan

teliti untuk mencegah kegawatan fisik dan emosional terjadinya yang mungkin terjadi

dalam perjalanan penyakit. Pasien dan keluarga harus diberitahukan sebelumnya

mengenai masalah yang sering terjadi dan membentuk rencana untuk meminimalisasi

stress fisik dan emosional.

k. Bantuan kepada sang perawat Keluarga pasien dengan penyakit lanjut sering kali rentan

terhadap stress fisik dan emosianal terutama apabila pasien dirawat di rumah sehingga

perlu diberikan perhatian khusus kepada mereka, mengingat keberhasilan dari

perawatan paliatif tergantung dari pemberi perawatan.

l. Pemeriksaan ulang Perlu dilakukan pemeriksaan mengenai kondisi pasien secara terus

menerus mengingat pasien dengan penyakit lanjut.

4. Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif

1) Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif.

a. Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif

melalui komunikasi yang intensif dan berkesinambungan antara tim perawatan

paliatif dengan pasien dan keluarganya.

b. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada dasarnya

dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

c. Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang membutuhkan

informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang

berisiko dilakukan informed consent.

d. Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan pasien sendiri

apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga terdekatnya. Waktu yang
cukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi dengan keluarga

terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten, maka keluarga terdekatnya

melakukannya atas nama pasien.

e. Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau

pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau boleh

atau tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun

(advanced directive). Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang boleh

atau tidak boleh dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nantinya

akan mewakilinya dalam membuat keputusan pada saat ia tidak kompeten.

Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan panduan utama bagi tim

perawatan paliatif.

f. Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif dapat

melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapat diberikan pada

kesempatan pertama.

2) Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif

a. Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat oleh

pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif.

b. Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien memasuki

atau memulai perawatan paliatif.

c. Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi, sepanjang

informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah dipahaminya.

Keputusan tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau

dalam informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya.


d. Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak resusitasi,

kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun demikian, dalam

keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan patut, permintaan

tertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan penetapan

pengadilan untuk pengesahannya.

e. Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi

sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada dalam tahap

terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau

memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.

3) Perawatan pasien paliatif di ICU

a. Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-ketentuan

umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas.

b. Dalam menghadapi tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus mengikuti pedoman

penentuan kematian batang otak dan penghentian peralatan life-supporting.

4) Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif

a. Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh

Pimpinan Rumah Sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di rumah pasien.

b. Pada dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh tenaga medis,

tetapi dengan pertimbangan yang memperhatikan keselamatan pasien tindakan-

tindakan tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medis yang

terlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dipelihara.

5. Lingkup Kegiatan Perawatan Paliatif


Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi :

a. Penatalaksanaan nyeri.

b. Penatalaksanaan keluhan fisik lain.

c. Asuhan keperawatan

d. Dukungan psikologis

e. Dukungan social

f. Dukungan kultural dan spiritual

g. Dukungan persiapan dan selama masa dukacita (bereavement).

D. TEKNIK MENYAMPAIKAN BERITA BURUK DAN PRINSIP KOMUNIKASI


DALAM PERAWATAN PALIATIF
1. Pengertian Berita Buruk
Berita buruk adalah berita (informasi) yang secara drastis dan negatif mengubah

pandangan hidup pasien tentang masa depannya. Berita buruk tersebut dapat menimbulkan

perasaan tanpa harapan pada pasien, ancaman terhadap kesehatan mental dan fisik pasien,

atau resiko mengganggu atau mengacaukan gaya hidup atau keseharian pasien (Wright

dkk, 2013). Berita buruk sering diasosiasikan dengan suatu diagnosis terminal, namun

seorang dokter keluarga mungkin akan menghadapi banyak situasi yang termasuk dalam

bagian berita buruk, seperti hasil USG seorang ibu hamil yang menunjukkan bahwa

janinnya telah meninggal, atau gejala polidispi dan penurunan berat badan seorang remaja

yang terbukti merupakan onset diabetes. Menyampaikan berita buruk pada pasien adalah

salah satu tanggung jawab seorang petugas medis yang harus dikerjakan dalam praktek

pelayanan kesehatan.

Menyampaikan berita buruk merupakan keterampilan komunikasi yang penting dan

menantang. Terdapat kewajiban secara sosial dan moral bagi petugas medis untuk bersikap
sensitif dan tepat dalam menyampaikan berita buruk.Secara medikolegal petugas medis

berkewajiban menyampaikan atau menginformasikan diagnosis yang secara potensial

berakibat fatal. Jika petugas medis tidak menyampaikan dengan tepat, komunikasi tentang

berita buruk akan berakibat pada munculnya perasaan ketidakpercayaan, kemarahan,

ketakutan, kesedihan atau pun rasa bersalah pada diri pasien. Hal-hal tersebut dapat

berefek konsekuensi emosional jangka panjang pada keluarga pasien.Terdapat hubungan

yang kuat antara persepsi pasien yang menerima informasi adekuat tentang penyakit dan

pengobatannya dengan penyesuaian psikologis pasien dalam jangka waktu yang lebih

lama. Pasien yang menyadari mereka menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit

informasi mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami stress atau berkembang menjadi

cemas dan atau depresi.

Petugas medis sering merasa kesulitan dalam menyampaikan berita buruk terutama

untuk penyakit yang mengancam jiwa. Alasannya antara lain merasa tidak siap dan tidak

mempunyai pengalaman dalam menyampaikan berita buruk, khawatir berita tersebut akan

membuat stress dan memberi efek negatif pada pasien dan keluarganya, serta akan

mengganggu hubungan terapetik. Petugas medis merasakan bahwa tugas tersebut tidak

menyenangkan dan tidak nyaman; Petugas medis tidak ingin menghilangkan harapan

pasien, khawatir dengan reaksi emosional pasien dan atau keluarganya, atau merasa tidak

yakin bagaimana menghadapi respon emosi yang sangat dalam.Hal-hal tersebut sering

dijadikan alasan dokter untuk menunda menyampaikannya. Padahal hasil penelitian

menunjukkan 50- 90% pasien di Amerika menginginkan mendapatkan informasi yang

lengkap mengenai diagnosis terminal yang mungkin terjadi pada mereka. Mengingat

bahwa menyampaikan berita buruk merupakan salah satu bagian dari komunikasi, maka
dengan mempelajari dan melatih keterampilan berkomunikasi petugas medis akan mampu

menyampaikan berita buruk dengan cara yang dapat mengurangi ketidaknyamanan dan

lebih memuaskan pasien dan keluarganya.

2. Teknik Menyampaikan Berita Buruk


Penelitian pada anggota keluarga pasien yang selamat dari kematian yang traumatik
menunjukkan, bahwa hal terpenting dari penyampaian berita buruk adalah attitude (sikap
dan perilaku) penyampai berita, informasi yang jelas, privasi dan kemampuan penyampai
berita menjawab pertanyaan. Terdapat enam langkah dalam menyampaikan berita buruk:
1) Melakukan persiapan
 Persiapkan diri dengan informasi klinis yang relevan dengan berita yang akan
disampaikan. Idealnya data rekam medis pasien, hasil laboratorium atau pun
pemeriksaan penunjang ada saat percakapan. Persiapkan juga pengetahuan dasar
tentang prognosis atau pun terapi pilihan terkait penyakit pasien.
 Aturlah waktu yang memadai dengan lokasi yang privat dan nyaman. Pastikan bahwa
selama percakapan tidak ada gangguan dari staf medis lain atau pun dering telepon.
 Jika memungkinkan, sebaiknya ada anggota keluarga yang hadir. Perkenalkan diri
pada setiap yang hadir dan tanyakan nama dan hubungan mereka dengan pasien.
 Latihlah mental dan emosi untuk menyampaikan berita buruk. Tulislah kata-kata
spesifik jika perlu, yang akan disampaikan atau yang harus dihindari dalam
penyampaian.

3. Prinsip Komunikasi dalam Perawatan Paliatif


Tiap fase yang di alami oleh pasien kritis mempunyai karakteristik yang berbeda.

Sehingga perawat juga memberikan respon yang berbeda. Dalam berkomunikasi perawat

juga harus memperhatikan pasien tersebut berada di fase mana, sehingga mudah bagi

perawat dalam menyesuaikan fase kehilangan yang di alami pasien.

1) Fase Denial (pengikraran)


Reaksi pertama individu ketika mengalami kehilangan adalah syok. Tidak percaya atau

menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi dengan mengatakan “Tidak, saya tidak

percaya bahwa itu terjadi”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit

kronis, akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada

fase pengikraran dalah letih, lemah, pucat, mual diare, gangguan pernafasan, detak

jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut di

atas cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.

2) Fase Anger (marah)

Fase ini di mulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataan yang terjadinya kehilangan.

Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering di proyeksikan kepada

orang yang ada di sekitarnya, orang-orang tertentu atau di tunjukkan pada dirinya

sendiri. Tidak jarang dia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak

pengobatan, dan menuduh perawat ataupun dokter tidak becus. Respon fisik yang sering

terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan

menggepai.

