Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah yang maha megetahui dan maha bijaksana yang
telah member petunjuk agama yang lurus kepada hamba-Nya dan hanya kepada-
Nya. Salawat serta salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW
yang membimbing umat nya degan suri tauladan-Nya yang baik           

Syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan anugrah,kesempatan


dan pemikiran kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini . makanlah
ini merupakan pengetahuan tentang KASUS HAK ASASI MANUSIA DAN
KASUS KORUPSI , semua ini di rangkup dalam makalah ini , agar pemahaman
terhadap permasalahan lebih mudah di pahami dan lebih singkat dan akurat .

Sistematika makalah ini dimulai dari pengantar yang merupakan apersepsi


atas materi yang telah dan akan dibahas dalam bab tersebut .Selanjutnya, Pembaca
akan masuk pada inti pembahasaan dan di akhiri dengan kesimpulan, saran dan
makalah ini. Diharapkan pembaca dapat mengkaji berbagai permasalahan tentang
KASUS HAK ASASI MANUSIA Akhirnya, kami penyusun mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu proses pembuatan makalah
ini.

 Saya menyadari bahwa makalah ini masih belum semmpurna untuk


menjadi lebuh sempurna lagi saya membutuhkan kritik dan saran dari pihak lain
untuk membagikannya kkepada saya demi memperbaiki kekurangan pada
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaaat bagi anda semua.

Terimakasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kundur, November 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia
itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan
kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat
hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia
manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak
asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain,
atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.

Manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi.


Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat
universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat
diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri
dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam
bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada
juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi
terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak
Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai
hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.

Kesadaran akan hak asasi manusia, harga diri, harkat dan martabat
kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan
oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan
merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat
berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak
asasi manusia.
Namun demikian, kendati hak asasi manusia bukan merupakan pemberian
dari sesama manusia, masih ada saja pelanggaran hak asasi yang dibuat olah
manusia kepada manusia lain. Di berbagai negara, pelanggaran terhadap hak asasi
manusia kerap terjadi dan tidak dapat terhindarkan. Hal ini termasuk salah satu
permasalahan besar semua negara di dunia dan sangat sulit untuk diatasi. Di
indonesia sendiri sebagaimana kita ketahui, pelanggaran HAM terjadi hampir di
setiap daerah, contohnya pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh tahun 1989-
2005. Tahun 1989 – 1998, pemerintah memberlakukan Aceh sebagai Daerah
Operasi Militer (DOM), CoHA (2002-2003), DM I, DM II dan DS (2003-2005).
Sepanjang masa itu telah terjadi pembunuhan, penyiksaan, penghilangan,
pemerkosaan dan pelecehan seksual, perampasan harta benda, pembakaran,
pengusiran terhadap warga sipil. Kasus tergolong besar diantaranya Kasus Tgk
Bantaqiah, Kasus Simpang KKA dan Kasus Arakundo dari ratusan kasus yang
dilaporkan. Laporan terakhir Kontras menyatakan masyarakat, TNI, PMI, dan
AMM ikut melakukan penggalian kuburan sepanjang 2005-2007 sebanyak 41
kuburan telah dibongkar berisi 61 kerangka yang diduga korban konflik. Hal ini
tentu masih sangat kuat melekat dalam ingatan kita, bagaimana masyarakat Aceh
saat itu dicekam perasaan takut dan tidak aman. Sekitar 3.000 kasus pelanggaran
Hak Azazi Manusia (HAM) yang terjadi di masa konflik sejak tahun 1989-2005,
hingga kini belum ada proses hukum. Padahal, dalam MoU Helsinki telah
diamanatkan bahwa ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk
mengungkapkan fakta-fakta kebenaran terhadap para korban konflik.

Makalah ini akan membahas seputar kasus pelanggaran HAM yang terjadi
di Aceh, hak apa saja yang dilanggar,siapa yang melakukan pelanggaran, dan apa
solusi yang harus dilakukan agar masyarakat yang dilanggar Haknya bisa kembali
mendapatkan haknya yang telah dilanggar itu.

1.2 Pendekatan Teori


Hak asasi manusia merupakan ciri terkhir dari demokrasi. Suatu negara
akan disebut negara yang bermartabat apabila negara tersebut memberikan
penghargaan terhadap hak asasi manusia.Teori tentang HAM pada awalnya
bermula dari Magna Charta. Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang
prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih
penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka
dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara
apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam
Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu
yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi
lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan
bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan
raja.

Kemudian Padatahun 1628, muncul Petition of Rights yang berisi


pertanyaan-pertanyaan mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Petisi ini
diajukan oleh para bangsawan kepada raja di depan parlemen pada tahun 1628.
Isinya secara garis besar menuntut hak-hak sebagai berikut : Pajak dan pungutan
istimewa harus disertai persetujuan, Warga negara tidak boleh dipaksakan
menerima tentara di rumahnya, Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang
dalam keadaan damai.

Perkembangan selanjutnya dicetuskan Hobeas Corpus Act yang


merupakan undang- undang yang mengatur tentang penahanan seseorang dibuat
pada tahun 1679. Isinya adalahSeseorang yang ditahan segera diperiksa dalam
waktu 2 hari setelah penahanan dan Alasan penahanan seseorang harus disertai
bukti yang sah menurut hukum.
Kemdian, pada tahun 1689 dicetuskan Bill of Rights yang merupakan sebuah
undang-undang dan diterima parlemen Inggris, yang isinya menjelaskan pola-pola
kenagaraan harus patuh terhadap konstitusi.

Di Amerika serikat, perwujutan HAM tertuang dalam Amanat Presiden


Flanklin D. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan
Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 yakni :
·         Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and
expression).
·         Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya
(freedom of religion).
·         Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
·         Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).

Selanjutnya pada 10 desember 1948 PBB mengeluarkan Declaration of


Human Rights, disusul 18 tahun kemudian dihasilkan konvenant yang sifatnya
lebih mengikat dan resmi serta ada prosedur peward dan punnishment nya. Hasil
konvenant tersebut adalah: Universal Declaration of Human Rights; International
Convenant on Civil and Political Rights; International Convenat of Economic,
Socoal and Cultural Rights; Protoconal Option on Civil ang Political Rights; dan
Protoconal Option II.

Di Indonesia sendiri, Hak Asasi Manusia bersumber dan bermuara pada


pancasila. Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah
bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa
pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang
telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila.  Negara Republik Indonesia
mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia
sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang
harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat
kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik


Indonesia,yakni:Undang – Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,dan  Undang – Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di Indonesia secara garis besar
disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai
berikut :
a.       Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, bebas dari ancaman,
dan kebebasan bergerak.
b.      Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk
memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta
memanfaatkannya.
c.       Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk
mendirikan partai politik.
d.      Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan ( rights of legal equality).
e.       Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights).
Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan
kebudayaan.
f.       Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan
perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal
penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.

Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam
Piagam Hak Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan
Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998.
BAB II
PEMBAHASAN

1.      PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984 - BETAWI vs JAWA

Kronologi Tragedi Tanjung Priok Berdarah 1984 oleh Saksi Mata Ust.
Abdul Qadir Djaelani

Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat
keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia
ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh
masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa
Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap
peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi
pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat
Islam Indonesia”.

Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984


Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki
Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka
menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got
(comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam
(masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984 Peristiwa hari
Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat
tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada
jamaah kaum muslimin. Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984 Beberapa
anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas
Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang
akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang
kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW,
diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang
tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu,
membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh
Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut
tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.

Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984


Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta
pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya
tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai
salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang
bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984


Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di
Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa
Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir
Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar.
Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya,
jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada
kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan
solidaritas islamiyah.

Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah.
Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu.
Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka
tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki
berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-
tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan
jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian
menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah
dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan
senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu,
terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu
disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu
militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan
sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang
lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit
histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota
militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih
banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau
masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.

Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh
buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk
besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para
jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih
mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang
tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum
tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil
truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk
besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-
selokan di sisi jalan.

Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu
untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke
dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu
penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun
bagaikan karung goni.

Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu
pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam
kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya
and di sisinya, sampai bersih.

Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim


dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim,
jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan
yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu,
di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3
orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari
senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu
jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian
yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau
melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang
jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara
Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang
beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa
menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).

Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar


mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk
dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta
tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk
dipindahkan ke tempat lain.

Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok


tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB
Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak
Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya
mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada
tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah
Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel
Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa
jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang
ditahan, disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas
satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan
bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki
sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya

2.1. Pelanggaran HAM DOM Aceh


Di Indonesia, masalah HAM seperti bertolak belakang,masih saja terjadi
kasus-kasus pelanggaran HAM di sejumlah daerah yang belum terselesaikan.
Konvenant-konvenant maupun deklarasi serta undang-undang tentang HAM yang
ada di republik ini seakan tidak dapat membendung terjadinya kasus pelanggaran
HAM. Lantas sistem punishment yang seharusnya diterapkan belum juga
dilaksanakan secara maksimal.

