OLEH:
EGA SILVIA
DOSEN :
Reny chaidir, S.Kep,M.Kep
SUMATERA BARAT,BUKITTINGGI
TP:2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Atas rahmat dan karunia_Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Efusi
Pleura”.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini yang tentunya
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kelompok kami selalu membuka diri untuk setiap saran
dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan pembelajaran.
Kata pengantar ini penulis mohon maaf dan memohon pemakluman bila mana isi
makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung
perasaan pembaca,kami tau bahwa karya ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga kami dapat
menyempurnakan karya tulis ini.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terimakasih dan
semoga allah swt memberkahi makalah ini sehingga dapat bermanfaat
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................
1.1Latar Belakang................................................................................................................
1.2.Rumusan Masalah..........................................................................................................
1.3.Tujuan Masalah.............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................
2.2. Definisi.........................................................................................................................
2.3. Etiologi.........................................................................................................................
2.4. Patofisiologi..................................................................................................................
2.5.Pathway.........................................................................................................................
2.6.Manifestasi Klinis..........................................................................................................
2.7. Algoritma......................................................................................................................
2.8.Pemeriksaan Penunjang.................................................................................................
2.8.Penatalaksanaan.............................................................................................................
2.9.Komplikasi.....................................................................................................................
3.1. pengkajian.....................................................................................................................
3.2. diagnosa........................................................................................................................
3.3. intervensi......................................................................................................................
3.4. Implementasi................................................................................................................
3.5. Dokumentasi.................................................................................................................
BAB IV EVIDEN BASE.....................................................................................................
4.1. Problem.........................................................................................................................
4.2. Question........................................................................................................................
4.3. References....................................................................................................................
4.4. Evidence.......................................................................................................................
BAB V PENUTUP..............................................................................................................
3.1.Kesimpulan....................................................................................................................
DAFTAR PUSTKA.............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Efusi pleura merupakan penumpukan cairan pada rongga pleura. Cairan pleura
normalnya merembes secara terus menerus ke dalam rongga dada dari kapiler-kapiler yang
membatasi pleura parietalis dan diserap ulang oleh kapiler dan sistem limfatik pleura viseralis.
Kondisi apapun yang mengganggu sekresi atau drainase dari cairan ini akan menyebabkan efusi
Akumulasi cairan yang berlebihan di dalam rongga pleura disebut efusi pleura. Efusi
pleura disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura.
Keadaan tersebut terjadi karena pengaruh tekanan hidrostatik dan onkotik di kapiler paru-paru,
peningkatan permeabilitas kapiler membran pleura, dan obstruksi limfatik (Brogi et al., 2017).
Efusi pleura merupakan proses penyakit primer yang jarang terjadi, tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunter terhadap penyakit lain. Kemungkinan penyebab efusi antara lain
penghambatan drainase limfatik dari rongga pleura, gagal jantung yang menyebabkan tekanan
kapiler paru dan tekanan perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan
yang berlebih kedalam rongga pleura, sangat menurunnya tekanan osmotic kolora plasma, jadi
juga memungkinkan transudasi cairan yang berlebih, infeksi atau setiap penyebab peradangan
apapun pada permukaan pleura dari rongga pleura, yang memecahkan membrane kapiler dan
memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan kedalam rongga secara cepat. Efusi pleura
berarti terjadi pengumpulan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum. Penumpukan cairan di
rongga paru berakibat pada penekanan paru – paru sehingga pengembangan atau ekspansi
paru akan menurun dan mengakibatkan ketidakefektifan pola nafas. (Nanda, 2015-2017).
