Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

KEDUDUKAN MENUNTUT
ILMU

DOSEN PEMBIMBING
Nanang Rahmat,S.Pd.I.,MA.Pd

DISUSUN OLEH
Revina Axella Scolari
P17333120063
D3 Kesehatan Lingkungan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMETERIAN KESEHATAN BANDUNG


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Kedudukan Menuntut Ilmu ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata
kuliah Pendidikan Agama. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang kewajiban manusia dalam pendidikan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Nanang Rahmat,S.Pd.I.,MA.Pd, selaku dosen


Pendidikan Agama yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung,5 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................4
2.1 Rumusan Masalah................................................................................................5
3.1 Maksud dan Tujuan..............................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
1.2 Pengertian Wajib Belajar .....................................................................................6
2.2 Hadist Mengenai Kewajiban Belajar....................................................................7
3.2 Definisi Ilmu dan Klasifikasinya..........................................................................8
4.2 Keutamaan Menuntut Ilmu.................................................................................11
5.2 Kedudukan Ulama Dalam Islam........................................................................16
6.2 Ilmu Yang Harus Dipelajari dan Dikembangkan...............................................19
7.2 Ilmu Yang Tidak Boleh Dipelajari.....................................................................21
8.2 Orientasi Pengembangan Ilmu...........................................................................22
BAB III PENUTUP
1.3 Kesimpulan.........................................................................................................24
2.3 Saran...................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................25
LAMPIRAN………………………………………………………………………………..27

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam , hal ini terlihat
dari banyaknya ayat al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang
tinggi dan mulya disamping hadishadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi
umatnya untuk terus menuntut ilmu. Dalam al-Qur’an, kata ilmu dalam berbagai
bentuknya digunakan lebih dari 800 kali,1 ini menunjukkan bahwa ajaran Islam
sebagaimana tercermin dari al-Qur’an sangat kental dengan nuansa nuansa yang
berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dariagama Islam
sebagamana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani bahwa salah satu ciri yang
membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu
(sains), al-Qur’an dan Sunnah mengajak kaum muslim untuk mencari dan
mendapatkan Ilmu dan kearifan ,serta menempatkan orang-orang yang
berpengetahuan pada derajat tinggi.2 Dalam QS. al-Mujadilah ayat 11, Allah SWT.,
berfirman:

۟ ُ‫وا ِمن ُك ْم َوٱلَّ ِذينَ ُأوت‬


ٍ ‫وا ْٱل ِع ْل َم َد َر ٰ َج‬
‫ت ۚ َوٱهَّلل ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر‬ ۟ ُ‫يَرْ فَع ٱهَّلل ُ ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
َ ِ
Allah meninggikan beberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang berirman diantara
kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmupengetahuan). dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Mujadilah : 11). Ayat di atas dengan
jelas menunjukan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan menjadi memperoleh
kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi pendorong
untuk menuntut Ilmu, dan Ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar
betapa kecilnya manusia dihadapan Allah, sehingga akan tumbuh rasa kepada Allah
bila melakukan hal-hal yang dilarangnya.

4
2.1 RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian wajib belajar?

2. Apa saja hadist mengenai kewajiban belajar?

3. Apa definisi ilmu dan bagaimana klasifikasinya?

4. Apa saja keutamaan menuntut ilmu?

5. Bagaimana kedudukan ulama dalam islam?

6. Apa saja ilmu yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan?

7. Bagaimana orientasi pengembangan ilmu?

3.1 MAKSUD DAN TUJUAN


1. Untuk mengetahui kewajiban menuntut ilmu

2. Untuk mengetahui keutamaan bagi orang yang menuntut ilmu

3. Mengetahui firman allah yang menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu

4. Mengetahui apa saja hadist yang membahasa tentang pentingnya menuntut ilmu

5. Mengetahui apa saja ilmu yang diperbolehkan

6. Mengetahui apa saja ilmu yang tidak diperbolehkan

7. Mengetahui kewajiban kita sebagai manusia untuk menuntut,mengembangkan,dan


menyebarkan ilmu kepada sesama

5
BAB II

PEMBAHASAN

1.2 PENGERTIAN WAJIB BELAJAR

Di dalam UUD 1945 Bab XIII Pasal 31 Ayat 1 disebutkan, ”setiap warga
negara berhak mendapatkan pendidikan”. Mendapatkan pendidikan merupakan hak
azasi manusia dan menjadi hak dasar warga negara Indonesia. Namun kenyataannya
banyak penduduk Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan disebabkan banyak
hal, di antaranya hidup di lingkungan yang terpencil. Hal ini berdampak pada
kurangnya sumber daya manusia untuk mewujudkan pembangunan yang adil dan
merata. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan hak pendidikan bagi
warga negaranya. Oleh sebab itu, program wajib belajar dilaksanakan sejak tahun
1984 (Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun) kemudian setelah 10 tahun
diluncurkan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun sejak 1994, melalui
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1994.

