Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Orang Indonesia mengenal demensia dengan istilah pikun. Demensia menurut World
Health Organization (WHO), merupakan suatu sindrom yang mana terjadi penurunan kognitif
yang bersifat kronik. Meskipun menyerang individu tua, demensia bukanlah bagian normal
dari proses penuaan. Sindrom ini ditunjukkan dengan terganggunya fungsi dalam mengambil
keputusan, pemahaman, memori, berpikir, perhitungan, belajar, dan bahasa.1
Demensia yang timbul setelah serangan stroke diklasifikasikan sebagai demensia
vaskuler.2 VaD menduduki urutan kedua penyebab utama demensia setelah penyakit
Alzheimer (Alzheimer’s Dementia/AD). Demensia berkembang sekitar 15-30% dalam waktu
3 bulan setelah stroke.3
Di Indonesia, menurut Riset Kesehatann Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013,
prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per 1000 penduduk dan
yang terdiagnosis tenaga kesehatan maupun mempunyai gejala sebesar 12,1 per 1000
penduduk.3 Stroke mempunyai berbagai macam faktor risiko seperti usia, hipertensi, penyakit
jantung, diabetes, herediter, kadar lemak dalam darah, merokok, obesitas, ras, kadar
hematokrit, dan kontrasepsi oral, dan sebagainya.
Stroke dapat menyebabkan gejala non-somatis seperti gangguan kognitif yang
disebut sebagai vascular cognitive impairment dan hal ini mencakup spektrum vascular
dementia dan mild cognitive impairment. Pasien stroke iskemik memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk menderita gangguan kognitif. Gangguan vaskularisasi pada talamus dapat
menyebabkan gangguan seperti gangguan fungsi sensorik, fungsi eksekutif, memori, bahasa,
dan fungsi motorik. Semakin lama seseorang untuk dibawa ke rumah sakit maka proses
infark akan terus berlangsung sehingga bagian otak yang rusak akan meluas meningkatkan
tingkat keparahan stroke. Menurut P. Singh, dislipidemia memengaruhi kejadian gangguan
kognitif vaskuler
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai gambaran demensia vaskular pada pasien stroke nonhemoragik dengan
diabetes melitus tipe 2 di RS. Kariadi Semarang, Jawa tengah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Fungsi Kognitif
Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam
menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut sistem limbik. Sistem
limbik terdiri dari amygdala, hipokampus, nukleus talamik anterior, girus cinguli, girus
parahipokampus, formasio hipokampus dan korpus mamilare. Forniks, traktus
mammilotalmikus dan striae terminalis membentuk jaras-jaras penghubung sistem ini 2.
Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi
neuroendokrin dan aktivitas otonom.
Struktur otak berikut ini merupakan bagian dari sistem limbik :
1. Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan
predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada hemisfer
kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.
2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang, pemeliharaan
fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran.
3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial.
4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan darah dan
kognitif yaitu atensi.
5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary bodies dan septal
nuclei. Adapun forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.
6. Hipothalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan
pelepasan hormon, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido dan siklus
tidur / bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka panjang.
7. Thalamus ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon membentuk
dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai pusat hantaran rangsang
indra dari perifer ke korteks serebri. Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat
pengaturan fungsi kognitif di otak / sebagai stasiun relay ke korteks serebri.
8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran. 3,4
Lobus
Lobus
parietal
frontal
Lobus
oksipital
Lobus
temporal
Medula Serebelu
spinalis m

Gambar 1. Area fungsional korteks serebri manusia

Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara lain:
1. Lobus frontalis. Pada lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian,
bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan sintesis.
Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan sebagai bagian sistem limbik,
karena banyaknya koneksi anatomik dengan struktur limbik dan adanya
perubahan emosi bila terjadi kerusakan.
2. Lobus parietalis. Lobus ini berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan
visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik (input visual, auditori, taktil)
dari area sosiasi sekunder. Karena menerima input dari berbagai modalitas
sensori sering disebut korteks heteromodal dan mampu membentuk asosiasi
sensorik (cross modal association). Sehingga manusia dapat menghubungkan
input visual dan menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang.
3. Lobus temporalis, berfungsi mengatur pendengaran, emosi, memori, kategorisasi
benda-benda dan seleksi rangsangan auditorik.
4. Lobus oksipitalis. Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer,
visuospasial, memori dan Bahasa. 5

Fungsi korteks sebagai pengaturan, ingatan, pemahaman, komunikasi,


kreativitas, pembuatan keputusan, mind mapping, bicara dan musik. Area
terpenting otak yang perlu dipahami dalam mengenali kekuatan otak adalah
serebrum atau yang sering disebut 'otak kiri dan kanan'. Serebum membagi tugas
dalam dua kategori utama yaitu tugas otak kanan dan kiri. Tugas otak kanan antara
lain irama, kesadaran ruang, imajinasi, melamun, warna, dimensi dan tugas tugas
yang membutuhkan holistik atau gambaran keseluruhan. Tugas otak kiri lain kata-
kata, logika, angka, urutan, daftar dan analisis.2
Pada korteks serebri terdapat suatu area yang dinamakan area asosiasi
dimana area-area tersebut menerima dan menganalisis sinyal secara bersamaan dari
berbagai macam region, baik dari korteks motorik, sensorik, dan struktur
subkortikal. Area asosiasi yang paling penting yaitu:
a. Area asosiasi parieto-oksipitotemporal
a.1. Analisis terhadap keserasian spasial tubuh, area yang terus-menerus
melakukan analisis keserasian seluruh tubuh secara spasial ini dimulai di
bagian posterior korteks parietalis dan meluas ke korteks oksipitalis superior.
a.2. Area pemahaman bahasa, disebut dengan area Wernicke yang terletak di
belakang korteks auditorik primer pada bagian posterior girus temporalis di
lobus temporalis.
a.3. Area untuk melakukan proses membaca, yaitu girus angularis yang
mengartikan kata-kata yang diterima secara visual yang akan diteruskan ke
dalam area Wernicke.
a.4. Area penamaan objek, terletak di daerah paling lateral lobus oksipitaslis
anterior dan lobus temporalis posterior.
b. Area asosiasi prefrontal, yang fungsinya merencanakan pola yang kompleks dan
berurutan dari gerakan motorik. Selain itu, area asosiasi prefontal ini berfungsi
penting untuk melakukan proses berpikir dalam benak pikiran. Area ini penting
dalam fungsi perluasan pikiran dan dikatakan dapat menyimpan memori kerja.2
c. Area asosiasi limbik, yaitu terletak di belahan anterior lobus temporalis, bagian
ventral lobus frontalis, dan di girus singulata di dalam fisura longitudinalis
dipermukaan tengah setiap hemisferium serebri. Korteks limbik adalah bagian dari
sistem limbik yang menghasilkan banyak sekali pengaturan emosi untuk
mengaktifkan area otak lain ke dalam suatu aksi, dan bahkan menghasilkan
pengaturan motivasi untuk proses belajar itu sendiri.2
Gambar 2.
Hubungan aferen dan eferen Otak

Gambar 3. Atas: Thalamus (ditunjukkan dengan warna merah) terletak di


tengah otak di daerah subkortikal. Bawah: Talamus sangat berhubungan dengan
korteks, dengan serat memanjang ke lobus frontal, parietal, temporal, dan
oksipital ( ditampilkan dalam warna merah, biru, dan hijau dalam studi tensor
difusi ini). Sumber: Kiri: Gambar berasal dari Anatomografi yang dikelola oleh
Life Science Databases (LSDB). Database Ilmu Hayati (LSDB)の Anatomografi.
Kanan: Izhikevich, E. M, & Edelman, GM 2007.

Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti


berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga
merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta
kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan
evaluasi. 1,9
Domain Fungsi Kognitif terdiri dari:
a. Atensi
Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus
dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi
merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas korteks
sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain
yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan
atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan
mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.

b. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang
membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa,
pemeriksaan kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami
kesulitan atau tidak dapat dilakukan.
Fungsi bahasa meliputi 4 parameter, yaitu :
1. Kelancaran Kelancaran mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat
dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Metode yang dapat membantu
menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara
secara spontan.
2. Pemahaman Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk memahami suatu
perkataan atau perintah, dibuktikan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan perintah tersebut.
3. Pengulangan Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau
kalimat yang diucapkan seseorang.
4. Penamaan Merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek
beserta bagian-bagiannya.
Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga
merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus untuk
mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia
dengan lesi neuroanatomi.

c. Memori
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi,
proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam
ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori. Gangguan memori
merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Istilah amnesia secara
umum merupakan efek fungsi memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru
setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Sedangkan amnesia retrograd
merujuk pada amnesia pada yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien
demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak
semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas
sering mengalami kesulitan memori. Istilah amnesia psikogenik jika amnesia hanya
pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent
memory.

d. Visuospasial
Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti
menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal: lingkaran, kubus) dan
menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan
lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan. Menggambar jam
sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif
dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.

e. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif dari otak dapat didefenisikan sebagai suatu proses kompleks
seseorang dalam memecahkan masalah / persoalan baru. Proses ini meliputi
kesadaran akan keberadaan suatu masalah, mengevaluasinya, menganalisa serta
memecahkan / mencari jalan keluar suatu persoalan.1,6

B. Stroke
i. Definisi Stroke
Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika sebagaian sel – sel otak mengalami
kematian akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh
darah di otak. Aliran darah yang berhenti membuat suplai oksigen dan zat makanan ke
otak juga berhenti, sehingga sebagaian otak tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya
Penyakit stroke termasuk penyakit pembuluh darah otak (cerebrovaskuler) yang
ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang disebabkan berkurangnya
aliran darah dan oksigen di otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa
disebabkan adanya sumbatan, penyempitan, atau pecahnya pembuluh darah sehingga
mengakibatkan serangkaian reaksi biokimia yang dapat merusak atau mematikan sel – sel
otak.
Matinya jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan
oleh jaringan otak tersebut. Apabila tidak ditangani secara tepat, penyakit ini dapat
berakibat fatal dan berujung pada kematian. Meskipun dapat diselamatkan, kadang –
kadang si penderita mengalami kelumpuhan pada anggota badannya, menghilangnya
sebagaian ingatan, atau menghilangnya kemampuan berbicara. Bentuknya dapat
berupa lumpuh sebelah (hemiplegia), berkurangnya kekuatan sebelah anggota tubuh
(hemiparesis), gangguan bicara, serta gangguan rasa di kulit wajah, lengan, atau
tungkai.

ii. Klasifikasi Penyakit Stroke


Berdasarkan penyebabnya stroke dibagi menjadi dua jenis, yaitu stroke iskemik
dan stroke hemorragik. Berikut penjelasan kedua jenis stroke tersebut :

ii.a. Stroke Iskemik


Stroke iskemik terjadi pada sel – sel otak yang mengalami kekurangan oksigen
dan nutrisi yang disebabkan penyempitan atau penyumbatan pada pembuluh darah
(ateriosklerosis). Arteriosklerosis terjadi akibat timbunan lemak pada arteri yang
menyebabkan luka pada dinding arteri. Luka ini menimbulkan gumpalan darah
(thrombus) yang mempersempit arteri. Gumpalan ini dapat juga terbawa aliran darah
dan menyangkut di pembuluh darah yang lebih kecil dan menyebabkan
penyumbatan. Hampir sebagaian besar pasien atau sebesar 83% pasien stroke
mengalami stroke iskemik. Stroke iskemik menyebabkan aliran darah ke sebagaian
atau keseluruhan otak menjadi terhenti.
Berikut jenis – jenis stroke iskemik berdasarkan mekanisme penyebabnya :
1) Stroke trombotik merupakan jenis stroke yang disebabkan terbentuknya
thrombus yang membuat penggumpalan.
2) Stroke embolik merupakan jenis stroke yang disebabkan tertutupnya
pembuluh arteri oleh bekuan darah.
3) Hipoperfusion sistemik merupakan jenis stroke yang disebabkan
berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya
gangguan denyut jantung.
ii.b. Stroke Hemoragik
Stroke hemorragik adalah stroke perdarahan yang terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah di otak. Darah yang keluar dari pembuluh darah yang pecah
mengenai dan merusak sel – sel otak di sekitarnya. Selain itu, sel otak juga
mengalami kematian karena aliran darah yang membawa oksigen dan nutrisi
terhenti. Stroke jenis ini terjadi sekitar 20% dari seluruh pasien stroke. Namun,
80% dari orang yang terkena stroke hemorragik mengalami kematian dan hampir
70% kasus stroke hemorragik terjadi pada penderita hipertensi.
Menurut letaknya, stroke hemorragik dibagi menjadi dua jenis, sebagai berikut :
1) Hemorragik intraserebral, yakni perdarahan terjadi di dalam jaringan otak.
2) Hemorragik subaraknoid, yakni perdarahan terjadi di ruang subaraknoid (ruang
sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak)

iii. Gejala Penyakit Stroke


Gejala awal stroke sering tidak diketahui oleh penderitanya. Stroke sering
muncul secara tiba – tiba, serta berlangsung cepat dan langsung menyebabkan
penderita tidak sadar diri (coma). Karena itu, sangat penting untuk mengenali gejala
awal terjadinya stroke. Berikut beberapa gejala awal terjadinya stroke :
a. Nyeri kepala disertai penurunan kesadaran, bahkan bisa mengalami koma
(perdarahan otak).
b. Kelemahan atau kelumpuhan pada lengan, tungkai, atau salah satu sisi tubuh.
c. Mendadak seluruh badan lemas dan terkulai tanpa hilang kesadaran (drop
attack) atau disertai hilang kesadaran sejenak (sinkop).
d. Gangguan penglihatan (mata kabur) pada satu atau dua mata.
e. Gangguan keseimbangan berupa vertigo dan sempoyongan (ataksia).
f. Rasa baaal pada wajah atau anggota badan satu sisi atau dua sisi.
g. Kelemahan atau kelumpuhan wajah atau anggota badan satu sisi atau dua sisi.
h. Kehilangan sebagaian atau seluruh kemampuan bicara (afasia).
i. Gangguan daya ingat atau memori baru (amnesia).
j. Gangguan menelan cairan atau makanan padat (disfagia).
iv. Berdasarkan lokasinya di tubuh, gejala stroke terbagi menjadi tiga, sebagai
berikut :
a. Bagian system saraf pusat, yaitu kelemahan otot (hemiplegia), kaku, dan
menurunnya fungsi sensorik.
b. Batang otak, yang terdapat 12 saraf kranial.
Gejalanya yaitu lidah melemah; kemampuan membau, mengecap,
mendengar, melihat secara parsial atau keseluruhan menjadi menurun; serta
kemampuan reflex, ekspresi wajah, pernafasan, dan detak jantung menjadi
terganggu.
c. Cerebral cortex
Cerebral cortex merupakan permukaan luar cerebrum, apabila Cerebral
cortex ini mengalami gangguan akan menyebabkan tidak bisa berbicara (afasia),
kehilangan kemampuan untuk melakukan gerakan – gerakan yang bertujuan
(apraksia), daya ingat menurun, kegagalan melaksanakan sebuah fungsi
sebagaian badan (hemiparese), dan kebingungan.
Jika tanda – tanda dan gejala tersebut hilang dalam waktu 24 jam,
dinyatakan sebagai Tensient Ischemic Attack (TIA), yang merupakan serangan
kecil atau serangan awal stroke. Keadaan ini sangat menguntungkan karena
penderita bisa sembuh 100%. Namun, penderita harus tetap waspada terhadap
gejala – gejala stroke yang mungkin timbul.
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia gejala dan tanda –
tanda stroke adalah dengan slogan “SeGeRa Ke RS” yang terdiri dari :
a) Se, Senyum tidak simetris (mencong ke satu sisi), tersedak, sulit menelan air
minum secara tiba – tiba
b) Ge, Gerak separuh anggota tubuh melemah secara tiba – tiba
c) Ra, Bicara pelo / tiba – tiba tidak dapat bicara / tidak mengerti kata – kata /
bicara tidak nyambung
d) Ke, Kebas atau baal, atau kesemutan separuh tubuh
e) R, Rabun, pandangan satu mata kabur terjadi secara tiba – tiba

f) S, Sakit kepala hebat yang muncul tiba – tiba dan tidak pernah dirasakan
sebelumnya, gangguan fungsi keseimbangan, seperti terasa berputar, gerakan
sulit dikoordinasi.
v. Penyebab atau Faktor Risiko

Terhambatnya aliran darah ke otak beberapa detik saja dapat menyebabkan


seseorang pingsan. Apalagi penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak,
bisa menyebabkan sel – sel saraf di otak menjadi rusak dan mengakibatkan
kelumpuhan. Berbagai factor yang bisa menyebabkan serangan stroke, seperti
factor keturunan, gaya hidup, dam komplikasi penyakit. Orang – orang yang
memiliki satu atau lebih factor risiko di bawah ini digolongkan ke dalam stroke
prone person, yaitu orang yang memiliki kemungkinan lebih besar mengalami
serangan stroke daripada orang normal suatu saat selama perjalanan hidupnya
apabila tidak dikendalikan. Terdapat 2 macam faktor yang menyebabkan seseorang
mengalami serangan stroke yaitu :
a. Faktor Yang Tidak Dapat Diubah
1) Keturunan
Para ahli meyakini terdapat hubungan antara risiko stroke dengan factor
keturunan, walaupun secara tidak langsung. Pasien yang memiliki anggota
keluarga dengan riwayat stroke perlu mewaspadai factor-faktor yang dapat
menyebabkan stroke, seperti hipertensi dan hiperkolesterol.
2) Jenis Kelamin
Menurut studi kasus yang sering ditemukan, laki – laki lebih berisiko
terkena stroke tiga kali lipat dibandingkan dengan wanita. Laki – laki
cenderung terkena stroke iskemik, sedangkan wanita cenderung terkena
hemoragik.
3) Umur
Mayoritas stroke menyerang orang berusia diatas 50 tahun. Namun,
dengan pola makan dan jenis makanan yang ada sekarang ini, tidak menutup
kemungkinan stroke bisa menyerang mereka yang berusia muda.

