Laporan Pkpa Rumah Sakit Jan Feb 2020
Laporan Pkpa Rumah Sakit Jan Feb 2020
OLEH :
Apoteker Angkatan XXXVIII
SARI RAHAYUNINGSIH K 19340049
LUTHFI AMBARWATI 19340052
SUHAYDA SUTRI 19340053
ADINDA MULYAWATI P 19340068
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat, rahmat
dan karuniaNya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) di RS Bhayangkara Brimob Kota Depok. PKPA ini
merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh untuk memperoleh gelar
Apoteker di Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi di Institut Sains
dan Teknologi Nasional agar setiap calon Apoteker mendapatkan pengetahuan dan
gambaran yang jelas mengenai RS Bhayangkara Brimob Kota Depok yang
merupakan salah satu tempat pengabdian profesi Apoteker.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibu
Rahayu Wijayanti S.Si, M.Farm., Apt sebagai pembimbing di RS Bhayangkara
Brimob Kota Depok dan Ibu Ritha Widya Pratiwi, MARS., Apt. sebagai
pembimbing di ISTN yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
Pengarahan dan Bimbingan selama pelaksanaan PKPA di RS Bhayangkara
Brimob Kota Depok. PKPA ini dapat berjalan berkat dukungan, bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini ucapan terima
kasih disampaikan pula kepada:
1. Dekan Fakultas Farmasi ISTN, Ibu Dr. Refdanita, M.Si., Apt.,
2. Ketua Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi ISTN, Ibu Jenny
Pontoan, M.Farm., Apt.,
3. Seluruh staf RS Bhayangkara Brimob Kota Depok yang telah memberikan
informasi yang sangat berguna sehingga laporan ini dapat terselesaikan.
4. Seluruh Dosen Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi ISTN yang
telah memberikan ilmunya kepada kami selama melakukan perkuliahan di
Institut Sains dan Teknologi Nasional, Jakarta
5. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan doa, moril dan
materi serta semua pihak yang telah banyak membantu selama melaksanakan
PKPA maupun dalam penyusunan Laporan di RS Bhayangkara Brimob Kota
Depok.
6. Teman-teman mahasiswa/i angkatan XXXVIII Program Profesi Apoteker ISTN
yang telah memberikan dukungan dan pihak-pihak lain yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah membantu pembuatan Laporan Praktek
Kerja Profesi Apoteker ini, baik langsung maupun tidak langsung.
ii
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu diperlukan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi
penyempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi
ilmu pengetahuan khususnya dunia kefarmasian.
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
I.2 Tujuan
Tujuan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang diselenggarakan oleh
Fakultas Farmasi Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) yang bekerja sama
dengan RS Bhayangkara Brimob adalah :
a. Mampu memahami tugas dan tanggung jawab Apoteker dalam melakukan
praktek kefarmasian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan etika
yang berlaku.
b. Mengetahui, memahami dan meningkatkan keterampilan dalam kegiatan
manajerial (pengelolaan obat), seperti Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai di RS Bhayangkara Brimob.
c. Memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam pelayanan farmasi klinik di
RS Bhayangkara Brimob.
d. Meperoleh pengalaman paktis dalam melakukan interaksi dan komunikasi
dengan tenaga kesehatan lainnya di Rumah Sakit.
e. Memiliki gambaran nyata tentang permasalahan praktek kefarmasian serta
mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka
pengembangan praktek kefarmasian.
BAB II
TINJAUAN UMUM
4
5
terdiri dari peralatan medis untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan,
rawat inap, rawat intensif, rawat operasi, persalinan, radiologi,
laboratorium klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik, farmasi,
instalasi gizi dan kamar jenazah.
4) Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah sakit tipe D dibedakan menjadi dua yaitu rumah sakit
umum kelas D dan rumah sakit umum kelas D pratama. Pelayanan pada
rumah sakit umum tipe D menurut Permenkes Nomor 30 Tahun 2019
paling sedikit meliputi pelayanan medik, pelayanan kefarmasian,
pelayanan keperawatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik,
pelayanan penunjang non klinik, dan pelayanan rawat inap. Rumah Sakit
umum tipe D harus memiliki Pelayanan medik paling sedikit terdiri dari
pelayanan gawat darurat, 4 (empat) pelayanan medik umum, 2 (dua)
pelayanan medik spesialis dasar, 2 (dua) pelayanan medik spesialis
penunjang.
