Anda di halaman 1dari 13

Makalah

Sa’i diantara Shafa dan Marwah

Dosen Pengampu:

Ustadz Ujang S. Th.I.,,M.Ag

Disusun Oleh:

1. Azurah (30022022)
2. Ivana putri hermawan ( 30022029 )
3. Sri purnama sari ( 30022034 )

PRODI FIQH & USHUL FIQH

MA’HAD ALY SUMATERA THAWLIB PARABEK

T.P 1443 H / 2022 M

1
Kata Pengantar

Alhamdulillah puji syukur terhadap kehadirat allah SWT yang telah memberikan waktu dan
kesempatan juga kesehatan kepada kami untuk mengerjakan makalah “tafsir ayat ahkam” yang berjudul
“ sa’i diantara shafa dan marwah” semoga yang kami kerjakan ini dapat bermanfaat bagi kita semua bagi
yang membaca maupun yang mendengar makalah ini.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing yang
telah memberikan kesempatan kepada kami untuk dapat mengerjakan tugas mata kuliah “tafsir ayat
ahkam”. Kami juga banyak terimakasih seluruh rekan-rekan yang berpartisipasi untuk membantu dalam
menyelesaikan tugas yang telah diberikan, kami selaku pemakalah disini tidak bisa memungkiri adanya
kekurangan dan ketidak sesuaian bagi pembaca dan pendengar makalah yang kami sampaikan nantinya
dikarenakan kami masih dalam proses pembelajaran dan keterbatasan wawasan yang kami miliki sekian
kami ucapkan terimakasih.

2
Daftar Isi

Kata Pengantar............................................................................................................................................2
BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................4
BAB II...........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................5
2.1 Pengertian.........................................................................................................................................5
2.2 Asbabun Nuzul...................................................................................................................................5
2.3 TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT 158........................................................................................6
2.3.1 TAFSIR IMAM SYAFI’I...........................................................................................................6
2.3.2 TAFSIR JALALAIN..................................................................................................................7
2.3.3 TAFSIR AL-AZHAR.................................................................................................................8
BAB III........................................................................................................................................................12
PENUTUPAN..............................................................................................................................................12
3.1 KESIMPULAN....................................................................................................................................12
3.2 Daftar Pustaka...............................................................................................................................13

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah sa’i tidak lepas dari kisah istri nabi Ibrahim yang juga ibu dari nabi ismail, yaitu
siti hajar. Sejarah sa’i dibukit Shafa dan Marwah berawal ketika siti hajar berusaha mencari air
untuk putranya ismail yang tengah kehausan. Ketika itu nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah
swt untuk meninggalkan istri dan juga anaknya di sebuah gurun yang sangat tandus. Siti hajar
yang merasa bingung dan sedih atas rencana kepergian suaminya pun bertanya “ Hendak pergi
kemanakah engkau Ibrahim?’. Mendengar pertanyaan tersebut dari istrinya, Nabi Ibrahim tidak
menjawab dan diam saja.

Kemudian siti hajar menambahkan “ sampai hatikah engkau Ibrahim meninggalkan kami
berdua di tempat suny dan tandus seperti ini?”. Ibrahim masih tidak menjawab dan tidak
menoleh sama sekali. Kemudian siti hajar berkata kembali, “ Adakah ini perintah dari Allah
SWT?”. Saat itu, Nabi Ibrahim menjawab, “ya”. Mendengar jawaban tersebut, hati siti hajar
menjadi lebih tenang. Lalu kemudian siti hajar kembali berkata, “jika memang demikian,
pastilah Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan nasib kita.”

Nabi Ibrahim kemudian pergi meninggalkan siti hajar dan juga ismail dengan membekali
meraka makanan dan minuman. Akan tetapi bekal yang diberikan Ibrahim tersebut lama-
kelamaan habis juga. Siti hajar kemudian berusaha mencari air untuk anaknya. Dari tempat ia
berada, siti hajat melihat sebuah bukit, yaitu bukit shafa. Ia kemudian bergegas mencari air
menuju puncak bukit shafa, akan tetapi nihil, ia tidak menemukan apapun. Kemudian ia turun
menuju bukit marwah, namun nihil juga, siti hajar kembali ke bukit shafa, dan kembali lagi ke
bukit marwah. Demikian seterusnya hingga tujug kali. Setelah tujuh kali bergegas dari shafa ke
marwah dan sebaliknya, dari bukit marwah siti hajar mendengar suara gemercikan air. Ia
kemudian menghampiri suara tersebut. Betapa terkejutnya ia menemukan pancaran air yang
deras keluar dari dalam tanah dibawah telapak kaki Nabi Ibrahim.

