Anda di halaman 1dari 9

SATUAN ACARA PENYULUHAN

PENGENALAN DINI PENYAKIT TUBERCULOSIS

Oleh :

Nama : MOCHAMAD FAHAD

NIM : 201710420311030

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Topik : Pengenalan Dini penyakit Tuberculosis

Sasaran : Masyarakat Umum

Tempat : Balai Desa

Hari/Tanggal : Kamis/15 November 2017

Waktu : 45 Menit

II. Tujuan Instruksional Umum

Setelah Dilakukan Penyuluhan, peserta diharapkan mampu memahami materi tentang


Pengenalan Dini Penyakit Tuberculosis dan melakukan pencegahan sedini mungkin terhadap
penyakit Tuberculosis.

III. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah dilakukan penyuluhan, peserta diharapkan mampu:

- menjelaskan tentang Penyakit Tuberculosis


- mengetahui dan memahami Definisi & Tanda Gejala Tuberculosis
- menjelaskan tentang bahaya penyakit Tuberculosis di kalangan Masyarakat lain
- menjelaskan pencegahan dini pada penyakit Tuerculosis

IV. Sasaran

Masyarakat umum

V. Materi

 Pengertian Penyakit Tuberculosis


 Tanda & Gejala Tuberculosis
 Pemyebaran Tuberculosis
 Bahaya penyakit Tuberculosis
 Pencegahan penyakit Tuberculosis
VI. Metode
Ceramah
Diskusi/tanya jawab

VII. Media

Leaflet

VIII. KEGIATAN PENYULUHAN

WAKTU KEGIATAN PENYULUH KEGIATAN PESERTA


1. 5 menit Pembukaan
 Membuka kegiatan dengan  Menjawab salam
mengucapkan salam.
 Memperkenalkan diri  Mendengarkan
 Menjelaskan tujuan dari
penyuluhan  Memperhatikan
 Menyebutkan materi yang akan
diberikan  Memperhatikan
 Menjelaskan Kontrak Waktu
2. 15 menit Pelaksanaan
 Menjelaskan tentang  Memperhatikan
pengertian Pengertian  Memperhatikan
Penyakit Tuberculosis,  Bertanya dan menjawab
Tanda & Gejala pertanyaan yang
Tuberculosis, Penyebaran diajukan
Tuberculosis, Bahaya  Memperhatikan
penyakit Tuberculosis,  Bertanya dan menjawab
Pencegahan penyakit pertanyaan yang
Tuberculosis diajukan

 Memberi kesempatan kepada
peserta untuk bertanya

3. 10 menit Evaluasi
 Menanyakan kepada peserta
tentang materi yang telah  Menjawab pertanyaan
diberikan, dan reinforcement
kepada masyarakat yang dapat
menjawab pertanyaan,
4. 5 menit Terminasi
 Mengucapkan terimakasih atas  Mendengarkan
peran serta peserta
 Mengucapkan salam penutup  Menjawab salam
IX. Pengorganisasian

Ketua :
Sekretaris :
Pemateri :
Fasilitator 1 :
Fasilitator 2 :

X. Kriteria Evaluasi

1. Evaluasi Struktur

Klien hadir/ikut dalam kegiatan penyuluhan penyelenggaraan penyuluhan dilakukan


ditempat.
Pengorganisasian penyuluhan dilakukan hari sebelumnya

2. Evaluasi Proses
.......................................................................................................................

.......................................................................................................................

.......................................................................................................................

3. Evaluasi Hasil

......................................................................................................................

......................................................................................................................

......................................................................................................................
XI. Lampiran Materi

A. Pengertian
Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari corynebacterium
diphtheriae. Penyakit ini merupakan penyakit mengerikan di mana masa lalu sering
menyebabkan kematian dan sampai saat ini masih mewabah di negara yang belum
berkembang. Orang yang selamat dari penyakit ini menderita kelumpuhan otot tertentu dan
kerusakan permanen pada jantung dan ginjal. Anakanak yang berumur satu sampai
sepuluh tahun sangat peka terhadap penyakit ini. Kuman difteri disebarkan oleh menghirup
cairan dari mulut atau hidung orang yang terinfeksi, dari jari-jari atau handuk yang
terkontaminasi, dan dari susu yang terkontaminasi penderita (Rianita, 2012).
Dalam masyarakat, banyak ibu yang mempunyai balita yang beranggapan bahwa
orang dewasa tidak membutuhkan imunisasi difteri karena ibu yang mempunyai balita
tidak mungkin tertular atau terkena penyakit difteri. Sikap yang negatif tersebut
mendorong ibu yang mempunyai balita tidak termotivasi untuk mengikuti program
imunisasi difteri yang dicanangkan oleh pemerintah. Padahal kenyataan yang ada
penderita difteri terbanyak diderita oleh orang dewasa sehingga menimbulkan kematian.
Selain itu, ketidakmauan ibu yang mempunyai balita untuk mengikuti imunisasi difteri
dikarenakan ibu yang mempunyai balita takut dengan proses penyuntikan. Hal tersebut
menyebabkan cakupan imunisasi difteri pada orang dewasa lebih rendah dibandingkan
balita (Kholifah, 2010).

B. Tanda & Gejala

Difteri umumnya memiliki masa inkubasi atau rentang waktu sejak bakteri masuk
ke tubuh sampai gejala muncul 2 hingga 5 hari. Gejala-gejala dari penyakit ini meliputi:

 Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel.
 Demam dan menggigil.
 Sakit tenggorokan dan suara serak.
 Sulit bernapas atau napas yang cepat.
 Pembengkakan kelenjar limfe pada leher.
 Lemas dan lelah.
 Pilek. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang bercampur darah.

Difteri juga terkadang dapat menyerang kulit dan menyebabkan luka seperti borok (ulkus).
Ulkus tersebut akan sembuh dalam beberapa bulan, tapi biasanya akan meninggalkan
bekas pada kulit.
Segera periksakan diri ke dokter jika Anda atau anak Anda menunjukkan gejala-gejala di
atas. Penyakit ini harus diobati secepatnya untuk mencegah komplikasi.
C. faktor pemicu

Ada banyak faktor yang meningkatkan risiko seseorang terkena difteri, yaitu:

 Lokasi yang Anda tinggali


 Tidak mendapat vaksinasi difteri terbaru
 Memiliki gangguan sistem imun, seperti AIDS
 Memiliki sistem imun lemah, misalnya anak-anak atau orang tua
 Tinggal di kondisi yang padat penduduk atau tidak higienis
D. komplikasi penyakit

Diperkirakan hampir satu dari lima penderita difteri balita dan berusia di atas 40
tahun yang meninggal dunia diakibatkan oleh komplikasi. Beberapa komplikasi yang
dapat mengancam jiwa karena toksin dari bakteri difteri diantaranya meliputi:

• Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri
akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-partikel
membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu inflamasi
pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal
napas.
• Miokarditis (Kerusakan Jantung). Miokarditis adalah kondisi jantung, yang
melibatkan peradangan pada otot jantung, dalam hal ini disebabkan oleh toksin difteri.
Kondisi ini dapat menyebabkan gagal jantung, dan semakin besar tingkat infeksi bakteri,
semakin tinggi toksisitas pada jantung, menghasilkan efek yang berkisar dari kelainan
yang hanya tampak pada monitor jantung, kematian mendadak.
• Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit
menelan, masalah saluran kemih, serta pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah
saluran kemih dapat menjadi indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi
diagfragma.
• Kelumpuhan Diagfragma. Diafragma adalah otot berbentuk kubah tebal yang
memisahkan dada dari perut. Diafragma membantu Anda bernafas dalam dan keluar. Jika
diafragma tidak bekerja dengan benar, maka akan perlu ventilator untuk membantu
bernapas. Hal ini dapat meniru fungsi dari diafragma dengan mengatur tekanan paru-paru.
• Difteri Hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain
gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang
parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi ini disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheriae.
Lalu bagaimana cara mencegah agar anak kita tidak terkena penyakit Difteri? Langkah
paling efektif adalah dengan vaksinasi karena vaksinasi merupakan tindakan pencegahan.
Pencegahan difteri tergabung dalam vaksin DPT. Vaksin ini meliputi difteri, tetanus, dan
pertusis atau batuk rejan.
Vaksin DPT merupakan salah satu dari lima imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia.
Pemberian vaksin ini dilakukan lima kali pada saat anak berusia dua bulan, empat bulan,
enam bulan, 1,5-2 tahun, dan lima tahun. Perlindungan tersebut umumnya dapat
melindungi anak terhadap difteri seumur hidupnya. Tetapi vaksinasi ini dapat diberikan
kembali pada saat anak memasuki masa remaja atau tepatnya saat berusia 11-18 tahun
untuk memaksimalisasi keefektifannya. (RE)

E. Pencegahan penyakit

Langkah pencegahan paling efektif untuk penyakit ini adalah dengan vaksin. Pencegahan
difteri tergabung dalam vaksin DTP. Vaksin ini meliputi difteri, tetanus, dan pertusis atau
batuk rejan.
Vaksin DTP termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian
vaksin ini dilakukan 5 kali pada saat anak berusia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, satu setengah
tahun, dan lima tahun. Selanjutnya dapat diberikan booster dengan vaksin sejenis (Tdap/Td)
pada usia 10 tahun dan 18 tahun. Vaksin Td dapat diulangi setiap 10 tahun untuk
memberikan perlindungan yang optimal.
Apabila imunisasi DTP terlambat diberikan, imunisasi kejaran yang diberikan tidak akan
mengulang dari awal. Bagi anak di bawah usia 7 tahun yang belum melakukan imunisasi
DTP atau melakukan imunisasi yang tidak lengkap, masih dapat diberikan imunisasi kejaran
dengan jadwal sesuai anjuran dokter anak Anda. Namun bagi mereka yang sudah berusia 7
tahun dan belum lengkap melakukan vaksin DTP, terdapat vaksin sejenis yang bernama
Tdap untuk diberikan.
Perlindungan tersebut umumnya dapat melindungi anak terhadap difteri seumur hidup

a.    Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
b.    Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan
tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
c.    Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier
pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata
ditemukan Corynebacterium diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan
tonsilektomi.
2.      Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit difteria.
a.    Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali
berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah
baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus
pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier.
b.    Pengobatan Khusus 
1)    Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS) 
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun
dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat
sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu. 
2)    Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh
bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan
eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
3)    Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
c.    Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang
disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
d.    Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut
terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai
masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah
mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
e.    Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif
tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama
satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
.
DAFTAR PUSTAKA

Adriyanto. 2010. Imunisasi Difteri. Jakarta: Erlangga.

Cahyani. 2011. Faktor yang mempengaruhi Difteri. http://www.info-cyber¬neth.com

Colifah. 2010. Pencegahan Difteri. http://www.info-cyber-neth.com.

Dinkes Jatim. 2012. Angka Kejadian Difteri. http//:www.dinkesjati.go.id.

Hidayat. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan tehnik Analisis Data. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Kholifah. 2010. Pandangan Masyarakat Tentang Difteri http//:www.cyber¬sehat.comMeliono. 2010

Nursalam. 2003. Konsep Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.

Nursalam. 2008. Konsep Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salernba
Medika.

Sulistyawati. 2010. l.Jpaya Pencegahan Difteri. http//:www.intramedi.com akses 3 Januari 2014.

Anda mungkin juga menyukai