Sumber manusia rumah sakit umum tipe D terdiri dari tenaga
medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga kesehatan lain
dan tenaga non kesehatan. Tenaga kefarmasian yang diperlukan paling
sedikit terdiri dari 1 (satu) orang Apoteker sebagai kepala instalasi
farmasi rumah sakit, 1 (satu) orang Apoteker yang bertugas di rawat jalan
dan dirawat inap dibantu 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian (TTK),
1 (satu) orang Apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan
produksi.
Pelayanan kefarmasiaan pada rumah sakit tipe D meliputi
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
dan pelayanan farmasi klinik. Peralatan rumah sakit tipe D paling sedikit
terdiri dari peralatan medis untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan,
rawat inap, rawat intensif, rawat operasi, persalinan, radiologi,
laboratorium klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik, farmasi,
instalasi gizi dan kamar jenazah.
Rumah sakit umum kelas D pratama didirikan dan diselenggarakan
untuk menjamin ketersediaan dan meningkatkan aksesibilitas masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan tingkat dua. Rumah sakit umum kelas D
pratama hanya dapat didirikan dan diselenggarakan di daerah tertinggal,
1
2. Rumah sakit bergerak, yaitu rumah sakit yang siap guna dan
bersifat sementara dalam jangka waktu tertentu dan dapat
dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lain. Rumah Sakit bergerak
dapat berbentuk bus, kapal laut, karavan, gerbong kereta api, atau
kontainer.
3. Rumah sakit lapangan, yaitu rumah sakit yang didirikan di lokasi
tertentu selama kondisi darurat dalam pelaksanaan kegiatan tertentu
yang berpotensi bencana. Rumah sakit lapangan dapat berbentuk
tenda di ruang terbuka, kontainer, atau bangunan permanen yang
difungsikan sementara sebagai Rumah Sakit.
II.1.6 Struktur Organisasi Rumah Sakit
Setiap Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien, dan
akuntabel. Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah
Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan,
unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta
administrasi umum dan keuangan.
II.1.7 Komite/Panitia Farmasi dan Terapi
Dalam pengorganisasian Rumah Sakit dibentuk Komite/Tim Farmasi dan
Terapi yang merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada
pimpinan Rumah Sakit mengenai kebijakan penggunaan Obat di Rumah Sakit
yang anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yangada
di Rumah Sakit, Apoteker Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya
apabila diperlukan.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus dapat membina hubungan kerja
dengan komite lain di dalam Rumah Sakit yang berhubungan/berkaitan
dengan penggunaan Obat.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat diketuai oleh seorang dokter atau
seorang Apoteker, apabila diketuai oleh dokter maka sekertarisnya adalah
Apoteker, namun apabila diketuai oleh Apoteker, maka sekertarisnya adalah
dokter. Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara
teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk Rumah Sakit besar rapat
diadakan sekali dalam satu bulan. Rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi
dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar Rumah Sakit yang
dapat
1
Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang dilaksanakan
selain oleh Instalasi Farmasi.
II.2.2 Struktur Organisasi IFRS
Pengorganisasian Instalasi Farmasi harus mencakup penyelenggaraan
pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai,
pelayanan farmasi klinik dan manjemen mutu, dan bersifat dinamis dapat
direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu. Instalasi farmasi
dipimpin oleh seorang apoteker sebagai penanggung jawab. Dalam
penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di rumah sakit dapat dibentuk satelit
farmasi sesuai dengan kebutuhan.
II.2.3 Tugas dan Fungsi IFRS
Tugas Instalasi Farmasi, meliputi:
1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh
kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai
peosedur etik profesi.
2. Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan
Medis Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien; melaksanakan
pengkajian dan pemantauan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan
Medis Habis Pakai guna memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta
meminimalkan risiko.
3. Melaksanakan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien; berperan aktif dalam
Komite/Panitia Farmasi dan Terapi, melaksanakan pendidikan danpelatihan
serta pengembangan Pelayanan Kefarmasian.
4. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium Rumah Sakit.