3) Fase Bargening (tawar menawar)

Apabila individu sudah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia

akan maju pada fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan. Respon ini

sering dinyatakan dengan kata-kata “kalau saja kejadian ini bisa di tunda, maka saya

akan selalu berdoa”, apabila proses berduka ini di alami keluarga, maka pernyataan ini

sering di jumpai “kalau saja yang sakit bukan anak saya”

4) Fase Depression
Individu fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mau

berbicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut atau

dengan ungkapan yang menyatakan keputus asaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik

yang sering di perlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih.

5) Fase acceptance (penerimaan)

Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Fase menerima ini biasanya

dinyatakan dengan kata-kata ini “apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat

sembuh?”. Apabila individu dapat memulai fase-fase tersebut dan masuk pada fase

damai atau penerimaan, maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi

perasaan kehilangannya secara tuntas. Tapi apabila individu tetap berada pada salah satu

fase dan tidak sampai pada fase penerimaan, jika mengalami kehilangan lagi sulit

baginya masuk pada fase penerimaan.

4. Komunikasi pada pasien yang tidak sadar

Komunikasi dengan pasien yang tidak sadar merupakan suatu komunikasi dengan

menggunakan teknik komunikasi khusus/terapeutik dikarenakan fungsi sensorik dan

motorik pasien mengalami penurunan sehingga seringkali stimulus dari luar tidak dapat

diterima klien dan klien tidak dapat merespon kembali stimulus tersebut.

Ada karakteristik komunikasi yang berbeda pada pasien tidak sadar, kita tidak

menemukan feed back (umpan balik), salah satu elemen komunikasi. Ini dikarenakan

pasien tidak dapat merespon kembali apa yang telah kita komunikasikan sebab pasien

sendiri tidak sadar.


Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,

bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Adapun teknik yang

dapat diterapkan, meliputi:

1) Menjelaskan

Dalam berkomunikasi perawat dapat menjelaskan apa yang akan perawat lakukan

terhadap pasien. Penjelasan itu dapat berupa intervensi yang akan dilakukan kepada

pasien. Dengan menjelaskan pesan secara spesifik, kemungkinan untuk dapat dipahami

menjadi lebih besar oleh pasien.

2) Menfokuskan

Menfokuskan berarti memusatkan informasi pada elemen atau konsep kunci dari pesan

yang dikirimkan. Perawat menfokuskan informasi yang akan diberikan pada pasien

untuk menghilangkan ketidak jelasan dalam komunikasi.

3) Memberikan Informasi

Fungsi berkomunikasi dengan pasien salah satunya adalah memberikan informasi.

Informasi itu dapat berupa intervensi yang akan dilakukan maupun kemajuan dari status

kesehatannya, karena dengan keterbukaan yang dilakukan oleh perawat dapat

menumbuhkan kepercayaan pasien dan pendorong untuk menjadi lebih baik.

4) Mempertahankan Ketenangan
Mempertahankan ketenangan pada pasien tidak sadar, perawat dapat menunjukkan
dengan kesabaran dalam merawat pasien. Ketenangan yang perawat berikan dapat
membantu atau mendorong pasien menjadi lebih baik. Ketenangan perawat dapat
ditunjukkan kepada pasien yang tidak sadar dengan komunikasi non verbal. Komunikasi
non verbal dapat berupa sentuhan yang hangat. Sentuhan adalah transmisi pesan tanpa
kata-kata, merupakan salah satu cara yang terkuat bagi seseorang untuk mengirimkan
pesan kepada orang lain. Sentuhan adalah bagian yang penting dari hubungan antara
perawat dan pasien.
Pada dasarnya komunikasi yang akan dilakukan pada pasien yang tidak sadar adalah
komunikasi satu arah. Komunikasi yang hanya dilakukan oleh salah seorang sebagai
pengirim dan diterima oleh penerima dengan adanya saluran untuk komunikasi serta
tanpa feedback pada penerima yang dikarenakan karakteristik dari penerima sendiri,
yaitu pasien tidak sadar.

5. Prinsip-Prinsip Berkomunikasi Dengan Pasien Yang Tidak Sadar

Menurut Pastakyu (2010), pada saat berkomunikasi dengan pasien tidak sadar, hal-

hal berikut perlu diperhatikan yaitu :

a. Berhati-hati melakukan pembicaraan verbal di dekat pasien karena ada keyakinan organ

pendengaran merupakan organ terakhir yang mengalami penurunan peneriman,

rangsangan pada pasien yang tidak sadar. Pasien yang tidak sadar sering kali dapat

mendengar suara dari lingkungan walaupun pasien tidak mampu meresponnya sama

sekali.

b. Ambil asumsi bahwa pasien dapat mendengar pembicaraan perawat. Usahakan

mengucapkan kata dan menggunakaan nada normal dan memperhatikan materi ucapan

yang perawat sampaikan dekat pasien.

c. Ucapkan kata-kata sebelum menyentuh pasien. Sentuhan diyakini dapat menjadi salah

satu bentuk komunikasi yang sangat efektif pada pasien dengan penurunan kesadaran.

d. Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk membantu pasien

fokus terhadap komunikasi yang perawat lakukan.

E. PENGKAJIAN FISIK DAN PSIKOLOGIS PENYAKIT KRONIK


1. Definisi
Definisi penyakit kronis merupakan jenis penyakit kronis degenerative yang

berkembang atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari enam

bulan. Orang yang menderita penyakit kronis cenderung memiliki tingkat kecemasan yang

tinggi dan cenderung mengembangkan perasaan hopelessness dan helpessness karena

berbagai macam pengobatan tidak dapat membantunya sembuh dari penyakit kronis

(Sarafino,2006). Penyakit kronis adalah suatu penyakit yang perjalanan penyakit

berlangsung lama sampai bertahun – tahun, bertambah berat, menetap, dan sering kambuh

(Purwaningsih dan Karbina, 2009).

2. Etiologi Penyakit Kronis

Penyakit kronis dapat diderita oleh semua kelompok usia, tingkat sosial ekonomi,

dan budaya. Penyakit kronis cenderung menyebabkan kerusakan yang bersifat permanen

yang memperlihatkan adanya penurunan atau menghilangnya suatu kemampuan untuk

menjalankan berbagai fungsi terutama musculoskeletal dan organ – organ penginderaan.

Ada banyak factor yang menyebabkan penyakit kronis dapat menjadi masalah kesehatan

yang banyak di temukan hampir di seluruh negara, di antaranya kemajuan dalam bidang

kedokteran modern yang telah mengarah pada menurunnya angka kematian dari penyakit

infeksi dan kondisi serius lainnya, nutrisi yang membaik dan peraturan yang mengatur

keselamatan di tempat kerja yang telah memungkinkan orang hidup lebih lama dan gaya

hidup yang berkaitan dengan masyarakat modern yang telah meningkatkan insiden

penyakit kronis (Smeltzer & Bare, 2010).


Selain itu terdapat juga faktor-faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya

Diabetes Melitus faktor tersebut ada yang bisa diubah dan tidak dapat diubah, Faktor

resiko yang tidak dapat diubah yaitu:

1) Faktor Genetik Penyakit Diabetes Melitus dapat diturunkan oleh orangtua kepada anak.

Penyebabnya yaitu Gen orangtua akan dibawa oleh anak pada saat anak masih didalam

kandungan, pewarisan ini dapat berlanjut sampai sampai kecucunya bahkan bisa sampai

cicit walaupun resikonya sangat kecil (Kekenusa, 2013).

2) Usia Menurut Hardianah (2012), Diabetes Melitus mengalami peningkatan pada usia

muda dikarenakan meningkatnya kejadian obesitas pada usia muda.

3) Gender Meskipun sampai saat ini belum ditemukan prevalensi Diabetes Melitus pada

wanita dan pria, namun berbagai study menyatakan bahwa ada perbedaan prevelensi

antara jenis kelamin tersebut, study yang dilakukan pencegahan dan 9 pengendalian

penyakit 2012, menunjukan peningkatan kejadian Diabetes Melitus pada wanita sebasar

4,8%, dan 3,2% pada pria (Hotma,2014)

4) Diabetes Melitus Gestasiaonal Adalah suatu kondisi intoleransi terhadap glukosa yang

ditemukan pada ibu hamil dengan gangguan toleransi glukosa. Berkembangnya GDM

pada masa kehamilan menjadi faktor resiko penyebab Diabetes Melitus (Damayanti,

2015).

3. Klasifikasi

Diabetes Melitus dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

1) Diabetes Melitus tipe 1 (Diabetes tergantung pada insulin) Diabetes Melitus tipe 1

terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas sehingga tubuh mengalami kekurangan

insulin, sehingga penderita Diabetes tipe 1 akan ketergantungan insuli seumur hidup,
Diabetes Melitus tipe 1 disebabkan oleh faktor genetik (keturunan) faktor imunologik

dan faktor lingkungan (Hardianah, 2013).