4
Kini air tersebut kemudian dinamakan dengan air zamzam. Dan hingga sat ini, air zam-zam
tidak pernah surut ataupun kekeringan. Orang-orang Arab yang melintas kawasan tersebut
kemudian memutuskan untuk tinggal dan jadilah saat ini menjadi kota Mekah yang berkembang.
Ditempat tersebut kemudian dilaksanakan badan haji dan umroh oleh seluruh umat muslim di
seluruh dunia. Dan peristiwa siti hajar tersebut kemudian dijadikan dasar ibadah sa’i yang saat
ini dilakukan ketika ibadah umroh atau haji.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian

Secara bahasa, sa’i memiliki arti berjuang atau berusaha. Namun kemudian, makna sa’I
dikembangkan menjadi sebuah perjuangan hidup yang dilakukan untuk pribadi, keluarga,
maupun masyarakat. Sa’i dimaknai sebagai perjuangan hidup yang oantang menyerah dan tidak
putus asa. Bahwa hidup harus dijalani dengan penuh kesabaran, ketaqwaan, serta ketawakaln
kepasa Allah SWT. Demikian sejarah sa’i di antara bukit shafa dan marwah yang saat ini
menjadi salah satu rukun dari ibadah haji dan umroh, umtuk melihat langsung bagaimana bukit
shafa dan marwah serta melaksanakan ibadah sa’i. kedua bukit yang satu sama lainnya berjarak
sekitar 405 meter. Ketika melintasi Bathul Waadi yaitu kawasan yang terletak di antara bukit
shafa dan bukit marwah ( saat ini ditandai dengan lampu neon berwarna hijau) parah jamaah pria
disunnahkan untuk berlari-lari kecil sedangkan untuk jamaah perempuan berjalan cepat. Ibadah
sa’i boleh dilakukan dalam keadaan tidak berwudhu dan oleh wanita yang datang haid atau nifas.

Jauh sebelum perintah ibadah haji dilaksanakan, bukit shafa dan marwah telah menjadi
saksi sejarah perjuangan seorang ibu dan menyelamatkan anaknya dari kehausan puluhan abad
silam.

2.2 Asbabun Nuzul

Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani dan yang lainnya dari Urwah, ia menuturkan : Aku
bertanya kepada Ibnunda Aisyah; salah satu istri Rasulullah SAW. “Bagaimana pendapatmu

5
tentang firman Allah SWT.,yang artinya,”Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah termasuk
Syiar-syiar Allah. Maka siapa saja yang beribadah haji ke Baitullah atau ber umrah, tidak ada
dosa baginya untuk mengerjakan sa’I mengerjakan sa’I pada keduanya….? Saya melihat, tidak
ada alas an bagi seseorang untuk tidak bersa’I diantara keduanya.”

Aisyah menjawab,”Sekiranya ayat itu menurut apa yang kamu tafsirkan, tentulah akan
berbunyi,`Maka tidak ada dosa baginya untuk tidak melakukan sa’I diantara keduanya.’Akan
tetapi, sebenarnya ayat itu diturunkan kepada orang-orang Anshar. Sebelum masuk islam,
mereka terbiasa mengadakan upacara untuk berhala manat. Dan sesudah masuk islam, Sebagian
orang Anshar merasa keberatan untuk melakukan sa’I antara Shafa dan Marwah. Lalu, mereka
tanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW., wahai Rasulullah, kami merasa keberatan untuk
mengerjakan sa’I antara Shafa dan Marwah (karena kenangan buruk kami) semasa jahiliyah. `
Maka Allah SWT. Menjawab pertanyaan mereka dengan ayat itu.”

