Anda di halaman 1dari 310

PETA JALAN IMPLEMENTASI

NATIONALLY DETERMINED
RINGKASAN PETA JALAN
CONTRIBUTION
NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTION
MITIGASI
MITIGASI

OKTOBER
2019 2019
PETA JALAN IMPLEMENTASI
NATIONALLY DETERMINED
CONTRIBUTION
MITIGASI

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


REPUBLIK INDONESIA

2019
Penasihat:
Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Pimpinan Editor :
Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim

Editor :
Ir. Emma Rachmawaty, M.Sc
Direktur Mitigasi Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh :
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Gedung Manggala Wanabakti
Blok VII Lantai 12
Jakarta, 10270 Indonesia
Telp/Fax +62-21-572 0194

Bekerja sama dengan :


• Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Sekretariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral; Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi
Energi; Ditjen Ketenagalistrikan; Ditjen Migas; Ditjen
Minerba
• Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat; Ditjen Cipta Karya
• Kementerian Perhubungan
Sekretariat Jenderal Kementerian Perhubungan;
Ditjen Perhubungan Darat; Ditjen Perhubungan Laut;
Ditjen Perhubungan Udara; Ditjen Perkeretaapiaan
• Kementerian Perindustrian
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri; Ditjen
Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil; Ditjen Industri Agro; Ditjen
Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika
• Kementerian Pertanian
Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian; Ditjen
Tanaman Pangan; Ditjen Hortikultura; Ditjen Perkebunan;
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan; Ditjen Prasarana
dan Sarana; Badan Ketahanan Pangan; Badan Karantina
Pertanian; Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian;
Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Pertanian

ISBN : 978-623-92535-1-6

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang menggunakan isi maupun memperbanyak buku ini
sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopinya,
cetak, mikrofilm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali
untuk keperluan pendidikan atau non komersial lainnya dengan
mencantumkan sumbernya sebagai berikut :
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (2019). Buku
Road Map NDC Mitigasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
Daftar Istilah
1. Aforestasi : Pembentukan hutan di area yang sebelumnya bukan
merupakan hutan
2. Agroforestry : Perpaduan pengelolaan hutan dengan mengkombinasikan
tanaman kayu dengan tanaman pertanian
3. Blended cement : Produk atau jenis semen yang menggunakan bahan baku
alternatif
4. Conditional : Aksi mitigasi yang akan dilaksanakan apabila ada bantuan
internasional (bersyarat)
5. Deforestasi : Perubahan tutupan hutan dari hutan alam menjadi non hutan
alam
6. Degradasi : Perubahan tutupan hutan dari hutan primer menjadi hutan
sekunder
7. Direct emission : Emisi gas rumah kaca langsung, yaitu emisi yang terjadi di
lokasi yang dibahas atau dilaporkan
8. Driver : Faktor pendorong terjadinya deforestasi dan degradasi hutan
9. Enabling condition : Kondisi yang memungkinkan dan mendukung terlaksananya
kegiatan atau tercapainya sasaran dan tujuan, misalnya
kebijakan insentif pendanaan aksi mitigasi
10. Fly ash : Abu terbang, produk samping pembakaran batu bara
11. Hutan primer : Hutan yang belum mengalami gangguan atau campur tangan
manusia
12. Hutan sekunder : Hutan yang tumbuh melalui suksesi sekunder alami
13. Independent producer : Produsen listrik selain PLN
VI PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

14. Indirect emission : Emisi gas rumah kaca tidak langsung, yaitu emisi yang tidak
terjadi di lokasi kegiatan yang dibahas atau dilaporkan, namun
terjadi di tempat lain sebagai akibat adanya kegiatan tersebut
15. Limbah B3 : Limbah yang termasuk dalam kategori bahan berbahaya dan
beracun
16. Paludikultur : Budidaya tanaman di lahan basah
17. Planned deforestation : Perubahan terencana pada tutupan lahan dari hutan alam
menjadi non hutan alam karena sebab legal, seperti pada
konversi hutan alam menjadi hutan tanaman
18. Pohon pionir : Tumbuhan yang disiapkan untuk mempersiapkan tempat
tumbuh bagi jenis tumbuhan suksesi
19. Reforestasi : Pembentukan kembali hutan di areal hutan yang pernah
gundul
20. Rewetting gambut : Pembasahan kembali lahan gambut dengan membuat sekat
kanal
21. Scrap : Besi/baja tua yang tersisa selama proses produksi dan dapat
didaur ulang
22. Slag : Produk samping pengolahan bijih logam
23. Sludge : Limbah padat berupa lumpur, dapat berasal dari kegiatan
domestik maupun industri
24. Smelter : Fasilitas pengolahan mineral hasil tambang untuk
meningkatkan kandungan logam hingga mencapai tingkat
yang memenuhi standar
25. Ternak ruminansia : Hewan pemamah biak
26. Unconditional : Aksi mitigasi yang akan dilaksanakan dengan menggunakan
kemampuan atau sumber daya dalam negeri (tanpa syarat)
27. Unplanned Deforestation : Perubahan tutupan lahan yang tidak terencana dari hutan alam
menjadi non hutan alam karena sebab ilegal
Daftar Singkatan

1. 3R : Reduce, Reuse, Recycle


2. 4T : Terdepan, Terluar, Terdalam, dan Termarginalkan
3. AE : Anode Effect
4. AFOLU : Agriculture, Forestry and Other Land Use
5. AFR : Alternative Fuels and Raw Materials
6. APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
7. APHI : Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia
8. APL : Areal Penggunaan Lain
9. ASDP : Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan
10. ATCS : Area Traffic Control System
11. Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
12. BAT : Best Available Technology
13. BAU : Business as Usual
14. BBG : Bahan Bakar Gas
15. BBM : Bahan Bakar Minyak
16. BBN : Bahan Bakar Nabati
17. BEF : Biomass Expansion Factor
18. BF : Blast Furnace
19. BKE : Buana Kontenindo Ekspres
VIII PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

20. BLP : Bintang Laut Platinum


21. BOD : Biological Oxygen Demand
22. BOE : Barrel of Oil Equivalent
23. BOF : Basic Oxygen Furnace
24. BPDPKS : Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
25. BPKH : Balai Pemantapan Kawasan Hutan
26. BPS : Badan Pusat Statistik
27. BRG : Badan Restorasi Gambut
28. BRT : Bus Rapid Transit
29. BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
30. BUMN : Badan Usaha Milik Negara
31. BUR : Biennial Update Report
32. BWI : Bumi Wijaya Indorail
33. CCS : Carbon Capture and Storage
34. CCT : Clean Coal Technology
35. CCUS : Carbon Capture Utilization and Storage
36. CDM : Clean Development Mechanism
37. CGE : Computable General Equilibrium
38. CM1 : Counter Measures 1 (aksi mitigasi emisi gas rumah kaca, skenario
unconditional)
39. CM2 : Counter Measures 2 (aksi mitigasi emisi gas rumah kaca, skenario
conditional)
40. CNG : Compressed Natural Gas
41. COD : Chemical Oxygen Demand
42. COP-21 : Conference of Parties ke-21
43. CPO : Crude Palm Oil
44. CPP : Central Processing Plant
45. CWPB : Center Work Pre-Bake
46. DDDT : Daya Dukung dan Daya Tampung
47. DDLH : Daya Dukung Lingkungan Hidup
48. Ditjenbun  : Direktorat Jenderal Perkebunan
49. DitjenPlan : Direktorat Jenderal Planologi
50. DKI : Daerah Khusus Ibu Kota
51. DLH : Dinas Lingkungan Hidup
52. DOC : Degradable Organic Component atau Degradable Organic Carbon
DAFTAR
SINGKATAN IX

53. DRI : Direct Reduction Iron


54. EAF : Electric Arc Furnace
55. EBT : Energi Baru dan Terbarukan
56. EEDI : Energy Efficiency Design Index
57. ENR : Enchanced Natural Regeneration
58. EOR : Enhanced Oil Recovery
59. ERP : Electronic Road Pricing
60. ESDM : Energi dan Sumber Daya Mineral
61. EU : European Union
62. FCPF : Forest Carbon Partnership Facility
63. FFB : Fresh Fruit Bunch (tandan buah kelapa sawit segar)
64. GAKUM : Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK
65. GCF : Green Climate Fund
66. GDP : Gross Domestic Product
67. Gg : Gigagram
68. GJ : Giga Joule
69. GRK : Gas Rumah Kaca
70. HCS : High Carbon Stock
71. HCV : High Conservation Value
72. HGU : Hak Guna Usaha
73. HHBK : Hasil Hutan Bukan Kayu
74. HK : Hutan Konservasi
75. HKm : Hutan Kemasyarakatan
76. HL : Hutan Lindung
77. HP : Hutan Produksi
78. HPH : Hak Pengusahaan Hutan
79. HPK : Hutan Produksi Konversi
80. HPT : Hutan Produksi Terbatas
81. HTI : Hutan Tanaman Industri
82. HTR : Hutan Tanaman Rakyat
83. IBGF : Indeks Biogeofisik
84. ICT : Information and Communication Technology
85. IEH : Indeks Emisi Historis
86. IGCC : Integrated Gasification Combined Cycle
X PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