2) Diabetes Melitus tipe tipe 2 (Diabetes Melitus tidak tergantung pada insulin) Diabetes

Melitus tipe 2 ini disebabkan insulin yang berada didalam tubuh tidak bekerja dengan

baik, bisa meningkat bahkan menurun , Diabetes tipe ini umum terjadi dikarenakan oleh

faktor resikonya yaitu malas olahraga dan obesitas, faktor yang mempengaruhi Diabetes

yaitu riwayat keluarga obesitas, gaya hidup dan usia yang lebih 65 tahun memiliki

resiko tinggi (Muhlisin, 2015).

4. Patofisiologi Penyakit Kronis

Menurut Smeltzer & Bare (2010) ada Sembilan fase dalam penyakit kronis, yaitu

sebagai berikut :

1) Fase pra – trajectory adalah resiko terhadap penyakit kronis karena faktor – faktor

genetic atau perilaku yang meningkatkan ketahanan seseorang terhadap penyakit kronis.

2) Fase trajectory adalah adanya gejala yang berkaitan dengan penyakit kronis. Fase ini

sering tidak jelas karena sedang dievaluasi dan sering dilakukan pemeriksaan

diagnostik.

3) Fase stabil adalah tahap yang terjadi ketika gejala – gejala dan perjalanan penyakit

terkontrol. Aktivitas kehidupan sehari – hari tertangani dalam keterbatasan penyakit.

4) Fase tidak stabil adalah periode ketidakmampuan untuk menjaga gejala tetap terkontrol

atau reaktivasi penyakit. Terdapat gangguan dalam melakukan aktivitas sehari – hari.

5) Fase akut adalah fase yang di tandai dengan gejala – gejala yang berat dan tidak dapat

pulih atau komplikasi yang membutuhkan perawatan dirumah sakit untuk

penanganannya.
6) Fase kritis merupakan fase yang ditandai dengan situasi kritis atau mengancam jiwa

yang membutuhkan pengobatan atau perawatan kedaruratan.

7) Fase pulih adalah keadaan pulih kembali pada cara hidup yang diterima dalam batasan

yang dibebani oleh penyakit kronis.

8) Fase penurunan adalah kejadian yang terjadi ketika perjalanan penyakit berkembang

disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan dalam mengatasi gejala –

gejala.

9) Fase kematian adalah tahap terakhir yang ditandai dengan penurunan bertahap atau

cepat fungsi tubuh dan penghentian hubungan individual.

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi Klinis utama DM berupa:

1) Kadar gula darah meningkat Dikarenakan kerusakan sel betha pankreas yang

mengakibatkan insulin tidak dapat diproduksi dengan demikian gula darah tidak dapat

masuk dalam sel sehingga terjadi penumpukan gula darah atau disebut juga dengan

Hiperglikemia (Semiardji, 2012).

2) Poliuria Disebut juga dengan kencing yang berlebihan disebabkan karena kadar gula

darah tidat dapat masuk dalam sel dan terjadi penumpukan gula dalam darah

(Hiperglikemia) maka ginjal akan bekerja untuk menskresi glukosa kedalam urin yang

mengakibatkan dieresis osmotik yang memicu gangguan sering berkemih (Laniwati,

2012).

3) Polifagia (Makan yang berlebihan) Pada Saat berkemih kalori yang berada dipembuluh

darah akan ikut hilang terbawa air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan,
untuk mengkompensasi hal ini penderita sering merasa lapar yang luar biasa (Perkeni,

2015).

4) Polidipsia (peningkatan rasa haus) Disebabkan jumlah urin yang sangat besar dan

keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi extrasel. intrasel mengikuti dehidrasi

extrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradient

konsentrasi keplasma yang hipertonik (sangat pekat).

6. Pengkajian Psikologis

Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup aspek

psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan yang dinamis

antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain.

Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko mengacu pada aspek

psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada

hubungan eksternal individu dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas

Psikologi UI). Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-

faktor psikologis (Chaplin, 2011).

Tingkat kecemasan adalah Perasaan yang tidak menyenangkan atau tidak menentu

dari individu yang menderita diabetes melitus atau keluarga dimana penyebabnya tidak

pasti/ tidak ada objek yang nyata dengan kriteria objektif : (HARS) menurut Hamilton

Anxiety Rating Scale, Penentuan derajat dengan cara menjumlah skor dan item 1-14

dengan hasil :(1) kecemasan, (2) ketegangan, (3) Rasa takut, (4) Insomnia, (5) Kesulitan

dalam berkonsentrasi dan mengingat, (6) Suasana hati Depresi, (7) Gejala- gejala somatik

umum (Gejala-gejala Muscular), (8) Gejala-gejala somatic umum (Sensorik), (9) Gejala-

gejala Kardiovaskuler, (10) Gejala-gejala 44 pernafasan, (11) Gejala-gejala


Gastrointestinal, (12) Gejala-gejala Genitourinarius, (13) Gejala-gejala otonom, (14)

Perilaku wawancara. 1. Cemas ringan : 14 – 17 2. Cemas sedang : 18 – 24 3. Cemas berat :

25 – 30 ( sumber : McDowell, 2006) Panduan untuk pemberian skor dari pernyataan 0 =

Tidak ada gejala sama sekali 1 = Ringan : kurang dari separuh gejala yang ada 2 = sedang :

separuh dari gejala yang ada 3 = Berat : lebih dari separuh gejala yang ada 4 = sangat berat

: semua gejala yang ada ( Mc.Dowell, 2006).

7. Konsep Asuhan Keperawatan Penyakit kronis

Asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit kronik meliputi proses

keperawatan dari pengkajian, diagnosa dan perencanaan (Purwaningsih dan Kartina,2009).

1. Pengkajian

Pada proses keperawatan pengkajian dilakukan terhadap klien, keluarga, dan

lingkungan.

 Pengkajian terhadap klien

Hal – hal yang perlu dikaji adalah :

1) Respon emosi klien terhadap diagnose

2) Kemampuan mengekpresikan perasaan sedih terhadap situasi.

3) Upaya klien dalam mengatasi situasi

4) Kemampuan dalam mengambil dan memilih pengobatan

5) Persepsi dan harapan klien

6) Kemampuan mengingat masa lalu

 Pengkajian keluarga

Hal – hal yang perlu dikaji :

1) Respon keluarga terhadap klien


2) Ekspresi emosi keluarga dan toleransinya

3) Kemampuan dan kekuatan keluarga yang diketahui

4) Kapasitas dan sistem pendukung yang ada

5) Pengertian oleh pasangan sehubungan dengan gangguan fungsional

6) Identifikasi keluarga terhadap perasaan sedih

 Pengkajian Lingkungan

1) Sumber daya yang ada

2) Stigma masyarakat terhadap keadaan normal dan penyakit

3) Kesediaan untuk membantu memenuhi kebutuhan

4) Ketersediaan fasilitas partisipasi dalam asuhan keperawatan kesempatan kerja.

2. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa keperawatan yang ditimbulkan dari proses pengkajian klien dengan

penyakit kronis adalah (Purwaningsih dan Kartina, 2009).

1) Respon pengingkaran yang tidak kuat berhubungan dengan kehilangan dan

perubahan

2) Kecemasan yang meningkat berhubungan dengan ketidakmampuan mengepresikan

perasaan

3) Gangguan konsep diri berhubungan dengan dampak penyakit yang dialami

4) Resiko tinggi terjadinya gangguan integritas kulit

3. Perencanaan
Tujuan dan intervensi yang dilakukan terhadap pasien dengan penyakit kronik adalah

(Purwaningsih dan Kartina, 2009).

1) Klien dapat mengidentifikasi respon pengingkaran terhadap kenyataan

2) Klien dapat mengidentifikasi perasaan cemas

3) Klien mau membina hubungan dengan keluarga dan petugas

4) Klien dapat menerima realita atau keadaan dirinya saat ini

5) Klien tidak mengalami gangguan integritas kulit

4. a. Intervensi terhadap klien

1) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan cemas, marah

frustasi, dan depresi

2) Bantu klien untuk menggunakan koping yang konstruktif

3) Berikan informasi yang benar dan jujur

4) Bantu klien untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

5) Berikan penjelasan perubahan organ tubuh yang dialami terhadap penyakitnya

6) Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman

b. Intervensi terhadap keluarga

1) Bantu keluarga untuk mengidentifikasi kekuatannya

2) Beri informasi tentang klien dan keluarga secara jelas

3) Bantu keluarga untuk mengenali kebutuhan klien

4) Brikan motivasi pada keluarga untuk memberikan pertahian terhadap klien

5) Berikan informasi tentang penyakit yang jelas

6) Berikan motivasi pada lingkungan untuk membantu klien dalam proses

penyembuhan
7) Upayakan fasilitas kesehatan yang memadai sesuai kondisi

F. PATOFISIOLOGI DAN ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT KRONIK


1. Pengertian
Definisi Penyakit Kronis Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degeneratif

yang berkembang atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari

enam bulan. Orang yang menderita penyakit kronis cenderung memiliki tingkat kecemasan

yang tinggi dan cenderung mengembangkan perasaan hopelessness dan helplessness

karena berbagai macam pengobatan tidak dapat membantunya sembuh dari penyakit kronis

(Sarafino, 2006). Rasa sakit yang diderita akan mengganggu aktivitasnya sehari-hari,

tujuan dalam hidup, dan kualitas tidurnya (Affleck et al. dalam Sarafino, 2006).

