Anda di halaman 1dari 57

PEDOMAN PENANGGULANGGAN HIV DAN AIDS

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Penyebaran kasus HIV/AIDS yang demikian pesat di seluruh dunia, sebagian besar
terjadi pada kelompok usia produktif. Perubahan perilaku seseorang dari yang beresiko
menjadi kurang berisiko terhadap kemungkinan tertular HIV memerlukan bantuan
perubahan emosional dan pengetahuan dalam suatu proses yang mendorong nurani dan
logika. Proses mendorong tersebut sangat unik dan membutuhkan pendekatan individual.
Program Penanggulangan HIV / AIDS sudah menjadi perhatian utama jajaran pimpinan
Rumah Sakit dalam upaya untuk melindungi karyawan, keluarga dan masyarakat. Serta
adanya kebutuhan untuk memaksimalkan cakupan dan kualitas program dan layanan HIV /
AIDS yang komprehensif khususnya di lingkungan layanan Kesehatan. Adanya fakta
bahwa deteksi dini infeksi HIV sangat penting menentukan prognosis perjalanan infeksi
HIV dan mengurangi risiko penularan maka disusunlah Pedoman pelayanan yang
memudahkan petuga kesehatan menjalankan tugasnya dengan optimal, khususnya dalam
penanganan klinis HIV sehubungan dengan deteksi dini HIV, perawatan, pengobatan dan
pencegahan.

Hingga saat ini HIV masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
utama di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan tahun 2011, kasus
HIV teridentifikasi tersebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota diseluruh(33) provinsi
di indonesia. Provinsi pertama kali ditemukannya adanya kasus HIV adalah provinsi Bali
(1987), sedangkan yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV (2011) adalah Provinsi
Sulawesi Barat.

Berdasarkan data terbaru, kejadian penularan infeksi HIV di Indonesia terbanyak


melalui hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi tanpa menggunakan kondom.
Diikuti dengan penggunaan alat suntik yang tercemar darah yang mengandung infeksi HIV
( karena penggunan alat suntik secara bersamaan diantara pengguna Napza suntikan), dan
ditularkan dari ibu pengidap HIV kepada anaknya,baik selama kehamilan, persalinan atau
menyusui. Cara penularan lain adalah melalui tranfusi darah yang tercemar, alat tusuk dan
peralatan lainnya (tato, dan lain-lain) dan adanya infeksi menular seksual seperti sifilis.

Kegiatan layanan komprehensif HIV yang berkesinambungan mencakup semua


bentuk layanan HIV seperti kegiatan pengendalian faktor resiko, layanan konseling dan tes
HIV (KTS), Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP), Pencegahan Penularan dari ibu
ke Anak (PPIA), Pengurangan Dampak Buruk NAPZA, pencegahan penularan melalui
darah donor dan produk darah lainnya.

1
B. Tujuan Pedoman

a. Umum :

Menurunkan angka kesakitan HIV AIDS melalui peningkatan mutu pelayanan


konseling dan testing HIV AIDS dan perlindungan bagi petugas layanan VCT dank
lien.

b. Khusus :

1. Sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing


HIV/AIDS
2. Tersedianya fasilitas untuk penyelenggaraan pelayanan Penanggulangan
HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Toto Kabila
3. Terselenggaranya pelayanan Voluntary Counseling Testing (VCT),
Prevention Mother to Child (PMTC), Antiretroviral (ART) , Infeksi
Oportunistik, ODHA dengan resiko Injection Drug Use (IDU), pelayanan
penunjang
4. Menyelenggarakan pelayanan rujukan

C. Ruang Lingkup Pelayanan


Ruang lingkup pedoman ini memuat tentang berbagai program pelayanan dan
standar fasilitas untuk penyelenggaraan pelayanan penanggulangan HIV dan AIDS di
Rumah Sakit Umum Daerah Toto Kabila. Pelayanan penanggulangan HIV dan AIDS
merupakan upaya penyediaan layanan bagi ODHA secara berkesinambungan dalam bentuk
layanan komprehensif di RumahSakit. Kunci keberhasilan Pelayanan HIV adalah
ketersediaan tenaga-tenaga kesehatan yang sesuai kompetensi, prasarana dan manajemen
yang handal.

Pedoman pelayanan di RSUD Toto Kabila diperuntukkan untuk semua unit kerja
yang terkait dengan pelayanan HIVAIDS di RSUD Toto Kabila yang meliputi:

 Unit Rawat Jalan


 Unit Rawat Inap
 Instalasi Gawat Darurat

Rumah sakit dalam melaksankan penanggulangan HIVAIDS sesuai dengan standar


pelayanan bagai rujukan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan langkah-
langkah pelaksanaan sebagai berikut:

a) Meningkatkan fungsi pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)


b) Meningkatkan fungsi pelayanan Prevention of Mother to Child HIV Transmission
(PMTCT)

2
c) Meningkatkan fungsi pelayanan Antiretroviral Therapy (ART) atau bekerja sama
dengan RS yang ditunjuk
d) Meningkatkan fungsi pelayanan Infeksi Oportunistik (IO)
e) Meningkatkan fungsi pelayanan pada ODHA dengan faktor resiko Injection Drug
User (IDU
f) Meningkatkan fungsi pelayanan penunjang, yang meliputi pelayanan laboratorium,
radiologi, pencatatan dan pelaporan

Dalam rangka Program Menjaga Mutu pada penyelenggaraan kasus HIV dan AIDS
harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut :
1. Ruang konseling yang nyaman dan privasi.
2. Ruang rawat inap yang nyaman dengan instrumen dan bahan yang lengkap dengan
APD yang standar.
D. Batasan Operasional
a. Pelayanan VCT
– Penerimaan klien
– Konseling pra testing HIV AIDS
– Konseling Pra testing HIV AIDS dalam keadaan khusus
b. Informed consent
c. Testing HIV dalam VCT
E. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit

3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1285/Menkes/SK/X/2002 tentang


pedoman penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1507/Menkes/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan Konselor dan Testing
HIV/AIDS secara sukarela (Voluntary Counseling and Testing)
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV.
6. Peraturan Daerah Kabupaten Bone Bolango Nomor 10 Tahun 2012 tentang
penanggulangan HIV dan AIDS

II. SARANA, PRASARANA DAN SUMBER DAYA MANUSIA


A. Sarana
1. Papan nama / petunjuk
Papan petunjuk lokasi dipasang secara jelas sehingga memudahkan akses klien ke
klinik VCT. Demikian juga di depan ruang klinik VCT dipasang papan bertuliskan
pelayanan VCT.

3
2. Ruang Tunggu
Ruang tunggu yang nyaman hendaknya di depan ruang konseling atau disamping
tempat pengambilan darah.
Dalam ruang tunggu tersedia:
a. Materi KIE: poster, leaflet, brosur yang berisi bahan pengetahuan tentang
HIV/AIDS, IMS, KB, ANC, TB, hepatitis, penyalahgunaan napza, perilaku
hidup sehat, pencegahan penularaaana dan seks yang aman
b. Informasi prosedur konseling dan testing
c. Kotak saran
d. Tempat sampah, tissue
e. Meja dan kursi yang tersedia dan nyaman
f. Calendar
3. Jam Kerja Layanan
Jam kerja layanan konseling dan testing terintegrasi dalam jam pelayanan
kesehatan lain yang terkait seperti KIA, TB, IMS, IDU
4. Ruang Konseling
Ruang konseling harus nyaman, terjaga kerahasiannya dan terpisah dari ruang
tunggu dan ruang pengambilan darah.
Ruang konseling dilengkapi dengan:
a. Tempat duduk bagi klien maupun konselor
b. Buku catatan perjanjian danb catatan harian, formulir informed consent,
catatan medis klien, formulir pra dan pasca testing, buku rujukan, kalender
dan alat tulis
c. Kondom dan alat peraga penis jika memungkinkan
d. Kartu rujukan
e. Lemari arsip atau lemari dokumen yang dapat dikunci

Ruang konseling jendaknya cukup luas untuk 2 atau 3 orang dengan penerangan
yang cukup untuk membaca dan menulis, ventilasi lancer dan suhu yang nyaman
untuk kebanyakan orang

5. Ruang pengambilan darah


Lokasi ruang pengambilan darah harus dekat dengan ruang konseling jadi dapat
terpisah dari ruang laboratorium.
Peralatan yang harus ada dalam ruang pengambilan darah adalah
a. Jarum dan semprit steril
b. Tabung dan botol tempat pengambilan darah
c. Stiker kode
d. Kapas alcohol
e. Cairan desinfektan

4
f. Sarung tangan karet
g. Apron plastic
h. Sabun dan tempat cuci tangan dengan air mengalir
i. Tempat sampah barang infeksi, barang terinfeksi dan barang tajam
j. Petunjuk pajanan okupasional dan alur permintaan pertolongan pasca
pajanan okupasional
6. Ruang petugas kesehatan dan petugas non kesehatan
Runag ini berisi
a. Meja dan kursi
b. Tempat pemeriksaan fisik
c. Stetoskop dan tensimeter
d. Kondom dan alat peraga penggunaannya
e. KIE HIV/AIDS dan infeksi oportunistik
f. Blanko resep
g. Alat timbang badan
7. Ruang laboratorium
Materi yang harus tersedia dalam laboratorium adalah
a. Reagen untuk testing dan peralatannya
b. Sarung tangan karet
c. Jas laboratorium
d. Lemari pendingin
e. Alat sentrifusi
f. Ruang penyimpanan testing kit, barang habis pakai
g. Buku register (stok barang habis pakai, penerimaan sampel, hasil testing,
penyimpanan sampel, kecelakaan okupasional)
h. Cap tanda positip atau negatif
i. Cairan desinfektan
j. Pedoman testing HIV
k. Pedoman pajanan okupasional
l. Lemari untuk menyhimpan arsip yang dapat dikunci

Yang perlu diperhatikan dalam layanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela adalah

- Memiliki akses dengan unit rawat jalan


- Letak ruang konseling, gtempat pengambilan darah dan staf medis hendaknya
berada di tempat yang saling berdekatan
- Pemeriksaan darah dilakukan di laboratorium patologi klinik yang tidak jauh dari
tempat layanan VCT, sedangkan pengambilan darah dilakukan di tempat layanan
konseling

5
B. Prasarana
1. Aliran listrik
Dibutuhkan alira listrik untuk penerangan yang cukup baik untuk membaca dan
menulis serta untuk alat pendingin ruangan
2. Air
Diperlukan air yang mengalir untuk menjaga kerbersihan ruangan dan mencuci
tangan serta membersihkan alat-alat
C. Sumber Daya Manusia
Layanan VCT harus mempunyai sumber daya manusia yang sudah terlatih dan
kompeten
Petugas pelayanan VCT terdiri dari
1. Kepala klinik VCT
2. Dua orang konselor VCT terlatih sesuai dengan standar WHO atau lebih sesuai
kebutuhan
3. Petugas manajemen kasus
4. Seorang petugas laboratorium dan atau seorang petugas pengambil darah yang
berlatarbelakagn perawat
5. Seorang dokter yang bertanggungjawab secara medis dalam penyelenggaraan
VCT
6. Petugas administrasi untuk data entry yang sudah mengenal ruang lingkup
pelayanan VCT
7. Petugas jasa kantor atau pekarya kantor
8. Petugas keamanan yang sudah mengenal ruang lingkup VCT
9. Tenaga lain sesuai kebutuhan, misalnya relawan

Semua petugas layanan VCT bertanggung jawab atas konfidensialitas klien . klien
akan menandatangani dokumen konfidensialitas terlebih dahulu yang memuat
perlindungan dan kerahasiaan klien. Pendokumentasian harus dipersiapkan secara
tepat dan cepat agar memudahkan dalam pelayanan dan rujukan

Semua petugas layanan VCT bertanggung jawab atas konfidensialitas klien . klien
akan menandatangani dokumen konfidensialitas terlebih dahulu yang memuat
perlindungan dan kerahasiaan klien. Pendokumentasian harus dipersiapkan secara
tepat dan cepat agar memudahkan dalam pelayanan dan rujukan

III. LOGISTIK
- Logistik yang berasal dari Rumah sakit berupa berbagai alat-alat medik serta obat-
obatan diperlukan untuk pelaksanaan perawatan antara lain :
Peralatan medis di Poli rawat jalan :
1. Timbangan

6
2. Stetoskop
3. Hand scoon
4. Wastapel
5. Sabun antiseptik
6. Formulir vct
7. Meja dan kursi
8. Alat tulis
9. Lemari
10. Leaflet

Peralatan medis Rawat Inap:


1. Tempat tidur
2. Meja pasien
3. Handscoon
4. Skot plastik
5. Pakaian kerja
6. Kacamata
7. masker

- Logistik yang bersumber dari dinas kesehatan provinsi berupa reagen rapid anti
HIV dan obat-obat ARV
- Logistik yang berasal dari KPA yaitu kondom, rubligan, leaflet dan brosur

IV. KRITERIA PELAYANAN


Terdapat beberapa kriteria antara lain :
1. Ada dokter jaga yang terlatih di UGD untuk mengatasi kasus emergensi secara
umum.
2. Ada dokter Spesialis penyakit dalam, anak, dan ginekologi untuk mengatasi kasus
HIV dan AIDS.
3. Dokter, bidan dan perawat telah mengikuti pelatihan Tim Penangganan HIV/AIDS
di rumah sakit.
4. Mempunyai Standar Prosedur Operasional penanganan pasien HIV dan AIDS
5. Kebijakan gratis pelayanan konseling tes HIV, pengobatan ARV dan IO
6. Tersedia ruang konseling
7. Tersedia ruang Administrasi dan Farmasi
8. Memiliki petugas yang siap melakukan konseling dan ambil obat, pencatatan
danPelaporan ,administrasi dan manager kasus.
9. Adanya dukungan semua pihak dalam tim pelayanan HIV/AIDS, antara lain
dokter kebidanan, dokter anak, dokter/petugas anastesi, dokter penyakit dalam,
dokter spesialis lain serta dokter umum, bidan dan perawat.
10. Tersedia pelayanan 24 jam di ruang rawat nginap

7
11. Tersedia pelayanan penunjang lain yang berperan dalam pelayanan kasus HIV,
seperti laboratorium, Radiologi,gizi,obat dan alat penunjang yang selalu siap
tersedia.
12. Tersedia sarana dan prasarana yang mendukung terlaksananya kegiatan.

