Anda di halaman 1dari 74

BAB I

STRUKTUR ORGANISASI DI ATAS KAPAL

A. Tugas dan Tanggungjawab Nahkoda

Struktur organisasi kapal terdiri dari seorang Nakhoda selaku pimpinan umum di atas
kapal dan Anak Buah kapal yang terdiri dari para perwira kapal dan non
perwira/bawahan (subordinate crew). Nahkoda adalah orang yang bertanggungjawab
terhadap keseluruhan kapal, muatan dan keselamatan setiap kru. Seorang nahkoda
haruslah merupakan navigator yang handal dan berpengalaman. Tugas dan
tanggungjawab nahkoda sangatlah besar dan mencakup kondisi kapal secara
keseluruhan. Misalkan seorang Mualim sedang bertugas di anjungan sewaktu kapal
mengalami kandas. Meskipun pada saat itu Nakhoda tidak berada di anjungan, akibat
kandas itu tetap menjadi tanggung jawab Nakhoda. Contoh yang lain seorang Masinis
sedang bertugas di Kamar Mesin ketika tiba-tiba terjadi kebakaran dari kamar mesin.
Maka akibat yang terjadi karena kebakaran itu tetap menjadi tanggung jawab Nakhoda.
Tugas dan tanggungjawab Nahkoda dapat dijabarkan melalui penjelasan sebagai
berikut:
1. Nakhoda Merupakan Pemegang Kewibawaan Umum
Mengandung pengertian bahwa semua orang yang berada di atas kapal, tanpa
kecuali harus taat serta patuh kepada perintah-perintah Nakhoda demi terciptanya
keamanan dan ketertiban di atas kapal. Tidak ada suatu alasan apapun yang dapat
dipakai oleh orang-orang yang berada di atas kapal untuk menentang perintah
Nakhoda sepanjang perintah itu tidak menyimpang dari peraturan perundang-
undangan. Setiap penentangan terhadap perintah Nakhoda yang demikian itu
merupakan pelanggaran hukum, sesuai dengan pasal 459 dam 460 KUH. Pidana,
serta pasal 118 UU. No.21, Th. 1992. Jadi menentang perintah atasan bagi awak
kapal dianggap menentang perintah Nakhoda karena atasan itu bertindak untuk dan
atas nama Nakhoda.
2. Nakhoda sebagai Pemimpin Kapal 
Nakhoda bertanggung jawab dalam membawa kapal berlayar dari pelabuhan satu ke
pelabuhan lain atau dari tempat satu ke tempat lain dengan selamat, aman sampai
tujuan terhadap penumpang dan segala muatannya.

3. Nakhoda sebagai Penegak Hukum


1
Nakhoda adalah sebagai penegak atau abdi hukum di atas kapal sehingga apabila
diatas kapal terjadi peristiwa pidana, maka Nakhoda berwenang bertindak selaku
Polisi atau Jaksa. Dalam kaitannya selaku penegak hukum, Nakhoda dapat
mengambil tindakan antara lain :
 menahan/mengurung tersangka di atas kapal
 membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
 mengumpulkan bukti-bukti
 menyerahkan tersangka dan bukti-bukti serta Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) pada pihak Polisi atau Jaksa dilakukan di pelabuhan pertama
yang disinggahi.
4. Nakhoda sebagai Notaris
Dalam hal terjadinya kematian seseorang diatas kapal ,nahkoda berwenang
membuat wasiat selama dalam perjalanan dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
Surat wasiat yang dibuat oleh nahkoda hanya berlaku sementara, sebab apabila
siperwaris meninggal lebih dari 6 bulan setelah pembuatan wasiat itu, maka surat itu
tidak berlaku lagi, wasiat ini ditanda tangani oleh pewaris,nahkoda dan salah seorang
saksi.Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(KUHPPer).hal ini diatur dalam
pasal 947,950 dan 952 yaitu bilamana di minta nahkoda bisa bertindak sebagai
notaris dan pembuat surat wasiat seseorang
5. Nakhoda sebagai Pegawai Catatan Sipil
Apabila diatas kapal terjadi peristiwa-peristiwa seperti kelahiran dan kematian maka
Nakhoda berwenang bertindak selaku Pegawai Catatan Sipil. Tindakan-tindakan
yang harus dilakukan Nakhoda jika di dalam pelayaran terjadi kelahiran antara lain :
 Membuat Berita Acara Kelahiran dengan 2 orang saksi (biasanya Perwira kapal)
 Mencatat terjadinya kelahiran tersebut dalam Buku Harian Kapal
 Menyerahkan Berita Acara Kelahiran tersebut pada Kantor Catatan Sipil di
pelabuhan pertama yang disinggahi.
Jikalau terjadi kematian :
 Membuat Berita Acara Kematian dengan 2 orang saksi (biasanya Perwira kapal)
 Mencatat terjadinya kematian tersebut dalam Buku Harian Kapal
 Menyerahkan Berita Acara Kematian tersebut pada Kantor Catatan Sipil di
pelabuhan pertama yang disinggahi
 Sebab-sebab kematian tidak boleh ditulis dalam Berita Acara Kematian maupun
Buku Harian Kapal, karena wewenang membuat visum ada pada tangan dokter.
Apabila kelahiran maupun kematian terjadi di luar negeri, Berita Acaranya diserahkan
pada Kantor Kedutaan Besar R.I. yang berada di negara yang bersangkutan.

2
Dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang begitu besar, Nahkoda dibantu
oleh beberapa perwira dan ABK sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku di
atas kapalnya. Struktur organisasi tersebut bukanlah struktur yang baku, karena tiap
kapal bisa berbeda struktur organisasinya tergantung jenis, fungsi dan kondisi kapal
tersebut. Umumnya kapal terdiri dari departemen deck, engine, catering, dan
departemen radio. Berikut adalah salah satu contoh struktur organisasi di suatu kapal
:

Gambar 2 : Contoh Struktur Organisasi di Kapal

B. Tugas dan Tanggungjawab Perwira

Chief Officer atau yang juga disebut Mualim I merupakan kepala departemen deck. Dia
dibantu oleh Mualim II, Mualim III atau terkadang Mualim IV. Departemen deck juga
terdiri dari Bosun dan Carpenter (keduanya adalah petty officers) dan sejumlah ratings
yang terdiri dari Able Seamen (AB) dan Ordinary Seamen (OS). Departemen Deck
bertanggungjawab dalam navigasi kapal dengan aman dan ekonomis dari satu
pelabuhan ke pelabuhan yang lain. Nahkoda merupakan navigator yang
berpengalaman dan menentukan haluan terbaik kapal. Mualim II bertanggungjawab
membantu Nahkoda untuk menjaga agar kapal tetap pada haluannya dan merawat
seluruh peralatan yang digunakan untuk keperluan navigasi. Tugas departemen deck
lainnya adalah terkait penanganan dan pengaturan muatan yang merupakan
tanggungjawab dari Mualim I. Pada saat kapal tidak berisi muatan, Mualim I harus
memastikan bahwa ruang palka bersih dan dipersiapkan untuk pengisian muatan
berikutnya. Di laut, kebanyakan tugas departemen deck dihabiskan untuk melaksanakan

3
perawatan kapal dan peralatannya agar selalu berada pada kondisi yang prima.
Pekerjaan pembersihan, pengecatan dan perbaikan harus selalu dilaksanakan oleh
ratings dengan supervisi dari Bosun. Program perawatan harian disusun oleh Mualim I.
Dia juga mengawasi jalannya tugas sehari-hari secara umum dan harus siap
menghadapi permasalahan yang muncul. Mualim III bertanggungjawab terhadap
peralatan keselamatan. Dia harus memastikan semua peralatan keselamatan dapat
berfungsi dengan baik ketika diperlukan, terutama dalam kondisi emergensi. Bosun dan
carpenter langsung bertanggungjawab kepada Mualim I. Bosun memastikan bahwa
instruksi Mualim dilaksanakan oleh kru kapal. Bosun memiliki pengetahuan dan
pengalaman dalam tali temali. Tugas sehari-hari carpenter adalah mengukur muatan
yang ada di dalam tanki. Dia juga bertanggungjawab mengoperasikan windlass (mesin
jangkar) saat jangkar dinaikkan atau diturunkan. Departemen deck juga
bertanggungjawab untuk melaksanakan tugas jaga. Perwira deck melaksanakan tugas
jaga di anjungan. Dia merupakan wakil Nahkoda dan harus melaporkan keselamatan
kapal selama bertugas jaga.
Chief Engineer atau yang disebut juga Kepala Kamar Mesin (KKM) merupakan
kepala departemen mesin. Dalam bekerja dia dibantu oleh Masinis I, Masinis II, Masinis
III dan terkadang Masinis IV. Petty Officers di kamar mesin adalah Pumpman,
Storekeeper dan Donkeyman. KKM bertanggung jawab kepada Nakhoda mengenai
administrasi, pengawasan, keselamatan dan penghematan operasi pada Departemen
Mesin. Tanggung jawab KKM adalah terkait dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Pengoperasian, pemeliharaan dan perbaikan yang tepat guna pada semua mesin-
mesin dan perlengkapan listrik, mesin perlengkapan deck, mesin pendingin bahan
makanan, dapur dan perlengkapan lainnya seperti yang telah ditetapkan.
2. Tanggung jawab yang berhubungan dengan sistem muatan dan mesin perlengkapan
deck akan dilakukan kerjasama dengan Mualim I.
3. Melaksanakan pengawasan yang ketat terhadap semua kegiatan Departemen Mesin.
KKM diharapkan agar setiap saat memberitahukan mengenai hal-hal berikut:
 Perilaku dan kemampuan awak kapal Departemen Mesin
 Pemakaian dan persediaan bahan bakar dan minyak pelumas
 Kondisi dari mesin penggerak utama, mesin bantu dan mesin kemudi termasuk
kinerja terakhir peralatan-peralatan tersebut, perbaikan yang dibutuhkan, persediaan
dan penggunaan suku cadang Departemen Mesin.
4. Melakukan inspeksi ke ruangan mesin untuk memastikan pengoperasian mesin-mesin
dengan benar dan melihat bahwa awak kapal yang mengoperasikan melakukan tugas-
tugasnya dengan penuh perhatian, serta melakukan inspeksi bersama dengan
Nakhoda ke seluruh bagian kapal sebagaimana diperlukan.
4
Masinis I adalah pejabat nomor dua untuk Departemen Mesin dan jika KKM
berhalangan, dia akan mengambil tugas dan tanggung jawab KKM. Masinis I
bertanggung jawab kepada KKM mengenai hal-hal sebagai berikut :
1. Melakukan tugas jaga di kamar mesin pada waktu kapal berlayar dan di pelabuhan
jika ditetapkan demikian.
2. Bertanggungjawab terhadap kondisi dan pemeliharaan mesin induk, pemeliharaan
pompa-pompa, alat pemindahan panas (heat exchanger) dan perlengkapannya
3. Masinis I bertanggung jawab dalam pencegahan kecelakaan bersama Mualim I untuk
memastikan kondisi kerja yang aman di atas kapal, agar memperhatikan bahwa
semua pekerjaan terutama yang berhubungan dengan Kegiatan Departemen Mesin
dilaksanakan dengan aman.
4. Melakukan tugas-tugas dan pekerjaan pemeliharaan sesuai dengan jadwal
pemeliharaan terencana (Planned Maintenance System).
5. Melaporkan dan mencatat pemakaian bahan bakar dan minyak pelumas kepada KKM.
6. Merencanakan permintaan bunkerdan minyak pelumas.
7. Pengoperasian dan pencatatan indikator pesawat-pesawat kelistrikan
8. Pengoperasian, menjalankan sistemmesin pendingin, sistem air condition, panel listrik
dan elektro motor.
9. Menyiapkan dan mengganti lampu-lampu penerangan dan lampu-lampu navigasi
apabila ada yang padam.

Adapun Masinis II bertanggung jawab kepada KKM mengenai hal-hal berikut:


1. Melakukan tugas jaga di kamar mesin pada waktu kapal berlayar dan di pelabuhan
jika ditetapkandemikian.
2. Kondisi dan pemeliharaan motor bantu, air compressor, pesawat-pesawat darurat dan
perlengkapannya.
3. Melakukan tugas-tugas dan pekerjaan pemeliharaan sesuai jadwal pemeliharaan
terencana.
4. Kondisi dan pemeliharaan pipa-pipa dan tangki-tangki serta perlengkapannya.
5. Kebersihan ruangan-ruangan mesin.

Masinis III bertanggung jawab kepada KKM mengenai hal-hal berikut :


1. Melakukan tugas jaga di kamar mesin pada waktu kapal berlayar dan di pelabuhan
jika ditetapkan demikian
2. Kondisi dan pemeliharaan pompa-pompa, alat pemindahan panas (heat exchanger)
dan perlengkapannya
3. Melaksanakan tugas-tugas dan pekerjaan pemeliharaan sesuai jadwal pemeliharaan
terencana
5
4. Melaporkan dan mencatat pemakaian bahan bakar dan minyak pelumas kepada KKM
5. Mengawasi pelaksanaan pengisian bunker dan penerimaan minyak pelumas

Sistem kerja di kapal menggunakan sistem rantai komando. Dalam sistem ini,
perintah diberikan secara hierarkis dari pihak dengan jabatan lebih tinggi kepada pihak
dengan jabatan lebih rendah yang akan melaksanakan perintah secara langsung atau
pihak tersebut akan menyampaikan perintah kepada pihak yang jabatannya lebih rendah
lagi untuk dilaksanakan. Seseorang hanya dapat memberikan perintah kepada pihak
yang secara langsung berada dibawahnya dalam rantai komando dan dia pun hanya
dapat menerima perintah hanya dari pihak yang langsung berada di atasnya.
Perintah dan kontrol sangat kuat dirasakan dalam sistem rantai komando.
Semakin tinggi jabatan seseorang dalam rantai komando, semakin besar kekuasaan,
kekuatan, dan tanggungjawabnya. Struktur hierarki seperti ini memiliki kelebihan ketika
diterapkan di atas kapal:
 Tugas dan tanggungjawab dapat disupervisi dengan jelas dimana setiap pimpinan
memiliki tanggungjawab untuk mengawasi pekerjaan bawahannya.
 Bawahan tidak akan bingung ketika ingin bertanya atau berkonsultasi terkait pekerjaan
yang dibebankan kepadanya. Sistem komunikasi dan pelaporan juga lebih jelas.

6
BAB II
KEMAMPUAN DAN KETERBATASAN MANUSIA

Manusia memegang peranan penting dalam operasi sebuah kapal. Manusia lah
yang mengatur, menggerakkan, mengorganisir bahkan melaksanakan semua pekerjaan di
atas kapal. Kapal tanpa kru tidak akan dapat beroperasi. Keberadaan manusia menjadi
sangat penting dalam menjamin terselenggaranya pelayaran yang aman dan selamat. Perlu
disadari bahwa manusia memiliki kemampuan serta keterbatasan yang berbeda-beda. Bab
ini akan memberikan gambaran terkait kemampuan dan keterbatasan manusia dalam
konteks maritim yang akan dibahas berdasarkan psikologi kognitif. Hal ini penting untuk
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman seorang perwira sebagai seorang pemimpin di
kapal agar dapat menjalankan serta mengelola tugas serta sumber daya manusia di atas
kapal dengan efektif.

A. Indera Manusia
Terdapat 4 (empat) indera manusia yang sangat penting dalam konteks maritime :
1. Penglihatan
Kebanyakan informasi yang didapatkan oleh kru berasal dari penglihatan. Misalnya
melihat posisi kapal lain, mengamati bongkar muat barang, dsb. Namun demikian, ada
faktor-faktor yang dapat mengurangi kemampuan penglihatan manusia. Penglihatan
dapat terganggu oleh situasi lingkungan seperti: kegelapan, jarak pandang yang buruk,
atau cahaya matahari yang silau. Penglihatan malam hari dapat terganggu oleh lampu-
lampu yang berasal dari peralatan di anjungan. Bekerja di anjungan memang memiliki
kondisi cahaya yang ekstrim, mulai dari kegelapan yang pekat di malam hari sampai
pada cahaya yang sangat terang di siang hari.
Berbagai alat dan tekhnologi telah digunakan untuk mengatasi masalah dan
keterbatasan penglihatan manusia. Misalnya dengan menggunakan kacamata atau
teropong, sampai pada peralatan yang lebih canggih yakni radar. Radar membuat kita
dapat “melihat” dalam kondisi gelap dan jarak pandang yang buruk. Tekhnologi yang
menggunakan cahaya infra merah juga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas
penglihatan malam. Tekhnologi ini sangat penting dalam operasi search and rescue,
dan juga ketika kapal beroperasi di perairan dimana kapal-kapal kecil lain seperti kapal
ikan tidak menggunakan penerangan yang baik di malam hari. Kacamata / sun glasses
dapat membantu kru ketika bekerja di anjungan saat sinar matahari sedang terasa
sangat terang. Namun demikian, meskipun menggunakan peralatan tersebut,

7
terkadang masih sangat sulit untuk mengidentifikasi kapal, pelampung, dsb saat benda-
benda tersebut terkena silaunya cahaya matahari.
2. Pendengaran
Pendengaran merupakan indera manusia lainnya yang sangat penting dalam operasi di
dunia maritim, dan seperti hal nya penglihatan, pendengaran pun memiliki
keterbatasan. Seorang masinis yang sedang berada di kamar mesin harus
menggunakan ear defenders untuk melindungi telinganya dari kebisingan, namun hal
tersebut membuatnya tidak dapat mendengarkan perkataan dari kru lainnya.
3. Indera peraba
Indera ini sangat berhubungan dengan desain peralatan dan kontrol di kapal.
Kemampuan untuk merasakan perbedaan antara tombol-tombol sangat penting dalam
situasi darurat, pada saat tingkat stress tinggi, atau saat penglihatan terbatas.
Permasalahan terkait dengan Indera peraba ini pada kebanyakan kasus terjadi akibat
kurang baiknya desain peralatan. Sulit untuk membedakan perbedaan bentuk fisik
tombol berwarna merah dan hitam. Apabila operator kurang konsentrasi, mudah sekali
terjadi kesalahan dalam mengoperasikan tombol peralatan. Sayangnya dalam dunia
maritim, indera peraba seringkali tidak diperhitungkan dalam mendesain peralatan
kapal. Berbeda dengan di dunia penerbangan, misalnya pada pesawat tempur, setiap
tombol memiliki karakteristik rabaan yang berbeda-beda sehingga memungkinkan
penggunanya untuk “merasakan” perbedaan tombol-tombol tersebut tanpa melihat
langsung secara visual. Hal ini dapat meminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi.
4. Indera vestibular
Indera ini digunakan untuk menemukan posisi tubuh dan berhubungan dengan
keseimbangan tubuh seseorang. Hal ini juga terkait dengan motion sickness, atau rasa
mual akibat pergerakan suatu kendaraan yang ditumpangi (sering disebut juga disebut
dengan mabuk laut ketika di kapal). Indera vestibular sangat penting dalam beberapa
situasi misalnya ketika kru merasakan kemiringan kapal yang tidak normal yang
merupakan indikasi masalah dengan stabilitas atau ballast.