Penyebab efusi pleura sendiri sangatlah beragam, dinegara bagian barat efusi pleura
dapat disebabkan karena gagal jantung kongesti, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia
bakteri, sedangkan di negara berkembang seperti Indonesia banyak disebabkan karena infeksI
(Fari, 2018)
Badan Kesehatan Dunia WHO (2018) memperkirakan jumlah kasus efusi pluera di
seluruh dunia cukup tinggi menduduki urutan ke tiga setelah kanker paru sekitar 10-15 juta
dengan 100-250 ribu kematian tiap tahunnya. Efusi pleura suatu disease entity dan merupakan
suatu gejala penyakit yang serius yang dapat mengancam jiwa penderita. Tingkat kegawatan
pada efusi pleura ditentukan oleh jumlah cairan, kecepatan pembentukan cairan dan tingkat
penekanan paru. Di indonesia ialah 715.000 kasus pertahun dan merupakan penyebab kematian
urutan ketiga setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan. Pada kasus pasien laki-
laki, berusia 35 tahun dengan keluhan sesak napa, mengeluh batuk lama dan kambuh-
kambuhan,demam hingga timbul keringat malam, sesak yang dirasakan klien terjadi dikarenakan
Pada data Morbiditas pasien rawat inap rumah sakit, efusi pleura atau gangguan sistem
pernafasan pada Rumah Sakit di Provinsi Jawa barat pada tahun 2019 penyakit efusi pleura telah
didapatkan dari usia anak 1-4 tahun ke atas dan 99% lebih banyak pada anak dengan jenis
kelamin perempuan, dan pada usia 5 tahun ke atas tingkat efusi pleura 80% lebih banyak pada
jenis kelamin laki-laki. Angka kematian efusi pleura di RSU Dr.Slamet Kabupaten Garut
Provinsi Jawa barat masih terbilang rendah 7 orang dan angka Penderita efusi pleura yang hidup
197 orang yang tercatat.(Data Morbiditas, 2019). Jumlah kasus yang tercatat di ruang rawat
khusu penyakit paru , sejak bulan Januari sampai dengan Desember penyakit Epusi Pleura yang
berada pada urutan kedua dalam10 kasus penyakit terbesar yang sering terjadi di ruangan
tersebut dengan jumlah 149 kasus dalam 1 tahun terakhir. Bahwa Epusi pleura dapat disebabkan
oleh gagal jantung kongestif dan pneumoni bakteri.di indonesia kasus Epusi Pleura mencapai
2,7% dari penyakit saluran napas lainnya. Yang dimana urutan petama dari 10 kasus penyakit
terbesar diruangan tersebut yaitu penyakit TB Paru dengan jumlah kasus mencapai 1317 orang.
(Medrec, 2019).
Gejala-gejala yang timbul karena penyakit Epusi Pleura sangat umum dan dapat
ditemukan pada penyakit lain seperti sesak napas, batuk kering, dan nyeri dada pleuritik. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan bunyi redup saat dilakukan perkusi, berkurangnya vokal
fremitus saat dilakukan palpasi, dan penurunan bunyi napas pada auskultasi paru. (Tobing,
E.2013) Efusi Pleura digolongkan dalam tipe transudat dan eksudat, berdasarkan terbentuknya
cairan dan biokimiawi cairan Pleura. Transudat timbul karena ketidak seimbangan antara tekanan
onkotik dan tekanan hidrostatik, sementara eksudat timbul akibat peradangan Pelura atau
berkurangnya drainase limfatik. Pada beberapa kasus cairan Pleura yang di hasilkan dapat saja
Pada klien Epusi Pleura akan terjadi pembentukan cairan yang berlebihan,karena radang
hambatan rebsosi cairan dari rongga Pleura karena adanya bendungan seperti pada
dekompensasi kordis,penyakit ginjal,tumor madiatinum, tumor ovarium dan sindrom vena kava
terjadinya atelektasis pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan oleh penekanan
akibat penumpukan ciran Pleura, fibrosis paru dimana keadaan patologis terdapat jaringan ikat
paru dalam jumlah yang berlebihn,empisema dimana terdapat kumpulan nanah dalam rongga
Mampu memahami asuhan keperawatan kritis pada klien yang mengalami Efusi
Pleura
2. Tujuan Khusus
Efusi Pluera .
Efusi Pluera.
Efusi Pluera
BAB II
KONSEP TEORI
Plaura merupakan struktur pelengkap dari system pernapasan yang berfungsi sebagai
struktur penunjang yang dibutuhkan dalam proses berjalannya system pernapasan tersebut.
Struktur pelengkap lainnya yaitu dinding pada dada yang tersusun dari iga dan otot, otot
abdomen, diafragma maupun pleura itu sendiri.
1. Anatomi Pleura
Pleura adalah suatu membrane serosa yang melapisi permukaan dalam dinding thoraks di
bagian kanan dan kiri, melapisi permukaan superior diafragma kanan dan kiri, melapisi
mediastinum kanan dan kiri (semuanya disebut pleura parietalis), kemudian pada pangkal paru,
membrane serosa ini berbalik melapisi paru (pleura viseralis) pleura viseralis dapat berinvaginasi
mengikuti fisura yang terbagi pada setiap lobus paru (Darmanto, 2016).
a. Pleura viseralis
Pleura viseralis adalah pleura yang berada pada permukaan paru, terdiri dari satu lapis sel
mesothelial yang tipis < 30µm yang terletak di permukaan bagian luarnya. Terdapat sel-
sel limfosit yang berada diantara celah-celahnya. Endopleura yang berisikan fibrosit dan
histiosit berada di bawah sel-sel mesothelial, dan di bawahnya merupakan lapisan tengah
berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastis. Sedangkan pada lapisan paling bawah
terdapat jaringan interstitial subpleura, didalamnya banyak mengandung pembuluh darah
kapiler.