Penyakit kronik adalah suatu penyakit yang perjalanan penyakit berlangsung lama

sampai bertahun-tahun,bertambah berat,menetap,dan sering kambuh. (Purwaningsih dan

Karbina, 2009). Penyakit kronis bisa menyebabkan kematian. Contoh penyakit kronis

adalah diabetes militus, TBC, kanker dan penyakit jantung.

2. Etiologi Penyakit Kronis

Penyakit kronis dapat diderita oleh semua kelompok usia, tingkat sosial ekonomi,

dan budaya. Penyakit kronis cenderung menyebabkan kerusakan yang bersifat permanen

yang memperlihatkan adanya penurunan atau menghilangnya suatu kemampuan untuk

menjalankan berbagai fungsi, terutama muskuloskletal dan organ-organ pengindraan. Ada

banyak faktor yang menyebabkan penyakit kronis dapat menjadi masalah kesehatan yang

banyak ditemukan hampir di seluruh negara, di antaranya kemajuan dalam bidang

kedokteran modern yang telah mengarah pada menurunnya angka kematian dari penyakit

infeksi dan kondisi serius lainnya, nutrisi yang membaik dan peraturan yang mengatur
keselamatan di tempat kerja yang telah memungkinkan orang hidup lebih lama, dan gaya

hidup yang berkaitan dengan masyarakat modern yang telah meningkatkan insiden

penyakit kronis (Smeltzer & Bare, 2010).

3. Patofisiologi Penyakit Kronis

Menurut Smeltzer & Bare (2010), ada sembilan fase dalam penyakit kronis, yaitu

sebagai berikut.

1) Fase pra-trajectory adalah risiko terhadap penyakit kronis karena faktor-faktor genetik

atau perilaku yang meningkatkan ketahanan seseorang terhadap penyakit kronis.

2) Fase trajectory adalah adanya gejala yang berkaitan dengan penyakit kronis. Fase ini

sering tidak jelas karena sedang dievaluasi dan sering dilakukan pemeriksaan

diagnostik.

3) Fase stabil adalah tahap yang terjadi ketika gejala-gejala dan perjalanan penyakit

terkontrol. Aktivitas kehidupan sehari-hari tertangani dalam keterbatasan penyakit.

4) Fase tidak stabil adalah periode ketidakmampuan untuk menjaga gejala tetap terkontrol

atau reaktivasi penyakit. Terdapat gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

5) Fase akut adalah fase yang ditandai dengan gejala-gejala yang berat dan tidak dapat

pulih atau komplikasi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit untuk

penanganannya.

6) Fase krisis merupakan fase yang ditandai dengan situasi kritis atau mengancam jiwa

yang membutuhkan pengobatan atau perawatan kedaruratan.

7) Fase pulih adalah keadaan pulih kembali pada cara hidup yang diterima dalam batasan

yang dibebani oleh penyakit kronis.


8) Fase penurunan adalah kejadian yang terjadi ketika perjalanan penyakit berkembang

disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan dalam mengatasi gejala-

gejala.

9) Fase kematian adalah tahap terakhir yang ditandai dengan penurunan bertahap atau

cepat fungsi tubuh dan penghentian hubungan individual.

4. Tanda dan Gejala


Karakteristik penyakit kronis adalah penyebabnya yang tidak pasti, memiliki faktor

risiko yang multiple, membutuhkan durasi yang lama, menyebabkan kerusakan fungsi atau

ketidakmampuan, dan tidak dapat disembuhkan secara sempurna (Smeltzer & Bare, 2010).

Tanda-tanda lain penyakit kronis adalah batuk dan demam yang berlangsung lama,

sakit pada bagian tubuh yang berbeda, diare berkepanjangan, kesulitan dalam buang air

kecil, dan warna kulit abnormal (Heru, 2007).

5. Konsep Asuhan Keperawatan Penyakit Kronik

Asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit kronis meliputi proses


keperawatan dari pengkajian, diagnosa dan perencanaan (Purwaningsih dan kartina,
2009) :
1)  Pengkajian
Pada proses keperawatan pengkajian dilakukan terhadap klien, keluarga, dan
lingkungan.
 Pengkajian terhadap klien
Hal-hal yang perlu dikaji adalah :
a. Respon emosi klien terhadap diagnose
b. Kemampuan mengekspresikan perasaan sedih terhadap situasi
c. Upaya klien dalam mengatasi situasi
d. Kemampuan dalam mengambil dan memilih pengobatan
e. Persepsi dan harapan klien
f. Kemampuan mengingat masa lalu

 Pengkajian keluarga
Hal-hal yang perlu dikaji adalah :
a. Respon keluarga terhadap klien
b. Ekspresi emosi keluarga dan toleransinya
c. Kemampuan dan kekuatan keluarga yang diketahui
d. Kapasitas dan system pendukung yang ada
e. Pengertian oleh pasangan sehubungan dengan gangguan fungsional
f. Identifikasi keluarga terhadap perasaan sedih akibat kehilangan dan
perubahan    yang terjadi

 Pengkajian lingkungan
a. Sumber daya yang ada
b. Stigma masyarakat terhadap keadaan normal dan penyakit
c. Kesediaan untuk membantu memenuhi kebutuhan
d. Ketersediaan fasilitas partisifasi dalam asuhan keperawatan kesempatan kerja

2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang ditimbulkan dari proses pengkajian klien dengan
penyakit kronis adalah (Purwaningsih dan kartina, 2009) :
a. Respon pengingkaran yang tidak kuat berhubungan dengan kehilangan dan
perubahan
b. Kecemasan yang meningkat berhubungan dengan ketidakmampuan mengekspresikan
perasaan
c. Gangguan konsep diri berhubungan dengan dampak penyakit yang dialami
d. Resiko tinggi terjadinya gangguan identitas berhubungan dengan adanya hambatan
dalam fungsi seksual

3. Perencanaan
Tujuan dan intervensi yang dilakukan terhadap klien dengan penyakit kronik adalah
(Purwaningsih dan kartina, 2009) :
Tujuan :                         
a. Klien dapat mengidentifikasi respon pengingkaran terhadap kenyataan
b. Klien dapat mengidentifikasi perasaan cemas
c. Klien mau membina hubungan dengan keluarga dan petugas
d. Klien dapat menerima realitas/keadaan dirinya saat ini
e. Klien tidak mengalami gangguan fungsi seksual

4. a. Intervensi terhadap klien :


1)  Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan cemas, marah

frustasi, dan depresi

2) Bantu klien untuk menggunakan koping yang konstruktif

3)  Berikan informasi yang benar dan jujur

4)  Bantu klien untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

5) Beri penjelasan mengenai perubahan fungsi seksual yang dialami terhadap

penyakitnya.

6)  Ciptakan lingkungan yang mendukung penyembuhan

b. Intervensi terhadap keluarga :

1)  Bantu keluarga untuk mengidentifikasi kekuatannya

2)  Beri informasi tentang klien dan keluarga secara jelas

3)  Bantu keluarga untuk mengenali kebutuhan klien

4)  Berikan motivasi pada keluarga untuk memberikan perhatian pada klien

5) Tingkatkan harapan keluarga terhadap keadaan klien

6)  Optimalkan sumber daya yang ada

7)  Beri informasi tentang penyakit yang jelas

8)   Beri motivasi pada lingkungan untuk membantu klien dalam proses penyembuhan

9)  Upayakan fasilitas kesehatan yang memadai sesuai dengan kondisi

G. TINJAUAN SOSIAL DAN BUDAYA TENTANG PERAWATAN PALIATIF


1. Definisi Sosial dan Budaya
Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu

yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan. Sedangkan kebudayaan atau kultur yang
dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala

masyarakat tanpa memandang tingkatannya.

Menurut Andreas Eppink, sosial budaya atau kebudayaan adalah segala sesuatu

atau tata nilai yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang menjadi ciri khas dari

masyarakat tersebut. Sedangkan menurut Burnett, kebudayaan adalah keseluruhan berupa

kesenian, moral, adat istiadat, hukum, pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan olah

pikir dalam bentuk lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat dan

keseluruhan bersifat kompleks. Dari kedua pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa

social budaya memang mengacu pada kehidupan bermasyarakat yang menekankan pada

aspek adat istiadat dan kebiasaan masyarakat itu sendiri.

Green dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari tingkat

kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour cause) dan

faktor di luar perilaku (non-behaviour cause). Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga factor,

yaitu :

1. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,

kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

2. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia

atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya

puskesmas, obat-obatan, air bersih dan sebagainya.

3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas

kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku

masyarakat.