B.Persepsi
Indera manusia, baik penglihatan, pendengaran maupun perasa, memberikan kita suatu
input secara terus menerus. Input ini diproses dalam sistem persepsi kita. Seperti hal nya
indera manusia, sistem persepsi pun dapat memiliki keterbatasan dan kelemahan. Fungsi
dasar dari sistem ini adalah memproses sensor input berdasarkan pengalaman,
pengetahuan dan motivasi yang dimiliki oleh manusia. Ketika kita menunjukkan tulisan ini
pada seorang anak kecil berusia 1 (satu) tahun, anak tersebut akan mempersepsi tulisan
ini sebagai garis-garis hitam tanpa makna. Namun ketika ditunjukkan pada orang dewasa,

8
apalagi kepada pelaut, tulisan ini akan dipersepsi sebagai huruf, kata, dan kalimat yang
memiliki makna. Semakin seseorang memiliki tambahan pengetahuan dan pengalaman,
maka dia dapat memahami sesuatu dengan lebih baik.
Namun mekanisme ini juga memiliki suatu kelemahan, yang disebut dengan expectation
bias. Ketika kita sangat berharap dapat menemukan sesuatu hal, kita akan merasa bahwa
kita telah menemukan hal tersebut padahal sebenarnya hal tersebut telah berubah atau
bahkan hilang. Contohnya ketika seorang perwira sedang mencari suatu buoy
(pelampung) di laut, dia dapat merasa bahwa dia telah menemukan pelampung yang
dicarinya, padahal pelampung tersebut adalah pelampung yang berbeda. Kita mengamati
apa yang kita ingin amati.
Hal lainnya disebut dengan confirmation bias. Hal ini terjadi ketika kita hanya mau
menerima informasi yang sesuai dengan asumsi kita dan mengabaikan informasi yang
bertentangan dengannya. Confirmation bias dapat menjadi ancaman bagi keselamatan
kapal ketika kru berasumsi bahwa kapal berada pada jalur yang benar dan segalanya
berjalan dengan baik. Tanda bahaya dapat diabaikan hanya karena tidak sesuai dengan
asumsi, dan orang akan cenderung mencari pembenaran untuk mendukung kebenaran
asumsi nya tersebut.
Expectation bias dan confirmation bias dapat diatasi dengan meingkatkan kepekaan
terhadap masalah dan sistem keselamatan kapal menggunakan tekhnologi. Selain itu kru
harus menjalankan prosedur yang sesuai dan bertindak tepat waktu ketika terjadi
masalah.
Pengalaman seseorang juga dapat mempengaruhi persepsinya terhadap resiko. Kita
memperkirakan resiko berdasarkan pengalaman kita terhadap kecelakaan. Jika kita
terbiasa bekerja di sebuah lingkungan yang aman, kita akan cenderung menganggap
resiko bahaya kecil kemungkinan terjadinya. Ketika suatu kecelakaan terjadi, kita akan
menambah pengalaman kita dan persepsi terhadap resiko akan menjadi lebih realistis.
Ketika kita menganggap bahwa kemungkinan resiko adalah rendah, maka tingkat
kewaspadaan dan perhatian kita akan semakin menurun dan menyulitkan kita untuk
bereaksi dengan sigap dalam situsi kritis. Selain itu, kita cenderung akan mengambil
resiko-resiko kecil karena kita merasa aman dengan kondisi yang ada.
Salah satu cara untuk meningkatkan persepsi terhadap resiko (risk perception) adalah
melalui sudut pandang organisasi, yakni dengan mencatat dan mempelajari kecelakaan-
kecelakaan yang terjadi di laut. Pengetahuan mengenai kecelakaan kapal lain dapat
menambah pengalaman seorang pelaut, meskipun tidak mengalaminya sendiri. Hal
tersebut dapat memberikan gambaran yang lebih baik terkait resiko yang mungkin saja
dihadapi kapalnya sendiri. Terkadang ada pelaut yang mengalami confirmation bias dan
berpikir bahwa “ah..kecelakaan itu tidak akan terjadi pada kapal saya”. Pemikiran seperti
9
itu sangat berbahaya karena menunjukkan risk perception yang rendah yang membuat
seseorang menggampangkan prosedur keselamatan yang seharusnya dijalankan.

C. Kognisi
Pada bagian sebelumnya, kita telah membahas indera manusia dan persepsi. Informasi
yang diterima indera, akan kita persepsikan, dan kemudian diproses lebih jauh dalam
sistem kognisi. Pada bagian ini kita akan melihat beberapa teori dan konsep psikologi
kognitif yang berhubungan dengan konteks kemaritiman.
1. Memori dan pengetahuan
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa kita memahami sesuatu
menggunakan dasar pengalaman dan pengetahuan terdahulu yang tersimpan dalam
memori. Terdapat banyak teori tentang memori manusia, dimana lokasinya dan
bagaimana cara kerjanya. Ada juga beragam teori mengenai pengetahuan, bagaimana
mendapatkannya dan bagaimana pengetahuan disimpan dalam memori. Beberapa
teori dikembangkan berdasar pada penelitian neuropsikologi dan temuan dari orang-
orang yang mengalami kerusakan otak. Komputer dapat memberikan inspirasi bagi
teori-teori ini. Namun tidak seperti pada komputer, pada manusia memori dan
pengetahuan tersebar di otak dan tidak tersimpan dalam suatu sel atau tempat.
Memori terbagi menjadi 3 (tiga) jenis:
 Sensory memory adalah dimana informasi dikumpulkan melalui indera manusia
(penglihatan, pendengaran, peraba, dsb) dan disimpan dalam jangka waktu sangat
pendek, biasanya kurang dari 1 (satu) detik, sampai diberikan perhatian untuk
ditransfer ke working memory dan diproses lebih lanjut.
 Working memory merupakan tempat penyimpanan informasi jangka pendek ketika
informasi sedang diproses atau digunakan. Misalnya ketika perwira jaga membaca
bearing / jarak di radar kemudian berjalan mendekati meja peta untuk mengeplot
posisi. Working memory menyimpan informasi mengenai apa yang sedang kita
lakukan dan apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Sulit bagi kita untuk menjalani
kehidupan normal sehari-hari apabila working memory kita terganggu. Stress juga
dapat mengganggu working memory seseorang. Working memory memang sangat
rapuh terhadap gangguan dan memiliki kapasitas yang terbatas. Oleh sebab itu,
catatan atau alat perekam dapat sangat membantu kita. Misalnya fungsi “replay”
dalam peralatan radio VHF moderen dapat membantu pelaut untuk mendengarkan
kembali pesan yang disampaikan apabila pesan berisi terlalu banyak informasi untuk
dapat ditampung oleh working memory (misalnya posisi koordinat). Fungsi seperti ini
dapat meringankan beban working memory manusia. Sangat penting untuk
menyadari bahwa informasi dalam working memory dapat hilang tiba-tiba jika

10
seseorang terganggu perhatiannya. Adapun gangguan merupakan suatu hal yang
biasa terjadi di kapal, misalnya alarm, panggilan telepon, panggilan radio, atau
pertanyaan-pertanyaan dari sesama kru dapat mengganggu konsentrasi seseorang
ketika sedang bekerja sehari-hari. Mencatat dan menggunakan check list dapat
meminimalisisr munculnya masalah karena hal ini.
 Long-term memory berisi pengetahuan, keterampilan dan pengalaman kita.
Biasanya terbagi menjadi declarative memory dan procedural memory. Declarative
memory berisi informasi dan fakta, sedangkan procedural memory berisi
keterampilan kita. Dalam situasi stress, seringkali kita kesulitan untuk mengakses
declarative memory, sedangkan procedural memory lebih mudah untuk diakses. Ini
menjadi dasar mengapa boat dan fire drill dilaksanakan bagi pelaut. Prosedur darurat
paling baik dipelajari dan disimpan sebagai procedural memory karena kita memiliki
akses yang cepat terhadap jenis memory tersebut. Kita tidak dapat memadamkan api
dengan baik hanya dengan belajar di kelas. Keterampilan memadamkan api harus
didapatkan melalui pelatihan dan drill. Memori sangat tergantung kepada konteks.
Hal ini berarti kita akan lebih mudah mengingat sesuatu ketika kita berada pada
konteks atau situasi yang sama ketika kita mempelajarinya. Fire drill yang realistis,
dengan menghadirkan asap, kegelapan, dsb seolah-olah terjadi kebakaran
sesungguhnya akan lebih efektif karena peserta akan lebih mudah mengingat
keterampilan yang dipelajari untuk diterapkan dalam situasi nyata. Long-term memory
lebih kuat dibandingkan dengan working memory, dan informasi dapat disimpan
dalam jangka waktu lama, beberapa bahkan kadang seumur hidup. Jumlah informasi
yang disimpan dalam long-term memory tidak terbatas. Performa long-term memory
dapat dipengaruhi oleh kelelahan dan kurang tidur yang dapat membuat seseorang
sulit mempelajari sesuatu serta menyimpan informasi.
2. Perhatian
Pentingnya perhatian kru ketika melaksanakan tugas sangatlah jelas. Perhatian
merupakan fungsi kognitif yang dapat membuat seseorang mampu fokus terhadap
indera, persepsi dan proses mental. Seorang perwira dikatakan memperhatikan
gambar di layar radar ketika dia melihat ke layar tersebut dan memproses informasi
dalam pikirannya. Mungkin saja seseorang melihat sesuatu tanpa memberi perhatian.
Sesuatu yang dilihat hanya “numpang lewat’ saja.
Kemampuan untuk memfokuskan perhatian kepada obyek atau tugas tertentu sangat
penting karena dapat membantu kita mengabaikan gangguan yang tidak relevan.
Namun demikian, ada juga bahayanya ketika terlalu fokus dengan sesuatu sehingga
mengabaikan sinyal bahaya. Misalnya ketika seseorang sedang fokus memperbaiki
peralatan sehingga tidak menyadari atau mengabaikan alarm bahaya. Itulah sebabnya
11
kita harus memiliki kemampuan untuk membagi perhatian kepada beberapa tugas atau
obyek. Kita harus tetap waspada meskipun ketika tengah fokus mengerjakan sesuatu.
Pembagian perhatian dalam mengerjakan beberapa tugas terasa sulit apabila tugas-
tugas tersebut sangat mirip atau ketika setiap tugas sangat kompleks atau sulit.
Masing-masing individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda pula dalam hal ini.
Ada orang-orang yang memiliki kemampuan lebih untuk membagi perhatian pada
beberapa obyek dibandingkan dengan lainnya.
Masalah lain terkait perhatian adalah mempertahankan level perhatian dalam kondisi
yang sangat membosankan. Hal ini disebut dengan vigilance. Terkadang terdapat
periode yang membosankan di kapal ketika tidak ada sesuatu hal khusus yang terjadi.
Tidak ada kapal lain dan pulau di sekitar, tidak ada koreksi haluan, hanya berlayar
mengikuti jalur lurus selama berjam-jam. Demikian juga di kamar mesin ketika kru
hanya melakukan observasi dan monitoring peralatan tanpa adanya alarm apapun.
Kondisi ini dapat menjadi bahaya karena menurunkan level perhatian dan
kewaspadaan seseorang. Kita dapat melewatkan suatu tanda bahaya yang penting,
apalagi ketika kru sama-sama mengalami penurunan level perhatian dan
kewaspadaan. Untuk mengatasi hal ini, kita dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang
dapat menjaga level perhatian kita, misalnya dengan membaca berita, mendengarkan
radio, minum kopi atau berbicang-bincang dengan kru lainnya. Hal tersebut dapat
menjadi cara yang cukup efektif selama kita dapat membagi perhatian kita dan masih
dapat berfokus pada tugas utama saat kita membaca, minum, makan, atau berbincang-
bincang.
3. Situation awareness
Situation awareness merupakan konsep yang berkaitan erat dengan keselamatan
suatu operasi. Dalam Jurnal Transportation Human Factors, Dekker (2000)
menyatakan bahwa meskipun mempengaruhi keselamatan dan efektifitas suatu
operasi atau kerja kru, situation awareness masih belum didefinisikan dengan baik.
Situation awareness telah diidentifikasi sebagai faktor penting yang mempengaruhi
efektivitas dan keselamatan suatu tim yang melakukan kegiatan yang melibatkan
sistem tekhnologi otomatis untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam buku ini,
situation awareness didefinisikan sebagai sejauh mana pemusatan para anggota / kru
untuk secara terus menerus melakukan penilaian terhadap kondisi saat ini dan apa
yang akan dilakukan di masa datang. Penjelasan ini memiliki beragam aspek penting,
mencakup pentingnya penilaian yang dilakukan sepanjang waktu sehingga operator
dapat merencanakan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Konsep situation
awareness telah banyak digunakan untuk menjelaskan penyebab kecelakaan di laut.

12
Situation awareness telah banyak dipelajari oleh beberapa peneliti. Mica Endsley
(2002) mengembangkan Situation Awareness model yang menggambarkan 3 (tiga)
level situation awareness: persepsi, pemahaman, dan antisipasi. Feedback loop yang
menghubungkan antara perilaku dan situasi menunjukkan bahwa perilaku dapat
berubah atau mempengaruhi situasi.

Gambar 4 : Situation Awareness Model

Ilustrasi situation awareness dalam bidang maritim dapat ditunjukkan melalui contoh
kasus pencegahan tubrukan seperti berikut ini:
1) Keberadaan kapal lain harus dideteksi secara visual atau melalui alat seperti radar
atau AIS (automated identification system).
2) Harus ditentukan apakah haluan akan saling memotong, jika tidak, tidak ada bahaya
tubrukan.
3) Harus ditentukan apakah ada resiko tubrukan, apakah kedua kapal akan berada di
titik dan waktu yang hampir sama.
4) Harus ditentukan kapal mana yang harus memberi jalan (sesuai COLREG)
5) Tindakan apa harus dilakukan untuk menghindari tubrukan
6) Kemudian pastikan bahwa olah gerak memberikan efek yang diinginkan
Terdapat banyak kemungkinan bahwa prosedur di atas tidak berjalan dengan baik.
Perwira jaga mungkin gagal mengidentifikasi keberadaan kapal lain, mengambil
kesimpulan yang salah, melakukan tindakan yang tidak sesuai atau tidak memberi efek
seperti yang diinginkan, dsb. Untuk memberikan ilustrasi pada kasus tersebut, proses
ini dapat digambarkan menggunakan SA Model dari Endsley:
1) Persepsi : keberadaan kapal lain harus dideteksi (level 1)
2) Pemahaman dan antisipasi : apakah haluan akan saling memotong? Apakah ada
resiko tubrukan? Kapal mana yang akan memberi jalan? (level 2 dan 3)
3) Eksekusi : tindakan untuk mencegah tubrukan (perilaku)

13
4) Feedback loop : memastikan efek yang diinginkan (hubungan antara perilaku dan
situasi)

Jika terjadi kegagalan dalam level persepsi atau pemahaman, kita dapat mengatakan
bahwa “kegagalan dalam mengobservasi resiko tubrukan” menyebabkan ancaman
bagi keselamatan kapal. Kita dapat meilhat bahwa langkah pertama pada SA model
adalah persepsi terhadap situasi. Kita harus mengetahui seperti apa situasinya? Dan
mengapa kita perlu menggambarkan situasi kapal secara keseluruhan?
Untuk mendapatkan gambaran dengan menyeluruh, pertama, kita harus
mendeskripsikan posisi kapal dalam pelayaran: apakah di laut terbuka, di perairan
terbatas, atau di pelabuhan? Kedua, kita harus mendeskripsikan kondisi lingkungan,
misalnya kondisi cahaya, angin, arus, jarak pandang dan kondisi laut. Kita juga harus
mendeskripsikan interaksi dengan kapal lain yang berada dekat dengan kapal kita,
apakah ada resiko tubrukan. Setelah mendeskripsikan semua faktor eksternal yang
relevan terhadap situasi kapal, kita dapat beralih pada faktor internal yang mencakup
mode operasi kapal: apa yang sedang dijalankan, status apa yang dimiliki menurut
COLREG, bagaimana kondisi kru, kapal, peralatan, dan tekhnologi yang dimiliki?
Kondisi di atas dapat dijelaskan menggunakan sistem klasifikasi seperti pada tabel di
bawah ini. Tabel berikut dapat membantu menjelaskan situation awareness dan
menjadi panduan bagi pelaut untuk meningkatkan situation awareness yang dimiliki.
Tabel ini beserta SA Model yang telah dijelaskan sebelumnya dapat menjadi alat
untuk membantu analisa situasi di kapal yang berhubungan dengan investigasi
kecelakaan kapal atau untuk pengembangan check list dan prosedur yang ada.

Tabel 1 : Taksonomi untuk Klasifikasi Situasi Maritim

Faktor Eksternal / Elemen dalam


Contoh
Internal situasi
Faktor Eksternal Pelayaran Dermaga untuk sandar, cekungan di
pelabuhan, saluran / kanal, perairan
terbatas, zona pemisah lalu lintas, perairan
terbuka, dan rute lainnya.

Lingkungan Angin, arus, ombak, jarak pandang, waktu


saat itu.

Interaksi dengan Overtaking dan resiko tubrukan (seperti


kapal lain, vessel yang didefinisikan dalam COLREG) ,
traffic service komunikasi dengan kapal lain dan station
14
centers, dll lain, misalnya dengan VTS (vessel traffic
services)

Faktor Internal Mode operasi Mode operasi sesuai definisi COLREG,


seperti berlayar menggunakan engine, tidak
terkontrol, kandas.

Keadaan kru Kru di anjungan, pandu di kapal, pergantian


jaga, kemampuan dan keterbatasan
manusia, sikap, kelelahan, perhatian

Keadaan kapal, Desain dan penggunaan, ketersediaan


peralatan dan peralatan dan fungsinya, versi dan update
tekhnologinya peta, handbook, prosedur

Konteks Kondisi jangka panjang kapal, hambatan


operasional, misalnya perubahan rute,
pengurangan jumlah personil, overhaul
besar di galangan.

Gangguan Alarm, panggilan telepon, panggilan radio,


fax masuk, pesan email atau Navtex,
pengunjung di anjungan

4. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan seorang pelaut sangat penting karena berkaitan dengan
keselamatan baik kapal, muatan, maupun kru yang bekerja di dalamnya. Keputusan
yang salah dapat berakibat pada bahaya atau kecelakaan. Teori tentang pengambilan
keputusan awalnya berasal dari psikologi kognitif. Namun teori tersebut banyak dikritik
karena kebanyakan dikembangkan berdasarkan eksperimen laboratorium dalam
setting eksperimen. Teori pengambilan keputusan yang menggunakan paradigma
baru dikembangkan berdasarkan observasi di dunia nyata dengan setting yang alami.
Klein (1998) menyatakan bahwa ketika kita berada pada suatu situasi dimana kita
harus mengambil keputusan, kita akan mencocokkan situasi yang sekarang dengan
situasi dahulu yang pernah dialami. Keputusan yang akan kita ambil dibuat
berdasarkan keputusan yang mirip di masa lalu. Hal penting dalam model ini adalah
kita menggunakan “simulasi mental” untuk mengantisipasi dan mempertimbangkan
konsekuensi keputusan yang diambil. Penjelasan lebih detail mengenai pengambilan
keputusan akan dijelaskan di bab selanjutnya.