87. IHMB : Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala


88. IJE : Indeks Jasa Ekosistem
89. IKE : Indeks Konsumsi Energi
90. INDC : Intended Nationally Determined Contribution
91. IP : Intensitas Penanaman
92. IPAL : Instalasi Pegolahan Air Limbah
93. IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change
94. IPLT : Instalasi Pengolahan Limbah Tinja atau Instalasi Pengolahan Lum-
pur Tinja
95. IPPU : Industrial Processes and Product Utilization (Proses Industri dan
Penggunaan Produk)
96. IPSDH : Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan
97. IPST : Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu
98. ITF : Intermediate Transfer Facility atau Intermediate Treatment Facility
99. ITH : Indeks Tutupan Hutan
100. ITSP : Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan
101. IUPHH-BK : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan - Bukan Kayu
102. IUPHHK-HA : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Alam
103. IUPHHK-HT : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman
104. IUPHHK-RE : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Restorasi Ekosistem
105. IUPK-S : Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan - Silvopastural
106. IUPL : Izin Usaha Pemafaatan Jasa Lingkungan
107. JAKSTRADA : Kebijakan dan Strategi Daerah
108. JAKSTRANAS : Kebijakan dan Strategi Nasional
109. JPT : Jatim Petroleum Transport
110. KAI : Kereta Api Indonesia
111. KALOG : Kereta Api Logistik
112. KBL : Kendaraan Bermotor Listrik
113. KBS : Krakatau Bandar Samudera
114. KCI : Kereta Commuter Indonesia
115. Kemendag : Kementerian Perdagangan
116. Kemenhub : Kementerian Perhubungan
117. Kemenhut : Kementerian Kehutanan
118. Kemenperin : Kementerian Perindustrian
119. Kementan : Kementerian Pertanian
DAFTAR
SINGKATAN XI

120. KemenESDM : Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral


121. KH : Kawasan Hutan
122. KK : Kepala Keluarga
123. KLHK : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
124. KPH : Kesatuan Pengelolaan Hutan
125. KPHK : Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
126. KPHL : Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
127. KPHP : Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
128. KRL : Kereta Rel Listrik
129. KSDAE : Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
130. Ktoe : Kilo-tonne oil equivalent
131. LAPAN : Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional
132. LC : Land Clearing (pembukaan lahan)
133. LCEV : Low Carbon Emission Vehicle
134. LCGC : Low Carbon Green Car
135. LFG : Landfill Gas
136. LHK : Lingkungan Hidup dan Kehutanan
137. LHP : Laporan Hasil Penebangan
138. LNG : Liquified Natural Gas
139. LPG : Liquified Petroleum Gas
140. LRT : Light Rapid Transit
141. LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
142. LTSHE : Lampu Tenaga Surya Hemat Energi
143. MAI : Mean Annual Increment. Riap rata-rata tahunan
144. MCK : Mandi, Cuci, Kakus
145. Migas : Minyak dan Gas bumi
146. Mitan : Minyak tanah
147. MRT : Mass Rapid Transit
148. MRV : Measurement, Reporting and Verification
149. MSS : Multisistem Silvikultur
150. MW : Mega-watt
151. MWp : Mega-watt peak
152. NDC : Nationally Determined Contribution
153. NFI : National Forest Inventory (Inventarisasi Hutan Nasional)
XII PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

154. NFMS : National Forest Monitoring System (Sistem Pemantauan Hutan


Nasional)
155. NMT : Non Motorized Transport
156. Non-PS : Non-Party Stakeholder
157. OB : Open Burning
158. ODOL : Over Dimension Over Loading
159. PAD : Pendapatan Asli Daerah
160. PBN : Performance Based Navigation
161. PDASHL : Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan
Lindung
162. PDB : Produk Domestik Bruto
163. Pemda : Pemerintah Daerah
164. Pemkot : Pemerintah Kota
165. Pemprov : Pemerintah Provinsi
166. PFCs : Perfluorocarbons
167. PHPL : Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
168. PIAPS : Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial
169. PIPPIB : Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru
170. PJU : Penerangan Jalan Umum
171. PJUTS : Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya
172. PKG : Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut
173. PKTL : Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan
174. PLN : Perusahaan Listrik Negara
175. PLT EBT : Pembangkit Listrik Tenaga Energi Baru dan Terbarukan
176. PLTA : Pembangkit Listrik Tenaga Air
177. PLTB : Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (angin)
178. PLTBm : Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa
179. PLTBn : Pembangkit Listrik Tenaga Bahan Bakar Nabati
180. PLTD : Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
181. PLTG : Pembangkit Listrik Tenaga Gas
182. PLTGU : Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap
183. PLTM : Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro
184. PLTMH : Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro
185. PLTP : Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
DAFTAR
SINGKATAN XIII

186. PLTS : Pembangkit Listrik Tenaga Surya


187. PLTSa : Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
188. PLTU : Pembangkit Listrik Tenaga Uap
189. POME : Palm Oil Mill Effluent
190. PPI : Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim
191. PS : Party Stakeholder
192. PSKL : Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
193. PTT : Pengelolaan Tanaman Terpadu
194. PUP : Petak Ukur Permanen
195. Pupuk SP-36 : Pupuk Super Fosfat-36
196. PV : Photovoltaic
197. RBP : Result-Based Payment
198. RDF : Refuse Derived Fuel
199. REDD+ : Reduce Emission from Deforestation and Forest Degradation in
Developing Countries, and the Role of Conservation, SFM, and
Enhancement of Forest Carbon Stocks
200. RENSTRA : Rencana dan Strategi
201. RFC : Reason for Concern
202. RHL : Rehabilitasi Hutan dan Lahan
203. RIL : Reduce Impact Logging
204. RIPIN : Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
205. RKTN : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
206. RON 88 : Research Octane Number 88
207. RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
208. RUEN : Rencana Umum Energi Nasional
209. RWE : Round Wood Equivalent
210. SBNP : Sarana Bantu Navigasi Pelayaran
211. SC : Super Critical
212. SEEMP : Ship Energy Efficiency Management Plan
213. SILIN : Silvikultur Intensif
214. SKK Migas : Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi
215. SP : Statistik Pertanian
216. SPTP : Statistik Pertanian Tanaman Pangan
217. SR1.5 : Special Report on Global Warming of 1,5°C
XIV PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

218. SRI : System of Rice Intensification


219. SRT : Sambungan Rumah Tangga
220. TGHK : Tata Guna Hutan Kesepakatan
221. TNC : Third National Communication
222. TNI AD : Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
223. TNI AL : Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut
224. TOE : Ton Oil Equivalent
225. TOW : Total Organics in Wastewater
226. TPA : Tempat Pemrosesan/Pengolahan Akhir
227. TPS : Tempat Penampungan Sementara
228. TPS3R : Tempat Pengolahan Sampah 3R
229. TPST : Tempat Pengolahan Sampah Terpadu
230. TWh : Tera-watt hour
231. UNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate Change
232. UPRG : Unit Pelaksana Restorasi Gambut
233. USC : Ultra Super Critical
234. WPK : Wilayah Penilaian Kinerja
235. ZRF : Zero Routine Flaring
DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN...............................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1

1.2 Maksud dan Tujuan...............................................................................................................4

1.3 Ruang Lingkup........................................................................................................................4

1.4 Dasar Hukum..........................................................................................................................4

1.5 Proses Penyusunan Roadmap...............................................................................................5

2. BASELINE EMISI GRK NASIONAL DAN TARGET PENURUNAN EMISI GRK...................................7

3. KEBIJAKAN TERKAIT MITIGASI PERUBAHAN IKLIM....................................................................11

3.1 Sektor Energi.........................................................................................................................12

3.2 Sektor IPPU............................................................................................................................13

3.3 Sektor Limbah.......................................................................................................................14

3.4 Sektor Pertanian, Lahan dan Kehutanan..........................................................................14


XVI PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4. STRATEGI PELAKSANAAN.............................................................................................................23

4.1 Sektor Energi........................................................................................................................23

4.1.1 Baseline dan Target Penurunan Emisi GRK............................................................................... 23

4.1.2 Aksi-aksi Mitigasi.............................................................................................................................. 31

4.1.3 Kesenjangan (Gap) Capaian Penurunan Emisi GRK Sektor Energi...................................... 45

4.1.4 Kelembagaan Implementasi, Pemantauan, dan Pelaporan Aksi Mitigasi......................... 46

4.1.5 Biaya dan Kebutuhan Investasi.................................................................................................... 58

4.1.6 Dampak Implementasi Aksi-aksi Mitigasi Sektor Energi Terhadap


Perkembangan Sektor Energi dan Sosio-ekonominya.......................................................... 58

4.1.7 Enabling Condition Pencapaian Target NDC Sektor Energi................................................... 62

4.2 Sektor IPPU (Proses Industri dan Penggunaan Produk)..................................................63

4.2.1 Baseline dan Target Penurunan Emisi GRK............................................................................... 63

4.2.2 Aksi-aksi Mitigasi.............................................................................................................................. 67

4.2.3 Kesenjangan (Gap) Capaian Penurunan Emisi GRK IPPU dan Target 2030...................... 79

4.2.4 Kelembagaan Implementasi, Pemantauan dan Pelaporan Aksi Mitigasi


Sektor IPPU....................................................................................................................................... 81

4.2.5 Biaya................................................................................................................................................... 82

4.2.6 Timeline.............................................................................................................................................. 83

4.2.7 Enabling Condition Pencapaian Target NDC Sektor IPPU...................................................... 83

4.3 Sektor Limbah......................................................................................................................84