2. Aspek Budaya yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan


1) Persepsi masyarakat terhadap sehat dan sakit.

Masyarakat mempunyai batasan sehat atau sakit yang berbeda dengan konsep sehat dan

sakit versi sistem medis modern (penyakit disebabkan oleh makhluk halus, guna-guna,

dan dosa).

2) Kepercayaan.

Kepercayaan dalam masyarakat sangat dipengaruhi tingkah laku kesehatan, beberapa

pandangan yang berasal dari agama tertentu kadang-kadang memberi pengaruh negatif

terhadap program kesehatan. Sifat fatalistik atau fatalism adalah ajaran atau paham

bahwa manusia dikuasai oleh nasib. Seperti contoh, orang-orang Islam di pedesaan

menganggap bahwa penyakit adalah cobaan dari Tuhan, dan kematian adalah kehendak

Allah. Jadi, sulit menyadarkan masyarakat untuk melakukan pengobatan saat sakit.

3) Pendidikan.

Masih banyaknya penduduk yang berpendidikan rendah, petunjuk-petunjuk kesehatan

sering sulit ditangkap apabila cara menyampaikannya tidak disesuaikan dengan tingkat

pendidikan khayalaknya.

4) Nilai Kebudayaan

Masyarakat Indonesia terdiri dari macam-macam suku bangsa yang mempunyai

perbedaan dalam memberikan nilai pada satu obyek tertentu. Nilai kebudayaan ini

memberikan arti dan arah pada cara hidup, persepsi masyarakat terhadap kebutuhan dan

pilihan mereka untuk bertindak.


3. Tinjauan Sosial dan Budaya Pada Perawatan Paliatif

Indonesia yang terdiri dari beragam etnis tentu memiliki banyak budaya dalam

masyarakatnya. Terkadang, budaya suatu etnis dengan etnis yang lain dapat berbeda jauh.

Hal ini menyebabkan suatu budaya yang positif, dapat dianggap budaya negatif di etnis

lainnya. Sehingga tidaklah mengherankan jika permasalahan kesehatan di Indonesia begitu

kompleksnya.

Sosial budaya sering kali dijadikan petunjuk dan tata cara berperilaku dalam

bermasyarakat, hal ini dapat berdampak positif namun juga dapat berdampak negative.

Disinilah kaitannya dengan kesehatan, ketika suatu tradisi yang telah menjadi warisan

turun temurun dalam sebuah masyarakat namun ternyata tradisi tersebut memiliki dampak

yang negatif bagi derajat kesehatan masyarakatnya. Misalnya, cara masyarakat

memandang tentang konsep sehat dan sakit dan persepsi masyarakat tentang penyebab

terjadinya penyakit disuatu masyarakat akan berbeda-beda tergantung dari kebudayaan

yang ada dalam masyarakat tersebut.

Fitzpatrick (1993) menyampaikan bahwa prinsip penerapan aspek budaya dalam

pelayanan perawatan dapat membantu, menfasilitasi, mengadaptasi serta mengubah pola

gaya hidup atau kesehatan pasien yang bermakna atau menguntungkan, sedangkan

Bastable (2002) mengemukakan bahwa perawat yang kompeten harus peka terhadap

budaya. Menurut Dein (2006) perawatan paliatif harus sensitif terhadap budaya, sehingga

dapat menyadari dan memenuhi kebutuhan pasien. Demikian juga Owens (2004),

mengemukakan tantangan yang dihadapi dalam perawatan paliatif yaitu mengembangkan

praktek penerapan budaya yang kompeten bagi pasien dengan penyakit kanker, penyakit

kronis dan penyakit terminal.


Pemahaman budaya penting untuk perawatan holistik dan individual (Oliviere,

1999). Jika pengetahuan budaya tertentu dapat diandalkan, diterapkan secara peka dan

bertanggung jawab dapat meningkatkan proses pengkajian pasien dari pertanyaan yang

perlu ditanyakan perawat (Hallenbeck, 1996). McNamara (1997) mengemukakan

penggunakan budaya yang sama akan sangat membantu dalam pemberian layanan

kesehatan. Filosofi perawatan paliatif dengan pendekatan budaya dapat memberikan

pelayanan holistik: fisik, psikologis, sosial dan spiritual secara individual (Diver, 2003).

H. TINJAUAN AGAMA TENTANG PERAWATAN PALIATIF DAN MENJELANG


AJAL
1. Spiritualitas
Spiritualitas merupakan suatu kekuatan yang menyatakan intisari seseorang yang

meresap kedalam seluruh kehidupan, serta bermanifestasi pada diri, pemahaman, dan

tindakan seseorang serta keterhubungan dengan diri sendiri, orang lain, alam, dan Tuhan

(Campbell, 2013).

Spiritualitas diyakini sebagai sumber harapan dan kekuatan serta merupakan

kebutuhan dasar bagi setiap individu pada setiap individu. Spiritualias memberi kekuatan

yang dapat menyatukan antara individu, memberi makna pada kehidupan dan

mempererat ikatan antar individu (Gustavita S, 2015). Spiritualitas juga diartikan sebagai

pemahaman dari jawaban untuk tujuan akhir hidup yang dicari oleh seseorang dan

berkaitan dengan makna, hubungan suci atau tersenden yang memimpin dan berkembang

dari ritual keagaman atau bentukan dari komunitas (King & Koenig; Yusuf, et al, 2016).

Sahl bin Abdullah rahimahullah berkata, “Seorang mukmin adalah orang yang senantiasa

merasa diawasi Allah, mengevaluasi dirinya, dan membekali diri untuk menyambut

akhiratnya”.(at-Tahdzib al-Maudhu’I li Hilyat al-Auliyaa’). Spiritualitas berfungsi


sebagai perspektif pendorong yang menyatukan berbagai aspek individual yang mewakili

totalitas keberadaan seseorang (Yusuf, Nihayati, Iswari, & Okviasanti, 2016).

Totalitas spiritualitas seseorang menurut Yusuf et al (2016) akan tampak dalam

domain berikut:

1) Mystery merupakan suatu hal yang dipahami dan menjelaskan tentang kejadian yang akan

terjadi setelah kehidupan ini. Nilai spiritualitas dalam hal ini muncul dari kepercayaan akan

penilaian kualitas perilaku dalam kehidupan untuk kehidupan akhirat. Pemahaman dimana

kehidupan didunia hanya sementara dan kehidupan akhirat akan kekal selamanya.

2) Love atau cinta merupakan bahan bakar dari nilai spiritual yang menjadi sumber dari segala

kehidupan. Cinta termasuk dalam dimensi cinta diri sendiri, cinta untuk orang lain, cinta

kepada Rosulullah dengan kehidupan rohaniah dan cinta kepada seluruh aspek kehidupan.

3) Suffering atau penderitaan terjadi karena berbagai masalah seperti masalah fisik,

mental, emosional dan spiritual.

4) Hope merupakan energi spirit untuk mengantisipasi hal yang akan terjadi kemudian

dan bagaimana cara agar menjadi lebih baik. Ini merupakan makna dari spiritualitas

dan harapan yang positif, spiritual well-being, nilai keagamaan dan perasaan positif

lainnya.

5) Forgiveness atau sikap memaafkan adalah kebutuhan yang mendalam dan hal yang

sangat diharapkan untuk dilaksanakan oleh seseorang. Hal ini memerlukan keyakinan

yang besar bahwa Tuhan Maha Pemaaf.

6) Peace and Peacemaking merupakan cita-cita hidup yang tidak dapat dipisahkan dari

keadilan yang melekat pada diri seseorang dan merupakan pencapaian spiritualitas

yang besar.
7) Grace berkaitan dengan rasa bersyukur atau berterimakasih terhadap kenikmatan dan

segala yang telah diberikan oleh Tuhan. Hal ini merupakan indikator dari keimanan

dan pengakuan atas kebesaran Tuhan.

8) Prayer merupakan bentuk usaha dan permohonan kepada Tuhan untuk memberikan

kebaikan, keberkahan, jalan keluar dari kesulitan dan lain-lain. Berdoa adalah insting

manusia yang terdalam dan bentuk dari ekspresi 12 12 spiritualitas manusia serta

kepercayaan yang tinggi terhadap Tuhan Yang Maha Mengatur semua kehidupan.

Agama dalam spiritualitas dipahami sebagai kepercayaan yang terorganisasi, tersusun,

atau acuan kepercayaan dan praktik ibadah yang menjadi karakteristik spiritual

seseorang. Pasien biasanya memiliki definisi sendiri, baik mengenai spiritualitas

maupun agama (Campbell, 2013).