V. STRUKTUR ORGANISASI
Struktur organisasi pelayanan ini terdiri dari:
1. Ketua/Konsulen
Ketua/Konsulen Klinik VCT adalah dokter spesialis penyakit dalam dan
bersetifikat pelatihan VCT. Ketua klinik VCT bertanggung jawab terhadap
Direktur. Ketua VCT mengkoordinir seluruh pelaksanaan kegiatan di dalam/di
luar unit, serta bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan
dengan institusi pelayanan lain yang berkaitan dengan HIV.
Tugas Kepala Klinik VCT:
a. Memeriksa pasien di poliklinik dan merujuk ke klinik VCT untuk diperiksa
jika dicurigai menderita HV/AIDS
b. Menetapkan obat pasien positif HIV/AIDS
c. Mengawasi pelaksanaan kegiatan
d. Mengevaluasi kegiatan
e. Bertanggung jawab untuk memastikan bahwa layanan secara keseluruhan
berkualitas sesuai dengan pedoman VCT Departemen Kesehatan RI
f. Mengkoordinir pertemuan berkala dengan seluruh staf konseling dan testing,
minimal satu bulan sekali
g. Melakukan jejaring kerja dengan rumah sakit, lembaga-lembaga yang
bergerak dalam bidang VCT untuk memfasilitasi pengobatan, perawatan dan
dukungan
h. Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat serta pihak terkait lainnya
i. Melakukan monitoring internal dan penilaian berkala kinerjaseluruh
pelayanan VCT, termasuk konselor VCT
j. Mengembangkan standar prosedur operasional pelayanan VCT
k. Menetapkan system atau mekanisme monitoring dan evaluasi layanan yang
tepat
l. Menyusun dan melaporkan laporan bulanan dan laporan tahunan kepada
Dinas Kesehatan setempat
m. Memastikan logistik terkait dengan KIE dan bahan lain yang dibutuhkan
lain untuk pelayanan Konseling dan Testing
n. Memantapkan pengembangan diri melalui pelatihan peningkatan
keterampilan dan pengetahuan HIV/AIDS

8
2. Konselor
Konselor adalah dokter atau perawat yang telah mengikuti pelatihan konseling.
Tugas konselor:
a. Melakukan koordinasi pelaksanaan pelayanan medis
b. Melakukan pemeriksaan medis, pengobatan, perawatan maupun tindak
lanjut terhadap klien
c. Melakukan rujukan (pemeriksaan penunjang, laboratorium, dokter ahli, dan
konseling lanjutan)
d. Melakukan konseling kepada dokter ahli
e. Membuat laporan khusus
3. Petugas CST
Petugas CST adalah dokter atau perawat yang telah mengikuti pelatihan CST.
CST adalah seorang yang mampu mengembangan program perawatan,
dukungan dan pengobatan HIV/AIDS terkait psikologis, social, dan hukum.
Koordinator pelayanan non medis minimal sarjana kesehatan/non kesehatan
yang berlatarbelakang pendidikan sarjana psikologi atau sarjana ilmu social
yang sudah terlatih VCT. Secara administrasi bertanggung jawab terhadap
kepala unit VCT.
Tugas CST
a. Mengusulkan perencanaan kegiatan dan kebutuhan operasional
b. Melakukan koordinasi dengan konselor dan petugas managemen kasus
c. Menyelanggarakan layanan VCT sesuai dengan pedoman nasional
Departemen Kesehatan RI
d. Membantu melakukan jejaring kerja dengan rumah sakit, lembaga-lembaga
yang bergerak dalam bidang VCT untuk memfasilitasi pengobatan,
perawatan, dan dukungan
e. Melakukan monitoring internal dan penilaian berkala kinerjakonselor VCT
dan menejer kasus
f. Mengembangkan dan melaksanakan standar pelayanan operasional
pelayanan VCT
g. Mengajukan draf laporan bulanan dan laporan tahunan kepada kepala unit
VCT
h. Menyiapkan logitik terkaitdengan KIE dan alat peragayang dibutuhkan
untuk pelayanan VCT
i. Memantapkan pengembangan dirimelalui pelatihan peningkatan
keterampilan dan pengetahuan HIV/AIDS
4. Petugas laboratorium
Petugas Laboratorium dokter atau analis yang telah mengikuti pelatihan HIV.
Petugas laboratorium minimal seorang petugas pengambil darah yang berlatar
belakang perawat. Petugas laboratorium atau teknisi telah mengikuti pelatihan

9
tentang teknik memproses testing HIV dengan cara ELISA, testing cepat dan
mengikuti algoritma testing yang diadopsi dari WHO.
Tugas Petugas laboratorium :
a. Mengambil darah klien sesuai SOP
b. Melakukan pemeriksaan laboratorium sesuai prosedur dan standar
laboratorium yang telah ditetapkan
c. Menerapkan kewaspadaan buku dan transmisi
d. Melakukan pencegahan pasca jajanan okupasional
e. Mengikuti kemajuan perkembangan teknologi pemerikasaan laboratorium
f. Mencatat hasil testing HIV dan sesuaikan dengan nomor identifikasi klien
g. Menjaga kerahasiaan hasil testing HIV
h. Melakukan pencatatan, menjaga kerahasiaan, dan merujuk ke laboratotium
rujukan.
5. Sekretaris / Administrasi
Petugas administrasi adalah seorang yang memiliki keahlian di bidang
administrasi dan berlatar belakang minimal setingkat SLTA dan telah mengikuti
pelatihan system informasi HIV/AIDS
Tugas Sekertaris/Administrasi:
a. Bertanggung jawab terhadap kepala unit VCT
b. Bertanggung jawab terhadap pengurusan perijinan klinik VCT dan registrasi
konselor VCT
c. Melakukan surat menyurat dan administrasi terkait
d. Melakukan tata laksana dokumen, pengarsipan, melakukan pengumpulan,
pengolahan dan analisis data
e. Membuat pencatatan dan pelaporan

VI. TATALAKSANA PASIEN HIVAIDS


A. PENEMUAN KASUS HIV/AIDS
Penemuan kasus bertujuan untuk mendapatkan kasus HIV/AIDS melalui
serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap kasus HIV, pemeriksaan fisik
dan laboratorium, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan
tipe pasien HIV, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar terkontrol dan tidak
menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari
penjaringan melalui konseling baik yang datang lewat poliklinik maupun bangsal.
Penemuan pasien dibangsal berdasarkan permohonan dokter spesialis untuk
melakukan konseling dan VCT atas pasien yang dianggap suspek menderita
HIV/AIDS.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana
pasien HIV. Penemuan dan pengobatan HIV secara bermakna akan dapat
menurunkan kesakitan dan kematian akibat virus HIV, penularan HIV di

10
masyarakat dan sekaligus merupakan pencegahan penularan pasien HIV di
masyarakat.
1. Strategi Penemuan
Penemuan pasien HIV secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi
aktif. Penjaringan yang dicurigai HIV dilakukan di unit pelayanan kesehatan;
didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik petuga kesehatan maupun
masyarakat dibantu LSM, untuk meningkatkan cakupan penemuan yang
dicurigai HIV. Keterlibatan semua layanan dimaksudkan untuk mempercepat
penemuan dan menrurangi keterlambatan pengobatan. Penemuan secara aktif
pada masyarakat, dinilai tidak cost efektif.
2. Penemuan secara aktif dapat dilakukan pada
a. Kelompok resiko tinggi yang terdiri dari pasangan atau anak dari ODHA
b. Pemeriksaan terhadap ibu hamil
c. Pemeriksaan terhadap pengguna narkoba suntik
d. Pemeriksaan terhadap pelanggan wanita pekerja seks
e. Pemeriksaan terhadap pekerja seks
f. Pemeriksaan terhadap orang yang beresiko tertular HIV
B. TAHAPAN PELAYANAN VCT
1. Konseling Pra Testing
Tahapan Penatalaksanaa
a. Penerimaan klien
 Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama (anonimus)
sehinngga nama tidak ditanyakan
 Pastikan klien dating tepat waktu dan usahakan tidak menunggu
 Jelaskan prosedur VCT
 Buat catatan rekam medis klien dan pastikan setiap klien mempunyai
nomor kodenya tersendiri

Kartu periksa Konseling dan Testing


Klien mempunyai kartu dengan nomor kode. Data ditulis oleh konselor. Untuk
meminimalkan kesalahan, kode harus diperiksa ulang oleh konselor dan
perawat/pengambil darah

Tanggung jawab klien dalam kosneling adalah sebagai berikut


1) Bersama konselor mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan
informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS, perilaku beresiko,
testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif atau
positif
2) Sesudah melakukan konseling, konseling lanjutan diharapkan dapat
melindungi dirinyua sendiri dan keluarganya dari penyebaran infeksi

11
dengan cara menggunakan berbagai informasi dan alat perevensi
yang tersedia bagi mereka
3) Untuk klien dengan HIV positif memberitahukan pasangan atau
keluarganya akan status HIV dirinya dan merencanakan kehidupan
lebih lanjut
b. Konseling pra testing HIV/AIDS
1) Periksa ulang nomor kode dalam formulir
2) Perkenalan dan arahan
3) Membangun kepercayaan klien pada konselor yang merupakan dasar
utama bagi terjaganya kerahasiaan sehingga terjalin hubungan baik
dan terbina sikap saling memahami
4) Alasan kunjungan dan klarifikasi tentang fakta dan mitos tentang
HIV/AIDS
5) Penilaian resiko untuk membantu klien mengetahui factor resiko dan
menyiapkan diri untuk pemeriksaan darah
6) Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak
terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan
diri dengan status HIV
7) Didalam konseling pra testing seorang konselor VCT harus dapat
membuat keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian risiko
dan merespon kebutuhan emosi pasien
8) Konselor VCT melakukan penilaian system rujukan
9) Klien memberikan persetujuan tertulisnya (Informed Concent)
sebelum dilakukan testing HIV/AIDS
c. Konseling Pra testing HIV/AIDS dalam keadaan khusus
1) Dalam keadaan klien terbaring makan konseling dapat dilakukan
disamping tempat tidur atau dengan memindahkan temapt tidur klien
ke ruang yang nyaman dan terjaga kerahasiaannya
2) Dalam keadaan kien tidak stabil maka VCT tidak dapat dilakukan
langsung kepada klien dan menunggu hingga kondisi klien stabil
3) Dalam keadaan pasien kritis tetapi stabil dapat dilakukan konseling
2. Informed Concent
Semua klien sebelum menjalani testing HIV harus memberikan persetujuan
tertulisnya
Aspek penting dalam persetujuan tertulis itu adalahs ebagai berikut

1) Klien telah diberi penjelasan cukup tentang resiko dan dampak


sebagai akibat dari tindakannya dank lien menyetujuinya
2) Klien mempunyai kemampuan menagkap pengertian dan mampu
menyatakan persetujuannya (secara intelektual dan psikiatris)