4.3.1 Baseline dan Target Penurunan Emisi GRK............................................................................... 84

4.3.2 Aksi-aksi Mitigasi.............................................................................................................................. 90

4.3.3 Kesenjangan (Gap) Capaian Penurunan Emisi GRK Sektor Limbah


dan Target 2030............................................................................................................................102

4.3.4 Kelembagaan Implementasi, Pemantauan dan Pelaporan Aksi Mitigasi


Sektor Limbah berikut Strategi Pelaksanaan.........................................................................104

4.3.5 Biaya.................................................................................................................................................105
DAFTAR
ISI XVII

4.3.6 Penentuan Provinsi dan Kota/Kabupaten Prioritas untuk Target NDC Sektor
Limbah.............................................................................................................................................106

4.3.7 Enabling Condition Pencapaian Target NDC Sektor limbah................................................110

4.4 Sektor Pertanian, Lahan dan Kehutanan.......................................................................122

4.4.1 Baseline dan Target Penurunan Emisi......................................................................................122

4.4.2 Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan...................................................130

4.4.3 Pencegahan Degradasi Hutan...................................................................................................148

4.4.4 Pengelolaan Hutan Lestari..........................................................................................................153

4.4.5 Peningkatan Cadangan Karbon.................................................................................................157

4.4.6 Pengelolaan Lahan Gambut.......................................................................................................171

4.4.7 Penurunan Emisi dari Kegiatan Pertanian..............................................................................177

4.4.8 Biaya.................................................................................................................................................183

4.4.9 Pemantauan dan Pelaporan Aksi Mitigasi Sektor Kehutanan............................................188

4.4.10 Pemantauan dan Pelaporan Aksi Mitigasi Sektor Pertanian..............................................200

5. SISTEM PEMANTAUAN, PELAPORAN, DAN VERIFIKASI PELAKSANAAN AKSI MITIGASI.......205

5.1 Pengaturan Kelembagaan untuk Pemantauan dan Pelaporan...................................206

5.2 Estimasi Capaian Penurunan Emisi dan/atau Peningkatan Serapan..........................208

5.3 Pengaturan Kelembagaan untuk Verifikasi...................................................................208

5.4 Tahapan Pelaksanaan MRV..............................................................................................209

6. STRATEGI PENDANAAN PENCAPAIAN TARGET NDC................................................................211

7. DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................213
XVIII PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

LAMPIRAN 1. DATA PENDUKUNG ROADMAP MITIGASI EMISI GRK SEKTOR LIMBAH...................215

LAMPIRAN 2. MODELING PENETAPAN EMISI BASELINE DAN MITIGASI NDC UNTUK SEKTOR
PERTANIAN, KEHUTANAN DAN ALIH GUNA LAHAN (AFOLU)........................................................237

Latar Belakang...........................................................................................................................237

Kondisi sektoral.........................................................................................................................238

Pertumbuhan penduduk dan ekonomi.................................................................................................238

Sumber daya lahan dan kehutanan........................................................................................................239

Sumber daya pertanian.............................................................................................................................246

Opsi implementasi NDC sektor AFOLU...................................................................................249

Skenario-skenario........................................................................................................................................249

Model, data dan asumsi.............................................................................................................................252

Hasil.............................................................................................................................................259

Tata guna lahan...........................................................................................................................................259

Tingkat emisi.................................................................................................................................................261

Produksi dan keseimbangan pangan.....................................................................................................262

Produksi kayu...............................................................................................................................................269

Daftar Pustaka...........................................................................................................................271
DAFTAR TABEL

Tabel 3‑1 Kebijakan dan peraturan pelaksanaan kegiatan mitigasi sektor energi................................... 12

Tabel 3‑2 Instrumen kebijakan dan peraturan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim
sektor IPPU.............................................................................................................................................. 13

Tabel 3‑3 Kebijakan dan regulasi terkait aksi mitigasi sektor limbah.......................................................... 14

Tabel 3‑4 Instrumen kebijakan dan peraturan pelaksanaan kegiatan mitigasi perubahan
iklim sektor pertanian, lahan dan kehutanan.................................................................................. 15

Tabel 4‑1 Rincian target penurunan emisi GRK dari kegiatan aksi mitigasi sektor energi..................... 30

Tabel 4‑2 Rencana pembangunan PLT Panas bumi........................................................................................ 34

Tabel 4‑3 Rencana pembangunan PLTA, PLTM, PLTMH, pump storage...................................................... 34

Tabel 4‑4 Rencana pembangunan PLTS............................................................................................................. 34

Tabel 4‑5 Rencana pembangunan PLT Bayu..................................................................................................... 35

Tabel 4‑6 Rencana pembangunan PLT Bioenergi (biomassa, biogas, sampah)........................................ 35

Tabel 4‑7 Rencana pembangunan PLT CPO...................................................................................................... 35

Tabel 4‑8 Rencana pembangunan infrastruktur EBT (jumlah unit).............................................................. 37

Tabel 4‑9 Rencana pembangunan infrastruktur EBT (kapasitas).................................................................. 37

Tabel 4‑10 Rencana pembangunan infrastruktur EBT (produksi energi)...................................................... 38


XX PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4‑11 Rencana pengembangan BBN............................................................................................................ 39

Tabel 4‑12 Rincian aksi mitigasi subsektor pembangkit listrik: jenis aksi, penanggung jawab,
dan pelaksana implementasi.............................................................................................................. 46

Tabel 4‑13 Rincian aksi mitigasi subsektor pembangkit listrik: pendanaan, pemantauan,
pelaporan dan verifikasinya................................................................................................................. 47

Tabel 4‑14 Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi jenis, penanggung jawab, dan
pelaksana implementasi aksi mitigasi............................................................................................... 47

Tabel 4‑15 Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, termasuk elemen pendanaan,
pemantauan, pelaporan dan verifikasi............................................................................................. 48

Tabel 4‑16 Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, penanggung jawab, dan pelaksana................ 49

Tabel 4-17 Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi termasuk elemen pendanaan,
pemantauan, pelaporan dan verifikasi............................................................................................. 50

Tabel 4‑18 Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, penanggung jawab, dan pelaksana................ 51

Tabel 4‑19 Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi termasuk elemen pendanaan,
pemantauan, pelaporan dan verifikasi ............................................................................................ 51

Tabel 4‑20 Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, penanggung jawab, dan pelaksana................ 52

Tabel 4‑21 Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi termasuk elemen pendanaan,
pemantauan, pelaporan dan verifikasi ............................................................................................ 52

Tabel 4‑22 Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, penanggung jawab, dan pelaksana................ 53

Tabel 4‑23 Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, pemantauan, pelaporan dan
verifikasi (lanjutan)................................................................................................................................. 54

Tabel 4‑24 Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, penanggung jawab, pelaksana......................... 54

Tabel 4‑25 Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi termasuk elemen pendanaan,
pemantauan, pelaporan dan verifikasi ............................................................................................ 55

Tabel 4‑26 Aksi mitigasi, penanggung jawab, pelaksana, pendanaan, pemantauan,


pelaporan dan verifikasi subsektor penggunaan energi.............................................................. 55

Tabel 4‑27 Aksi mitigasi, penanggung jawab, pelaksana, pendanaan, pemantauan,


pelaporan dan verifikasi subsektor penggunaan energi.............................................................. 56

Tabel 4‑28 Aksi mitigasi, penanggung jawab, pelaksana, pendanaan, pemantauan,


pelaporan dan verifikasi subsektor penggunaan energi.............................................................. 56

Tabel 4‑29 Aksi mitigasi, penanggung jawab, pelaksana, pendanaan, pemantauan,


pelaporan dan verifikasi subsektor penggunaan energi.............................................................. 57
DAFTAR
TABEL XXI

Tabel 4‑30 Daftar kode subsektor pada analisis gross output dari aktivitas sektor energi..................... 61

Tabel 4‑31 Aksi-aksi mitigasi sektor IPPU.............................................................................................................. 66

Tabel 4‑32 Strategi pelaksanaan mitigasi sektor IPPU dan sistem kelembagaan....................................... 81

Tabel 4‑33 Pemantauan, pelaporan dan verifikasi aksi mitigasi sektor IPPU............................................... 82

Tabel 4‑34 Perkiraan kebutuhan biaya mitigasi sektor IPPU target unconditional (CM 1)........................ 82

Tabel 4‑35 Rencana target pencapaian aksi mitigasi sektor IPPU.................................................................. 83

Tabel 4‑36 Rincian target penurunan emisi GRK sektor Limbah.................................................................... 88

Tabel 4‑37 Aksi-aksi mitigasi pengolahan limbah padat domestik (sampah) untuk target NDC............. 90

Tabel 4‑38 Aksi-aksi mitigasi pengolahan limbah cair domestik untuk target NDC................................... 94

Tabel 4‑39 Aksi-aksi mitigasi pengolahan limbah cair industri untuk target NDC....................................100

Tabel 4‑40 Penanggung jawab aksi dan strategi pelaksanaan kegiatan mitigasi sektor limbah...........103

Tabel 4‑41 Pemantauan dan pelaporan aksi mitigasi sektor limbah...........................................................104

Tabel 4‑42 Perkiraan biaya investasi fasilitas penanganan sampah padat domestik untuk
mencapai target mitigasi CM1 (skenario unconditional) ...........................................................106

Tabel 4‑43 Jumlah sampah yang diolah dan kapasitas PLTSa/RDF di beberapa provinsi dan kota/
kabupaten di Indonesia......................................................................................................................108

Tabel 4‑44 Tingkat aktivitas atau faktor pendorong emisi dan serapan pada skenario
BAU, CM1 dan CM2.............................................................................................................................123

Tabel 4‑45 Target peningkatan produktivitas komoditas pertanian pada skenario


BAU, CM1 dan CM2.............................................................................................................................125

Tabel 4‑46 Target capaian Indeks Penanaman (IP) pada skenario BAU, CM1 dan CM2.........................127

Tabel 4‑47 Target penerapan teknologi rendah emisi pada pertanian.......................................................130

Tabel 4‑48 Target capaian pengurangan laju deforestasi lahan mineral dan gambut............................130

Tabel 4‑49 Nilai IBGF berdasarkan IEH dan ITH................................................................................................131

Tabel 4‑50 Total luas hutan alam tahun 2017 pada unit pengelolaan menurut
tingkat risiko emisi................................................................................................................................132

Tabel 4‑51 Sebaran luas wilayah masih berhutan alam tahun 2017 menurut kategori
tingkat risiko emisi di tujuh wilayah pembangunan hutan........................................................133
XXII PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4‑52 Total luas hutan alam tahun 2017 pada unit pengelolaan yang masuk
arahan lindung menurut tingkat risiko emisi................................................................................134

Tabel 4‑53 Area yang masih berhutan alam yang berada dalam Kawasan yang sudah
dibebani izin HGU, HTI dan untuk perhutanan sosial (PIAPS)...................................................137

Tabel 4‑54 Opsi pemanfaatan Kawasan yang masih berhutan alam di dalam Kawasan yang
sudah dibebani izin untuk mencapai target penurunan emisi NDC dari deforestasi.........137

Tabel 4‑55 Luas hutan alam di dalam dan di luar Kawasan berizin yang dikonservasi
untuk mencapai target penurunan emisi NDC dari deforestasi..............................................138

Tabel 4‑56 Luas lahan berhutan di areal HGU yang perlu dikonservasi untuk
mencapai target CM1 NDC menurut provinsi...............................................................................139

Tabel 4‑57 Luas lahan berhutan di areal HTI yang perlu dikonservasi untuk
mencapai target CM1 NDC menurut provinsi...............................................................................140

Tabel 4‑58 Luas lahan berhutan di areal PIAPS yang perlu dikonservasi untuk
mencapai target CM1 NDC menurut provinsi...............................................................................141

Tabel 4‑59 Jumlah konsesi menurut kategori luasan konsesi dan persentase tutupan hutan.............142

Tabel 4‑60 Total luas berhutan menurut kategori luasan konsesi dan persentase tutupan hutan....143

Tabel 4‑61 Persentase dan luas areal berhutan dalam wilayah konsesi yang dikonservasi
untuk mencapai target NDC..............................................................................................................143

Tabel 4‑62 Area berhutan dalam unit pengelolaan dengan tingkat risiko emisi agak
tinggi sampai ekstrem tinggi (IBGF 1,0-2,5) menurut provinsi..................................................144

Tabel 4‑63 Target capaian pengurangan laju degradasi hutan di lahan mineral dan gambut.............148

Tabel 4‑64 Luas hutan primer tahun 2017 di APL, Konservasi, KPH dan non KPH..................................148

Tabel 4‑65 Luas hutan alam di HPH yang berdasarkan IJE masuk arahan lindung dan produksi........149

Tabel 4‑66 Opsi konservasi hutan primer pada areal konsesi HPH untuk mencapai target NDC.......150

Tabel 4‑67 Luas hutan primer di areal HPH yang perlu dikonservasi (tidak ditebang)
untuk mencapai target CM1 NDC menurut provinsi...................................................................150

Tabel 4‑68 Jumlah konsesi menurut kategori luas HPH dan persen tutupan hutan primer.................151

Tabel 4‑69 Luas hutan primer dalam konsesi menurut kategori luas HPH dan
persen tutupan hutan primer...........................................................................................................152

Tabel 4‑70 Luas hutan primer dan skunder menurut tingkat tutupan tajuk hutan
alam di dalam dan luar kawasan hutan..........................................................................................154
DAFTAR
TABEL XXIII

Tabel 4‑71 Target capaian NDC kegiatan aksi pengelolaan hutan lestari...................................................154

Tabel 4‑72 Luas hutan primer dan sekunder tahun 2017 di dalam wilayah HPH....................................155

Tabel 4‑73 Potensi pelaksanaan kegiatan RIL dan ENR di luar konsesi......................................................153

Tabel 4‑74 Luas lahan kritis dan sangat kritis di dalam dan luar kawasan hutan
di tanah mineral....................................................................................................................................158

Tabel 4‑75 Target capaian NDC kegiatan aksi rehabilitasi lahan tanpa rotasi...........................................158

Tabel 4‑76 Luas lahan kritis dan sangat kritis di areal KPHL, Non KPH-HL dan konservasi...................159

Tabel 4‑77 Sebaran lahan kritis dan sangat kritis di areal KPHL, Non-KPH HL dan Kawasan hutan
konservasi menurut Provinsi.............................................................................................................160

Tabel 4‑78 Target capaian NDC kegiatan aksi rehabilitasi lahan dengan rotasi........................................162

Tabel 4‑79 Luas lahan kritis dan sangat kritis di areal KPHP, Non KPH-HP, APL dan konsesi...............166

Tabel 4‑80 Sebaran lahan kritis dan sangat kritis di areal KPH, Non KPH-HP, APL dan
konsesi menurut Provinsi...................................................................................................................166

Tabel 4‑81 Luas menurut jenis tutupan lahan di dalam Kawasan IUPHHK-HT tahun 2017..................168

Tabel 4‑82 Target capaian NDC kegiatan aksi peningkatan pembangunan HTI.......................................169

Tabel 4‑83 Sebaran jenis tutupan lahan areal IUPHHK-HT menurut provinsi...........................................169

Tabel 4‑84 Luas lahan gambut menurut jenis tutupan lahan dan tipe Kawasan.....................................172

Tabel 4‑85 Target capaian NDC kegiatan aksi perbaikan tata air lahan gambut......................................172

Tabel 4‑86 Luas perkebunan dan hutan tanaman di dalam dan di luar areal konsesi
menurut provinsi..................................................................................................................................173

Tabel 4‑87 Target capaian NDC kegiatan aksi restorasi gambut..................................................................174

Tabel 4‑88 Rencana kegiatan restorasi BRG pada tahun 2018.....................................................................176

Tabel 4‑89 Faktor emisi CH4 berbagai varietas padi di Indonesia.................................................................178

Tabel 4‑90 Target capaian NDC kegiatan aksi mitigasi penggunaan varietas padi rendah emisi.........179

Tabel 4‑91 Target capaian NDC kegiatan aksi mitigasi peningkatan sistem pengairan sawah.............180

Tabel 4‑92 Target capaian NDC kegiatan aksi mitigasi pemanfaatan limbah ternak untuk biogas......180

Tabel 4‑93 Populasi beberapa jenis ternak (dalam ribuan ekor) tahun 2014-2018................................181
XXIV PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4‑94 Suplemen pakan ternak untuk penurunan emisi metana.........................................................182

Tabel 4‑95 Target capaian NDC kegiatan aksi mitigasi perbaikan suplemen pakan ternak...................183

Tabel 4‑96 Biaya per unit berbagai aksi mitigasi NDC sektor kehutanan...................................................183

Tabel 4‑97 Estimasi kebutuhan biaya investasi pelaksanaan aksi mitigasi NDC.......................................184

Tabel 4‑98 Estimasi kebutuhan biaya daur hidup pelaksanaan aksi mitigasi NDC..................................185

Tabel 4‑99 Biaya per unit target kegiatan mitigasi sektor pertanian...........................................................187

Tabel 4‑100 Kebutuhan dana pelaksanaan aksi mitigasi NDC sektor pertanian.........................................187

Tabel 4‑101 Rincian arahan pemanfaatan kawasan hutan, pola pemanfaatan,


penanggung jawab/ pelaksana, pembina dan pengawas, pemantauan
dan pelaporan aksi mitigasi...............................................................................................................189

Tabel 4‑102 Rincian implementasi aksi mitigasi, perubahan arahan pemanfaatan kawasan
hutan, pola pemanfaatan, penanggung jawab/ pelaksana aksi mitigasi, pembina
dan pengawas aksi mitigasi...............................................................................................................191

Tabel 4‑103 Data yang dikumpulkan dan periode pengumpulan data.........................................................199


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1‑1 Pola pikir penyusunan peta jalan NDC..........................................................................................5

Gambar 2‑1 Emisi pada tahun dasar, baseline dan target penurunan emisi GRK tahun 2030...............8

Gambar 2‑2 Proyeksi emisi baseline (BAU) dan skenario penurunan emisi GRK dengan
kemampuan sendiri (CM1) dan dengan dukungan internasional (CM2) pada
tahun 2010-2030.................................................................................................................................8

Gambar 4‑1 Proyeksi konsumsi energi final menurut jenis bahan bakar................................................. 25

Gambar 4‑2 Proyeksi konsumsi energi final (termasuk listrik) menurut subsektor pengguna............ 25

Gambar 4‑3 Proyeksi konsumsi energi primer menurut jenis bahan bakar............................................. 26