Karakteristik Spritaulitas meliputi hubungan dengan diri sendiri,hubungan dengan

orang lain/sesame,hubungan dengan Alam,hubungan Dengan Tuhan

Faktor Yang Mempengaruhi Spiritualitas

1. Tahap Perkembangan

2. Keluarga

3. Budaya

4. Agama

5. Pengalaman Hidup

6. Krisis dan Perubahan

7. Terpisah dari ikatan Spiritual

8. Isu Moral Terkait Dengan Terapi

9. ASKEP yang Kurang Sesuai


I. MACAM – MACAM PENYAKIT KRONIK DAN PENYAKIT TERMINAL
1. Pengertian Penyakit Kronik

Penyakit Kronis Penyakit kronis di definisikan sebagai kondisi medis atau masalah

kesehatan yang berkaitan dengan gejala gejala atau kecacatan yang membutuhkan

penatalaksanaan jangka panjang, sebagian dari penatalaksanaan ini mencakup belajar

untuk hidup dengan gejala kecacatan, sementara itu pula ada yang menghadapi segala

bentuk perubahan identitas yang di akibatkan oleh penyakit.

Penyebab Penyakit Kronis Penyakit kronis dapat di derita oleh semua kalangan

maupun kelompok usia, tingkat sosial, ekonomi dan budaya. Kemajuan dalm teknologi

perawatan dan farmakologi telah memperpanjang rentan kehidupan tanpa harus

menyembuhkan penyebab penyakit kronis yang mendasari. Peningkatan dalam metode

skrining dan diagnosa memungkinkan deteksi dini penyakit, sementara kondisi tersebut

masih dapat di obati, dengan demikian juga meningkatkan umur panjang. Meskipun

merupakan penyakit infeksi AIDS merupakan penyakit kronis karna perkembangan dan

penggunaan medikasi baru untuk mengobati infeksi opotunistik.

2. Pengertian Penyakit Terminal

Keadaan Terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada

harapan lagi bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu

penyakit atau suatu kecelakaan. Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif

menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan

spiritual bagi individu (Kubler-Rosa, 1969).

Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan

melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu
(Carpenito, 1999).

J. PATOFISIOLOGIS DAN ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT TERMINAL


1. Asuhan Keperawatan Penyakit Terminal
1) Pengkajian pada penyakit terminal

a. Riwayat kesehatan sekarang

Riwayat ini berisikan mengenai penyakit yang sedang diderita klien saat ini.

b. Riwayat kesehatan dahulu

Berisikan mengenai keadaan pasien di masa lalu, apakah sudah pernah opname di

rumah sakit untuk penyakit yang sama.

c. Riwayat kesehatan keluarga pasien

Riwayat ini berisikan data apakah anggota keluarga sudah pernah menderita penyakit

yang sama dengan yang klien alami saat ini.

2) Prinsip dan konsep dalam etika keperawatan, budaya, norma dalam mengkaji pasien

terminal. Beberapa perubahan fisik yang mungkin terjadi saat menjelang kematian :

a. Pasien cenderung kurang respon terhadap keadaan

b. Melambatnya fungsi tubuh

c. Pasien tidak sengaja mulai berkemih atau defekasi

d. Jatuhnya rahang pasien

e. Pernafasan pasien mulai terdengar dangkal dan tidak teratur

f. Peredaran darah mulai terasa perlambatannya, dan teraba dingin pada bagian

ekstremitas, nadi semakin lemah namun cepat.

g. Warna pucat pada kulit

h. Mata membelalak serta mulai menunjukkan respon terhadap rangsangan cahaya.


3) Kesadaran pasien terminal. Strause et all dalam Milia dan Wijayanti (2018),

mengkategorikan kesadaran ini dalam 3 kategori :

a. Closed Awareness/ tidak mengerti.

Dalam keadaan ini, biasanya dokter lebih memilih menyampaikan prognose dan

diagnosa pada keluaga atau klien. Namun, beda untuk perawat, hal ini akan sangat

menyulitkan lantaran perawat berkontak dengan pasien lebih dekat daripada dokter,

dan acapkali ditanya oleh pasien terkait hal tersebut. Perawat kerap disodorkan

berbagai pertanyaan seperti kapan pasien akan sembuh, atau kapan bisa pulang, dsb.

b. Matual Pretense/ kesadaran/pengertian yang ditutupi.

Dalam keadaan ini, bisa dikatakan klien diberikan kesempatan agar bisa membuat

keputusan tentang semua hal yang sifatnya pribadi meskipun ini menjadi hal yang

berat baginya.

c. Open Awareness/ sadar akan keadaan dan terbuka.

Dalam tahap ini, pasien dan orang di sekitarnya sudah tahu bahwa ajal sudah

menjelang bagi pasien, dan mereka berusaha untuk menerima serta

mendiskusikannya walaupun tetap merasa getir (Milia & Wijayanti, 2018).

2. Perumusan Diagnosa
Masalah keperawatan pada pasien yang menderita penyakit terminal bisa muncul

secara bersamaan. Perumusan diagnosa pada pasien terminal mengacu pada hasil

pengkajian. Berikut ini kondisi yang sering terjadi pada pasien terminal,namun tidak

menutup kemungkinan masalah lain yang mungkin muncul. Masalah ini yang sering

terjadi menurut Potter et all yaitu :


a. Nyeri dapat bersifat akut atau kronis. Bila nyeri akibat kanker progesif biasanya

kronis dan konstan. Setiap sumber iritasi dapat menyebabkan peningkatan nyeri.

b. Nutrisi tidak adekuat karena penurunan nafsu makan atau akibat gangguan

pencernaan.

c. Gangguan pada sistem pencernaan

d. Keletihan terjadi karena tuntunan metabolik kanker sehingga menurunkan kekuatan

otot.

e. Dehidrasi bisa terjadi sejalan dengan perkembangan penyakit, hal ini disebabkan

karena pasien tidak mampu mempertahankan asupan cairan. Atau terjadi akibat

obstruksi saluran pencernaan.

f. Inkontinensia urin, terjadi akibat komplikasi penyakit kanker yang sudah metastase

ke medulla spinalis. Bisa terjadi juga pada pasien terminal yang sudah mengalami

penurunan kesadaran.

g. Ansietas/kecemasan/ketakutan individu atau keluarga yang diperkirakan bisa

berhubungan dengan situasi yang tidak dikenali, atau merasa takut dengan kematian

dan efek negatif pada gaya hidup.

h. Pola pernafasan tidak efektif, hal ini bisa muncul pada sebgian pasien dengan kasus

kanker paru terminal atau akibat penyakit lain yang mengakibatkan odema paru, serta

penyakit paru obstruktif menahun. Atau dipicu adanya penurunan Hb sehingga

kapasitas oksigen dalam paru menurun.

i. Duka yang berhubungan dengan penyakit terminal yang dihadapi, terlebih menjelang

kematian, penurunan fungsi, konsep diri yang berubah dan berusaha menarik diri dari

orang lain.
j. Perubahan proses keluarga yang berkaitan dengan gangguan kehidupan dalam

keluarga, merasa takut dengan hasik kematian, ditambah dengan lingkungan tempat

perawatan yang penuh dengan stress (Potter, Perry, Stockert & Hall, 2021).

3. Perencanaan Keperawatan

Perencanaan keperawatan sebagai intervensi yang harus diberikan pasien dengan

penyakit terminal, perlu memperhatikan tindakan tanpa kolaborasi (tindakan mandiri

perawat) serta tindakan kolaboratif.

1) Pemberian analgesik narkotik (kolaborasi) dengan jadwal yang teratur untuk

mengatasi nyeri kanker.

2) Manajemen nyeri non farmakologik juga bisa diberikan untuk pasien terminal

dengan nyeri pada ambang batas sedang berat (skala 6-7) dengan teknik nafas dalam

relaksasi, distraksi (pengalihan perhatian), masagge (stimutor syaraf perifer) untuk

memberikan peredaan pada nyeri.

3) Perlu diberikan perawatan kulit untuk meminimalkan paparan terhadap iritan, yaitu :

perawatan kulit termasuk memandikan setiap pagi sore, pemberian lotion supaya

kulit tidak kering, pengaturan posisi tidur, penggantian linen dan penataan linen

dengan rapi.

4) Berikan perawatn mulut yang sering, durasi 2-4 jam sekali untuk menekan sensasi

mual, dengan menggunakan sikat gigi yang lembut. Bibir dipertahankan lembab

diolekskan dengan madu.

5) Bersihkan mata untuk mempertahankan kebersihan.

6) Diskusikan dengan tim lain (medis,nutrisionis) tentang pengobatan dan diet tertentu

untuk mengatasi perubahan pengobatan dengan efek mual dan muntah serta efek
diare/konstipasi.

7) Beri pasien periode istirahatn yang cukup untuk mengatasi keletihan dengan

ruangan yang nyaman dan tenang. Hal ini berhubungan dengan usaha penghematan

energi pasien terminal.

8) Bila pasien mengalami inkontinensia urin, perawat harus siap dengan linen yang

mudah meresap,antisipasi gesekan dengan kulit karena memudahkan iritasi kulit,

serta menyiapkan untuk pemasangan kateter jika memungkinkan.

9) Posisikan tidur pasien yang bisa meningkatkan pola nafas menjadi efektif, serta

sediakan oksigen yang cukup.

10) Batasi pengunjung yang menyebabkan pasien letih.

