PENDAHULUAN
Orang Indonesia mengenal demensia dengan istilah pikun. Demensia menurut World
Health Organization (WHO), merupakan suatu sindrom yang mana terjadi penurunan kognitif
yang bersifat kronik. Meskipun menyerang individu tua, demensia bukanlah bagian normal
dari proses penuaan. Sindrom ini ditunjukkan dengan terganggunya fungsi dalam mengambil
keputusan, pemahaman, memori, berpikir, perhitungan, belajar, dan bahasa.1
Demensia yang timbul setelah serangan stroke diklasifikasikan sebagai demensia
vaskuler.2 VaD menduduki urutan kedua penyebab utama demensia setelah penyakit
Alzheimer (Alzheimer’s Dementia/AD). Demensia berkembang sekitar 15-30% dalam waktu
3 bulan setelah stroke.3
Di Indonesia, menurut Riset Kesehatann Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013,
prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per 1000 penduduk dan
yang terdiagnosis tenaga kesehatan maupun mempunyai gejala sebesar 12,1 per 1000
penduduk.3 Stroke mempunyai berbagai macam faktor risiko seperti usia, hipertensi, penyakit
jantung, diabetes, herediter, kadar lemak dalam darah, merokok, obesitas, ras, kadar
hematokrit, dan kontrasepsi oral, dan sebagainya.
Stroke dapat menyebabkan gejala non-somatis seperti gangguan kognitif yang
disebut sebagai vascular cognitive impairment dan hal ini mencakup spektrum vascular
dementia dan mild cognitive impairment. Pasien stroke iskemik memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk menderita gangguan kognitif. Gangguan vaskularisasi pada talamus dapat
menyebabkan gangguan seperti gangguan fungsi sensorik, fungsi eksekutif, memori, bahasa,
dan fungsi motorik. Semakin lama seseorang untuk dibawa ke rumah sakit maka proses
infark akan terus berlangsung sehingga bagian otak yang rusak akan meluas meningkatkan
tingkat keparahan stroke. Menurut P. Singh, dislipidemia memengaruhi kejadian gangguan
kognitif vaskuler
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai gambaran demensia vaskular pada pasien stroke nonhemoragik dengan
diabetes melitus tipe 2 di RS. Kariadi Semarang, Jawa tengah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fungsi Kognitif
Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam
menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut sistem limbik. Sistem
limbik terdiri dari amygdala, hipokampus, nukleus talamik anterior, girus cinguli, girus
parahipokampus, formasio hipokampus dan korpus mamilare. Forniks, traktus
mammilotalmikus dan striae terminalis membentuk jaras-jaras penghubung sistem ini 2.
Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi
neuroendokrin dan aktivitas otonom.
Struktur otak berikut ini merupakan bagian dari sistem limbik :
1. Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan
predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada hemisfer
kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.
2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang, pemeliharaan
fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran.
3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial.
4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan darah dan
kognitif yaitu atensi.
5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary bodies dan septal
nuclei. Adapun forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.
6. Hipothalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan
pelepasan hormon, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido dan siklus
tidur / bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka panjang.
7. Thalamus ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon membentuk
dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai pusat hantaran rangsang
indra dari perifer ke korteks serebri. Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat
pengaturan fungsi kognitif di otak / sebagai stasiun relay ke korteks serebri.
8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran. 3,4
Lobus
Lobus
parietal
frontal
Lobus
oksipital
Lobus
temporal
Medula Serebelu
spinalis m
Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara lain:
1. Lobus frontalis. Pada lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian,
bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan sintesis.
Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan sebagai bagian sistem limbik,
karena banyaknya koneksi anatomik dengan struktur limbik dan adanya
perubahan emosi bila terjadi kerusakan.