4) Ras
Ras kulit hitam lebih berisiko terkena stroke dibandingkan dengan ras
kulit putih. Hal ini disebabkan, dugaan dari angka kejadian hipertensi dan
konsumsi garam yang tinggi pada ras kulit hitam.
b. Faktor Yang Dapat Diubah
1) Hipertensi
Hipertensi dapat menyebabkan stroke iskemik maupun stroke
hemoragik. Hipertensi menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel – sel
endotel pembuluh darah melalui mekanisme perusakan lipid di bawah otot
polos. Karena itu, sangat penting untuk mempertahankan tekanan darah
dalam keadaan normal untuk menurunkan risiko terjadinya serangan
stroke. Menurut Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa 50% kasus
stroke berhubungan dengan hipertensi dan terdapat 25,8% penduduk
menderita hipertensi (Kemenkes RI, 2017).
2) Penyakit Jantung
Penyakit jantung coroner, dan orang yang melakukan pemasangan
katup jantung buatan akan meningkatkan risiko stroke. Stroke emboli
biasanya disebabkan kelainan ketiga penyakit jantung tersebut.
3) Diabetes Mellitus

Penyakit diabetes mellitus dapat menyebabkan kerusakan pembuluh


darah dan mempercepat terjadinya arteriosklerosis pada arteri kecil
termasuk pembuluh darah otak. Selain itu, risiko terkena stroke menjadi
2,6 kali lebih besar pada pria dan 3,8 kali lebih besar pada wanita
dibandingkan dengan orang yang tidak menderita diabetes. Jika seseorang
sudah pernah terkena stroke, sebaiknya pertahankan kadar gula darah
dalam kisaran normal untuk mencegah berulangnya stroke dan mencegah
meluasnya kerusakan jaringan otak.
4) Obesitas (Kegemukan)
Kaitan antara obesitas atau kegemukan terhadap serangan stroke
belum diketahui secara pasti. Namun, secara epidemiologis, orang yang
mengalami obesitas cenderung menderita hipertensi, hiperkolesterol, dan
diabetes mellitus. Menurut Kemkes RI menyatakan 1 dari 5 kasus stroke
terjadi akibat obesitas dan terdapat 26,1% penduduk kurang aktivitas fisik
(Kemenkes RI, 2017).
5) Hiperkolesterol
Kolesterol merupakan zat yang paling berperan dalam terbentuknya
arteriosklerosis pada lapisan dalam pembuluh darah dan menyebabkan
terjadinya penyumbatan pembuluh darah terutama pembuluh darah di
otak. Jika penyumbatan telah menutupi seluruh rongga pembuluh darah,
maka aliran darah pada jaringan otak terhenti dan terjadilah stroke. Data
Kemenkes RI menyatakan 1 dari 4 kasus stroke berhubungan dengan
kadar LDL tinggi dan sekitar 15,9% penduduk > 15 tahun memiliki kadar
LDL tinggi (Kemenkes RI, 2017).
6) Faktor Gaya Hidup

a) Gaya Hidup yang Tidak Sehat


Gaya hidup tidak sehat seperti mengonsumsi makanan tinggi lemak
dan tinggi kolesterol, kurang aktivitas fisik dan kurang olahraga,
meningkatkan risiko terkena penyakit stroke. Hal ini disebabkan, gaya
hidup yang tidak sehat rentan terkena obesitas, diabetes,
arteriosclerosis, dan penyakit jantung. Penyakit tersebut sebagai salah
satu pemicu terjadinya stroke.
b) Merokok
Nikotin pada rokok menyebabkan peningkatan denyut jantung dan
tekanan darah, menurunkan kolesterol HDL, meningkatkan kolesterol
LDL, dan mempercepat arteriosclerosis. Kebiasaan merokok
merupakan factor risiko yang potensial terhadap serangan stroke
iskemik dan perdarahan akibat pecahnya pembuluh darah pada daerah
posterior otak. Perokok berat mempunyai risiko terkena stroke dua kali
lipat. Risiko terkena stroke akan berkurang jika telah berhenti merokok
selama lima tahun dibandingkan dengan terus merokok. Berdasarkan
data Kemenkes RI menyatakan bahwa 1 dari 10 kasus stroke
berhubungan dengan merokok dan terdapat 36,3% penduduk usia > 15
tahun yang merokok , perempuan usia >10 tahun (1,9%).

c) Stres
Stres dapat mengakibatkan hati memproduksi radikal bebas lebih
banyak dan mempengaruhi system imunitas tubuh secara umum
sehingga mengganggu fungsi hormonal. Stres yang berujung pada
depresi dapat menjadi salah satu factor terjadinya stroke. Bagaimana
depresi dapat meningkatkan stroke, sampai saat ini belum ada jawaban
yang jelas. Mekanisme yang mungkin adalah stres dan depresi
menyebabkan peningkatan tekanan darah yang berarti juga
meningkatkan risiko stres.
d) Konsumsi Alkohol dan Obat – Obatan Terlarang
Obat – Obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa
mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke.
Berdasarkan data Kemenkes RI menyatakan bahwa 1 juta kasus stroke
berhubungan dengan konsumsi alkohol berlebihan dan sekitar 4,6%
penduduk > 10 tahun minum – minuman beralkohol (Kemenskes
Republik Indonesia, 2017).

vi. Pencegahan Penyakit Stroke


Pencegahan stroke bertujuan untuk mengendalikan angka kematian akibat
stroke dan kejadian stroke, memperkecil kemungkinan disabilitas akibat stroke
serta mencegah terjadinya stroke berulang. Bentuk – bentuk upaya pencegahan
stroke yang dapat dilakukan :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan Primer adalah pencegahan yang dilakukan pada orang sehat
atau kelompok berisiko yang belum terkena stroke untuk mencegah
kemungkinan terjadinya serangan stroke yang pertama, dengan mengendalikan
faktor risiko dan mendeteksi diri serangan stroke (P2PTM Kemenkes RI, 2018).
Hal ini dapat dilakukan dengan :
1) Peningkatan aktivitas fisik
2) Penyediaan pangan sehat & percepatan perbaikan gizi
3) Peningkatan pencegahan dan deteksi dini penyakit
4) Peningkatan kualitas lingkungan
5) Peningkatan edukasi hidup sehat
6) Peningkatan perilaku hidup sehat, yang diimplementasikan dalam perilaku

“CERDIK” yaitu :
C ; Cek kesehatan secara berkala,
E ; Enyahkan asap rokok,
R ; Rajin aktivitas fisik,
D ; Diet sehat dengan gizi seimbang,
I ; Istirahat yang cukup,
K ; Kelola stress

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan Sekunder adalah pencegahan yang dilakukan pada orang
yang sudah mengalami serangan stroke, agar tidak terjadi serangan stroke
berulang yaitu dengan penambahan obat pengencer darah seperti aspirin.
Disamping pengendalian faktor risiko lainnya, individu pasca stroke tetap secara
rutin dan teratur mengontrol faktor risiko (P2PTM Kemenkes RI, 2018).

C. Demensia
i. Definisi
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah
mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan
otak organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam
bentuk gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan
pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif.
Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai
gangguan kesadaran.
Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat kronik /
progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multiple) yaitu; daya
ingat, daya fikir, daya orientasi, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar,
berbahasa, kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut, Biasanya disertai hendaya
fungsi kognitif, dan ada kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam
pengendalian emosi, perilaku sosial atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit
Alzheimer, pada penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer
atau sekunder mengenai otak.

ii. Faktor Resiko


b.1. Genetik
Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah
terjadi kemajuan dalam molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama
neuropatologi gangguan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien
demensia mempunyai riwayat keluarga menderita demensia tipe Alzheimer, jadi
setidaknya pada beberapa kasus, faktor genetik dianggap berperan dalam
perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut. Dukungan tambahan tentang
peranan genetik adalah bahwa terdapat angka persesuaian untuk kembar monozigotik,
dimana angka kejadian demensia tipe Alzheimer lebih tinggi daripada angka kejadian
pada kembar dizigotik. 2

b.2. Usia
Efek penuaan dan usia orang tua saat lahir telah dikaitkan dengan risiko
demensia. Di Amerika Serikat dan Eropa, beberapa studi kohort33–39telah
menunjukkan bahwa risiko demensia dan AD meningkat seiring bertambahnya usia.
Hubungan ini telah diamati pada semua subtipe demensia dalam sebuah penelitian di
Spanyol. Sebuah meta-analisis yang mencakup 17 penelitian di Cina juga
menunjukkan bahwa prevalensi AD dan VaD meningkat seiring bertambahnya
usia.40Secara keseluruhan, efek penuaan merupakan faktor risiko yang relatif
konsisten untuk demensia di berbagai kelompok etnis.
Relatif sedikit penelitian yang mengevaluasi hubungan antara usia orang tua
saat lahir dan risiko demensia. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa usia tua
orang tua saat lahir dikaitkan dengan peningkatan risiko AD, mungkin karena
kelainan kromosom. Namun, penelitian lain telah gagal untuk mereplikasi asosiasi ini.

b.3. Jenis Kelamin


Jenis kelamin merupakan faktor risiko penting untuk DA di antara orang tua.
Sebuah studi lanjutan di Belanda menemukan bahwa insiden DA pada wanita lebih
tinggi daripada pria setelah usia 85 tahun. Namun, tidak ada perbedaan jenis kelamin
dalam tingkat atau risiko VaD. Tim yang sama juga melaporkan bahwa risiko AD
menurun pada pria tetapi tidak pada wanita setelah usia 90 tahun.48Insiden
keseluruhan VaD lebih rendah pada wanita dibandingkan pada pria. Sebuah
metaanalisis yang hanya mencakup populasi Cina telah menunjukkan prevalensi AD
yang lebih tinggi, tetapi tidak VaD, di antara wanita dibandingkan dengan pria
berusia ≥ 60 tahun. Temuan di atas dapat dijelaskan dengan efek perlindungan
estrogen untuk Wanita pramenopause, dan kematian dini untuk pria akibat penyakit
kardiovaskular. Sebaliknya, hubungan antara jenis kelamin dan risiko demensia telah
terbukti tidak signifikan pada populasi Italia dan Spanyol. Beberapa faktor mungkin
memperumit hubungan ini, misalnya hormon steroid seks, gaya hidup, etnis, dan
polimorfisme genetik gen terkait seks. Oleh karena itu, penting untuk
mempertimbangkan berbagai factor risiko sementara hubungan antara jenis kelamin
dan risiko demensia dieksplorasi.

b.4. Aktivitas fisik


Hubungan antara aktivitas fisik dan risiko demensia telah dieksplorasi secara
ekstensif. Beberapa studi kohort telah mengamati bahwa aktivitas fisik dikaitkan
secara positif dengan fungsi kognitif di antara orang tua. Studi lain telah menemukan
bahwa aktivitas fisik dikaitkan dengan pengurangan 30-50% penurunan kognitif.
Sebuah meta-analisis yang mencakup 30 percobaan acak telah menemukan
bahwa latihan olahraga memiliki efek positif pada fungsi kognitif.55Sebuah uji coba
secara acak pada orang tua yang dilakukan setelah meta-analisis telah menemukan
bahwa 24 minggu intervensi aktivitas fisik dapat meningkatkan fungsi kognitif.
Selanjutnya, sebuah studi cross-sectional pada penduduk yang tinggal di komunitas
berusia 70-79 tahun telah menunjukkan bahwa tingkat aktivitas rekreasi dikaitkan
secara signifikan dengan tingkat penanda inflamasi interleukin-6 dan protein C-reaktif
yang lebih rendah.
Manfaat potensial dari peningkatan aktivitas fisik pada penanda inflamasi
perlu dikonfirmasi dalam uji klinis. Efek perlindungan dari aktivitas fisik mungkin
merupakan hasil dari pengurangan risiko vascular dan obesitas, tingkat penanda
inflamasi yang lebih rendah, peningkatan kebugaran, kesehatan saraf, dan fungsi
fisik, serta perilaku positif. Dalam studi lanjutan di Amerika Serikat, individu yang
berpartisipasi dalam setidaknya empat aktivitas fisik dalam waktu 2 minggu sebelum
perekrutan studi memiliki risiko demensia yang lebih rendah secara signifikan
dibandingkan dengan mereka yang hanya melakukan satu aktivitas atau tidak sama
sekali.
Asosiasi ini signifikan di antaraAPOEe4 alel non pembawa, tetapi tidak ada
dari APOEe4 pembawa alel. Secara keseluruhan, sebagian besar penelitian
sebelumnya telah mendukung gagasan bahwa aktivitas fisik dapat mengurangi risiko
demensia, mungkin melalui peningkatan fungsi kognitif dan status kesehatan secara
keseluruhan. Pengukuran yang berbeda dari kognisi, berbagai lama masa studi, dan
karakteristik subjek yang berbeda telah digunakan untuk mengevaluasi efek aktivitas
fisik pada risiko demensia, dan ini mungkin menjelaskan inkonsistensi temuan
sebelumnya.

b.5. Merokok
Perokok melipat gandakan risiko penyakit arteri koroner, gagal jantung
kongestif, dan penyakit pembuluh darah perifer, dan meningkatkan 1,5 kali risiko
stroke dan demensia. Sebuah studi berbasis populasi kolaboratif di Eropa menegaskan
bahwa merokok dikaitkan dengan tingkat penurunan kognitif yang lebih tinggi pada
subjek lanjut usia yang tidak menderita demensia; konsumsi rokok-tahun yang lebih
tinggi berkorelasi dengan tingkat penurunan yang lebih tinggi secara signifikan. Asap,
selain nikotin dan karbon monoksida, mengandung campuran kompleks radikal bebas
termasuk kuinon/hidrokuinon, NO-, dan nitrogen dioksida (NO 2) yang menyebabkan
ketidakteraturan morfologi endotel, pembentukan blebs, kebocoran makromolekul
dan peningkatan kematian sel endotel. Asap mengurangi pelepasan prostasiklin,
meningkatkan vasodilatasi yang diturunkan dari endotel, dan menurunkan konsentrasi
oksida nitrat dan produksi cGMP, meningkatkan agregasi trombosit dan leukosit.
Merokok memperburuk pembentukan plak ateromatosa di arteri karotis,
meningkatkan hipertensi, koagulabilitas darah, viskositas serum, dan fibrinogen.
Efek merokok pada risiko demensia masih kontroversial. Sebuah meta-analisis
baru-baru ini menunjukkan bahwa merokok saat ini dikaitkan secara signifikan
dengan peningkatan risiko AD tetapi tidak dengan VaD dan penurunan kognitif. Dua
studi lanjutan di Amerika Serikat dan satu di Cina telah melaporkan hubungan yang
signifikan antara perokok saat ini dan risiko demensia. Asosiasi ini tidak signifikan di
antara mantan perokok.
Temuan tidak konsisten sebelumnya mungkin dihasilkan dari bias
kelangsungan hidup, beberapa masalah potensial untuk studi kasuskontrol (misalnya
bias ingatan, perkiraan merokok yang terlalu rendah dan berlebihan), dan kegagalan
untuk membuat stratifikasi subjek berdasarkan status merokok (saat ini dan mantan
perokok) dalam analisis. Merokok bisa menjadi perancu potensial untuk hubungan
penyakit serebrovaskular dengan demensia. Namun, penyakit serebrovaskular belum
dieksplorasi secara konsisten dalam penelitian sebelumnya. Studi masa depan
menggunakan desain tindak lanjut akan dapat memberikan data yang lebih akurat
tentang merokok. Stratifikasi menurut status merokok (saat inivs. Mantan perokok)
dijamin untuk menjelaskan asosiasi ini.

b.6. Tingkat Pendidikan


Dalam studi lanjutan, subjek dengan pendidikan rendah memiliki risiko
demensia non-AD yang lebih tinggi [rasio odds (OR), 1,75; 95% CI, 1,03-2,98]
dibandingkan dengan mereka yang memiliki ijazah sekolah menengah. Namun,
asosiasi ini tidak diamati untuk AD. Selain pendidikan masa kanak-kanak, lebih
sedikit pendidikan pasca sekolah menengah (yaitu pendidikan di luar sekolah
menengah atas atau 12 tahun secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko
demensia setelah usia 60 tahun. Demikian pula sebuah penelitian di Amerika Serikat
menemukan bahwa bule dengan tingkat pendidikan rendah (≤ 10 tahun) memiliki
risiko demensia dua kali lipat dibandingkan mereka yang berpendidikan tinggi (>10
tahun).95Sebuah studi kohort telah melaporkan hubungan yang signifikan antara
tingkat pendidikan dan fungsi kognitif, tetapi hubungan itu tidak signifikan antara
pendidikan dan tingkat penurunan kognitif. Ada kemungkinan individu dengan
tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung memiliki fungsi kognitif yang lebih
rendah dibandingkan dengan mereka yang pada usia yang sama tetapi dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, timbulnya demensia di antara yang
pertama cenderung lebih awal daripada yang terakhir.
Secara keseluruhan, tingkat pendidikan berhubungan dengan status sosial
ekonomi dan seks, keduanya dapat memperumit hubungan antara tingkat pendidikan
dan risiko demensia. Titik potong yang berbeda dari tingkat pendidikan antara studi,
dan kegagalan untuk mengeksplorasi asosiasi dengan subtipe demensia dalam
beberapa studi, dapat menjelaskan temuan kontroversial sebelumnya.