12
3) Klien tidak dalam paksaan untuk memberikan persetujuan meski
konselor memahami bahwa mereka memang sangat memerlukan
pemeriksaan HIV
4) Untuk klien yang tidak dapat mengambil keputusan bagi dirinya
karena keterbatasan dalam memahami informasi maka tugas konselor
untuk berlaku jujur dan obyektif dalam menyampaikan informasi
sehingga klien memahami dengan benar dan dapat menyatakan
persetujuannya.
3. Testing HIV dalam VCT
Prinsip testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaannya. Testing
dimaksud menegakkan diagnosis. Testing yang digunakan adalah testing
serologis untuk mendeteksi antibody HIV dalam serum dan plasma. Specimen
adalaj darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau serumnya.
Tujuan testing testing HIV ada empat yaitu untuk menegakkan diagnosis,
pengamanan darah donor (skrining), untuk surveilans dan untuk penelitian.
Petugas laboratorium harus menjaga mutu dan kondifensialitas. Hindari
terjadinya kesalahan, baik teknis (technical error) maupun manusia (human
error) dan administratif. Petugas laboratorium (perawat) mengambil darah
setelah klien menjalani konseling pra testing.
4. Konseling Pasca Testing
Tahapan penatalaksanaan Konseling Pasca Testing
a. Penerimaan pasien
- Memanggil pasien secara wajar
- Pastikan klien dating tepat waktu dan usahakan tidak menunggu
- Ingat akan semua kunci utama dalam menyampaikan hasil testing
b. Pedoman penyampaian hasil testing negatif
- Periksa kemungkinan terpapar dalam periode jendela
- Buatlah ikhtisar dan gali lebih lanjut berbagai hambatan untuk seks
yang aman, pemberian makana pada bayi dan penggunaan jarum
suntik yang aman
- Periksa kembali reaksi emosi yang ada
- Buatlah renacan lebih lanjut
c. Pedoman penyampaian hasil testing positif
- Perhatikan komunikasi non verbal saat memanggil klien memasuki
ruang konseling
- Pastikan klien siap menerima hasil
- Tekankan kerahasiaan
- Lakukans ecara jelas dan langsung
- Sediakan waktu cukup untuk menyerap inforamsi tentang hasil
- Periksa apa yang diketahui klien tentang hasil testing

13
- Dengan tenang bicarakan apa arti hasil pemeriksaan
- Galihlah ekspresi dan ventilasi emosi
d. Terangkan secara ringkas tentang:
- Tersedianya fasilitas untuk tindak lanjut dan dukungan
- 24 jam pendampingan
- Dukungan informasi verbal dengan informasi tertulis
- Rencana nyata
- Adanya dukungan dan orang dekat
- Apa yang akan dilakukan klien dalam 48 jam
- Strategi mekanisme penyesuaian diri
- Tanyakan apakah klien masih ingin bertanya
- Beri kesempatan klien untuk mengajukan pertanyaan dikemudian
hari
- Rencanakan tindak lanjut atau rujukan jika diperlukan
e. Konfidensialitas
Persetujuan untuk mengungkapkan status HIV seorang individu kepada
pihak ketiga seperti institusi rujukan, peetugas kesehatan yang secara
tisak langsung melakukan perawatan kepada klien yang terinfeksi dan
pasangannya, harus senantiasa diperhatikan. Persetujuan ini dituliskan
dan dicantumkan dalam catatan medic. Kosenlor bertanggung jawab
mengkomunikasikan secara jelas perluasan konfidensialitas yang
ditawarkan kepada klien. Dalam keadaan normal, penjelasan rinci seperti
ini dilakukan dalam konselig pra testing atau saat penandatanganan
kontrsk pertama. Berbagi konfidensialitas artinya rahasi diperluas kepada
orang lain, harus terlebih dahulu dibicarakan dengan klien. Orang lain
yang dimaksud adalah anggota keluarga, orang yang dicintai, orang yang
merawat, teman yang dipercaya atau rujukan pelayanan lainnyta ke
pelayanan medic dan keselamatan klien. Konfidensialitas juga harus
dibuka jika diharukan oleh hokum (statutory) yang jelas.
5. Pelayanan dukungan berkelanjutan
a. Konseling berkelanjutan
Sesudah konseling pasca testing, dimana klien telah menerima hasil
testing, perlu mendapatkan pelayanan dukungan berkelanjutan. Salah satu
layanan yang ditawarkan adalah dukungan konseling lanjutan sebagai
bagian dari VCT, apapun hasil tes yang diterima klien. Namun karena
persepso klien terhadap hasil testing berbeda-beda maka dapat saja
konseling lanjutan sebagai pilihan jika dibutuhkan klien untuk
menyesuaikan diri dengan status HIV

14
b. Kelompok dukungan VCT
Kelompok dukungan VCT dapat dikembangkan oleh ODHA, OHIDHA,
masyarakat yang pedulu dngan HIV/AIDS dan penyelenggara layanan.
c. Perawatan dan dukungan
Begitu diagnosis ditegakkan dengan HUV positif maka ia perlu dirujuk
dengan pertimbangan akan kebutuhan rawatan dan dukungan
d. Konseling kepatuhan minum obat
WHO merekomendasikan dibutuhkan waktu untuk memberikan
pengetahuan dan persiapan guna meningkatkan kepatuhan sebelum
dimulai terapi ARV
e. Rujukan
Rujukan merupakan proses ketika petugas melakukan penilaian bahwa
klien mereka memerlukan pelayanan tambahan lainnya. Rujukan
merupakan alat penting guna memastikan terpenuhinya pelayanan
berkelanjutan yang dibutuhkan klien untuk mengatasi keluhan fisik,
psikologik dan social.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pelaksanaan rujukan
- Dilakukan ke institusi, klinik dan rumah sakit
- Konselor menanamkan pemahaman kepada klien alasan keperluan
dan lokasi layanan rujukan
- Pengiriman surat rujukan dari ke pelayanan yang dibutuhkan klien,
dilakukan oleh penanggung jawab pelayanan VCT dengan surat
pengantar rujukan yang memuat identitas klien yang diperlukan dan
tujuan rujukan klien. Klien juga diberi salianna surat rahasia yang
mungkin diperlukan untuk ditunjukkan pada klinisi yang
menanganinya. Jika klien membtuhkan informasi, konselor minimal
mampu memberikan informasi dasar atas apa yang dibutuhkan klien.
- Petugas kesehatan yang memebrikan layanan IMS, TB dan Penasun
hendaknya memahami jejaring kerjanya dengan Konseling dan
Testing HIV/AIDS sukarela.

C. PENGEMBANGAN PELAYANAN VCT


1. VCT untuk Pengguna Narkotik Suntik
Pengguna narkotik suntik (IDU) merupakan gangguan mental dan perilaku
yang kronis, sering kambuh dan sangat besar kemungkinan terinfeksi dan
menularkan infeksi HIV, hepatitis C dan B. Konseling dan testing harus
mencakup dampak pengurangan risiko terjangkit infeksi HIV/AIDS, hepatitis B
dan C, yaitu adanya upaya rehabilitasi, program penukaran jarum suntik,
program pencuci-hamaan jarum suntik, terapi rumatan metadon, terapi rumatan
bufrenorfin, program nalteksson dan Therapeutic Community.

15
2. Program Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (Prevention of Mother to
Child Tansmission, PMTCT)
Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi selama kehamilan, persalinan atau
melalui pemberian ASI. Terdapat kemungkinan 25-30% seorang anak tertular
dari ibunya yang HIV positif. Namun penularan ini dapat dicegah dengan cara:
- Terapi kombinasi obat yang tidak mahal dan berjangka pendek
- Proses kelahiran yang aman
- Dukungan dan konseling kepatuhan berobat yang tepat
- Cara memberi makan bayi yang benar
Elemen program PMTCT:
- Pencegahan primer infeksi HIV, terutama di antara perempuan adalah
melalui edukasi kepada remaja perempuan, ibu dan konseling dan testing
serta edukasi pada cara pemberian makanan untuk bayi
- Pencegahan kehamilan yang tidak dikehendaki melalui layanan kesehatan
reproduksi, keluarga berencana kepada semua prempuan termasuk
perempuan dengan HIV/AIDS
- Profilasksis dengan ART, praktek melahirkan yang aman, konseling
pemberian makanan bayim dukungan bagi perempuan dengan HIV hanya
dapat dikenali ketika mereka telah hamil dan melakukan ANC
- Layanan dukungan dan perawatan untuk perempuan dengan HIV yang
masuk dalam program, juga anak dan keluarganya
Elemen testing dan informasi pasca testing bagi perempuan dengan HIV
positif:
- Informasi tentang opsi terapi termasuk biaya yang harus dikeluarkan
- Konseling tentang pemberian makanan bayi, termasuk keuntungan dan
resikonya dari sisi kesehatan jika diberikan ASI, biaya yang dibutuhkan,
terpapar stigma dan kebutuhan kontrasepsi
- Informasi dan konseling akan masa depan fertilitas
- Informasi tentang pencegahan penularan HIV kepada pasangan yang tak
terinfeksi
- Konseling tentang berbagi kerahasiaan
- Informasi dan rujukan untuk layanan dukungan dan hidup positif
3. VCT di dalam Pengembangan Pelayanan Klinik TB
TB merupakan infeksi oportunistik pada ODHA, diperkiran sekitar 50-75%
ODHA di Indonesia menerita TB dalam hidupnya
Dampak TB pada HIV:
- Infeksi TB dengan HIV memeprcepat kondisi buruk pada diri seseorang
dan menurunkan angka harapan hidup pasien dengan infeksi HIV
- TB penyebab kematian 1 dari 3 orang AIDS di dunia

16
DOTS (Directly Observed Treatment, Short Course) merupakan inti program
pengendalian TB. DOTS merupakan strategi yang direkomendasikan oleh
WHO dan mencapai angka kesembuhan 85% dan 70% deteksi kasus infeksi
baru TB.
4. VCT di dalam Pengembangan Pelayanan Klinik IMS
Infeksi Menular Seksual (IMS) berhubungan secara epidemiologic maupun
perilaku dengan HIV. Perilaku berisiko akan menyebarkan kedua macam
infeksi ini. IMS dalam sebagian besar kasus terutama yang membuat ulkus pada
genital dan discharge.
IMS dapat menyebabkan individu menjadi rentan terhadapt infeksi HIV.
Proporsi infeksi baru HIV dalam populasi IMS lebih tinggi pada awal dan
pertengahan epidemic HIV. Terapi IMS dapat dijadikan sarana untuk
memberikan edukasi secara individual akan risiko HIV.
D. KOMPONEN LAYANAN HIV
a) Kegiatan layanan HIV di Fasilitas Layanan Kesehatan
Setiap daerah diharapkan menyediakan semua komponen layanan HIV yang
terdiri dari :
1. Informed consent untuk tes HIV seperti tindakan medis lainnya.
2. Mencatat semua kegiatan layanan dalam formulir yang sudah ditentukan
3. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap oleh dokter.
4. Skrining TB dan infeksi oportunistik.(lampiran 3)
5. Konseling bagi Odha perempuan usia subur tentang KB dan kesehatan
reproduksi termasuk rencana untuk mempunyai anak.
6. Pemberian obat kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan infeksi
oportunistik.
7. Pemberian ARV untuk Odha yang telah memenuhi syarat.
8. Pemberian ARV profilaksis pada bayi segera setelah dilahirkan oleh ibu
hamil dengan HIV.
9. Pemberian imunisasi dan pengobatan pencegahan kotrimoksasol pada bayi
yang lahir dari ibu dengan HIV positif.
10. Anjuran rutin tes HIV, malaria, sifilis dan IMS lainnya pada perawatan
antenatal (ANC).
11. Konseling untuk memulai terapi.
12. Konseling tentang gizi, pencegahan penularan, narkotika dan konseling
lainnya sesuai keperluan.
13. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS), dan
kelompok risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
14. Pendampingan oleh lembaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien

17
b) Konseling dan Tes HIV
Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
1) Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling &
Testing)
2) Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP – PITC =
Provider-Initiated Testing and Counseling)
KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan
kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV
setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan
tanda klinis diduga terinfeksi HIV (lihat Tabel), pasien dari kelompok berisiko
(penasun, PSK-pekerja seks komersial, LSL – lelaki seks dengan lelaki),
pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran
dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien
sudah mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan
semua pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C – counseling, consent,
confidentiality)

Tabel 1. Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV
Keadaan Umum
3)
 Kehilangan berat badan >10% dari berat badan dasar
Tes HI
 Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5oC) yang lebih dari
c) Pemeriksaan Laboratorium Untuk Tes HIV
satu bulan
 Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
 Limfadenopati meluas
Kulit
 PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa
kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi
pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
Infeksi
Infeksi jamur  Kandidiasis oral*
 Dermatitis seboroik*
 Kandidiasis vagina berulang
Infeksi viral  Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu
dermatom)*
 Herpes genital (berulang)
 Moluskum kontagiosum
 Kondiloma
Gangguan  Batuk lebih dari satu bulan
pernafasan  Sesak nafas
 Tuberkulosis
 Pneumonia berulang
 Sinusitis kronis atau berulang
Gejala  Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak
neurologis 18
jelas penyebabnya)
 Kejang demam
 Menurunnya fungsi kognitif
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama
(A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk
pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi
(>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3
bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang
dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu dilakukan
tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.