Diriwayatka oleh Al-Bukhari dari Ashim bin Sulaiman, ia berkata: Saya bertanya kepada
Anas bin Malik tentang Shafa dan Marwah, lalu ia menjawab, “Kami berpendapat bahwa sa’I
antara Shafa dan Marwah adalah kebiasaan dimasa jahiliyah. Maka setelah masuk islam, kami
tidak melakukannya lagi. Maka turunlah ayat itu kepada Kami.”

Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Semasa jahiliyah, setan-setan


berkeliaran pada malam hari antara Shafa dan Marwah. Dan di antara keduanya tempat itu
terdapat berhala-berhala. Ketika islam dating, kaum Muslimin berkata kepada Rasulullah SAW.,
“Wahai Rasulullah, kami tidak akan bersa’I antara Shafa dan Marwah, karena upacara itu
biasa kami lakukan di zaman jahiliyah.” Maka Allah SWT. Menjawab pertanyaan mereka
dengan menurunkan ayat tersebut.

2.3 TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT 158

2.3.1 TAFSIR IMAM SYAFI’I

‫صفَا َو ْال َمرْ َوةَ ِم ْن َش َع ۤا ِٕى ِر هّٰللا ِ ۚ فَ َم ْن َح َّج ْالبَيْتَ اَ ِو ا ْعتَ َم َر فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه اَ ْن يَّطَّوَّفَ بِ ِه َم?ا ۗ َو َم ْن تَطَ? َّو َع خَ يْ?ر ًۙا فَ?ا ِ َّن‬ َّ ‫۞ اِ َّن ال‬
‫هّٰللا َ َشا ِك ٌر َعلِ ْي ٌم‬
“ Safa dan Marwah merupakan sebagian syi‘ar (agama) Allah. Maka barangsiapa beribadah haji
ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa‘i antara keduanya. Dan

6
barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri, Maha
Mengetahui.” ( QS. Al-Baqarah [2]: 158 )

Imam Syafi’I berkata, “ Allah berfirman, { ۞ ِ ‫صفَا َو ْال َمرْ َوةَ ِم ْن َش َع ۤا ِٕى ِر هّٰللا‬
َّ ‫“ }اِ َّن ال‬Sesungguhnya
Safa dan Marwah merupakan sebagian syi‘ar (agama) Allah.”

Rasulullah SAW. Memulai dari Shafa, beliau bersabda,’Kami memulai dari apa yang
dimulai oleh Allah.’

Aku berpendapat, jika seseorang melakukan sa’I dimulai dari Marwah, berarti aku telah
membuang satu kali putaran, kecuali jika sa’inya dimulai dari Shafa. Aku belum menemukan
pendapat yang menentang pendapatku itu. Aku oun berpendapat, jika melempar jumrah dimulai
dari jumrah ‘Aqabah Kubra sebelum jumrah ‘Aqabah Sugra -yakni dimulai dari yang urutannya
terakhir- maka melempar jumrah harus diulangi lagi dengan urutan yang benar, yaitu dimulai
dari jumrah sughra. Demikian pula jika sa’I di Shafa dan Marwah dilakukan sebelum thawaf di
ka’bah, maka thawaf dan sa’I harus diulangi lagi.

2.3.2 TAFSIR JALALAIN

(Sesungguhnya Shafa dan Marwah) nama dua bukit di Mekah (adalah Sebagian dari syiar-
syiar Allah SWT.) tanda-tanda kebesaran agama-Nya, jamak dari ‘syaa’irah. ( Barang siapa yang
melakukan ibadah haji atau umrah) artinya memakai pakaian haji atau umrah. Asal makna
keduanya adalah menyengaja dan berkunjung, (maka tiada salah baginya) artinya ia tidak
berdosa (mengerjakan sa’i) asalkan sebanyak tujuh kali. Ayat ini turun tatkala kaum muslimin
tidak bersedia melakukannya, disebabkan prang-orang jahiliah dulu biasa tawaf disana sambal
menyapu dua berhala yang terdapat pada keduanya. Menurut Ibnu Abbas nahwa sa’I itu
hukumnnya tidak wajib, hanya takhyir, artinya dibolehkan memilih sebagai akibat tidak berdosa.
Tetapi Syafi’I dan ulama lainnya berpendapat bahwa sa’I adalah rukun dan hukum fardunya
dinyatakan oleh Nabi SAW. Dengan sandanya, “Sesungguhnya Allah mewajibkan sa’I atas
kamu.” (H.R. Baihaqi) Sabdanya pula, “Mulailah dengan apa yang dimulai Allah, yakni Shafa.”
(H.R. Muslim) (Dan barang siapa yang dengan kemauan sendiri berbuat) ada yang membaca
Tathawwa’a’ , yaitu dengan ditasydidkan ta pada tha, lalu diidgankan (suatu kebaikan)