Wajib belajar merupakan program pendidikan nasional yang harus diikuti


oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah.
Wajib belajar ini merupakan pendidikan minimal yang harus diikuti oleh setiap warga
negara Indonesia. Adapun belajar ialah aktifitas yang dilakukan seseorang atau
peserta didik secara pribadi dan sepihak. Sedangkan pembelajaran itu melibatkan dua
pihak, yaitu guru dan peserta didik yang di dalamnya mengandung dua unsur
sekaligus, yaitu mengajar dan belajar (teaching and learning). Jadi perubahan istilah
yang sebelumnya dikenal dengan istilah proses belajar mengajar (PBM) atau kegiatan
belajar mengajar (KBM). ( Ismail, 2008: 8-9.) Berdasarkan hal di atas maka akan
dijelaskan selanjutnya bagaimana pandangan Islam mengenai kewajiban belajar
sebagaimana yang tertuang dalam hadis-hadis Rasul saw

6
2.2 HADIST MENGENAI KEWAJIBAN BELAJAR

Rasul saw bersabda mengenai kewajiban belajar : ‫حدثنا أمحد بن عبد الوىاب قال حدثنا‬
‫على بن عياش احلمصي قال حدثنا حفص بن سليمان عن ك}}ثري بن ش}}نظري عن حمم}}د بن س}}ريين عن أنس بن‬
‫ ِ ل ْ ُس لَى ُك ِّل م َ ٌ ع ْ َض}}ة ِري َ ِم ف لْ ِ ال}}ع ُ طَلَب لم ي}}روه عن حمم}}د إال ك}}ثري‬: ‫مالك قال قال رسول اهل}}ل‬
7( ‫وال عن ك}}ثري إال حفص بن س}}ليمان‬: H 1415, Tabrani-At( Artinya:”Ahmad bin `Abdul
Wahhâb menceritakan kepada kami bahwa ia berkata `Ali bin `Iyasy al-Himşi
menceritakan bahwaHafaş bin Sulaimân menceritakan dari Kaśîr bin Syanᶎîr dari
Muhammad bin Sirîn dari Anas bin Mâlik bahwasanya ia berkata, Rasul saw
bersabda : Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim”.

Ia tidak meriwayatkan Hadis ini dari Muhammad namun dari Kaśîr dan
meriwayatkannya dari Hafaş bin Sulaimân. Ilmu yang dimaksud di dalam Hadis ini
adalah ilmu yang mesti diketahui seperti ilmu mengenai Maha Pencipta, ilmu
mengenai kenabian, ilmu mengenai tata cara shalat dan lain sebagainya dan semua ini
hukum mempelajarinya adalah wajib. ( al-Manâwi, 1998: 226) Hadis dengan lafal di
atas diriwayatkan oleh beberapa ulama seperti:

1. Ibnu `Adi di dalam kitab al-Kâmil dan al-Baihaqi dalam kitab Syu`abul
Iman diriwayatkan dari Anas ra.

2. At-Ŝabrani dalam kitabnya al-Şagir juga al-Khatib al-Baghdâdi


meriwayatkan Hadis ini dari Husein bin Ali ra.

3. At-Ŝabrani dalam kitabnya al-Awsaţ meriwayatkan hadis ini dari Ibnu


`Abbas begitu jua dari Tamâm dari Ibnu `Umar ra.

4. At-Ŝabrani dalam kitabnya Mu`jam al-Kabîr meriwayatkan hadis ini dari


Ibnu Mas`ud ra. At-Ŝabrani dalam kitabnya al-Awsaţ juga al-Baihaqi dari Abu Sa`id
ra. ( asSuyuthi, 1994: 136) 1Zainuddin `Abdur Ra`uf al-Manâwi, hal.227 1.

Abu Bakar Ahmad bin al-Husaini al-Baihaqi, Syu`abul Iman, (Beirut: Dâr
alKutub al-`Ilmiyah, 1410 H),Juz II, hal.253) Hadis yang diriwayatkan oleh al-Khatib

7
al-Baghdâdi dari Husein bin Ali ra adalah ᶁa`if disebabkan salah satu perawi
sanadnya yang bernama Abdul `Aziz bin Abi Śâbit adalah ᶁa`if. Begitu jua hadis
yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Mas`ud dan Abu Sa`id semua sanadnya
lemah. Namun Hadis ini menjadi kuat atau Hasan disebabkan banyaknya sanadyang
meriwayatkannya. ( al-Manâwi, 227) Al-Baihaqi juga meriwayatkan Hadis ini dengan
tambahan lafal-lafal dari dari Anas ra: ‫أخربنا أبو عبد اهلل احالفظ حدثنا أبو العباس األصم حدثنا‬
: ‫العباس بن حممد حدثنا أبو النضر ىاشم بن القاسم حدثنا ادلستلم بن س}}عيد عن زي}اد بن ع}}امر عن أنس بن مال}}ك‬
َ ُ : ‫أن النيب صلى اهلل عليو و سلم قال‬
‫طلَب ب‬

Artinya: “Abu Abdillah al-Hafiᶎ memberitkan kepada kami bahwa Abu


Abbas al-Aşam meriwayatkan dari al-`Abbas Ibnu Muhammad dari Abu anNaᶁar
Ibnu Hasyim bin al-Qâsim dari al-Mustalim Ibnu Sa`id dari Ziyad bin `Amir dari
Anas bin Malik bahwasanya Nabi Muhamad saw bersabda: Menuntut ilmu wajib bagi
setiap muslim dan Allah menyukai hamba yang menolong saudaranya yang sedang
dalam kesulitan”. ( Abu Bakar Ahmad, 1410 H: 253) Al-Manâwi menjelaskan
mengenai Hadis ini bahwa yang dimaksud dari al-Lahfân adalah orang orang dilalimi,
orang yang minta tolong, orang yang kesulitan atau orang yang terdesak. (Al-
Manawi, 1994: 227)

3.2 DEFINISI ILMU DAN KLASIFIKASINYA

Para ulama Islam menjelaskan defenisi ilmu di antaranya ilmu menurut Imam
Râgib dalam buku Mufardât Alquran: mengetahui sesuatu berdasarkan hakikatnya
yang sebenarnya. Ahli ilmu logika mengetakan bahwa ilmu adalah mengetahui zat
atau hakikat sesuatu atau yang dikenal dengan taşawwur. Kedua: menjustifikasi atas
sesuatu dengan keberadaan sesuatu atau menafikannya atau yang dikenal oleh ahli
logika dengan istilah taşdiq. ( al-Qarᶁawi, 1996: 71)

Dalam al-Quran kata `ilm dan kata jadiannya disebutkan kurang lebih
mencapai 800 kali. Al-Qarᶁâwi dalam penelitiannya terhadap kitab AlMu`jam Al-
Mufahras Li Al-AfâᶎAl-Quran al-Karîm menjelaskan bahwa kata `ilm dalam al-

8
Quran terdapat 80 kali, sedangkan kata yang berkaitan dengan itu seperti kata `allama
(mengajarkan) ya`lamu ( ia mengetahui) `alim (tahu) dan seterusnya disebutkan
beratus-ratus kali. ( Zainuddin, 2006: 42).