Tabel 2. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1

Hasil Interpretasi Tindak Lanjut


A1 (-) Non-reaktif  Bila yakin tidak ada faktor risiko dan atau perilaku
atau berisiko dilakukan LEBIH DARI tiga bulan
A1 (-) A2 sebelumnya maka pasien diberi konseling cara
(-) A3 (-) menjaga tetap negatif
 Bila belum yakin ada tidaknya faktor risiko dan atau
perilaku berisiko dilakukan DALAM tiga bulan
terakhir maka dianjurkan untuk TES ULANG dalam 1
bulan
A1 (+) Indeterminate Ulang tes dalam 1 bulan Konseling cara menjaga agar
A2 (+) tetap negatif ke depannya
A3 (-)
Atau
A1 (+)
A2 (-) A3
(-)
A1 (+) Reaktif atau Lakukan konseling hasil tes positif dan rujuk untuk
A2 (+) Positif mendapatkan paket layanan PDP
A3 (+)

E. DIAGNOSIS HIV
1. Diagnosis HIV pada orang dewasa
Semua pasien yang dikonsulkan baik dari poliklinik ataupun dari bangsal yang
dicurigai HIV dikonseling selanjutnya di tes serologi HIVnya dengan metode
rapid tes dengan 3 reagen.
2. Diagnosis HIV pada anak

19
Semua pasien anak-anak yang dicurigai HIV sebelum anak itu berusia 18 bulan
yang dites serologi HIV adalah ibu dari pasien dengan metode rapid.
3. PMTCT (Preventon Mother To Child Transmission)
Setiap ibu hamil yang control di poli kandungan dianjurkan untuk tes serologi
anti HIV.
4. IO (Infeksi Oportunistik)
Secara berkala pada saat pasien control di layanan/klinik dilakukan pengkajian
akan kemungkinan adanya IO, misalnya:
 TB
 IMS
 Toksoplasmosis
 Retinitis
 Diare, dll
5. IDU (Intravenous Drug User)
Setiap klien di klinik dengan resiko penukaran jarum suntik selalu digali apakah
yang bersangkutan saat ini masih sebagai user aktif
6. Rujukan
Berkoordinasi terkait rujukan baik rujuk masuk maupun rujuk keluar

F. PEMERIKSAAN DAN TATALAKSANA SETELAH DIAGNOSIS HIV


DITEGAKKAN
a. Penilaian Stadium Klinis
Stadium Klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan
untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
Stadium Klinis Infeksi HIV
Stadium 1
 Tidak ada gejala
 Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2
 Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (<10%
dari perkiraan berat badan atau berat badan aebelumnya)
 Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media,
faringitis)
 Herpes zoster
 Keilitis angularis
 Ulkus mulut yang berulang
 Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption)
 Dermatisis seboroik
 Infeksi jamur pada kuku

20
Stadium 3
 Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih
dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
 Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
 Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
 Kandidiasis pada mulut yang menetap
 Oral hairy leukoplakia
 Tuberkulosis paru
 Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis,
piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggul
yang berat)
 Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
 Anemi yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropeni (<0.5 x 10 9/l)
dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 109/)

Stadium 4
 Sindrom wasting HIV
 Pneumonia Pneumocystis jiroveci
 Pneumonia bacteri berat yang berulang
 Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, genital, atau anorektal selama lebih
dari 1 bulan atau viseral di bagian manapun)
 Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru)
 Tuberkulosis ekstra paru
 Sarkoma Kaposi
 Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati,
limpa dan kelenjar getah bening)
 Toksoplasmosis di sistem saraf pusat
 Ensefalopati HIV
 Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis
 Infeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar
 Leukoencephalopathy multifocal progresif
 Cyrptosporidiosis kronis
 Isosporiasis kronis
 Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
 Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
 Limfoma (serebral atau Sel B nonHodgkin)
 Karsinoma serviks invasif
 Leishmaniasis diseminata atipikal
 Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis

21
b. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4)
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA. Pemeriksaan CD4
melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan
pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV. Rata rata penurunan CD4 adalah sekitar
70-100 sel/mm3 /tahun, dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 –
100 sel/mm3 /tahun. Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan
pemeriksaan CD4.
c. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan mutlak
untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral load juga bukan
kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV, namun
pemantauan laboratorium atas indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk
memantau keamanan dan toksisitas pada ODHA yang menerima terapi ARV.
Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka dianjurkan melakukan
pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal
terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.
Di bawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum memulai ART
apabila sumber daya memungkinkan:
 Darah lengkap*
 Jumlah CD4*
 SGOT / SGPT*
 Kreatinin Serum*
 Urinalisa*
 HbsAg*
 Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau dengan riwayat IDU)
 Profil lipid serum
 Gula darah
 VDRL/TPHA/PRP
 Ronsen dada (utamanya bila curiga ada infeksi paru)
 Tes Kehamilan (perempuan usia reprodukstif dan perluanamnesis mens
terakhir)
 PAP smear / IFA-IMS untuk menyingkirkan adanya Ca Cervix yang pada
ODHA bisa bersifat progresif)
 Jumlah virus / Viral Load RNA HIV** dalam plasma (bila tersedia dan bila
pasien mampu)

d. Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV


Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan
konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.

22
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di
bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960mg
sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat,dan 2. Menyingkirkan
kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan obat ARV,
mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan
efek samping kotrimoksasol.
e. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian
pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu
profilaksis primer dan profilaksis sekunder.
 Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
 Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita
sebelumnya
PPK dianjurkan bagi:
 ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan hamil
dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat menimbulkan
kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu hamil
dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis supresi imun
(stadium klinis 2,3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol
dan kemudian hamil harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
 ODHA dengan jumlah CD4 dibawah 200 sel/mm 3 (apabila tersedia
pemeriksaan dan hasil CD4)
Tabel 3. Pemberian kotrimoksasol sebagai profilaksis

Indikasi Saat penghentian Dosis Pemantauan


Bila tidak tersedia 2 tahun setelah 960 mg/ hari Efek samping berupa
pemeriksaan jumlah penggunaan dosis tunggal tanda hipersensitivitas
sel CD4, semua kotrimoksasol jika seperti demam, rash,
pasien diberikan mendapatkan ARV. sindrom Steven
kotrimoksasol Johnson, tanda
segera setelah penekanan sumsum
dinyatakan HIV tulang seperti anemi,
positif trombositopeni,
Bila tersedia Bila sel CD4 naik >200 lekopeni, pansitopeni
pemeriksaan jumlah sel/mm3 pada Interaksi obat dengan
sel CD4 dan pemeriksaan dua kali ARV dan obat lain
terjangkau, interval 6 bulan yang digunakan dalam
kotrimoksasol berturutturut jika pengobatan penyakit
diberikan pada

23
pasien dengan mendapatkan ARV terkait HIV.
jumlah CD4 <200
sel/mm3
Semua bayi lahir Dihentikan pada usia Trimetropim 8
dari ibu hamil HIV 18 bulan dengan hasil – 10 mg/kg
positif berusia 6 test HIV negatif Jika BB dosis
minggu test HIV positif tunggal
dihentikan pada usia 18
bulan jika mendapatkan
terapi ARV

G. TATALAKSANA PEMBERIAN ARV


a. Saat Memulai Terapi ARV
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah
CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut
adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi
antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi
ARV pada ODHA dewasa.
a) Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi
ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.
b) Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil
dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

Tabel 4. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa

Target Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Rekomendasi


ODHA dewasa Stadium klinis 1 dan >350 sel/mm3 Belum mulai terapi.
2 Monitor gejala
klinis dan jumlah
sel CD4 setiap 6-
12 bulan
<350 sel/mm3 Mulai terapi
Pasien dengan Apapun Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi
ko-infeksi TB klinis sel CD4
Pasien dengan Apapun Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi
ko-infeksi klinis sel CD4
Hepatitis B

24
Kronik aktif
Ibu Hamil Apapun Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi
klinis sel CD4

b. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO) yang Aktif
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau
diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 5. Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV

Jenis Infeksi sOpportunistik Rekomendasi


Progresif Multifocal Leukoencephalopathy, ARV diberikan langsung setelah diagnosis
Sarkoma Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV, infeksi ditegakkan
Kriptosporidiosis
Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, MAC ARV diberikan setidaknya 2 minggu
setelah pasien mendapatkan pengobatan
infeksi opportunistic

c. Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan


Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV
berdasarkan pada 5 aspek yaitu:
• Efektivitas
• Efek samping / toksisitas
• Interaksi obat
• Kepatuhan
• Harga obat
Prinsip dalam pemberian ARV adalah
1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas
penggunaan obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan
akses pelayanan ARV.
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik yang baik.
1. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:
AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine) ATAU
AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) ATAU

25
TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau ATAU
NVP Emtricitabine) + Nevirapine)
TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau
EFV Emtricitabine) + Efavirenz)

Tabel 6. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa


yang belum pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve)

Populasi Target Pilihan yang Catatan


direkomendasikan
Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC (atau Merupakan pilihan paduan yang
FTC) + EFV atau NVP sesuai untuk sebagian besar
pasien Gunakan FDC jika tersedia
Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau NVP Tidak boleh menggunakan EFV
pada trimester pertama TDF bisa
merupakan pilihan
Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC (FTC) Mulai terapi ARV segera setelah
+ EFV terapi TB dapat ditoleransi (antara
2 minggu hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple NRTI
bila EFV tidak dapat digunakan
Ko-infeksi TDF + 3TC (FTC) + EFV Pertimbangkan pemeriksaan
HIV/Hepatitis B atau NVP HBsAg terutama bila TDF
kronik aktif merupakan paduan lini pertama.
Diperlukan penggunaan 2 ARV
yang memiliki aktivitas anti-HBV

H. TERAPI ANTIRETROVIRAL PADA POPULASI KHUSUS


1. Terapi ARV untuk ibu hamil
a. Tes Diagnostik HIV Ibu Hamil

Prosedur pemeriksaan diagnostik HIV menggunakan strategi 3 yaitu


pemeriksaan tes HIV secara serial dengan menggunakan tiga reagen yang
berbeda. Test HIV yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan adalah
pemeriksaan dengan tiga reagen rapid HIV. Namun untuk sarana kesehatan
yang memiliki fasilitas yang lebih baik, test HIV bisa dilakukan dengan
pemeriksaan Rapid tes dan pemeriksaan ELISA. Pemilihan jenis reagen yang
digunakan berdasarkan sensitifitas dan spesifisitasnya, dengan merujuk pada
standar nasional. Untuk ibu hamil dengan faktor risiko yang hasil tesnya non
reaktif, tes diagnostik HIV dapat diulang pada trimester berikutnya (atau 3
bulan kemudian).

Tabel 7. Tes diagnostic HIV pada Ibu Hamil dengan faktor risiko

26
Umur Kehamilan Hasil Tindak Lanjut
Trimester 1 Non Reaktif Ulang 3 bulan kemudian
Reaktif Sesuai alur Ibu Hamil dengan HIV
Trimester 2 Non Reaktif Ulang 3 bulan kemudian
Reaktif Sesuai alur Ibu Hamil dengan HIV
Trimester 3 Non Reaktif Ulang 3 bulan kemudian
Reaktif Sesuai alur Ibu Hamil dengan HIV
b. Pemberian Terapi Antiretroviral
- Pada ODHA dewasa, penentuan saat yang tepat memulai terapi obat
antiretroviral (ART) selain dengan menggunakan stadium klinis,
diperlukan pemeriksaan CD4.
- Pada kebijakan PPIA 2011, ART diberikan kepada semua perempuan
hamil HIV positif tanpa harus memeriksakan kondisi CD4-nya lebih
dahulu. Penentuan stadium HIV-AIDS pada ibu hamil dapat dilakukan
berdasarkan kondisi klinis pasien dengan atau tanpa pemeriksaan CD4.
Pemeriksaan CD4 pada ibu hamil HIV positif terutama digunakan untuk
memantau pengobatan.
- Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif adalah
terapi menggunakan tiga obat kombinasi (2 NRTI + 1 NNRTI).
Seminimal mungkin hindarkan tripel nuke (3 NRTI). Regimen yang
direkomendasikan adalah sebagai berikut :

Ibu
AZT + 3TC + NVP Dapat diberikan sejak trimester 1 atau umur
kehamilan <14 minggu, ibu tidak anemia dan/atau
CD4 < 250 sel/mm3 (karena efek hepatotoksik
NVP pada perempuan biasa timbul jika CD4 <
250 sel/mm3)
AZT + 3TC + EVP Dapat diberikan sejak trimester 4 atau umur
kehamilan >14 minggu dan ibu tidak anemia
TDF + 3TC + NVP Dapat diberikan jika ibu anemia, dapat diberikan
sejak trimester 1
TDF + 3TC + NVP* Dapat diberikan jika ibu anemia, diberikan sejak
trimester 2
Bayi
AZT 4mg/KgBB, 2x/hari, mulai hari ke 1 hingga 6 minggu

c. Tatalaksana dan Pemberian Makanan Terbaik bagi Bayi dan Anak


Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang risiko
penularan melalui makanan bayi. Konseling ini harus diberikan sebelum

27
persalinan. Pilihan apapun yang diambil oleh seorang ibu harus kita dukung.
Pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh ibu setelah mendapat informasi
dan konseling secara lengkap.
Rekomendasi untuk pemberian informasi dan edukasi, baik tentang
pemberian makanan bayi dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
maupun pemeliharaan kesehatan anak secara umum adalah sebagai berikut :
1) Ibu hamil HIV positif perlu mendapatkan konseling sehubungan dengan
keputusannya untuk menggunakan susu formula atau ASI eksklusif.
2) Memberikan penjelasan tentang kelebihan dan kekurangan, termasuk
besarnya risiko penularan dari pilihan pemberian makanan bayi, baik
susu formula maupun ASI eksklusif. Penjelasan yang diberikan dimulai
dari pilihan ibu yang pertama.
3) Dengan adanya komunikasi dengan si ibu, kita dapat menggali
informasi kondisi rumah ibu dan situasi keluarganya.
4) Membantu ibu untuk menentukan pilihan pemberian makanan pada bayi
yang paling tepat.
5) Mendemonstrasikan bagaimana praktek pemberian makanan pada bayi
yang dipilih. Dapat dengan memberikan brosur yang bisa dibawa
pulang.
6) Memberikan konseling dan dukungan lanjutan.
7) Ketika kunjungan pasca persalinan, petugas kesehatan dapat melakukan:
 Monitoring tumbuh kembang bayi.
 Cek praktek pemberian makanan pada bayi dan apakah ada
perubahan yang diinginkan.
 Pemberian imunisasi pada bayi sesuai dengan jadwal imunisasi
dasar, kecuali bila ada tanda-tanda infeksi oportunistik.
 Pemberian kotrimoxazole pada bayi untuk mencegah timbulnya
morbiditas lain yang dimulai pada usia 6 minggu.
 Cek tanda-tanda infeksi penyakit.
 Mendiskusikan pemberian makanan selanjutnya setelah ASI untuk
bayi usia 6 bulan hingga 12 bulan.
d. Mengatur Kehamilan dan Mengakhiri Reproduksi
Rekomendasi Forkom ARV :
 Kata ’mengakhiri reproduksi” dihilangkan krn terlalu sensitive
 Mengatur kehamilan harus merujuk pada family planning
 Ketentuan kontrasepsi sebaiknya mengacu pada family planning
Semua jenis kontrasepsi yang dipilih oleh ibu harus selalu disertai dengan
penggunaan kondom. Kontrasepsi pada ibu/perempuan HIV positif (dual
protection):

28
• Menunda/mengatur kehamilan = kontrasepsi janga pendek +
kondom
• Menunda/mengatur kehamilan = kontrasepsi jangka panjang +
kodom
• Memutuskan tidak punya anak lagi = kontrasepsi mantap + kondom
e. Pemberian ARV profilaksis pada Anak
Pemberian ARV profilaksis dimulai pada hari ke-1 hingga 6 minggu.
Rejimen ARV yang diberikan adalah AZT 4 mg/KgBB diberikan 2 kali
dalam satu hari.
f. Pemeriksaan Diagnostik pada Bayi yang Lahir dari Ibu HIV Positif
Penentuan status HIV pada bayi dilakukan dengan dua cara yaitu secara
serologis atau virologis. Pemeriksaan serologis dilakukan setelah usia 18
bulan atau dapat dilakukan lebih awal pada usia 9-12 bulan dengan catatan
bila hasilnya positif maka harus diulang pada usia 18 bulan. Pemeriksaan
virologis harus dilakukan minimal 2 kali dan dapat dimulai pada usia 2
minggu serta diulang 4 minggu kemudian. Penentuan status HIV pada bayi
ini harus dilakukan setelah ASI dihentikan minimal 6 minggu.
2. Terapi ARV untuk Ko-infeksi HIV/Hepatitis B (HBV) dan Hepatitis C (HCV)
Hepatitis merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui darah
(blood borne disease) dan merupakan salah satu penyakit ko-infeksi pada HIV
khususnya hepatitis B & C. Infeksi hepatitis C sering dijumpai sebagai ko-infeksi
pada ODHA pengguna NAPZA suntik. Infeksi hepatitis B dan hepatitis C tidak
mempengaruhi progresivitas penyakit HIV, namun infeksi HIV akan mempercepat
progresivitas penyakit hepatitis B dan C dan mempercepat terjadinya end stage liver
disease (ESLD)
1) Terapi ARV untuk koinfeksi hepatitis B
Tabel 8. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Laboratorium Untuk Hepatitis B

Pemeriksaa Hasil Interpretasi dan Rekomendasi


n serologi
HBsAg Negatif Tidak terinfeksi HBV, rentan terhadap kemungkinan
tertular dan di rekomendasi untuk mendapatkan vaksinasi

Anti – HBc Negatif


Anti – HBs Negatif
HBsAg Negatif Jika belum divaksinasi, direkomendaskan untuk dilakukan
vaksinasi, jika sudah divaksinasi dan titer < 10mIU maka
Anti – HBc Negatif direkomendasikan untuk diulang. Jika > 10mIU dan sudah
Anti – HBs Positif mendapatkan vaksinasi lengkap tidak lagi diperlukan
vaksinasi.

HBsAg Positif Early acute infection

29
Anti – HBc Negatif
Anti – HBs Negatif
HBsAg Positif Infeksi akut
Anti – HBc Positif
IgM anti- Positif
HBc*
Anti – HBs Negatif
HBsAg Positif Infeksi kronik
Anti – HBc Positif
IgM anti- Negatif
HBc*
Anti – HBs Negatif
HBsAg Negatif Proses infeksi telah berhenti dan pasien mempunyai
kekebalan terhadap HBV (Resolved infection)
Anti – HBc Positif
Anti – HBs Positif
HBsAg Negatif Either distant resolved infection;recovering from acute
infection;false positive;or „occult‟ chronic infection
Anti – HBc Positif ( HBV DNA PCR positive )
Anti – HBs Negatif

 Hepatitis B dan HIV mempunyai beberapa kemiripan karakter, di antaranya


adalah merupakan blood-borne disease, membutuhkan pengobatan seumur
hidup, mudah terjadi resisten terutama jika digunakan monoterapi dan
menggunakan obat yang sama yaitu Tenofovir, lamivudine dan emtricitabine.
Entecavir, obat anti hepatits B mempunyai efek anti retroviral pada HIV juga
akan tetapi tidak digunakan dalam pengobatan HIV.
 Perlu diwaspadai timbulnya flare pada pasien ko-infeksi HIV/Hep B jika
pengobatan HIV yang menggunakan TDF/3TC dihentikan karena alasan
apapun.
 Mulai ART pada semua individu dengan ko-infeksi HIV/HBV yang
memerlukan terapi untuk infeksi HBV-nya (hepatitis kronik aktif), tanpa
memandang jumlah CD4 atau stadium klinisnya. Perhimpunan Peneliti Hati
Indonesia (PPHI) merekomendasikan memulai terapi hepatitis B pada infeksi
hepatitis B kronik aktif jika terdapat: peningkatan SGOT/SGPT lebih dari 2
kali selama 6 bulan dengan HBeAg positif atau HBV DNA positif.
 Adanya rekomendasi tersebut mendorong untuk dilakukan diagnosis HBV
pada HIV dan terapi yang efektif untuk ko-infeksi HIV/HBV

30
 Gunakan paduan antiretroviral yang mengandung aktivitas terhadap HBV dan
HIV, yaitu TDF + 3TC atau FTC untuk peningkatan respon VL HBV dan
penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat
Pada pengobatan ARV untuk koinfeksi hepatitis B perlu diwaspadai
munculnya hepatic flare dari hepatitis B. Penampilan flare khas sebagai kenaikan
tidak terduga dari SGPT/SGOT dan munculnya gejala klinis hepatitis (lemah,
mual, nyeri abdomen, dan ikterus) dalam 6-12 minggu pemberian ART. Flares
sulit dibedakan dari reaksi toksik pada hati yang dipicu oleh ARV atau obat
hepatotoksik lainnya seperti kotrimoksasol, OAT, atau sindrom pulih imun
hepatitis B. Obat anti Hepatitis B harus diteruskan selama gejala klinis yang
diduga flares terjadi. Bila tidak dapat membedakan antara kekambuhan hepatitis B
yang berat dengan gejala toksisitas ARV derajat 4, maka terapi ARV perlu
dihentikan hingga pasien dapat distabilkan. Penghentian TDF, 3TC, atau FTC juga
dapat menyebabkan hepatic flare.
2) Terapi ARV untuk koinfeksi hepatitis C
 Zidovudine dan Stavudine mempunyai efek samping tumpang tindih dalam hal
hematologi dan hepatotoksisitas dengan pengobatan yang digunakan dalam
hepatitis C khususnya ribavirin seperti pada tabel 12. Oleh karena itu, pada saat
pemberian bersama terapi hepatitis C perlu dilakukan substitusi sementara
dengan TDF.
 Terapi hepatitis C dianjurkan dimulai pada saat CD4 > 350 sel/mm3 dan setelah
terapi ARV stabil untuk mencapai tingkat SVR yang lebih tinggi.
Paduan terapi ARV pada keadaan ko-infeksi HIV/HCV adalah mengikuti infeksi
HIV pada orang dewasa. Hanya saja perlu memantau ketat karena risiko hepatotoksisitas
yang berhubungan dengan obat dan interaksi antar obat. Beberapa interaksi yang perlu
perhatian antara lain:
Risiko dari kombinasi obat untuk HIV/HCV

Kombinasi Obat Risiko Anjuran


Ribavirin + ddI Pankreatitis / asidosis laktat tidak boleh diberikan secara bersamaan
Ribavirin + AZT Anemia Perlu pengawasan ketat
Interferon + EFV Depresi berat Perlu pengawasan ketat
Pengobatan Hepatitis C

Indikasi Kriteria Pemberian Keterangan


Pasien Hepatitis C kronik Anti HCV + dan HCV RNA + Pegylated interferon dan
dengan compensated liver Peningkatan SGPT ribavirin bersifat teratogenik,
disease dengan riwayat belum Tidak dalam keadaan menyusui pemeriksaan kehamilan dan
pernah mendapatkan interferon atau hamil penggunaan alat KB perlu
sebelumnya dilakukan.
Pengobatan yang diberikan adalah Pegylated Interferon Alfa 2A/2B + Ribavirin. Perlu dilakukan
pemeriksaan genotyping HCV sebelum pengobatan. Lama pemberian tergantung dari genotype dari

31
Hepatitis C. Pada genotype 2 & 3 diberikan selama 24 minggu dan genotype 1 & 4 diberikan
selama 48 minggu. Dosis pegylated interferon Alfa 2A+ Ribavirin adalah 180μg/minggu +
Ribavirin 1000( BB < 75kg) – 1200 mg ( BB > 75kg). Dosis Pegylated interferon Alfa 2 B
+ribavirin adalah 1,5μg/kg/minggu + Ribavirin 800 ( < 65kg) – 1200 mg ( > 65kg).

3. Terapi ARV untuk Ko-infeksi Tuberkulosis


Terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju TB sampai sebesar 90% pada
tingkat individu dan sampai sekitar 60% pada tingkat populasi, dan menurunkan
rekurensi TB sebesar 50%.
Rekomendasi terapi ARV pada Ko-Infeksi Tuberkulosis
 Mulai terapi ARV pada semua individu HIV dengan TB aktif, berapapun jumlah
CD4.
 Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang memulai terapi ARV
selama dalam terapi TB.
 Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi.
Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu.
Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian ko-infeksi
TB-HIV, potensi menurunkan transmisi bila semua pasien HIV memulai terapi ARV
lebih cepat, dan meningkatkan kualitas hidup, menurunkan kekambuhan TB dan
meningkatkan manajemen TB pada pasien ko-infeksi TB-HIV.

CD4 Paduan yang Dianjurkan Keterangan


Berapapun Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV segera
jumlah CD4 Gunakan paduan yang mengandung EFV setelah terapi TB dapat
(AZT atau TDF) + 3TC + EFV (600 ditoleransi (antara 2
mg/hari). minggu hingga 8 minggu)
Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV
dapat diganti dengan NVP
Pada keadaan dimana paduan berbasis NVP
terpaksa digunakan bersamaan dengan
pengobatan TB maka NVP diberikan tanpa
lead-in dose (NVP diberikan tiap 12 jam
sejak awal terapi)
CD4 tidak Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV segera
mungkin setelah terapi TB dapat
diperiksa ditoleransi (antara 2
minggu hingga 8 minggu)

1) Pilihan NRTI
 Paduan triple NRTI hanya diberikan bila ada kontraindikasi atau tidak dapat
mentoleransi NNRTI atau terjadi toksisitas.

32
 Paduan triple NRTI yang dapat diberikan adalah: AZT+ 3TC +TDF akan tetapi
paduan triple NRTI tersebut kurang poten dibanding dengan paduan berbasis
NNRTI
 Pilihan NNRTI
EFV merupakan pilihan utama dibandingkan NVP, karena penurunan
kadar dalam darah akibat interaksi dengan rifampisin adalah lebih kecil dan
efek hepatotoksik yang lebih ringan.
Pada keadaan TB terdiagnosis atau muncul dalam 6 bulan sejak
memulai terapi ARV lini pertama maupun lini kedua, maka perlu
mempertimbangkan substitusi obat ARV karena berkaitan dengan interaksi obat
TB khususnya Rifampisin dengan NNRTI dan PI.

Tabel 9. panduan pemakaian terapi ARV pada pasien yang terdiagnosis


TB dalam 6 bulan setelah mulai terapi ARV lini pertama.

Paduan Paduan ARV pada Pilihan Terapi ARV


ARV Saat TB Muncul
Lini 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
pertama 2 NRTI + NVP Ganti dengan EFV atau
Teruskan dengan 2 NRTI + NVP. Triple NRTI
dapat dipertimbangkan digunakan selama 3 bulan
jika NVP dan EFV tidak dapat digunakan.
Lini 2 NRTI + PI/r Mengingat rifampisin tidak dapat digunakan
kedua bersamaan dengan LPV/r,
dianjurkanmenggunakan paduan OAT tanpa
rifampisin. Jika rifampisin perlu diberikan maka
pilihan lain adalah menggunakan gi LPV/r dengan
dosis 800 mg/200 mg dua kali sehari). Perlu
evaluasi fungsi hati ketat jika menggunakan
Rifampisin dan dosis ganda LPV/r
Bila terapi TB sudah lengkap dapat dipertimbangkan kembali untuk
mengganti paduan ARV ke NVP kembali
4. Terapi ARV pada Pengguna NAPZA suntik
Kriteria klinis dan imunologis untuk pemberian terapi ARV pada pasien
dengan ketergantungan NAPZA tidak berbeda dengan rekomendasi umum. Pengguna
NAPZA suntik yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan terapi ARV harus
pula dijamin dapat menjangkau obat. Perhatian khusus untuk populasi tersebut adalah
berhubungan dengan gaya hidup yang tidak menentu sepanjang hidupnya sehingga
dapat mempengaruhi kepatuhan terapinya. Selain itu perlu diperhatikan kemungkinan
terjadi interaksi antara terapi ARV dengan zat-zat yang mereka gunakan seperti
misalnya Metadon. Dianjurkan pengembangan suatu program yang memadukan
perawatan ketergantungan obat (termasuk terapi substitusi) dengan HIV sehingga

33
pasien terpantau dengan lebih baik. Penggunaan paduan ARV dengan dosis sekali
sehari masih dalam penelitian untuk diterapkan sehingga bisa untuk mempermudah
terapi.
5. Terapi ARV untuk Profilaksis Pasca Pajanan (PPP atau Post Exposure
Prophylaxis = PEP)
Terapi antiretroviral (ARV) dapat pula digunakan untuk Pencegahan Pasca
Pajanan (PPP atau PEP = post exposure prophylaxis), terutama untuk kasus pajanan
di tempat kerja (Occupational exposure). Risiko penularan HIV melalu tusukan
jarum suntik adalah kurang dari 1%. PPP dapat juga dipergunakan dalam beberapa
kasus seksual yang khusus misal perkosaan atau keadaan pecah kondom pada
pasangan suami istri.
Beberapa hal tentang PPP:
 Waktu yang terbaik adalah diberikan sebelum 4 jam dan maksimal dalam 48-72
jam setelah kejadian
 Paduan yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau AZT + 3TC + LPV/r
(Lopinavir/Ritonavir)
 Nevirapine (NVP) TIDAK digunakan untuk PPP
 ARV untuk PEP diberikan selama 1 bulan
 Perlu dilakukan tes HIV sebelum memulai PPP
 ARV TIDAK diberikan untuk tujuan PPP jika tes HIV menunjukkan hasil reaktif
(karena berarti yang terpajan sudah HIV positif sebelum kejadian)
 Perlu dilakukan pemantauan efek samping dari obat ARV yang diminum
 Perlu dilakukan Tes HIV pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PPP
 Pada kasus kecelakaan kerja pada petugas yang menderita Hepatitis B maka PPP
yang digunakan sebaiknya mengandung TDF/3TC untuk mencegah terjadinya
hepatic flare.
I. PEMANTAUAN KLINIS DAN LABORATORIS SELAMA TERAPI ARV
LINI PERTAMA
a. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV
Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral (terapi ARV)
perlu dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan
sekali. Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk
pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan
infeksi HIV.
Parameter klinis dan jumlah CD4 tersebut digunakan untuk mencatat
perkembangan stadium klinis pada setiap kunjungan dan menentukan saat pasien
mulai memenuhi syarat untuk terapi profilaksis kotrimoksazol dan atau terapi
ARV. Berbagai faktor mempengaruhi perkembangan klinis dan imunologis sejak
terdiagnosis terinfeksi HIV. Penurunan jumlah CD4 setiap tahunnya adalah sekitar

34
50 sampai 100 sel/mm3. Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih
ketat ketika mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai terapi ARV.

b. Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral


1. Pemantauan klinis
Frekuensi Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV.
Sebagai batasan minimal, Pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu 2,
4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6
bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.
Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk
tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi
(infeksi bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik lainnya) ditambah
konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan
kepatuhan.
2. Pemantauan laboratoris
 Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin setiap
6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total
(TLC = total lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk digunakan
memantau terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan
untuk memprediksi keberhasilan terapi
 Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu
dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi
dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda
dan gejala anemia
 Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila
ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan
tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250
– 350 sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase
pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV (bila
memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan berdasar gejala klinis
 Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan
TDF
 Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa
pasien yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI. Tidak
direkomendasi untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, kecuali
bila pasien menunjukkan tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis
laktat
 Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme
glukosa dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan gula darah
dan profil lipid secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk dilakukan
atas dasar tanda dan gejala

35
 Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk
memantau pasien dalam terapi ARV dalam keadaan terbatas fasilitas dan
kemampuan pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk membantu
diagnosis gagal terapi. Hasil VL dapat memprediksi gagal terapi lebih
awal dibandingkan dengan hanya menggunakan pemantauan klinis dan
pemeriksaan jumlah CD4
 Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi ARV diharapkan
menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi (undetectable) setelah bulan ke
3. Pemantauan pemulihan jumlah sel CD4
Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan
berlanjut bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Keadaan tersebut, kadang
tidak terjadi, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah
pada saat mulai terapi. Meskipun demikian, pasien dengan jumlah CD4 yang
sangat rendah tetap dapat mencapai pemulihan imun yang baik tetapi
memerlukan waktu yang lebih lama.
Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari
100 sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi
tetapi kemudian turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain,
maka perlu dicurigai adanya keadaan gagal terapi secara imunologis.
Data jumlah CD4 saat mulai terapi ARV dan perkembangan CD4 yang
dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk menentukan adanya gagal terapi
secara imunologis. Pada sebagian kecil pasien dengan stadium lanjut dan
jumlah CD4 yang rendah pada saat mulai terapi ARV, kadang jumlah CD4
tidak meningkat atau sedikit turun meski terjadi perbaikan klinis.
4. Kematian dalam Terapi Antriretroviral
Sejak dimulainya terapi ARV, angka kematian yang berhubungan
dengan HIV semakin turun. Secara umum, penyebab kematian pasien dengan
infeksi HIV disebabkan karena penanganan infeksi oportunistik yang tidak
adekuat, efek samping ARV berat (Steven Johnson Syndrome), dan keadaan
gagal fungsi hati stadium akhir (ESLD - End Stage Liver Disease) pada kasus
ko-infeksi HIV/HVB.
Paradigma baru yang menjadi tujuan global dari UNAIDS adalah Zero
AIDS-related death. Hal ini dapat tercapai bila pasien datang di layanan HIV
dan mendapat terapi ARV secepatnya.

Evaluasi Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Setiap 6 Jika


ke 2 ke 4 ke 8 ke 12 ke 24 bulan diperlukan

36
(tergantung
gejala)
Klinis

Evaluasi klinis √ √ √ √ √ √

Berat badan √ √ √ √ √ √

Penggunaan obat √ √ √ √ √ √
lain
Cek kepatuhan √ √ √ √ √ √
(adherence)
Laboratorium

Tes antibodi HIV

CD4 √ √

Hb √ √ √ √

Tes kehamilam √

VDRLRPR √

SGPT √ √ √ √ √

Kreatinin √

Viral load (RNA) √

J. KEGAGALAN TERAPI ARV


a. Definisi
Kriteria gagal terapi, ditentukan berdasarkan kriteria klinis, imunologis
maupun virologis. Pada tempat dimana tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4 dan
atau viral load, maka diagnosa kegagalan terapi menurut gejala klinis dapat
dilakukan. Sebaliknya pada tempat yang mempunyai sarana pemeriksaan CD4 dan
atau viral load, maka diagnosa kegagalan terapi ditegakkan dengan panduan
pemeriksaan CD4 dan atau viral load setelah pada pemeriksaan fisik dijumpai
tampilan gejala klinis yang mengarah pada kegagalan terapi. Di bawah akan diulas
dua macam kriteri kegagalan terapi, yang pertama adalah yang menggunakan
pemeriksaan CD4 dan VL sebagai dasar penentuan (kriteria WHO) dan yang
menggunakan pemeriksaan klinis sebagai dasar penentuan gagal terapi (utamanya
digunakan pada tempat yang tidak memiliki sarana pemerikasaan CD4 dan VL).
Kegagalan terapi menurut kriteria WHO
1. Kegagalan klinis:
Munculnya IO dari kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan dalam
terapi ARV. Beberapa penyakit yang termasuk dalam stadium klinis 3 (TB paru,
infeksi bakteri berat) dapat merupakan petunjuk kegagalan terapi.

37
2. Kegagalan Imunologis
Definisi dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan
mempertahankan jumlah CD4 yang adekuat, walaupun telah terjadi penurunan/
penekanan jumlah virus.
Jumlah CD4 juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perlu
mengubah terapi atau tidak. Sebagai contoh, munculnya penyakit baru yang
termasuk dalam stadium 3, dimana dipertimbangkan untuk mengubah terapi, maka
bila jumlah CD4 >200 /mm³ tidak dianjurkan untuk mengubah terapi.
3. Kegagalan Virologis:
Disebut gagal virologis jika:
 viral load tetap > 5.000 copies/ml (lihat gambar.4), atau
 viral load menjadi terdeteksi lagi setelah sebelumnya tidak terdeteksi.
Kriteria klinis untuk gagal terapi yang timbul dalam 6 bulan pertama
pengobatan tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan gagal terapi. Perlu
dilihat kemungkinan penyebab lain timbulnya keadaan klinis tersebut, misal
IRIS.
Kriteria virologi dimasukkan dalam menentukan kegagalan terapi di buku
ini, untuk mengantisipasi suatu saat akan tersedia sarana pemeriksaan viral load
yang terjangkau. Viral load masih merupakan indikator yang paling sensitif
dalam menentukan adanya kegagalan terapi. Kadar viral load yang optimal
sebagai batasan untuk mengubah paduan ARV belum dapat ditentukan dengan
pasti. Namun > 5.000 copies/ml diketahui berhubungan dengan progresi klinis
yang nyata atau turunnya jumlah CD4.
b. Alur Tatalaksana Gagal Terapi ARV kriteria WHO
Berikut adalah alur tatalaksana bila dicurigai terjadi gagal terapi.
Gambar 1. Alur Tatalaksana Gagal Terapi Menurut Kriteria Virologis
(WHO)

38
Definisi dan kriteria gagal terapi menurut gejala klinis yang lain adalah
timbulnya keadaan PPE atau Prurigo, kedua gejala bisa menjadi dasar untuk
kecurigaan terjadinya gagal terapi. Kriteria ini lebih untuk keadaan dimana tidak
tersedia fasilitas pemeriksaan CD4 dan atau Viral Load. (lihat Gambar 5).
Indonesia dapat menggunakan kriteria ini dengan dasar pemikiran belum semua
tempat memiliki sarana pemeriksaan CD4 atau viral load.

Tabel 10. Kriteria Gagal Terapi

Kegagalan Terapi Kriteria Keterangan


Kegagalan klinis Pasien telah mendapatkan Dalam menggunakan kriteria
terapi ARV selama 6 bulan. klinis sebagai metoda untuk
Kepatuhan pasien < 95 % tapi waspada terhadap
> 80% kemungkinan gagal terapi ,
Evaluasi ada interaksi obat kriteria yang harus selalu
yang menyebabkan penurunan dimasukkan adalah Pasien
ARV dalam darah. mendapatkan terapi ARV dan
PPE atau Prurigo timbul telah mendapatkan
kembali setelah pemberian pengobatan selama 6 bulan,
ARV selama 6 bulan. evaluasi kepatuhan minum
Penurunan Hb sebesar > obat dan evaluasi
1g/dL. kemungkinan adanya
interaksi obat
Kegagalan Penurunan CD 4 kembali WHO menyatakan bahwa
imunologis seperti awal sebelum jumlah CD4 bukan
pengobatan merupakan prediktor yang
ATAU baik dalam menentukan
Penurunan sebesar 50 % dari kegagalan pengobatan.
nilai tertinggi CD4 yang Sekitar 8 – 40 % dari pasien
pernah dicapai yang menunjukkan kegagalan
ATAU imunologis, terbukti masih
Jumlah CD4 tetap < 100 dalam kondisi virological
sel/mm3 setelah 1 tahun suppression dan tidak
pengobatan dengan ARV memerlukan switch ke lini
kedua.
Kriteria penurunan jumlah
CD4 seperti kondisi sebelum
mendapatkan terapi ARV dan
penurunan jumlah CD4
sebesar 50 % dari nilai
tertinggi bisa digunakan
HANYA JIKA memiliki data
dasar jumlah CD4 sebelum
pengobatan

39
Kegagalan Jika pasien telah mendapatkan Pada tempat layanan yang
virologis terapi ARV setidaknya selama memiliki sarana pemeriksaan
6 bulan dan pemeriksaan VL viral load dan pasien mampu
diulang 4 – 8 minggu menjangkau pemeriksaan
kemudian didapat jumlah viral viral load, maka viral load
load > 5000 copies/ml dapat digunakan sebagai
prediktor dari kepatuhan
minum obat
Viral load diharapkan
menjadi undetectable ( < 50
copies/ml) dalam waktu 6
bulan dengan menggunakan
paduan yang
direkomendasikan.
Viral load diharapkan akan
turun sebesar 1 – 2 log dalam
waktu 2 bulan pengobatan

Gambar 2. Alur Tatalaksana Gagal Terapi Menurut Kriteria Klinis

40
Pada kasus gagal terapi tindakan yang direkomendasikan adalah mengganti
(switch) paduan lini-pertama menjadi paduan lini-kedua.

c. Paduan Terapi Antiretroviral Lini Kedua


 Rekomendasi paduan lini kedua adalah:

2 NRTI + boosted-PI

- Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang
sudah ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan
ditulis dengan kode ..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir)
- Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk
mengurangi dosis dari obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka
dosis yang diperlukan menjadi tinggi sekali.
 Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh
pemerintah adalah:
TDF atau AZT + 3TC + LPV/r
 Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF +
(3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua
 Apabila pada lini pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC
sebagai dasar NRTI sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua

Tabel 11 . Pilihan terapi ARV lini kedua

Populasi Target dan ARV yang digunakan Pilihan paduan ARV pengganti
yang direkomendasikan
Dewasa (termasuk Bila menggunakan AZT TDF +3TC atau FTC + LPV/r
perempuan hamil) sebagai lini pertama
Bila menggunakan TDF AZT + 3TC + LPV/r
sebagai lini pertama
Ko-infeksi TB/HIV Mengingat rifampisin tidak dapat
digunakan bersamaan dengan LPV/r,
dianjurkanmenggunakan paduan
OAT tanpa rifampisin. Jika rifampisin
perlu diberikan maka pilihan lain
adalah menggunakan LPV/r dengan
dosis 800 mg/200 mg dua kali sehari).
Perlu evaluasi fungsi hati ketat jika
menggunakan Rifampisin dan dosis
ganda LPV/r

Ko-infeksi HIV/HBV AZT + TDF + 3TC (FTC) + LPV/r


(TDF + (3TC atau FTC)) tetap
digunakan meski sudah gagal di lini

41
pertama karena pertimbangan efek
anti-HBV dan untuk mengurangi
risiko „flare‟

Pemantauan Klinis dan Laboratorium Sebelum Mulai dan Selama Terapi


ARV Lini Kedua
Tabel 12. Pemantauan Klinis dan Laboratorium Sebelum dan Selama
Terapi ARV Lini Kedua

Evaluasi Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Setiap 6 Jika


ke 2 ke 4 ke 8 ke 12 ke 24 bulan diperlukan
(tergantung
gejala)
Klinis

Evaluasi klinis √ √ √ √ √ √

Berat badan √ √ √ √ √ √

Penggunaan obat √ √ √ √ √ √
lain
Cek kepatuhan √ √ √ √ √
(adherence)
Laboratorium

CD4 √ √ √

Hb √ √ √ √ √

Tes kehamilam √ √

Kreatinin √ √

Lipid (puasa) √

Asam laktat serum √

Viral load (RNA) √

42
K. TATALAKSANA INFEKSI OPORTUNISTIK DENGAN PENDEKATAN
SINDROM
a. Disfagia
Gambar 3. Tatalaksana disfagia

Keterangan:
a) Kandidiasis esofageal
Kandidiasis dapat menyerang esofagus pasien dengan imunokompromis,
menyebabkan kesulitan dan sakit menelan. Diagnosis dibuat berdasarkan respons
terhadap terapi sistemik antifungal. Tidak perlu dilakukan Endoskopi , kecuali bila
ada kegagalan terapi.
Terapi:
 Flukonasol 200 mg setiap hari selama 14 hari atau
 Itrakonasol 400 mg setiap hari selama 14 hari atau
 Ketokonasol 200 mg setiap hari selama 14 hari
b) Asiklovir 5 X 200 mg atau 3 x 400mg selama 14 hari
c) Penyebab lain dari esofagitis adalah infeksi CMV, sarkoma Kaposi dan limfoma.
Penyebab lain yang tidak terkait dengan HIV seperti refluks esofagitis. Dalam hal
ini perlu endoskopi untuk menegakkan diagnosis.

43
b. Limfadenopati
Gambar 4. Tatalaksana limfadenopati

Keterangan
a) Limfadenopati generalisata Persisten (PGL) merupakan kondisi yang
biasa terjadi pada ODHA. Pada pasien yang asimtomatis maka tidak
diperlukan pemeriksaan atau pengobatan lebih lanjut. Namun, pada
pasien dengan limfasenopati yang simtomatis, pembesaran KGB yang
cepat, KGB, asimetris dan gejala sistemik, maka perlu evaluasi dan
pengobatan lebih lanjut. Penyebab limfadenopati selain infeksi HIV
adalah TB, kriptokokosis, histoplasmosis, limfoma dan sarkoma Kaposi.
b) TB ekstra paru sering terjadi pada ODHA. Kecurigaan akan adanya
infeksi TB berdasarkan atas gejala-gejala seperti demam, kehilangan
berat badan, pembesaran KGB berfluktuasi dan tidak nyeri. Terapi
sesuai pedoman nasional.

c. Diare kronik

44
Gambar 5. Tatalaksana diare (tidak berdarah)

Keterangan:
a) Definisi Diare Kronik: buang air besar dengan tinja cair tiga kali atau
lebih sehari secara terus menerus selama lebih dari satu bulan
b) Penilaian dehidrasi – dehidrasi berat – dehidrasi ringan/sedang – tanpa
dehidrasi
dehidrasi terjadi karena pasien kekurangan cairan dan elektrolit. Dehidrasi
berat ditandai dengan keadaan umum: gelisah, rewel, nadi cepat, nafas
dalam dan cepat, pada turgor kulit kembali lambat, mata cekung, mukosa
mulut kering, jumlah urin berkurang dan warna lebih gelap. Penanganan
dehidrasi lihat tabel di bawah ini.

45
c) Penanganan dehidrasi lihat tabel di bawah.

d) Tanda peritonitis adalah adanya keluhan nyeri abdomen, pada


pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan, nyeri lepas pada semua
abdomen, adanya chess board phenomen.
e) Pada USG, bila peritonitis disebabkan oleh TB maka dijumpai
gambaran pembesaran kelenjar para aorta, asites, penebalan mukosa
usus besar.
f) Pengobatan TB: menggunakan OAT kategori 1 dengan paduan
2HREZ/4HR
g) Pemeriksaan lab untuk kasus diare, selain dilakukan untuk mendapatkan
parasit, perlu dilakukan pemeriksaan BTA dengan menggunakan sample
tinja.
h) Quinolon diberikan bila pasien belum pernah mendapat antibiotik
sebelumnya. Jika pasien pernah mendapat antibiotik berulang untuk
episode diare maka pilihan pertama adalah eritromisin, dengan

46
pertimbangan bahwa penyebabnya adalah kampilobakter atau
metronidasol untuk klostridium*.
 Kalsium laktat 1500mg/hari, serat halus (agar-agar) dapat digunakan
untuk menurunkan volume cairan diare dan menrubah konsistensi
tinja lebih padat
 Loperamid dapat diberikan pula jika terjadi diare massif dengan
syarat harus diikuti dengan pengobatan terhadap penyebab diare.
Tabel 13. Pengobatan diare spesifik berdasarkan kuman patogen yang
umum

Penyakit Nama obat Dosis / hari Lama terapi


Salmonelosis dan Siprofloksasin 2 kali 7-10 hari
sigelosis 500mg
Ofloksasin 400 mg 2 kali 7-10 hari
Kampilobakteriosis Eritromisin 500 4 kali 7-10 hari
mg
Giardiasis Metronidasol 500 3 kali 5 hari
mg
Amebiasis Metronidasol 500 3 kali 5 hari
mg
Isosporiasis Kotrimoksasol 4 kali 7hari
960mg
Strongiolidosis Tiabendasol 25 3 kali 3 hari
mg/kg BB
Mycobacterium Untuk terapi lihat Tabel 25. Diagnosis
avium complex Klinis dan Tatalaksana Infeksi
Oportunistik

i) Pemberian ARV mengikuti panduan pemberian ARV bersamaan


infeksi oportunistik.
Kriptosporidiosis: Saat ini tidak ada pengobatan yang efektif kecuali
terapi ARV. Yang terpenting adalah menjaga cairan dan elektrolit, dan
obat antidiare seperti Loperamid dapat bermanfaat. Pada ODHA,
salmonellosis, shigellosis, infeksi Campylobacter dan isosporiasis sering
kambuh. Jika terjadi kambuh setelah pemberian terapi awal antimikroba,
harus diberi terapi selama 6-12 minggu.
Bila ada perbaikan kondisi pasien setelah terapi metronidasol selama 7
hari, obat perlu dilanjutkan hingga total 14 hari. Bila tidak ada
perbaikan, pertimbangkan penyakit diare kronis lain yang terkait infeksi
HIV termasuk mempertimbangkan terapi ARV

47
Terapi empiris untuk diare kronis tanpa darah

Pilihan Nama obat Dosis / hari Lama terapi


1 Siprofloksasin 2 kali 7-10 hari
500mg
Ofloksasin 400 2 kali 7-10 hari
mg
2 Metronidasol 500 3 kali 7 hari
mg
3 Eritromisin 3 kali 10 hari
500mg

d. Gangguan Pernafasan
Gambar 6. Tatalaksana gangguan Pernafasan

Keterangan:
a) Gangguan pernapasan sering ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV
dan kekebalan tubuh yang menurun adalah demam, batuk kering (khas
PCP), batuk produktif dengan dahak dan/atau hemoptisis (khas
pneumonia dan TB), sesak napas dan gangguan pernapasan yang berat.
Penyebab gejala pernafasan

48
 Infeksi
Mycobacterium tuberculosis (batuk >2–3 minggu)
Pneumonia pnemocystis jiroveci (batuk, seringkali selama 1–2 bulan)
Pneumonia bakterial
Infeksi jamur (kriptokokosis, histoplasmosis)
Mikobakteria atipik (MAC)
Pneumoniatis CMV
 Keganasan: limfoma, sarkoma Kaposi
 Lain-lain
Efusi pleural/empiema (TB, infeksi bacterial atau keganasan)
Pnemotorak (TB atau PCP)
Emboli paru (biasa pada penasun)
Efusi perikardial (biasa disertai TB)
b) PCP: Biasanya terjadi secara perlahan-lahan selama minggu sampai bulan
dengan batuk kering, demam dan sesak napas. Untuk diagnosis PCP
sebaiknya diagnosis klinis yang diperkuat dengan temuan pada ronsen
dada
c) Pemeriksaan sputum BTA diindikasikan pada pasien dengan batuk
selama> 2-3 minggu. Setidaknya dua pemeriksaan dahak BTA yang
terpisah.
d) TB: Tidak ada gambaran ronsen dada yang benar-benar khas TB paru.
Pola klasik lebih umum terlihat pada ODHA-negatif; pola atipikal lebih
umum pada ODHA-positif. Efusi pleura merupakan gambaran yang
menonjol. Pengeluaran cairan pleura dan pemeriksaan mikroskopik dari
cairan pleura dapat membantu untuk diagnosis. Terapi sesuai dengan
pedoman nasional TB.