Gambar 4‑4 Proyeksi emisi GRK dari masing-masing sumber emisi GRK................................................. 27

Gambar 4‑5 Perbandingan proyeksi dan intensitas emisi GRK skenario baseline dan mitigasi........... 28

Gambar 4‑6 Target penurunan emisi GRK skenario CM1 (unconditional) tahun 2030
berdasarkan jenis aktivitas mitigasi............................................................................................. 29

Gambar 4‑7 Rencana pemanfaatan Clean Coal Technology........................................................................... 33

Gambar 4‑8 Proyeksi produksi energi listrik berdasarkan jenis energi di pembangkit......................... 36

Gambar 4‑9 Proyeksi emisi GRK pembangkit pada berbagai skenario...................................................... 36


XXVI PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4‑10 Potensi penurunan emisi CO2 dari aksi mitigasi subsektor
transportasi untuk skenario mitigasi CM1................................................................................. 41

Gambar 4‑11 Proyeksi konsumsi energi subsektor pengguna (tidak termasuk


subsektor transportasi) untuk skenario baseline dan mitigasi.............................................. 42

Gambar 4‑12 Proyeksi konsumsi per jenis energi pada subsektor pengguna energi (tidak
termasuk subsektor transportasi) untuk skenario baseline dan mitigasi........................... 42

Gambar 4‑13 Proyeksi emisi GRK subsektor pengguna (tidak termasuk subsektor
transportasi) untuk skenario baseline dan mitigasi.................................................................. 43

Gambar 4‑14 Proyeksi emisi GRK subsektor pengguna energi berdasarkan jenis bahan bakar
(tidak termasuk subsektor transportasi) untuk skenario baseline dan mitigasi................ 43

Gambar 4‑15 Proyeksi penggunaan energi final di industri skenario baseline dan mitigasi................... 44

Gambar 4‑16 Potensi penurunan emisi subsektor penggunaan energi di Industri tahun 2030........... 44

Gambar 4‑17 Status penurunan emisi GRK sektor energi periode 2010-2016......................................... 45

Gambar 4‑18 Proyeksi perubahan struktur ekonomi Indonesia................................................................... 59

Gambar 4‑19 Proyeksi PDB skenario baseline dan mitigasi unconditional (CM1)....................................... 59

Gambar 4‑20 Proyeksi perbandingan penyerapan tenaga kerja skenario baseline dan mitigasi........... 60

Gambar 4‑21 Perbandingan rasio output per subsektor (skenario baseline dan mitigasi)
pada tahun 2030 terhadap tahun 2010..................................................................................... 60

Gambar 4‑22 Perkembangan kapasitas produksi dan konsumsi produk dan proyeksinya.................... 63

Gambar 4‑23 Proyeksi dan intensitas emisi GRK IPPU skenario baseline dan mitigasi............................ 64

Gambar 4‑24 Proyeksi tingkat emisi GRK IPPU dan target penurunan emisi GRK.................................... 65

Gambar 4‑25 Alokasi target penurunan emisi GRK sektor IPPU.................................................................... 65

Gambar 4‑26 Faktor emisi juta ton CO2e/ton produk dan rasio klinker/semen........................................ 68

Gambar 4‑27 Proyeksi emisi GRK IPPU pada skenario baseline dan mitigasi, serta potensi
penurunannya di industri semen................................................................................................. 68

Gambar 4‑28 Potensi penerapan blended cement dan penurunan emisi GRK IPPU................................. 69

Gambar 4‑29 Intensitas kebutuhan gas alam pada ammonia plant Indonesia.......................................... 71

Gambar 4‑30 CO2 recovery dan faktor emisi GRK IPPU baseline dan mitigasi............................................. 71
DAFTAR
GAMBAR XXVII

Gambar 4‑31 Intensitas kebutuhan gas alam oleh ammonia plant dan emisi GRK IPPU ....................... 72

Gambar 4‑32 Profil perkembangan industri pupuk dan tingkat emisi baseline dan mitigasi.................. 72

Gambar 4‑33 Potensi perbaikan teknologi ammonia plant dan penurunan emisi GRK IPPU................ 73

Gambar 4‑34 Profil produksi asam nitrat dan intensitas emisi GRK baseline dan mitigasi...................... 74

Gambar 4‑35 Profil emisi N2O baseline dan mitigasi industri asam nitrat.................................................... 74

Gambar 4‑36 Potensi perbaikan teknologi ammonia plant dan penurunan emisi GRK IPPU................ 75

Gambar 4‑37 Profil pengoperasian sistem proses dan produksi crude steel di Indonesia...................... 76

Gambar 4‑38 Proyeksi produksi crude steel dan tingkat emisi CO2 IPPU industri besi baja.................... 76

Gambar 4‑39 Potensi penggunaan scrap di industri besi baja dan penurunan emisi IPPU................... 77

Gambar 4‑40 Profil produksi dan faktor emisi PFCs di industri aluminium Indonesia............................. 78

Gambar 4‑41 Emisi PFCs IPPU dan potensi penurunannya di industri aluminium Indonesia............... 78

Gambar 4‑42 Potensi penurunan tingkat emisi PFCs dari proyek CDM di industri aluminium
dan kontribusinya dalam mencapai target NDC conditional (CM2)..................................... 79

Gambar 4‑43 Tingkat emisi GRK baseline, skenario mitigasi dan inventarisasi sektor IPPU.................... 80

Gambar 4‑44 Tingkat emisi, target dan capaian penurunan emisi GRK sektor IPPU............................... 80

Gambar 4‑45 Sumber-sumber emisi GRK sektor limbah................................................................................. 84

Gambar 4‑46 Proyeksi tingkat emisi GRK sektor limbah, skenario BAU, CM1, dan CM2......................... 86

Gambar 4‑47 Tingkat emisi GRK sektor limbah, proyeksi dan target penurunannya............................... 87

Gambar 4‑48 Alokasi target penurunan emisi GRK sektor Limbah............................................................... 87

Gambar 4‑49 Pengelolaan sampah berdasarkan teknologi pengolahan, skenario baseline................... 91

Gambar 4‑50 Proyeksi timbulan sampah dan teknologi pengolahannya, skenario mitigasi.................. 91

Gambar 4‑51 Emisi GRK pengolahan sampah, skenario baseline dan mitigasi.......................................... 92

Gambar 4‑52 Proyeksi emisi GRK berdasarkan aksi mitigasi.......................................................................... 92

Gambar 4‑53 Alokasi target penurunan emisi GRK mitigasi CM1 subsektor sampah dan
roadmap pembangunan fasilitas mitigasi.................................................................................. 93

Gambar 4‑54 Sumber emisi GRK pada pengolahan limbah cair domestik di Indonesia......................... 93
XXVIII PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4‑55 Proyeksi perkembangan pengolahan limbah cair domestik menurut jenis
teknologi pengolahan, skenario baseline.................................................................................... 94

Gambar 4‑56 Proyeksi perkembangan pengolahan limbah cair domestik menurut jenis
teknologi pengolahan, skenario mitigasi.................................................................................... 96

Gambar 4‑57 Proyeksi emisi GRK subsektor pengolahan limbah cair domestik, skenario
baseline dan mitigasi........................................................................................................................ 95

Gambar 4‑58 Alokasi target penurunan emisi GRK subsektor pengolahan limbah cair
domestik tahun 2030...................................................................................................................... 96

Gambar 4‑59 Proyeksi perkembangan pengolahan limbah padat industri pulp dan
kertas menurut jenis teknologi pengolahan, skenario BAU.................................................. 97

Gambar 4‑60 Proyeksi perkembangan pengolahan limbah padat industri pulp dan
kertas menurut jenis teknologi pengolahan, skenario mitigasi............................................ 97

Gambar 4‑61 Proyeksi perkembangan emisi GRK pengolahan limbah padat industri
pulp dan kertas................................................................................................................................. 98

Gambar 4‑62 Target penurunan emisi GRK CM1 limbah padat industri..................................................... 98

Gambar 4‑63 Proyeksi banyaknya limbah cair yang diolah, menurut jenis industri................................. 99

Gambar 4‑64 Proyeksi emisi GRK pengolahan limbah cair industri skenario baseline
dan skenario mitigasi....................................................................................................................100

Gambar 4‑65 Target penurunan emisi GRK CM1 limbah cair industri.......................................................101

Gambar 4‑66 Capaian penurunan emisi sektor limbah dibandingkan target CM1................................102

Gambar 4‑67 Capaian penurunan emisi sektor limbah dibandingkan target CM2................................102

Gambar 4‑68 Persentase sebaran penduduk Indonesia berdasarkan provinsi......................................107

Gambar 4‑68.a Penjadwalan pembangunan PLTSa...........................................................................................109

Gambar 4‑69 Proyeksi emisi pada skenario baseline (BAU) dan mitigasi (CM1 dan CM2)
2010-2030 sektor pertanian, lahan dan kehutanan..............................................................122

Gambar 4‑70 Perubahan luas tutupan lahan 2010-2030 pada skenario BAU, CM1 dan CM2............129

Gambar 4‑71 Sebaran wilayah unit pengelolaan menurut tingkat risiko emisi........................................132

Gambar 4‑72 Tingkat risiko emisi berdasarkan Indeks Biogeofisik (IBGF) pada wilayah
masih berhutan di setiap unit pengelolaan.............................................................................133
DAFTAR
GAMBAR XXIX

Gambar 4‑73 Persentase luasan lahan yang masih berhutan alam di areal konsesi yang
perlu dikonservasi untuk mencapai target CM1 NDC...........................................................139

Gambar 4‑74 Proses restorasi gambut..............................................................................................................174

Gambar 4‑75 Kelembagaan kegiatan pemantauan dan pelaporan di sektor kehutanan.....................199

Gambar 4‑76 Alur pelaporan data statistik budidaya tanaman pangan....................................................201

Gambar 4‑77 Alur pengumpulan dan pelaporan data peternakan............................................................202

Gambar 5‑1 Alur pelaporan capaian kegiatan mitigasi dan adaptasi yang dilakukan
oleh kementerian dan lembaga..................................................................................................207

Gambar 6‑1 Alur pendanaan kegiatan pencapaian Target NDC...............................................................211

Gambar 6‑2 Strategi pendanaan pencapaian target NDC..........................................................................212


1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Pertemuan Negara Pihak Konvensi Perubahan Iklim di Paris tahun 2015 (COP 21
UNFCCC) menyepakati Persetujuan Paris (Paris Agreement) dengan tujuan yang
tercantum pada Pasal 2 ayat (a) menahan kenaikan suhu global dari tingkat suhu
era pra-industri di bawah 2°C dan terus berupaya untuk membatasi kenaikan
suhu sampai 1,5°C.

Pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara pihak dari UNFCCC telah
meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Untuk
menjalankan amanah dari peraturan tersebut, Indonesia telah menyampaikan
komitmen nasional untuk berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim
melalui the First NDC (Nationally Determined Contribution) pada bulan November
2016. Komitmen tersebut merupakan wujud kepedulian Indonesia terhadap
masalah pemanasan global dan perubahan iklim yang akan mengancam
keberlanjutan kehidupan manusia.

NDC Indonesia memuat elemen adaptasi, mitigasi, informasi untuk


memfasilitasi Clarity, Transparency and Understanding, Kerangka Transparansi
dan Kerjasama Internasional. Untuk elemen mitigasi, Pemerintah Indonesia ber-
komitmen melaksanakan pembangunan rendah emisi GRK dan berketahanan
iklim dengan target penurunan emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 29%
melalui upaya-upaya dengan kemampuan sendiri yang digambarkan sebagai
skenario unconditional (CM1) dan sampai dengan 41% melalui upaya-upaya
dengan dukungan internasional yang digambarkan sebagai skenario conditional
(CM2) dibanding emisi baseline yang digambarkan sebagai skenario business as
usual (BAU) (KLHK, 2016). Target penurunan emisi GRK tersebut akan dicapai
dari sektor kehutanan, energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk
dan pertanian. Untuk dapat mengimplementasikan NDC elemen mitigasi,
berbagai perangkat kebijakan dan peraturan telah diterbitkan oleh pemerintah.
Upaya Kementerian/Lembaga untuk mencapai target penurunan emisi GRK
2 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

perlu disusun dalam bentuk Roadmap atau Peta Jalan dengan rincian langkah dan tahapan program dan
aktivitas serta penanggung-jawab yang jelas dan strategi pelaksanaannya

Pada tahun 2018, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menerbitkan hasil kajian ilmiah yang
dituangkan dalam dokumen Special Report on Global Warming of 1,5°C (SR1.5), menunjukkan betapa
seriusnya permasalahan perubahan iklim ini untuk ditangani bersama. Seluruh masyarakat dunia harus
mampu untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sampai pada tingkat keseimbangan antara
serapan GRK dan emisi GRK paling lambat pada tiga perempat abad 21. Kondisi ini harus dicapai untuk
dapat menghindari kenaikan suhu global dibanding dengan rata-rata era pra-industri tidak melewati 1,5°C.

Dokumen SR1.5 menjelaskan lima implikasi besar yang perlu menjadi perhatian masyarakat dunia akibat
dari pemanasan global (Kotak 1). Kegagalan untuk menahan kenaikan suhu di bawah 1,5°C akan
mengancam keberlanjutan kehidupan. Dokumen tersebut memperkuat basis ilmiah dalam mendukung
pencapaian tujuan Paris Agreement.
PENDAHULUAN 3

KOTAK 1. Lima Implikasi Besar Dampak Kenaikan Suhu Global


Kenaikan suhu global telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Bukti dan fakta ilmiah yang dikumpulkan oleh
IPCC dan disampaikan dalam Laporan Khusus Pemanasan Global 1,5°C secara jelas menunjukkan dampak yang ditimbul-
kan oleh pemanasan global dan perubahan iklim sudah nyata. Pada saat ini kenaikan suhu global dari suhu rata-rata era
pra-industri sudah mencapai 1°C. Kejadian cuaca dan iklim ekstrem semakin sering terjadi di berbagai belahan dunia
dengan intensitas yang lebih kuat dan telah menimbulkan dampak yang sangat besar. Sebagai contoh, data kejadian
pemutihan terumbu karang (coral bleaching) akibat kenaikan suhu laut menunjukkan bahwa cakupan wilayah terkena
dampak fenomena kenaikan suhu laut berkorelasi nyata dengan tingkat kenaikan suhu global. Fenomena kenaikan suhu
laut yang terjadi pada tahun 1980 dimana pada saat itu kenaikan suhu global baru 0,4°C, coral bleaching masih bersifat
lokal dan terisolasi. Kejadian yang sama pada tahun 1998 dimana saat itu kenaikan suhu global sudah mencapai 0,6°C,
untuk pertama kalinya menimbulkan coral bleaching yang meluas (global). Kemudian tahun 2016-2017 dimana kenaikan
suhu global sudah mencapai 1°C, kejadian yang serupa telah menimbulkan coral bleaching yang ke semua kawasan
ekosistem. Fenomena lain yaitu punah atau meledaknya spesies tertentu juga sudah ditemukan di beberapa ekosistem
darat.

Dalam Laporan Khusus IPCC untuk Pemanasan Global 1,5°C (SR1.5) yang disusun berdasarkan pada data dari ratusan
literatur, mengemukakan lima implikasi besar dari kenaikan suhu global di atas 1,5°C. Ke lima implikasi tersebut dinya-
takan dalam bentuk diagram tingkat risiko yaitu besarnya tingkat risiko yang akan terjadi akibat kenaikan suhu global
melebihi 1,5°C (Gambar K1-1). Ke lima implikasi ini disebut sebagai reason for concern atau RFC, yaitu lima hal kenapa kita
harus peduli terhadap masalah pemanasan global ini.

Gambar K1-1. Lima implikasi besar dampak kenaikan suhu global https://www.ipcc.ch/sr15/chapter/summary-for-policy-makers/

• RFC1-Unique/Threatened System: Ancaman terhadap keberadaan ekosistem khusus/endemic atau khas (diantaranya:
terumbu karang, Arktik dan penduduk asli, gletser, dan hotspot keanekaragaman hayati)

• RFC2-Extreme events: Kejadian cuaca ekstrem yang berisiko/berdampak besar terhadap kesehatan manusia, mata
pencaharian, aset, dan ekosistem seperti gelombang panas, hujan lebat, kekeringan dan kebakaran hutan terkait,
dan banjir pesisir.

• RFC3-Distribution impact: Distribusi dampak yang tidak merata karena adanya perbedaan tingkat keterpaparan,
kerentanan dan perubahan karakteristik iklim – semakin besarnya senjang antara negara kaya dan miskin dan
ketidak merataan kesejahteraan.

• RFC4-Agregate impact: Dampak agregat global: kerusakan moneter global, degradasi skala global dan hilangnya
ekosistem dan keanekaragaman hayati.

• RFC5-Singular events: Peristiwa tunggal berskala besar, perubahan yang besar yang tiba-tiba dan kadang-kadang
tidak dapat pulih kembali, seperti disintegrasi Greenland dan lapisan es Antartika.

Gambar K1-1 menunjukkan besar perubahan tingkat risiko terkait dengan ke lima RFC. Dapat dilihat dengan kenaikan
suhu di atas 2°C, tingkat ancaman dan besar risiko sudah tinggi dan sangat tinggi untuk hampir semua RFC.
4 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

1.2 Maksud dan Tujuan


Dokumen Peta Jalan (RoadMap) merupakan pedoman bagi para pemangku kepentingan baik
pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha maupun masyarakat dalam upaya pencapaian target NDC
melalui penyediaan informasi tentang perencanaan, tata waktu dan penetapan target penurunan emisi
GRK secara rinci per subsektor serta identifikasi seluruh aspek yang mendukung pencapaian target.

1.3 Ruang Lingkup


Dokumen Peta Jalan mencakup strategi pelaksanaan mitigasi semua sektor dalam NDC termasuk
kegiatan pendukung yang dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan
masyarakat untuk mencapai target NDC.

1.4 Dasar Hukum


Dasar hukum penyusunan dokumen Peta Jalan NDC adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention
on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3557);
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations
Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4);
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5058);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059);
5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United
Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).

Kerangka peraturan untuk pelaksanaan kegiatan mitigasi perubahan iklim yang dikeluarkan pemerintah
diantaranya adalah:
1. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca;
2. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca
Nasional;
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis;
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi
Lingkungan Hidup.
PENDAHULUAN 5

1.5 Proses Penyusunan Roadmap


Penyusunan Dokumen Peta Jalan NDC dilakukan melalui berbagai tahapan proses yang mencakup
kegiatan-kegiatan berikut, yaitu (i) analisis data dan informasi tingkat nasional, sub-nasional maupun
sektoral terkait perubahan iklim, (ii) review terhadap rencana aksi (tindakan dan teknologi) mitigasi yang
ada dan potensial dan melakukan tagging terhadap RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional), dan (iii) evaluasi rencana aksi-aksi mitigasi dan analisis senjang (gap analysis) terhadap target
NDC dan terhadap dampak (emisi dan sosial-ekonomi) dan kebutuhan sumber daya sebagaimana
ditunjukan pada Gambar 1-1.

Hasil evaluasi dan analisis yang dilakukan dan diterjemahkan dalam strategi dan rekomendasi
pelaksanaan NDC dikonsultasikan kepada berbagai pemangku kepentingan mencakup Kementerian/
Lembaga, pemerintah daerah serta sektor swasta melalui asosiasi industri dan pelaku usaha. Konsultasi
juga menjadi sarana menjaring masukan mengenai potensi aksi-aksi mitigasi baru, menyusun aksi-
aksi mitigasi prioritas, dan mekanisme pembiayaan dan MRV (Measurement, Reporting and Verification) di
masing-masing sektor.

Gambar 1-1
Pola pikir penyusunan peta jalan NDC

Dampak:
• Reduksi emisi GRK
• Sosial-ekonomi
Tagging (makro)
Kebutuhan Kebutuhan
(RPJMN)
Regulasi Pembiayaan

Overview Kondisi Sektor:


Kajian sektor terkait • Proyeksi kondisi fisik ROAD MAP
perubahan iklim saat ini • Emisi per sektor dan proyeksinya Implementasi NDC
dan masa mendatang • Rencana Aksi Mitigasi dan Target NDC

Identifikasi
Review Rencana Pelaksana Aksi Identifikasi Sumber Daya:
Aksi-aksi Mitigasi Mitigasi dan Gagasan-gagasan • SDA
NDC Institutional baru aksi Mitigasi • Pendanaan dan
Arragement mekanismenya
• SDM dan Institutional
Arrangement
GAP Analysis:
• Evaluasi implementasi aksi mitigasi
dan capaiannya reduksi emisi
• Senjang antara capaian dan target
2
Baseline Emisi
GRK Nasional
dan Target Penurunan
Emisi GRK

The First NDC Indonesia merupakan hasil transformasi INDC (Intended


Nationally Determined Contribution) yang disampaikan Pemerintah Indonesia
kepada UNFCCC pada bulan September 2015, dengan beberapa perubahan
untuk lebih merinci rencana aksi mitigasi dan target penurunan emisi GRK
dalam memenuhi kaidah kerangka transparansi.

Komitmen Indonesia di dalam menurunkan tingkat emisi GRK pada tahun 2030
dengan kemampuan sendiri sebesar 29% (CM1) dan dengan dukungan interna-
sional sampai dengan 41% (CM2) di bawah tingkat emisi baseline (Gambar 2-1).
Tanpa adanya kebijakan mitigasi (skenario baseline), tingkat emisi GRK Indonesia
akan meningkat dari 1.334 juta ton CO2e pada tahun 2010 menjadi 2.869 juta
ton CO2e pada tahun 2030.

Tingkat emisi skenario baseline dan emisi skenario mitigasi CM1 dan CM2 untuk
setiap sektor dalam menuju target penurunan emisi GRK 29% dan sampai
dengan 41% disajikan pada Gambar 2-2.
8 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 2-1
Emisi pada tahun dasar, baseline dan target penurunan emisi GRK tahun 2030

3.000 Lahan dan


kehutanan

2.500 Pertanian

Limbah

IPPU
(juta ton CO2e)

2.000
Energi
Emisi

1.500

1.000

500

BAU CM1 CM2


2010 2030

Gambar 2-2
Proyeksi emisi baseline (BAU) dan skenario penurunan emisi GRK dengan
kemampuan sendiri (CM1) dan dengan dukungan internasional (CM2) pada
tahun 2010-2030

3.500

3.000

2.500
Emisi (juta ton CO2e)

2.000

1.500

1.000

500

0
2010
2012
2014
2016
2018
2020
2022
2024
2026
2028
2030
2010
2012
2014
2016
2018
2020
2022
2024
2026
2028
2030
2010
2012
2014
2016
2018
2020
2022
2024
2026
2028
2030

BAU Unconditional (CM1) Conditional (CM2)

Energi IPPU Limbah Pertanian Lahan & Kehutanan


BASELINE EMISI GRK NASIONAL
DAN TARGET PENURUNAN EMISI GRK 9

Prioritisasi mitigasi pada NDC diarahkan kepada kebijakan dan kegiatan-kegiatan potensial yang dapat
memberikan kontribusi besar terhadap penurunan emisi GRK. Merujuk Gambar 2-2, dapat dilihat bahwa
upaya-upaya pencapaian target penurunan emisi GRK CM1 dan CM2 akan banyak dilakukan melalui
sektor lahan dan kehutanan dan sektor energi, sedangkan sumbangan tiga sektor lainnya relatif kecil. Untuk
mencapai target penurunan emisi GRK 29%, sektor lahan dan kehutanan akan menyumbang sebesar
17,2% sedangkan sektor energi sebesar 11% dan sisa target penurunan emisi sebesar 1% dilakukan
melalui tiga sektor lainnya, yaitu limbah, IPPU dan pertanian. Secara lebih rinci, emisi baseline dan target
penurunan emisi GRK tahunan dalam menuju target tahun 2030 untuk setiap sektor dapat dilihat pada
Tabel 2-1.

Tabel 2-1
Tingkat emisi GRK skenario BAU, CM1 dan CM2

Kumulatif
Baseline dan Target Penurunan
Emisi GRK (juta ton CO2e)
2020 2022 2024 2026 2028 2030

Emisi BAU-Semua Sektor


1.986 2.096 2.265 2.447 2.644 2.869
(juta ton CO2e)

PE-CM1 (% BAU) 22,3 25,3 27,5 28,8 29,0 29

PE-CM2 (% BAU) 34,8 38,8 40,2 40,7 39,7 38

BAU-Energi (juta ton CO2e) 904 1.031 1.177 1.331 1.490 1.669

PE-CM1 (% BAU) 6,0 7,9 9,7 10,7 10,8 11

PE-CM2 (% BAU) 7,7 10,1 12,5 13,8 13,9 14

BAU-IPPU (juta ton CO2e) 59 61 64 66 68 70

PE-CM1 (% BAU) 0,11 0,12 0,11 0,11 0,10 0,10

PE-CM2 (% BAU) 0,13 0,14 0,13 0,13 0,12 0,11

BAU-Limbah (juta ton CO2e) 143 162 185 213 250 296

PE-CM1 (% BAU) 0,09 0,15 0,21 0,25 0,31 0,38

PE-CM2 (% BAU) 0,09 0,15 0,21 0,42 0,67 1

BAU-Pertanian (juta ton CO2e) 116 116 117 117 119 120

PE-CM1 (% BAU) 0,16 0,19 0,22 0,25 0,29 0,32

PE-CM2 (% BAU)1 0,04 0,03 0,06 0,08 0,11 0,13

BAU-Kehutanan (juta ton CO2e) 764 726 723 720 717 714

PE-CM1 (% BAU)2 16,0 17,0 17,3 17,4 17,5 17,2

PE-CM2 (% BAU) 26,8 28,4 27,3 26,2 25,0 23

Catatan: 1Target penurunan emisi CM2 lebih rendah dari CM1 karena perluasan areal lahan sawah di luar Jawa pada CM2 lebih tinggi dari CM1
sebagai bagian dari upaya menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor beras pada tahun 2030. Dalam CM1, produksi targetnya
hanya menjaga swasembada beras. Selain itu, konversi lahan sawah di Jawa juga jauh lebih rendah pada CM2 dibandingkan dengan
CM1 dan BAU sehingga luas sawah di CM2 menjadi jauh lebih tinggi dari CM1 (Lihat Lampiran 2). Dengan demikian tingkat emisi CH4 dari
budidaya padi pada CM2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan CM1. Tingkat aksi mitigasi pada CM2 tidak cukup besar untuk mengimbangi
peningkatan emisinya sehingga target penurunan emisi CM2 menjadi lebih rendah.

2
Persentase penurunan emisi GRK pada tahun 2030 relatif lebih rendah dibandingkan dengan dengan tahun 2026 dan 2028 karena
perhitungan persentase emisi GRK berdasarkan persentase penurunan emisi GRK terhadap tingkat emisi baseline di tahun bersangkutan
yang besarnya sudah lebih rendah dibandingkan dengan emisi baseline 2026. Emisi baseline sudah mengalami penurunan dari tahun 2020.
3
Kebijakan terkait
Mitigasi
PERUBAHAN IKLIM
12 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

3.1 Sektor Energi


Pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan dan kebijakan yang dapat dijadikan landasan bagi
pelaksanaan aksi mitigasi di sektor energi, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan aksi mitigasi
pada penggunaan energi baru dan terbarukan dan konservasi energi. Secara ringkas kebijakan utama
tersebut dapat dilihat pada Tabel 3-1.