b. Pleura Parietalis
Pleura parietalis yaitu pleura yang letaknya berbatasan dengan dinding thorax, memiliki
jaringan yang lebih tebal yang tersusun dari sel-sel mesothelial dan juga tersusun dari
jaringan ikat seperti kolagen dan elastis. Sedangakan jika pada jaringan ikat tersebut
banyak tersusun kapiler dari intercostalis dan mamaria interna, pada pembuluh limfe
banyak terdapat reseptor saraf sensoris yang sangat peka terhadap rangsangan rasa sakit
dan juga perbedaan temperature. Yang keseluruhannya tersusun dari intercostalis pada
dinding dada dan alirannya pun akan sesuai dengan dermatom dada. Sehingga dapat
mempermudah dinding dada yang berada di atasnya menempel dan melepas. Sehingga
berfungsi untuk memproduksi cairan pleura.
Kedua lapisan pleura tersebut saling berkaitan dengan hilus pulmonalis yang berfungsi
sebagai penghubung pleura (ligament pulmonalis). Pada lapisan pleura ini terdapat
rongga yang dinamakan cavum pleura. Cavum pleura memiliki sedikit kandungan cairan
pleura yang berfungsi untuk menghindari adanya gesekan antar pleura saat sedang
melakukan proses pernapasan (Saferi & Mariza, 2013).
2. Fisiologi Pleura
Pleura memiliki fungsi mekanik yaitu melanjutkan tekanan negative thorax ke daerah
paru-paru, sehingga paru dapat mengembang karena elastis. Dalam waktu istirahat (resting
pressure) tekanan H2O dalam pleura adalah sekitar -2 sampai -5 cm, sedikit bertambah negative
di apex saat dalam posisi berdiri. Saat inspirasi tekanan negative dalam pleura meningkat
menjadi -25 sampai -35 H2O. Selain fungsi mekanik, rongga pleura steril karena mesothelial
mampu bekerja melakukan fagositesis benda asing dan cairan dalam rongga pleura yang
diproduksi bertindak sebagai lubrikans.
Cairan dalam rongga pleura sangatlah sedikit, sekitar 0,3 ml/kg, bersifat hiponkotik
dengan konsentrasi protein dalam cairan sekitar 1 gr/dl. Produksi dan reabsorbsi cairan di rongga
pleura kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh gerakan pernafasan dan gravitasi paru. Lokasi
reabsorbsi terjadi pada pembuluh limfe pleura parietalis dengan kecepatan 0,1 sampai 0,5
ml/kg/jam. Bila terjadi gangguan produksi dan reabsorbsi maka akan mengakibatkan terjadinya
efusi pleura (Saferi & Mariza, 2013).
2.2. DEFINISI
Efusi pleura merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan adanya penumpukan cairan
pada rongga pleura yang berada di permukaan pleura visceral dan pleura pariental.
Efusi pleura merupakan kondisi dimana terdapat cairan berlebih pada cavitas pleuralis yang
disebabkan oleh meningkatnya produksi atau berkurangnya absorpsi cairan pleura. Cairan ini
bersumber dari pembuluh darah atau pembuluh limfe atau adanya abses yang di drainase ke
cavitas pleuralis. Efusi pleura merupakan manifestasi dari penyakit paru dan inflamasi sistemik
(Dwianggita P, 2016).
Efusi pleura adalah penyakit primer yang termasuk jarang terjadi akan tetapi terhadap
penyakit lain efusi pleura merupakan penyakit sekunder. Selain berisi cairan, dalam efusi pleura
juga terdapat penumpikan pus dan darah. Efusi pleura merupakan salah satu penyakit yang dapat
mengancam jiwa (Saferi & Mariza, 2013).
Efusi pleura merupakan penyakit sekunder dari penyakit lain, secara normal ruang pleura
mengandung cairan (5-15ml) yang berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan
pleura bergerak tanpa adanya friksi (Imelda Puspita & Tri Umiana, 2017).
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang
berlebihan di dalam rongga pleura akibat transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari
permukaan pleura. Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung
sejumlah kecil cairan (5 sampai 15 ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan
permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi. (Sudoyo, 2010 & Charisma, 2011).
Efusi pleura merupakan suatu akumulasi cairan yang abnormal didalam kavum pleura yang
disebabkan karena adanya gangguan homeostatik berupa adanya produksi cairan yang berlebihan
atau karena adanya penurunan absorpsi cairan. Efusi pleura ini dapat disebabkan dari penyakit-
penyakit yang berasal dari pleura,proximal paru maupun ekstrapulmonal.
2.3. ETIOLOGI
1. Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat. Transudat
terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi
terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorbsi oleh
pleura lainnya. Biasanya hal ini terdapat pada:
2. Eksudat
Eksudat merupakan cairan pleura yang terbentuk melalui membran kapiler yang permeable
abnormal dan berisi protein transudat. Terjadinya perubahan permeabilitas membrane adalah
karena adanya peradangan pada pleura misalnya: infeksi, infark paru atau neoplasma. Protein
yang terdapat dalam caira pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran
protein getah bening ini akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura,
sehingga menimbulkan eksudat.