15
D. Perilaku
Pada bagian sebelumnya kita telah melihat bahwa perilaku manusia dapat dijelaskan
sebagai hasil dari proses kognitif, seperti situation awareness dan pengambilan
keputusan. Berikutnya kita akan membahas perilaku manusia dalam konteks maritim.
1. Skill-based behavior
Model perilaku ini adalah yang paling nyaman dilakukan oleh manusia dan yang paling
sering dilakukan selama hidupnya. Perilaku ini muncul ketika keterampilan telah
dikuasai dengan baik dan mayoritas tindakan adalah berupa refleks sehingga hanya
membutuhkan alokasi pemikiran (mental) yang sedikit dan dapat membagi perhatian
untuk kegiatan lainnya. Misalnya ketika menyetir mobil, seseorang bisa sambil
memperhatikan lalu lintas, mencari jalan, mendengarkan radio, atau mengobrol
dengan orang lain. Skill-based behavior merupakan perilaku yang diinginkan, namun
sangat sensitif dengan kesalahan rutin. Masalah lainnya adalah karena hanya
membutuhkan level perhatian yang rendah untuk melaksanakan suatu tugas, kita
seringkali tidak memiliki memori tentang tindakan yang dilakukan. Misalnya ketika
keluar rumah kita secara otomatis mengunci pintu. Karena mengunci pintu sudah
merupakan suatu tindakan otomatis, kita tidak terlalu memikirkan atau memperhatikan
tindakan kita saat melakukannya. Terkadang kita tidak bisa mengingat apakah kita
sudah benar-benar mengunci pintu atau belum.
2. Rule-based behavior
Pada model perilaku ini, kita mengikuti sejumlah aturan dan prosedur baik formal
maupun informal. Perilaku ini muncul pada saat proses kita mendapatkan
keterampilan dan keahlian dalam situasi pelatihan. Model perilaku ini menyita banyak
pikiran sehingga sedikit sekali menyisakan ruang bagi kita untuk memperhatikan hal
lain di luar apa yang sedang kita fokuskan. Kesulitan dalam perilaku ini adalah beban
yang terlalu banyak dan membuat rule-based mistake, yang melibatkan error yang
terjadi karena kegagalan untuk menerapkan tujuan yang semestinya, atau
menerapkan aturan yang salah. Kesalahan saat menggunakan peralatan ketika olah
gerak merupakan contoh umum. Perwira berpikir bahwa sistem telah diatur
menggunakan mode tertentu dan menjalannya dengan berdasarkan pada mode
tersebut. Namun ternyata pengaturan (setting) nya berbeda, tidak seperti yang
dipikirkannya, sehingga sistem gagal dioperasikan
3. Knowledge-based behavior
Ini adalah mode perilaku dimana kita tidak memiliki pengetahuan yang dibutuhkan
atau aturan untuk diterapkan, atau kita memiliki pengetahuan namun tidak dapat
diingat dari long-term memory. Kondisi ini jarang terjadi, namun terkadang kita bisa

16
berada pada situasi dimana kita tidak memiliki pengalaman atau pengetahuan terkait
situasi tersebut.
4. Automated behavior
Konsep perilaku ini sering digunakan untuk mendeskripsikan apa yang disebut dengan
skill-based behavior. Automated behavior sangat penting untuk melaksanakan hampir
semua kegiatan, termasuk pekerjaan di kapal. Kita harus dapat melakukan tugas-
tugas dasar tertentu secara otomatis tanpa menggunakan pemikiran yang rumit.
Masalah dapat timbul ketika automated behavior bergabung dengan misalnya situation
awareness yang salah atau expectation bias. Apabila kita bertindak secara otomatis
berdasarkan asumsi yang salah atau informasi yang salah, terdapat resiko bahwa
tindakan tersebut dapat mengancam keselamatan. Misalnya ketika seseorang
mendengar suatu alarm yang dikira sebagai alarm palsu, orang tersebut langsung
mematikan alarm tanpa mengecek lebih lanjut.
5. Risk-taking behavior
Pola perilaku lain yang berkaitan dengan keselamatan adalah risk-taking behavior.
Mengambil resiko terkadang diperhitungkan dan dipertimbangkan dengan baik,
dimana manfaat tindakan tersebut dianggap lebih besar dibandingkan dengan
resikonya. Manfaat tersebut antara lain:
 Menghemat waktu
 Menghemat bahan bakar atau pengeluaran
 Menjaga agar tetap sesuai jadwal
 Membuat pekerjaan lebih efektif
Risk-taking behavior seringkali terjadi sebagai hasil tekanan komersial atau organisasi.
Misalnya perusahaan yang menginginkan kapal lebih cepat sampai di pelabuhan
tujuan, membuat nahkoda memotong jalur dan melewatkan kapal pada rute yang tidak
biasa. Persepsi umum seseorang terkait resiko juga memiliki peranan penting. Kita
memperkirakan resiko berdasarkan pengalaman kita mengenai insiden atau
kecelakaan. Jika kita bekerja di lingkungan yang aman, maka kita menganggap bahwa
resiko sangat kecil kemungkinan terjadinya. Kita kemudian cenderung mengambil
suatu tindakan yang beresiko. Setiap kali tindakan tersebut berhasil dilaksanakan, kita
akan menambahkan keberhasilan pengalaman tersebut di dalam memori kita. Sebagai
akibatnya, pada kesempatan yang lain kita dapat menunjukkan perilaku yang lebih
beresiko.

17
BAB III
KESALAHAN MANUSIA (HUMAN ERROR)

Faktor manusia merupakan hal yang penting dalam dunia maritim. Kapal memiliki
lingkungan kerja yang tidak biasa dan bahkan terkadang tidak ramah bagi manusia.
Kurangnya kontak dengan keluarga, berbagai budaya yang hidup bersama, dan tingkat
kejenuhan yang tinggi menyebabkan resiko terjadinya kesalahan dalam bekerja.
Rita Grech menggambarkan sebuah piramida untuk menjelaskan terjadinya kecelakaan
yang pada umumnya didasari dari tindakan atau kebiasaan yang tidak aman. Dari gambar
dibawah ini dapat dilihat bahwa accident atau kecelakaan merupakan puncak dari beberapa
kejadian (incident). Diperlukan usaha yang komprehensif guna meminimalisir terjadinya
kecelakaan, dan usaha tersebut harus berawal dari mengurangi kebiasaan-kebiasaan atau
tindakan tidak aman (unsafe acts) yang dilakukan oleh personil diatas kapal.

Gambar 5 : Piramida Kecelakaan

A. Pengertian Human Error


Dalam dunia transportasi, human error memiliki peranan besar dalam terjadinya beragam
kecelakaan. Sanders dan McCormick mendefinisikan human error sebagai “keputusan
atau perilaku yang tidak tepat atau tidak diinginkan yang mengurangi atau memiliki
potensi mengurangi efektifitas, keselamatan atau kerja suatu sistem”. Human error
umunya tidak terjadi secara tersendiri, namun bergabung dengan masalah lainnya.
Seringkali konsep human error berakhir pada kesimpulan bahwa diperlukan tindakan
intervensi terhadap operator manusia, tetapi seringkali masalahnya tidak terletak hanya
pada seorang individu. Dengan demikian, untuk dapat memahami human error kita perlu
memahami kontribusi yang diberikan manusia terhadap keberhasilan dan keselamatan
system.
18
Dekker menyatakan bahwa human error memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Human error bukan merupakan penyebab kegagalan, namun merupakan efek atau
pertanda bahwa ada masalah yang lebih besar.
2. Human error tidak terjadi secara acak (random), namun berhubungan secara
sistematis dengan peralatan, tugas dan lingkungan manusia.
3. Human error bukan merupakan hasil akhir dari suatu investigasi, namun merupakan
titik awal.

B.Rantai Kesalahan
Kesalahan yang dilakukan oleh individu-individu secara terpisah tidak akan cukup
besar untuk menimbulkan sebuah kecelakaan. Namun demikian, ketika kesalahan
tersebut dilakukan berbarengan dapat membentuk suatu rantai kesalahan, yang pada
akhirnya menyebabkan sebuah kecelakaan serius.
Rantai kesalahan atau error chain merupakan sebuah konsep yang menjelaskan
kecelakaan sebagai hasil dari serangkaian kejadian yang berujung pada kecelakaan.
Menurut konsep ini, penyebab suatu kecelakaan bukanlah hanya terdiri dari sebuah faktor
yang besar, namun beberapa faktor kesalahan yang bergabung menjadi satu. Hubungan
antar rantai kesalahan ini dapat diidentifikasi menggunakan 11 (sebelas) mata rantai yang
terbagi menjadi faktor operasional dan faktor manusia. Memutuskan salah satu tautan
dalam rantai kesalahan dapat menghilangkan rantai kesalahan dan mencegah terjadinya
kecelakaan.
1. Faktor Operasional
Kehadiran salah satu mata rantai tidak berarti akan terjadi kecelakaan, namun
mengindikasikan bahwa terdapat resiko dalam sebuah operasi kapal, sehingga kru
harus mengontrol situasi melalui pengelolaan sumber daya yang tepat. Terdapat 6
(enam) faktor operasional, yakni:
a. Kegagalan dalam mencapai target / tujuan. Target yang dimaksud dapat berupa
rencana pelayaran, prosedur, atau target-target lain yang dirancang untuk kapal
tersebut.
b. Penggunaan prosedur yang tidak tercatat. Ketika terjadi situati yang tidak normal
atau situasi darurat, kru menjalankan prosedur sendiri yang tidak tercatat dalam
manual.
c. Mengabaikan Standard Operation Procedure ketika menghadapi situasi sulit di
kapal.
d. Melanggar batasan. Pelanggaran terhadap batasan minimum operasi atau
spesifikasi yang telah ditetapkan dalam peraturan entah disengaja maupun tidak
disengaja.

19
e. Tidak ada yang memegang kendali dalam pelayaran.
f. Tidak ada fungsi monitoring terhadap kapal.
2. Faktor Manusia
a. Komunikasi yang tidak lengkap. Hal ini dapat terjadi ketika kru tidak saling berbagi
informasi terkait suatu permasalahan yang terjadi di kapal sehingga dapat
menyebabkan miskomunikasi dan kebingungan.
b. Ambiguitas. Ambiguitas terjadi ketika terdapat dua sumber informasi atau lebih yang
saling bertentangan. Hal tersebut bisa berupa orang, manual, atau peralatan, yang
saling tidak sesuai.
c. Konflik atau kesenjangan yang belum terselesaikan. Ketika pendapat atau informasi
yang bertentangan tidak dapat diselesaikan.
d. Gangguan terhadap perhatian dan konsentrasi. Gangguan dapat disebabkan oleh
beban kerja yang tinggi, kelelahan, kejenuhan atau mungkin masalah pribadi.
e. Kebingungan dan kecemasan. Perasaan bingung dan cemas terhadap suatu situasi
dapat disebabkan oleh kurangnya pengalaman.

Kehadiran satu atau lebih mata rantai di atas dapat berarti bahwa rantai kesalahan
mungkin sedang terbentuk dan perlu penanganan yang tepat. Pengenalan terhadap
rantai kesalahan dapat membuat kru mengelola resiko dengan lebih baik. Penting untuk
disadari bahwa identifikasi terhadap rantai kesalahan tidak serta merta menghilangkan
resiko kecelakaan. Namun dapat memberikan peringatan terhadap kru bahwa mereka
harus mengambil tindakan yang tepat untuk mengelola resiko agar tidak berkembang
menjadi sebuah kecelakaan.

C. Model Human Error dan Pengelolaannya


Human error dapat dilihat dari dua sudut pandang : pendekatan manusia dan pendekatan
system. Setiap pendekatan memiliki penyebab error yang berbeda-beda sehingga
memiliki filosofi pengelolaan error yang berbeda pula. Memahami perbedaan ini penting
untuk menghadapi resiko kecelakaan yang mungkin dapat terjadi.
1. Pendekatan Manusia
Pendekatan ini berfokus pada perilaku manusia yang tidak aman dan pelanggaran
prosedur yang dilakukan oleh personil. Pendekatan ini memandang bahwa perilaku
tidak aman berasal dari proses mental yang menyimpang dari kebiasaan seperti mudah
lupa, kurang perhatian, motivasi rendah, kecerobohan, kelalaian, dan bekerja
serampangan.Cara mengatasinya pada umumnya diarahkan untuk mengurangi
perilaku manusia yang tidak diinginkan, misalnya dengan memasang poster untuk

20
memperingatkan personil, membuat prosedur baru atau merevisi prosedur yang sudah
ada, memberikan tindakan disiplin, ancaman pengadilan, training ulang, menyalahkan
atau mengolok-olok orang yang melakukan kesalahan. Pengikut pendekatan ini
cenderung menganggap kesalahan sebagai masalah moral, mereka berpendapat
bahwa hal buruk terjadi pada orang yang tidak baik.

Pendekatan orang merupakan tradisi dominan dalam dunia kedokteran, seperti halnya
di banyak tempat lainnya. Menyalahkan seseorang secara emosional memang lebih
memuaskan dibandingkan dengan menyalahkan suatu organisasi. Personil dipandang
sebagai agen bebas yang mampu memilih antara perilaku aman dan tidak aman.
Ketika ada kesalahan, jelas bahwa seorang individu atau sekelompok individu yang
harus bertanggungjawab.

Namun demikian, pendekatan orang memiliki kekurangan karena penggunaan


pendekatan ini cenderung menghalangi perkembangan suatu organisasi menjadi lebih
aman.

Kelemahan lain dari pendekatan orang adalah dengan berfokus pada individu, maka
kita tidak dapat melihat konteks sistem dimana kesalahan itu terjadi. Sebagai
akibatnya, dua faktor penting dari kesalahan cenderung terabaikan. Pertama, seringkali
orang-orang terbaik yang melakukan kesalahan terburuk. Kedua, kecelakaan bukanlah
terjadi secara acak (random) namun memiliki pola berulang. Situasi yang sama dapat
memicu kesalahan serupa, terlepas dari siapa orang yang terlibat.

2. Pendekatan Sistem
Pandangan dasar pendekatan ini adalah manusia dapat berbuat salah dan kesalahan
merupakan hal yang wajar terjadi, bahkan di organisasi terbaik sekalipun. Kesalahan
dipandang sebagai konsekuensi, bukan penyebab. Penanggulangannya berdasar pada
asumsi bahwa kita tidak dapat mengubah kondisi manusia, namun kita dapat
mengubah kondisi dimana manusia bekerja. Ide pokoknya adalah pertahanan terhadap
sistem. Semua tekhnologi memiliki sisi positif dan negatif, hambatan dan perlindungan.
Ketika suatu kesalahan terjadi, masalah penting bukan tentang siapa yang salah
namun mengapa dan bagaimana system pertahanan gagal dilaksanakan.

D. Model Keju Swiss dalam Sistem Kecelakaan

21
Pertahanan, hambatan dan perlindungan menempati posisi kunci dalam
pendekatan sistem. Sistem tekhnologi tinggi memiliki banyak lapisan pertahanan:
beberapa menggunakan mesin (alarm, radar, pintu otomatis, dll), sebagian bergantung
pada manusia (misalnya operator, perwira jaga, dll), dan lainnya bergantung pada
prosedur dan pengendalian administrasi. Fungsi mereka adalah untuk melindungi calon
korban dan aset perusahaan dari marabahaya. Seringkali hal tersebut dapat
dilaksanakan dengan efektif, namun selalu terdapat kelemahan dalam setiap aspeknya.

Idealnya, setiap lapisan pertahanan berbentuk utuh. Namun dalam dunia nyata,
lapisan tersebut lebih mirip seperti irisan keju swiss yang memiliki banyak lubang.
Lubang-lubang ini terus membuka, menutup dan bergeser posisinya. Kehadiran lubang
pada salah satu lapisan biasanya tidak menyebabkan efek yang buruk. Hal buruk dapat
terjadi apabila lubang-lubang terdapat pada banyak lapisan sehingga membuat suatu
baris untuk memberi peluang “lintasan kecelakaan” terjadi

Gambar 6 : The Swiss Cheese Model of Accident Causation

Lubang-lubang pada lapisan pertahanan timbul karena dua hal: kegagalan aktif dan
kondisi laten. Hampir seluruh kecelakaan terjadi akibat dari kombinasi kedua faktor ini.

1. Kegagalan aktif (active failure)

Kegagalan aktif merupakan tindakan tidak aman yang dilakukan oleh orang yang
memiliki kontak langsung dengan sistem. Tindakan tersebut dapat berupa
kesalahan, penyimpangan, kegagalan atau pelanggaran prosedur. Kegagalan aktif
umumnya memiliki dampak yang langsung dan sifatnya pendek terhadap pertahanan.

2. Kondisi Laten (latent condition)

22
Kondisi laten merupakan semacam patogen dalam sistem yang tidak dapat dihindari.
Mereka dapat muncul karena keputusan manajemen, pembuat prosedur, pembuat
kapal atau pembuat sistem transportasi. Semua keputusan yang dibuat memiliki
potensi untuk memasukkan patogen ke dalam sistem. Kondisi laten memiliki dua
jenis efek : dapat berubah menjadi kondisi pemicu kesalahan dalam tempat kerja
(misalnya tekanan waktu, kelelahan, tekanan beban kerja, peralatan yang tidak
memadai, kurangnya pengalaman, dll) dan dapat juga menyebabkan lubang atau
kelemahan dalam sistem pertahanan (misalnya alarm yang salah, radar yang tidak
tepat, prosedur yang tidak dapat digunakan, kekurangan desain dan kontruksi).
Kondisi laten, seperti namanya, mungkin saja berdiam dalam sistem selama
bertahun-tahun sebelum bergabung dengan kegagalan aktif dan pemicu local untuk
menciptakan sebuah peluang terjadinya kecelakaan. Tidak seperti kegagalan aktif
yang bentuk spesifiknya seringkali sulit untuk diramalkan, kondisi laten dapat
diidentifikasi dan ditanggulangi sebelum sebuah kecelakaan serius terjadi.
Memahami hal ini dapat mendorong kepada pengelolaan resiko secara proaktif,
bukan reaktif.
Kita tidak dapat mengubah kondisi manusia, namun kita dapat mengubah kondisi
dimana manusia bekerja. Sebagai analogi, kegagalan aktif adalah seperti nyamuk
yang dapat ditepuk satu persatu, namun nyamuk-nyamuk lainnya tetap akan datang.
Penanggulangan terbaik adalah dengan membuat pertahanan yang lebih efektif,
misalnya dengan membersihkan selokan tempat nyamuk berkembang biak dan
menutup semua jalan masuk nyamuk. Selokan dalam hal ini merupakan kondisi
laten.