Sebagaimana imam Râgib membagi ilmu dari sisi lain ilmu dibagi menjadi
dua macam: teori dan praktis. Ilmu teoritis adalah ilmu yang menuntut lebih dari
sekedar mengetahuinya, jika ia mengetahuinya maka telah sempurnalah ilmunya.
Seperti ilmu mengenai berbagai yang ada di alam ini.

Ilmu praktis: adalah ilmu yang tidak sempurna kecuali jika diamalkan seperti
ibadah, akhlak dan seterusnya. Ulama lain membagi ilmu menjadi dua: ilmu logika
dan sam`i. ilmu logika adalah ilmu yang diperoleh melalui logika dan percobaan.
Ilmu sam`i: ilmu yang diperoleh melalui kenabian dan wahyu. (Daudi, : 580) Al-
Manâwî dalam bukunya at-Taufiq bahwa ilmu adalah keyakinan yang mutlak tetap
yang sesuai dengan kenyataan.

Dalam hal defenisi ilmu tidak ada perbedaan antara Islam dan Barat bahwa ia
merupakan kebenaran yang sesuai dengan realitas. Namun titik perbedaannya
mengenai sumber ilmu yang diakui.Dimana Barat hanya mengenai yang berisifat
empiris dan tidak mengakui wahyu. Ilmu dalam agama Islam adalah pengetahuan
akan kebenaran yang didasari atas argument yang kuat dan dapat dipastikan (qaţ`i).
Oleh sebab itu al-Quran adalah hujjah yang qaţ`i begitu juga Hadis yang mutawâtir
dan şahîh.Maka keduanya tergolong kepada ilmu bahkan menjadi sumber dan neraca
ilmu dalam agama Islam.Karena dalam Islam kebenaran yang mutlak hanya
bersumber dari Allah Swt. (Al-Qardhawi, 1997: 57). Menurut imam al-Gazâli dalam
bukunya Ihya `Ulŭmiddîn beliau menerangkan secara khusus tentang ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan tatanan sosial masyarakat. Ia
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tiga kriteria, yaitu: (Al-Ghazali, :
13-24).

9
1. Kasifikasi ilmu pengetahuan menurut tingkat kewajibannya

Berdasarkan tingkat kewajibannya ini imam al-Gazâli membagi kepada dua


kewajiban yaitu;

a. Ilmu pengetahuan yang farᶁu’ain

Menurutnya ilmu pengetahuan yang termasuk dihukumi farᶁu „ain ialah


segala macam ilmu pengetahuan yang dengan dapat digunakan untuk bertauhid
(pengabdian, peribadatan kepada Allah secara benar, untuk mengetahui Zat serta
Sifat-sifat-Nya.

b. Ilmu pengetahuan farᶁu kifâyah

Adapun yang termasuk farᶁu kifâyah menurutnya adalah setiap ilmu


pengetahuan yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan kesejahteraan
dunia. Al-Gazâli menyebutkan ilmu-ilmu yang termasuk farᶁu kifâyahadalah: ilmu
kedokteran, berhitung, ilmu bekam, politik dan lain sebagainya.

2. Klasifikasi ilmupengetahuan menutut sumbernya

Adapun klasifikasi ilmu pengetahuan menurut sumbernya. Al-Gazâli


membagi kepada dua sumber:

a. Sumber dari pengetahuan syari’ah

Ilmu ini adalah ilmu pengetahuan yang di peroleh dari para Nabi as. Bukan
dari penggunaan ilmu akal seperti berhitung atau dari eksperimen seperti ilmu
kedokteran atau dari pendengaran seperti ilmu bahas. Kemudian dari pengetahuan
syari’ah di klasifikasikan menjadi 4 bagian yaitu;

1. Uşŭl yang terdiri dari, Alquran, as-Sunnah, Ijma’ dan Ăśâr sahabat.

2.Furŭ‟ yang terdiri dari ilmu fiqih, ilmu akhlak atau etika Islam.

10
3. Muqaddimah yakni ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa, dan
nahu. 4. Mutammimah (penyempurnaan) yakni ilmu al-Qur’an hadits dan
ilmu âśar sahabat dan lainnya.

b. Pengetahuan gairi syar’ah(`aqliyah)

Sumber-sumber primer dari pengetahuan gairu syari‟ah (`aqliah)


adalah akal pikiran, eksperimen dan akulturasi.Jadi, ilmu pengetahuan gairu
syari‟ah yakni sesuatu yang dapat diganti (dicari) dan tercapai oleh persepsi
dan ilmu pengetahuan ini ada yang terpuji, dan yang tercela dan ada yang
mubah.

3. Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut fungsinya sosialnya.

Berdasarkan fungsi sosialnya, al-Gazâli membagi kepada 2 macam:

a. Ilmu pengetahuan yang terpuji, yakni pengetahuan yang bermanfaat dan


tidak dapat di kesampingkan. Contohnya ilmu kedokteran dan berhitung.

b. Ilmu pengetahuan yang terkutuk yaitu pengetahuan yang merugikan dan


merusak manusia. Contohnya ilmu magis (sihir), azimat-azimat (ţulasamat),
ilmu tenung (sya‟biżah) dan astrologi (talbisât).