Kasus Aceh misalnya, Semenjak dideklarasikannya GAM oleh Hasan Di


Tiro, Aceh selalu menjadi daerah operasi militer dengan intensitas kekerasan yang
tinggi. Operasi militer yang digelar oleh pemerintah Indonesia di Aceh sejak
tahun 1976-2005 untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka, dengan berbagai
bentuk operasi militer yang diterapkan mulai dari penerapan Daerah Operasi
Militer (DOM), Darurat Militer (DM), Darurat Sipil I (DS I) dan Darurat
Sipil II (DSII), di Aceh telah mengakibatkan terjadinya kekerasan dan
pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil yang tak berdosa. Tahun 1989 –
1998, Sepanjang masa itu pelanggaran HAM berat terhadap warga Aceh banyak
dijumpai, mulai dari penagkapan, penyiksaan, ada yang dibunuh dan mayatnya
entah kemana, pemerkosaan ,perampasan harta benda, dan pengusiran secara
paksa oleh oknum Aparat keamanan Indonesia seperti TNI, Polri, Intelijen, dan
Milisi. Kasus tergolong besar diantaranya Kasus Tgk Bantaqiah, Kasus Simpang
KKA dan Kasus Arakundo dari ratusan kasus yang dilaporkan.

Sederetan kasus pelanggaran HAM terjadi di Aceh dan menyisakan luka


yang sangat mendalam. Kasus ini jelas melanggar konvenat yang dikeluarkan
PBB dan bertentangan dengan undang-undang Republik Indonesia tentang HAM.
Dapat kita lihat bahwa banyak hak yang dilanggar disini, hak hidup, hak
kebebasan, hak atas kepemilikan harta benda, hak kebebasan dari rasa takut serta
hak mendapatkan perlindungan hukum. Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak
adanya proses hukum terhadap para pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM, dan
tidak adanya rehabilitasi atas dampak konflik yang dialami korban.

Sebagaimana kita ketahui, para korban konflik mengalami kerugian yang


sangat besar yang telah membawa dampak secara langsung dan tidak langsung
terhadap kelangsungan hidupnya ke depan. Penyiksaan, trauma masa lalu,
kehilangan orang yang dicintai, hilangnya pekerjaan, kondisi kesehatan yang
buruk, pengorbanan atas harta benda, pencemaran nama baik, perkosaan dan
pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang
sampai kapanpun tidak bisa ditolerir dan sampai saat ini belum ada
penyelesaiannya.

Untuk kasus pembantaian Tgk. Bantaqiah diselesaikan dengan pengadilan


koneksitas. Namun pelaku Letkol. Sujono dinyatakan hilang. Sementara ratusan
kasus pelanggaran HAM lainnya termasuk Kasus Simpang KKA dan Kasus
Arakundo  belum sama sekali diproses. dikarenakan Kejaksaan masih enggan
mengusut tuntas laporan Komnas HAM karena menunggu DPR memutuskan
membentuk pengadilan ad hoc untuk pelanggaran HAM berat terlebih
dahulu.Tidak ada kejelasan apakah pengadilan HAM untuk Aceh bersifat
retroaktif, dan mekanismenya berdasarkan mekanisme pengadilan HAM di
indonesia atau berdasarkan pengadilan HAM internasional, Lemahnya peran
Komnas HAM karena kuatnya isue separatis di Aceh, dan Ketiadaan Perpres atau
Perpu untuk pengadilan HAM dan KKR Aceh

Pelanggaran di Aceh belum di Tangani secara Serius


Hingga empat tahun usia perdamaian Aceh, pemerintah Aceh tidak serius
menangani persoalan kasus penghilangan orang secara paksa di Aceh. Buktinya,
semua qanun yang pernah dibuat oleh eksekutif dan legilatif hingga akhir
pemerintahan legislative yang lama pada 30 September lalu, tak ada satupun
produk hukum yang memuat penyelesaian kasus penghilangan orang secara paksa
di Aceh. Pemerintah Aceh saja belum serius menangani persoalan pelanggaran
HAM, apalagi pemerintah pusat, hal tersebut dikarenakan, upaya penyelesaikan
kasus pelanggaran HAM (termasuk penghilangan orang secara paksa) yang
dilaklukan oleh pemerintah tidak semata-mata dilandaskan oleh prinsip hukum.
Melainkan upaya itu lebih menjurus kepada politik dan pemenuhan
kepentingannya yang sulit diketahui oleh masyarakat luas.
Kini dengan adanya parlemen baru, agar penghuni parlemen Aceh  yang
baru dapat menciptakan produk-produk hukum yang selaras dengan upaya
penyelesaian kasus tersebut. Apalagi kalangan Partai Aceh yang berkomitmen
merealisasikan butir-butir MoU Helsinki merupakan penghui mayoritas di
parlemen tersebut. Aktifis Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia mengakui,
para keluarga korban penghilangan orang secara paksa di Aceh tidak semestinya
terlalu bergantung kepada Komnas HAM sebagai lembaga independent
pemerintah yang memiliki mandate untuk mengadvokasi kasus pelanggaran HAM
di Aceh. Pasalnya, mereka kerap mengkambing hitamkan keterbatasan mandate
untuk menindak lanjuti berbagai kasus yang ada. Akibatnya, tidak sedikit kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh belum teradili.
Karenanya, keluarga korban juga harus mendapatkan dukung politik dari
pemerintah. Sebut saja seperti yang terjadi di Jakarta baru-baru ini terkait
pelanggaran HAM di tanjung Priuk. Berkat desakan keluarga korban, DPR RI
mengelurkan rekomendasi pembentukan pengadilan Ad Hoc dan menuntut
presiden untuk serius menyikapi kasus ini. Hal ini bisa dilakukan oleh keluarga
korban di Aceh dengan terus mendesak DPR Aceh melalui berbagai hal.