2. Lobus parietalis. Lobus ini berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan
visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik (input visual, auditori, taktil)
dari area sosiasi sekunder. Karena menerima input dari berbagai modalitas
sensori sering disebut korteks heteromodal dan mampu membentuk asosiasi
sensorik (cross modal association). Sehingga manusia dapat menghubungkan
input visual dan menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang.
3. Lobus temporalis, berfungsi mengatur pendengaran, emosi, memori, kategorisasi
benda-benda dan seleksi rangsangan auditorik.
4. Lobus oksipitalis. Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer,
visuospasial, memori dan Bahasa. 5
b. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang
membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa,
pemeriksaan kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami
kesulitan atau tidak dapat dilakukan.
Fungsi bahasa meliputi 4 parameter, yaitu :
1. Kelancaran Kelancaran mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat
dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Metode yang dapat membantu
menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara
secara spontan.
2. Pemahaman Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk memahami suatu
perkataan atau perintah, dibuktikan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan perintah tersebut.
3. Pengulangan Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau
kalimat yang diucapkan seseorang.
4. Penamaan Merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek
beserta bagian-bagiannya.
Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga
merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus untuk
mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia
dengan lesi neuroanatomi.
c. Memori
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi,
proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam
ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori. Gangguan memori
merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Istilah amnesia secara
umum merupakan efek fungsi memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru
setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Sedangkan amnesia retrograd
merujuk pada amnesia pada yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien
demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak
semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas
sering mengalami kesulitan memori. Istilah amnesia psikogenik jika amnesia hanya
pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent
memory.
d. Visuospasial
Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti
menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal: lingkaran, kubus) dan
menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan
lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan. Menggambar jam
sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif
dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.
e. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif dari otak dapat didefenisikan sebagai suatu proses kompleks
seseorang dalam memecahkan masalah / persoalan baru. Proses ini meliputi
kesadaran akan keberadaan suatu masalah, mengevaluasinya, menganalisa serta
memecahkan / mencari jalan keluar suatu persoalan.1,6
B. Stroke
i. Definisi Stroke
Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika sebagaian sel – sel otak mengalami
kematian akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh
darah di otak. Aliran darah yang berhenti membuat suplai oksigen dan zat makanan ke
otak juga berhenti, sehingga sebagaian otak tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya
Penyakit stroke termasuk penyakit pembuluh darah otak (cerebrovaskuler) yang
ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang disebabkan berkurangnya
aliran darah dan oksigen di otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa
disebabkan adanya sumbatan, penyempitan, atau pecahnya pembuluh darah sehingga
mengakibatkan serangkaian reaksi biokimia yang dapat merusak atau mematikan sel – sel
otak.
Matinya jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan
oleh jaringan otak tersebut. Apabila tidak ditangani secara tepat, penyakit ini dapat
berakibat fatal dan berujung pada kematian. Meskipun dapat diselamatkan, kadang –
kadang si penderita mengalami kelumpuhan pada anggota badannya, menghilangnya
sebagaian ingatan, atau menghilangnya kemampuan berbicara. Bentuknya dapat
berupa lumpuh sebelah (hemiplegia), berkurangnya kekuatan sebelah anggota tubuh
(hemiparesis), gangguan bicara, serta gangguan rasa di kulit wajah, lengan, atau
tungkai.
f) S, Sakit kepala hebat yang muncul tiba – tiba dan tidak pernah dirasakan
sebelumnya, gangguan fungsi keseimbangan, seperti terasa berputar, gerakan
sulit dikoordinasi.
v. Penyebab atau Faktor Risiko
4) Ras
Ras kulit hitam lebih berisiko terkena stroke dibandingkan dengan ras
kulit putih. Hal ini disebabkan, dugaan dari angka kejadian hipertensi dan
konsumsi garam yang tinggi pada ras kulit hitam.
b. Faktor Yang Dapat Diubah
1) Hipertensi
Hipertensi dapat menyebabkan stroke iskemik maupun stroke
hemoragik. Hipertensi menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel – sel
endotel pembuluh darah melalui mekanisme perusakan lipid di bawah otot
polos. Karena itu, sangat penting untuk mempertahankan tekanan darah
dalam keadaan normal untuk menurunkan risiko terjadinya serangan
stroke. Menurut Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa 50% kasus
stroke berhubungan dengan hipertensi dan terdapat 25,8% penduduk
menderita hipertensi (Kemenkes RI, 2017).
2) Penyakit Jantung
Penyakit jantung coroner, dan orang yang melakukan pemasangan
katup jantung buatan akan meningkatkan risiko stroke. Stroke emboli
biasanya disebabkan kelainan ketiga penyakit jantung tersebut.
3) Diabetes Mellitus
c) Stres
Stres dapat mengakibatkan hati memproduksi radikal bebas lebih
banyak dan mempengaruhi system imunitas tubuh secara umum
sehingga mengganggu fungsi hormonal. Stres yang berujung pada
depresi dapat menjadi salah satu factor terjadinya stroke. Bagaimana
depresi dapat meningkatkan stroke, sampai saat ini belum ada jawaban
yang jelas. Mekanisme yang mungkin adalah stres dan depresi
menyebabkan peningkatan tekanan darah yang berarti juga
meningkatkan risiko stres.
d) Konsumsi Alkohol dan Obat – Obatan Terlarang
Obat – Obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa
mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke.
Berdasarkan data Kemenkes RI menyatakan bahwa 1 juta kasus stroke
berhubungan dengan konsumsi alkohol berlebihan dan sekitar 4,6%
penduduk > 10 tahun minum – minuman beralkohol (Kemenskes
Republik Indonesia, 2017).
“CERDIK” yaitu :
C ; Cek kesehatan secara berkala,
E ; Enyahkan asap rokok,
R ; Rajin aktivitas fisik,
D ; Diet sehat dengan gizi seimbang,
I ; Istirahat yang cukup,
K ; Kelola stress
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan Sekunder adalah pencegahan yang dilakukan pada orang
yang sudah mengalami serangan stroke, agar tidak terjadi serangan stroke
berulang yaitu dengan penambahan obat pengencer darah seperti aspirin.
Disamping pengendalian faktor risiko lainnya, individu pasca stroke tetap secara
rutin dan teratur mengontrol faktor risiko (P2PTM Kemenkes RI, 2018).
C. Demensia
i. Definisi
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah
mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan
otak organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam
bentuk gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan
pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif.
Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai
gangguan kesadaran.
Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat kronik /
progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multiple) yaitu; daya
ingat, daya fikir, daya orientasi, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar,
berbahasa, kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut, Biasanya disertai hendaya
fungsi kognitif, dan ada kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam
pengendalian emosi, perilaku sosial atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit
Alzheimer, pada penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer
atau sekunder mengenai otak.
b.2. Usia
Efek penuaan dan usia orang tua saat lahir telah dikaitkan dengan risiko
demensia. Di Amerika Serikat dan Eropa, beberapa studi kohort33–39telah
menunjukkan bahwa risiko demensia dan AD meningkat seiring bertambahnya usia.
Hubungan ini telah diamati pada semua subtipe demensia dalam sebuah penelitian di
Spanyol. Sebuah meta-analisis yang mencakup 17 penelitian di Cina juga
menunjukkan bahwa prevalensi AD dan VaD meningkat seiring bertambahnya
usia.40Secara keseluruhan, efek penuaan merupakan faktor risiko yang relatif
konsisten untuk demensia di berbagai kelompok etnis.