b.7. Komorbid
Risiko demensia berhubungan dengan berbagai penyakit. Hipertensi
merupakan faktor risiko penting untuk VaD tapi tidak AD. Diabetes tipe 2 sangat
terkait dengan resistensi insulin, yang terkait dengan pembentukan Aβ dan agen
inflamasi di otak dan peningkatan risiko DA selanjutnya. Rata-rata, sekitar setengah
dari individu dengan gangguan kognitif vaskular dapat mengembangkan demensia
dalam waktu 5 tahun setelah stroke. Selain itu, terdapapt peningkatan risiko demensia
di antara individu yang berusia > 84 tahun dan yang pernah mengalami dua kali
infeksi atau lebih dalam 4 tahun sebelum diagnosis demensia dibandingkan dengan
mereka yang tidak memiliki satu atau dua infeksi.
Human immunodeficiency virus dan virus hepatitis C telah dilaporkan
berhubungan dengan demensia. Selain itu, cedera otak traumatis dapat menyebabkan
perkembangan awal DA. Sebuah meta-analisis yang mencakup 15 studi kasus-kontrol
telah menemukan bahwa cedera kepala dikaitkan dengan peningkatan risiko DA di
antara pria tetapi tidak pada wanita. Pria cenderung terlibat dengan pekerjaan yang
lebih berbahaya daripada wanita, dan karena itu memiliki risiko cedera kepala yang
lebih tinggi dan risiko demensia yang lebih tinggi daripada wanita. Selanjutnya, dua
meta-analisis telah menunjukkan secara konsisten bahwa Riwayat depresi merupakan
faktor risiko DA di kemudian hari.Secara keseluruhan, infeksi, factor vaskular dan
penyakit terkait, cedera kepala, dan kondisi psikologis dapat berbagi jalur inflamasi
umum yang berkontribusi pada etiologi demensia.

b.8. BMI (Indeks Masa Tubuh)


Kegemukan dan obesitas merupakan faktor risiko AD, hiperinsulinemia dan
diabetes. Sebuah meta analisis baru-baru ini, termasuk 10 studi lanjutan dengan
subyek berusia 40-80 tahun pada awal, telah menunjukkan hubungan bentuk-U antara
BMI dan demensia. Namun, studi tindak lanjut baru-baru ini105telah menunjukkan
peningkatan risiko demensia di antara orang gemuk (BMI> 30), dibandingkan dengan
mereka dengan berat badan normal (BMI 20-25) pada usia 50 tahun. Padahal, ada
hubungan terbalik antara BMI dan risiko demensia pada ≥ 65 tahun.105Sebaliknya,
penambahan berat badan dan peningkatan lingkar pinggang dan ketebalan lipatan
kulit berhubungan dengan peningkatan risiko demensia. Studi lain menemukan bahwa
penurunan berat badan tahunan yang stabil sebesar 1 kg/m2 di antara orang tua terkait
dengan peningkatan 35% risiko AD, dibandingkan dengan individu tanpa perubahan
BMI.
Penurunan berat badan dapat mencerminkan penyakit yang mendasari dan
obesitas dapat dikaitkan dengan penyakit pembuluh darah berikutnya. Orang tua
mengalami kehilangan otot, oleh karena itu, lingkar pinggang daripada BMI mungkin
merupakan pengganti yang lebih baik untuk kelebihan berat badan atau obesitas. Ini
bisa menjelaskan sebagian temuan kontroversial dari penelitian sebelumnya.

b.9. Faktor Lingkungan


Peran faktor lingkungan pada kemajuan demensia rumit. Aluminium terkait
dengan risiko demensia karena dapat bertindak sebagai kofaktor dalam perkembangan
demensia. Telah berspekulasi bahwa logam lain, seperti besi, tembaga dan seng,
terkait dengan demensia.
Beberapa nutrisi juga telah dikaitkan dengan risiko demensia. Misalnya, kadar
vitamin D serum lebih rendah di antara wanita dengan demensia ringan daripada di
antara mereka yang tidak. Selain itu, uji klinis telah menunjukkan bahwa vitamin E
tidak bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kognitif ringan pada tahap antara
penuaan normal dan tahap awal demensia. Beberapa makronutrien, seperti glukosa,
protein (triptofan dan tirosin) dan asam lemak tak jenuh, telah dikaitkan dengan
perubahan fungsi kognitif terkait usia di antara orang-orang dengan AD dan VaD.
Demensia dapat diperburuk melalui stress oksidatif sebagai akibat dari energi
yang lebih tinggi dan asupan antioksidan yang lebih rendah. Orang dengan AD atau
VaD memiliki pola diet yang sama, kecuali yang pertama mengkonsumsi lebih
banyak lemak hewani daripada yang kedua.126Selain itu, asupan berlebihan n-6 asam
lemak tak jenuh ganda (PUFA) atau kekurangann-3 PUFA dapat menyebabkan
peradangan kronis, agregasi trombosit, atau disfungsi endotel
mikrovaskular.126Paparan lingkungan sebelum timbulnya demensia mungkin
berpengaruh dan banyak faktor lingkungan yang belum diidentifikasi.
Peningkatan perawatan kesehatan dan perubahan gaya hidup, rentang hidup
yang lebih lama telah menyebabkan peningkatan jumlah orang dengan demensia. Di
era pasca-genom, kemajuan teknologi genotipe throughput tinggi, misalnya micro
array, dan alat statistik telah memungkinkan kita untuk menilai secara ekstensif
hubungan antara faktor genetik dan risiko demensia. Faktor lingkungan, yang belum
diidentifikasi dengan baik, mungkin juga memainkan peran penting dalam
patogenesis demensia. Penelitian di masa depan harus menekankan pada identifikasi
faktor risiko lingkungan baru, melakukan studi asosiasi seluruh genom pada tingkat
yang berbeda (DNA, RNA dan protein), mengeksplorasi interaksi antara factor
genetik dan lingkungan, dan memasukkan populasi non-Kaukasia, untuk mengungkap
etiologi dari demensia.

b.10. Riwayat penyakit vaskuler


Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang multipel yang
menimbulkan gejala berpola demensia. Ditemukan umumnya pada laki-laki,
khususnya dengan riwayat hipertensi dan faktor resiko kardiovaskuler lainnya.
Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang
yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkhim multipel yang menyebar
luas pada otak (gambar 2.2). Penyebab infark berupa oklusi pembuluh darah oleh plaq
arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat lain( misalnya katup jantung). Pada
pemeriksaan akan ditemukan bruit karotis, hasil funduskopi yang tidak normal atau
pembesaran jantung (gambar 2.3).2,3

Gambar.2.4. Makroskopis korteks serebral pada potongan koronal dari suatu kasus
demensia vascular. Infark lakunar bilateral multipel mengenai thalamus, kapsula
interna dan globus palidus.2

Gambar 2.5 Pasien dengan demensia kronik biasanya memerlukan perawatan


custodial. Pasien biasanya mengalami kemunduran perilaku, seperti menghisap
jari,khas pada jenis ini.2
Gambar 2.6 Gambaran Demensia Vaskular.8

iii. Epidemiologi
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Prevalensi demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada
kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5
persen, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20
hingga 40 persen.
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen
diantaranya menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia
tipe Alzheimer (Alzheimer’s diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer
meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun
prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan 0,8 persen pada wanita. Pada usia 90
tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien dengan demensia tipe Alzheimer
membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah (nursing home bed).
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia
vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi
merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia. Demensia
vaskuler meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia. Demensia
vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang berusia antara 60 hingga 70 tahun
dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien
menderita kedua jenis demensia tersebut.
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1
hingga 5 persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan
alkohol, dan berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan
pergerakan, misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson. Karena demensia
adalah suatu sindrom yang umum, dan mempunyai banyak penyebab, dokter harus
melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat pada seorang pasien dengan demensia
untuk menegakkan penyebab demensia pada pasien tertentu.

iv. Patofisiologi
Proses penyakit yang mendasari demensia belum sepenuhnya dipahami.
Dengan (kemungkinan) pengecualian VaD, semua melibatkan akumulasi patologis
dari protein asli: dalam kasus DA itu adalah plak ekstraseluler amiloid dan kusut
intraseluler dari tau hiperfosforilasi; di DLB itu adalah alpha-synuclein dalam bentuk
Lewy bodes; di FTLD beberapa penyebab telah diidentifikasi termasuk TDP-43 dan
protein ciri dari AD dan DLB dalam distribusi frontotemporal. Contoh lesi tersebut
dapat dilihat pada Gambar 1-4. Penting untuk diingat bahwa bukti dari proses ini juga
ditemukan post-mortem pada orang-orang yang tidak menunjukkan gangguan
kognitif sebelum kematian, dan bahwa pola-pola ini tidak eksklusif, muncul
bersamaan seperti yang sering mereka lakukan.