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain: infeksi (tuberkulosis, pneumonia) tumor pada
pleura, infark paru, karsinoma bronkogenik radiasi, penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE
(Sistemic Lupus Eritematosis).
Penyakit –penyakit yang dapat menyebabkan efusi pleura (perhimpunan dokter spesialis
penyakit dalam, 2009)
1. Infeksi
2. Non infeksi
Sedangkan penyakit non infeksi yang dapat menyebabkan efusi pleura antara lain: Ca paru,
Ca pleura (primer dan sekunder), Ca mediastinum, tumor ovarium, bendungan jantung (gagal
jantung), perikarditis konstruktifa, gagal hati, gagal ginjal.
2.4.PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura parietalis dan pleura
viceralis, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan antara 10 cc - 20 cc yang merupakan
lapisan tipis serosa dan selalu bergerak teratur. Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara
kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Di ketahui bahwa cairan
di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbsi tersebut dapat terjadi karena adanya
tekanan hidrostatik pada pleura parietalis dan tekanan osmotic koloid pada pleura viceralis.
Cairan kebanyakan diabsorbsi oleh system limfatik dan hanya sebagian kecil diabsorbsi oleh
system kapiler pulmonal.
Hal yang memudahkan penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah terdapatnya
banyak mikrovili disekitar sel-sel mesofelial. Jumlah cairan dalam rongga pleura tetap karena
adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi. Keadaan ini bisa terjadi karena adanya
tekanan hidrostatik dan tekanan osmotic koloid. Keseimbangan tersebut dapat terganggu oleh
beberapa hal, salah satunya adalah infeksi tuberkulosa paru .
Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil Mikobakterium tuberkulosa masuk
melalui saluran nafas menuju alveoli, terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer ini akan
timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (Limfangitis local) dan juga diikuti dengan
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limphadinitis regional). Peradangan pada saluran getah
bening akan mempengaruhi permebilitas membran. Permebilitas membran akan meningkat yang
akhirnya dapat menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya
efusi pleura akibat dari tuberkulosa paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran
getah bening. Sebab lain dapat juga dari robekkan kearah saluran getah bening yang menuju
rongga pleura, iga atau columna vetebralis.
Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberkolusa paru adalah merupakan eksudat, yaitu
berisi protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut karena kegagalan aliran protein getah
bening. Cairan ini biasanya serous, kadang-kadang bisa juga hemarogik. Dalam setiap ml cairan
pleura bias mengandung leukosit antara 500-2000. Mula-mula yang dominan adalah sel-sel
polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit, Cairan efusi sangat sedikit mengandung kuman
tubukolusa. Timbulnya cairan efusi bukanlah karena adanya bakteri tubukolosis, tapi karena
akibat adanya efusi pleura dapat menimbulkan beberapa perubahan fisik antara lain: Irama
pernapasan tidak teratur, frekuensi pernapasan meningkat, pergerakan dada asimetris, dada yang
lebih cembung, fremitus raba melemah, perkusi redup. Selain hal - hal diatas ada perubahan lain
yang ditimbulkan oleh efusi pleura yang diakibatkan infeksi tuberkolosa paru yaitu peningkatan
suhu, batuk dan berat badan menurun (Nair & Peate, 2015).
2.7.PATHWAY
3. Turunnya suara pernafasan pada auskultasi diarea karena adanya cairan yang berlebih
6. Denyut jantung dan respirasi berubah, tekanan darah menurun karena kehilangan darah
pada hematorax
Di curigai
a. Radiografi toraks ( tegak, PA bila b.
Anamnesis dan mungkin ) pertimbangkan : foto
Pemeriksaan Fisik toraks, dekubitus bilateral,
ultrasonografi
Kegagalan jantung Tidak ada, CHF nefrosis Penyebab efusi tidak Penyebab efusi
kongesif ( CHF), atau sirosis diketahui penderita dan diketahui
nefrosis atau sirosis tidak mengalami
kemajuan
Observasi :Obati
Penderita membaik Penderita tidak
penyakit yang
mengakami
mendasarinya
kemajuan
TORAKOSENTESIS
e.
Transudat Eksudat
Proyeksi Lateral
Pada proyeksi lateral, posisi berdiri dengan tangan disilangkan di belakang
kepala. Pengambilan foto dilakukan saat pasien tahan nafas pada akhir inspirasi
dalam.
Proyeksi Supine ( AP)
Posisi ini digunakan pada pasien yang lemah tidak bisa berdiri maupun
duduk,pasien posisi tidur terlentang dengan film berada dibawah.