4.2 KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU

Tidak ada agama yang seperti agama Islam dan tidak ada kitab suci yang
seperti Alquran yang begitu mengutamakan ilmu dan menganjurkan manusia untuk
mencarinya.Allah swt juga meninggikan kedudukan orang yang berilmu dan
menjelaskan keutamaannya serta kelebihannya di dunia dan di akhirat.Allah swt juga
menganjurkan untuk belajar dan mengajarkan ilmu serta meletakkan kaeadah-kaedah
dasar, hukum-hukum dalam hal tersebut sebagaimana yang tercantum di dalam
Alquran.

11
Sebagi bukti wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah
perintah untuk membaca yang merupakan kunci bagi ilmu dengan menyebutkan

pena sebagai sarana untuk mentransfer ilmu dari satu generasi kepada
generasi lainnya. Sebagaimana firman Allah swt di dalam suarat al-`Alaq ayat1-5: ﴿ َ
ُ ﴿ ‫ ب ر َ ْأ و َ ْر ﴾ اق‬٢ ‫ ﴿ ر َل َ ع ْ ن ِ َن م ا َ نس ْ ْا ِل َ لَق َك َ َ ﴾ خ‬١ْ ‫لَق َ ي خ ِذ َّ ِّ َك ال ب َ ِم ر ْ اس ِ ْأ ب َ ٍق اق‬
‫ ﴾م‬٥ ‫ ا نس ْ ْا ِل َ م َّ ل ْ ﴾ ع ﴿ َ لَم ْ ع َ ي ْ ا َل َ َن‬٤ ‫ ﴿ كر َل َ ْالق ِ ب َ م َّ ل َ ي ع ِذ َّ َ ﴾ ال‬٣ْ ‫م َ ِم ْاأ َل‬

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.


Dia telah menciptakan manusia dari suatu yang melekat.Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah.Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. Sungguh surat yang pertama
yang diturunkan Allah swt adalah surat al- `Alaq dalam surat ini Allah swt
menyebutkan anugrah apa yang telah diberikanNya kepada manusia yaitu
mengajarkan apa-apa yang tidak dia ketahui.

Di dalam surat ini Allah swt menegaskan keutamaanNya dengan mengajari


manusia dan mengutamakan manusia dengan ilmu tersebut. Hal ini menunjukkan
akan kemulian ilmu dan mengajarkannya. Surat ini dibuka dengan perintah untuk
membaca yang dapat mendatangkan ilmu.Kemudian Allah swt menyebutkan
makhlukNya secara umum dan secara khusus.Dimana Allah swt mengkhususkan
manusia di antara makhluk-makhlukNya untuk memperoleh kemulian ilmu
ini.Dimana Allah swt memerintahkannya untuk memperhatikan kejadian dirinya dari
sesuatu yang melekat di dinding rahim.Kemudian Allah swt menjelaskan bahwa dia
Maha Mulia dengan lafal akram dengan berbagai keutamaan dan anugrah yang Dia
berikan.

Kemudian Allah swt menjelaskan mengajarkan makhlukNya secara umum


dan secara khusus yaitu manusia. Di antara ayat-ayat yang turun di awal ialah surat
al-Qalam sebagaimana firmanNya: َ ِ‫م َق َل ن والْ َ و َ م َ اي ْ سطُ ُ ر ْ َون‬

12
Artinya: “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis”. Allah Swt di dalam
ayat ini bersumpah dengan pena. Tidaklah Allah swt bersumpah dengan sesuatu
melainkan bahwa sesuatu itu sangat penting dan sangat bernilai.Pena merupakan alat
untuk mentransper ilmu dari satu orang kepada lainnya, dari satu bangsa kepada
bangsa lainnya dan dari satu generasi ke genarasi lainnya.Pena membuat kekalnya
ilmu sepanjang masa.Pena sebagai alat untuk menukil ilmu dan mengabadikannya.
Sunggah besar dan begitu penting peranan pena di dunia ini. Di lain ayat Allah Swt
juga berfirman pada surat az-Zumar ayat 9: َ َّ َ ‫ى ْ ل َ ي ْ َّ ِوي ال َ ست ِذ ْ ي َ ن َ ي ْ ع َل ُ م ْ َون‬
‫عل ُ م ْ َون‬
َ ْ ‫وال ِذ ْ ي َ ن َال َ ي‬

Artinya: “ Apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang


tidak mengetahui”. Allah swt di sini membedakan orang yang berilmu dengan orang
yang bodoh keduanya tidaklah sama. Tanpa memandang ilmu apa saja itu namun
yang penting tidaklah sama antara orang yang alim dan yang jahil. Sama hal tidaklah
sama antara orang yang melihat dengan yang buta atau antara kegelapan dan cahaya.
Jelas keutamaan ilmu membedakan satu manusia dengan manusia lainnya dan
mengutamakannya dari selainnya.