Fungsi Instalasi Farmasi, meliputi:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
2. Pelayanan Farmasi Klinik
1
riwayat yang baik. Harga masih dapat dikendalikan, tenaga dan beban
kerja lebih ringan bila dibandingkan dengan lelang terbuka.
3. Pemberlian dengan Tawar Menawar
Metode dilakukan bila item tidak penting, tidak banyak dan biasanya
dilakukan pendekatan langsung untuk item tertentu.
4. Pembelian Langsung
Pembelian dilakukan dalam jumlah kecil untuk item yang perlu segera
tersedia. Harga untuk item tertentu relatif lebih mahal dibanding pada
pembelian dengan metode lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:
1. Kriteria sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai, yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu obat.
2. Persyaratan pemasok.
3. Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan habis pakai.
4. Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
b. Produksi Sediaan Farmasi
Instalasi Farmasi dapat memproduksi sediaan tertentu apabila:
1. Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran
2. Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendriri
3. Sediaan Farmasi dengan formula khusus
4. Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil atau repacking
5. Sediaan Farmasi untuk penelitian
6. Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan atau harus
dibuat baru (recenter paratus)
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan
mutu dan terbatas mutu hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
di Rumah Sakit tersebut.
c. Sumbangan/Dropping/Hibah
Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
penerimaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan medis
habis pakai sumbangan/dropping/hibah.
2
Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem
informasi manajemen. Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip
(LASA, Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus
diberik penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan
pengambilan obat. Rumah sakit harus dapat menyediakan lokasi
penyimpanan obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat
penyimpanan harus mudah diakses dan tehindar dari penyahgunaan dan
pencurian. Pengelolaan obat emergensi harus menjamin:
a. Jumlah dan jenis obat sesuai dengan daftar obat emergensi yang telah
ditetapkan
b. Tidak boleh bercampur dengan persediaan obat untuk kebutuhan lain
c. Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti
d. Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluarsa
e. Dilarang dipinjam untuk kebutuhan lain
6. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan atau menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan
atau pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah dan
ketepatan waktu. Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang
dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai di unit pelayanan.
Sistem distribusi di unit pelayana dapat dilakukan dengan cara:
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
Pada sistem floor stock pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai untuk persediaan di ruang rawat disimpan dan
dikelola oleh instalasi farmasi. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai yang disimpan di ruangan rawat harus dalam jenis dan
jumlah yang sangat dibutuhkan, dalam kondisi sementara dimana tidak ada
petugas farmasi yang mengelola (diatas jam kerja) maka pendistribusiannya
didelegasikan kepada penanggung jawab ruangan. Setiap hari dilakukan
2
serah terima kembali pengelolaan obat floor stock kepada petugas farmasi
dari penanggung jawab ruangan
b. Sistem Resep Perorangan
Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai berdasarkan resep perorangan atau pasien rawat jalan dan rawat inap
melalui Instalasi Farmasi.
c. Sistem Unit Dosis
Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai berdasarkan resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis
tunggal atau ganda, untuk penggunaan satu kali dosis atau pasien. Sistem
unit dosis ini digunakan untuk pasien rawat inap.
d. Sistem kombinasi
Sistem pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a+b
atau b+c atau a+c.
Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk
pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian
obat dapat diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan
sistem floor stock atau resep individu yang mencapai 18%. Sistem distribusi
dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan
mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada dan
metode sentralisasi atau desentralisasi.
7. Pemusnahan dan Penarikan
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan
cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar atau
ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar
berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau
berdasarkan inisiatif sukarela oleh pemilik ijin edar (voluntary recall)
dengan tetap memberikan laoran kepada Kepala BPOM. Penarikan alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan terhadap produk yang izin
edarnya dicabut oleh
2
Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedang dan akan digunakan
pasien, meliputi nama obat, dosis, frekuensi, rute, obat mulai diberikan,
diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping
obat yang pernah terjadi. Khusus untuk data alergi dan efek samping obat,
dicatat tanggal kejadian, obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan
efek samping, efek yang terjadi, dan tingkat keparahan. Data riwayat
penggunaan obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien, daftar obat pasien,
obat yang ada pada pasien, dan rekam medic atau medication chart. Data
obat yang dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya, semua
obat yang digunakan oleh pasien baik resep maupun obat bebas termasuk
herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.
b. Komparasi
Petugas kesehatan membandingkan data obat yang pernah, sedang dan
akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana
ditentukan ketidakcocokan atau perbedaan diantara data-data tersebut.
Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada obat hilang, berbeda,
ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang didokumentasikan pada
rekam medic pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja
(intentional) oleh dokter pada saat penulisan resep maupun tidak disengaja
(unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat
menuliskan resep.
c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian
dokumentasi, bila ada ketidaksesuaian maka dokter harus dihubungi kurang
dari 24 jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah:
1. Menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak
disengaja
2. Mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti
3. Memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya
rekonsiliasi obat.
d. Komunikasi
Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau
perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung
jawab terhadap informasi obat yang diberikan.
3
II.3.7 Konseling
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran
terkait terapi obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau
keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap
disemua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisiatif Apoteker, rujukan
dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang
efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap
Apoteker. Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil
terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki, dan
meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan
keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety). Secara khusus
konseling obat bertujuan untuk:
a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien
b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien
c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat
d. Membatu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat
dengan penyakitnya
e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan
f. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat
g. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal
terapi
h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan
i. Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga
dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan
pasien
Kegiatan dalam konseling obat meliputi:
a. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
b. Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan obat
melalui Three Prime Question, antara lain:
1) Apa yang disampaikan dokter tentang obat anda?
2) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat anda?
3
permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah Sakit yang biasa
disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care).
Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker harus mempersiapkan diri
dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa
terapi obat dari rekam medik atau sumber lain.
II.3.9 Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang
mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan
rasional bagi pasien. Tujuan Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah
meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang
tidak dikehendaki (ROTD). Kegiatan dalam pemantauan terapi obat (PTO)
meliputi:
a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi,
reaksi obat yang tidak dikeehendaki (ROTD)
b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.
Tahapan Pemantauan Terapi Obat (PTO):
a. Pengumpulan data pasien
b. Identifikasi masalah terkait obat
c. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
d. Pemantauan
e. Tindak Lanjut
f. Faktor yang harus diperhatikan dalam melaksanakan Pemantauan Terapi
Obat (PTO) yaitu kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis
terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidance Best Medicine),
kerahasiaan informasi dan kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter
dan perawat).
II.3.10 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yangterjadi
pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnose dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat yang tidak
3
b) Ruang penyimpanan dokumen atau arsip resep dan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai yang rusak.
c) Tempat penyimpanan obat diruang perawatan
d) Fasilitas toilet, kamar mandi untuk staf
b. Peralatan
Fasilitas peralatan harus memenuhi syarat terutama untuk perlengkapan
peracikan dan penyiapan baik untuk sediaan steril, non steril, maupun cair
untuk obat luar atau dalam. Fasilitas peralatan harus dijamin sensitif pada
pengukuran dan memenuhi persyaratan, penerapan dan kalibrasi untuk perlatan
tertentu setiap tahun.
sangat infeksius, otopsi, organ binatang percobaan dan bahan lain yang telah
diinokulasi, terinfeksi atau kontak dengan bahan yang sangat infeksius.
Limbah sitotoksik adalah limbah dari bahan yang terkontaminasi dari
persiapan dan pemberian obat sitotoksik untuk kemoterapi kanker yang
mempunyai kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan sel
hidup.
2. Limbah Non-Medis Padat
Limbah padan non medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari
kegiatan di rumah sakit di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman
dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada teknologinya.
3. Limbah Cair
Limbah cair adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari
kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan
kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan.
Kualitas limbah (eluen) rumah sakit yang akan dibuang ke badan air atau
lingkungan harus memenuhi persyaratan baku mutu efluen sesuai Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-58/MENLH/12/1995 atau peraturan daerah
setempat.
4. Limbah Gas
Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari
kegiatan pembakaran di rumah sakit seperti insenerator, dapur, perlengkapan
generator, anastesi dan pembuatan obat sitotoksik. Standar gas (emisi) dari
pengolahan pemusnah limbah medis pada dengan insinerator mengacu pada
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-13/MenLH/3/1995 tentang Baku
Mutu Emisi Tidak Bergerak.
DAFTAR PUSTAKA
65
79