2. Torakosentesi
Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk diagnosis maupun terapeutik.
Pelaksanaan sekaligus banyak akan menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema
paru-paru. Edema paru-paru terjadi karena paru-paru terlalu cepat mengembang.
Tabel 1.1 Perbedaan Cairan Transudat dan Eksudat.
Transudat Eksudat
1. Warna 1. Kuning pucat, dan jernih 1. Jernih, keruh, purulen dan
hemoragik
2. Bekuan 2. (-) 2. (-) / (+)
3. Berat jenis 3. <1018 3. >1018
4. Leukosit 4. <1000 / uL 4. Bervariasi > 1000 / uL
5. Eritrosit 5. Sedikit 5. Biasanya banyak
6. Hitung jenis 6. MN (limfosit/misotel) 6. Terutama PMN
7. Protein total 7. < 50% serum 7. > 50% serum
8. LDH 8. < 60% serum 8. > 60% serum
9. Glukosa 9. = plasma 9. = / < plasma
10. Fibrinogen 10. 0,3 - 4% 10. 4-6% atau lebih
11. Amilase 11. (-) 11. > 50% serum
12. Bakteri 12. (-) 12. (-) / (+)
3. Biopsi Pleura
Pemeriksaan histologis satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50-
75% diagnosis kasus pleuritis tuberculosis dan tumor pleura. Bila hasil biopsi pertama
tidak memuaskan dapat dilakukan biopsy ulangan. Komplikasi biopsy adalah
pneumotoraks, hemotoraks, dan penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.
4. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostic penyakit
pleura, terutama bila ditemukan patologis atau dominasi sel –sel tertentu.
Sel neutrofil: menunjukan adanya infeksi akut transudat Eksudat Kadar protein
dalam efusi efusi (g/dl) < 3 > 3 Kadar protein dalam serum per kadar protein
dalam serum < 0,5 > 0,5 Kadar LDH dalam efusi (I.U.) < 200 > 200 Kadar LDH
dalam efusi pe Kadar LDH dalam serum < 0,6 > 0,6 Berat jenis cairan efusi < 1,
016 > 1, 016 Rivalta negatif Positif
Sel limfosit: menunjukan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau
limfoma malignum.
5. Bakteriologi
Pada pleura tuberkulosa, kultur cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan
yang positif sampai 20 %.
6. Pemeriksaan CT Scan
CT scan merupakan modalitas paling baik dan akurat untuk mendiagnosis suatu efusi pleura
daripada foto torak dan ultrasonografi. Pada pemeriksaan CT Scan untuk efusi pleura
membutuhkan kontras untuk membedakan apakah itu cairan efusi atau parenkim paru.
CT scan dapat memperlihatkan posisi dari efusi pleura dari berbagai aspek dengan potongan
coronal , axial maupun sagital dan dapat digunakan untuk memperkirakan jenis efusi pleura tapi
untuk menentukan volume pasti dari efusi pleura dibutuhkan softwarekhusus. Pada kondisi
pasien yang kritis yang tidak memungkinkan untuk dibawa ke instalasi radiologi dan juga
apabila pasien dengan alergi kontras sebaiknya tidak dilakukan periksaan dengan CT Scan
kelemahan yang lainnya adalah CT scan terdapat resiko terkena radiasi. Beberapa gambaran dari
efusi pleura pada CT scan potongan sagital dan axial dan cara pengukurannya ditunjukkan
gambar berikut ini:
Pada gambar diatas menunjukkan dimensi a yaitu jarak terlebar craniocaudal dari efusi pleura
pada CT Scan potongan sagital.
Pada gambar diatas menunjukkan dimensi b yaitu jarak maksimum terlebar interpleura ,
dimensi c yaitu jarak maksimum antara batas medial dan lateral dari efusi pelura ,dimensi d yaitu
efusi pleura paling bawah diukur jarak maksimalnya dan dimensi e sama dengan dimensi.
7. Pemeriksaan Sonografi
Pemeriksaan sonografi toraks merupakan pemeriksaan dasar yang penting pada kasus
emergensi untuk mendiagnosis penyakit paru.Salah satu kasus emergensi yang memerlukan
tindakan segera adalah efusi pleura.Selain dengan pemeriksaan sonografi toraks pemeriksaan
sonografi abdomen juga dapat menentukan diagnosis dari efusi pleura.
Pemeriksaan sonografi digunakan untuk mendiagnosis dan menentukan jumlah volume efusi
pleura.Small efusi pleura yang tidak dapat terlihat pada foto torakskonvensional dapat di deteksi
dengan sonografi. Efusi pleura sering ditemukan pada pasien dengan keadaan kritis dan
membutuhkan penanganan segera.Kadang kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk
dipindahkan ke instalasi radiologi ,maka sonografi portable sangat diperlukan dalam kondisi
seperti ini.Sonografi lebih akurat dalam mendeteksi efusi pleura daripada foto toraks
konvensional. Efusi pleura dapat dilihat pada apek maupun dasar toraks dengan berbagai posisi
yaitu supine maupun elbow position.