Di dalam Alquran Allah swt juga menegaskan bahwa orang yang takut kepada
Allah Swt adalah orang yang berilmu. Sebagaimana firmanNya dalam surat Fâŝir ayat

ِ ‫نَ إ َّ َيْ ا َ َش هلل ى ا ِ م ْ ن‬


28: ِ َ‫ع َ ب ِ اد ِ ْ ه ا ُ لع َل َ م ُ اء‬

Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambahambaNya


adalah para ulama”. Karena para ulama-lah yang telah membaca tanda-tanda
kebesaran, keagungan, keadilan Allah swt dalam segala peristiwa dan alam yang
dibentangkanNya sehingga mewariskan ke dalam hati mereka rasa takut kepada Allah
swt untuk melakukan segala bentuk perbuatan yang mendatangkan murka Allah swt.
Ibnu Mas`ud ra pernah berkata: َ ‫ب ْ َك ًل ف ه َ ج اِر باهل ِل َ ِال ِْغت ا ِ َى‬
ِ ِ ‫اهلل ِ ة َ َ ْشي َى‬
ِ ‫ع‬
ِ ‫ا و ً ْلم‬
‫ب َكف‬

13
Artinya: “cukuplah rasa takut kepada Allah swt menandakan seorang berilmu
dan cukuplah keberanian untuk melakukan maksiat sebagai tanda kebodohan
seorang”. Di dalam Alquran Allah swt juga menjelaskan bagaimana Allah swt
bersaksi juga para malaikatnya dan orang berilmu bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah swt sebagaimana tertuang di dalam surat ali Imran ayat 18: َ‫ش ِه َ د ُ َّ اهلل َأن ُ َ ا َل و‬
ْ ‫إلو ِ ال إ َّ ُ ى َ و َ وادل َ َل ئ َك ِ ُ ة َ وُأ ْ و ُل ِ َ ِم ق وا العلْ ِ ائ ً ْ ا ِ ما ب ِ ل}}ق ْ َال ِطس ِ إ َ ل}}و إا َّل ِ ُ ى َ و َ ِز ال}}ع‬
‫كيُم‬
ِ ْ ‫ي ُ ز َ احل‬

Artinya; “Allah swt bersaksi begitu jua para malaikat dan orang-orang yang
berilmu bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan menegakkan keadilan tidak ada
tuhan selain Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.Imam Gazâli
berkata,“perhatikanlah bagaimana Allah Swt memulai ayat ini dengan Dia kemudian
para malaikatNya dan orang yang berilmu dalam kesaksian hal ini cukup
membuktikan betapa mulai dan utamanya dan jelasnya kemuliaan dan keutamaan
ilmu”. (al-Ghazali, 1989: 5).

Ibnu al-Qayyim menjelaskan mengenai ayat ini bahwa Allah swt menjadikan
para ulama sebagai saksi akan Kemaha EsaanNya hal ini menunjukkan akan
keutamaan ilmu dan orang yang berilmu dari beberap aspek:

1. Allah swt memilih mereka saja di antara manusia sebagai saksi

2. Menggandengkan kesaksian Allah dan kesaksian mereka

3. Menggandengkan kesaksian para malaikat dengan kesaksian mereka

4. Ayat ini juga secara implisit menjelaskan bahwa para ulama adalah orang
yang bersih, adil, jujur karena mustahil Allah swt mengambil kesaksian dari
hambanya yang tidak adil. Hal ini ditegaskan dengan sabda Rasul saw : ْ َُِ ‫ي ِم ُ َ ل َ ىذا‬
ْ ‫العْل َ م ِ م ْ ُك ِّل ٍف َ ن ُ ْخل ُع د ْ و ُل ُ و ُ ي ْ ن ُ ف ْ َون َ ْع ن ُ و ِر‬
‫َت ْ ي َف َ الغ ِ ال َ ْ َني ْ وان ِ ت َ حاَل ال ُ م‬
‫َْ ب ِط ِ ل‬

14
Artinya: “Ilmu agama ini akan diemban oleh setiap genarasi mendatang oleh
orang yang adil (tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak berketerusan
melakukan dosa kecil serta jujur), mereka menapikan pemalsuan yang dibuat oleh
orang yang melampai batas juga menyanggah pendapat yang membatalkan hal yang
benar serta menyalahkan ta`wil orang-orang yang bodoh”. ( al-Baihaqi, 10/209)

5. Allah swt mendeskripsikan mereka bahwa mereka adalah orang yang


berilmu hal ini menunjukkan spesifikasi mereka dengan hal tersebut bahwa
merekalah orang yang diberi ilmu dan bukan gelar yang bersifat pinjaman.

6. Allah swt berasksi dengan DiriNya dan Dialah Saksi yang paling mulia
kemudian dengan makhlukNya yang terbaik yaitu para malaikat dan para ulama.
Cukuplah ini menunjukkan keutamaan dan kelebihan serta kemuliaan para ulama.

7. Allah swt disini meminta kesaksian dalam perkara yang paling agung,
paling pokok, paling penting, paling besar yaitu kesaksian mengenai tauhid. Jelas
untuk perkara yang besar dibutuhkan saksi-saksi yang memiliki kedudukan yang
tinggi. Hal ini menunjukkan para ulama adalah penghulu dan pemuka makhluk-
makhluk Allah Swt.

8. Allah swt menjadikan kesaksian mereka sebagai hujjah dan argumen bagi
orang-orang yang mengingkari hal ini. Jelas mereka diposisikan sebagai bukti dan
tanda serta argumen atas Kemaha esaan Allahswt.

9. Allah swt menggunakan satu kata kerja yang mengandung kesaksian yang
bersumber dariNya, para malaikat dan para ulama. Hal ini menegaskan begitu
kuatnya hubungan kesaksian mereka dengan kesaksian Allah swt. Seakan Allah swt
bersaksi bagi diri atas ketauhidan melalui lisan mereka dan membuat mereka
mengucapkan kesaksian ini, seakan Dia sendirilah yang besaksi dengan
mengucapkannya dan mengajarkan kepada mereka sementara itu mereka bersaksi
akan hal tersebut dengan pengakuan dan keimanan.

15
10. Bahwasanya Allah swt akan menyerahkan hakNya kepada
hambahambaNya berupa kesaksian ini. Jika mereka menunaikan kesaksian ini maka
mereka telah menunaikan hak Allah swt. Oleh sebab itu wajiblah makhluk untuk
mengakuinya sehingga hal ini menjadi puncak kebahagiaan mereka di dunia dan
akhirat.

5.2 KEDUDUKAN ULAMA DALAM ISLAM

Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga
pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan
al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang
bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya,
menjadi agung dan mulia kehormatannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

َ‫قُلْ هَلْ يَسْت‬

Katakanlah,

“Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak


mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9)

Dan firman-Nya Azza wa Jalla:

ٍ ‫يَرْ فَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ َآ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِع ْل َم َد َر َجا‬
‫ت‬

Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11)

Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya


karena tunduk akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di
airpun ikut memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan
sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka

16
wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama kedudukannya dengan yang
mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang sama dengan yang
mewariskannya itu.

Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu


‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan
membuka sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang
mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang alim akan dimohonkan ampun
oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air.
Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan
purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi.
Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang
mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka
sesungguhnya ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (Shahih, HR
Ahmad (V/196), Abu Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223) dan Ibnu
Hibban (80/al-Mawarid).

Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan
melanjutkan peranan dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah
dan ketaatan kepada-Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat serta membela
agama Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul antara Allah dan hamba-
hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk
menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.

Muhammad bin al-Munkadir berkata,

17
“Sesungguhnya orang alim itu perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya, maka
perhatikanlah bagaimana dia bisa masuk di kalangan hamba-hamba-Nya.”

Sufyan bin ‘Uyainah berkata,

“Manusia yang paling agung kedudukannya adalah yang menjadi perantara antara
Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan ulama.”

Sahl bin Abdullah berkata,

“Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para Nabi, maka hendaklah dia melihat
majelisnya para ulama, dimana ada seseorang yang datang kemudian bertanya,
‘Wahai fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada
istrinya demikian dan demikian?’ Kemudian dia menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’
Kemudian datang orang lain dan bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-
laki yang bersumpah pada istrinya demikian-demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia
telah melanggar sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan ini tidak dimiliki kecuali
oleh Nabi atau orang alim. (maka cari tahulah tentang mereka itu).”

Maimun bin Mahran berkata,

“Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan mata air yang tawar di
negeri itu.”

Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu,
maka wajib atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta
kemuliaannya.

Dari Ubadah bin Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak
menyayangi yang lebih muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.”

18
Dan di antara hak para ulama adalah mereka tidak diremehkan dalam hal
keahlian dan kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah, serta
penetapan hukum-hukum dan yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau
merendahkan kedudukannya, serta sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga
menjauhkan manusia darinya atau perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh
orang-orang jahil yang tidak tahu akan kedudukan dan martabat para ulama.

Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan setiap
cabang-cabang ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya.
Jangan meminta pendapat tentang kedokteran kepada makanik, dan jangan pula
meminta pendapat tentang senibena kepada para dokter, maka janganlah meminta
pendapat dalam suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya.

6.2 ILMU YANG HARUS DIPELAJARI DAN DIKEMBANGKAN

Sebagaimana kita ketahui bahwa di dalam Islam, menuntut ilmu sangat


penting dan hukumnya wajib. Karena pentingnya ilmu, Al-Quran menyebutkan
perbedaan yang jelas antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.
Menurut Al-Quran hanya orang yang berakal (yang berilmu) yang dapat menerima
pelajaran (QS.39:9). Hanya orang yang berilmulah yang takut kepada Allah
(QS.35:28). Hanya orang yang berilmu yang mampu memahami hakikat sesuatu yang
disampaikan Allah melalui perumpamaan (QS. 29:43).

Orang yang beriman dan orang yang diberi ilmu akan ditinggikan derajatnya
(QS.58:11). Oleh karena itu, para nabi, para rasul, para ulama sebagai manusia
terbaik, dikaruniai ilmu. Namun, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah ilmu apa
saja yang harus dipelajari dan dimiliki seorang muslim itu agar sentiasa mendapatkan
kedudukan seperti yang telah Allah gambarkan dalam beberapa ayat Al-Quran di
atas.Pada dasarnya ilmu yang harus dipelajari oleh seorang muslim adalah ilmu yang

19
dapat bermanfaat bagi dirinya dan juga bermanfaat bagi orang lain. Hal ini karena
ilmu yang bermanfaat akan mengantarkan manusia untuk mengenal Allah dengan
baik, memperbaiki akhlaknya, dan membuahkan amal saleh yang sesuai dengan
tuntunan AlQuran dan Sunnah Rasulullah Saw. Menurut para ahli ilmu yang harus
dipelajari seorang muslim itu secara garis besar ada dua.

Pertama, ilmu yang bersifat fardu’ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh
setiap muslim secara khusus (individual).

Kedua, ilmu yang bersifat fardu kifayah, yaitu ilmu yang harus dipelajari oleh
umat Islam secara umum, bukan atas individu secara khusus. Artinya apabila ada
seseorang yang telah mempelajarinya, gugurlah kewajiban menuntut ilmu tersebut
bagi yang lainnya.