Relatif sedikit penelitian yang mengevaluasi hubungan antara usia orang tua
saat lahir dan risiko demensia. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa usia tua
orang tua saat lahir dikaitkan dengan peningkatan risiko AD, mungkin karena
kelainan kromosom. Namun, penelitian lain telah gagal untuk mereplikasi asosiasi ini.
b.5. Merokok
Perokok melipat gandakan risiko penyakit arteri koroner, gagal jantung
kongestif, dan penyakit pembuluh darah perifer, dan meningkatkan 1,5 kali risiko
stroke dan demensia. Sebuah studi berbasis populasi kolaboratif di Eropa menegaskan
bahwa merokok dikaitkan dengan tingkat penurunan kognitif yang lebih tinggi pada
subjek lanjut usia yang tidak menderita demensia; konsumsi rokok-tahun yang lebih
tinggi berkorelasi dengan tingkat penurunan yang lebih tinggi secara signifikan. Asap,
selain nikotin dan karbon monoksida, mengandung campuran kompleks radikal bebas
termasuk kuinon/hidrokuinon, NO-, dan nitrogen dioksida (NO 2) yang menyebabkan
ketidakteraturan morfologi endotel, pembentukan blebs, kebocoran makromolekul
dan peningkatan kematian sel endotel. Asap mengurangi pelepasan prostasiklin,
meningkatkan vasodilatasi yang diturunkan dari endotel, dan menurunkan konsentrasi
oksida nitrat dan produksi cGMP, meningkatkan agregasi trombosit dan leukosit.
Merokok memperburuk pembentukan plak ateromatosa di arteri karotis,
meningkatkan hipertensi, koagulabilitas darah, viskositas serum, dan fibrinogen.
Efek merokok pada risiko demensia masih kontroversial. Sebuah meta-analisis
baru-baru ini menunjukkan bahwa merokok saat ini dikaitkan secara signifikan
dengan peningkatan risiko AD tetapi tidak dengan VaD dan penurunan kognitif. Dua
studi lanjutan di Amerika Serikat dan satu di Cina telah melaporkan hubungan yang
signifikan antara perokok saat ini dan risiko demensia. Asosiasi ini tidak signifikan di
antara mantan perokok.
Temuan tidak konsisten sebelumnya mungkin dihasilkan dari bias
kelangsungan hidup, beberapa masalah potensial untuk studi kasuskontrol (misalnya
bias ingatan, perkiraan merokok yang terlalu rendah dan berlebihan), dan kegagalan
untuk membuat stratifikasi subjek berdasarkan status merokok (saat ini dan mantan
perokok) dalam analisis. Merokok bisa menjadi perancu potensial untuk hubungan
penyakit serebrovaskular dengan demensia. Namun, penyakit serebrovaskular belum
dieksplorasi secara konsisten dalam penelitian sebelumnya. Studi masa depan
menggunakan desain tindak lanjut akan dapat memberikan data yang lebih akurat
tentang merokok. Stratifikasi menurut status merokok (saat inivs. Mantan perokok)
dijamin untuk menjelaskan asosiasi ini.
b.7. Komorbid
Risiko demensia berhubungan dengan berbagai penyakit. Hipertensi
merupakan faktor risiko penting untuk VaD tapi tidak AD. Diabetes tipe 2 sangat
terkait dengan resistensi insulin, yang terkait dengan pembentukan Aβ dan agen
inflamasi di otak dan peningkatan risiko DA selanjutnya. Rata-rata, sekitar setengah
dari individu dengan gangguan kognitif vaskular dapat mengembangkan demensia
dalam waktu 5 tahun setelah stroke. Selain itu, terdapapt peningkatan risiko demensia
di antara individu yang berusia > 84 tahun dan yang pernah mengalami dua kali
infeksi atau lebih dalam 4 tahun sebelum diagnosis demensia dibandingkan dengan
mereka yang tidak memiliki satu atau dua infeksi.
Human immunodeficiency virus dan virus hepatitis C telah dilaporkan
berhubungan dengan demensia. Selain itu, cedera otak traumatis dapat menyebabkan
perkembangan awal DA. Sebuah meta-analisis yang mencakup 15 studi kasus-kontrol
telah menemukan bahwa cedera kepala dikaitkan dengan peningkatan risiko DA di
antara pria tetapi tidak pada wanita. Pria cenderung terlibat dengan pekerjaan yang
lebih berbahaya daripada wanita, dan karena itu memiliki risiko cedera kepala yang
lebih tinggi dan risiko demensia yang lebih tinggi daripada wanita. Selanjutnya, dua
meta-analisis telah menunjukkan secara konsisten bahwa Riwayat depresi merupakan
faktor risiko DA di kemudian hari.Secara keseluruhan, infeksi, factor vaskular dan
penyakit terkait, cedera kepala, dan kondisi psikologis dapat berbagi jalur inflamasi
umum yang berkontribusi pada etiologi demensia.
Gambar.2.4. Makroskopis korteks serebral pada potongan koronal dari suatu kasus
demensia vascular. Infark lakunar bilateral multipel mengenai thalamus, kapsula
interna dan globus palidus.2
iii. Epidemiologi
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Prevalensi demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada
kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5
persen, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20
hingga 40 persen.
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen
diantaranya menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia
tipe Alzheimer (Alzheimer’s diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer
meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun
prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan 0,8 persen pada wanita. Pada usia 90
tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien dengan demensia tipe Alzheimer
membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah (nursing home bed).
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia
vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi
merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia. Demensia
vaskuler meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia. Demensia
vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang berusia antara 60 hingga 70 tahun
dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien
menderita kedua jenis demensia tersebut.
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1
hingga 5 persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan
alkohol, dan berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan
pergerakan, misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson. Karena demensia
adalah suatu sindrom yang umum, dan mempunyai banyak penyebab, dokter harus
melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat pada seorang pasien dengan demensia
untuk menegakkan penyebab demensia pada pasien tertentu.
iv. Patofisiologi
Proses penyakit yang mendasari demensia belum sepenuhnya dipahami.
Dengan (kemungkinan) pengecualian VaD, semua melibatkan akumulasi patologis
dari protein asli: dalam kasus DA itu adalah plak ekstraseluler amiloid dan kusut
intraseluler dari tau hiperfosforilasi; di DLB itu adalah alpha-synuclein dalam bentuk
Lewy bodes; di FTLD beberapa penyebab telah diidentifikasi termasuk TDP-43 dan
protein ciri dari AD dan DLB dalam distribusi frontotemporal. Contoh lesi tersebut
dapat dilihat pada Gambar 1-4. Penting untuk diingat bahwa bukti dari proses ini juga
ditemukan post-mortem pada orang-orang yang tidak menunjukkan gangguan
kognitif sebelum kematian, dan bahwa pola-pola ini tidak eksklusif, muncul
bersamaan seperti yang sering mereka lakukan.
b. Penyakit Huntington
Penyakit Huntington secara klasik menyebabkan demensia.
Demensia yang tampak pada penyakit ini adalah demensia tipe
subkortikal, yang ditandai oleh lebih banyak abnormalitas motorik
dan lebih sedikit abnormalitas bahasa dibanding pada demensia tipe
kortikal. Demensia pada penyakit Huntington menunjukkan
perlambatan psikomotorik dan kesulitan dengan tugas yang rumit,
namun memori, bahasa, dan tilikan relatif tetap intak pada stadium
awal dan pertengahan penyakit. Namun, saat penyakit ini berlanjut,
demensianya menjadi komplet; gambaran yang membedakannya
dengan demensia tipe Alzheimer selain gangguan pergerakan
khoreoathetoid yang klasik adalah tingginya insidens depresi dan
psikosis.
c. Penyakit Parkinson
Seperti halnya penyakit Huntington, parkinsonisme adalah
penyakit pada ganglia basalis yang umumnya dikaitkan dengan
demensia dan depresi. Diperkirakan sekitar 20 sampai 30 persen
pasien dengan penyakit Parkinson mengalami demensia dan
tambahan 30 sampai 40 persen lainnya mengalami hendaya
kemampuan kognitif yang terukur. Lambatnya pergerakan pada
pasien dengan penyakit Parkinson sejajar dengan kelambatan berpikir
pada beberapa pasien, suatu gambaran yang disebut oleh para klinisi
sebagai bradifrenia.
v. Manifestasi Klinis
Perubahan Psikiatrik dan Neurologis
Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya
akan mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin dapat
menonjol selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga menjadi
tertutup serta menjadi kurang perhatian dibandingkan sebelumnya. Seseorang dengan
demensia yang memiliki waham paranoid umumnya lebih cenderung memusuhi
anggota keluarganya dan pengasuhnya. Pasien yang mengalami kelainan pada lobus
fraontalis dan temporalis biasanya mengalami perubahan kepribadian dan mungkin
lebih iritabel dan eksplosif.
Mood
Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan
kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien
dengan demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10
hingga 20 persen pasien. Pasien dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan
emosi yang ekstrem tanpa provokasi yang nyata (misalnya tertawa dan menangis
yang patologis).
Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia
dan agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-
tanda neurologis lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu
ditemukan kira-kira pada 10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20
persen pada pasien dengan demensia vaskuler. Refleks primitif seperti refleks
menggenggam, refleks moncong (snout), refleks mengisap, refleks tonus kaki serta
refleks palmomental dapat ditemukan melalui pemeriksaan neurologis pada 5 hingga
10 persen pasien.
Untuk menilai fugsi kognitif pada pasien demensia dapat digunakan The Mini
Mental State Exam (MMSE).
Gambar.2.10. Test menggambar jam pada salah penilaian MMSE.
Sindrom Sundowner
Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung, ataksia
dan terjatuh secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada pasien yang berumur
lebih tua yang mengalami sedasi yang berlebihan dan penderita demensia yang
bereaksi secara berlebihan terhadap obat-obat psikoaktif bahkan dengan dosis yang
kecli sekalipun. Sindrom tersebut juga muncul pada pasien demensia saat sitmulus
eksternal seperti cahaya dan isyarat interpersonal dihilangkan.2
Klasifikasi
Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit,
kerusakan struktur otak,sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).
(a) Menurut Umur:1
Demensia senilis (>65th)
Demensia prasenilis (<65th)
vi. Diagnosis
Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR, untuk demensia tipe
Alzheimer’s (Tabel 2.2) , Demensia vaskuler (Tabel 2.3), Demensia karena kondisi
medis lainnya (Tabel 2.4), Demensia menetap akibat zat (Tabel 2.5), Demensia
karena penyebab multipel (Tabel 2.6), Dan demensia yang tidak ditentukan (NOS; not
otherwise specified) (Tabel 2.7).
Diagnosis demensia berdasarkan pemeriksaan klinis, termasuk pemeriksaan
status mental, dan melalui informasi dari pasien, keluarga, teman dan teman sekerja.
Keluhan terhadap peerubahan sifat pasien dengan usia lebih tua dari 40 tahun
membuat kita harus mempertimbangan dengan cermat untuk mendiagnosis dimensia.
Untuk membantu diagnosis, dapat digunakan tes neuropsikologis standar,
yaitu mini mental state examination (MMSE), Montreal Cognitive
Assessment (MoCA), Alzheimer’s Disease Assessment Scale-Cognitive
Section (ADAS-Cog), dan Mattis Dementia Rating Scale (MDRS).
Anamnesis mencakup awitan, pola perubahan dominan kognisi dan non
kognisi serta perjalanan penyakit. Riwayat medis umum, neurologi, psikiatri, obat-
obatan dan riwayat keluarga perlu untuk ditanyakan. Anamnesis dilakukan pada
pasien,keluarga untuk mencari defisit kognitif, perubahan perilaku dan gejala
demensia lainnya.
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
D. Pemeriksaa MMSE
MMSE adalah pemeriksaan kognitif yang menjadi bagian rutin pemeriksaan
untuk menegakkan diagnosis demensia. Pemeriksaan ini diindikasikan terutama pada
pasien lanjut usia yang mengalami penurunan fungsi kognitif, kemampuan berpikir, dan
kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Proses deteriorasi ini umumnya
disertai dengan perubahan status mental (mood dan emosi) dan perilaku.
MMSE adalah alat deteksi dan penunjang diagnostik, namun tidak bisa
digunakan sebagai kriteria tunggal untuk penegakan diagnosis dementia. MMSE
merupakan pemeriksaan yang terdiri dari 11 item penilaian yang digunakan untuk
menilai atensi dan orientasi, memori, registrasi, recall, kalkulasi, kemampuan bahasa,
dan kemampuan untuk menggambar poligon kompleks. Rentang skor MMSE adalah 1-
30, dengan cut off 24. Skor yang lebih rendah dari 24 menunjukkan adanya gangguan
kognitif.
NILAI
NO TES
MAKSIMAL
ORIENTASI
REGISTRASI
3 Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, atau koin), setiap benda 1 3
detik, pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1
untuk setiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat
menyebut dengan benar dan catat jumlah pengulangan.
ATENSI DAN KALKULUS
BAHASA
Total 30
Skor
Nilai 24-30 : Normal
Niali 17-23 : Gangguan kognitif Probable
Nilai 0-16 : Gangguan kognitif definitif
E. Korelasi Demensia dan Stroke
e.1. Pengantar
Pasien stroke berisiko mengalami demensia; prevalensi demensia 3 bulan
setelah stroke iskemik, pada pasien berusia di atas 60 tahun, ditemukan 26,3%, yaitu
sembilan kali lipat lebih tinggi daripada kontrol. Satu tahun setelah stroke,
kemungkinan timbulnya demensia baru adalah 5,4% pada pasien.
Lebih dari 60 tahun dan 10,4% pada pasien di atas 90 tahun. Empat tahun
setelah infark lakunar pertama, 23,1% pasien mengalami demensia, yaitu 4-12 kali
lebih banyak daripada kontrol.
Pada beberapa pasien stroke, demensia memiliki onset progresif dan
perjalanan penyakit yang menunjukkan proses degeneratif. Perubahan white matter,
sering dikaitkan dengan stroke dan penyakit Alzhei-mer (AD), mungkin juga
berkontribusi terhadap penurunan kognitif. Demensia karena penyakit vaskular adalah
salah satu demensia yang jarang dapat dicegah tetapi, ketika patologi Alzhei-mer
dikaitkan, pencegahan sekunder mungkin memiliki efek yang lebih kecil pada
penurunan kognitif. Selain itu, pasien-pasien ini memerlukan jenis manajemen yang
berbeda.
e.2. Pembahasan
(a) Konsekuensi langsung dari lesi serebrovaskular
Pada penyakit pembuluh darah besar dan pada sumber jantung iskemia
serebral, demensia sering kali dibayangi oleh keparahan gejala sisa neurologis.
Meskipun volume total infark serebral mungkin berkontribusi pada
patogenesis demensia, volume kehilangan jaringan fungsional mungkin lebih
penting karena juga mencakup efek dari "jaringan yang mengalami infark
tidak lengkap" dan korteks yang mengalami deferen. Oleh karena itu,
demensia merupakan masalah yang menonjol terutama pada infark lakunar.
Dalam empat keadaan berikut, lesi serebrovaskular cenderung menjadi satu-
satunya penyebab demensia.
2. Status lakunar
Infark lakunar berhubungan dengan lipohyalinosis dan degenerasi
fibrinoid segmental pada dinding perforator dalam tanpa gambaran khas
ateroma. Usia dan hipertensi arteri merupakan faktor risiko utama
vaskulopati ini.