Pemeriksaan sonografi efusi pleura dengan elbow position dapat dilakukan padapasien yang
memungkinkan untuk bisa duduk. Pada posisi ini kelebihannya adalah cairan efusi pleura dengan
adanya gravitasi dapat terkumpul dibawah sehingga mudah untuk dideteksi, juga berguna untuk
melihat efusi pleura yang volumenya sedikit yang pada pemeriksaan foto toraks tidak ditemukan.
1. Penatalaksanaan Medis
a. Thorakosentesis
Pengelolaan efusi pleura ditujukan untuk pengobatan penyakit dasar dan pengosongan cairan
(thorakosentesis). Indikasi utnuk melakukan thorakosentesis adalah :
Menghilangkan sesak nafas disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga pleura.
Bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal.
Bila terjadi reakumulasi cairan. Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk
diagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaanya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan
pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai jarum nomer 14 atau
16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap kali aspirasi.
Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi sekaligus dapat
menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru yang ditandai dengan batuk dan sesak.
Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya
belum diketahui, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal. (Sudoyo,
dkk, 2010).
b. WSD (Water Seal Drainage)
WSD adalah suatu sistem drainage yang menggunakan water seal untuk mengalirkan udara
atau cairan dari cavum 15 pleura (rongga pleura). Tujuannya pemasangan WSD adalah
mengalirkan/drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk memp ertahankan tekanan
negatif rongga tersebut dan dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan
hanya terisi sedikit cairan pleura/lubrican. Indikasi pemasangan WSD yaitu pneumothoraks,
hemothoraks, efusi pleura, emfisema. Kontraindikasi pemasangan WSD yaitu Infeksi pada
tempat pemasangan dan gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol. Menurut (mansjoer,
dkk, 2000)
Diagnostik, untuk menetukan pendarahan dari pembuluh darah besar atau kecil sehingga
dapat dilakukan operasi thoraktomi.
Terapi, untuk mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul dalam rongga pleura
Preventif, untuk mengeluarkan darah atau udara yang masuk kerongga pleura sehingga
mekanisme pernafasan tetap baik dan penyulit pemasangan WSD adalah perdarahan dan
infeksi atau super infeksi. (Rofiq, 2012).
Tempat pemasangan WSD:
Apical Letak selang pada interkosta III mid klavikula Dimasukkan secara antero lateral
Fungsi untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura .
Basal Letak selang pada interkostal V-V1 atau interkostal VIII-IX mid aksiller Fungsi:
untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura
2. Penatalaksanaa Kritis
b. Radiografi toraks
e. Torakosentesis
2.9.KOMPLIKASI
1. Fibrotoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang baik akan
terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Keadaan ini disebut dengan
fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat menimbulkan hambatan mekanis yang berat pada
jaringan-jaringan yang berada dibawahnya. Pembedahan pengupasan (dekortikasi) perlu
dilakukan untuk memisahkan membran-membran pleura tersebut.
2. Atalektasis
Atalektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan oleh
penekanan akibat efusi pleura.
3. Fibrosis Paru
Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru dalam jumlah
yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai kelanjutan suatu proses
penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura atalektasis yang berkepanjangan
dapat menyebabkan penggantian jaringan paru yang terserang dengan jaringan fibrosis.
4. Kolaps Paru
Pada efusi pleura atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan ekstrinsik pada sebagian/
semua bagian paru akan mendorong udara keluar dan megakibatkan kolaps paru.
5. Empiema
Kumpulan nanah dalam rongga antara paru-paru dan membran yang mengelilinginya (rongga
pleura). Empiema disebabkan oleh infeksi yang menyebar dari paru-paru dan menyebabkan
akumulasi nanah dalam rongga pleura. Cairan yang terinfeksi dapat mencapai satu gelas bir atau
lebih, yang menyebabkan tekanan pada paru-paru, sesak napas dan rasa sakit (Morton, 2012)
BAB III
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa,
bahasa yang di pakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien
b. Diagnosa
Berisi tentang diagnosa pasien asaat sebelum masuk ICU atau saat di rujuk ke ICU
c. Tanda vital
Nadi : takikardi
Pernapasan : takitneu
Saturasi : kadang – kadang bisa dibatas normal dan sesekali turun samapi 84, tapi
tidak lama kemudian akan kembali ke 98
GDR :
Alat – alat yang terpasang dan yang akan di pasangkan pada pasien efesi pleura
a. Air way
Wheezing
Edema tracheal/faringeal
b. Breathing
Sesak nafas
RR > 20 x/menit
Nadi cepat
Distritmia
d. Durg
Jika ada infeksi atau obat yang saat ini diberikan
e. Modus ventilasi mekanik
Apakah ada alat yang terpasang pada pasien atau alat yang akan di pasang
Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumoni,
gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui
kemungkinan adanya faktor predisposisi.