Pandangan Kedepan
Hal yang harus dilihat kedepan adalah bagaimana agar masyarakat Aceh
yang dilanggar hak nya mendapatkan haknya kembali. Kedepan, penanganan
terhadap kasus pelanggaran HAM tentu harus lebih ditingkatkan, terutama oleh
pemerintah Indonesia sebagai regulator dan sebagai pengelola Negara, hal ini
diperlukan untuk memberikan rasa keadilan kepada para korban secara khusus,
dan kepada masayarakat Indonesia secara umum, hal ini juga diharapkan akan
menjadi pelajaran berarti bagi semua masyarakat dan penyelenggara negara, untuk
tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas.

Diperlukan rekonsiliasi nasional, sebagai agenda penegakan hak asasi


manusia saat ini, jalan ‘rekonsiliasi nasional’ kita perlukan bukan untuk maksud
‘melupakan’ (to forget), melainkan untuk mengintegrasikan kembali semua anak
bangsa yang tersingkirkan, terkotak-kotak atau terpolarisasi akibat sistem politik
otoriter di masa lalu.

Bukan hanya rekonsiliasi nasional yang harus dilakukan, namun


diperlukan kemauan yang kuat dari pemerintah dan berbagai pihak dalam upaya
menyelesaikan pelanggaran HAM ini, ditingkat daerah, seperti di Aceh
pemerintah harus segera menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM ini,
melaksanakan institusionalisasi instrumen penanganan masalah HAM, misalnya
dengan membentuk dan merumuskan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR), karena dalam UU tentang Pengadilan HAM, Eksistensi lembaga KKR
dalam UU Pengadilan HAM tersebut tercantum dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2).
Komisi yang akan dibentuk dengan UU tersendiri dimaksudkan sebagai lembaga
ekstra yudisial yang ditetapkan dengan UU bertugas untuk menegakkan kebenaran
dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada
masa lampau. Sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang
berlaku dan melaksanakan pengungkapan kebenaran. Pelaku yang terkait dengan
permasalahan ini harus diperiksa dan diadili sesuai hukum yang berlaku.
2.3. Pelanggaran HAM tentang Haur Koneng
Sebelum peristiwa pembantaian itu terjadi, saya disuruh pulang oleh Kang
Abdul Manan. Saya dengar kabar dari seorang murid yang lolos dari pengepungan
aparat, penyerangan itu sangat biadab. bayangkan, keponakan Abdul Manan yang
waktu itu usianya sekitar 5 tahun; bocah perempuan itu dilempari granat!
Pengepungan pertama, saya berada di sana. Kami menyambut para aparat dengan
keakraban. tetapi keributan terjadi ketika Kang Abdul Manan membentak
beberapa aparat yang akan masuk ke masjid tanpa melepaskan sepatu.
Saya juga baca di media massa, para murid Abdul Manan yang rata-rata
usianya di bawah 10 tahun yang rata-rata adik-adik dan para keponakannya,
ditulis rata-rata berusia 35 tahun. dan banyak informasi tidak benar dari media
massa tentang Jemaah Haur Kuning. karena itulah saya tidak mudah percaya
kepada media massa. Setahu saya, kami tak suka bawa-bawa bambu kuning.
Namun yang lalu biar berlalu. bahkan sekarang keluarga Abdul Manan bersahabat
dengan keluarga Rokhamid, seolah-olah peristiwa itu tak pernah ada. sumber
masalahnya sepele. hanya masalah potong sapi tanpa memberi daging kepada
aparat desa! Berikut ini saya kutip dari Majalah Tempo, sekedar untuk mengenang
orang-orang yang pernah hidup bersama saya bertahun-tahun lamanya.
AKHIRNYA semua orang menyesal. Dan sedih. Tapi sudah terlambat. Korban
pun sudah berjatuhan dalam insiden berdarah itu. Tragedi yang menimpa belasan
petani miskin di Majalengka (Jawa Barat) ini belakangan terkenal sebagai ”kasus
Haur Koneng” (bambu kuning) karena mereka biasa membawa bambu kuning.
Tapi ternyata setidaknya seperti yang tersirat dalam hasil tim pencari fakta
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mereka merupakan korban fitnah
belaka. Akhir Juli lalu, para petani penghuni empat rumah di Dusun Gunung
Seureuh di Lembah Sirna Galih, di kaki Gunung Ciremai, Majalengka itu
berusaha bertahan dari kepungan sepasukan polisi dan tentara.
Dengan berdoa minta perlindungan Tuhan, mereka mempersenjatai diri
dengan golok, parang, sabit, atau pentungan. Kewaspadaan seperti itu bisa
dimaklumi karena mereka dikepung tiga lapis. Lapis pertama, begitu menurut
seorang perwira polisi di Majalengka, terdiri dari 14 anggota Sabhara. Lapis
kedua adalah satu satuan tempur (SST) Brimob. Dan lapis ketiga adalah SST
Yonif 321/Majalengka, yang berjaga-jaga sekitar 400 meter dari lokasi. Padahal
mereka hanyalah 15 petani miskin, bahkan 5 di antaranya perempuan dan 2 orang
anak-anak. Bahkan, jauh hari sebelumnya, petugas intel sudah pula disusupkan
untuk menyadap informasi mengenai kegiatan para petani itu. Mestinya, bila sang
intel mampu mengumpulkan data yang benar, tragedi ini tak akan terjadi. Akibat
serbuan itu, delapan orang tewas, termasuk Abdul Manan, pemimpin jemaah Haur
Koneng. Lima peluru bersarang di perutnya. Juga dua anak yang masing-masing
berusia 12 dan 9 tahun.
Beberapa lagi luka parah. Selain itu, empat rumah hancur dibakar, begitu
pula sejumlah kitab agama dalam sebuah lemari besar. ”Ngeri, seperti perang,”
cerita seorang kakek yang tinggal tak jauh dari tempat kejadian itu. Prihatin atas
kejadian itu, sehari setelah penyerbuan terhadap kelompok Abdul Manan, LBH
Bandung membentuk tim pencari fakta, diketuai salah seorang Direktur LBH
Bandung, Effendi Saman. Tim ini segera dibentuk, antara lain, dengan alasan
perlunya penerapan praduga tak bersalah sehubungan dengan tuduhan bahwa
Abdul Manan menyebarkan aliran sesat, dan adanya pelanggaran terhadap hak
asasi jemaah tersebut oleh aparat keamanan yang menyelesaikan masalah itu
dengan tidak manusiawi. Di lapangan, tim yang beranggotakan delapan orang itu
banyak menemukan hal yang sangat mengejutkan, antara lain: Latar belakang
konflik itu adalah sengketa tanah seluas dua hektare (yang dihuni Abdul Manan
dan jemaahnya) antara Abdul Manan dan Rokhamid, yang sudah berlangsung
turun-temurun.
Belakangan, Rokhamid, yang menjadi Kepala Dusun Gunung Seureuh,
menuduh Abdul Manan melawan Pemerintah, misalnya tak mau disensus serta tak
mau membayar pajak bumi dan bangunan. Rokhamid juga menuduh Abdul
Manan menyebarkan aliran sesat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal,
Abdul Manan, yang 12 tahun belajar agama di beberapa pesantren, hanya
mengajarkan wirid atau zikir seperti lazimnya kaum tarekat di kalangan, misalnya,
NU. Abdul Manan dan jemaahnya kritis terhadap beberapa peraturan Pemerintah.
Ia, misalnya, mengkritik pajak bumi dan bangunan, yang menurutnya tidak ada
kaitannya dengan usaha menyejahterakan rakyat. Ia mengajak kelompoknya
menyendiri atau hijrah (tapi dituduh memutuskan silaturahmi) untuk menghindari
kebiasaan membeli SDSB atau mabuk-mabukan. Pihak aparat desa dan kecamatan
tidak pernah berusaha menjembatani perbedaan itu dengan bijaksana, misalnya
lewat musyawarah dalam Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Kepala desa malah
melaporkannya ke Serka Sri Ayem, Kepala Sektor Bantar Ujek, yang belakangan
tewas dikeroyok jemaah Abdul Manan. Aparat keamanan tidak menyelesaikannya
secara persuasif dan edukatif, tapi menggunakan pendekatan keamanan dan
represif, misalnya mengepung mereka dengan sepasukan polisi dan tentara sampai
tiga lapis, melempari mereka dengan granat gas air mata, dan membakar rumah
dengan bom molotov.
Tim LBH itu juga menyimpulkan bahwa jemaah Abdul Manan semata-
mata membela diri ketika anggota polisi Sri Ayem, yang melakukan penembakan
ke arah mereka, tewas di tangan pengikut Abdul Manan. Menurut sumber di
Polres Majalengka, temuan tim LBH itu tidak seluruhnya benar. Tidak benar
aparat keamanan menyerang lebih dulu. Polisi, katanya, juga sudah melakukan
pendekatan persuasif dan edukatif dengan memanggil mereka untuk ”dimintai
keterangan”. Tentu saja yang dipanggil enggan datang karena rakyat kecil di mana
pun selalu beranggapan bahwa dipanggil oleh polisi berarti ditangkap. Gara-gara
tak mau memenuhi panggilan itulah mereka dianggap membangkang. Lalu
dikerahkanlah pasukan polisi dan tentara terutama setelah sebelumnya terjadi
pemukulan terhadap Kepala Dusun, Rokhamid, oleh jemaah Abdul Manan. Kini
LBH Bandung sudah mendapat surat kuasa dari para korban yang dirawat di
rumah sakit dan yang ditahan di Polres Majalengka untuk menjadi pembela.
Adapun hasil temuan tersebut akan disampaikan ke Komisi Hak-Hak Asasi
Manusia PBB, DPR, dan Pangab. ”Kepada Pangab, kami minta agar pelaku
penembakan itu segera diadili,” ujar Effendi Saman. Sampai kini tampaknya yang
akan ke pengadilan hanya para pengikut Abdul Manan. Mereka dituduh
bertanggung jawab atas tewasnya Serka Sri Ayem. 
2.4. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua
Papua adalah daerah di ujung timur Indonesia yang selama ini masih
menjadi perhatian publik nasional dan internasional karena situasinya yang jauh
dari kesan kondusif dan aman. Sejak awal, baik saat menjalankan administrasi
pemerintahan sebelum PEPERA atau sesudah Papua secara resmi menjadi bagian
dari wilayah Indonesia, pemerintah memilih dan menggunakan pendekatan
keamanan (militer) dengan dalih menegakan kedaulatan negara, mengikis habis
gerakan separatisme yang telah dipupuk sebelum Belanda hengkang dari Papua.
Bahkan, pendekatan ini juga dijalankan oleh pusat untuk menangani sejumlah
gerakan masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah maupun perlawanan dari
kelompok di Papua yang sejak awal menolak integrasi Papua ke Indonesia dengan
jalan damai.
Dalam kenyataannya, penanganan konflik Papua tidak berubah walaupun
rezim telah beberapa kali berganti. Hal itu bisa dilihat dengan belum adanya
perubahan secara jelas terhadap kebijakan pusat setelah 50 tahun lebih integrasi
Papua ke Indonesia. Faktanya pendekatan keamanan dan militer masih
dipertahankan dan digunakan dengan alasan ancaman keamanan dan kedaulatan
negara. Kemudian diperparah ketika terjadi perubahan politik nasional seiring
tumbangnya rezim orde baru tahun 1998, penanganan konflik Papua tidak
beranjak dari pola pendekatan politik militer. Meskipun tahun 2001 pemerintah
pusat yang ketika itu dipimpin oleh Presiden Megawati Sokarnoputri memberikan
Otonomi Khusus (OTSUS) sebagai suatu alat politik terhadap Papua melalui pada
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, namun hal tersebut tidak menandakan
adanya gejala perubahan pola penanganan di Papua, karena kenyataannya
pendekatan yang bertumpu pada penggunaan aparat TNI masih diberlakukan.
Tetap berlanjutnya pendekatan ini terhadap Papua mencerminkan sikap setengah
hati dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan konflik antara Jakarta – Papua
secara damai dan tanpa kekerasan.
Sehingga sampai saat ini berbagai tindakan yang sifatnya melanggar hak-
hak asasi manusia seringkali terjadi di Papua. Banyak sekali pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap warga sipil di papua, baik
secara diam-diam maupun secara terang-terangan. Itu pun yang diketahui, tak
terhitung juga pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah secara diam-
diam yang belum diketahui hingga saat ini. Semua pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap warganya itu tak pernah
diselesaikan satu kasus pun hingga saat ini. Bahkan KOMNASHAM juga belum
bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua ini dan cenderung acuh tak
acuh. Di papua pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia di papua sudah cukup
memprihatinkan, dan kasus-kasus seperti ini banyak terjadi di Papua dan
umumnya di lakukan oleh aparat militer terhadap rakyat pribumi di papua. Sampai
dengan saat ini kasus-kasus pelanggaran HAM di papua belum diselesaikan secara
maksimal, dan dengan adanya hal inilah yang menyebabkan timbulnya akar
konflik antara rakyat pribumi dengan pemerintah Indonesia.
Pelanggaran HAM yan dilakukan oleh pemerintah terhadap warga papua
kian hari semakin membukit dan terus bertambah. Korban jiwa berjatuhan disana
sini. Pelanggaran HAM tersebut tak satupun kasus yang dapat diselesaikan
dengan baik tetapi selalu membiarkan dan berlalu begitu saja. Yang lebih parah
lagi adalah aparat dalam hal ini TNI/POLRI selalu menyangkal bahkan
menyembuyikan tindakan pelanggran yang mereka perbuat itu.

Berbagai Macam Pelanggaran HAM di Papua


Pelanggaran HAM di Papua antara lain :
 Pelanggaran primer pada UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
yaitu pelanggaran kebebasan individu untuk hidup (Liberty), pelanggaran
keamanan (Safety), pelanggaran perlawanan terhadap penindasan
(Resistance to Oppression). seperti pembunuhan dengan segala cara dan
juga pemerkosaan. Banyaknya pembunuhan oleh TNI yang kemudian
tidak diusut dan dibiarkan begitu saja antara lain :
1. kasus Kimaam
2. pembunuhan terhadap Theys Hiyo Eluay dan penghilangan sopirnya,
Aristoles Masoka.
3. Kasus Wasior
4. Kasus Abepura
5. Wamena
6. Operasi Puncak Jaya
7. Timika berdarah
8. Kasus Freeport
 
 Pelanggaran Terhadap Hak – Hak Sipil dan Politik (Mengacu pada
International Covenant on Civil and Political Rights). Terkait dengan
penyelewengan penerapan Otonomi Khusus yang pada realitanya ternyata
tidak berpihak pada penduduk Papua. Juga terkait pelanggaran pada MRP
(Majelis Rakyat Papua) yang sangat dicampuri oleh pemerintah pusat, dan
bidang keuangan cenderung tidak transparan pada pembagian sumber daya
alam papua. Selain itu, pelanggaran yang mendasar adalah segala kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah untuk Papua tidak pernah mengikutcampurkan
suara Papua atau wakil-wakil Papua di dalamnya.
 
 Pelanggaran Terhadap Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Terkait
dengan International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights).
Sektor ekonomi, pendidikan dan kesehatan penduduk Papua sangat buruk
sekali. Ini dikarenakan pengalokasian APBD yang pada realitanya tidak
sesuai dengan angka yang tertera. Juga terkait dengan pengeksploitasi sumber
daya alam Papua yang hasilnya tidak bisa dinikmati oleh penduduk Papua.
Bahkan ketika saya mengikuti kajian dialog Otonomi Khusus Papua (Mata
Kuliah Reformasi Sektor Publik) di Fakultas Hukum dengan kerjasama Lab.
OTODA Fakultas Hukum, pada saat itu hadir penduduk Papua yang berkuliah
di Universitas Brawijaya, mereka mengungkapkan secara riil bagaimana
kondisi di Papua. Bahkan menurut mereka, berita pemerintah di televisi
bahwa Papua sekarang sudah maju itu adalah bohong besar. Mereka tidak
merasakan perbedaan adanya otonomi khusus atau tidak, karena mereka tetap
tidur dan terbangun dengan suasana gelap gulita tanpa lampu. Sehingga
banyak pertanyaan apakah otonomi khusus ini hanya alat politik? Mereka
juga akhirnya membentuk stigma “membenci masyarakat Jawa”, karena
mereka merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat. Mereka juga
mengungkapkan bahwa banyak sekali muncul pembenci-pembenci Jawa
dikarenakan tindak-tanduk TNI yang menghamili penduduk Papua kemudian
mereka tidak bertanggungjawab. Akhirnya lahirlah bibit-bibit pembenci
masyarakat Jawa. Selain itu, populasi penduduk Papua juga tiap tahunnya
selalu berkurang jauh sekali dikarenakan faktor dibunuh, kesehatan yang
buruk, gizi buruk, dll. Sangat ironis sekali bila ditilik papua adalah daerah
yang sangat makmur dengan SDA tambangnya dibandingkan dengan daerah
Jawa.
 
 Pelanggaran Terhadap Diskriminasi Rasial (Terkait dengan
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination). Pelanggara di Papua mencangkup pelanggaran terhadap
diskriminasi rasial dikarenakan pada pelanggaran di papua sudah membawa
stigma kedaerahan (primordial, kepentingan segelintir orang dan stigma
masyarakat Papua – Jawa). Terjadinya diskriminasi bahwa semua orang
Papua adalah anggota OPM dan tindakan sewenang-wenang TNI membunuh
tanpa aturan dan tidak ada hukuman membuat populasi penduduk Papua
menipis. Selain itu, apabila hal ini terus berkelanjutan, maka kekerasan
tersebut bisa menjadi genocide yaitu pemusnahan suatu ras atau suku. Karena
apabila digambarkan pada tabel analisis perubahan kependudukan di Papua,
penduduk asli papua bisa benar-benar punah. Selain itu, banyak persoalan lain
seperti menganaktirikan orang papua asli dengan pendatang, dikarenakan
orang Papua asli lebih banyak berkulit hitam. Hal ini biasanya terjadi di
lingkungan sekolah dan tempat kerja.
 
 Pelanggaran Diskriminasi Terhadap Perempuan (Terkait dengan
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women). Pelanggaran di Papua bisa termasuk pada pelanggaran diskriminasi
pada perempuan, dikarenakan tindakan aparatur TNI yang sewenang-wenang
menggunakan tubuh perempuan penduduk Papua sebagai pelampiasan
kebutuhan seks kemudian ditinggalkan begitu saja. Selain itu, perempuan
penduduk Papua khususnya istri – istri anggota OPM juga banyak
dimanfaatkan untuk memancing para anggota OPM yang kebanyakan laki-
laki agar keluar dari persembunyiannya dan aparat TNI bisa menangkap juga
tidak segan – segan membunuh. Namun faktanya adalah bahwa undang –
undang tentang hak asasi manusia belum mampu melindungi perempuan
terhadap pelanggaran hak asasinya dalam bentuk :
1. Kekerasan berbasis gender bersifat kekerasan fisik, seksual atau psikologis,
penganiayaan, pemerkosaan dan berbagai jenis pelecehan
2. Diskriminasi dalam lapangan pekerjaan.
3. Diskriminasi dalam sistem pengupahan.
 
Solusi
Untuk memperbaiki kondisi Papua yang kian hari kian memburuk, maka dapat
dilakuakn hal – hal berikut ini :
 Mengamandemen UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
 Memperbaiki kebijakan-kebijakan yang cenderung melegitimasi tindakan
pelanggaran HAM
 Perbaikan taraf hidup penduduk Papua dan juga aparatur TNI yang
ditugaskan di Papua
 Peningkatan ketegasan hukum dan peningkatan kinerja KOMNASHAM
dalam menangani masalah pelanggaran HAM di Papua sehingga tidak
berlarut-larut
 Meminimalisir campurtangan pihak asing dalam pemerintahan dan
perekonomian natara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Papua, juga
harus dibentuknya peraturan sistem bagi hasil SDA yang jelas bagi penduduk
Papua.
 Pemerintah harus lebih mengontrol saham-saham asing yang ada di Papua,
karena sampai sekarang saham asing di tanah Papua itu hampir menyeluruh
memiliki SDA tambang di Papua.
 Meminimalisir sikap neoliberalisme terkait dengan janji-janji pada
penandatanganan utang luar negeri yang biasanya syarat-syaratnya harus
menjual public goods yang ada di Indonesia.
 Pemerintah harus lebih transparan pada penduduk Papua.
 Perubahan stigma penduduk Papua bahwa tindakan pemerintah tidak selalu
buruk, begitu juga perubahan stigma aparat TNI yang sedang bertugas bahwa
penangkapan tidak boleh sewenang-wenang.
 Meminimalisir aparat TNI di papua.
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan
kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi
satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas
HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh
perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang
dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara
akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh
proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat
dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Operasi militer Indonesia di Aceh 1989-1998 atau juga disebut Operasi
Jaring Merah adalah operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada akhir
1989 sampai 22 Agustus 1998 melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) di Aceh. Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai "Daerah
Operasi Militer" (DOM), di manaTentara Nasional Indonesia diduga melakukan
pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar dan sistematis terhadap pejuang
GAM maupun rakyat sipil Aceh. Operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor
di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan
dan penghilangan, dan pembakaran desa. Amnesty International menyebut
diluncurkannya operasi militer ini sebagai "shock therapy" bagi GAM.

B.     SARAN
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan
memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa
menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan
pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak
oleh orang lain. Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan
mengimbangi antara HAM kita dengan HAM orang lain
DAFTAR PUSTAKA

Barus Fauzan. 2015. Analisis Peristiwa Aceh 1990.


https://fauzanbrs94.wordpress.com/2015/04/22/analisis-peristiwa-aceh-
1990/ (Diakses pada 14 November 2017).
Chaidar Al, Dkk. 1999. Aceh Bersimbah Darah Mengungkap Penerapan Status
Daerah Operasi Militer(DOM) di Aceh 1989-1998. Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar. Buku Islam Utama. https://paulusmtangke.wordpress.com/hak-
asasi-manusia/ (Diakses 14 November 2017)
Info Aceh. 2013. DOM Aceh 1989-1998.
http://sekilasinfoaceh.blogspot.co.id/2013/03/dom-aceh-1989-
1998_4715.html (Diakses pada 14 November 2017).
Muhammad Jafar. AW. (2009), Perkembangan Dan Prospek Partai Politik Lokal
Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tesis - Magister Ilmu Politik pada
Program Pascasarjana : Universitas Diponegoro.
Wikipedia. 2016. Operasi Militer Indonesia di Aceh 1990-1998.
https://id.wikipedia.org/wiki/Operasi_militer_Indonesia_di_Aceh_1990-
1998 (Di akses pada 14 November 2017).

Anda mungkin juga menyukai