11) Berikan bimbingan dan konseling pada pasien terminal

4. Implementasi
1) Ansietas / ketakutan (individu, keluarga) yang berhubungan dengan situasi yang tak

dikenal. Sifat kondisi yang tak dapat diperkirakan, takut akan kematian dan efek

negatif pada gaya hidup.

a. Berikan kepastian dan kenyamanan

b. Tunjukkan perasaan tentang pemahaman dan empati, jangan menghindari

pertanyaan.

c. Doronglah pasien untuk mau menjelaskan tiap ketakutan serta permasalahan yang

berhubungan dengan proses pengobatannya.

d. Mengidentifikasi dan mendukung mekanisme koping efektif klien yang

mengalami kecemasan.
e. Memberikan dorongan pada keluarga dan teman untuk dapat mengungkapkan apa

yang mereka takutkan. Pengungkapan ini memungkinkan keluarga dan teman

untuk saling berbagi dan memberikan kesempatan bagi keduanya untuk

memperbaiki konsep yang tidak benar.

2) Klien yang berduka karena penyakit terminal,kematian, dan penurunan fungsi karena

sakit terminal.

a. Memberikan kesempatan pada klien serta keluarga untuk mengungkapkan apa

yang mereka rasakan,mendiskusikan kehilangan secara terbuka, menggali makna

pribadi dari kehilangan.

b. Memberika dorongan dengan menerapkan strategi koping positif. Strategi koping

positif dapat membantu penerimaan dan pemecahan masalah bagi pasien dan

keluarga.

c. Membantu klien untuk bisa mengatakan dan menerima kematian yang akan

terjadi,berupaya menjawab pertanyaan dengan sejujur mungkin

d. Tingkatkan harapan pasien dan keluarga dengan perawatan yang penuh perhatian,

menghilangkan ketidaknyamanan bagi pasien dan keluarga dan memberikan

dukugan yang sesuai.

5. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif adalah pendekatan dengan tujuan memperbaiki kualitas hidup

dengan tujuan memperbaiki kualitas hidup pasien serta keluarga yang tengah

menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit yang mengancam nyawa.

Prinsip perawatan paliatif:

1) Menghargai setiap detail kehidupan


2) Menganggap kematian adalah keniscayaan dan termasuk proses yang normal.

3) Menghargai keinginan pasien untuk mengambil keputusan bagi dirinya dan

kehidupannya.

4) Meminimalisir nyeri dan keluhan lain yang mengganggu

5) Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien bisa tetap aktif sesuai dengan

kondisinya sampai akhir hayat.

6) Memberikan dukungan kepada keluarga dalam fase berduka.

6. Evaluasi Asuhan Keperawatan Pasien Terminal

Semua perawatan paliatif yang dilakukan bisa dievaluasi dengan memperhatikan

beberapa hal berikut :

1) Klien merasakan kenyamanan dan bisa mengekspresikan perasaannya pada perawat

2) Klien tidak merasa sedih dan siap menerima kenyataan terkait keadaannya

3) Klien selalu ingat kepada Tuhannya

4) Klien sadar bahwa setiap apa yang diciptakan akan kembali kepada Tuhan YME.

K. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERMINAL


1. Pengertian Penyakit Terminal
Keadaan Terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada

harapan lagi bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu

penyakit atau suatu kecelakaan. Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif

menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan

spiritual bagi individu (Kubler-Rosa, 1969).

Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan

melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu
(Carpenito, 1999).

2. Jenis Penyakit Terminal Beberapa

jenis penyakit terminal

b. Penyakit-penyakit kanker.

c. Penyakit-penyakit infeksi.

d. Congestif Renal Falure (CRF).

e. Stroke Multiple Sklerosis.

f. Akibat kecelakaan fatal.

g. AIDS.

3.Tanda-tanda Meninggal secara klinis Secara tradisional.

Tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-perubahan nadi,

respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan

beberapa petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu:

1) Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.

2) Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.

3) Tidak ada reflek.

4) Gambaran mendatar pada EKG.

4. Macam Tingkat Kesadaran atau Pengertian Pasien dan Keluarganya Terhadap

Kematian.
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type:

1) Closed Awareness/Tidak Mengerti.

Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan

tentang diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal

ini sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan

keluarganya. Perawat sering kal dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung,

kapan sembuh, kapan pulang, dan sebagainya.

2) Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.

Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala

sesuatu yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.

3) Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka.

Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal

yang menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir.

Keadaan ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam

merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal

tersebut.

5. Bantuan yang Dapat Diberikan Saat Tahap Berduka

Bantuan terpenting berupa emosional.


1) Pada Fase Denial

Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara

mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat mengekspresikan


perasaan- perasaannya.

2) Pada Fase Marah

Biasansya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang

marah. Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih me rupakan hal yang

normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan lebih baik bila

kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat dipercaya, memberikan

ras aman dan akan menerima kemarahan tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga

membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman.

3) Pada Fase Menawar

Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong

pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut yang

tidak masuk akal.

4) Pada Fase Depresi

Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang

dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu

duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari

pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.

5) Pada Fase Penerimaan


Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan

teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya dan

perlu dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu untuk

menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.


L. MANAJEMEN NYERI PADA PASIEN TERMINAL
1. Pengertian Penyakit Terminal

Penyakit terminal adalah penyakit yang secara medis kedokteran tidak bias

disembuhkan lagi, dan penyakit ini terjadi pada stadium lanjut. Dalam hal ini, orientasi

pelayanan yang diberikan pada pasien tidak hanya penyembuhan saja, namun juga

perawatan yang membuat pasien bisa mencapai kualitas hidup terbaik bagi dirinya dan

keluarga. Kematian merupakan tahap paling akhir dalam kehidupan. Kematian bias saja

datang tanpa peringatan secara tiba-tiba, atau bisa mengikuti fase sakit yang sudah

panjang. Meski demikian, kematian tidak memandang usia seseorang. Tua maupun muda,

dari bayi hingga manula, semua bisa saja mengalami kematian. Kondisi terminal

merupakan keadaan sakit dimana tidak ada lagi harapan bagi pasien untuk bisa sembuh

menurut akal sehat. Keadaan seperti ini bisa diakibatkan oleh penyakit tertentu atau

mengalami kecelakaan.

Tahap-tahap Berduka Kubler Ross telah menggambarkan atau membagi tahap-

tahap menghadapi ajal dalam 7 tahap, yaitu :

1) Tahap Shock atau Tidak Percaya


Tahap ini merupakan reaksi pertama ketika mendengar pernyataan yang tidak

menyenangkan, atau dalam hal ini adalah diagnosa terminal yang dialami. Ketika

berada di tahap ini, kebanyakan orang justru tidak merasakan apapun. Pengalaman ini

bisa menjadi pengalaman yang membuat shock karena individu tidak segera merasakan

perasaan hancur dengan berita tersebut.

2) Tahap Penyangkalan dan Isolasi.


Dalam tahap ini, pasien merasa tidak siap untuk menerima keadaan yang sedang terjadi

sebenarnya, dan reaksi yang ditunjukkan adalah reaksi penolakan. Pada fase ini, bentuk

bantuan yang bisa diberikan perawat adalah waspada terhadap isyarat pasien yang

menunjukkan denial dengan cara menanyakan tentang keadaannya atau prognosisnya,

dan pasien bisa mengekspresikan perasaan yang dirasakan.

3) Tahap Kemarahan
Rasa marah bisa terjadi karena kondisi yang dialami pasien dinilai mengancam

kehidupannya dengan segala hal yang telah diperbuatnya, sehingga dirinya merasa

gagal untuk meraih cita-citanya. Umumnya, pasien akan merasa berdosa telah

mengekspresikan perasaan marahnya. Untuk hal ini, perawat perlu membantu pasien

agar mengerti bahwa perasaan yang dirasakanannya adalah respon yang normal.

4) Tahap Tawar Menawar/ Bargaining

Dalam fase ini, kemarahan biasanya sudah mulai mereda dan pasien bisa mulai

menerima apa yang tengah terjadi pada dirinya. Pada fase ini, perawat perlu menjadi

pendengar untuk keluhan pasien dan mendukung pasien agar dapat berkomunikasi

dengan baik tentang apa yang dirasakannya, agar mengurangi rasa bersalah dan

ketakutan yang tidak masuk akal.

5) Tahap Penyesalan/ Guilt


Penyesalan bisa terjadi ketika pasien merasa menyesal atas apa yang telah terjadi atau

apa yang telah terlewatkan di masa lalu. Pada tahap ini, pasien mungkin memiliki

keinginan untuk memutar waktu kembali dan melakukan beberapa hal dengan car yang

berbeda. Ini adalah fase dimana pembinaan duka akan sangat membantu mereka, yang
bisa dilakukan untuk berbagi ingatan dan penyesalan dalam lingkungan yang

mendukung.

