Anda di halaman 1dari 4

 Pendapat pertama datang dari para ulama 

muhaqqin, bahwa hadits dhaif tidak


boleh diamalkan sama sekali, baik yang menyangkut masalah akidah, hukum-
hukum fiqhi, targhib dan tarhib maupun dalam hal fadhail al-amal. (keutamaan
amal)
 Pendapat kedua datang dari imam-imam mujtahid ahli fiqhi semisal Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, mereka
berpendapat bahwa boleh secara mutlak mengamalkan hadits dhaif, dengan
catatan tidak didapati hadits lain yang menerangkan suatu permasalahan.

 Pedapat ketiga, mengatakan bolehnya mengamalkan dan menjadikan hujah


hadits dhaif, selama masih dalam perkara targhib dan tarhib (motivasi beramal
dan ancaman bermaksiat) dan dalam masalah keutamaan-keutamaan amal.
Sedangkan untuk masalah akidah dan halal haram tidak dibolehkan.
Sekalipun demikian, para ulama meninggalkan catatan kaki, sebelum mengamalkan
hadits dhaif.

 Pertama. Hadits yang ingin diamalkan, nilai kelemahannya tidak seberapa.

 Kedua, spirirt dari hadits yang ingin diamalkan tidak menyalahi dan berlawanan
dengan dasar-dasar hukum yang dibenarkan sebelumnya.

 Ketiga. Tidak boleh meyakini bahwa hadits tersebut benar dari Nabi, karena
ancaman ketika terjadi kesalahan dan disandarkan pada nabi, konsekuensinya
adalah neraka. Seperti bunyi hadits mutawatir.
‫ْأ‬
ِ َّ‫ي ُمتَ َع ِّمدًا فَ ْليَتَبَ َّو َم ْق َع َدهُ ِم ْن الن‬
‫ار‬ َّ َ‫ب َعل‬
َ ‫ َم ْن َك َذ‬ 

“Barang siapa dengan sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia mengambil
tempat duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka”

Sehingga motif pengamalan hadits dhaif adalah sebagai gantinya, memegangi


pendapat yang tidak ada nasnya sama sekali.1
Hadîts dla’îf menurut Ibn Shalah adalah setiap Hadîts yang tidak
terkumpul di dalamnya sifat-sifat Hadîts shahih dan sifat-sifat Hadîts hasan.2
Adapun sifat-sifat Hadîts shahîh tersebut adalah bersambungnya sanad, adil-
nya perawi, dlabith-nya perawi, tidak adanya syadz dan tidak adanya illat.
Adapun menurut Abû Syuhbah mengatakan bahwa jika suatu Hadîts yang

https://hidayatuna.com/syarat-mengamalkan-hadis-dhaif/ 29 feb 2020


1

Ibn al-Shalâh, Ibn, Muqaddimah Ibn Shalâh fî Ulûm al-Hadîts (Beirut: Dâr al-
2

Kutub alAlamiyah, 1989), hlm. 20


tidak memenuhi di dalamnya syarat-syarat Hadîts shahîh dan hasan yang
enam, maka dikategorikan sebagai Hadîts dlaif. Sedang syarat-syarat tersebut
adalah: (1) Bersambungnya sanad, (2) adil-nya perawi, (3) selamat dari
banyak salah dan lupa (dlabith), (4) selamat dari syadz, (5) Selamat dari illat,
dan (6) dari arah lain jika suatu Hadîts yang sanad nya mastur, maka Hadîts
tersebut tidak buruk, tidak banyak salah dan tidak palsu. 3

Kehujjahan Hadîts Dla’îf Telah diketahui bahwa Hadîts semasa


sebelum al-Tirmidzi dibagi dalam dua kategori yakni: (1) Hadîts shahîh yang
didalamnya terkumpul syarat-syarat Hadîts shahîh, dan (2) Hadîts dla’îf yang
didalamnya tidak terkumpul syarat-syarat Hadîts shahîh, termasuk di
dalamnya Hadîts hasan atau Hadîts dla’îf yang derajatnya naik menjadi
Hadîts hasan karena aspek banyaknya jumlah sanad dan jalan.

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa yang mengenalkan pembagian


Hadîts kedalam shahîh, hasan dan dla’îf adalah al-Tirmidzi, serta tidak
dikenal pembagian semacam ini sebelumnya. Dan telah diketahui kalau Imâm
Ahmad bin Hanbal sesunguhnya menggunakan Hadîts dla’îf sebagai hujjah
setelah fatwa sahabat. Imâm Ahmad bin Hanbal sesungguhnya menerima
riwayat dla’îf jika tidak diketahui kebohongan perawi dan tidak masyhûr
dlabith-nya tetapi mereka dikenal kebaikannya seperti Ibn luhai’ah dan
lainnya. Dengan demikian dla’îf dalam pandangan Imâm Ahmad bin Hanbal
ini adalah Hadîts hasan atau Hadîts dla’îf yang naik derajatnya menjadi
Hadîts hasan.4