Walaupun demikian, ilmu fardhu kifayah ini tetap dianjurkan untuk dipelajari
oleh setiap muslim agar semakin meningkat ketakwaan, ketawadhuan dan
ketakutannya kepada Allah Swt. Sayyid Abi Bakar dalam bukunya yang berjudul
Kifayat al-atqiya wa Minhaj al Ashfiya (tt.24) mengungkapkan bahwa ilmu yang
wajib dipelajari seorang muslim (fardu’ain) adalah:

(1) Ilmu tentang akidah yang sahih,

(2) ilmu tentang ibadah yang sahih, dan

(3) ilmu yang dapat membersihkan jiwa (hati) dari penyakit hati seperti
sombong, riya, dan hasad. Dr. Yusuf Qardhawy sebagaimana yang telah dikutip oleh
Tim penyusun buku teks PAI PTU (2001: 209) menyebutkan bahwa ada empat
macam ilmu yang termasuk kepada fardu’ain, yaitu Pertama, ilmu mengenai aqidah
yaqiniyah (prinsip akidah yang perlu dipercayai) yang benar, selamat dari syirik dan
khurafat. Kedua, ilmu yang membuat ibadah seseorang terhadap Allah Swt. dapat
berjalan dengan benar sesuai degan ketentuan yang disyariatkan. Demikian secara
lahiriah. Secara batiniah, memenuhi syarat niat dan ikhlas karena Allah.

20
Ketiga, ilmu yang dengannya jiwa dibersihkan, hati disucikan, segala
fadhilah (keutamaan) dikenal untuk kemudian diamalkan, dikenal pula raziilah
(kenistaan) atau yang membinasakan untuk kemudian ditinggalkan dan dijaga.
Keempat, ilmu yang bisa mendisiplinkan tingkah laku dalam hubungan dengan
seseorang dengan dirinya atau dengan keluarganya atau dengan khalayak banyak,
baik itu penguasa atau rakyat, muslim atau nonmuslim. Dengan begitu, ia mengetahui
hukum halal haram, wajib bukan wajib, pantas tidak pantas, bermanfaat tidak
bermanfaat.

Keempat jenis ilmu tersebut wajib secara ‘aini (wajib secara individu) untuk
dipelajari oleh seorang muslim. Jika salahsatunya rusak, rusak pula kehidupannya.
Seseorang yang tidak memiliki akidah yang benar dan lurus, sesuai dengan ketentuan
syara‟ akan terjerumus kedalam kesyirikan (musyrik) yang sangat fatal akibatnya,
seperti yang dialami paham animisme, dinamisme, dan politeisme.

7.2 ILMU YANG TIDAK BOLEH DIPELAJARI

Ada beberapa ilmu yang tidak diperintahkan untuk dipelajari bahkan dilarang
antara lain pertama, ilmu gaib, yaitu sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh indera
dan akal. Yang dimaksud gaib di sini adalah gaib mutlak yang memang Allah Swt.
sendiri tidak memberikan petunjuk yang membimbingnya atau tanda-tanda yang
menunjukinya seperti ilmu tentang nasib masa depan manusia, ilmu tentang
kematian, bahagia dan celaka, kapan seseorang mati, kapan seseorang sengsara,
kapan seseorang menikah dan dengan siapa, dan seterusnya. Semua pertanyaan
tersebut manusia tidak mampu menjawabnya dengan jawaban yang pasti.

Ini termasuk perkara yang gaib yang hanya diketahui oleh Allah Swt. (lihat
QS. AlJin:26-27; An-Naml:65: Al-An‟am:59). Kedua, ilmu tentang hakikat Dzat
Allah Swt.; perkara yang gaib dan paling agung jauh dari jangkauan pengetahuan
manusia adalah ilmu tentang hakikat Dzat Allah Swt. Dalam hal ini Rasulullah Saw.
mengisyaratkan melalui sabdanya tentang seruan untuk memikirkan nikmat Allah

21
yang telah dianugrahkan-Nya dan melarang untuk memikirkan Dzat Allah Swt. (lihat
Yusuf Qardhawi, 1999:201-202). Ketiga, Ilmu yang dapat mendatangkan madarat
dan tidak bermanfaat seperti ilmu sihir, ilmu untuk memperdayakan orang lain seperti
ilmu pelet dan ilmu hipnotis (yang umumnya membaca mantra).

8.2 ORIENTASI PENGEMBANGAN ILMU

Dalam Al-Quran Allah Swt. telah menggariskan secara tegas tentang arah dan
tujuan pengembangan ilmu dalam Islam agar ilmu yang didapatinya membawa
keberkahan dan memberikan manfaat yang besar. Dengan demikian, kaum muslimin
dalam menjalani proses belajar-mengajar, penelitian, observasi, dan sebagainya tidak
boleh keluar dari apaapa yang telah Allah Swt. gariskan di dalam kitab-Nya, antara
lain: Pertama, ilmu yang dipelajari dan dikembangkan haruslah diorientasikan dalam
rangka mengenal tanda-tanda kekuasaan Allah Swt, menyaksikan kehadiran-Nya
pada berbagai fenomena alam, setelah melakukan pengamatan atau penelitian yang
pada akhirnya mengagungkan-Nya dengan penuh takwa. (QS. 3:190-191; 35:28;
2:26).

”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya


malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS.3;190-191) Kedua, ilmu dikembangkan
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. (QS.22:65; 16:14; 14:32-34),
bukan untuk mendapatkan pujian, bukan pula untuk tujuan rendah seperti sekadar
mencari uang, popularitas, jabatan, kedudukan, dan status sosial.

22
”Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa
yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia
menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya?
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
Manusia. (QS.22:65).

Ketiga, ilmu dikembangkan dalam rangka menemukan keteraturan dan


memahami maksud pencipta ”Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala
yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. (QS.21:16). baik keteraturan
alam fisik yang senantiasa berjalan pada aturan Allah Swt.” ”Sesungguhnya Allah
menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang
memiliki sifatsifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling. Dia
menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan)
matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui. (QS.6:95-96) maupun keteraturan alam sosial (QS.30:41;
42:30).

Keempat, ilmu dipelajari harus diarahkan dalam rangka memberikan manfaat


bagi diri sendiri, masyarakat dan lingkungan, bukan untuk menimbulkan kerusakan
baik kerusakan lingkungan maupun kerusakan alam sosial (QS.7:56; 47:22-24) ”Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan
(akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik. (QS. 7:56).

Kelima, ilmu yang dipelajari tidak boleh menimbulkan suatu sikap pemisahan
antara ilmu dengan agama (sekularisasi). Karena pada hakikatnya dalam Islam
pengembangan ilmu harus dilandasi nilai-nilai agama (Islam), dan agama (Islam)
telah memerintahkan kepada penganutnya untuk senantiasa mengembangkan ilmu.

23
Ilmu yang dikembangkan dengan landasan nilai-nilai agama dapat meningkatkan
kesadaran akan keagungan Allah Swt. serta meningkatkan keimanan kepada-Nya.
(QS.3:190-191)

BAB III

PENUTUP

1.3 KESIMPULAN

a.Belajar merupakan suatu proses kegiatan dan bukan suatu hasil atautujuan. Belajar
bukan hanya mengiat, akan tetapi lebih luas daripadaitu, yakni mengalami perubahan
perilaku dari pengalaman.

b.Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim laki-laki danperempuan,
dari mulai sejak lahir sampai sebelum masuk kubur.

c.Kewajiban orang yang memiliki ilmu adalah mengamalkannya dalam kehidupan


sehari-hari dan mengajarkannya kepada orang lain

d. Kasifikasi ilmu pengetahuan menurut tingkat kewajibannya

a. Ilmu pengetahuan yang farᶁu’ain

b. Ilmu pengetahuan farᶁu kifâyah

Klasifikasi ilmupengetahuan menutut sumbernya

a. Sumber dari pengetahuan syari’ah

b. Pengetahuan gairi syar’ah(`aqliyah)

Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut fungsinya sosialnya.

24
a. Ilmu pengetahuan yang terpuji.

b. Ilmu pengetahuan yang terkutuk

e. ilmu yang wajib dipelajari seorang muslim (fardu’ain) adalah: (1) Ilmu tentang
akidah yang sahih,(2) ilmu tentang ibadah yang sahih, dan(3) ilmu yang dapat
membersihkan jiwa (hati) dari penyakit hati seperti sombong, riya, dan hasad.

2.3 SARAN

Demikianlah makalah yang saya buat, semoga pembahasan tentang


Kedudukan Menuntut Ilmu dapat dipahami dengan jelas. Dengan adanya pembuatan
makalah diharap semua yang membaca menjadi orang yang berilmu agar kita tidak
menjadi orang yang tersesat baik didunia maupun di akhirat. Dalam proses
menjalankannya semoga diterapkan sebaik-baiknya dan menghindari segala hal yang
jauh dari jalan Allah SWT serta terus tetap istiqomah dalam
menuntut,mengembangkan,dan menyampaikan ilmu karena sudah kewajiban kita
khususnya umat muslim.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Baihaqi, Abu BakarAhmad, Syu`abul Iman, Beirut, Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah,

1410 H

Al-Gazâli, Abu Hâmid,Ihya `Ulumiddîn, Semarang, Karya Toha Putra, t.t

-------, Ihya `Ulumiddin, Beirut, Dâr al-Ma`rifah, 1989

Al-Manâwi , Abdur Ra`uf , Zainuddin,at-Taisir Bisyarhi al-Jâmi` as-Şagîr,

(Riyaᶁ, Dar an-Nasyar, 1998

-------, Faiᶁul Qadîr, Beirut, Dârul Kutub al-`Ilmiyah, 1994

25
Al-Qarᶁâwi, Yusuf,Al-`Aqlu Wal `Ilmu Fil Quranil Karîm, Cairo, Maktabah
AlWahbah, 1996

-------, al-Islam Wal `Ilmâniyah, Cairo, Maktabah Wahbah, 1997

Al-Qarᶁâwi dalam M.Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam,

Jakarta, Lintas Pustaka, 2006

Ar-Rahmâni al-Mubârakfuri, Abul Hasan `Ubaidillah,Mura`atul Mafâtih Syarhu

Misykâtil Maşâbih, Binaras Al-Hind, Idârat al-Buhŭś al-`Ilmiyah, 1984

As-Suyuŝi dkk, Syarah Sunan Ibni Mâjah, Karatch, Qadimi Kutub Khanah, t.t

As-Suyuŝi,Abdur Rahman, Jalâluddin,Jâmi` al-Ahâdiś, Beirut, Dârul Fikri, 1994

At-Ŝabrani, Sulaiman bin Ahmad, Abul Qasim,al-Mu`jam al-Awsaţ, Cairo, Dârul

Haramain, 1415 H

Ibnu al-Qayyim, Miftâh Dâr as-Sa`adah, Cairo, Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1994

Shafwan Adnan Daudi, Mufrâdat al-Quran, Beirut, Dâr al-Qalam, t.t

SM,Ismail,Strategi Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM, Semarang, Rasail

Media Group, 2008

Bakran Adz Dzaky, Hamdan. 2001.Psikoterapi dalam Konseling Islam.Yogyakarta:


Pajar Pustaka Baru.

Furqon. 2012. Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Bogor: IPB

Press.

Mujib, Abdul. 1997. Fitrah dan Kepribadian Islam. Jakarta Pusat: Darul Falah.

Qardhawi, Yusuf. 1996. Islam Peradaban Masa Depan. Jakarta: Pustaka Kautsar.

26
Ramayulis. 2004. Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: Kalam Mulia.

Shihab, Quraish. 1997. Tafsir Al-Quran.Bandung: Pustaka Hidayah.

LAMPIRAN

27
28

Anda mungkin juga menyukai