Mencari diantara anggota keluarga pada tuberkulosis paru yang menderita penyakit
tersebut sehingga diteruskan penularannya.
e. Riwayat psikososial
f. Pemeriksaan fisik
Sistem Neurologis
Sistem Pernafasan
Inspeksi
Pada pasien efusi pleura bentuk hemothorax yang sakit mencembung, rusuk
mendatar, ruang antar rusuk melebar, pergerakan pernafasan menurun.
Pendorongan mediastinum ke arah hemothorax kontra lateral yang diketahui dari
posisi trakhea dan ictus kordis, RR cenderung meningkat dan klien biasanya
dyspneu. Fremitus tokal menurun terutma untuk efusi pleura yang jumlah
cairannya > 250 cc.
Perkusi
Redup sampai pekak tergantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak mengisi
penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung
dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini
disebut garis EllisDamoisseaux. Garis ini paling jelas dibagian depan dada,
kurang jelas di punggung.
Auskultasi
Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin ke
aatas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru,
mungkin saja akan ditemukan tanda-tanda dari atelektasis kompresi disekitar
batas atas cairan.
Palpasi
Pada palpasi ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang
sakit
Sistem Kardiovaskuler
Inspeksi
Perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS -5 pada linea medio
claviculatus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya pembesaran jantung.
Palpasi
Perkusi
Untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini
bertujuan untuk menentukan adakah pembesar jantung atau ventrikel kiri.
Auskultasi
Untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi
jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur yang
menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.
Sistem Pencernaan
Inspeksi
Perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol
atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada
tidaknya benjolanbenjolan atau massa.
Auskultasi
Untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya 5-35 x/menit.
Palpasi
Perlu juga diperhatikan, adanya nyeri tekan abdomen, adakah massa (tumor,
feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar
teraba.
Perkusi
Abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan
suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor)
Sistem Integumen
Inspeksi
Mengenai keadaan umum kulit hygiene, warna ada tidaknya lesi pada kulit, pada
pasien dengan efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan
sistem transport O2.
Kontinuitas monitoring kondisi pasien setiap 1 – 2 jam pada saat kritis, selanjutnya sesuai
dengan kondisi pasien. Hal – hal yang dikaji meliputi tanda – tanda vital, hemodinamik, alat –
alat yang terpakai oleh pasien saat masuk ICU.
3.2. DIAGNOSA
SIKI SLKI
Edukasi :
o Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
SIKI SLKI
SIKI SLKI
4. Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan (mis.
Pereda nyeri, antiemetik), jika
perlu
SIKI SLKI
3.4. IMPLEMENTASI
3.5. EVALUASI
Tahapan evaluasi dapat dilakukan secara formatif dan sumatif. Evaluasi formatif adalah
evaluasi yang dilakukan selama proses asuha eperawatan, sedangkan evaluasi sumatif adalah
evaluasi yang dilakukan pada akhir asuhan keperawatan.
BAB IV
EVIDEN BASED
4.1. Problem
4.2. Question
Apa masalah dan hasil dari penggunaan posisi high fowler pada pasien Efusi Pleura dalam
Keperawatan Kritis ?
4.3. References
Annisa, Utomo, & Utami. (2015). Pengaruh Perubahan Posisi Terhadap Pola Nafas Pada
Pasien Gangguan Pernafasan. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau.
292- 303
Meilirianta, Tohri. T & Suhendra (2010). Posisi Semi-Fowler Dan Posisi High Fowler
Terhadap Perubahan Saturasi Oksigen Pada Pasien Asma Bronkial Di Ruang Rawat
Inap D3 Dan E3 Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat Cimahi.
Nanda. (2018). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2018-2020 Edisi 11 editor T
Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.
Nasution & Widirahardjo. (2018). Perubahan Faal Paru pada Penderita Efusi Pleura setelah
Tindakan Aspirasi Cairan Pleura. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol 51 No 1
Maret 2018
WHO,(2017).Monitoring Health For The SDGs, Sustainable Development Goals. ISBN 978-
92-4-156548-6
Widiyanto B, Yasmin LS. (2014). Terapi Oksigen terhadap Perubahan Saturasi Oksigen
melalui Pemeriksaan Oksimetri pada Pasien Infark Miokard Akut (IM-A). Prosiding
Konferensi Nasional II PPNI Jawa Tengah. 1(1): 138-43.
4.4. Evidence
Pada pembahasan ini, peneliti menjelaskan tiga orang pasien efusi plura yang sudah
ditentukan berdasarkan kriteria inklusi. Semua pasien dalam penelitian ini adalah pasien
mengalami sesak nafas yang peneliti lakukan observasi nilai status pernafasan dan saturasi
oksigen terhadap intervensi tindakan pengaturan positioning yang dilakukan oleh perawat
diruangan untuk mengurangi sesak nafas. Observasi ini peneliti lakukan selama tiga hari
berturut- turut pada saat sebelum dan sesudah perawat mengatur posisi high fowler. Kemudian
peneliti membandingkan hasil observasi nilai pernafasan dan saturasi oksigen pada tiga pasien
apabila dengan posisi tidur berbaring dan sesaknya berkurang apabila dengan posisi setengah
duduk. Akan tetapi, terasa nyeri pada daerah yang terpasang pigtail sehingga pasien lebih
bertambah apabila dengan posisi tidur terlentang dan sesaknya berkurang bila dengan posisi
tidur fowler. Selain fowler pasien, juga merasa nyaman dengan posisi fowler bersamaan
dengan lateral kiri. Hasil observasi setelah dilakukan tindakan posisi fowler RR pasien
Posisi high fowler merupakan posisi pilihan untuk pasien yang mengalami sesak nafas
khususnya pada pasien yang mengalami efusi pleura. Berdasarkan hasil observasi selama tiga
hari, terdapat perubahan nilai pernafasan dan saturasi oksigen sebelum dan sesudah dilakukan
posisi high fowler oleh perawat diruangan. Penilaian sebelum posisi high fowler dilakukan
dengan posisi standar diruangan pada kasus pasien dengan efusi pleura dengan menggunakan
b. Rentang nilai pernafasan pasien sebelum posisi high fowler pada hari pertama adalah 26 -
30 kali permenit dengan nilai saturasi oksigen 96 – 98%. Sedangkan setelah dilakukan
posi high fowler selama 30 menit, rentang nilai frekuensi pernafasan 22 –27 kali permenit
c. Rentang nilai pernafasan pasien sebelum posisi high fowler pada hari kedua adalah 26 -
28 kali permenit dengan nilai saturasi oksigen 97 – 98%. Sedangkan setelah dilakukan
posi high fowler selama 30 menit, rentang nilai frekuensi pernafasan 22 –25 kali permenit
d. Rentang nilai pernafasan pasien sebelum posisi high fowler pada hari ketiga adalah 24-28
kali permenit dengan nilai saturasi oksigen 98 – 99%. Sedangkan setelah dilakukan posi
high fowler selama 30 menit, rentang nilai frekuensi pernafasan 22 –24 kali permenit dan
Hasil penelitian ini yaitu posisi high fowler dapat diaplikasikan perawat yang
merawat pasien yang mengalami sesak nafas khususnya pada pasien yang mengalami efusi
pleura.
BAB V
PENUTUP
5.1.KESIMPULAN
Efusi pleura adalah suatu keadaan ketika rongga pleura dipenuhi oleh cairan (terjadi
penumpukan cairan dalam rongga pleura). Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin
merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus. Berdasrkan jenis cairan yang
terbentuk, cairan pleura dibagi menjadi transudat, eksudat, dan hemoragi. Akumulasi cairan
pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik koloid menurun misalnya pada penderita
hipoalbuminemia dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses keradangan atau
neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat kegagalan jantung dan tekanan negatif intra
pleura apabila terjadi atelektasis paru.
DAFTAR PUSTAKA
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis NANDA & NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.Jakarta:
Salemba Medika.
Somantri, Irman. 2008. Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Somantri, Irman. 2009. Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan, edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
Arif Muttaqin. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika. Ayni (2019). Karya Tulis Ilmiah Efusi Pleura.
http://repo.stikesicmejbg.ac.id/2528/. Diakses tanggal 23 april 2020.
Wedro, B. (2014). Pleural Effusion. Medicine Net: Diakses pada tanggal 19 februari 2020 pada:
http://www.onhealth.com/pleural_effusion/article.htm.
Dean, E. (2014). Effect of Body Position on Pulmonary Function. Journal of American Physical
Therapy: Diakses pada 19 februari 2020 pada : http://ptjournal.apta.org.
Rasyid Ahmad. Anatomi Fisiologi Pleura dan Mekanisme Efusi.Bandung : Divisi Pulmonologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSMH,2012
Debora,O. (2013). Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Salemba Medika.
Juall Lynda, 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: Buku kedokteran EGC
Wedro, B. (2014). Pleural Effusion. Medicine Net: Diakses pada tanggal 19 februari 2020 pada:
http://www.onhealth.com/pleural_effusion/article.htm
Doenges, MC dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC