Budi Wiweko
Infertilitas didefinisikan sebagai kegagalan satu pasangan untuk mendapatkan kehamilan setelah melakukan hubungan seksual secara teratur
tanpa kontrasepsi selama 1-‐2 tahun. Empat puluh persen infertilitas disebabkan oleh faktor perempuan, 30 persen disebabkan faktor sperma dan
sisanya merupakan kombinasi faktor perempuan dan sperma serta faktor idiopatik.
Penanganan infertilitas yang tepat harus dilakukan sesuai dengan faktor penyebabnya. Gangguan ovulasi, endometriosis dan oklusi tuba fallopii
merupakan penyebab utama faktor perempuan sedangkan faktor sperma terutama terkait jumlah dan motilitasnya. Karena itu untuk mengetahui
penyebab infertilitas perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang terarah.
Anamnesis
Tiga faktor utama yang paling berperan dalam infertilitas yaitu umur perempuan, lama infertilitas dan jenis infertilitas (primer atau sekunder).
Umur perempuan merupakan parameter terpenting yang berbanding terbalik dengan fekunditas, terutama disebabkan oleh penurunan kualitas
dan kuantitas oosit. Penelitian Collins dkk membuktikan bahwa kemungkinan kehamilan 1.49 kali lebih besar bila lama infertilitas < 3 tahun (CI
= 1.23-‐1.80). Sedangkan pasangan dengan keluhan infertilitas sekunder memiliki risiko relatif untuk hamil sebesar 1.38 kali lebih besar (CI =
1.12-‐1.68) dibandingkan pasangan dengan keluhan infertilitas primer serta waktu untuk hamil 51-‐80% lebih cepat.
Faktor lain yang perlu diketahui adalah adanya riwayat laparotomi yang dapat berperan dalam perlengketan pelvik (risiko relatif 4.4 ; CI = 3.4-‐
6.5). Kebiasaan merokok juga dapat menurunkan fekunditas dan keberhasilan program teknologi reproduksi berbantu (TRB).
Anamnesis yang lengkap dapat menyingkirkan kemungkinan faktor etiologi infertilitas yaitu gangguan ovulasi (lama dan keteraturan siklus
haid), oklusi tuba fallopii (riwayat operasi sebelumnya) dan endometriosis (dismenorea dan dispareunia).
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pada perempuan meliputi tinggi badan, berat badan, skor hirsutisme dan organ ginekologi (menggunakan ultrasonografi
transvaginal). Tanda klinis endometriosis, nyeri, dan kelainan uterus / ovarium harus disingkirkan. Pasangan laki-‐laki harus dilakukan
pemeriksaan vas deferens, epididimis, testis untuk menyingkirkan kemungkinan varikokel (terutama bila analisis sperma tidak normal).
Deteksi ovulasi
Perempuan yang memiliki siklus haid normal, 95% mengalami ovulasi dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan progesteron pada fase luteal
madya. Pemeriksaan lendir serviks, LH urin dan suhu basal bifasik memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang rendah dalam mendeteksi ovulasi.
Pada perempuan dengan keluhan oligomenorea perlu dilakukan pemeriksaan hormon prolaktin dan gonadotropin untuk mengetahui penyebab
gangguan ovulasi-‐ nya. Pada perempuan usia reproduksi, sindro ovarium polikistik (SOPK) merupakan penyebab terbesar gangguan ovulasi.
Pemeriksaan ini hanya memiliki sensitifitas 9-‐71% dan spesifisitas 62-‐100% dalam kasus infertilitas karena itu tidak dianjurkan lagi untuk
dilakukan. Uji pasca sanggama hanya membuktikan bahwa pasangan yang menjalani pemeriksaan telah melakukan hubungan seksual
sebelumya.
Analisis sperma
Variasi hasil pemeriksaan sperma pada individu yang sama menyebabkan kelainan sperma harus didasarkan minimal atas 2 kali pemeriksaan.
Pemeriksaan antibodi anti sperma tidak dianjurkan mengingat tidak ada bukti kuat yang mendukung kepentingan pemeriksaan ini terhadap
penanganan infertilitas. Bila dijumpai hasil analisis sperma tidak normal, maka perlu dikonfirmasi pemeriksaan klinis pasangan laki-‐laki
(ukuran testis, ada/tidak varikokel, hormon laki-‐laki terutama FSH dan testosteron).
Baku emas patensi tuba fallopii adalah laparoskopi kromotubasi sedangkan penapisan dapat dilakukan dengan histerosalpingografi (HSG)
dengan tingkat sensitifitas 83% dan spesifisitas 65%. Pasien dengan risiko penyakit tuba dan rongga pelvik dapat dianjurkan untuk langsung
menjalani pemeriksaan laparoskopi.
Saat ini pemeriksaan saline infusion sonohysterography dibandingkan dengan HSG dan memberikan hasil yang cukup baik untuk menilai
patensi tuba fallopii. Pemeriksaan antibodi terhadap Chlamydia tidak memiliki hasil yang cukup baik untuk mendeteksi infertilitas karena faktor
tuba.
Penanganan
Tindakan untuk mengatasi faktor penyebab infertilitas misalnya adalah dengan melakukan induksi ovulasi (pada kasus anovulasi), reanastomosis
tuba (oklusi tuba fallopii) dan pemberian obat-‐obatan secara terbatas pada kasus faktor sperma. Namun seringkali tindakan mengatasi faktor
penyebab memberikan hasil yang tidak efektif karena itu berbagai metoda dikembangkan untuk meningkatkan peluang satu pasangan
mendapatkan kehamilan, seperti stimulasi ovarium, inseminasi dan fertilisasi in vitro.
Gangguan ovulasi
Kasus terbanyak gangguan ovulasi pada perempuan usia reproduksi adalah sindrom ovarium polikistik (SOPK).
Lini pertama induksi ovulasi: klomifen sitrat (KS)
Resisten klomifen sitrat: pemberian KS sebanyak 3 siklus (dosis maksimal 150 mg/hari, tetap tidak terjadi ovulasi)
Gagal klomifen sitrat: pemberian KS, terjadi ovulasi selama 3-‐6 siklus, tetapi tidak terjadi kehamilan
Lini kedua: gonadotropin atau laparoskopi ovarian drilling (LOD)
Lini ketiga: fertilisasi in vitro
Faktor sperma
Endometriosis
• Bila dijumpai endometriosis derajat minimal dan ringan pada laparoskopi diagnostik, tindakan dilanjutkan dengan laparoskopi operatif
2. Tingkat 2:
b. Spesialis andrologi
c. Spesialis urologi
Indikasi kasus infertilitas yang harus ditangani pada masing-‐masing tingkat pelayanan:
KESIMPULAN