7
maksudnya amalan yang tidak wajib seperti tawaf dan lain-lainnya (maka sesungguhnya Allah
Maha Mensyukuri) perbuatannya itu dengan memberinya pahala (lagi Maha Mengetahui).

2.3.3 TAFSIR AL-AZHAR

Menurut Syekh Muhammad Abduh dalam pelajaran tafsirnya, ayat ini masih urutan dari
masalah peralihan kiblat juga meskipun pada tafsir-tafsir yang lain seakan-akan telah terpisah.
Menyebutkan dari dari hal sa’I di antara Shafa dan Marwah setelah memperingatkan menyuruh
sabra dan shalat, guna menerima segala penyempurnaa nikmat Allah kelak dan supaya tahan
menderita segala macam percobaan maka dengan ayat ini dibayangkann lah pengharapan bahwa
akan dating masanya mereka akan berkeliling di antara bukit Shafa dan Marwah. Betapapun
besarnya kesulitan yang tenga dihadapi sekarang, penghargaan mesti selalu dibayangkan.
Apakah lagi kalau yang membayangkan pengharapan Allah Ta’la sendiri.

“ Sesungguhnya, Shafa dan Marwah itu adalah daripada syiar-syiar Allah juga.”

(pangkal ayat 158)

Bahasa kita indonesie telah kita perkarya juga dengan memakai kata syiar. Kita telah selalu
menyambut syiar Islam. Syiar Artinya, tanda. Kata jamaknya ialah Sya’air. Sya’airallah Artinya,
tanda-tanda peribadatan kepada Allah. Ketika mengerjakan haji banyaklah terbanyak syiar itu.
Unta-unta dan lembu yang dikurbankan waktu hadits haji dilukai tengkuknya sebagai tanda.
Melukai itu pun dinamakan syiar. Shalat di makam Ibrahim adalah termasuk syiar ibadah.
Thawaf keliling Ka’bah, wuquf di Arafah, dan di ayat ini disebut berjalan atau sa’I antara Shafa
dan Marwah itu pun satu diantara syiar-syiar (sya’air) itu pula, dan melempar jumrah di Mina.
Syiar-syiar demikian adalah termasuk ta’abbudi, sebagian imbangan dari ta’aqquli.

Ta’abbudi artinya ibadah yang tidak dapat dikorek-korek dengan akal mengapa dikerjakan
demikian. Ta’aqquli ialah yang bisa diketahui dengan akal. Kita mengetahui apa hikmahnya
mengerjakan Sholat; itu Namanya ta’aqquli. Akan tetapi, kita tidak dapat mengakali mengapa
Zhuhur empat rakaat dan Shubuh dua rakaat. Itu Namanya ta’abbudi. Kita dapat mengetahui
hikmah mengerjakan haji sekurangnya sekali seumur hidup (ta’aqquli), tetapi kita tidak dapat
mengetahui mengapa ada perintah melontar jumrah dengan batu kecil tujuh kali (ta’abbudi).

8
Maka, syiar-syiar itu termasuklah dalam ta’abbudi. “Maka, barang siapa yang naik haji ke
rumah itu atau umrah, tidaklah mengapa bahwa dia keliling pada keduanya.” Rumah itu yang
dimaksud disini ialah Baitullah (Ka’bah) itu. Adapun haji ialah pada waktu tertentu dimulai 9
Dzulhijjah sampai selesai berhenti di Mina sekeliling tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah. Adapun
umrah adalah kewajiban di waktu lain, selain waktu haji, yang tidak memakai wuquf di Arafah
dan berhenti di Muzdalifah dan di Mina. Meski demikian, haji dan umrah sama-sama memakai
pakaian ihram, sama-sama memakai thawaf keliling Ka’bah dan sama-sama memakai sa’I di
antara kedua Bukit Shafa dan Marwah.