Adapun menurut Ibnu Taymiyah dalam Minhâj al-Sunnah


mengatakan: Jika aku mengatakan Hadîts dla’îf lebih baik dari pada
pendapatku berarti yang dimaksud adalah bukan Hadîts matruk tetapi Hadîts
hasan. Sebagaimana Hadîtsnya Amr ibn Syu’aib dari bapaknya dari
kakeknya.5

Adapun kehujjahan Hadîts dla’îf ada tiga pendapat yaitu: Pertama,


pendapat para ahli Hadîts yang besar seperti Imâm Bukhârî dan Imâm
3
3 Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, al-Wasid fî Ulûm wa Musthalah al-
Hadîts, Beirut: Dar al-Fikr al-’Arabi, 1984), hlm. 265.
4
Hasyim, Qawâ’id Ushûl, hlm. 89.
5
Ibid., hlm. 91
Muslim, yang berpendapat bahwa Hadîts dla’îf tidak bisa diamalkan secara
mutlak. Baik dalam masalah fadlâ’il al-a’mâl, ahkâm, al-i’tibar maupun
masalah mawâ’idz. Perkara-perkara agama tidak dapat didasarkan kecuali
pada al-Qur’ân dan Sunnah Rasûlullâh saw yang shahîh. Adapun Hadîts
dla’îf adalah Hadîts yang bukan shahîh. Dan pengambilan Hadîts dla’îf dalam
masalah agama berarti menambah masalah-masalah syari’at yang tidak
diketahui dasar ilmunya. Padahal ada larangan dari Allah swt. yang tidak
boleh mengikuti sesuatu yang tidak didasarkan atas ilmunya (walâ takfu mâ
laysa laka bihi ilm).6

Kedua, Hadîts dla’îf bisa diamalkan secara mutlak. Sebagaimana


Imâm al-Suyûthî mengatakan bahwa Imâm Abû Dawûd dan Imâm Ahmad,
keduanya berpendapat kalau Hadîts dla’îf lebih kuat dari pada ra’y
perorangan7

Ketiga, Hadîts dla’îf bisa digunakan dalam masalah fadlâ’il, mawâ’idz


atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat. Ibnu Hajar mensyaratkan
Hadîts dla’îf yang dapat diamalkan adalah: (1) ke-dla’îfannya tidak terlalu,
sehingga tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh
berdusta yang melakukan penyendirian, juga orang yang terlalu sering
melakukan kesalahan; (2) Hadîts dla’îf tersebut masuk dalam cakupan Hadîts
pokok yang bisa diamalkan dan tidak keluar dari kaidah-kaidah Islam; (3)
ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa Hadîts itu berstatus kuat,
tetapi sekedar berhati-hati; (4) fadlâ’il dan yang sejenis seperti mawadz, al-
targhib wa al-tarhib bukan dalam masalah aqidah dan hukum.8

Pembagian Hadist Dhaif


Hadis dhaif sebagaimana disebutkan di atas yaitu hadist yang tidak memenuhi salah
satu syarat-syarat hadist shohih dan hasan. Syarat-syarat hadist shohih dan hasan
dapat diringkas dalam 6 hal:
1) Sanad yang sambung dari awal sampai akhir sanad.
2) Perawi yang sifatnya ‘adil (dapat dipercaya).

6
Ibid., hlm. 91.
7
Ibid., hlm. 91.
8
Ibid., hlm. 92.
3) Memiliki dhobit (tingkat hafalan yang sempurna untuk hadist shohih, dan tingkat
hafalan sedang untuk hadist hasan).
4) Tidak ada pertentangan sanad (syad).
5) Tidak ada cacat yang signifikan (illah qodihah).
6) Adanya ‘adhit (penolong) berupa jalur periwayatan lain yang dapat mengangkat
hadist dhoif naik ke hadist hasan li ghoiri9
Apabila salah satu dari enam syarat di atas tidak terpenuhi, maka
hadist tersebut dinamakan hadist dhaif. Namun secara umum, Imam Ibnu
Hajar al-Asqolani menyebutkan ada dua factor yang menyebabkan hadist
menjadi dhaif yaitu: terputusnya sanad dan adanya cacat dalam diri perawi
hadist10. Dari dua factor utama penyebab hadist dhaif tersebut akan
memunculkan aneka ragam macam-macam hadist dhaif.

9
Abdul Karim Abdullah al-Khdir, Al-Hadist ad-Dhoif Wa Hukmul Ihtijaj Bihi
(Riyad: Dar al-Muslim, 1997),. 58-59.
10
Ibnu Hajar al-Asqolani, Nuzhatun Nadzor Syarh Nukhbatul Fikar (Damascus:
Percetakan Al-Shobah, 2000), cet III, tahkik: Dr. Nurudin Itr, 80.

Anda mungkin juga menyukai