E. Tipe-tipe Kesalahan Manusia


Tipe kesalahan manusia dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

23
Gambar 7 : Diagram Tipe Kesalahan Manusia

1. Action Error

Berhubungan dengan tugas yang familiar dilakukan yang membutuhkan tingkat


perhatian sadar yang rendah. Kesalahan ini terjadi apabila perhatian teralihkan,
meskipun hanya sesaat. Orang melakukan apa yang sebenarnya tidak ingin
dilakukan. Kesalahan ini umum terjadi saat kegiatan pemeliharaan dan perbaikan.
a. Slip (Error of commission)
Kesalahan fisik yang sederhana, dan seringkali terjadi. Misalnya salah menekan
tombol, salah menarik tuas.
b. Lapse (Error of omission)
Kesalahan dalam memori jangka pendek, melewatkan suatu langkah dalam
melakukan pekerjaan. Misalnya menyalakan pompa padahal selang belum
dipasang.
Cara menanggulangi:
 Desain lingkungan kerja yang konsisten. Misalnya tombol turun berarti on dan
naik berarti off.
 Penggunaan checklist dalam prosedur.
 Melakukan cross-check terhadap tugas-tugas yang penting.
 Menyingkirkan hal-hal yang dapat mengganggu perhatian.
 Menyediakan waktu yang cukup untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
 Menggunakan alarm dan peringatan untuk membantu mendeteksi kesalahan.
2. Thinking Error

24
Merupakan kesalahan dalam pengambilan keputusan atau salah dalam menilai
sesuatu. Kesalahan ini melibatkan proses mental seperti: perencanaan,
pengumpulan informasi, komunikasi, dll). Suatu tindakan dilaksanakan seperti yang
telah direncanakan secara sadar, namun tindakan tersebut tidaklah tepat. Orang
melakukan hal yang salah, namun berpikir bahwa tindakannya adalah benar.
a. Rule based-mistake
Apabila perilaku berdasarkan pada aturan dan prosedur, maka kesalahan dapat
terjadi karena kesalahan penerapan prosedur. Misalnya mengabaikan alarm
dalam situasi darurat karena pernah ada kasus alarm palsu.
b. Knowledge based-mistake
Individu tidak memiliki aturan untuk menangani situasi yang tidak biasa, namun
menggunakan pengalaman dan pengetahuan sendiri untuk menyelesaikan
masalah. Misalnya menggunakan peta yang tidak update, memperbaiki alat
secara asal-asalan menurut pengetahuan sendiri tanpa mengikuti prosedur yang
ada.
Cara menanggulangi:
 Membuat rencana, prosedur atau skenario apabila terjadi situasi emergensi.
 Latihan atau drill kondisi darurat secara regular
 Penggunaan flowchart atau skema sebagai alat bantu dalam mengambil
keputusan
 Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap system melalui
pelatihan
 Belajar dan berdiskusi dari pengalaman atau masalah yang pernah terjadi.
3. Non-compliance

Penyimpangan terhadap aturan dan prosedur secara disengaja, disebut juga dengan
“pelanggaran”. Hal ini dapat berupa mengambil jalan pintas, atau tidak mengikuti
prosedur demi menghemat waktu dan tenaga. Biasanya tujuannya memang baik,
namun dapat menyebabkan potensi terjadinya kecelakaan. Seringkali diperburuk oleh
dorongan pimpinan yang ingin sebuah pekerjaan segera diselesaikan.
a. Routine.
Penyimpangan telah menjadi hal yang wajar dilakukan sehari-hari, terdapat
consensus bahwa aturan sudah tidak berlaku, tidak ada pihak yang menegakkan
aturan. Misalnya sehari-hari tidak mengenakan safety harness saat memanjat
karena dianggap ribet dan membuat pekerjaan menjadi lama.
b. Situational

25
Pelanggaran yang dilakukan karena situasi tertentu, misalnya karena beban kerja,
peralatan dan perlengkapan yang kurang memadai, kondisi cuaca. Pelanggaran
menjadi satu-satunya solusi untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang
berat.
c. Exceptional
Seseorang mencoba menyelesaikan masalah yang sangat tidak biasa (seringkali
dalam kondisi emergensi) dengan mengambil resiko melanggar peraturan.
Cara menanggulangi:
 Meningkatkan pemahaman dan kepekaan terhadap resiko dan konsekuensi
misalnya dengan mencantumkan peringatan / resiko dalam prosedur.
 Meningkatkan pengawasan
 Menghilangkan alasan-alasan untuk memotong prosedur, misalnya dengan
memperbaiki desain pekerjaan, menghapus aturan-aturan dan prosedur yang
tidak diperlukan dan tidak realistis, mengelola beban kerja dengan baik.
 Memperbaiki budaya organisasi misalnya dengan cara mendorong keaktifan
personil dalam budaya keselamatan, membiasakan pelaporan terhadap
pelanggaran yang dilakukan.

F. Kontribusi Manusia Terhadap Kecelakaan


Dari penjelasan mengenai kegagalan aktif (active failures) dan kondisi laten (latent
condition), dapat digambarkan kontribusi manusia terhadap kecelakaan dalam diagram
berikut ini:

26
Gambar 8 : Diagram Kontribusi Manusia Terhadap Kecelakaan

Dari diagram tersebut dapat dilihat bahwa organisasi, pekerjaan dan manusia itu sendiri
memiliki peranan dalam mempengaruhi terjadinya suatu kesalahan. Kesalahan ini dapat
dipengaruhi oleh kondisi laten yang dapat menyebabkan munculnya kondisi dan perilaku
yang tidak aman. Hal tersebut dapat memunculkan insiden atau peristiwa-peristiwa
kecelakaan ringan yang apabila tidak ditanggulangi dengan baik, dapat menyebabkan
terjadinya kecelakaan serius.
Individu dapat berkontribusi terhadap kecelakaan melalui beberapa cara:
 Orang dapat menyebabkan kecelakaan secara langsung karena kesalahan yang
dilakukannya. Namun demikian, orang sebenarnya cenderung tidak sengaja ketika
melakukan kesalahan. Kesalahan yang dilakukan seringkali dipengaruhi oleh cara otak
mengolah informasi, pelatihan yang pernah diterima, desain peralatan dan prosedur,
bahkan dipengaruhi juga oleh budaya organisasi dimana orang tersebut bekerja. Ketika
seorang pelaut bekerja di kapal dengan manajemen keselamatan yang baik, maka dia
akan cenderung berperilaku aman dan hati-hati. Namun ketika dia bekerja di kapal
yang tidak menerapkan safety dengan baik, bahkan kondisi safety equipment nya juga
kurang layak, maka dia akan cenderung melakukan tindakan yang tidak aman ketika
bekerja sehari-hari di atas kapal.
 Orang dapat membuat keputusan yang berbahaya meskipun mereka mengatahui
resikonya. Kita bisa saja salah memahami situasi dan akibatnya kita melakukan
tindakan yang tidak sesuai. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan
kecelakaan.
 Di sisi lain, kita dapat melakukan intervensi untuk menghentikan potensi kecelakaan.
Banyak perusahaan dapat menanggulangi potensi kecelakaan melalui analisa yang
cermat menggunakan kecerdasan dan akal manusia.
27
 Tingkat kerugian atau kematian dalam kecelakaan dapat dikurangi melalui respon
darurat dari kru atau operator. Rencana prosedur darurat yang mencakup pelatihan
yang tepat dapat secara signifikan meningkatkan keberhasilan penyelamatan.

BAB IV

KEPEMIMPINAN DAN KERJASAMA TIM

28
A. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan di atas kapal merupakan aspek yang sangat penting. Kelancaran dan
keselamatan operasi kapal akan sangat bergantung kepada bagaimana nahkoda sebagai
pemimpin tertinggi di atas kapal mampu memimpin dan mengorganisir para kru kapal.
Banyak penelitian yang dilakukan untuk menjelaskan tentang kepemimpinan. Apakah
kepemimpinan merupakan karakter bawaan? Atau sejatinya kepemimpinan itu dapat
dipelajari dan dilatih? Apakah setiap orang mampu menjadi pemimpin? Apakah ada trik
atau gaya khusus yang dapat diterapkan untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang
sukses? Menurut Handy (1993, hal. 97) masalah kepemimpinan dapat dijelaskan melalui
3 (tiga) pendekatan, yakni :
1. Trait Theories
Teori ini berasumsi bahwa individu lebih penting dibandingkan dengan situasi. Apabila
kita dapat mengidentifikasi karakteristik pemimpin yang sukses, maka kita dapat
memecahkan masalah terkait kepemimpinan. Apabila kita tidak dapat membuat “good
leader”, setidaknya kita bisa memilih “good leader”. Menurut teori ini, karakteristik
pemimpin yang baik adalah sebagai berikut:
a. Kecerdasan diatas rata-rata tetapi tidak perlu mencapai level genius. Khususnya
harus memiliki kemampuan yang baik dalam memecahkan masalah yang kompleks
dan abstrak.
b. Memiliki inisiatif, yakni kemampuan untuk melihat perlunya melakukan suatu aksi
dan keberanian untuk menjalankan aksi tersebut.
c. Memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap kompetensi dan aspirasi yang
dimiliki diri sendiri.
d. “Helicopter factor” yakni kemampuan untuk melihat lebih tinggi sebuah situasi dan
melihat hubungannya dengan lingkungan secara keseluruhan.
e. Memiliki kesehatan prima.
f. Memiliki tinggi badan rata-rata atau sedikit dibawahnya.
g. Datang dari level sosial-ekonomi yang lebih tinggi di masyarakat.
h. Studi lain menyebutkan beberapa tambahan seperti: entusiasme, integritas,
keberanian, imaginasi, ketegasan, energi, keyakinan.

Teori ini banyak dikritik karena tidak mungkin seseorang memiliki keseluruhan
karakteristik yang dimaksud. Faktanya, tidak ada seorang pun yang sempurna.
Banyak orang yang tidak memiliki seluruh karakteristik namun kenyataannya bisa
menjadi seorang pemimpin yang sukses.

2. Style Theories

29
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa bawahan akan bekerja lebih giat dan
lebih efektif untuk atasan yang menggunakan gaya kepemimpinan tertentu
dibandingkan dengan gaya kepemimpinan lainnya. Dengan kata lain gaya
kepemimpinan yang digunakan mempengaruhi kesuksesan seseorang dalam
memimpin.
Menurut Grech (2008, hal.85) terdapat 4 gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan ini
dikategorikan berdasarkan karakteristik komunikasi antara atasan-bawahan.
a. Autocratic
Nahkoda atau perwira bekerja dan mengambil keputusan sendiri, tidak
memperhatikan pendapat orang lain, tidak mendengarkan, tidak berbagi tugas,
tidak memberikan informasi kepada kru. Gaya ini juga ditandai dengan kurangnya
perencanaan. Kapten atau perwira cenderung kelebihan beban (overloaded) jika
ada sebuah masalah atau situasi kritis terjadi. Gaya autocratic dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yakni:
 Kesenjangan dalam hal senioritas dan kemampuan teknis
 Tradisi
 Kepribadian (memandang negatif terhadap aspek kerjasama dan menolaknya)
 Kepribadian autocratic yang dominan dari kapten / perwira.
 Karakter bawahan / kru yang lemah dan memandang rendah diri sendiri.
 Kepercayaan diri kapten / perwira yang rendah sehingga menggunakan otoritas
untuk menutupinya.

Reaksi kru terhadap gaya kepemimpinan autocratic umumnya adalah menarik diri.
Hasilnya adalah tim yang tidak efisien sehingga gaya kepemimpinan ini dapat
menjadi ancaman bagi keselamatan. Nahkoda bisa saja mengambil keputusan
yang tidak aman, semata-mata hanya berdasarkan pengetahuannya saja. Tidak
ada orang yang akan memberitahunya tentang suatu informasi dan gaya
kepemimpinan ini membuatnya tidak mau menerima saran dari orang lain.

b. Leissez-faire
Pada gaya kepemimpinan ini, nahkoda sangat pasif dan membiarkan semua
anggota kru kebebasan untuk mengambil keputusan. Dia hanya memberikan sedikit
saran, tidak memberi penilaian baik positif maupun negatif. Suasana kerja sangat
rileks dan komunikasi di kapal berkisar pada berbagai topik, bisa jadi di luar masalah

30
pekerjaan. Gaya kepemimpinan ini tujuannya adalah untuk menyenangkan pihak
lain, kurang berfokus pada tujuan pelayaran.
Situasi ini umumnya muncul ketika nahkoda bekerja dengan perwira yang sangat
kompeten. Bahaya dari situasi ini adalah otoritas yang terbalik. Salah satu perwira
mungkin terdorong untuk mengambil alih kepemimpinan karena dia merasa bahwa
dia memiliki kemandirian dan insiatif yang lebih tinggi, apalagi apabila dia menilai
kemampuan dirinya yang setara dengan nahkoda.
c. Self-centered
Gaya kepemimpinan yang self-centered ditandai dengan semua tim bekerja sendiri-
sendiri, dengan rencana masing-masing, fokus perhatian masing-masing, dan
sangat sedikit komunikasi di antara mereka terkait apa yang mereka lakukan. Situasi
ini dapat menjadi berbahaya, dapat menyebabkan salah paham oleh karena
kurangnya pertukaran informasi. Pertukaran informasi sangat penting terutama
dalam kondisi emergensi dimana ketiadaan pertukaran informasi dapat
menyebabkan timbulnya masalah.
d. Democratic
Seorang nahkoda yang demokratis akan bertanya kepada perwiranya terkait
pendapat mereka tentang keputusan-keputusan penting. Para perwira akan
menganggap hal tersebut sebagai dorongan positif untuk dapat berkontribusi
memberikan pendapat mereka. Diskusi sangat diperbolehkan dan pertukaran
informasi sangat tinggi. Gaya kepemimpinan demokratis secara tidak disadari dapat
berubah menjadi laissez-faire sehingga penting bagi nahkoda untuk terlibat aktif
dalam diskusi, mengemukaan pendapat dan menunjukkan pilihannya secara jelas
dan tegas.
Gaya kepemimpinan mana yang paling baik? Jawabannya tergantung dari situasi.
Penting bahwa seluruh kru bekerja sama untuk menciptakan sinergi. Sinergi
didapatkan saat smua kru bekerja bersama sebagai tim, mendukung satu sama lain
melalui komunikasi dan saling berbagi informasi. Gaya kepemimpinan democratic
dapat mendorong tercapainya sinergi sehingga umumnya menjadi pilihan dalam
situasi dan kondisi operasi kapal yang normal. Namun demikian, di bawah kondisi
tertentu penting untuk beralih dari gaya democratic menjadi gaya lainnya, misalnya
autocratic. Ketika berada pada situasi emergency, seorang pemimpin harus
bertindak tegas dalam memutuskan sesuatu. Dalam kondisi seperti itu, diskusi tidak
efektif untuk dilakukan karena suatu keputusan harus segera diambil dan sebuah
tindakan harus segera dilakukan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang lebih
buruk.

31
Seorang pemimpin yang baik memiliki kemampuan untuk mengubah gaya
kepemimpinan sesuai dengan kondisi sehingga dapat mengambil manfaat dari sisi
positifnya dan menghindari sisi negatifnya.

B. Transactional Leadership dan Transformational Leadership


Pemimpin yang baik memiliki pengaruh yang besar terhadap bawahan dan
organisasi yang dipimpinnya. Oleh sebab itu banyak penelitian dalam bidang
kepemimpinan yang dilakukan demi untuk mengetahui karakteristik perilaku para
pemimpin yang sukses.
Teori kepemimpinan Transactional-Transformational pertama kali dijelaskan oleh
James Burns pada tahun 1978 (Lai, 2011). Kepemimpinan transformasional merujuk
pada gaya kepemimpinan yang ditandai dengan adanya karisma pemimpin yang kuat
dan pembagian visi antara pemimpin dan pengikutnya. Kekuatan dari pemimpin yang
transformasional terletak pada kemampuannya dalam menginspirasi bawahannya untuk
dapat menunjukkan kinerja terbaik mereka.
Sebaliknya, kepemimpinan transaksional merujuk pada hubungan “give and take”
antara pemimpin dan bawahannya. Hubungan antara atasan-bawahan dibangun
berdasarkan system reward-punishment dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Bernard Bass (1985, dalam Lai, 2011) mengembangkan teori Burns untuk
mendeskripsikan karakteristik masing-masing gaya kepemimpinan. Kita dapat
mempelajari kepemimpinan transformasional melalui 5 (lima) dimensi : 2 (dua) tipe
pengaruh ideal (idealized influence), motivasi inspirasi (inspirational motivation),
stimulasi intelektual (intellectual stimulation) dan pertimbangan individu (individual
consideration). Penjelasan masing-masing dimensi adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh ideal (idealized influence). Disebut juga dengan kepemimpinan karismatik.
Karakteristik ini menggambarkan sejauh mana seorang pemimpin mampu menjadi
teladan atau contoh kepada bawahannya dan menunjukkan prinsip moral dan etika.
Pengaruh ideal ini terbagi menjadi 2 (dua) jenis : atribut (sifat-sifat yang melekat pada
pemimpin) dan perilaku (apa yang dilakukan oleh pemimpin).
b. Motivasi inspirasi (inspirational motivation). Karakteristik ini menggambarkan sejauh
mana pemimpin dapat menjadi penyemangat dan pembicara mewakili bawahannya.
Pemimpin ini menunjukkan entusiasme dan optimism, dan menekankan komitmen
untuk berbagi tujuan.
c. Stimulasi intelektual (intellectual stimulation). Kepemimpinan transformasional
memupuk kreativitas, sehingga bawahan didukung untuk memecahkan masalah
dengan cara-cara baru yang kreatif.

32
d. Pertimbangan pribadi (individual consideration). Pemimpin transformasional sangat
memikirkan perkembangan bawahannya. Pemimpin bertindak sebagai mentor dan
pelatih dan mempertimbangkan kebutuhan individu dalam kelompok. Komunikasi dua
arah seringkali digunakan.

Adapun kepemimpinan transaksional dijelaskan melalui elemen yang berbeda, yakni:


a. Contingent reward.
Contingent reward menggambarkan sejauh mana sebuah transaksi (atau hubungan)
yang efektif dibangun antara pemimpin dan bawahannya. Pemimpin akan
memberikan bantuan agar bawahan mau bekerja dengan baik. Pemimpin akan
menyatakan kepuasan dan pujian ketika bawahannya dapat mencapai apa yang
diharapkan.
b. Management-by-exception.
Dimensi ini menggambarkan apakah pemimpin akan bertindak untuk mencegah
masalah (manajemen aktif) atau menyelesaikan masalah (manajemen pasif).

Menurut Bass (dalam Cherry, 2007) kepemimpinan transaksional dibangun


berdasarkan hubungan timbal balik. Hubungan antara atasan dan bawahan
dikembangkan berdasarkan pertukaran reward, misalnya gaji, pujian, pengakuan.
Pemimpin harus menyatakan tujuan organisasi dengan jelas, mengkomunikasikan
tujuan tersebut kepada bawahan, kemudian mengorganisir tugas dan tanggungjawab
bawahan agar bawahan dapat bekerja bersama untuk mencapai tujuan organisasi yang
sudah ditetapkan. Hubungan atasan dan bawahan dibangun berdasarkan hierarki
jabatan.
Bensimon (dalam Cherry, 2007) mengatakan bahwa pemimpin yang
transaksional menerima dan mempertahankan budaya organisasi beserta sistem nilai,
bahasa dan norma-norma kelompok yang ada. Sebaliknya, pemimpin yang
transformasional mengubah budaya organisasi dengan memperkenalkan nilai-nilai dan
tujuan baru untuk dapat diterapkan dalam rangka mengembangkan organisasi menjadi
lebih baik.

C. Team Work
Dalam dunia pelayaran, sangat penting untuk bekerja bersama dalam sebuah tim.
Sebuah tim membutuhkan suatu tujuan yang sama dan rencana untuk dapat meraihnya.
Setiap anggota nya memiliki peran yang sudah ditentukan. Mereka harus dapat bekerja
dengan fleksibel dan saling mendukung satu sama lain saat dibutuhkan. Manfaat dari

33
sebuah tim adalah bekerja bersama akan terasa lebih ringan dibandingkan bekerja
sendiri-sendiri. Memang terkadang orang merasa lebih mudah untuk bekerja sendiri dari
pada bekerja dengan orang lain karena kemungkinan terjadinya konflik, komunikasi
yang buruk, dan cara kerja yang berbeda terkadang membuat sebuah tim menjadi
kontra-produktif.
Dalam berkerja bersama orang lain, kita harus menyadari bahwa pada dasarnya
setiap manusia suka dipuji ketika mereka dapat melakukan sesuatu dengan baik.
Sebuah kata pujian akan menjadi sangat berarti. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya
seorang perwira memberikan pujian atas pekerjaan bawahannya apabila dapat
diselesaikan dengan baik.
Kondisi lingkungan kerja di kapal menyebabkan kru bekerja saling berdekatan satu
sama lain setiap harinya. Saling membantu, saling sabar, dan saling berbagi
pengalaman sangat dibutuhkan agar terwujud suatu hubungan yang harmonis.
Bagan di bawah ini menunjukkan komponen apa saja yang dibutuhkan untuk
membentuk sebuah tim yang baik.

Gambar 9 : Komponen Yang Dibutuhkan Oleh Tim

Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa untuk dapat mengambil manfaat terbaik dari
sebuah tim, terdapat beberapa aspek yang harus dipenuhi, yakni:
a. Mutual help (memberikan bantuan yang saling menguntungkan)
b. Help each other succeed (membantu kesuksesan orang lain)
c. Share resources (berbagi sumber daya)
d. Reach our goals (mencapai tujuan bersama)

34
e. Deal with conflict effectively (menghadapi konflik dengan efektif)
f. Share responsibility (berbagi tanggungjawab)
g. Harmonious atmosphere (suasana kerja yang harmonis)
h. Shared workload (berbagi beban kerja)

35
BAB V
KOMUNIKASI YANG EFEKTIF

A. Pentingnya Komunikasi yang Efektif


Komunikasi dan team work merupakan bumbu dasar dalam manajemen sumber
daya manusia di atas kapal. Komunikasi dan team work sangat penting bagi
keselamatan karena kegagalan dalam keduanya dapat menyebabkan terjadinya
kecelakaan. Terdapat banyak insiden di kapal yang diakibatkan oleh komunikasi yang
tidak efektif diantara para kru kapal.
Contoh kasus adalah pada kapal MV Sally Maersk pada bulan Juni, 2000 pada saat
kapal berlayar dari Hong Kong ke Long Beach, California. Seorang kru dari Polandia
menderita demam dan sakit punggung. Karena tidak dapat berbahasa Inggris dengan
baik, dia meminta temannya sesama orang Polandia untuk menjadi penerjemah saat
konsultasi medis dengan Chief Officer. Kru yang sakit memang mengalami cidera
punggung beberapa hari yang lalu dan temannya mengira bahwa penyebab sakit kru itu
adalah karena cidera punggung tempo hari. Kru yang sakit memberi penjelasan dalam
bahasa Polandia dan meminta temannya untuk menerjemahkan. Namun ternyata
penjelasan mengenai deman tidak tersampaikan. Chief Officer pun mengira bahwa
sakitnya hanya karena cidera yang dialami beberapa waktu lalu dan memberikan obat
pereda sakit kepada kru tersebut. Ternyata dalam beberapa hari sakitnya tidak kunjung
sembuh. Kru yang sakit kemudian ditemukan meninggal di kabinnya. Penyebab
meninggalnya didiagnosa sebagai pneumonia (dalam Grech, 2008).
Contoh lainnya adalah tubrukan antara Spring Glory vs Josephine Maersk di Singapore
Strait. Pada 5 Juni 2012 pukul 22:34:40 Bulk Carrier SPRING GLORY berbendera
Hongkong dan Kapal Container JOSEPHINE MÆRSK berbendera Denmark mengalami
tubrukan di perairan bagian Timur sebelum masuk Selat Singapura, sekitar 7 nm NE dari
Horsburgh Lighthouse. Sebelum tubrukan, SPRING GLORY yang membawa 80,400 biji
besi melaju kearah timur dg haluan 046° dan kecepatan 10.4 knots baru saja
meninggalkan traffic separation scheme (TSS) Singapore Strait. JOSEPHINE MÆRSK
yang membawa refrigerated container, melaju kearah barat dan hendak memasuki TSS
Singapore strait. Berdasarkan International Regulations for Preventing Collisions at Sea,
SPRING GLORY harus memberi jalan dan JOSEPHINE MÆRSK dapat tetap melaju.
Perwira jaga SPRING GLORY melihat radar dan menyadari JOSEPHINE MÆRSK
mendekati crossing sekitar 10 menit sebelum tubrukan. Karena lalu lintas tidak
memungkinkan untuk melakukan maneuver dengan drastis, Perwira tersebut ragu-ragu

36
untuk bertindak dan menunggu aksi JOSEPHINE MÆRSK untuk menghindari tubrukan.
Tepat sebelum tubrukan perwira tersebut berusaha kontak JOSEPHINE MÆRSK dan
pada akhirnya melakukan cikar kiri. Namun sudah terlambat untuk menghindari tubrukan.
Di sisi lain, Perwira Jaga JOSEPHINE MÆRSK menyaksikan SPRING GLORY
mendekat sekitar 2 nm sebelum crossing, sekitar 5 menit sebelum terjadi tubrukan.
Selama kurun waktu tersebut, perwira itu sempat mengecek lewat teropong, mengecek
radar, mengecek GPS dan mengeplot posisinya di peta. Namun dia salah memahami
pesan di VHF untuk menambah kecepatan yang sebenarnya merupakan pesan untuk
kapal lain. Dia kemudian memanggil bantuan Kapten dan melakukan cikar kanan. Namun
sudah terlambat untuk menghindari tubrukan (diambil dari Marine Accident Report 2013
oleh Danish Maritime Accident Investigation Board).

Gambar 10 : Dampak Tubrukan Kapal Spring Glory dengan Josephine Maersk

Selain 2 (dua) contoh kasus tersebut di atas, masih banyak lagi kasus insiden di
kapal yang terjadi akibat komunikasi yang tidak efektif. Jika memang komunikasi sangat
penting, maka banyak pertanyaan yang muncul terkait komunikasi. Apakah komunikasi
itu dan bagaimana prosesnya? Bagaimana memastikan bahwa saat seseorang sedang
berbicara, orang lain benar-benar mendengarkan dan mengerti? Bagaimana kita
memastikan sebuah pesan itu dapat tersampaikan dengan baik? Apa yang dapat kita
lakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan dan untuk meningkatkan
efektifitas komunikasi?

37
B. Proses Komunikasi dan Elemen-elemen Komunikasi
Gambar dibawah merupakan model proses terjadinya komunikasi:

Gambar 11 : Model Proses Komunikasi

Transmitter (pengirim) mengirim pesan dengan harapan pesan tersebut dapat


dipahami.
Channel (saluran) merupakan metode yang digunakan oleh pengirim untuk
mengirimkan pesan. Bisa berbentuk elemen non-verbal (misalnya bahasa tubuh,
ekspresi wajah, nada suara), elemen verbal (misalnya bahasa verbal), atau elemen
tertulis (misalnya fax, email, memo, surat, atau print out radio services seperti: telex,
DSC, Navtex). Biasanya merupakan kombinasi dari ketiga elemen tersebut. Komunikator
yang baik akan menggunakan channel yang dapat diterima dengan baik oleh penerima.
Penggunaan beberapa channel untuk berkomunikasi disebut dengan “multimodal
communication”. Di kapal, kru banyak menggunakan komunikasi multimodal. Misalnya
saat memuat barang atau memperbaiki mesin, kru berkomunikasi baik dengan verbal
maupun dengan bahasa tubuh. Hal ini penting mengingat kondisi kapal yang berisik
sehingga sulit bagi penerima pesan untuk mendengar pesan secara verbal.
Receiver (penerima) merupakan pihak yang menerima pesan. Receiver harus dapat
menginterpretasikan pesan yang mereka terima dengan tepat agar komunikasi berjalan
dengan efektif.
Interference (gangguan) biasanya berasal dari pengaruh lingkungan (dapat
menyebabkan kebisingan, kelelahan atau stress). Gangguan ini dapat menyebabkan
distorsi terhadap pesan asli dan menyebabkan penerimaan dan interpretasi yang salah.
Menurut Devito (1986), gangguan dapat berupa:
a. Gangguan Fisik. Gangguan ini merupakan gangguan eksternal dan di luar kontrol
pengirim dan penerima pesan. Gangguan ini mempengaruhi proses pengiriman

38
pesan. Misalnya suara bising di kamar mesin menyebabkan sulit mendengar apa
yang dikatakan kru lain.
b. Gangguan Fisiologis. Gangguan ini dapat terjadi baik pada pengirim atau penerima
pesan. Gangguan ini berkaitan dengan fungsi fisiologis tubuh. Misalnya gangguan
pada telinga menyebabkan seseorang tidak dapat mendengar dengan baik,
kelelahan tubuh menyebabkan sulit berkonsentrasi mendengarkan perintah dan
instruksi.
c. Gangguan Psikologis. Gangguan ini berkaitan dengan kondisi psikologis seseorang.
Misalnya ketika sedang sedih atau marah, seseorang menjadi sulit untuk
mendengarkan atau berkomunikasi dengan orang lain. Prasangka juga termasuk
dalam gangguan psikologis.
d. Gangguan Semantik. Gangguan ini berkaitan dengan bahasa. Kapal yang
mempekerjakan kru dari berbagai Negara (multi-national crew) dapat mengalami
gangguan dapat mengalami gangguan komunikasi apabila kru di kapal tersebut tidak
dibekali dengan kemampuan bahasa inggris yang memadai.

Feedback (umpan balik) dari penerima sangat penting bagi pengirim untuk memastikan
bahwa pesan telah diterima dan diinterpretasikan sesuai dengan keinginan si pengirim.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi suatu proses komunikasi. Oleh sebab itu, penting bagi pengirim dan
penerima pesan untuk selalu memperhatikan berbagai aspek dalam berkomunikasi
untuk memastikan bahwa suatu pesan dapat diterima dengan baik.

C. Closed-Loop Communication
Berbagai interference atau gangguan yang ada di kapal seringkali menyebabkan
miskomunikasi, ditambah lagi dengan perbedaan latar belakang dan karakter masing-
masing kru. Salah satu strategi untuk menghindari miskomunikasi di atas kapal adalah
dengan menggunakan closed-loop communication. Karakteristik dari closed-loop
communication ini adalah:
1. Perintah atau pesan dikatakan dengan keras dan jelas.
2. Penerima perintah atau pesan mengulangi pesan sama persis dengan aslinya.
3. Pengirim perintah / pesan mengkonfirmasi jika pesan yang diulang adalah benar.
Contoh :
1. Lookout: “Fishing vessel ahead 45 degrees to port!

39
2. Officer on Watch (OOW): “Fishing vessel ahead 45 degrees to port!”
3. Lookout : “Roger!”
Atau :
1. OOW : “Steady on 203!”
2. Helmsman : “Steady on 203!”
3. OOW : “Thank you!”
Strategi closed-loop communication memiliki beberapa manfaat. Ketika sebuah perintah
atau pesan diucapkan dengan lantang dan jelas, semua orang yang ada disekitar akan
mendengarnya. Hal ini dapat meningkatkan kesadaran setiap orang terhadap situasi
(situation awareness). Sehingga apabila terdapat kesalahan, dapat segera dibetulkan.
Seringkali lebih mudah bagi kita untuk menyadari kesalahan kata-kata kita apabila kata-
kata tersebut kita ucapkan dengan keras atau ketika kita mendengar respon dari orang
lain yang mengulangi kata-kata yang kita ucapkan.

D. Good Listener vs Poor Listener


Kegagalan dalam komunikasi dapat diakibatkan oleh penerima pesan yang kurang
dapat mendengarkan dengan baik. Mendengarkan di sini tidak berkaitan dengan fungsi
fisiologis, namun lebih kepada psikologis penerima pesan. Penyebab seseorang bisa
menjadi poor listener diantaranya adalah:
 Lelah atau bosan dengan topik yang dibicarakan
 Menerima informasi yang terlalu banyak
 Terganggu oleh hal-hal lain ketika mendengarkan
 Tidak setuju dengan topik yang dibicarakan
 Tidak tertarik dengan topik yang dibicarakan
 Tidak suka dengan pemberi pesan
 Mempersiapkan jawaban pada saat mendengarkan

Kemampuan mendengar yang efektif tidak hanya berarti mampu mendengar apa
yang dikatakan, namun juga memperhatikan gestur non-verbal dan memberikan
feedback untuk menunjukkan bahwa anda memperhatikan dan memahami pesan yang
diberikan.
Seorang pendengar yang aktif fokus kepada pembicara dan berkonsentrasi untuk
memahami semua pesan yang disampaikan, mencakup kata-kata, nada bicara dan
bahasa tubuh. Hal ini akan menghasilkan pemahaman yang lebih lengkap dan akurat
serta pentingnya pesan yang disampaikan.

40
Apakah anda termasuk good listener atau poor listener? Cobalah kuis dibawah ini.
Lingkari huruf yang menggambarkan kondisi anda sebenarnya.

a : selalu b : sering c : kadang-kadang d : tidak pernah

Dalam percakapan dengan orang lain apakah anda…?


1. Menyiapkan respon ketika orang lain berbicara a b c d
2. Menyelesaikan kalimat orang lain a b c d
3. Mencatat nama, tanggal dan informasi penting a b c d
4. Mengubah topic pembicaraan jika lawan bicara a b c d
menjadi emosional
5. Menggunakan kontak mata dengan baik (bila a b c d
secara budaya diperbolehkan)
6. Menginterupsi jika menurut anda informasi yang a b c d
disampaikan salah
7. Diam dan tenang sampai lawan bicara selesai a b c d
berbicara
8. Memperhatikan makna bahasa tubuh a b c d
9. Mencari ide pokok pembicaraan a b c d
10. Memikirkan pengalaman serupa yang pernah a b c d
dialami diri sendiri
11. Memperhatikan bagaimana lawan bicara a b c d
berpakaian
12. Mendengarkan apa yang dirasakan lawan bicara a b c d
13. Berusaha melihat dari sudut pandang lawan bicara a b c d
14. Melanjutkan mengerjakan sesuatu ketika a b c d
mendengarkan
15. Berpura-pura memahami pesan untuk a b c d
menyenangkan orang lain
16. Bertanya untuk menggali informasi lebih lanjut a b c d
17. Menyimpulkan apa yang dikatakan orang lain untuk a b c d
memastikan pesan yang disampaikan
18. Memberikan pendapat dan saran a b c d
19. Bersikap tenang ketika ada waktu “diam” dalam a b c d
sebuah percakapan
20. Meyakinkan orang yang sedang tertekan bahwa a b c d
semuanya baik-baik saja
TOTAL
Pertanyaan No. 1, 2, 4, 6, 7, 10, 11, 14, 15, 18, 20
Nilai : a = 1 b=2 c=3 d=4

41
Pertanyaan No. 3, 5, 8, 9, 12, 13, 16, 17, 19
Nilai : a = 4 b=3 c=2 d=1

Apabila nilai anda:


 Lebih dari 65- : Excellent listener. Anda termasuk pendengar yang sangat baik. Anda
memperhatikan bahasa tubuh dan sangat fokus terhadap pembicara.
 Antara 50 – 65 : Good listener. Anda mampu mendengarkan orang lain dengan cukup
baik.
 Antara 30 – 50 : Anda mungkin mengalami sedikit kesulitan dalam mendengarkan
orang lain. Hal ini bisa menjadi hambatan dalam berkomunikasi.
 Kurang dari 30 : Poor listener.

E. Menghadapi Konflik
Situasi yang dapat menyebabkan konflik harus dapat dikenali dan dicari solusinya
bersama pihak-pihak yang terlibat dengan mempertimbangkan prosedur yang ada di
kapal.
Gesekan emosi merupakan hal yang normal terjadi diantara orang-orang yang
bekerja bersama-sama di lingkungan yang terbatas. Di bawah kondisi stress dan
kelelahan, masalah kecil dapat menjadi besar dan dapat mengancam keselamatan.
Beberapa hal dibawah ini dapat menyebabkan terjadinya konflik:
1. Nilai-nilai, kepercayaan dan sikap yang berbeda-beda.
2. Prasangka, stereotype dan asumsi yang salah terhadap orang lain.
3. Kelelahan, stress, beban kerja terlalu banyak, dan tekanan.
4. Perbedaan kepribadian, cara kerja dan kompetisi di tempat kerja.
5. Konflik antara komitmen pribadi dan aturan yang ada.
6. Kegagalan komunikasi karena instruksi yang buruk atau kurang nya perhatian.
Konflik merupakan hasil dari kesalahpahaman yang berlangsung terus menerus
terhadap sudut pandang orang lain dan dapat menghasilkan 2 (dua) respon:
MELAWAN (FIGHT) atau MENGHINDAR (FLIGHT)

42
Gambar 12 : Ilustrasi Respon Seseorang Terhadap Konflik

Respon melawan ditandai dengan perilaku agresi dan usaha untuk mendominasi pihak
lain. Orang dapat saling berteriak, saling berkata kasar, saling mengancam atau bahkan
memukul.
Respon menghindar ditandai dengan tindakan pasif, menarik diri. Orang yang memiliki
respon menghindar umumnya akan menunduk, merendahkan suara, dan melipat
lengan.
Baik respon melawan atau menghindar, sama-sama menyebabkan kenaikan denyut
jantung, suhu tubuh, dan tekanan darah. Dapat juga menyebabkan gemetar, pusing,
mual atau sakit perut akibat tubuh melepaskan adrenalin ke dalam aliran darah.
Respon melawan umumnya dapat menyebabkan konflik menjadi semakin besar. Pihak
lain akan melindungi dirinya dengan menjadi agresif atau justru menghindar dimana
kedua hal tersebut tidak dapat menyelesaikan konflik yang ada. Respon menghindar
tidak akan menghilangkan masalah, karena kemarahan akan menumpuk dalam diri
seseorang yang pada suatu titik akan dapat meledak.
Menemukan cara yang tenang dan rasional dalam menghadapi konflik sangatlah penting
untuk dilakukan. Ketika dalam kondisi marah, seseorang disarankan untuk bernafas
dengan pelan dan dalam, menghitung dalam hati satu sampai dengan sepuluh, sebelum
memberikan respon. Ambil waktu untuk mendengarkan maksud pihak lain dan nyatakan
maksud kita dengan tenang.
Terkadang dibutuhkan mediator atau penengah yang dapat membantu menyelesaikan
konflik. Syaratnya pihak tersebut tidak terlibat secara langsung dengan konflik yang
terjadi. Cara menjadi penengah yang baik dapat dilakukan seperti berikut:
1. Meminta persetujuan dari kedua belah pihak yang berkonflik untuk sama-sama
bersedia mencari solusi dari masalah yang terjadi.
2. Beri pendapat yang netral untuk menengahi kedua belah pihak.

43
3. Hindari menyerang secara personal.
4. Mendengar, menyimpulkan dan mengecek sudut pandang masing-masing pihak.
5. Menggali kebutuhan masing-masing pihak.
6. Mendorong kedua pihak untuk mencari win-win solution yang dapat memenuhi
keinginan semua pihak. Win-win solution ini hanya dapat ditemukan apabila
kebutuhan dan kekhawatiran semua pihak dapat didengarkan. Hal ini membutuhkan
kesediaan semua pihak untuk mendengarkan orang lain dan untuk berusaha
menyelesaikan konflik sebaik-baiknya.

F.Empat Gaya Komunikasi


Setiap orang memiliki gaya komunikasi yang berbeda-beda. Gaya komunikasi ini dapat
kita amati dalam keseharian pergaulan kita dan akan semakin terlihat ketika seseorang
sedang menghadapi suatu konflik. Gaya komunikasi ini dapat dibagi menjadi 4 (empat),
yakni:
1. Passive Communication
Individu yang pasif memiliki pola perilaku menghindar untuk mengekspresikan
pendapat dan perasaannya. Hal ini biasanya berkaitan dengan rendahnya “self-
esteem”. Individu dengan passive communication merasa dirinya tidak cukup berharga
sehingga seringkali menahan diri terhadap situasi yang menyakitkan atau tidak
nyaman. Tetapi ketika sudah dirasa melewati batas toleransi, emosi mereka dapat
meledak. Namun demikian, setelah ledakan emosi terjadi, mereka akan merasa malu,
bersalah, dan bingung sehingga akan kembali menjadi pasif.
Individu dengan passive communication akan:
a. Sering merasa cemas tidak memiliki kendali terhadap kehidupan.
b. Sering merasa depresi karena merasa tidak memiliki harapan.
c. Sering merasa sakit hati karena kebutuhannya tidak dapat terpenuhi.
d. Sering merasa bingung karena mengabaikan perasaannya sendiri.
2. Aggressive Communication
Kebalikan dari passive communication, individu yang memiliki pola perilaku aggressive
dalam berkomunikasi seringkali mengekspresikan perasaan dan pendapatnya dengan
melukai orang lain, baik secara verbal maupun fisik. Pola perilaku ini biasanya
berhubungan dengan rendahnya “self-esteem”, luka emosional yang belum sembuh,
dan perasaan tidak berdaya. Orang dengan aggressive communication seringkali
berperilaku:
a. Berusaha mendominasi orang lain.

44
b. Mengkritik, menyalahkan atau menyerang orang lain.
c. Tidak dapat mengendalikan diri.
d. Memiliki batas toleransi yang rendah.
e. Berbicara dengan suara yang keras.
f. Bersikap mengancam dan kasar.
g. Tidak mau mendengarkan.
h. Suka menginterupsi.
i. Selalu menyalahkan orang lain.
3. Passive-aggressive Communication
Individu yang memiliki pola komunikasi ini biasanya terlihat pasif di luar, namun
memendam kemarahan di dalam. Individu ini secara diam-diam melakukan perlawanan
terhadap sistem, padahal dari luar terlihat kooperatif. Individu seperti ini seringkali:
a. Mengeluh sendiri, tidak langsung menyampaikan keberatannya kepada orang lain.
b. Kesulitan untuk mengakui kemarahannya.
c. Menunjukkan ekspresi wajah yang tidak sesuai dengan apa yang dirasakan.
Misalnya: tersenyum ketika marah.
d. Sarkastik.
e. Tidak mengakui adanya masalah.
f. Terlihat kooperatif padahal melakukan tindakan untuk mengganggu.
4. Assertive Communication
Individu yang assertive dapat menyatakan pendapat dan perasaannya dengan jelas
tanpa menyakiti orang lain. Individu ini memiliki “self-esteem” yang tinggi. Mereka dapat
menghargai diri sendiri dan diri orang lain.
Individu yang assertive akan:
a. Menyatakan keinginan, kebutuhannya dengan jelas dan sopan.
b. Mengekspresikan perasaan dengan jelas dan sopan.
c. Berkomunikasi dengan menghormati orang lain.
d. Mendengarkan dengan baik, tidak suka menginterupsi.
e. Dapat mengendalikan diri.
f. Memiliki kontak mata yang baik.
g. Bicara dengan tenang dan nada yang jelas.
h. Merasa mampu dan kompeten.
i. Tidak membiarkan orang lain menindas dirinya.

45
Secara ringkas, penjelasan di atas dapat disimpulkan dalam gambar berikut:

Gambar 13 : Diagram Perbandingan 4 (empat) Gaya Komunikasi

Komunikasi efektif di atas kapal sangat penting dalam rangka terselenggaranya


pelayaran yang aman. Oleh sebab itu, setiap kru harus menyadari perannya masing-
masing untuk dapat menciptakan suatu kondisi kerja yang harmonis. Perbedaan
karakter dan latar belakang masing-masing kru dapat menyebabkan suatu gesekan,
yang apabila tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan konflik dan miskomunikasi
yang dapat berdampak buruk bagi keselamatan pelayaran. Oleh sebab itu, seorang
perwira diharapkan mampu menjadi pemimpin yang bijak dalam mengelola kapal, baik
dari segi teknis pelayaran maupun psikologis kru yang bekerja di dalamnya.

46
BAB VI

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Kapal merupakan sebuah lingkungan kerja yang unik dimana berbagai individu bekerja
bersama dan hidup bersama dalam sebuah lingkungan yang sempit dengan segala
keterbatasan yang harus dihadapi sehari-hari. Setiap kru yang bekerja di kapal memiliki
karakteristik yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya individu yang
bersangkutan.
Budaya dapat mempengaruhi bagaimana seseorang berinteraksi dan melakukan
kegiatan sehari-hari. Biasanya seorang individu tidak menyadari sepenuhnya bahwa latar
belakang budaya yang dimilikinya sangat bepengaruh terhadap bagaimana dia bersikap dan
berperilaku. Perbedaan baru akan terasa ketika individu tersebut melakukan kontak dengan
individu lain dengan latar belakang budaya yang berbeda. Pada saat itu, barulah terasa
apabila pola sikap dan perilaku yang dimilikinya tidaklah sama dengan yang dimiliki orang
lain.
Lingkungan kerja di kapal yang sempit dan memiliki banyak keterbatasan dapat
menimbulkan konflik bagi seorang individu ketika dirinya harus menghadapi individu lain
yang memiliki budaya yang berbeda dengan yang dimilikinya. Hal ini lebih terasa bagi pelaut
yang bekerja di ocean going vessel yang mempekerjakan kru yang berasal dari berbagai
negara.

A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya


Komunikasi antar budaya menjadi hal yang sangat penting di atas kapal demi
terselenggaranya pelayaran yang aman dan efektif. Komunikasi antar budaya adalah
komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda
(bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini).
Adapun kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok
orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow
across national boundaries. Misalnya; dalam sebuah kapal dengan kru multi nasional
yang berasal dari berbagai Negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain.
Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap
muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya. Guo-Ming Chen dan William J.
Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antar budaya adalah proses negosiasi atau

47
pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka
dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.
Selanjutnya komunikasi antar budaya dapat dilakukan dengan negosiasi untuk
melibatkan manusia di dalam pertemuan antar budaya yang membahas satu tema
(penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak
sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-
makna itu dinegosiasikan. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari
persetujuan antar subjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat
untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.
Ringkasnya, komunikasi antar budaya menjelaskan interaksi antar individu dan
kelompok yang memiliki persepsi yang berbeda dalam perilaku komunikasi dan
perbedaan dalam interpretasi.
Untuk mencapai komunikasi antar budaya yang efektif, individu dapat
mengembangkan kompetensi antar budaya, yakni keterampilan yang dibutuhkan untuk
mencapai komunikasi antar budaya yang efektif. Jandt (1998, 2004) mengidentifikasikan
empat keterampilan sebagai bagian dari kompetensi antar budaya, yaitu personality
strength, communication skills, psychological adjustment and cultural awareness.

B. Cultural Awareness
Cultural awareness merupakan dasar komunikasi dan melibatkan kemampuan
individu untuk menilai diri sendiri dan peka terhadap nilai budaya, kepercayaan dan
persepsi diri sendiri. Bagaimana kita melihat dunia? Mengapa kita melihat dunia seperti
kita melihatnya sekarang ini? Mengapa kita bereaksi dengan pola perilaku tertentu?
Cultural awareness menjadi penting ketika kita harus berinteraksi dengan orang-orang
yang memiliki budaya yang berbeda. Orang melihat, menginterpretasi dan mengevaluasi
sesuatu dengan cara yang berbeda. Apa yang dianggap baik dalam suatu budaya belum
tentu dianggap baik dalam budaya lainnya. Orang-orang suku jawa menganggap bahwa
alon-alon waton klakon. Artinya ketika melakukan sesuatu lebih baik pelan-pelan
asalkan bisa selesai dengan baik dan sempurna. Bagi orang yang berasal dari budaya
lain, mungkin menganggap pekerjaan orang jawa seperti itu cenderung lambat dan
kurang cekatan. Selain itu, dalam hal komunikasi budaya jawa juga ada istilah ewuh
pakewuh. Ketika mau menyampaikan sesuatu dengan terus terang merasa tidak enak
hati, sehingga umumnya orang jawa berputar-putar dulu dalam menjelaskan sesuatu
sebelum menuju ke pokok masalah. Bagi orang Batak yang terbiasa to the point dalam
berkomunikasi, terkadang hal ini membuat mereka tidak sabar. Demikian juga
sebaliknya, gaya bicara orang batak yang ceplas ceplos dapat membuat orang jawa
sakit hati. Contoh lain adalah orang Italia menganggap orang amerika sebagai orang

48
yang selalu bekerja, bicara bisnis dalam waktu makan siang, bahkan minum kopi sambil
berjalan. Sedangkan orang Italia umumnya meminum kopi di bar atau di café dengan
rileks. Apakah hal itu berarti orang Italia pemalas dan orang amerika hiperaktif? Tentu
saja tidak. Hal tersebut berarti bahwa orang dapat memberikan makna yang berbeda
terhadap suatu kegiatan yang sama, misalnya terkait makan. Di Italia, dimana
persaudaraan dan pertemanan dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga, waktu
makan siang, makan malam atau coffee break memiliki konotasi sosial dimana orang-
orang saling berkumpul untuk berbicara dengan rileks. Sedangkan di Amerika waktu
dianggap sebagai uang, sehingga saat makan siang seringkali digunakan untuk
membicarakan bisnis atau kontrak.
Kesalahan interpretasi dapat terjadi ketika kita tidak memiliki awareness
(kepekaan) terhadap pola perilaku kita sendiri dan menggunakannya untuk menilai pola
perilaku orang lain. Ketika tidak memiliki pengetahuan yang cukup, kita cenderung
berasumsi, bukan menilai secara obyektif makna dari suatu perilaku. Peka terhadap
dinamika budaya sendiri merupakan hal yang tidak mudah karena budaya termasuk hal
yang tidak kita sadari. Sejak lahir, kita belajar melihat dan melakukan banyak hal.
Pengalaman kita, nilai-nilai kita, dan latar belakang budaya membuat kita melihat dan
melakukan sesuatu dengan cara tertentu. Terkadang kita perlu untuk “keluar” dari
batasan budaya agar dapat menyadari dampak budaya terhadap perilaku kita. Akan
sangat baik apabila kita bertanya atau meminta feedback dari teman-teman yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan kita.

C. Tingkatan Cultural Awareness


Ada beberapa tingkatan cultural awareness yang menunjukkan bagaimana orang
menilai perbedaan budaya.
1. My way is the only way
Pada tingkatan pertama, orang hanya menyadari cara mereka sendiri dalam
melakukan segala sesuatu. Mereka mengabaikan dampak perbedaan budaya
(parochial stage).
2. I know their way, but my way is better
Pada level kedua ini, individu menyadari bagaimana cara orang lain melakukan
sesuatu, tetapi masih menganggap bahwa cara mereka sendiri adalah yang terbaik.
Pada tahap ini, perbedaan budaya dianggap sebagai sumber masalah dan individu
cenderung mengabaikan atau menguranginya memikirkannya (ethnocentric stage).

49
3. My way and their way
Pada tingkat ini, individu menyadari cara diri mereka melakukan sesuatu dan cara
orang lain, dan individu memilih cara terbaik sesuai dengan situasi. Pada tahap ini,
individu menyadari bahwa perbedaan budaya memiliki sisi positif dan negative, serta
bersedia untuk menggunakan perbedaan budaya untuk menciptakan solusi baru
(synergistic stage).
4. Our way
Tingkatan keempat membawa orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda
untuk bersama-sama menciptakan budaya dengan berbagi makna yang sama.
Orang-orang saling berdialog dengan intensif untuk menciptakan makna baru,
aturan baru untuk memenuhi kebutuhan situasi yang ada (participatory third culture
stage)

Meningkatkan cultural awareness berarti melihat baik sisi positif maupun sisi
negatif perbedaan budaya. Keragaman budaya dapat menjadi sumber masalah
terutama apabila organisasi membutuhkan personil untuk berpikir dan bertindak dengan
cara yang sama. Keragaman menigkatkan level kompleksitas dan kebingungan dan
membuat sulit mencapai persetujuan. Di sisi lain, keragaman budaya dapat memberikan
manfaat ketika organisasi ingin mengembangkan solusi dan ingin menggunakan
pendekatan yagn berbeda untuk memecahkan masalah. Keragaman dalam hal ini
dapat menciptakan berbagai masukan dan keterampilan baru.
Orang-orang yang memiliki cultural awareness menyadari bahwa:
 Setiap orang tidak sama
 Persamaan dan perbedaan adalah sama-sama penting
 Terdapat banyak cara untuk mencapai tujuan yang sama dan untuk menjalani hidup
 Cara terbaik ditentukan bergantung pada situasi. Setiap situasi berbeda dan mungkin
membutuhkan solusi yang berbeda.

D. Bagaimana mengelola Keberagaman Budaya


Kita harus menyadari bahwa langkah pertama dalam mengelola keberagaman
budaya adalah dengan mengenali dan berusaha agar tidak takut terhadapnya. Oleh
karena setiap orang merupakan produk budaya yang berbeda-beda, tidak ada buku atau
petunjuk untuk menghadapi keberagaman budaya secara spesifik. Namun ada
beberapa sikap untuk membantu menjembatani perbedaan budaya yang mungkin
dihadapi:

50
1. Mengakui bahwa anda tidak tahu
Menyadari bahwa kita tidak mengetahui segala sesuatu, bahwa asumsi kita mungkin
saja salah dapat mendukung cultural awareness.
2. Menunda penilaian
Kumpulkan informasi sebanyak mungkin sehingga anda bisa mengetahui situasi
dengan akurat sebelum mengevaluasinya.
3. Empati
Agar dapat memahami orang lain, kita perlu menempatkan diri pada posisi orang lain.
Melalui empati, kita belajar bagaimana orang lain ingin diperlakukan.
4. Mengecek asumsi
Mintalah feedback kepada teman dan periksalah asumsi anda sendiri untuk
memastikan bahwa anda benar-benar memahami situasi
5. Menghargai keberagaman
Menerima bahwa keberagaman memang ada dan menghargai sisi positif dari
keragaman budaya.

51
BAB VII

PENGAMBILAN KEPUTUSAN

A. Pengertian Pengambila Keputusan


Kata “keputusan” atau “decision” berasal dari bahasa latin “decidere” yang artinya
“memotong” atau “mengurangi”. Beberapa ahli mengungkapkan definisi pengambilan
keputusan.
 Ray A Killian memberikan definisi yang paling sederhana : “pengambilan keputusan
adalah pemilihan dari beberapa alternatif”.
 T.G Glover mendefinisikan keputusan sebagai “pilihan dari berbagai alternatif
berdasarkan suatu penilaian”
 Felix M. Lopez mengatakan bahwa “sebuah keputusan mencerminkan penilaian;
merupakan penyelesaian dari konflik kebutuhan, cara atau tujuan; merupakan
sebuah komitmen untuk menghadapi ketidakpastian, kompleksitas dan bahkan
irasionalitas”
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan
melibatkan proses meraih tujuan, menyelesaikan tugas dan mencari berbagai alternatif
untuk mengatasi masalah.

B. Karakteristik Pengambilan Keputusan


Dalam pengambilan keputusan, terdapat berbagai macam alternatif dan yang terbaik
dipilih untuk memecahkan masalah atau untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Berikut adalah karakteristik dari pengambilan keputusan:
1. Pengambil keputusan memiliki kebebasan untuk memilih alternatif.
2. Pengambilan keputusan mungkin tidak selalu rasional namun bisa saja emosional.
3. Pengambilan keputusan berorientasi pada tujuan (goal-oriented).
4. Pengambilan keputusan merupakan proses mental atau intelektual karena
keputusan akhir dibuat oleh pengambil keputusan.
5. Sebuah keputusan dapat diekspresikan melalui kata-kata namun bisa juga melalui
perilaku.
6. Memilih dari berbagai alternatif melibatkan ketidakpastian terhadap hasil akhir
masing-masing alternatif.
7. Pengambilan keputusan yang rasional diambil setelah analisa menyeluruh dan
menimbang konsekuensi dari berbagai alternatif.

52
C. Jenis-jenis Keputusan
1. Keputusan Terprogram dan Tidak Terprogram
a. Keputusan Terprogram
Keputusan terprogram merupakan keputusan rutin dan berulang dan dibuat di
dalam kerangka aturan dan kebijakan organisasi. Kebijakan dan aturan ini
diterapkan dengan baik untuk menyelesaikan masalah di dalam organisasi.
Keputusan terprogram memiliki dampak jangka pendek. Umumnya diambil pada
tingkat manajemen yang lebih rendah.
b. Keputusan Tidak Terprogram
Keputusan yang tidak terprogram merupakan keputusan yang diambil untuk
menyelesaikan masalah yang tidak umum atau unik dimana alternatif tidak dapat
diputuskan segera. Keputusan ini memiliki kepentingan yang tinggi dan memiliki
konsekuensi jangka panjang. Umumnya keputusan ini dibuat oleh top
manajemen.
2. Keputusan Strategis dan Taktis
a. Keputusan Strategis
Keputusan strategis merupakan keputusan yang sangat penting. Keputusan
strategis berkaitan dengan alokasi sumber daya dan kontribusi terhadap
pencapaian tujuan organisasi
b. Keputusan Taktis
Keputusan taktis merupakan keputusan yang rutin dan berulang. Keputusan ini
diturunkan dari keputusan strategis. Karakteristik keputusan taktis adalah
sebagai berikut:
 Berhubungan dengan operasi sehari-hari organisasi dan harus diambil secara
berkala.
 Biasanya sudah terprogram atau terencana.
 Outcome nya memiliki dampak jangka pendek dan hanya mempengaruhi
sebagian kecil organisasi.
 Wewenang untuk mengambil keputusan taktis dapat di delegasikan pada
manajer dengan tingkat lebih rendah.

53
D. Proses Pengambilan Keputusan
Proses pengambilan keputusan dijelaskan melalui bagan berikut:

Gambar 14 : Diagram Proses Pengambilan Keputusan

Tujuan Spesifik : Kebutuhan untuk mengambil keputusan muncul untuk dapat


mencapai tujuan tertentu. Titik awal pengambilan keputusan berasal dari pertimbangan
apakah sebuah keputusan perlu untuk diambil.
Identifikasi masalah : Menurut Jodeph L Massie “sebuah keputusan yang baik
bergantung pada pengenalan terhadap masalah yang tepat”. Tujuan dari identifikasi
masalah adalah mengidentifikasi masalah dengan tepat sehingga memberikan petunjuk
untuk menemukan solusi yang tepat.
Pencarian alternatif : Sebuah masalah mungkin dapat diselesaikan melalui beberapa
cara, namun belum tentu semua cara tersebut dapat memuaskan pengambil keputusan.
Oleh sebab itu, pengambil keputusan harus menemukan berbagai alternatif yang
memungkinkan agar untuk mendapatkan hasil yang paling memuaskan. Beberapa hal
yang dapat dijadikan pertimbangan dalam mencari alternatif adalah:
 Pengalaman diri sendiri
 Pengalaman orang lain
 Tekhnik-tekhnik baru yang lebih kreatif
Evaluasi alternatif : Setelah berbagai alternatif diidentifikasi, langkah selanjutnya
adalah mengevaluasi satu persatu dan memilih yang memenuhi criteria. Menyempitkan
alternatif memerlukan pertimbangan yang serius oleh sebab itu penghambil keputusan
harus mengevaluasi setiap alternatif yang ada sejauh mana alternatif tersebut
berkontribusi terhadap tujuan yang ingin dicapai organisasi.
Pemilihan alternatif : Evaluasi dari berbagai alternatif menunjukkan gambaran yang
jelas mengenai bagaimana masing-masing alternatif dapat memberikan kontribusi.
Perbandingan terhadap kontribusi tersebut dilaksanakan dan alternatif terbaik dapat
dipilih.
Tindakan : Setelah suatu alternatif dipilih, maka dapat segera dilaksanakan.

54
Hasil : Ketika suatu keputusan dilaksanakan, maka akan ada hasil yang didapatkan.
Hasil ini harus berhubungan dengan tujuan yang ditetapkan di awal proses pengambilan
keputusan. Hasil ini merupakan indikasi apakah pengambilan keputusan telah
dilaksanakan dengan tepat.

E. Karakteristik Keputusan yang Efektif


Keputusan yang efektif memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Action orientation : Keputusan memiliki orientasi tindakan, searah dengan aspek
yang relevan dan dapat di kontrol oleh lingkungan. Keputusan harus bermanfaat
dalam implementasinya.
2. Goal direction : Keputusan harus diarahkan pada tujuan agar organisasi dapat
mencapai tujuan yang ditetapkan.
3. Effective in implementation : Keputusan harus mempertimbangkan semua faktor
yang terlibat, tidak hanya eksternal namun internal agar keputusan tersebut dapat
diimplementasikan dengan baik.

55
BAB VIII

PROGRAM PELATIHAN DI ATAS KAPAL

Mengelola program pelatihan, di atas kapal secara sepintas tampaknya sesuatu hal
yang sederhana. Namun bila dicermati, membutuhkan suatu penanganan dan pengelolaan
yang sangat serius. Program pelatihan di atas kapal merupakan tanggung jawab perusahaan
yang diamanatkan kepada Nahkoda atau Perwira dalam pelaksanaan teknisnya. Tanggung
jawab tersebut dimulai dari awal, pada saat penjajakan dan identifikasi kebutuhan pelatihan
sampai dengan tindak lanjut pelatihan.

A. Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan di atas kapal adalah untuk memperbaiki efektifitas kerja kru
dalam mencapai hasil hasil kerja yang telah ditetapkan. Perbaikan efektivitas kerja dapat
dilakukan dengan cara memperbaiki pengetahuan kru, ketrampilan kru maupun sikap
kru itu sendiri terhadap tugas-tugasnya.

Alasan utama bagi perusahaan untuk melaksanakan pelatihan adalah memastikan


perusahaan mendapatkan imbalan yang terbaik dari modal yang ditanam pada sumber
yang paling penting (dan seringkali yang paling mahal): yaitu sumber daya manusianya.
Dengan memperhitungkan efek ini, maka tujuan dari setiap pelatihan adalah meraih
perubahan dalam pengetahuan, pengalaman, tingkah laku, atau sikap yang akan
meningkatkan keefektifan kru dalam bekerja.
Secara khusus pelatihan akan digunakan untuk :
 mengembangkan keahlian dan kemampuan individu untuk memperbaiki kinerja
 membiasakan kru dengan sistem, prosedur dan metode bekerja yang baru
 membantu kru dan pendatang baru menjadi terbiasa dengan persyaratan pekerjaan
tertentu dan persyaratan organisasi
Kru yang kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup tentang
bidang kerjanya (terutama kru baru) akan bekerja dengan tersendat sendat. Hal ini
tentunya tidak diinginkan oleh perusahaan karena pekerjaan di kapal banyak berkaitan
dengan keselamatan serta memiliki modal yang besar. Pemborosan tenaga, waktu,
pikiran serta perilaku tidak aman dapat diperbuat oleh orang yang belum memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang memedai untuk mengerjakan suatu tugas tertentu.
Oleh sebab itu, pengetahuan dan keterampilan kru harus diperbaiki dan dikembangkan

56
agar mereka tidak berbuat sesuatu yang merugikan usaha pencapaian tujuan dengan
sukses.
Perlu diingat bahwa pengetahuan dan ketrampilan saja belumlah cukup untuk
menjamin suksesnya pencapaian tujuan. Sikap kru terhadap pelaksanaan tugas, juga
merupakan faktor kunci dalam mencapai sukses. Oleh karena itu pengembangan sikap
juga harus diusahakan dalam program pelatihan. Hal ini terutama penting dalam hal
keselamatan. Seorang kru mungkin saja mengetahui dan mampu melaksanakan suatu
prosedur keselamatan. Namun apakah dia bersedia menjalankan prosedur tersebut? Hal
seperti itulah yang perlu dipupuk agar setiap kru selain memiliki pengetahuan dan
keterampilan, juga memiliki sikap yang bertanggungjawab terhadap aturan dan
keselamatan.

B. Pengelolaan Program Pelatihan


Penyelenggaraan program pelatihan tentu tidak dapat serta merta dilakukan begitu saja
tanpa persiapan yang matang, mengingat biaya untuk penyelenggaraan pelatihan
tersebut tidaklah murah. Ada beberapa langkah untuk mengelola program pelatihan
sebelum pada akhirnya dilaksanakan.
a. Identifikasi dan Analisis Kebutuhan Pelatihan
Langkah pertama dan utama dalam mengelola pelatihan adalah menjajaki dan
mengetahui kebutuhan pelatihan serta sejauh mana kebutuhan tersebut perlu
dipenuhi. Langkah ini merupakan langkah yang bersifat mutlak dan esensial.
Mengingat pentingnya langkah ini, maka dalam melakukannya perlu perhatian dan
persiapan yang matang. Identifikasi kebutuhan pelatihan secara sistematis ini
mempunyai relevansi yang jelas antara kebutuhan pelatihan dengan kebutuhan atau
persyaratan tugas.
b. Menguji dan Menganalisis Jabatan dan Tugas
Menguji dan menganalisis jabatan adalah suatu proses mendapatkan informasi
(data) tentang suatu jabatan untuk penyusunan standar-standar tertentu. Secara
umum, untuk melakukan analisis jabatan dan analisis tugas dapat dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
 Menganalisis Uraian Tugas (Job Description)
 Menganalisis spesifikasi tugas
 Menganalisis kualifikasi

57
Gambar 15 : Diagram Proses Menentukan Kebutuhan Pelatihan

Adapun, faktor-faktor yang perlu dipersiapkan antara lain adalah:


 Pengetahuan, keterampilan dan sikap
 Metoda (proses, mesin/alat, bahan)
 Organisasi / prosedur

3. Klasifikasi dan menentukan peserta pelatihan


Berdasarkan pada tahap tersebut di atas dapat diketahui adanya berbagai klasifikasi
peserta sesuai dengan "jabatan dan tugas" yang diemban oleh masing-masing
peserta.
Banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam penentuan peserta. Khususnya dalam
hal jumlah, perlu pula mempertimbangkan ketersediaan sumber daya atau
perlengkapan pendukung pelatihan. Untuk pelatihan di atas kapal, penentuan
peserta pelatihan lebih sederhana karena jumlah orang di kapal yang memang tidak
banyak dan pekerjaannya pun sudah jelas terdeskripsikan.

4. Merumuskan Tujuan Pelatihan


Pada dasarnya tujuan pelatihan dapat dibedakan dalam tiga kategori pokok domain,
yang meliputi:
 Cognitive Domain adalah tujuan pelatihan yang berkaitan dengan meningkatkan
pengetahuan peserta.
 Affective Domain adalah tujuan pelatihan yang berkaitan dengan sikap dan tingkah
laku
 Psychomotor Domain yaitu tujuan pelatihan yang berkaitan dengan ketrampilan/skill
peserta diklat

58
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menyusun dan merumuskan
tujuan pelatihan, yaitu:
 Jenis Tujuan Pelatihan: yaitu hendaknya jenis tujuan pelatihan harus mencakup
Pengetahuan (P), Sikap (S) dan Ketrampilan (K) dan hasil yang diharapkan
merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diobservasi/diamati.
 Kedalaman Tujuan Pelatihan: semakin dalam tujuan pelatihan semakin rumit untuk
mencapainya, sehingga akan mempengaruhi materi maupun metoda pelatihan
yang harus diberikan.
 Sumber Daya yang tersedia: dalam merumuskan tujuan pelatihan hendaknya juga
mempertimbangkan sumberdaya yang tersedia.
 Waktu: faktor waktu sangat menentukan dalam merumuskan tujuan pelatihan
 Peserta Pelatihan: faktor peserta juga sangat berpengaruh di dalam merumuskan
tujuan pelatihan baik dilihat dari latar belakang, pengalaman, usia, pendidikan dan
lain sebagainya. Dalam Pendidikan Orang Dewasa (Andragogi), rancangan belajar
tidak ditekankan pada isi, namun lebih pada proses yang menyertainya.
 Metoda dan Media: dalam menyusun materi pelatihan hendaknya juga
mempertimbangkan kesesuaian metoda dan media yang ada.
 Ketersediaan Pelatih: adakah pelatih yang mempunyai kualifikasi sebagaimana
yang dikehendaki dalam pencapaian tujuan yang diharapkan.
 Evaluasi Pelatihan: faktor yang ikut mempengaruhi perumusan tujuan adalah
kompleksitas penyelenggaraan evaluasi baik dari sisi isi evaluasi maupun proses
yang harus ditempuh

5. Membuat Rancangan Program Pelatihan


Langkah-langkah penting di dalam menyusun rancangan program pelatihan adalah
sebagai berikut di bawah ini.
a. Menentukan & Memprioritaskan Isi/Muatan Materi Pelatihan
Pada dasarnya, bilamana identifikasi kebutuhan pelatihan dilakukan dengan baik
dan benar serta perumusan tujuan pelatihan dan tingkat kedalamannya disusun
dan dirumuskan dengan baik, maka sebenarnya sudah dapat teridentifikasi apa isi
materi pelatihan yang diharapkan.
b. Membangun Hubungan Logis dan Urutannya
Materi pelatihan yang diberikan haruslah terstruktur dan memiliki hubungan yang
logis sehingga memudahkan peserta pelatihan dalam menerima materi.
c. Menentukan Metoda & Media Pelatihan

59
Sesuai dengan prinsip pendidikan orang dewasa yang menghendaki adanya
keterlibatan aktif peserta pelatihan, maka di dalam menentukan metoda
pelatihan, hal yang paling mendasar untuk diperhatikan adalah "adanya
keterlibatan maksimal" peserta pelatihan
d. Menentukan Kebutuhan Waktu
Biasanya, dalam menentukan perkiraan kebutuhan waktu didasarkan pada "skala
prioritas". Artinya bahwa "topik utama" yang menjadi prioritas akan mendapatkan
alokasi waktu yang cukup panjang, sedangkan "topik yang lain" memperoleh
alokasi waktu yang relatif pendek.
Rancangan pelatihan haruslah juga mencakup:
 Siapa peserta pelatihan dan berapa jumlahnya,
 siapa fasilitator/pelatih,
 dimana tempat pelatihan akan dilaksanakan,
 waktu penyelenggaraan,
 kelengkapan pendukung,
 kebutuhan biaya dan menetapkan sumber dana,
 bahan pelatihan,
 dokumentasi
6. Pelaksanaan Program Pelatihan
a. Tahap persiapan
Tahap persiapan meliputi pemberitahuan kepada peserta, pemberitahuan kepada
pemateri, mempersiapkan bahan dan perlengkapan pelatihan di tempat pelatihan.
b. Tahap pelaksanaan pelatihan
Secara umum, pelaksanaan pelatihan terbagi menjadi pembukaan, pembahasan
materi, rangkuman dan evaluasi pelatihan.

7. Evaluasi Program Pelatihan


Evaluasi pelatihan dilakukan dengan tujuan:
 Menemukan bagian-bagian mana saja dari suatu pelatihan yang berhasil
mencapai tujuan, serta bagian-bagian yang tidak mencapai tujuan atau kurang
berhasil sehingga dapat dibuat langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.
 Memberi kesempatan kepada peserta untuk menyumbangkan pemikiran dan
saran saran serta penilaian terhadap efektifitas program pelatihan yang
dilaksanakan.
 Mengetahui sejauh mana dampak kegiatan pelatihan terutama yang berkaitan
dengan terjadinya perilaku di kemudian hari.

60
 Identifikasi kebutuhan pelatihan untuk merancang dan merencanakan kegiatan
pelatihan selanjutnya.

Atas dasar ini, maka kegiatan evaluasi pelatihan dapat berupa:


a) Evaluasi Proses Pelatihan
Evaluasi proses adalah evaluasi yang dilakukan terhadap langkah-langkah
kegiatan selama proses pelatihan berlangsung. Evaluasi proses dilakukan
dengan mengungkapkan pendapat seluruh peserta tentang Pemateri, Materi/Isi,
dan proses pelatihan.
b) Evaluasi Hasil Pelatihan
Evaluasi hasil pelatihan berguna untuk mengetahui dan mengukur akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh suatu tindakan pelatihan.

8. Tindak Lanjut Pelatihan


Rencana Tindak Lanjut pelatihan adalah setiap upaya atau kegiatan yang dilakukan
oleh peserta pelatihan setelah kegiatan pelatihan selesai. Hal ini penting agar
progress atau kemajuan kru dapat dipantau. Laporan kemajuan kru dapat dibuat
agar kemajuan atau kondisi kru dapat tercatat dan terdokumentasikan dengan baik.
Berdasarkan Rencana Tindak Lanjut sebagaimana diuraikan tersebut di atas, maka
akan dengan mudah pihak yang bertanggung jawab terhadap program pelatihan
untuk mengetahui hasil serta dampak pelatihan. Dengan demikian jelas bahwa
tanggung jawab dampak pelatihan tidak hanya ada di pundak Nahkoda atau Perwira
sebagai pimpinan di kapal. Yang juga penting adalah komitmen dan dukungan dari
semua pihak, khususnya perusahaan pelayaran untuk dapat memfasilitasi dan
mendukung terselenggaranya program pelatihan yang efektif.
Pengetahuan dan ketrampilan yang di dapat selama pelatihan harus bisa diterapkan
sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Agar hasil pelatihan mempunyai
dampak yang optimal, maka peluang yang kondusif untuk mempraktekkannya
dalam pekerjaan sehari-hari perlu diciptakan.
Seringkali ditemukan banyak peserta pelatihan tidak bisa mempraktekkan apa yang
didapatkan dalam pelatihan karena sistem yang kurang mendukung.

C. Prinsip-prinsip pembelajaran
Seorang pemimpin yang bertanggungjawab tehadap pengelolaan dan pelatihan
personil di atas kapal harus mengetahui dan memahami prinsip-prinsip pembelajaran
agar dapat merancang suatu program pelatihan yang efektif.

61
1. Perhatian dan Motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori
belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tidak
mungkin terjadi belajar. Perhatian terhadap pelatihan akan timbul pada peserta
apabila bahan pelatihan sesuai dengan kebutuhannya. Di samping perhatian,
motivasi mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga
yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi mempunyai
kaitan yang erat dengan minat. Adanya tidaknya motivasi dalam diri peserta dapat
diamati dari observasi tingkah lakunya. Apabila peserta mempunyai motivasi, ia akan
bersungguh-sungguh menunjukkan minat, mempunyai perhatian, dan rasa ingin tahu
yang kuat untuk ikut serta dalam kegiatan pelatihan, berusaha keras dan memberikan
waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan tersebut, terus bekerja sampai tugas-
tugas tersebut terselesaikan.
2. Keaktifan
Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang aktif, jiwa mengolah
informasi yang kita terima, tidak hanya menyimpan saja tanpa mengadakan
transformasi. Semakin seseorang aktif terlibat dalam proses belajar atau pelatihan,
maka materi yang disampaikan akan lebih mudah diterima.
3. Keterlibatan Langsung/Pengalaman
Belajar haruslah dilakukan sendiri oleh individu, belajar adalah mengalami dan tidak
bisa dilimpahkan pada orang lain. Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman
belajar mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui
pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung seseorang tidak
hanya mengamati, tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan dan
bertanggung jawab terhadap hasilnya. Pentingnya keterlibatan langsung dalam
belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan "learning by doing"-nya. Belajar
sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung dan harus dilakukan oleh seorang
individu secara aktif. Hal ini ada kaitannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh
seorang filsuf Cina Confucius, bahwa:
apa yang saya dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat; dan apa yang
saya lakukan saya paham
4. Pengulangan
Thordike hukum "law of exercise"-nya yang menyatakan bahwa belajar memerlukan
adanya latihan-latihan. Hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat jika
sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika tidak pernah digunakan.
Artinya dalam kegiatan belajar diperlukan adanya latihan-latihan dan pembiasaan

62
agar apa yang dipelajari dapat diingat lebih lama. Semakin sering berlatih maka akan
semakin paham.
5. Tantangan
Teori medan (Field Theory) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa individu ketika
belajar berada dalam suatu medan. Dalam situasi belajar seseorang menghadapi
suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan dalam mempelajari
bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu dengan
mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan
belajar telah tercapai, maka ia akan masuk dalam medan baru dan tujuan baru,
demikian seterusnya. Menurut teori ini belajar adalah berusaha mengatasi hambatan-
hambatan untuk mencapai tujuan.
6. Feedback dan Penguatan
Prinsip belajar yang berkaitan dengan feedback dan penguatan adalah teori belajar
operant conditioning dari B.F. Skinner. Kunci dari teori ini adalah hubungan stimulus
dan respon akan bertambah erat, jika disertai perasaan senang atau puas dan
sebaliknya bisa lenyap jika disertai perasaan tidak senang. Artinya jika suatu
perbuatan itu menimbulkan efek baik, maka perbuatan itu cenderung diulangi.
Sebaliknya jika perbuatan itu menimbulkan efek negatif, maka cenderung untuk
ditinggalkan atau tidak diulangi lagi.
7. Perbedaan Individual
Manusia merupakan makhluk individu yang unik yang mana masing-masing
mempunyai perbedaan yang khas, seperti perbedaan intelegensi, minat bakat, hobi,
tingkah laku maupun sikap, mereka berbeda pula dalam hal latar belakang
kebudayaan, sosial, dan ekonomi. Perlu disadari bahwa hasil suatu pelatihan dapat
berbeda pada masing-masing peserta. Oleh sebab itu pimpinan harus melakukan
supervisi terhadap perkembangan kemampuan dan keterampilan anak buahnya.

D. Coaching dan Mentoring sebagai Bagian dari Pelatihan

Coaching dan mentoring merupakan istilah yang hampir sama maknanya. Keduanya
memiliki arti membantu individu untuk tumbuh dan berkembang  serta keduanya juga
melibatkan hubungan interpersonal. Keduanya dapat memiliki tingkat formalitas, durasi,
dan tujuan dan hasil yang berbeda-beda. Faktanya, beberapa coach dapat berperan
sebagai mentor, walaupun mentor belum tentu menjadi coach kecuali memiliki peranan
yang lebih formal dalam hubungan terhadap kru atau karyawan suatu organisasi. 

63
Ada beberapa perbedaan penting yang perlu dimengerti jika diminta untuk melakukan
salah satu kegiatan tersebut karena perbedaan tersebut dapat berdampak terhadap apa
yang diharapkan. Tabel dibawah menyimpulkan perbedaan tersebut berdasarkan aspek-
aspek yang beragam.

Tabel 2 Perbandingan antara Mentoring dan Coaching

Aspek Mentoring Coaching


Sumber Personal Profesional
hubungan

Fokus Personal dan profesional Profesional  -- personal


hanya jika berhubungan
dengan profesional

Tujuan Berhubungan dengan hidup Spesifik terhadap kebutuhan


secara umum pekerjaan

Pengukuran Informal Formal


kinerja

Imbalan Hubungan Kinerja yang meningkat

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa mentoring dan coaching memiliki perbedaan,
meskipun tujuan keduanya adalah sama-sama untuk mengembangkan kemampuan kru.
Seorang perwira dapat menjadi coach bagi anak buahnya dengan memberikan
bimbingan, penjelasan serta contoh mengenai bagaimana melakukan suatu tugas di atas
kapal. Coaching bisa menjadi metode pelatihan yang efektif karena kru dapat berinteraksi
secara langsung dengan pelatihnya. Selain itu, dengan mendapatkan bimbingan
langsung, kru dapat lebih mudah memahami tugas-tugas yang diajarkan kepadanya.
Perwira yang menjadi coach memiliki tanggung jawab untuk memastikan agar setiap kru
dapat memenuhi ukuran kinerja yang ditetapkan. Perwira juga dapat mengambil tindakan
korektif atau disiplin untuk mempengaruhi kinerja para anak buah di kapal.
Mentoring memiliki sisi yang lebih personal. Ketika perwira memberikan bimbingan
yang berhubungan dengan hidup secara umum, misalnya memberikan semangat,
motivasi, atau saran-saran terhadap permasalahan pribadi anak buah, maka perwira
tersebut telah menjalankan fungsi mentoring bagi anak buahnya.

64
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa program pelatihan di kapal dapat
diselenggarakan dengan berbagai macam metode atau cara. Seorang pemimpin harus jeli
melihat kebutuhan kru kapal agar dapat menyusun program pelatihan yang efektif.
Kebutuhan ini dapat dilihat apabila pemimpin mengetahui kemampuan anak buahnya,
meliputi kelemahan dan kelebihan anak buah. Dengan mengetahui hal tersebut, pelatihan
dapat terselenggara dengan efektif dan tepat sasaran untuk mewujudkan operasi
pelayaran yang aman.

65
BAB IX

MANAJEMEN KAPAL DAN BUDAYA KESELAMATAN

A. Pengertian Manajemen dan Karakteristik Manajemen di Kapal


Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, penyerahan dan
pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber saya
organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Manajemen dapat didefinisikan sebagai bekerja dengan orang-orang untuk
menentukan, menginterpretasikan dan mencapai tujuan organisasi dengan pelaksanaan
fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia atau
kepegawaian, penyerahan, kepemimpinan dan pengawasan.
Manajemen dibutuhkan untuk semua organisasi, baik manajemen di darat maupun
di kapal karena tanpa manajemen pencapaian tujuan akan menjadi sangat sulit.
Manajemen perkapalan memiliki perbedaan dengan manajemen industri di darat
dalam beberapa aspek, yakni:
1. Perusahaan perkapalan terdiri dari sejumlah unit-unit industri kecil yang bergerak
(mobile) yaitu terdiri dari kapal-kapal yang pada waktu tertentu menyebar mengikuti
jarak jauh di berbagai wilayah.
2. Selama dalam pelayaran, kapal dapat mengalami perubahan cuaca yang drastis dan
dapat mengganggu pekerjanya, baik fisik maupun mental.
3. Kapal beroperasi di lingkungan yang tidak ramah dan harus menyelesaikan tugas
dengan baik pada kondisi cuaca yang ekstrim.
4. Selama di kapal, para pekerjanya selalu dihadapkan resiko bahaya, baik pada waktu
dinas maupun di luar dinas. Misalnya pada waktu ada bahaya kebakaran, tenggelam,
atau kandas.
Adapun industri di darat umumnya beroperasi dalam kondisi yang relatif tetap.
Orang yang bekerja ditempatkan dekat dengan pekerjaan dan mempunyai berbagai
fasilitas dan sarana yang cukup. Industri di darat dalam merekrut pegawai dapat
menyesuaikan dengan kebutuhan organisasi, baik dalam aspek pendidikan,
pengalaman dan kriteria-kriteria lain yang dipersyaratkan.
Perusahaan pelayaran memiliki kesulitan dalam merekrut orang yang sesuai untuk
karier di laut. Agen pengawakan dapat menemui kesulitan dalam mendapatkan kru yang
berkualitas dan berpengalaman. Fasilitas pendidikan dan pelatihan maritim tidak selalu
tersedia sebagaimana pendidikan umum lainnya sehingga orang-orang kapal mungkin

66
harus bepergian jauh untuk mengikuti kursus untuk meningkatkan kompetensi yang
dimiliki.
Kapal beroperasi selama 24 jam setiap hari dan awak kapalnya disusun dengan
sistem pergantian (shift) jaga. Mereka harus diatur untuk mengoperasikan kapal dengan
efektif dan aman, terutama dalam hal:
 Jaga laut dan jaga pelabuhan
 Penanganan muatan
 Perawatan kapal dan perlengkapannya
 Tugas-tugas pada saat tiba dan berangkat serta tugas-tugas pada saat berlabuh.
 Tugas-tugas terkait keselamatan seperti : fire fighting, penyelamatan diri.

B. Tujuan dan Fungsi Manajemen


Tujuan utama setiap organisasi adalah berkembang dan mendapatkan
keuntungan dengan melaksanakan fungsi-fungsi manajemen secara efektif dan efisien.
George Robert Terry menyatakan bahwa tujuan manajemen adalah :
1. Untuk mencapai keteraturan, kelancaran, dan kesinambungan usaha untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
2. Untuk mencapai efisiensi, yaitu suatu perbandingan terbaik antara input dan output
Fungsi manajemen antara lain:
1. Planning
Merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pemilihan alternatif-alternatif,
kebijaksanaan-kebijaksanaan, prosedur-prosedur, dan program-program sebagai
bentuk usaha untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Terdapat 4 (empat) tingkat kemampuan dasar dalam kegiatan perencanaan:
a) Insight: kemampuan untuk menghimpun fakta dengan jalan mengadakan
penyelidikan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang
direncanakan.
b) Foresight: kemampuan untuk memproyeksikan atau menggambarkan jalan atau
cara-cara yang akan ditempuh, memperkirakan keadaan-keadaan yang mungkin
timbul sebagai akibat dari kegiatan yang dilakukan.
c) Studi eksploratif: kemampuan untuk melihat segala sesuau secara keseluruhan,
sehingga diperoleh gambaran secara integral dari kondisi yang ada.
d) Doorsight: kemampuan untuk mengetahui segala cara yang dapat menyamarkan
pandangan, sehingga memungkinkan untuk dapat mengambil keputusan.

67
2. Organizing
Merupakan suatu tindakan atau kegiatan menggabungkan seluruh potensi yang ada
dari seluruh bagian dalam suatu kelompok orang atau badan atau organisasi untuk
bekerja secara bersama-sama guna mencapai tujuan yang telah ditentukan bersama,
baik untuk tujuan pribadi atau tujuan kelompok dan organisasi.
Dalam pengorganisasian dikenal istilah KISS (koordinasi, integrasi, simplifikasi, dan
sinkronisasi) dalam rangka menciptakan keharmonisan dalam kegiatan organisasi.
3. Actuating
Merupakan implementasi dari perencanaan dan pengorganisasian, dimana seluruh
komponen yang berada dalam satu sistem dan satu organisasi tersebut bekerja
secara bersama-sama sesuai dengan bidang masing-masing untuk dapat
mewujudkan tujuan.
4. Controlling
Merupakan pengendalian semua kegiatan dari proses perencanaan,
pengorganisasian dan pelaksanaan, apakah semua kegiatan tersebut memberikan 
hasil yang efektif dan efisien serta bernilai guna dan berhasil guna.

C. Prinsip-prinsip Manajemen
Prinsip-prinsip dalam manajemen bersifat lentur dalam arti bahwa perlu
dipertimbangkan sesuai dengan kondisi-kondisi khusus dan situasi-situasi yang
berubah. Menurut Henry Fayol, seorang pencetus teori manajemen yang berasal dari
Perancis, prinsip-prinsip umum manajemen ini terdiri dari:
1. Pembagian kerja (division of work)
2. Wewenang dan tanggung jawab (authority and responsibility)
3. Disiplin (discipline)
4. Kesatuan perintah (unity of command)
5. Kesatuan pengarahan (unity of direction)
6. Mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri (subordination of
individual interests to the general interests)
7. Pembayaran upah yang adil (renumeration)
8. Pemusatan (centralisation)
9. Hirarki (hierarchy)
10. Tata tertib (order)
11. Keadilan (equity)
12. Stabilitas kondisi karyawan (stability of tenure of personnel)
13. Inisiatif (Inisiative)

68
14. Semangat kesatuan (esprits de corps)

D. Budaya dalam Lingkungan Kerja Pelayaran


Budaya dapat digambarkan sebagai cara hidup diantara sekelompok orang,
sebuah organisasi, sebuah profesi, atau sebuah negara. Budaya terdiri dari sekumpulan
norma, sikap, nilai dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sebuah kelompok. Budaya
dapat mempengaruhi cara orang berkomunikasi, mengambil keputusan dan menilai
resiko. Helmreich dan Merritt (2004, dalam Grech, 2008, hal. 135) menyatakan bahwa
terdapat 3 (tiga) jenis budaya yang dapat mempengaruhi lingkungan kerja yakni:
nasional, profesi dan organisasi. Ketiga tipe budaya tersebut memiliki pengaruh
terhadap sikap, nilai dan interaksi seseorang yang dapat mendorong performa kerjanya
di kapal ke arah positif atau negatif.
1. Budaya Nasional / Bangsa
Budaya nasional memiliki peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku.
Sekarang ini dunia pelayaran dianggap sebagai industri internasional dimana
terdapat berbagai budaya yang saling berinteraksi. Berbagai faktor seperti
komunikasi, team work, kepemimpinan dan tanggung jawab bisa memiliki perbedaan
dalam hal budaya. Hal ini merupakan sebuah tantangan dalam dunia maritim yang
harus ditaklukan agar dapat terhindar dari masalah. Setiap Negara memiliki ciri
komunikasi yang berbeda. Di beberapa negara mungkin dianggap tidak sopan untuk
bertanya langsung kepada atasan, namun di negara lain hal itu merupakan hal yang
biasa. Hal-hal seperti ini dapat menyebabkan kesalahpahaman dan konflik antar
budaya apabila tidak diatasi dengan baik.
2. Budaya Profesi
Budaya profesi berkaitan dengan atribut suatu pekerjaan dan mencakup berbagai
faktor seperti: tradisi, proses pelatihan, resiko pekerjaan, wewenang dan
tanggungjawab serta karakteristik pekerja yang terlibat di dalamnya. Dalam dunia
pelayaran, kru kapal tidak hanya bekerja namun juga hidup di atas kapal dalam
jangka waktu yang cukup lama. Hal ini mengakibatkan kurangnya kontak sosial
dengan keluarga, teman dan menciptakan lingkungan organisasi yang terpencil.
Terdapat pekerjaan harian yang terjadwal dengan ketat beserta peraturan dari
otoritas yang lebih tinggi. Hal tersebut tentunya memiliki dampak terhadap kondisi
kerja di kapal.
3. Budaya Organisasi
Budaya organisasi ditemukan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang
terhadap pekerjaan. Sama dengan budaya nasional, di dalam sebuah organisasi juga
dapat berkembang berbagai norma, nilai, dan kepercayaan yang tercermin dalam

69
strategi dan sikap manajemen terkait aspek-aspek seperti komunikasi, kerjasama tim,
dan pelatihan. Beberapa kecelakaan dapat secara tidak langsung dapat diakibatkan
oleh kebijakan dan keputusan organisasi yang dapat mengarah pada human error
misalnya kurangnya kesadaran dan kepekaan terhadap situasi, tingkat kelelahan
yang tinggi, beban pekerjaan yang berlebihan, dsb.
4. Budaya Keselamatan
Keselamatan (safety) tidak mudah untuk didefinisikan karena memiliki banyak
dimensi. Banyak yang menghubungkan budaya keselamatan dengan rendahnya
tingkat kecelakaan. Memang benar bahwa organisasi dengan budaya keselamatan
yang baik umumnya memiliki tingkat kecelakaan yang rendah, namun kebalikannya
belum tentu selalu begitu. Organisasi yang memiliki budaya keselamatan yang
kurang baik mungkin saja beruntung dan memiliki tingkat kecelakaan yang rendah.
Dalam konteks ini, budaya keselamatan berkaitan dengan sejauh mana orang-orang
dan kelompok dalam suatu organisasi berusaha untuk meningkatkan dan
mengkomunikasikan keselamatan dan bersedia untuk terus menerus belajar,
beradaptasi dan memodifikasi perilaku berdasarkan hasil belajar.
Berikut adalah bagan hubungan antara budaya nasional, profesi dan organisasi
dalam mempengaruhi budaya keselamatan.

`
Gambar 16 : Diagram Hubungan Antara Budaya Nasional dan Budaya Profesi dalam
Mempengaruhi Budaya Organisasi dan Budaya Keselamatan

70
Westrum (1992, dalam Grech, 2008) mengembangkan konsep untuk menjelaskan
tingkatan budaya keselamatan dalam organisasi.

Gambar 17 : Berbagai Tingkatan Evolusi Organisasi dan Hubungannya dengan Budaya


Keselamatan

Seperti yang dapat dilihat pada gambar 17 di atas, sebuah organisasi dapat
mengalami serangkaian evolusi terkait cara merespon budaya keselamatan, dimulai
dari pathological menjadi generative. Sebuah organisasi dapat bergerak dari system
yang tidak aman menjadi system yang aman dan hanya apabila telah mencapai level
tertentu maka organisasi tersebut dapat dikatakan telah menghandle keselamatan
dengan serius untuk meraih budaya keselamatan.
Organisasi yang pathological adalah organisasi yang tidak aman. Terdapat
kecenderungan untuk saling menyalahkan ketika terjadi kesalahan atau kecelakaan.
Jelasnya, organisasi ini tidak memperhatikan keselamatan sama sekali. Organisasi
yang reactive mulai memikirkan keselamatan sebagai isu penting. Hal ini seringkali
didorong oleh faktor eksternal dan internal, mungkin karena insiden dan kecelakaan
yang seringkali terjadi. Pada organisasi bureaucratic, faktor resiko dan keselamatan
direview setelah terjadinya kecelakaan. Pada tahap ini, tekhnik analisa kuantitative
digunakan untuk menilai keselamatan dan mengukur efektifitasnya. Meskipun
demikian, keselamatan masih dianggap sebagai “tambahan”. Organisasi proactive
memiliki pendekatan yang lebih proaktif terhadap keselamatan. Misalnya dengan
mengadakan pelatihan manajemen sistem keselamatan. Kelemahan organisasi ini

71
adalah kurang mampu belajar dari bukti kongrit yang dikumpulkan setelah terjadinya
kecelakaan. Pada akhirnya, organisasi generative secara penuh mengintegrasi
perilaku yang aman ke dalam seluruh kegiatan organisasi. Mereka juga
menggunakan informasi, observasi dan ide-ide baru untuk dimasukkan ke dalam
sistem. Salah satu perbedaan penting antara level akhir dengan level sebelumnya
adalah pada level akhir ini faktor manusia dianggap mencakup individu dan juga
organisasi.
Mashall (2006, dalam Grech, 2008) menyatakan bahwa tantangan untuk berpindah
dari level pathological menjadi generative melibatkan komitmen yang kuat dari
manajemen organisasi. Mereka tidak cukup hanya menerima namun juga
menunjukkan komitmen mereka melalui dukungan aktif terhadap sistem manajemen
keselamatan. Begitu suatu organisasi dapat mencapai tahap generative, organisasi
tersebut akan menghadapi banyak tantangan untuk tetap berada pada level tersebut.

72
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah. Tugas Dan Tanggung Jawab Awak/Crew Kapal. 2 September 2014.


http://tugasdantanggungjawabawakcrewkapal.blogspot.com/

Badan Diklat Perhubungan. (2000). Modul BST: Personal Safety and Social Responsibility,
Jakarta.

Blakey, TN. (1987). English for Maritime Studies. Hertfordshire : Prentice Hall

Cherry, Byron L. Transformational versus Transaction Leadership. 30 Juni 2014.


http://www.succeedtolead.com/pdfs/articles/leadership/Transformational-vs-
Transactional_Leadership.pdf.

DeVito, J. A. (1986). The communication handbook: A dictionary. New York: Harper & Row

Grech, Rita Michelle., et.al., (2008). Human Factors in the Maritime Domain, CRC Press,
Boca Raton.

Handy, Charles. (1993). Understanding Organization, Oxford University Press, New York.

Health and Safety Executive of UK Government. Human Failure Types. 2 September 2014.
http://www.hse.gov.uk/humanfactors/topics/types.pdf

Health and Safety Executive of UK Government. Human Factors in Accident Investigation. 2


September 2014. http://www.hse.gov.uk/humanfactors /topics/core2.pdf

Heathfield, Susan M. Chain of Command. 2 September 2014.


http://humanresources.about.com/od/glossaryc/g/chain-of-command.htm

Kuncoro, Ongky Setio. Perlunya Pengembangan SDM Anak Buah Kapal (ABK) Pada
Pt.Merak Jaya Transport. 2 September 2014. http://www.spocjournal.com
/ekonomi/manajemen/87-perlunya-pengembangan-sdm-anak-buah-kapal-abk-pada-ptmerak-
jaya-transport.html (

Lai, Andrea. Transformational-Transactional Leadership Theory. 30 Juni 2014.


http://digitalcommons.olin.edu/cgi/viewcontent.cgi?
article=1013&context=ahs_capstone_2011.

Lova. Menerapkan Fungsi Manajemen POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling)


Dalam Aspek Perusahaan. 30 Juni 2014. http://lova241smk

73
.wordpress.com/2012/02/26/menerapkan-fungsi-manajemen-poac-planning-organizing-
actuating-controlling-dalam-aspek-perusahaan/.

Malibu Mirage Owners and Pilots Association. The Error Chain. 2 September 2014.
http://www.mmopa.com/gallery/278_MMOPA%20Safety%20Lecture%20-%20Error
%20Chain%20-%2020Sep2012.pdf

Rushden, Lisa. (2008). Contribute to Effective Communications and Teamwork on a Coastal


Vessel. National Search and Rescue Manual.

Serenity. Assertiveness and the Four Styles of Communication. 30 Juni 2014.


http://serenityonlinetherapy.com/assertiveness.htm.

Wikipedia. Manajemen. 30 Juni 2014. http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen.

Wikipedia. Pembelajaran. 2 September 2014. http://id.wikipedia.org/wiki/ Pembelajaran

Wikipedia. Command Hierarchy. 2 September 2014. http://en.wikipedia.org/wiki


/Command_hierarchy

Wiyoto., Rahmat, Tatang. Mengelola Program Pelatihan. 2 September 2014.


http://www.tedcbandung.com/tedc2011/pdf/mjld0211.pdf

http://personaldevelopment-pengembangandiri.blogspot.com/2012/02/ coaching-and-
mentoring-pendahuluan.html

74

Anda mungkin juga menyukai