d.1. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Demensia


d.1.1. Demensia Alzheimer

Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya


Demensia. Dimana Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan
memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak
berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Pasien dengan
demensia Alzheimer harus mempunyai gangguan memori selain dengan
kemampuan mental lain seperti berfikir abstrak, penilaian, kepribadian,
bahasa, praksis dan visuospatial. Defisit yang terjadi harus cukup berat
sehingga mempengaruhi aktifitas kerja dan social secara bermakna.
Meski kausa demensia tipe Alzheimer tetap tidak diketahui, telah
dicapai kemajuan dalam memahami basis molekular adanya deposit
amiloid yang merupakan penanda utama neuropatologi gangguan ini.
Sejumlah studi mengindikasi- kan bahwa sebanyak 40 persen pasien
memiliki riwayat keluarga dengan demensia tipe Alzheimer: oleh karena
itu, faktor genetik dianggap memainkan peran dalam munculnya
gangguan ini. setidaknya pada beberapa kasus. Dukungan lain adanya
pengaruh genetik adalah angka kejadian bersama pada kembar
monozigotik. yang lebih tinggi daripada angka untuk kembar dizigotik
(masing- masing 43 persen versus 8 persen). Meskipun jarang pada
bebe- rapa kasus yang terdokumentasi dengan baik. gangguan ini di-
turunkan dalam keluarga melalui gen autosom dominan. Demensia tipe
Alzheimer telah terbukti berhubungan dengan kromosom 1. 14, dan 21.
Adapun kriteria diagnosa DSM-IV-TR untuk demensia tipe
Alzheimer adalah sebagai berikut:
1. Munculnya defisit kognitif multiple yang dimanifestasikan baik oleh:
(1) Hendaya memori (terganggunya kemampuan mempelajari
informasi baru atau mengingat informasi yang telah dipelajari
sebelumnya). (2) terdapatnya satu atau lebih gangguan kognitif
Afasia, Apraksia, Agnosia dan gangguan dalam melakukan fungsi
eksekutif.
2. Defisit kognitif pada kriteria 1 dan masing-masing menyebabkan
hendaya yang signifikan dalam fungsi social dan okupasional serta
menggambarkan penurunan tingkat kemampuan berfunsi sebelumnya
yang signifikan.
3. Perjalanan penyakit ditandai oleh awitan yang bertahap dan
penurunan kognitif yang kontinu.
4. Defisit tidak terjadi hanya pada saat delirium.
5. Gangguan ini tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan lain
pada aksis.

d.1.2. Demensia Vaskuler

Kausa primer demensia vaskular, dahulu disebut demensia


multi infark, diperkirakan adalah penyakit vaskular serebral multipel.
menyebabkan pola gejala demensia. Demensia vaskular paling sering
ditemukan pada pria. terutama mereka dengan hipertensi yang sudah ada
sebelumnya atau faktor risiko kardiovaskular lain. Gangguan ini
terutama memengaruhi pembuluh serebral berukuran kecil dan sedang,
yang mengalami infark dan menyebabkan lesi parenkim multipel yang
tersebar secara luas di otak. Kausa infark mungkin mencakup oklusi
pembuluh oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari asal yang
jauh (seperti katup jantung). Pemeriksaan pasien mungkin akan
mengungkapkan adanya bruit karotis, abnormalitas funduskopi. atau
bilik jantung yang membesar.
Adapun Kriteria Diagnosa DSM-IV-TR untuk Demensia
Vaskular adalah sebagai berikut:
1. Munculnya defisit kognitif multiple yang dimanifestasikan oleh: (1)
Hendaya memori, (2) satu atau lebih gangguan kognitif Afasia,
Apraksia, Agnosia dan gangguan dalam melakukan fungsi eksekutif.
2. Defisit kognitif pada kriteria 1 dan masing-masing menyebabkan
hendaya yang signifikan dalam fungsi social dan okupasional serta
menggambarkan penurunan tingkat kemampuan berfunsi sebelumnya
yang signifikan.
3. Tanda dan gejala neurologis fokal (seperti refleks tendon dalam yang
berlebihan, respon plantar ekstensor, pseudobulbar palsy,
abnormalitas cara berjalan dan kelemahan pada salah satu
ekstremitas) atau bukti laboratorium yang mengindikasikan adanya
penyakit serebrovaskular yang secara etiologi dianggap berhubungan
dengan gangguan tersebut.
4. Defisit tidak terjadi hanya pada saat delirium.

d.1.3. Demensia Akibat Kondisi Medis Umum Lain


Demensia yang terjadi pada penyakit medis seperti:
a. Penyakit Pick
Penyakit Pick ditandai oleh atrofi dalam jumlah yang lebih
besar di regio frontotemporal. Regio ini juga mengalami kehilangan
neuron, gliosis, dan munculnya jisim Pick neuronal, yaitu massa
elemen sitoskeletal. Jisim Pick terlihat pada beberapa spesimen
posmortem namun tidak penting untuk diagnosis. Kausa penyakit
Pick belum diketahui namun penyakit ini mencakup kurang lebih 5
persen dari semua demensia yang reversibel. Penyakit ini paling
sering terjadi pada pria, terutama mereka yang memiliki kerabat
keturunan pertama dengan kondisi ini. Penyakit Pick sulit dibedakan
dengan demensia tipe Alzheimer. meski stadium awal penyakit Pick
lebih sering ditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku,
dengan preservasi relatif fungsi kognitif lain. Gambaran sindrom
Klüver-Bucy (seperti hiperseksualitas, plasiditas, hiperolitas) lebih
sering dijumpai pada penyakit pick dibanding pada penyakit
alzheimer.

b. Penyakit Huntington
Penyakit Huntington secara klasik menyebabkan demensia.
Demensia yang tampak pada penyakit ini adalah demensia tipe
subkortikal, yang ditandai oleh lebih banyak abnormalitas motorik
dan lebih sedikit abnormalitas bahasa dibanding pada demensia tipe
kortikal. Demensia pada penyakit Huntington menunjukkan
perlambatan psikomotorik dan kesulitan dengan tugas yang rumit,
namun memori, bahasa, dan tilikan relatif tetap intak pada stadium
awal dan pertengahan penyakit. Namun, saat penyakit ini berlanjut,
demensianya menjadi komplet; gambaran yang membedakannya
dengan demensia tipe Alzheimer selain gangguan pergerakan
khoreoathetoid yang klasik adalah tingginya insidens depresi dan
psikosis.

c. Penyakit Parkinson
Seperti halnya penyakit Huntington, parkinsonisme adalah
penyakit pada ganglia basalis yang umumnya dikaitkan dengan
demensia dan depresi. Diperkirakan sekitar 20 sampai 30 persen
pasien dengan penyakit Parkinson mengalami demensia dan
tambahan 30 sampai 40 persen lainnya mengalami hendaya
kemampuan kognitif yang terukur. Lambatnya pergerakan pada
pasien dengan penyakit Parkinson sejajar dengan kelambatan berpikir
pada beberapa pasien, suatu gambaran yang disebut oleh para klinisi
sebagai bradifrenia.

d. Demensia terkait HIV


Infeksi HIV biasanya akan mengarah ke demensia dan gejala
psikiatri lain. Pasien yang terinfeksi HIV mengalami demensia
dengan angka tahunan sekitar 14 persen. Diperkirakan sekitar 75
persen pasien AIDS memiliki keterlibatan sistem saraf pusat pada
saat otopsi. Timbulnya demensia pada orang yang terinfeksi HIV
sering sejajar dengan gambaran abnormalitas parenkim pada
pemindaian MRI, Demensia infeksius lain disebabkan oleh
Kriptokokus.

e. Demensia Terkait Trauma Kepala


Demensia dapat merupakan sekuele trauma kepala,
sebagaimana halnya serangkaian luas sindrom neuropsikiatri lain,
termasuk neurosifilis.
Adapun kriteria diagnosa DSM-IV-TR untuk demensia akibat
kondisi medis umum lainnya adalah sebagai berikut:
1. Munculnya defisit kognitif multiple yang dimanifestasikan oleh:
(1) Hendaya memori, (2) satu atau lebih gangguan kognitif Afasia,
Apraksia, Agnosia dan gangguan dalam melakukan fungsi
eksekutif.
2. Defisit kognitif pada kriteria 1 dan masing-masing menyebabkan
hendaya yang signifikan dalam fungsi social dan okupasional serta
menggambarkan penurunan tingkat kemampuan berfunsi
sebelumnya yang signifikan.
3. Terdapat bukti anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium bahwa gangguan tersebut merupakan konsekuensi
fisiologi langsung dari suatu kondisi medis umum selain penyakit
Alzheimer atau penyakit serebrovaskular.
4. Defisit tidak terjadi hanya pada saat delirium.

d.1.4. Demensia Persisten Terinduksi Zat

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk demensia persisten


terinduksi zat adalah sebagai berikut:
1. Munculnya defisit kognitif multiple yang dimanifestasikan oleh: (1)
Hendaya memori, (2) satu atau lebih gangguan kognitif Afasia,
Apraksia, Agnosia dan gangguan dalam melakukan fungsi eksekutif.
2. Defisit kognitif pada kriteria 1 dan masing-masing menyebabkan
hendaya yang signifikan dalam fungsi social dan okupasional serta
menggambarkan penurunan tingkat kemampuan berfunsi sebelumnya
yang signifikan.
3. Defisit tidak terjadi hanya pada saat delirium dan bertahan melampaui
durasi yang umum pada intoksikasi atau keadaan putus zat.
4. Terdapat bukti anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium bahwa defisit tersebut secara etiologi berkaitan dengan
efek persisten penggunaan zat.

d.1.5. Demensia YTT

Pada demensia ini memiliki kriteria diagnosis DSM-IV-TR adalah


kategori ini sebaiknya digunakan untuk mendiagnosis demensia yag tidak
memenuhi kriteria spesifik yang dideskripsikan oleh demensia lainnya.
Pada demensia ini kurangnya daya nilai dan pengendalian impuls yang
buruk biasanya tampak.

v. Manifestasi Klinis
Perubahan Psikiatrik dan Neurologis
Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya
akan mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin dapat
menonjol selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga menjadi
tertutup serta menjadi kurang perhatian dibandingkan sebelumnya. Seseorang dengan
demensia yang memiliki waham paranoid umumnya lebih cenderung memusuhi
anggota keluarganya dan pengasuhnya. Pasien yang mengalami kelainan pada lobus
fraontalis dan temporalis biasanya mengalami perubahan kepribadian dan mungkin
lebih iritabel dan eksplosif.

Halusinasi dan Waham


Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama pasien
dengan demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga 40 persen
memiliki waham, terutama waham paranoid yang bersifat tidak sistematis, meskipun
waham yang sistematis juga dilaporkan pada pasien tersebut. Agresi fisik dan bentuk-
bentuk kekerasan lainnya lazim ditemukan pada pasien dengan demensia yang juga
memiliki gejala-gejala psikotik.

Mood
Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan
kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien
dengan demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10
hingga 20 persen pasien. Pasien dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan
emosi yang ekstrem tanpa provokasi yang nyata (misalnya tertawa dan menangis
yang patologis).

Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia
dan agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-
tanda neurologis lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu
ditemukan kira-kira pada 10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20
persen pada pasien dengan demensia vaskuler. Refleks primitif seperti refleks
menggenggam, refleks moncong (snout), refleks mengisap, refleks tonus kaki serta
refleks palmomental dapat ditemukan melalui pemeriksaan neurologis pada 5 hingga
10 persen pasien.
Untuk menilai fugsi kognitif pada pasien demensia dapat digunakan The Mini
Mental State Exam (MMSE).
Gambar.2.10. Test menggambar jam pada salah penilaian MMSE.

Pasien dengan demensia vaskuler mungkin mempunyai gejala-gejala


neurologis tambahan seperti sakit kepala, pusing, kepala terasa ringan, kelemahan,
tanda defisit neurologis fokal terutama yang terkait dengan penyakit serebro-vaskuler,
pseudobulber palsy, disartria, dan disfagia yang lebih menonjol dibandingkan dengan
gejala-gejala diatas pada jenis-jenis demensia lainnya.2
Reaksi Katastrofik
Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh
Kurt Goldstein disebut “perilaku abstrak”. Pasien mengal ami kesulitan untuk
memahami suatu konsep dan menjelaskan perbedaan konsep-konsep tersebut. Lebih
jauh lagi, kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah, berpikir logis, dan
kemampuan menilai suara juga terganggu. Goldstein juga menggambarkan reaksi
katastrofik berupa agitasi terhadap kesadaran subyektif dari defisit intelektual dalam
kondisi yang penuh tekanan. Pasien biasanya mengkompensasi defek yang dialami
dengan cara menghindari kegagalan dalam kemampuan intelektualnya, misalnya
dengan cara bercanda atau dengan mengalihkan pembicaraannya dengan pemeriksa.
Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim, biasanya
ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus frontalis.
Contoh dari kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar, bercanda dengan
tidak wajar, ketidakpedulian terhadap penampilan dan kebersihan diri, serta sikap
acuh tak acuh dalam hubungan sosialnya.

Sindrom Sundowner
Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung, ataksia
dan terjatuh secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada pasien yang berumur
lebih tua yang mengalami sedasi yang berlebihan dan penderita demensia yang
bereaksi secara berlebihan terhadap obat-obat psikoaktif bahkan dengan dosis yang
kecli sekalipun. Sindrom tersebut juga muncul pada pasien demensia saat sitmulus
eksternal seperti cahaya dan isyarat interpersonal dihilangkan.2

Klasifikasi
Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit,
kerusakan struktur otak,sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).
(a) Menurut Umur:1
 Demensia senilis (>65th)
 Demensia prasenilis (<65th)

(b) Menurut perjalanan penyakit:


 Reversibel
 Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, Defisiensi
vitamin B, Hipotiroidism, intoksikasi Pb)

(c) Menurut kerusakan struktur otak


 Tipe Alzheimer
 Tipe non-Alzheimer
 Demensia vaskular
 Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)
 Demensia Lobus frontal-temporal
 Demensia terkait dengan HIV-AIDS
 Morbus Parkinson
 Morbus Huntington
 Morbus Pick
 Morbus Jakob-Creutzfeldt
 Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker
 Prion disease
 Palsi Supranuklear progresif
 Multiple sklerosis
 Neurosifilis
 Tipe campuran

(d) Menurut sifat klinis:


 Demensia proprius
 Pseudo-demensia

Berdasarkan PPDGJ III demensia termasuk dalam F00-F03 yang merupakan


gangguan mental organik dengan klasifikasinya sebagai berikut ;
F 00 Demensia pada penyakit Alzheimer
F00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini
F00.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan Onset Lambat
F00.2 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan, tipe tidak khas atau tipe campuran
F00.9 Demensia pada penyakit Alzheimer YTT (Yang Tidak Tergolongkan)
F 01 Demensia Vaskular
F01.0 Demensia Vaskular Onset akut
F01.1 Demensia Vaskular Multi-Infark
F01.2 Demensia Vaskular Sub Kortikal
F01.3 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
F01.8 Demensia Vaskular lainnya
F01.9 Demensia Vaskular YTT
F02 Demensia pada penyakit lain
F02.0 Demensia pada penyakit PICK
F02.1 Demensia pada penyakit Creutzfeldt-Jakob
F02.2 Demensia pada penyakit Huntington
F02.3 Demensia pada penyakit parkinson
F02.4 Demensia pada penyakit HIV
F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT –YDK (Yang Di -Tentukan-Yang Di-
Klasifikasikan ditempat lain)
F03 Demensia YTT

Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada F00-F03


sebagai berikut :
1. .X0 Tanpa gejala tambahan
2. .X1 Gejala lain, terutama waham
3. .X2 Halusinasi
4. .X3 Depresi
5. .X4 Campuran lain

vi. Diagnosis
Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR, untuk demensia tipe
Alzheimer’s (Tabel 2.2) , Demensia vaskuler (Tabel 2.3), Demensia karena kondisi
medis lainnya (Tabel 2.4), Demensia menetap akibat zat (Tabel 2.5), Demensia
karena penyebab multipel (Tabel 2.6), Dan demensia yang tidak ditentukan (NOS; not
otherwise specified) (Tabel 2.7).
Diagnosis demensia berdasarkan pemeriksaan klinis, termasuk pemeriksaan
status mental, dan melalui informasi dari pasien, keluarga, teman dan teman sekerja.
Keluhan terhadap peerubahan sifat pasien dengan usia lebih tua dari 40 tahun
membuat kita harus mempertimbangan dengan cermat untuk mendiagnosis dimensia.
Untuk membantu diagnosis, dapat digunakan tes neuropsikologis standar,
yaitu mini mental state examination (MMSE), Montreal Cognitive
Assessment (MoCA), Alzheimer’s Disease Assessment Scale-Cognitive
Section (ADAS-Cog), dan Mattis Dementia Rating Scale (MDRS).
Anamnesis mencakup awitan, pola perubahan dominan kognisi dan non
kognisi serta perjalanan penyakit. Riwayat medis umum, neurologi, psikiatri, obat-
obatan dan riwayat keluarga perlu untuk ditanyakan. Anamnesis dilakukan pada
pasien,keluarga untuk mencari defisit kognitif, perubahan perilaku dan gejala
demensia lainnya.

Anamnesis

o keluhan utama pasien


o sejak kapan gejala dirasakan (biasanya gejala terjadi secara tiba-tiba.)
o bagaimana perjalanan penyakitnya (biasanya progresif dan perlahan).
o adakah defisit kognitif (disfungsi eksekutif, apraksia, agnosia, gangguan
visuospasial)
o perubahan perilaku dan mood ( depresi, ansietas, agitasi, perubahan pola makan)
o mengalami gangguan tidur, halusinasi.
o riwayat berobat dan minum obat.
o adakah faktor resiko ( hipertensi, DM, penyakit jantung, firbrilasi atrium, riwayat
stroke)
o apakah penderita peminum alkohol yang kronik atau pengkonsumsi obat-obatan
yang dapat menurunkan fungsi kognitif seperti obat tidur dan antidepresan.
o Adakah keluarga yang mengalami demensia atau riwayat penyakit serebrovaskulr.
o riwayat pribadi sosial seperti : pekerjaan, status perkawinan, tempat tinggal,
kebiasaan sehari-hari.

Pemeriksaan Fisik

o pemeriksaan fisik umum : keadaan umum, tanda vital


o pemeriksaan neurologi
o pemeriksaan kognisi / fungsional
o pemeriksan kognisi sederhana
o pemeriksaan kognisi lengkap
o pemeriksaan aktivitas fungsional

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan untuk mengetahui penyebab


demensia dan membedakan demensia dengan diagnosis banding yang lain. Diagnosis
banding dementia yang tersering adalah delirium, mild cognitive impairment (MCI),
dan depresi.
o Untuk pemantauan progresitas dan derajat keparahan demensia
- CDR
- Global deterioration scale

o Untuk mendetiksa adanya gejala non kognisi


- GDS
- NPI

o Pemeriksaan kognisi sederhana :


- AD8-INA
- MMSE
- CDT
- MoCA-INA
o Pemeriksaan kognisi lengkap :
- CERAD
o Pemeriksaan aktivitas fungsional
- ADL/IADL Katz atau Lawton

D. Pemeriksaa MMSE
MMSE adalah pemeriksaan kognitif yang menjadi bagian rutin pemeriksaan
untuk menegakkan diagnosis demensia. Pemeriksaan ini diindikasikan terutama pada
pasien lanjut usia yang mengalami penurunan fungsi kognitif, kemampuan berpikir, dan
kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Proses deteriorasi ini umumnya
disertai dengan perubahan status mental (mood dan emosi) dan perilaku.
MMSE adalah alat deteksi dan penunjang diagnostik, namun tidak bisa
digunakan sebagai kriteria tunggal untuk penegakan diagnosis dementia. MMSE
merupakan pemeriksaan yang terdiri dari 11 item penilaian yang digunakan untuk
menilai atensi dan orientasi, memori, registrasi, recall, kalkulasi, kemampuan bahasa,
dan kemampuan untuk menggambar poligon kompleks. Rentang skor MMSE adalah 1-
30, dengan cut off  24. Skor yang lebih rendah dari 24 menunjukkan adanya gangguan
kognitif.

NILAI
NO TES
MAKSIMAL

ORIENTASI

1 Sekarang (tahun), (musim), (Bulan), (tanggal), Hari apa ? 5

2 Kita berada dimana? (Negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit), 5


(lantai/kamar)

REGISTRASI

3 Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, atau koin), setiap benda 1 3
detik, pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1
untuk setiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat
menyebut dengan benar dan catat jumlah pengulangan.
ATENSI DAN KALKULUS

4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. 5


Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata
“WAHYU” (Nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan ;
misalnya uyahw = 2 nilai.

MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

5 Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 3

BAHASA

6 Pasien disuruh menyebut nama benda yang ditunjukkan (pensil, 2


buku)

7 Pasien disuruh mengulangi kata-kata: “namun”, “tanpa”, “bila”. 1

8 Pasien disuruh melakukan perintah : “Ambil kertas ini dengan 3


tangan anda!, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai!”.

9 Pasien disuruh membaca dan melakukan perintah “Pejamkanlah 1


mata anda”

10 Pasien disuruh menulis dengan spontan 1

11 Pasien disuruh menggambar bentuk di bawah ini 1

Total 30

Skor
 Nilai 24-30 : Normal
 Niali 17-23 : Gangguan kognitif Probable
 Nilai 0-16 : Gangguan kognitif definitif
E. Korelasi Demensia dan Stroke
e.1. Pengantar
Pasien stroke berisiko mengalami demensia; prevalensi demensia 3 bulan
setelah stroke iskemik, pada pasien berusia di atas 60 tahun, ditemukan 26,3%, yaitu
sembilan kali lipat lebih tinggi daripada kontrol. Satu tahun setelah stroke,
kemungkinan timbulnya demensia baru adalah 5,4% pada pasien.
Lebih dari 60 tahun dan 10,4% pada pasien di atas 90 tahun. Empat tahun
setelah infark lakunar pertama, 23,1% pasien mengalami demensia, yaitu 4-12 kali
lebih banyak daripada kontrol.
Pada beberapa pasien stroke, demensia memiliki onset progresif dan
perjalanan penyakit yang menunjukkan proses degeneratif. Perubahan white matter,
sering dikaitkan dengan stroke dan penyakit Alzhei-mer (AD), mungkin juga
berkontribusi terhadap penurunan kognitif. Demensia karena penyakit vaskular adalah
salah satu demensia yang jarang dapat dicegah tetapi, ketika patologi Alzhei-mer
dikaitkan, pencegahan sekunder mungkin memiliki efek yang lebih kecil pada
penurunan kognitif. Selain itu, pasien-pasien ini memerlukan jenis manajemen yang
berbeda.

e.2. Pembahasan
(a) Konsekuensi langsung dari lesi serebrovaskular
Pada penyakit pembuluh darah besar dan pada sumber jantung iskemia
serebral, demensia sering kali dibayangi oleh keparahan gejala sisa neurologis.
Meskipun volume total infark serebral mungkin berkontribusi pada
patogenesis demensia, volume kehilangan jaringan fungsional mungkin lebih
penting karena juga mencakup efek dari "jaringan yang mengalami infark
tidak lengkap" dan korteks yang mengalami deferen. Oleh karena itu,
demensia merupakan masalah yang menonjol terutama pada infark lakunar.
Dalam empat keadaan berikut, lesi serebrovaskular cenderung menjadi satu-
satunya penyebab demensia.

1. Infark strategis dengan fungsi kognitif normal sebelumnya


Kadang-kadang, keadaan kognitif, cenderung normal sebelum
stroke, terganggu segera setelah stroke dan tidak menurun seiring waktu:
demensia kemudian terkait dengan infark tunggal yang terletak di area
"strategis" seperti talamus, girus angularis, dan nukleus kaudatus.

2. Status lakunar
Infark lakunar berhubungan dengan lipohyalinosis dan degenerasi
fibrinoid segmental pada dinding perforator dalam tanpa gambaran khas
ateroma. Usia dan hipertensi arteri merupakan faktor risiko utama
vaskulopati ini.

3. Angiopati amiloid cystatin C herediter


Angiopati amiloid cystatin C herediter, sebelumnya disebut
"perdarahan serebral herediter dengan amiloidosis, tipe Ice-landic", adalah
kelainan dominan autosomal yang telah dijelaskan di beberapa keluarga
dari Islandia. Perdarahan otak berulang terjadi sebelum usia 40 tahun dan
dapat menyebabkan demensia. Pada otopsi, pasien mengalami perdarahan
intraserebral yang luas, hialinisasi yang luas pada dinding arteri kecil,
deposit amiloid yang luas pada dinding arteri serebral dan leptomeningeal,
tanpa gambaran Alzheimer.

4. Arteriopati dominan autosomal serebral dengan infark subkortikal


dan leukoensefalopati (CADASIL)
CADASIL adalah penyakit autosomal dominan dari arteri kecil otak
yang menyebabkan infark lakunar dan demensia. Analisis genetik
menunjukkan hubungan dengan kromosom 19q12. Gejala klinis pertama
biasanya terjadi antara usia 30 dan 50 tahun. Sebagian besar pasien tidak
memiliki dari faktor risiko vaskular. Demensia biasanya memiliki
perjalanan bertahap dan juga dapat berkembang secara progresif tanpa
episode serebrovaskular. Pencitraan resonansi magnetik menunjukkan
infark lakunar dan area konfluen dan simetris dari peningkatan intensitas
sinyal di substansia alba subkortikal, Lesi yang mendasarinya adalah
vaskulopati luas yang mempengaruhi arteri penetrasi dengan diameter
kurang dari 400 m, yang menebal oleh bahan granular, eosinofilik, non-
amiloid, padat elektron di media yang berbeda dari endapan arteriosklerotik
dan amiloid.
Dalam empat keadaan ini, demensia kemungkinan merupakan
konsekuensi langsung dari lesi vaskular otak, meskipun kontribusi perubahan
white matter mungkin terjadi pada tiga keadaan terakhir.

(b) Patologi Alzheimer terkait


1. Patologi terkait degenerative
Beberapa demensia pasca-stroke memiliki perjalanan progresif
yang menunjukkan proses degeneratif daripada proses vaskular. Selain
itu, demensia progresif ringan mungkin ada sebelum stroke dan tidak
dikenali oleh keluarga: dalam studi komunitas, prevalensi semua jenis
demensia adalah 2% pada usia antara 65 dan 74 tahun, dan di atas 10%
pada usia antara 75 tahun, dan 84 tahun, oleh karena itu, angka serupa
diharapkan secara kebetulan pada pasien stroke. Hénon et al. demensia
pra-stroke yang tidak diketahui dapat berkontribusi pada peningkatan 50%
dalam tingkat kejadian AD 1 tahun setelah stroke iskemik pertama yang
dilaporkan oleh Kokmen et al. Prevalensi dari demensia pra-stroke telah
dievaluasi hanya dalam satu penelitian diperkirakan 18% pada pasien
dengan usia rata-rata 73 tahun. Perjalanan gejala yang progresif lambat
pada demensia pra-stroke sangat menunjukkan asal degeneratif
BAB III
KESIMPULAN

Kemampuan otak manusia dalam proses berpikir menyebabkan manusia dapat


memilah-milah tindakan yang dapat menguntungkan kelangsungan hidupnya. Dari
waktu ke waktu manusia terus mengalami perkembangan. Sistim limbik dan
serebelum berperan dalam pikiran dan otak. Fungsi kognitif adalah merupakan
aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan
bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan,
pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai,
mengawasi dan melakukan evaluasi.

Anda mungkin juga menyukai