Pola Klasik Pola Atipik


Infiltrat di lobus atas Infiltrat intersisial (terutama di
Kavitas zona lebih rendah)
Jaringan fibrosis paru Infiltrat bilateral
Tidak ada kavitas

e) Pneumonia bakteri: Ciri khas adalah dengan batuk produktif, dahak


purulen dan demam selama 1-2 minggu. PCP muncul dengan lebih
lambat dan biasanya dengan batuk non-produktif. Gambaran khas pada
ronsen dada adalah konsolidasi lobar. Penyebab paling sering pneumonia
bakterial adalah bakteri piogenik Gram-positif. Jika gambaran klinisnya
menunjukkan pneumonia bakteri dan bukan PCP dapat diberikan

49
amoksisilin 500 mg 3 kali per hari atau eritromisin 500 mg 4 kali per hari
selama 7 hari.
e. Gejala dan tanda neurologis
Gambar 7. Tatalaksana Gejala dan tanda neurologis

Keterangan
a) Penyebab nyeri kepala antara lain meningitis kriptokokal,
meningitis TB, toksoplasmosis serebral, meningitis kronis HIV,
meningitis bakterial dan limfoma,
Penyebab sakit kepala yang tidak terkait dengan infeksi HIV
termasuk migrain, sifilis, ketegangan, sinusitis, gangguan refraksi,
penyakit gigi, anemia dan hipertensi. Lain penyakit menular seperti
malaria, demam tifoid, demam dengue dan riketsia juga dapat
menyebabkan sakit kepala.
b) Pemeriksaan Neurologis
 Bukti iritasi meningeal (fotofobia, kaku kuduk) atau tekanan
intrakranial meningkat (tekanan darah tinggi dan denyut nadi
lambat dalam keadaan demam)
 Perubahan mental
 Defisit neurologis fokal, termasuk parese saraf kranial,
gangguan gerak, ataksia, afasia dan kejang
c) Toksoplasmosis (untuk terapi merujuk pada Tabel Diagnosis Klinis
dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik )

50
d) Meningitis kriptokokal (untuk terapi merujuk pada Tabel
Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik )
e) Meningitis TB: OAT dengan paduan 2SHREZ/7RH
Meningitis bakterial: Injeksi Ceftriaxone 2-4 g sehari intravena.

Tabel 14. Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik

No Infeksi Tampilan Diagnosis Terapi


Oportunistik Klinis
1. Pneumoniaa Batuk kering Kelainan pada Terapi pilihan:
Pneumocystis Sesak nafas foto toraks Kotrimoksasol (TMP 15
jiroveci (PCP) Demam dengan infiltrat mg + SMZ 75 mg/kg/
Keringat intersisial hari) dibagi dalam 4
malam bilateral dosis atau
Subakut Kotrimoksasol 480 mg, 2
sampai 1 – 2 tablet 4 kali sehari untuk
bulan BB < 40 kg
dan 3 tablet 4 kali sehari
untuk BB > 40 kg selama
21 hari
Terapi alternatif
Klindamisin 600 mg IV
atau 450 mg oral 3 kali
sehari + primakuin 15
mg oral sekali sehari
selama 21 hari bila
pasien alergi terhadap
sulfa
Untuk pasien yang parah
dianjurkan pemberian
prednisolon 40 mg, 2 kali
sehari, dengan penurunan
dosis secara bertahap
hingga 7 – 10 hari,
tergantung dari respon
terhadap terapi.
2. Kandidasis Kandidiasis Tampilan Tablet Nistatin 100.000
oral: klinis yang IU, dihisap setiap 4 jam
Bercak putih di khas pada selama 7 hari
selaput mukosa pemeriksaan atau
disertai eritema fisik Suspensi Nistatin 3-5 cc
di rongga Pada sediaan dikumur 3 kali sehari
mulut KOH selama 7 hari
mikroskopis

51
ditemukan
pseudohifa
Kandidiasis Tampilan Flukonasol 200 mg per
esofageal: klinis khas dan sehari selama 14 hari
Disfagi memberikan atau
Disertai rasa respon baik Itrakonasol 400 mg per
nyeri terbakar setelah di sehari selama 14 hari
di dada terapi atau
Bila
memungkinkan
dapat
dilakukan
endoskopi
3. Kriptokokosis Nyeri kepala Peningkatan Terapi pilihan
belakang, tanda tekanan Amfoterisin B IV (0,7
meningeal, intrakranial mg/ kg/ hari) selama 2
fotofobia, kaku pada punksi minggu diikuti dengan
kuduk atau lumbal flukonasol 400 mg
tekanan Protein di perhari selama 8-10
intrakranial cairan minggu. Hati- hati akan
meningkat serebrospinal efek samping nefrotoksik
Demam Dapat amfoterisin.
Perubahan ditemukan Terapi alternatif
kesadaran organisme Flukonasol 400-800 mg
Penyakit yang dalam per hari selama 8 – 12
diseminasi CSP atau lesi minggu
memberi kan kulit dengan Terapi rumatan:
tanda lesi sediaan itrakonasol 200 mg/hari
papulonekrotik pengecatan atau flukonasol 200 mg/
menyerupai tinta India di hari
moluskum bawah
kontagi-osum mikroskop
disertai demam
dan infiltrat di
paru
4. Toksoplasmosis Sakit kepala Defisit Terapi pilihan
serebral Pusing nerologis fokal Pirimetamin dosis awal:
Demam CT scan kepala 100 mg, diikuti dengan
Defisit Respon 50 mg perhari +
nerologis fokal terhadap terapi klindamisin 4 X 600 mg
Kejang presumtif Asam folinat 15 mg
dapat setiap 2 hari bila tersedia
menyokong Terapi selama 6 minggu
diagnosis Terapi rumatan

52
Pirimetamin 25 mg / hari
+ klindamisin600mg
5. Herpes simpleks Sekelompok Gambaran Biasanya sembuh sendiri
vesikel berair klinis khas dan tidak perlu terapi
biasanya di Perawatan lesi, dengan
daerah genital gentian violet atau
atau sekitar larutan klorheksidin
mulut Bila ada indikasi dapat
Dapat menjadi diberi asiklovir 5 X 200
sistemik seperti atau 3 X 400 mg selama
esofagitis, 7 hari.
ensefalitis
6. Herpes zoster Sekelompok Gambaran Perawatan lesi, dengan
vesikel berair klinis khas gentian violet atau
terasa sangat larutan klorheksidin
nyeri di Asiklovir 5 X 800 mg
sepanjang selama 7 hari, diberikan
dermatom. dalam 72 jam sejak
Dapat timbulnya erupsi vesikel.
menyerang Famsiklovir dan
mata valasiklovir sebagai
alternatif
7. Tuberkulosis TB Paru Pemeriksaan Terapi sesuai Pedoman
Batuk, demam, dahak SPS Nasional
berat badan untuk mencari Penanggulangan
berkurang, BTA Tuberkulosis
cepat lelah Foto toraks:
Gambaran paru
yang klasik:
Kavitasi di
lobus atas
Gambaran paru
yang atipik:
Infiltrat
intersisial
bilateral
Efusi pleura:
periksa BTA
pada punksi
pleura
8. Mycobacterium Demam Isolasi Terapi pilihan
Avium Complex berulang kali, organisme dari Azitromisin 1 X 500 mg
(MAC) berat badan darah atau atau
menurun, cepat tempat lain Klaritromisin 2 X 500

53
lelah Anemia yang mgi + etambutol 15
tidak diketahui mg/kg/ hari. Bila infeksi
sebabnya berat dapat ditambah
obat ketiga seperti
levofloxacin 1 X 500 mg
(atau Ciprofloxacin 2 X
500 mg)
Keadaan akan membaik
dengan terapi ARV
Terapi rumatan
Klaritromisin 2 X 500
mg atau azitromisin 1 X
500 mg + etambutol 15
mg/kg/ hari
9. Kriptosporidiosi Diare kronis Sediaan feses Terapi ARV
s Kram perut dan dengan
muntah pengecatan
Nyri perut BTA
kanan atas

L. FORMULIR KONSELING DAN TESTING


Formulir yang digunakan dalam memebrikan pelayanan konseling dan testing
HIV/AIDS antara lain
1. Formulir sumpah kerahasiaan
Formulir ini ditandatangani oleh petugas VCT dan laboratorium yang
melaksanakan konseling dan testing. Petugas ini harus menjaga kerahasiaan
hasil testing dan senantiasa melindungi klien dari pembukaan rahasia.
2. Catatan Kunjungan Klien VCT
Formulir ini mengumpulkan informasi akan berapa kali klien berkunjung ke
VCT, alasan utama dating dan siapa yang melayani klien. Formulir ini
direkatkan pada catatan klinis klien.
3. Register Harian Klien VCT
Informasi akan membantu mengetahui layanan mana yang sangat diperlukan.
Data dapat dikirim per bulan dalam bentuk laporan statistic.
4. Formulir Persetujuan Klien untuk Testing HIV
Formulir harus ditandatangani setelah menerima konseling pra-testing dans
ebelum darahnya diambil untuk tes HIV. Formulir ini disimpan dalam catatan
medic.
5. Formulir VCT harian dokter/konselor. Berkas data perilaku untuk target
intervensi VCT.

54
Formulir ini membantu menghitung jumlah klien harian dalam kelompok target
spesifik.
6. Formulir Rangkuman VCT Bulanan
Formulir ini membantu menelusuri data pelayanan VCT bulanan dan
pengumpulan data perilaku untuk target intervensi.
7. Formulir VCT Pra Testing
Formulir ini mengumpulkan informasi tentang klien yang ingin membantu
konselor menghubungkan risiko klien dengan kebutuhan akan konseling.
8. Formulir Konseling Pasca Testing HIV
Pastikan informasi relecan telah diberikan oleh klien tentang hasil tes HIV
tertentu dan didiskusikan strategi untuk mengurangi penularan.
9. Formulir Dkumen VCT Klien
Formulir ini mengumpulkan informasi klien sejak kunjungan pertama di klinik
lain. Ini untuk memastikan bahan diskusi tentang pengurunan perilaku berisiko.
10. Formulir Rujukan untuk Klien
Formulir ini diberikan kepada klien kepada petugas yang berwenang di institusi
rujukan.
11. Formulir tanda terima untuk pelayanan VCT
Bagi klien yang membayar, bukti pembayaran harus diterbitkan.
12. Formulir Permintaan untuk Pemeriksaan HIV di Laboratorium
Formulir ini diisi oleh konselor yang meminta testing HIV. Formulir
permintaan pemeriksaan dan specimen dibawa ke laboratorium untuk diperiksa.
Teknisi laboratorium mengisi informasi penting tentang testing dan hasil
testing. Formulir dikirim kembali kepada konselor.
13. Laporan Harian/Bulanan Tes VCT antibody
14. Laporan dilengkapi oleh teknisi laboratorium berdasarkan hasil testing HIV
harian yang dikumpulkan
15. Formulir Skrining Gejala dan Tanda TB pada ODHA

VII. KESELAMATAN KLIEN


Semua klien yangdatang ke klinik VCT diberikan pelayanan secara proporsional,
dihargai dan dihormati kerahasiaan dan hak-haknya, menghindari diskriminasi dan
stigmatisasi sehingga dapat memebrikan rasa nyaman, serta terbangun rasa percaya diri,
rasa kekeluargaan dinatar klien, kerluarga dan petugas.

VIII. KESELAMATAN KERJA


Seluruh petugas klinik VCT wajib mentaati semua prosedur kerja (termasuk
optmalisasi penerapan kewaspadaan universal) yang sudah ditetapkan oleh rumah sakit.

IX. PENGENDALIAN MUTU

55
Melakukan pengkajian terhadap semua fasilitas yang ada, logistic, SDM, kerjasama
jejaring. Hasil/capaian yang didapat dilakukan analisis tindak lanjut untuk mendapatkan
capaian yang maksimal; dengan melakukan pembahasan bersama semua pelaksana unit
kerja terkait/staf klinik VCT untuk mendapatkan solusi/jalan keluar.

X. MONITORING DAN EVALUASI

Monitoring dan evaluasi adalah bagian integral dan pengembangan program, pemberian
layanan, penggrunaan optimal sediaan layanan, dan jaminan kualitas. Karena itu untuk
kepentingan layanan VCT, maka monitoring dan evaluasi dilakukan dari luar selama
melakukan pelayanan.

Tujuan monitoring dan evaluasi adalah:

- Untuk menyusun perencanaan dan tindak lanjut


- Untuk memperbaiki pelaksanaan pelayanan VCT
- Untuk mengetahui kemajuan dan hambatan pelayanan VCT

Dua jenis monitoring dan evaluasi yang dilakukan adalah monitoring dan evaluasi
teknis/penatalaksanaan pelayanan klien serta monitoring evaluasi program
Monitoring dan evaluasi hendaknya dilakukan rutin, berkala dan
berkesinambungan.

Aspek yang perlu dimonitor dan dievaluasi


- Kebijakan, tujuan dan sasaran mutu
- Sumber daya manusia
- Sarana, prasarana dan peralatan
- Standar minimal pelayanan VCT
- Prosedur pelayanan VCT
- Hambatan pelayanan VCT
- Uraian rincian layanan dengan menilai ketersediaanpetugas diberbagai
tingkat layanan, kepatuhan terhadap rptokol, ketersediaan materi pengajaran
mengenai kesehatan dan kondom, ketersediaan dan penggunaan catatan
terformat, ketersediaan alat testing dan layanan medic, kepatuhan eptugasa
pada peran dan tanggung jawab dan aspek umum dari operasionalisasi
layanan
- Pengelolaan yang professional dan efektif
- Akuntabilitas dan sustainbilitas
- Kepuasan dan evaluasi klien secara langsung atau melalui kotak saran

XI. PENUTUP
Demikian pedoman ini disusun agar dapat digunakan sebagai acuan dalam
memberikan pelayanan terkait penanggulangan HIV/AIDS di Rumsh Sakit Umum Daerah

56
Toto Kabila, dan senantiasa akan dilakukan revisi sebagai bentuk penyesuaian dengan
perkembangan yang ada.

57

Anda mungkin juga menyukai