6) Tahap depresi
Pada tahap ini, pasien cenderung diam dan tidak banyak bicara, atau mungkin justru

banyak menangisi keadaannya. Inilah saat bagi perawat untuk duduk dengan tenang di

sisi pasien yang tengah menjalani kesedihannya sebelum meninggal dunia. Dalam fase

ini, perawat perlu untuk selalu hadir di dekat pasien dan mendengarkan apa yang

dikeluhkan pasien. Komunikasi non verbal mungkin akan menjadi cara yang baik untuk

hal ini, dengan duduk tenang di samping pasien dan mengamati reaksi non verbal yang

ditunjukkan pasien, sehingga mampu menumbuhkan rasa aman bagi pasien.

7) Tahap Penerimaan/ Acceptance.


Dalam fase ini, terjadi proses penerimaan secara sadar oleh pasien maupun

keluarganya, tentang keadaan yang tengah terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang

akan terjadi selanjutnya. Fase ini akan sangat membantu bila pasien bisa menyatakan

reaksinya atau rencana yang terbaik untuk dirinya saat menjelang ajal, seperti: ingin

berkumpul dengan keluarga terdekat atau menuliskan surat wasiat. Fase ini diawali

dengan ditandai pasien merasa tenang dan damai. Pada saat seperti itu, pengertian dari

keluarga dan teman mulai dibutuhkan bahwa pasien sudah bisa menerima keadaan dan

butuh dilibatkan semaksimal mungkin dalam pengobatannya, dan bisa untuk menolong

dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan.

2. Kriteria Penyakit Terminal


Penggolongan penyakit bisa banyak dan menimbulkan intepretasi yang berbeda-

beda dalam mengelompokkan mana yang termasuk kategori terminal dan mana yang tidak
masuk dalam kategori penyakit terninal. Maka berikut ini merupakan kriteria yang dapat

menjadi batasan penyakit yang sudah bisa masuk dalam kategori penyakit terminal.

1) Penyakit tidak dapat disembuhkan, yaitu golongan penyakit apapun yang sudah

tidak memungkinkan secara medis untuk sembuh karena sudah dalam stadium lanjut.

2) Stase akhir kehidupan dan penyakit mengarah pada kematian, sehubungan dengan

upaya medis sudah tidak bisa menolong lagi.

3) Diagnosa medis sudah jelas. Penegakan diagnosa dengan golden standar dengan

menetapkan ukuran yang akurat.

4) Tidak ada obat untuk menyembuhkan, secara medis seringkali obat yang masuk

menjdai tidak mempunyai efek terpeutik.

5) Prognosis jelek, kemungkinan sembuh sangat kecil yang artinya kemungkinan terjadi

kematian sangat besar.

6) Bersifat progresif yaitu peningkatan menjadi parah sangat cepat dan tidak ada kemajuan

untuk bisa sembuh kembali.

7) Tubuh sudah tidak cukup menerima efek obat.

M. MANAJEMEN NYERI PADA TERAPI KOMPLEMENTER


1. Manajemen Nyeri

Nyeri pada perawatan kritis merupakan sebuah pengalaman subjektif dan

multidimensi. Pengalaman nyeri pada pasien kritis adalah akut dan memiliki banyak

sebab, seperti dari proses penyakitnya, monitoring dan terapi (perangkat ventilasi,

intubasi endotrakheal), perawatan rutin (suction, perawatan luka, mobilisasi),

immobilitas berkepanjangan dan trauma. Nyeri dilaporkan nyeri sedang-berat. Nyeri

yang berkepanjangan dpt mengurangi mobilitas pasien shg bisa menimbulkan emboli

paru dan pneumonia.


2. Komponen Nyeri

1) Komponen sensori

Persepsi tentang karakteristik nyeri seperti intensitas, lokasi dan kualitas nyeri.

2) Komponen afektif

Termasuk emosi yang negatif seperti keadaan yang tidak menyenangkan, kecemasan,

ketakutan yang dihubungkan dengan pengalaman nyeri.

3) Komponen kognitif
Berkenaan dengan interpretasi nyeri oleh orang berdasarkan pengalamannya.

4) Komponen tingkah laku

Termasuk strategi yang digunakan oleh seseorang untuk mengekspresikan,

menghindari atau mengontrol nyeri.

5) Komponen fisiologis

Berkenaan dengan nociseptif dan respon stres (Urden L, Stacy K, 2010).

3. Jenis-Jenis Nyeri yang sering Dijumpai

1) Nyeri akut

Karakteristik : serangan datang mendadak, terjadi akibat kerusakan jaringan,

durasinya singkat kurang dari 6 bulan, bisa diidentifikasi area nyerinya, tanda dan

gejala objektifnya spesifik seperti takikardi, hipertensi, diaforesis, midriasis dan pucat,

serta timbul kecemasan.

Penyebab : trauma, pembedahan, prosedur, fraktur, infeksi, pankreatitis

2) Nyeri kronis
Karakteristik : nyeri yang menetap selama lebih dari 6 bulan, disertai awitan yang

temporer yang batasnya tidak jelas.

Penyebab : artritis, migrain, nyeri pelvis, low back pain.

3) Nyeri kanker

Karakteristik : nyeri kanker dapat akut, kronik, intermiten atau campuran juga bisa

berupa kombinasi dari berbagai nyeri.

Penyebab : Tumor, HIV/AIDS, kemoterapi, terapi radiasi.

4) Nyeri neuropathic

Karakteristik : digambarkan seperti rasa terbakar, tertusuk seperti sensasi kejut atau

seperti dijepit. Nyeri ini dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu nyeri deaferentasi

akibat kerusakan.

5) Nyeri Somatik

Karakteristik : digambarkan sebagai nyeri konstan, terlokalisasi, berdenyut, perih atau

tajam.

Penyebab : metastase kanker tulang (Kemp C, 2010).

4. Terapi Komplementer

Pengertian Terapi Komplementer

Terapi Komplementer adalah cara penanggulangan penyakit yang dilakukan sebagai

pendukung kepada pengobatan medis konvensional atau sebagai pengobatan pilihan lain

diluar pengobatan medis yang konvensional. Terapi Komplementer adalah semua terapi

yang digunakan sebagai tambahan untuk terapi konvesional yang direkomendasikan oleh

penyelenggara pelayanan kesehatan induvidu. Pengobatan Komplementer adalah

pengobatan non konvensional yang bukan berasal dari Negara yang bersangkutan (WHO).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebuah pengetahuan hidup, kedamaian, dan perasaan saling berhubungan dengan

Tuhan, dirinya, komunitas, dan lingkungan yang pemeliharaan dan keseluruhan merupakan

bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi

pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang

menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap

lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi.

B. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari

sempurna. Oleh karena itu untuk memperbaiki makalah tersebut penulis meminta kritik dan

saran yang membangun dari para pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Anita. (2016). Perawatan Paliatif dan Kualitas Hidup Penderita Kanker. Jurnal Kesehatan,
7(3),508-513.

Aziz, M. F., Witjaksono, J., & Rasjidi, H.I. ( 2008). Panduan Pelayanan Medik: Model
Interdisiplin Penatalaksanaan Kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal. Jakarta:
EGC

Ayu Purnamaningrum, 2010, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Masyarakat


Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Mata (Factors Related To The
Community’s Behaviour To Get Eye Health Servic),Universitas Diponegoro.
Buku Pegangan Kuliah : Genetika Kedokteran (Bagian Anatomi FK UGM)

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3.Jakarta: EGC

Craven, Ruth F. Fundamentals of nursing : human healt and function.

Carpenito,Lynda Jual.2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan .Alih Bahasa Yasmi Asih, Edisi
ke – 10. Jakarta : EGC
Depkes RI Pusdiknakes. 995. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan dan Penyakit
kronik dan terminal Jakarta: Depkes RI
Doenges E. Marilynn, Moorhouse Frances Mary, Geisster C Alice. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien
jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC.
Doengoes, ME,.2010. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC, Jakarta Hudak dan Gallo.2011

Digiulio, M, Jackson, D dan Keogh, J.2014.Keperawatan Medikal Bedah Demystified edisi 1.


Alih bahasa khundazi Aulawi.Yogyakarta : Rapha Publishing

Dwi Hapsari, dkk.,2012, Pengaruh Lingkungan Sehat, Dan Perilaku Hidup Sehat Terhadap
Status Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status
Kesehatan, Jakarta

Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik.Edisi - VIII Jakarta: EGC. Mansjoer, Arif,
dkk. 2007.Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke-3, Medica Aesculpalus, FKUI.
Jakarta.

KEPMENKES RI NOMOR: 812/ MENKES/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan Perawatan


Palliative Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Kemp, Charles.2009. Klien Sakit Terminal, seri asuhan keperawatan. Edisi 2. Jakarta:EGC.
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Pedoman Nasional Program Paliatif Kanker.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Rendy, M Clevo dan Margareth TH. 2012.Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit
Dalam.Yogyakarta : Nuha Medika

Semeltzer, S. C. and Bare, B.G. 2006. Buku Ajaran Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8 volume 2.Alih Bahasa H.Y.Kuncara, Monica Ester Yasmin Asih,
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai