LAPORAN PENELITIAN
Diajukan untuk memenuhi tugas besar mata kuliah Komunikasi Masa dan Media Baru
Disusun oleh :
Pengertian literasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu kemampuan menulis dan
membaca; kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan kecakapan hidup.
Menurut Delora Jantung Amelia dan Bahrul Ulumu (2019), literasi dapat dikatakan sebagai
kemampuan membaca dan menulis 1 . Karena zaman terus berkembang, pengertian mengenai
literasi juga ikut berkembang, menurut Alberta (dalam Mutolib, 2020:2) literasi bukan sekedar
kemampuan untuk membaca dan menulis, namun menambah pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan yang dapat membuat seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis, mampu
memecahkan masalah dalam berbagai konteks, mampu berkomunikasi secara efektif dan mampu
mengembangkan potensi dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat 2. Digital memiliki
pengertiannya sendiri, menurut KBBI adalah berhubungan dengan angka-angka untuk sistem
perhitungan tertentu.
Jadi, pengertian dari literasi digital adalah kemampuan seorang individu untuk
menggunakan teknologi digital, seperti mengakses, mengelola, menganalisis, dan mengevalusikan
suatu informasi, sehingga dapat membangun kemampuan untuk berpikir kritis dan menambah
pengetahuan. Dapat disimpulkan pula bahwa literasi digital merupakan suatu keterampilan dalam
menggunakan perangkat teknologi informasi dan juga proses dalam memahami isi dari sajian yang
disajikan. Menurut Indah Kurnianingsih dkk (2017), karakteristik literasi digital tidak hanya pada
1
Delora Jantung Amelia dan Bahrul Ulumu, “Literasi Digital di Kalangan Mahasiswa PGSD Universitas
Muhammadiyah Malang”. Edumaspul: Jurnal Pendidikan. Vol. 3 No. 2. 2019, hlm. 107.
2
Abdul Mutolib, “Penerapan Metode Mind Mapping & Material Review (M3R) Untuk Meningkatkan Budaya
Literasi Dalam Pembelajaran”. JUPENDIK: Jurnal Pendidikan. Vol. 4 No. 1. April 2020, hlm. 2.
keterampilan pengoperasi dan penggunaan teknologi informasi saja, tetapi juga untuk proses
“membaca” dan “memahami”, serta “menciptakan” dan “menulis” untuk membuat sebuah
pengetahuan baru.
Penelitian kami mengambil tema mengenai literasi digital di kalangan siswa-siswi Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan meneliti mengenai “Bagaimana Siswa/i SMP Menyikapi dan
Memahami Literasi Digital pada Kehidupan Sehari-hari”. Hasil dari penelitan itu sendiri ternyata
banyak siswa-siswi SMP telah memahami mengenai penggunaan literasi digital sekarang ini.
Penulis melakukan penelitian dengan cara menyebarkan kuesioner berbentuk Google Form kepada
teman yang memiliki adik berusia 12-16 tahun dan kepada siswa-siswi SMP sendiri. Penelitian
mengenai literasi digital merupakan hal yang perlu dikaji untuk mengetahui bagaimana literasi
digital dipahami dan digunakan pada kalangan siswa-siswi SMP.
Berdasarkan topik dari penelitian kami, yaitu “Bagaimana Cara Siswa/i SMP Menyikapi
dan Memahami Literasi Media Digital Pada Kehidupan Sehari-hari”, kami membuat survei
mengenai sikap dan pemahaman media digital di kalangan siswa dan siswi Sekolah Menengah
Pertama. Ditinjau dari topik yang diangkat pun target responden kami adalah siswa dan siswi
Sekolah Menengah Pertama. Total responden yang berhasil didapatkan adalah 104 responden.
Data mengenai profil responden yang didapatkan berupa jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan
domisili. Sehingga, metode penelitian yang kami lakukan adalah survei.
Jenis Kelamin f %
Laki-laki 39 37,5%
Perempuan 65 62,5%
37,5% Laki-laki 39
62,5% Perempuan 65
Dalam tabel.1 dan grafik.1 diperlihatkan bahwa perempuan lebih banyak mengisi survei
dibandingkan dengan laki-laki. Terdapat 62,5% responden berjenis kelamin perempuan yang
mengisi survei, sedangkan terdapat 37,5% responden laki-laki .
Usia f %
Usia 12 5 4,8%
Usia 13 11 10,6%
Usia 14 17 16,3%
Usia 15 65 62,5%
Usia 16 0 0,0%
Usia 17 0 0,0%
Usia 18 1 1,0%
Usia 19 4 3,8%
Usia 20 1 1,0%
Dalam tabel.2 dan grafik. 2 diperlihatkan bahwa usia didominasi usia 15 tahun, yakni
sebesar 62,5%. Untuk target responden kami, yaitu siswa-siswi SMP, kami juga mendapatkan usia
selain 15 tahun, yaitu 4,8% berusia 12 tahun, 10,6% berusia 13 tahun, dan 16,3% berusia 14 tahun.
Lalu, ditemukan 6 orang pengisi survei yang memiliki usia diatas target responden, yaitu 1%
berusia 18 tahun, 3,8% berusia 19 tahun, dan 1% berusia 20 tahun.
Pekerjaan f %
Mahasiswa 6 5,8%
Pekerjaan
0,0%5,8%
Pelajar SMP 98
Pelajar SMA 0
94,2% Mahasiswa 6
Domisili f %
Bandung 15 14,4%
Bekasi 26 25,0%
Kudus 2 1,9%
Medan 1 1,0%
Jakarta 14 13,5%
Serang 1 1,0%
Cimahi 14 13,5%
Cianjur 1 1,0%
Solo 2 1,9%
Tangerang 3 2,9%
Lombok 1 1,0%
Depok 2 1,9%
Soreang 1 1,0%
Bone 1 1,0%
Subang 1 1,0%
Malang 2 1,9%
Sorong 3 2,9%
Sleman 2 1,9%
Denpasar 1 1,0%
Pekalongan 1 1,0%
Payakumbuh 6 5,8%
Domisili atau kota asal responden yang menjadi domisili terbanyak dalam penilitian ini
adalah Kota Bekasi, yakni sebanyak 25%. Selain itu, Kota Bandung memiliki persentase sebanyak
14,4% dan termasuk domisili responden terbanyak, setelah Bekasi. Terdapat juga Kota Jakarta dan
Cimahi yang memiliki persentase sebesar 13,5%. Lalu, ada Kota Payakumbuh yang memiliki
persentase sebesar 5,8%. Kota Tangerang dan Kabupaten Bandung Barat (KBB) memiliki
persentase sebesar 2,9%. Terdapat juga domisili responden dari Kota Kudus, Solo, Depok, dan
Malang, serta Sleman yang memiliki persentase sebesar 1,9%. Lalu, ada responden yang berasal
atau berdomisili dari Kota Medan, Serang, Cianjur, Tangerang Selatan, Lombok, Soreang, Bone,
Subang, Denpasar, dan Pekalongan yang memiliki persentase sebesar 1%.
III. Analisis Data
Metode penelitian yang digunakan untuk mengambil data-data responden berupa survei.
Metode ini merupakan sebuah teknik pengumpulan informasi dengan menyusun pertanyaan-
pertanyaan yang akan diajukan kepada responden dalam bentuk sampel dari sebuah populasi.
Menurut Leny Nofianti dan Qomariah (2017), populasi adalah wilayah umum yang terdiri dari
obyek atau subyek yang akan diteliti untuk dipelajari 3 . Sedangkan, sampel adalah bagian dari
populasi tersebut 4.
Populasi pada penelitian kami adalah remaja yang khususnya masih bersekolah. Lalu,
untuk bagian terkecil atau spesifiknya, yaitu sampel, kami meneliti siswa-siswi di Sekolah
Menengah Pertama atau SMP. Kami pun membuat survei yang berisikan kuisioner mengenai
bagaimana cara mereka menyikapi dan memahami media digital dalam kegiatan sehari-hari, yang
kemudian kami sebarkan lewat media sosial dan orang-orang terdekat melalui aplikasi Whatsapp.
Setelah responden terkumpul dengan jumlah yang cukup banyak, yakni 104 responden,
dibuatlah data statistik dalam bentuk tabel dan diagram lingkaran. Tetapi, sebelum membuat data
profil responden, coding book dan coding sheet dibuat terlebih dahulu. Coding merupakan
kegiatan yang mengubah data berbentuk huruf menjadi angka, hal ini dapat mempermudah
pendataan hasil survei kami. Contoh dari kegiatan coding tersebut, seperti untuk variabel coding
jenis kelamin dilakukan : 1 = laki-laki dan 2 = perempuan. Setelah diubah seluruh variabel yang
terdapat dalam survei penelitian kami menjadi bentuk angka, rumus yang kami gunakan untuk
mendata adalah rumus jumlah frekuensi responden dalam satu pertanyaan dibagi total frekuensi
keseluruhan, yaitu 104 responden, lalu dikalikan dengan 100, dan kami ubah masukkan kedalam
persentase untuk nilai akhirnya. Terakhir, kami sajikan data tersebut ke dalam diagram lingkaran
untuk bisa dipantau dan dipahami perbandingan frekuensinya.
Setuju 47 45,1%
3
Nofianti, L & Qomariah. (2017). Ringkasan Buku Metode Penelitian Survey. Pekanbaru, hlm. 76.
4
Ibid, hlm. 77.
Tidak Setuju 35 33,7%
Sangat Setuju 8
Setuju 47
33,7% 45,1% Tidak Setuju 35
Sangat Tidak Setuju 14
Dalam tabel. 5 dan grafik. 5 diperlihatkan bahwa responden cenderung menjawab setuju,
yakni sebanyak 45,1%. Lalu, terdapat juga responden yang menjawab tidak setuju sebanyak 33,7%,
sangat tidak setuju sebanyak 13,5%, dan sangat setuju yang memiliki persentase terkecil, yakni
sebanyak 7,7%.
Dalam media digital, konten yang disajikan dapat beragam. Tidak terkecuali, konten yang
mengandung kekerasan. Hal tersebut merupakan sisi buruk dari penggunaan media digital karena
dapat berpengaruh terhadap penggunanya. Konten tersebut dapat muncul secara tidak disengaja,
seperti dalam iklan atau banner yang terdapat di dalam sebuah website atau Youtube. Hal tersebut
dapat dikaitkan dengan pernyataan di dalam tabel, bahwa para responden setuju bahwa mereka
melihat konten media digital yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, juga kesesuaian mereka.
Bisa saja para responden melihat secara sengaja, maupun tidak.
Dalam upaya menghilangkan iklan atau banner yang terdapat di dalam website, Youtube,
atau media sosial lainnya, terbilang cukup sulit, meskipun kita sudah menutup dan melapor kepada
Google. Iklan atau banner tersebut akan terus muncul dikarenakan website, Youtube, atau media
sosial sangat bergantung kepada iklan tersebut untuk mendapatkan penghasilan.
Saya sudah mengerti bagaimana cara untuk menghindari hoax dan
f %
memilah informasi di media
Setuju 61 58,7%
Tabel 6. Responden berdasarkan pemahaman cara menghindari hoax dan memilah informasi di media
Sangat Setuju 4
37,5% Setuju 61
Tidak Setuju 39
58,7% Sangat Tidak Setuju 0
Grafik 6. Responden berdasarkan pemahaman cara menghindari hoax dan memilah informasi di media
Dalam tabel. 6 dan grafik. 6 diperlihatkan bahwa jawaban yang memiliki persentase
terbanyak adalah setuju, yakni sekitar 58,7%. Selain itu juga terdapat responden yang menjawab
tidak setuju sebanyak 37,2% dan 3,8% menjawab sangat setuju. Tidak ada responden yang
menjawab sangat tidak setuju sehingga persentase 0%.
Hoax merupakan istilah yang berarti suatu informasi yang bersifat bohong atau palsu. Di
era media digital ini, hoax menjadi sangat dikenal oleh masyarakat, tidak terkecuali siswa-siswi
SMP. Kemampuan yang harus dimiliki oleh para pengguna untuk dapat menghindari hoax adalah
kemampuan literasi digital dalam berpikir kritis dan kemampuan dalam informasi, yakni
kemampuan dalam mencari informasi, memperoleh informasi, dan mengevaluasi relevansi dari
media digital.
Setuju 71 68,3%
Tabel 7. Responden berdasarkan kessesuaian usia dan kebutuhan konten media digital
Saya dapat menyesuaikan konten media digital seuai usia
dan kebutuhannya dan bisa menjaga diri dan
konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh konten media
digital (spt cyberbulling, pornografi, kecanduan game
online, dll)
0,0% 9,6%
Sangat Setuju 10
22,1%
Setuju 71
Tidak Setuju 23
68,3%
Sangat Tidak Setuju 0
Grafik 7. Responden berdasarkan kesesuaian usia dan kebutuhan konten media digital
Dalam tabel. 7 dan grafik. 7, para responden lebih memilih jawaban setuju, yakni sebesar
68,3%. Selain terdapat pula responden yang menjawab tidak setuju dengan persentase sebesar 22,1%
dan responden yang menjawab sangat setuju 9,6%. Tidak ada responden yang menjawab sangat
tidak setuju, sehingga persentase menjadi 0%.
Para responden paham akan sisi negatif dari penggunaan media digital, seperti kecanduan,
cyberbullying, pornografi, dan lain sebagainya. Dalam media digital, terdapat banyak konten yang
disajikan hanya demi hiburan semata tanpa melihat siapa saja yang menonton atau yang
menggunakan. Hal ini dapat membahayakan para pengguna yang masih dibawah umur, seperti
siswa-siswi SMP dikarenakan rata-rata usia mereka yang dibawah 18 tahun, yaitu 12-16 tahun.
Kebutuhan siswa-siswi SMP dalam mengakses media digital sudah menjadi kebutuhan primer,
karena di dalam media digital tersebut terdapat banyak informasi yang bisa didapatkan, yang juga
dapat membantu kebutuhan lainnya, seperti berkomunikasi dengan teman, belajar, hingga hiburan.
Sehingga, dari pemahaman akan kebutuhan, mereka akan menyesuaikan dengan konten yang
dibutuhkan sehingga terbebas dari paparan konten negatif yang tidak sesuai usia.
Setuju 66 63,5%
Tidak Setuju 29 27,9%
Sangat Setuju 7
27,9% Setuju 66
Tidak Setuju 29
63,5% Sangat Tidak Setuju 2
Dalam tabel. 8 dan grafik. 8, para responden cenderung lebih banyak menjawab setuju,
yakni sebanyak 63,5%. Selain itu, terdapat juga yang menjawab tidak setuju sebanyak 27,9% dan
sangat setuju sebanyak 6,7%. Jawaban yang memiliki persentase terkecil ialah sangat tidak setuju
yakni sebesar 1,9%.
Siswa-siswi SMP cenderung lebih mengerti untuk menggunakan perangkat keras, seperti
monitor, mouse, printer, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan mereka merupakan generasi Z yang
terbiasa dengan media digital, seperti komputer, laptop, handphone, dan lain-lain. Mereka juga
memahami penggunaan perangkat keras tersebut karena terbiasa menggunakan untuk kebutuhan
mereka. Kebutuhan sekolah dan belajar siswa-siswi SMP di masa kini banyak menuntut untuk
menggunakan perangkat keras untuk mengembangkan konten di media digital, tentunya konten
tersebut masih bersangkutan dengan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.
Setuju 70 67,3%
Dalam tabel. 9 dan grafik. 9, para responden cenderung mengisi jawaban setuju, yakni
sebanyak 67,3%. Sedangkan untuk jawaban-jawaban lainnya, yakni tidak setuju mendapatkan
persentase sebesar 23,1%, sangat setuju sebesar 8,7%, dan sangat tidak setuju sebesar 1%.
Kebutuhan-kebutuhan siswa-siswi SMP dan responden lainnya, seperti belajar dan hiburan
dalam media digital tidak bisa dilepaskan dari dasar media digital. Dasar media digital adalah
tombol, hyperlink, transfer, unggah, unduh, dan sebagainya. Pemahaman mereka tentu saja terlahir
dari kebiasaan mengakses media digital tersebut untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Sehingga, jika kaitkan dengan kebutuhannya dalam belajar, mereka dapat mengakses Google
untuk mencari bahan belajar dan mentrasfer data tugas ke email guru mereka. Sedangkan, untuk
kebutuhan hiburan, mereka dapat mengakses media digital seperti handphone, untuk bisa melihat-
lihat instagram dan media sosial lainnya.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dalam tema penerapan literasi digital pada kehidupan-sehari
hari, dapat disimpulkan dari survei yang telah kami lakukan bahwa penerapan digital pada saat ini
khususnya untuk kalangan SMP berjalan dengan pesat dan baik. Penggunaan teknologi yang
semakin tinggi di kalangan anak SMP pun menjadi salah satu pendorong mudahnya penerapan
literasi digital, literasi digital ini umum mereka gunakan untuk menganalisis pesan yang di
dapatkan dari media digital. Media digital yang sering mereka gunakan adalah tidak jauh dari
media sosial. Fokus dari penelitian yang kita lakukan yaitu bagaimana siswa dan siswi SMP
menyikapi dan memahami literasi digital pada kehidupan sehari-hari. Menurut hasil penelitian dari
survei kita adalah :
1. Siswa dan siswi SMP sudah dapat menerapkan literasi digital dengan sangat baik, terbukti
dari kemampuan mereka yang dapat menghindari hoax dan memilah pesan serta informasi
yang di dapatkan dari media. Hal ini sering mereka gunakan pada saat mengerjakan tugas,
dimana tugas tersebut berkaitan dengan berita atau informasi yang bersumber dari internet.
2. Tingkat menganalisis mereka pada media digital sudah cukup tinggi dan cepat, terbukti
dari kemampuan mereka yang dapat menyesuaikan konten media digital sesuai usia dan
kebutuhannya dan bisa menjaga diri dari resiko dan konsekuensi negatif yang ditimbulkan
oleh konten media digital (seperti cyberbullying, pornografi, kecanduan game online, dll)
contohnya seperti keseharian mereka yang menggunakan media sosial atau internet untuk
sebatas hiburan saja seperti hanya bermain media sosial dan bermain game.
3. Dapat menggunakan dan mengaplikasikan literasi digital dengan baik dan benar, terbukti
dari mereka yang sering manfaatkan fasilitas yang sudah disediakan oleh media digital,
baik itu pada software maupun hardware. Contohnya saat pandemi covid-19 ini, mereka
mengirimkan tugas atau data dari satu aplikasi kepada aplikasi lain, serta menggunakan
eksesoris komputer untuk mendungkung tugas-tugas mereka seperti mouse, drawing pad,
USB, dan lainnya.
Amelia, D. J., & Ulumu, B. (2019). Literasi Digital di Kalangan Mahasiswa PGSD Universitas
Muhamamdiyah Malang. Edumaspul: Jurnal Pendidikan, 3(2), 106–111.
https://doi.org/10.33487/edumaspul.v3i2.144
Kurnianingsih, I., Rosini, R., & Ismayati, N. (2017). Upaya Peningkatan Kemampuan Literasi
Digital Bagi Tenaga Perpustakaan Sekolah dan Guru di Wilayah Jakarta Pusat Melalui
Pelatihan Literasi Informasi. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat (Indonesian Journal
of Community Engagement), 3(1), 61–76. https://doi.org/10.22146/jpkm.25370
Felita, P., Siahaja, C., Wijaya, V., Melisa, G., Chandra, M., & Dahesihsari, R. (2016). Pemakaian
Media Sosial Dan Self Concept Pada Remaja. Jurnal Ilmiah Psikologi, 5(1), 30–41.
http://ojs.atmajaya.ac.id/index.php/manasa-old/article/view/585
L. Putri, P. B. B. (2017). Media Digital sebagai Keterampilan Dasar Literasi Informasi dan
Media. Prosiding Konferensi Nasional Komunikasi, 01(01), 657–667.
http://pknk.org/index.php/PKNK/article/view/47/52
Lokananta, A. C., & Herlina, M. (2018). Dampak Informasi Hoax di Media Sosial Terhadap
Tingkat Konflik dan Sikap Pada Remaja Dampak Informasi Hoax di Media Sosial Terhadap
Tingkat Konflik dan Sikap Pada Remaja. PROMEDIA, 4(2), 100–113.
http://journal.uta45jakarta.ac.id/index.php/kom/article/view/1257
Nasionalita, K., & Nugroho, C. (2020). Indeks Literasi Digital Generasi Milenial di Kabupaten
Bandung. Jurnal Ilmu Komunikasi, 18(1), 32–47. https://doi.org/10.31315/jik.v18i1.3075
ARTIKEL ILMIAH
Diajukan untuk memenuhi tugas besar mata kuliah Komunikasi Masa dan Media Baru
Disusun oleh :
Di era yang semakin maju, teknologi terus berkembang menghadirkan segala kebutuhan
bagi masyarakat. Dengan kemajuan teknologi, semua hal menjadi serba cepat dan mudah.
Kemajuan teknologi tidak terlepas dari perkembangan internet di Indonesia. Menurut survei yang
dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) (2020) dinyatakan bahwa
setidaknya ada 196,71 juta jiwa dari 266,91 juta jiwa yang menggunakan internet dan sebanyak
3.2% penduduk yang menggunakan internet adalah siswa yang sedang duduk di bangku SMP.
Akan tetapi, di balik itu semua ada dampak positif dan negatif dari hadirnya teknologi. Salah satu
dari dampak positif adalah dengan hadirnya teknologi maka akan melahirkan sebuah literasi yang
berbentuk digital, memungkinkan para masyarakat menjadi lebih berwawasan luas dan mudah
terhindar dari hoax.
Dengan mudahnya mengakses informasi yang beredar di internet, di sisi lain justru
mengakibatkan siswa menjadi tidak berhati-hati dalam memilah informasi yang benar atau salah.
Menurut Sukaesih dan Rohman (2013), setiap orang dapat mencipta, mengakses, menggunakan
dan berbagi atau membagikan informasi dan pengetahuan, dengan konsekuensi bahwa setiap orang
haruslah dapat menghadapi dan menguasai informasi dengan benar. Jika hal tersebut terus
berlanjut, maka siswa membutuhkan keterampilan khusus yang dinamakan pola literasi. Miftah
dkk (2016) menyatakan bahwa pola literasi merupakan bentuk atau struktur yang terjadi pada suatu
keadaan yang terus menerus yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam melakukan serangkaian
pembelajaran mulai dari tahapan menerima dan membaca hingga tahapan menciptakan. Salah satu
jenis literasi yang memiliki keterampilan khusus dalam menggunakan informasi dalam bentuk
digital adalah literasi digital.
Literasi digital harus diketahui oleh masyarakat di Indonesia, termasuk juga para siswa-
siswi di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal ini dikarenakan kebutuhan sehari-hari
mereka yang tidak luput dari penggunaan media digital, seperti kebutuhan belajar dan hiburan.
Menurut Noviandari (dalam Sherlyanita dan Rakhmawati, 2016), kebutuhan remaja dalam
menggunakan internet tidak hanya dalam edukasi saja, melainkan juga untuk belanja, media sosial,
dan sebagainya. Keberadaan media digital yang lebih praktis, dapat digunakan kapanpun, dan
dibawa kemana saja, memudahkan para siswa-siswi SMP untuk memenuhi kebutuhannya, baik
edukasi maupun hiburan.
Gambar 1. Grafik Pengaksesan Handphone, Komputer, dan Console Game oleh Remaja (Pew Research Center,
A Majority of American Teens Report Access to a Computer, Game Console, Smatphone, and a Tablet, 2015)
Menurut Lenhart (2015) dalam survei penelitian kepada remaja di Amerika, dari usia 13
hingga 17 tahun, yang dipublikasi oleh Pew Research Center, media digital yang menjadi dominan
untuk diakses atau digunakan oleh remaja ialah laptop atau komputer, yakni 87%. Selanjutnya,
terdapat 73% remaja yang mengakses smartphone. Tujuan dari penelitian kami adalah mengetahui
cara para siswa-siswi yang duduk di bangku SMP memahami akses dan penggunaan media digital,
internet, dan media sosial, serta sikap mereka terhadap hoax dan konten-konten negatif dalam
dunia digital, seperti kekerasan, pornografi, dan kecanduan.
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian kami yaitu metode kuantitatif. Pengertian
metode kuantitatif ini, menurut Sugiyono (dalam Lestari, 2015) adalah mendeskripsikan atau
memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sample yang telah terkumpul
sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku umum.
Penelitian kami menggunakan metode kuantitatif karena penulis membagikan angket atau
questioner kepada siswa-siswi yang masih duduk di bangku SMP dengan kisaran umur 12-16
tahun sebagai sampel penelitian kami.
Penelitian kami mengambil objek yaitu remaja yang masih duduk dibangku SMP dan
memiliki kisaran umur 12-16 tahun. Lalu, dilanjut dengan menyebarkan questioner atau survei
tersebut menggunakan Google Form dan disebarkan kepada saudara yang masih berusia 12-16
tahun dan juga kepada teman-teman yang memiliki adik yang berumur 12-16 tahun. Penelitian
kami menggunaan teknik pengambilan sampel purposive sampling yang merupakan teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono dalam Lestari, 2015). Purposive
sampling ini digunakan karena hanya memfokuskan pada responden siswa-siswi SMP yang
berumur 12-16 tahun. Responden yang telah mengisi questioner ada 103 responden dan
kebanyakan responden yang berasal dari daerah Pulau Jawa dan juga ada beberapa responden dari
luar Pulau Jawa, seperti Provinsi Papua.
Hasil dari data tersebut, kemudian diolah menjadi sebuah data yang berisikan kode-kode
jawaban responden (coding book) untuk memudahkan dalam pengelompokan jawaban dari
responden.Coding book merupakan sistem pengubahan variabel data yang berbentuk huruf ke
dalam angka. Dalam mengerjakan coding book, penelitian kami menggunakan Microsoft Excel
agar mempermudah penghitungan hasil dari questioner yang telah disebarkan. Terakhir,
pengolahan data dianalisis dan didiskusikan agar mendapatkan sebuah kesimpulan.
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat 104 responden, yang terdiri dari 98
siswa-siswi SMP—yang dimana menjadi fokus/target penelitian kami dan 6 mahasiswa. Domisili
responden pun tersebar luas di wilayah Indonesia.
Jenis Kelamin f %
Laki-laki 39 37,5%
Perempuan 65 62,5%
Usia f %
Usia 12 5 4,8%
Usia 13 11 10,6%
Usia 14 17 16,3%
Usia 15 65 62,5%
Usia 16 0 0,0%
Usia 17 0 0,0%
Usia 18 1 1,0%
Usia 19 4 3,8%
Usia 20 1 1,0%
Total 104 100,0%
Tabel 2. Responden berdasarkan usia
Usia yang menjadi dominan dalam penelitian kami adalah 15 tahun, yakni sebesar 62,5%.
Selanjutnya, disusul oleh usia 14 tahun, yakni sebesar 16,3%. Usia 13 tahun memiliki persentase
sebesar 10,6%, lalu usia 12 tahun memiliki persentase sebesar 4,8%. Terdapat responden yang
berusia 19 tahun, yakni sebesar 3,8%. Usia 18 tahun dan 20 tahun, 1%. Tidak ada responden yang
menjawab usia 16 tahun dan 17 tahun.
Dalam perkembangan zaman yang pesat ini, remaja usia 15 tahun sering sekali
menggunakan media digital dan paham akan cara mengakses hal tersebut. Kepala Pusat Informasi
dan Humas Kementerian Kominfo Gatot S Dewabroto menyatakan, temuan ini hasil dari
kesimpulan utama yang menelusuri aktivitas online dari sample anak dan remaja usia 10-19 tahun
dengan 400 responden yang tersebar di seluruh wilayah perkotaan dan pedesaan (Kominfo, 2014).
Dalam studi yang dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo)
ditemukan sebesar 98% anak dan remaja mengetahui internet dan 79,5% adalah penggunanya. Jika
dikaitkan dengan grafik dan tabel diatas, sangat terbukti bahwa remaja, khususnya siswa-siswi
SMP aktif menggunakan media digital untuk mengakses internet.
Pekerjaan f %
Pelajar SMP 98 94,2%
Pelajar SMA 0 0,0%
Mahasiswa 6 5,8%
Total 104 100,0%
Tabel 3. Responden berdasarkan pekerjaan
Terdapat sebanyak 94,2% siswa-siswi SMP dalam penelitian kami dan 5,8% mahasiswa.
Dewasa ini remaja dari kalangan SMP menggunakan media digital untuk memenuhi kebutuhannya,
seperti belajar dan berkomunikasi dengan teman. Dalam penelitian Trisnani (2018), rata-rata
penggunaan handphone (2G) dilakukan oleh siswa-siswi SMP untuk berkomunikasi. Penelitian
lain oleh Sherlyanita dan Rakhmawati (dalam Hakim et al., 2016) menemukan bahwa remaja SMP
terbukti dapat menentukan penggunaan internet dengan baik, baik untuk belajar dan hiburan, lalu
siswa dapat menentukan interaksi di internet dan di kehidupan sehari-hari, dan siswa dapat
mengetahui hal-hal dasar mengenai keamanan.
Domisili f %
Bandung 15 14,4%
Bekasi 26 25,0%
Kudus 2 1,9%
Medan 1 1,0%
Jakarta 14 13,5%
Serang 1 1,0%
Cimahi 14 13,5%
Cianjur 1 1,0%
Solo 2 1,9%
Tangerang 3 2,9%
Tangerang Selatan 1 1,0%
Lombok 1 1,0%
Depok 2 1,9%
Kabupaten Bandung Barat (KBB) 3 2,9%
Soreang 1 1,0%
Bone 1 1,0%
Tabel 4. Responden berdasarkan domisili
Domisili yang menjadi dominan adalah Bekasi, yakni sebesar 25%. Selain itu, terdapat
juga kota-kota besar yang menjadi domisili para responden, yakni Bandung (14,4%), Jakarta
(13,5%), Cimahi (13,5%), Kabupaten Bandung Barat (2,9%), Tangerang (2,9%), Kudus (1,9%),
Solo (1,9%), dan Depok (1,9%). Sedangkan, Medan, Serang, Cianjur, Tangerang Selatan, Lombok,
Soreang, dan Bone memiliki persentase 1%. Penggunaan media digital lebih banyak digunakan di
kota-kota besar atau metropolitan, daripada daerah pelosok atau desa. Hal ini dikarenakan akses
jaringan di kota besar lebih mudah untuk ditemukan. Hal ini didukung oleh peringkat Indonesia
yang menempati urutan keenam dalam pengguna internet terbanyak dunia. Hidayat (dalam
Supratman, 2018) menjelaskan bahwa angka tersebut mendudukkan Indonesia di peringkat ke-6
terbesar di antara sekitar 3,6 miliar jumlah pengakses internet dunia.
Dalam penelitian mengenai pemahaman teknologi informasi pada anak di desa tertinggal
dengan perkotaan oleh Sudibyo (2014), hanya terdapat 1 siswa di SDN 1 Gombol yang dapat
menjawab pertanyaan mengenai fungsi komputer, HP, LCD proyektor, dan sebagainya, hanya
beberapa siswa saja yang mampu menjawab, bahkan mereka tidak familiar dengan istilah-istilah
dasar dalam media digital. Tetapi, hal-hal tersebut dapat di jawab dan sangat familiar ketika
ditanyakan kepada anak-anak di SDII Al-Abidin.
B. Jawaban Responden
Muhamad Nur Awaludin pendiri aplikasi kakatu mengungkapkan bahwa ia pertama kali
terpapar konten negatif (pornografi dan kekerasan) melalui game online (L. Putri, 2017). Selain
itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurjannah (2020) menyatakan bahwa efek dari
game yang memiliki konten kekerasan dapat membuat remaja memiliki perilaku yang agresif.
Menurut Shao dan Wang (dalam Nurjannah, 2020) menjelaskan bahwa game yang memiliki
konten kekerasan dapat membuat remaja memperoleh, mengulangi, dan memperkuat struktur
pengetahuan yang terkait dengan agresi, seperti keyakinan tentang perilaku agresif, skema tentang
persepsi agresif dan skema tentang harapan agresif, dimana hal tersebut dapat meningkatkan
kemungkinan remaja untuk berperilaku agresif. Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut,
hal ini mendukung bahwa masih banyak siswa-siswi SMP yang terpapar konten negatif seperti
kekerasan ketika menggunakan media digital.
Menurut Tutiasri dkk (2019), biasanya hoax dibagikan ke media sosial, salah satunya
Whatsapp adalah informasi yang berhubungan dengan kondisi atau kebutuhan keluarga. Tetapi,
orang yang menyebarkan tidak mengecek atau mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut
terlebih dahulu. Biasanya pula, orang tua tua generasi babyboomers-lah yang menjadi penyebar
hoax. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh O’Keeffe (dalam L. Putri, 2017), generasi
babyboomers hanya memiliki kemampuan literasi digital untuk mengakses konten seperti berita,
cuaca, resep masakan, dan informasi kesehatan.
Generasi Z adalah generasi yang paling update dalam informasi yang sedang terkini atau
ramai diperbincangkan. Sehingga, jika ada suatu hoax yang tersebar, mereka dapat mengetahui
bahwa hal tersebut salah dengan pemahaman mengenai informasi yang aktual. Mereka juga dapat
mencari kebenaran dari hoax tersebut lewat Google.
Dalam tabel.7, dibuktikan bahwa siswa-siswi SMP dapat menyesuaikan konten dengan
kebutuhan dan usianya, yakni sebesar 63,8%. Terdapat juga yang menjawab tidak setuju sebanyak
22,1% dan sangat setuju sebanyak 9,6%. Tidak ada responden yang menjawab sangat tidak setuju.
Sebagai generasi yang hidup di zaman yang serba canggih, kebutuhan siswa-siswi SMP tidak
pernah luput dari penggunaan media digital dan akses internet. Kebutuhan pada siswa-siswi SMP
pun meliputi pembelajaran dan hiburan. Dengan menggunakan media digital, kebutuhan lebih
mudah untuk didapatkan, sehingga kebutuhan pun dapat terpenuhi. Menurut penelitian pada siswa-
siswi SMP yang dilakukan oleh Sherlyanita dan Rakhmawati (2016), bahwa remaja memiliki
tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap internet, baik untuk tujuan belajar, maupun
hiburan, yakni sebanyak 39%. Selain itu, para siswa-siswi menggunakan internet juga ditujukan
sebagai kebutuhan edukasi. Dalam analisis penelitian yang dilakukan oleh Nureni dkk (2013),
terdapat 39% remaja yang selalu menggunakan internet untuk browsing dalam rangka
mengerjakan tugas dari sekolah. Riset yang dilakukan oleh Kominfo dan UNICEF (Kominfo, 2014)
menyatakan bahwa remaja memiliki tiga motivasi utama dalam mengakses internet, yaitu untuk
mencari informasi—didorong oleh tugas-tugas sekolah, berkomunikasi dengan teman, dan untuk
hiburan—didorong oleh kebutuhan pribadi.
Riset tersebut juga menyampaikan bahwa sejumlah besar remaja telah terekspos konten
pornografi secara tidak sengaja dalam bentuk iklan. Dalam tabel.7 dan grafik.7 diperlihatkan
sekitar 22,1% tidak setuju dengan penyesuaian usia dan kebutuhan. Seperti yang sebelumnya
dijelaskan pada tabel. 5 dan grafik. 5 banyak remaja—seperti siswa-siswi SMP pernah melihat
konten negatif ketika mengakses media digital. Argumentasi lain yang mendukung bahwa siswa-
siswi SMP terpapar oleh materi pornografi adalah penelitian yang dilakukan oleh Mariani dan
Bachtiar (2010), dimana mereka menunjukkan bahwa 2,6% dari 1415 siswa SMP di Kota Mataram
terpapar oleh konten pornografi, lewat media digital seperti handphone, VCD/DVD, TV, internet,
dan media lainnya.
Selain pornografi, konten media digital yang menunjukkan cyberbullying juga menjadi
konten negatif terhadap siswa-siswi SMP. Konten tersebut banyak ditemui di media digital
manapun dan media sosial, seperti Instagram, Twitter, Facebook, dan lainnya. Di dalam platform
tersebut, pengguna bahkan content creator—pembuat konten, merasa bebas untuk
mengekspresikan emosi, sehingga tidak jarang mereka dapat menjelekkan nama baik orang lain.
Menurut Prasadana (2018), fasilitas Twitter sebagai salah satu media memberikan ruang untuk
melampiaskan rasa kekesalan atas kondisi yang sedang terjadi. Hasil teknologi, berupa media
digital yang terbuka dapat menimbulkan berbagai persoalan, karena usia remaja yang belum betul-
betul bisa membedakan antara dunia nyata dan dunia maya.
Game merupakan salah satu hiburan untuk para remaja, dikala mereka meras bosan atau
jenuh. Tetapi, bila sudah terlalu sering memainkan game, timbul sebuah kecanduan yang
merupakan konsekuensi negatif dari penggunaan media digital. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Yanti dkk (2019), terdapat 60 (68,15%) orang siswa di SMPN 13 Negeri Padang memiliki
adiksi sedang terhadap game online dan alasan utama remaja bermain game adalah untuk
menghilangkan stres.
Dari argumentasi-argumentasi yang telah disampaikan, terdapat beberapa bukti lain yang
dapat mendukung hasil atau data yang dominan, yakni siswa-siswi SMP dapat menyesuaikan usia
dan kebutuhannya pada penelitian penulis. Tetapi, terdapat banyak argumentasi atau bukti lain
yang memaparkan bahwa siswa-siswi SMP belum sesuai—baik usia dan kebutuhannya terhadap
penggunaan media digital, sehingga masih ada yang terpapar konsekuensi negatif media digital.
Dalam tabel. 8, mayoritas siswa-siswi SMP sudah paham penggunaan perangkat keras,
yakni sekitar 63,5%. Terdapat juga responden yang masih belum paham, dengan menjawab tidak
setuju sebanyak 27,9% dan sangat tidak setuju sebanyak 2%. Ada pula responden yang—
sepertinya sudah sangat paham dengan menjawab sangat setuju sebanyak 6,7%.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam tabel. 6 dan grafik. 6, para siswa-siswi SMP yang
merupakan generasi Z dapat memahami penggunaan media digital, dikarenakan terbiasa
menggunakan sehingga berujung pada pemahaman. Selain terbiasa menggunakan dan mengakses
media digital, pemahaman mengenai perangkat keras pun didapatkan oleh para siswa-siswi SMP
lewat pelajaran TIK atau Teknologi Informasi dan Komunikasi di sekolah. Berdasarkan penelitian
pada siswa kelas IX di SMP Negeri Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, yang dilakukan oleh
Lestari dan Isnania (2019), menunjukkan bahwa pembelajaran problem based learning dalam
materi perangkat keras jaringan internet. Hal ini dikarenakan program Problem Based Learning
(PBL) mengajarkan siswa untuk berpikir kritis dan logis dalam memecahkan suatu masalah.
Beberapa contoh pemanfaatan TIK dalam pembelajaran yang terjadi saat ini antara lain
adalah pemanfaatan program audio pembelajaran, program video pembelajaran, pemanfaat TV-
edukasi, pemanfaat jejaring sosial, dan e-learning (Ismaniati, 2010). Dengan contoh-contoh
tersebut, siswa-siswi SMP dapat memahami penggunaan perangkat lunak seperti mouse, keyboard,
dan lain sebagainya untuk menunjang pembuatan konten di media digital. Dewasa ini, banyak guru
yang menugaskan para siswanya untuk membuat sebuah konten di media sosial, sehingga
pemahaman penggunaan perangkat keras sangat diperlukan. Oleh karena itu, pelajaran TIK pun
sangat berpengaruh terhadap pemahaman siswa-siswi SMP.
Tabel. 9 menunjukkan bahwa para siswa-siswi SMP dapat memahami dan menggunakan
dasar-dasar media digital seperti tombol, hyperlink, mentransfer data, dan lain sebagainya, yakni
sebesar 67,3%. Selain itu, terdapat 23,1% yang menjawab tidak setuju dan 1% menjawab sangat
tidak setuju. Hal ini dapat dinyatakan sebagai beberapa responden masih belum paham
penggunaan dasar media digital. Tetapi, terdapat 8,7% yang sudah sangat memahami penggunaan
dasar media digital. Hal ini dikarenakan kebiasaan para siswa-siswi SMP dalam menggunakan
media digital, ketika mereka ingin mengakses sebuah aplikasi, secara langsung pun mereka akan
menekan tombol atau aplikasi tersebut. Selain itu, mereka juga dapat mengirim sebuah data atau
gambar atau video lewat media digital.
Menurut seorang informan dalam penelitian mengenai literasi internet pada siswa SMP
oleh Sumiaty & Sumiaty (2014), ia memahami internet lewat guru sekolah dan teman-temannya,
baik teman di sekolah maupun teman sepermainan, serta karena kerap bermain di warnet. Selain
itu, pemahaman menggunakan dasar-dasar media digital dapat juga lewat e-learning,
menggunakan Google Classroom dan Zoom. Dengan menggunakan platform atau media belajar
tersebut, secara perlahan, siswa dapat memahami fungsi-fungsi media tersebut. Contohnya, ketika
mereka akan mengumpulkan tugas, mereka akan langsung mengklik tombol ‘turn in’ di dalam
Google Classroom. Selanjutnya, mereka juga dapat mentrasfer data atau tugas lewat media
tersebut. Siswa dapat mengunggah dan menanyakan hal apa saja yang kurang mereka pahami
khususnya materi dikelas tersebut (El Fauziah et al., 2019). Selain itu, siswa juga paham untuk
mengunduh lewat tombol atau link yang diberikan oleh guru. Dengan pemahaman dari guru dan
pelaksanaan e-learning, dapat membantu siswa-siswi SMP dalam memahami dasar-dasar media
digital.
V. KESIMPULAN
Pengetahuan literasi digital pada kalangan remaja menjadi hal penting untuk dilakukan,
bukan hanya untuk pengetahuan umum saja namun juga untuk membantu dan memudahkan
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pada era digital yang semakin tinggi faktor kemampuan
literasi digital pun menjadi elmen yang sangat dilihat dan dipergunakan oleh semua kalangan,
khusunya pada kalangan siswa dan siswi SMP. Kemampuan literasi digital yang berubah-ubah
akibat seiringnya jaman membuat kalangan siswa siswi SMP memiliki keahlian tertentu pada
literasi digital, adanya keahlian tersebut bisa menjadi penentu tingkat kemampuan literasi mereka,
seperti pada pembahasan artikel ini, bisa kita simpulkan bahwa tingkat pengetahuan siswa dan
siswi SMP pada literasi digital sudah cukup tinggi untuk direalisasikan pada kehidupan sehari-hari,
ini terbukti dari pemahaman mereka yang sudah bagus untuk menghindari hoax dan memilah
informasi di media, mereka dapat menggunakan dan mengaplikasikan literasi digital dengan baik
dan benar, dan juga dapat menyesuaikan konten media digital sesuai usia dan kebutuhan mereka.
Contohnya, mereka merealisasikan semua kemampuan tersebut adalah seperti saat mereka dapat
mengerjakan tugas yang diharuskan mengambil sumber dari internet serta mereka mampu
mengirimkan tugas atau data dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya. Ini menjadi garis besar bahwa
kalangan remaja khususnya siswa dan siswi SMP mudah menerima, mempelajari dan
merealisasikan literiasi digital pada media digital. Sebab, usia muda adalah kalangan yang paling
rentan dalam mengkonsumsi media, oleh karena itu penting untuk memiliki kemampuan literasi
digital sejak dini.
VI. REFERENSI
APJII. (2020). Laporan Survei Internet APJII 2019 – 2020. In Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (Vol. 2020). https://apjii.or.id/survei
El Fauziah, U. N., Suryani, L., & Syahrizal, T. (2019). Penerapan Google Classroom Dalam
Pembelajaran Bahasa Inggris Kepada Guru-Guru Bahasa Inggris Smp Di Subang. Abdimas
Siliwangi, 2(2), 183. https://doi.org/10.22460/as.v2i2p183-191.3281
Firmansyah, D. (2015). Strategi Pembelajaran Dan Minat Belajar Terhadap Hasil Belajar
Matematika. JURNAL PENDIDIKAN UNSIKA, 3(1), 34–44.
https://doi.org/10.24114/jtp.v6i2.4996
Hakim, S. N., Raj, A. A., & Prastiwi, D. F. C. (2016). Remaja dan internet. Prosiding SEMNAS
Penguatan Individu Di Era Revolusi Informasi, 2008, 311–319.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/9290/Siti Nurina
Hakim.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Ismaniati, C. (2010). Penggunaan teknologi dalam proses pendidikan jasmani merupakan salah
satu bentuk dari transpormasi pada dunia pendidikan. In Jurnal Universitas Negeri
Yogyakarta. http://www.infodiknas.com/wp-content/uploads/2015/11/Penggunaan-
Teknologi-Informasi-dan-komunikasi-dalam-peningkatan-kualitas-pembelajaran.pdf
L. Putri, P. B. B. (2017). Media Digital sebagai Keterampilan Dasar Literasi Informasi dan
Media. Prosiding Konferensi Nasional Komunikasi, 01(01), 657–667.
http://pknk.org/index.php/PKNK/article/view/47/52
Lenhart, A. (2015). A Majority of American Teens Report Access to a Computer, Game Console,
Smartphone and a Tablet. Pewresearch.Org.
https://www.pewresearch.org/internet/2015/04/09/a-majority-of-american-teens-report-
access-to-a-computer-game-console-smartphone-and-a-tablet/
Lestari, Isnania, R. J. (2019). Komparasi Model Pembelajaran Problem Based Learning dan
Project Based Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Perangkat Keras
Jaringan Internet Kelas IX SMP Negeri 5 Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya. Efektor,
6(Issue 2, 2019), 127–135. https://ojs.unpkediri.ac.id/index.php/efektor-
e/article/view/13159/1315
Lestari, T. P. (2015). Persepsi mahasiswa akuntansi dalam pemilihan karir menjadi praktisi
akuntansi syariah: Studi empiris mahasiswa akuntansi angkatan 2011 UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang [UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAULANA MALIK
IBRAHIM, MALANG]. http://etheses.uin-malang.ac.id/1560/
Mariani, A., & Bachtiar, I. (2010). Keterpaparan Materi Pornografi Dan Perilaku Seksual Siswa
Sekolah Menengah Pertama Negeri. Makara Human Behavior Studies in Asia, 14(2), 83.
https://doi.org/10.7454/mssh.v14i2.665
Miftah, M. N., Rizal, E., & Anwar, R. K. (2016). Pola literasi visual infografer dalam pembuatan
informasi grafis (infografis). Jurnal Kajian Informasi & Perpustakaan, 4(1), 87–94.
http://journal.unpad.ac.id/jkip/article/view/11635/5448
Muluneh, W. (1997). Internet : Pengertian, Sejarah, Fasilitas dan koneksi. Geopolitics and
International Boundaries, 2(1), 1–16. http://digilib.uin-suka.ac.id/362/
Nur, A. (2014). Pengaruh Usia, Tingkat Pendidikan, dan Jenis Kelamin terhadap perilaku
Konsumsi Media [UNIVERSITAS DIPONEGORO].
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/viewFile/6494/6269
Nureni, R., Pramiyanti, A., & Putri, I. P. (2013). Perilaku Remaja Dalam Menggunakan Media
Baru: Pemetaan Habit Media Baru Remaja Daerah Sub Urban Kota Bandung (Kabupaten
Bandung). Jurnal Sosioteknologi, 12(30), 461–474.
https://doi.org/10.5614/sostek.itbj.12.30.1
Nurjannah, O. (2020). Pengaruh Intensitas Bermain Game Dengan Konten Kekerasan Terhadap
Kognisi Agresif Dan Perilaku Agresif Pada Remaja (Issue X) [Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya]. http://repository.untag-sby.ac.id/4767/
Pakpahan, R. (2017). Analisis Fenomena Hoax Diberbagai Media. Konferensi Nasional Ilmu
Sosial & Teknologi (KNiST), 1(2013), 479–484.
http://seminar.bsi.ac.id/knist/index.php/UnivBSI/article/view/184
Pantu, E. A. (2018). Kecanduan Sosial Media Ditinjau Dari Perbedaan. Jurnal Seminar Nasional
Psikologi, 1(1), 188–196. http://www.journal.uml.ac.id/PSN/article/download/44/pdf
Prasadana, D. P. (2018). Cyberbullying dalam Media Sosial Anak SMP. KOMUNIKA: Jurnal
Dakwah Dan Komunikasi, 11(1), 141–148. https://doi.org/10.24090/kom.v11i1.1283
Pratiwi, N., & Pritanova, N. (2017). Pengaruh literasi digital terhadap psikologis anak dan
remaja. Semantik, 6(1), 11–24. http://e-
journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/semantik/article/view/250/209
Putro, K. Z. (2018). Memahami Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Remaja. Aplikasia: Jurnal
Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, 17(1), 25–32. https://doi.org/10.14421/aplikasia.v17i1.1362
Rahmat, S. T. (2018). Pola Asuh Yang Efektif Untuk Mendidik Anak di Era Digital. Jurnal
Pendidikan Dan Kebudayaan Missio, 10(2), 137–273.
http://unikastpaulus.ac.id/jurnal/index.php/jpkm/article/download/166/135
Sherlyanita, A. K., & Rakhmawati, N. A. (2016). Pengaruh dan Pola Aktivitas Penggunaan
Internet serta Media Sosial pada Siswa SMPN 52 Surabaya. Journal of Information Systems
Engineering and Business Intelligence, 2(1), 17–22. https://doi.org/10.20473/jisebi.2.1.17-
22
Sudibyo, H. (2014). Jurnal Ekonomi dan Teknik Informatika Volume 2 Nomor 1 Edisi Februari
2014 68. Sistem Informasi Pengelolaan Aset Desa Berbasis Web Pada Desa Purwosari,
2(October 2013), 68–80.
Supratman, L. P. (2018). Penggunaan Media Sosial oleh Digital Native. Jurnal ILMU
KOMUNIKASI, 15(1), 47–60. https://doi.org/10.24002/jik.v15i1.1243
Surbakti, K. (2017). Pengaruh Game Online Terhadap Remaja. Jurnal Curere, 01(01), 28–38.
http://www.portaluniversitasquality.ac.id:5388/ojssystem/index.php/CURERE/article/view/
20/22
Trisnani. (2018). Analisis Akses Dan Penggunaan Media Sosial Oleh Rumah Tangga Dan
Individu Di Kota Batu Jawa Timur. Jurnal Komunika : Jurnal Komunikasi, Media Dan
Informatika, 7(2), 72–86. https://doi.org/10.31504/komunika.v7i2.1627
Tutiasri, R. P., Kusuma, A., & Sumardjijati, S. (2019). Perilaku Remaja dalam Penyebaran Hoax
di Grup WhatsApp. Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(1–8). https://doi.org/10.33005/jkom.v2i1.36
Yanti, N. F., Marjohan, M., & Sarfika, R. (2019). Tingkat Adiksi Game Online Siswa SMPN 13
Padang. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 19(3), 684.
https://doi.org/10.33087/jiubj.v19i3.756
Yudha, R. P., & Irwansyah, I. I. (2018). Media Baru Digital Sebagai Peretas Konteks
Komunikasi Antar Pribadi Dan Kelompok. Islamic Communication Journal, 3(2), 180.
https://doi.org/10.21580/icj.2018.3.2.2930