Shafa dan Marwah adalah dua buah bukit kecil atau menunggu di dekat Masjidil Haram.
Jarak di antara kedua bukit itu ialah 760,5 hasta. Setelah perbaikan Masjidil Haram yang terakhir
(1957) kedua bukit itu telah termasuk dalam lingkungan masjid. Maka, dalam rangka
mengerjakan haji dan umrah termasuklah sa’I, yaitu berkeliling pergi dan Kembali di antara
kedua bukit itu tujuh kali. Dikerjakan setalah mengerjakan Thawaf. Sehabis sa’I itulah boleh
tahallul, yaitu mencukur rambut dan menanggalkan pakaian ihram. Dengan tahallul, nusuk pun
selesai.

Menurut hadits Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, syiar sa’I ini adalah kenangan
terhadap Hajar (istri muda Ibrahim) Ketika ismail yang dikandungannya telah lahir, sedangkan
dia ditinggalkan di tempat itu oleh Ibrahim seprang sebab Ibrahim melanjutkan perjalanannya ke
syam maka habislah air persediannya dan nyaris keringlah air susunya sedangkan sumur untuk
mengambil air tidak ada di tempat itu. Anaknya ismail telah menangis-nangis kelaparan hingga
hamper parau suaranya.

Maka, dengan harap-harap cemas setengah berlarilah (sa’i) Hajar itu di antara kedua bukit
ini mencari air, sampai tujuh kali pergi dan balik. Anaknya tinggal dalam kemahnya seorang diri
di lembah bawah. Tiba-tiba kedengeran olehnya suara dan kelihatan burung terbang, padahal
tangis anaknya kedengeran pula meminta susu. Selesai pulang balik tujuh kali itu dia pun berlari
Kembali ke tempat anaknya yang ditinggalkannya itu. Dilihatnya sesosok malaikat telah
menggali-gali tanah di ujung kaki anaknya maka keluarlah air. Dengan amat cemas dipeluknya
air itu seraya berkata, “ Zam! Zam!” yang artinya, “berkumpulah, berkumpulah!’ kebetulah di
masa itu dating kafillah orang jurhum yang tengah mencari air. Itulah sumur zamzam dan itulah

9
asal “lembah yang tidak mempunyai tumbuh-tumbuhan” itu diramaikan menjadi negeri. Itulah
asal Mekah.

Maka, perkelilingan Hajar itu dimasukkanlaj dalam rangka syiar ibadah haji dan umrah,
dan diakuilah dia oleh ayat yang tengah kita tafsirkan ini bahwa dia memang syiarlah adanya
dari ibadah kepada Allah. Salah satu dari tanda peribadatan. Barangsiapa yang naik haji atau
umrah tidaklah ada salahnya jika dia berkeliling pula di antara kedua bukit itu sebagaimana
lazimnya.

Menurut sebuah Hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, pada suatu hari Urwah
bin Zubair menyatakan pendapatnya didekat Ummul Mu’minin Siti Aisyah bahwa demikian
bunyi ayat tidaklah wajib sa’I di antara Shafa dan Marwah itu. Karena kalua disebut tidaklah
mengapa berkeliling diantara keduanya, niscaya tidak berkeliling pun tidak mengapa. Pendapat
Urwah ini ditegur dengan baik oleh Aisyah, “Bukan sebagai yang engkau pahamkan itu, Wahai
anak saudaraku.”

Adapun sa’I di antara Shafa dan Marwah itu adalah termasuk dalam rangka syiar ibadah.
Maka, ayat itu menyebut tidak mengapa ialah karena di sana di zaman jahiliyyah kalua ada orang
Anshar pergi beribadah haji atau Umrah ke Mekah, mereka mesti bertemu dengan berhala
Manata yang besar dan seram yang terletak di antara kedua bukit itu. Setelah merka menjadi
Muslim, semua musykillah dalam hati mereka bagaimana mereka akan sa’I juga di antara kedua
bukit itu, padahal di sana masih berdiri berhala manta itu. Maka, ayat ini menjelaskan bahwa
tidak mengapa jika mereka sa’I disana walaupun di sana masih berdiri berhala itu. Demikian kita
tuliskan maksud dari hadits Bukhari dan Muslim itu. Lanjutan ayat,

“Dan barangsiapa yang menambah kerja kebaikan maka sesungguhnya Allah adalah
Pembatas terima kasih, lagi Maha Mengetahui.”

Mengerjakan haji atau umrah yang wajib hanya sekali seumur hidup, tetapi jika orang
ingin menambah lagi dengan tathawwu’, menambah haji lagi dan menambah umrah lagi, entah
berapa kali dia ke mekah maka Allah mensyukuri amalnya itu dan membalas budinya itu dengan
baik. Dan, semua amalannya yang ikhlas diketahui oleh Allah.

10
Maka, tersalah bahwa ayat ini masih bertali dengan perintah peralihan kiblat dan
pengharapan akan kemenangan di zaman masa depan. Satu waktu kelak mereka pun akan dapat
mengerjaka umrah. Meskipun diantara Bukit Shafa dan Marwah itu masih ada berhala dan
dinding Ka’bah masih bersandar patung-patung, tidak mengapa mereka meneruskan ibadah
mereka karena ibadah itu tidak ada sangkut pautnya dengan berhala itu. Maka, pada beberapa
masa kemudian bermimpilah Rasulullah bahwa dia dan sahabat-sahabatnya pergi ke mekah
mengerjakan umrah lalu mereka pergi Bersama-sama, sesuai dengan yang dimimpikan. Akan
tetapi, sampai di Hudaibiyah pada tahun keenam Hijriah, mereka dihalangi orang Quraisy dan
terjadilah perdamaian Hudaibiyah. Tidak jadi mereka naik tahun itu. Pada tahun mukanya, tahun
ketujuh, barulah terjadi UmratulQadha. Mereka telah mengerjakan umrah dengan baik dan
selesai, mereka thawaf keliling Ka’bah yang masih berhala dan mereka sa’I di antara Shafa dan
Marwah yang masih ada berhala Manata disana, tetapi mereka tidak singgung-menyinggung
dengan itu. Syiar ibadah mereka lakukan dengan sempurna. Dan, kelak pada tahun kedelapan
setahun kemudian, karena orang Quraisy telah mengkhianati janji, negeri Mekah telah
ditaklukkan dan segala macam berhala telah di sapu bersih. Dan, semuanya itu merka capai
dengan didahului oleh sebagai penderitaan, kekurangan harta benda, kekurangan kawan-kawan
yang syahid di medan jihad,tetapi akhirnya ialah penyempurnaan dari nikmat yang telah di
janjikan oleh Allah. Allah membalas segala amal dan usaha mereka dengan kemenangan dunia
dan kebahagian akhirat.

Adapaun tentang sa’I di antara Shafa dan Marwah itu telah di Ijma’ lah sekalipun ulama
ikutan kita menyatakan bahwa di aitu memang termasuk manasik haji. Cuman mereka berbeda
pendapat tentang hukumnya menurut ketentuan fiqih. Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad
bin Hambal berpendapat bahwa dia termasuk rukun pada haji. Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa dia termasuk wajib haji.

11
BAB III

PENUTUPAN
3.1 KESIMPULAN

1. Shafa dan marwah merupakan bagian dari syiar agama Allah dan lambing ketaatan,
dimana kita beribadah kepada-Nya.
2. Sai’ antara bukit shafa dan marwah merupakan upaya untuk menghidupkan kembali
sejarah yang pernah terjadi antara ibu Ismail ( Siti Hajar) dengan Nabi Ismail.
3. Hukum melaksanakan sai’ adalah wajib bagi yang melaksanakan haji dan umroh.

12
3.2 Daftar Pustaka

al-Farran, S. A. (2007). Tafsir Imam Syafi'i. Jakarta: Almahira.

al-Mahalli, J. M. (2018). Terjemah Tafsir Jalalain Jilid 1. Depok: Senja Media Utama.

As-Suyuthi, I. (2016). Asbabun Nuzul. Jawa Tengah: Insan Kamil.

Prof.Dr, H. (2015). Tafsir Al Azhar : Jilid 1. Jakarta: Gema Insani.

13

Anda mungkin juga menyukai