Tabel 3-1
Kebijakan dan peraturan pelaksanaan kegiatan mitigasi sektor energi

Aksi Mitigasi Instrumen Kebijakan Deskripsi

Peraturan Menteri ESDM Nomor 49


Mengatur usaha penerapan PLTS,
Tahun 2018 tentang Sistem Pembangkit Listrik
termasuk dalam skala kecil
Tenaga Surya
Penerapan energi
baru terbarukan pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 12
bangunan Tahun 2018 tentang Perubahan Peraturan
Mengatur penyediaan lampu tenaga
Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2017 tentang
surya ke masyarakat yang tidak
Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi
memiliki akses listrik
Baru dan Energi Terbarukan serta Konservasi
Energi

Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018


tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Mengatur penyediaan dan
Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Kerangka pemanfaatan biodiesel melalui dana
Pembiayaan oleh Badan Pengelolaan Dana BPDP kelapa sawit
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit
Penerapan energi
Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2018
baru terbarukan di Mengatur pengumpulan dan
tentang Perubahan Kedua atas Keputusan
subsektor transportasi penggunaan dana di BPDP kelapa
Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang
sawit, termasuk diantaranya untuk
Pengumpulan dan Pemanfaatan Badan Pengelola
pengembangan biofuel
Dana Perkebunan Kelapa Sawit

Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015


Mengatur pemanfaatan dan
tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga
administrasi bahan bakar nabati
Bahan Bakar Nabati (Biofuel)

Penetapan rencana bauran energi


Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017
termasuk porsi energi baru
tentang Rencana Umum Energi
terbarukan sebanyak 23% di tahun
Peningkatan Nasional
2025 dan 31% di tahun 2050
penerapan energi
baru terbarukan dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2018 Mengatur pelaksanaan
konservasi energi tentang Perubahan Peraturan Menteri ESDM pemanfaatan energi baru
Nomor 39 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan terbarukan serta konservasi energi,
Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru Terbaru- termasuk pembelian listrik berbasis
kan dan Konservasi Energi energi baru terbarukan

Peraturan Menteri ESDM Nomor 57 Tahun 2017


Mengatur standar dan pemberian
Penerapan efisiensi tentang Standar Kinerja Energi Minimum dan
label pada pendingin udara yang
energi Pencantuman Label Hemat Energi untuk
efisien energinya
Pendingin Udara
KEBIJAKAN TERKAIT
Mitigasi PERUBAHAN IKLIM 13

3.2 Sektor IPPU


Dalam mendukung dan memfasilitasi aksi mitigasi penurunan emisi GRK di sektor IPPU, pemerintah
telah menyusun dan menerbitkan kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung mendorong
implementasi aksi-aksi mitigasi. Kebijakan yang diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri sebagaimana
disajikan pada Tabel 3-2.

Tabel 3-2
Instrumen kebijakan dan peraturan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim sektor IPPU

Aksi Mitigasi Instrumen Kebijakan Deskripsi

Peraturan Menteri Perindustrian


Pengembangan Menjelaskan kriteria industri hijau, metode verifikasi,
Nomor 512 Tahun 2015 tentang
industri hijau di serta persyaratan umum untuk industri semen
Penetapan Standar Industri Hijau
industri semen terintegrasi
untuk Semen Portland

Peraturan Menteri Perindustrian


Pengembangan Nomor 148/M-IND/Kep/3/2016
Menjelaskan kriteria industri hijau, metode verifikasi,
industri hijau di tentang Penetapan Standar
serta persyaratan umum untuk industri pupuk buatan
industri pupuk Industri Hijau untuk Industri
tunggal
tunggal hara Pupuk Buatan Tunggal Hara
Makro Primer

Peraturan Menteri Perindustrian


Pengembangan Nomor 27 Tahun 2018 tentang
Menjelaskan kriteria industri hijau, metode verifikasi,
industri hijau di Penetapan Standar Industri Hijau
serta persyaratan umum untuk industri pupuk
industri pupuk untuk Industri Pupuk Urea, Pupuk
SP-36, Pupuk Amonium Sulfat

Peraturan Menteri Perindustrian Panduan berisi ketentuan mengenai kriteria industri


Pengembangan
Nomor 51 Tahun 2015 tentang hijau seperti standar bahan baku, energi, bahan
standar industri
Panduan Penyusunan Standar pelengkap, pengelolaan limbah, serta manajemen
hijau
Industri Hijau perusahaan.

Peraturan Menteri Perindustrian


Pengembangan
Nomor 514/M-IND/Kep/12/2015
standar industri Menjelaskan kriteria industri hijau, metode verifikasi,
tentang Penetapan Standar
hijau di industri serta persyaratan umum untuk industri pulp dan kertas
Industri Hijau untuk Industri Pulp
pulp dan kertas
dan Kertas
14 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

3.3 Sektor Limbah


Pemerintah sejak tahun 2017 sudah mengeluarkan berbagai kebijakan dan yang secara khusus
mendukung implementasi aksi mitigasi perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 3-3.

Tabel 3-3
Kebijakan dan regulasi terkait aksi mitigasi sektor limbah

Aksi Mitigasi Instrumen Kebijakan Deskripsi

Implementasi 3R
(Reduce, Reuse, Re-
Mengatur pengelolaan sampah secara
cycle), composting
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 baik dan berwawasan lingkungan di tingkat
dan pengolahan
tentang Pengelolaan Sampah pusat dan daerah serta kemitraan dengan
akhir yang baik
badan usaha pengelolaan sampah
dan berwawasan
lingkungan

Pedoman pengembangan energi bersih


dari sampah melalui pengolahan sampah
Kebijakan Peraturan Presiden Nomor 97/2017 tentang rumah tangga dan sampah sejenis
pengelolaan Kebijakan dan Strategi Nasional (JAKSTRA- sampah rumah tangga
sampah di tingkat NAS) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga JAKSTRANAS meliputi strategi, program,
nasional dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga dan target pengurangan sampah rumah
tangga dan sampah sejenis sampah
rumah tangga di tingkat nasional

Peraturan Menteri LHK Nomor P.10/MENL- JAKSTRADA merupakan arahan kebijakan


Kebijakan
HK/SETJEN/PLB.0/4/2018 tentang Pedoman dan strategi pengurangan sampah rumah
pengelolaan
Penyusunan Kebijakan dan Strategi Daerah tangga dan sampah sejenis sampah
sampah di tingkat
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan rumah tangga di tingkat provinsi dan
sub-nasional
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga kabupaten/kota

Peraturan Presiden Nomor 35/2018 tentang Ketentuan mengenai percepatan


Konversi limbah ke Percepatan Pembangunan Instalasi Pengo- pembangunan teknologi bersih pada
energi lah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis pembangkit listrik berbasis sampah di
Teknologi Ramah Lingkungan tingkat provinsi dan kabupaten/kota

3.4 Sektor Pertanian, Lahan dan Kehutanan


Strategi utama penurunan emisi GRK dari sektor kehutanan antara lain adalah melalui

• Perbaikan sistem pengelolaan sumber daya lahan dan hutan dengan membentuk Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) di semua wilayah hutan,

• Peningkatan adopsi praktik pengelolaan hutan lestari di hutan produksi

• Percepatan pembangunan hutan tanaman industri dan hutan rakyat serta pemanfaatan kayu
perkebunan untuk memenuhi permintaan kayu sehingga mengurangi ketergantungan pemenuhan
kebutuhan kayu dari hutan alam

• Optimasi perencanaan tata ruang, pemanfaatan lahan tidak produktif serta peningkatan produktivi-
tas dan intensitas penanaman sehingga mengurangi tekanan terhadap hutan alam untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan dan ekspansi lahan pertanian
KEBIJAKAN TERKAIT
Mitigasi PERUBAHAN IKLIM 15

• Konservasi dan peningkatan rosot karbon melalui restorasi ekosistem hutan produksi, dan
rehabilitasi lahan dan moratorium izin baru atau konsesi di lahan gambut,

• Perbaikan sistem pengelolaan lahan gambut, dan

• Percepatan adopsi teknologi budidaya rendah karbon

Dasar kebijakan pelaksanaan aksi mitigasi sektor yang secara langsung maupun tidak langsung
menghasilkan penurunan emisi GRK sudah tersedia seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 3-4.

Tabel 3-4
Instrumen kebijakan dan peraturan pelaksanaan kegiatan mitigasi perubahan iklim sektor
pertanian, lahan dan kehutanan

No. Aksi Mitigasi Dasar Kebijakan Keterangan

(1) (2) (3) (4)

1. Penurunan Deforestasi dan Degradasi Hutan

1.1. Penurunan Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam yang terencana (Planned)

(1) Moratorium Izin Baru Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun Mengatur moratorium izin baru serta
dan Penyempurnaan 2017 mengenai Penundaan dan peningkatan tata kelola hutan primer dan
Penyempurnaan Tata Kelola lahan gambut
Pemberian Izin Baru Hutan Alam
Primer dan Lahan Gambut

(2) Pencegahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun Sebanyak 114 Pasal yang mengatur
penebangan hutan 2013 tentang Pencegahan dan upaya pencegahan dan pemberantasan
alam di areal IUPH- Pemberantasan Perusakan Hutan kerusakan hutan termasuk di areal kerja
HK-HA secara tidak IUPHHK-HA
sah

(3) Penetapan alokasi Peraturan Menteri LHK Nomor P.70 Penetapan Indeks Biogeofisik (IBGF)
emisi di suatu wilayah Tahun 2017 sebagai dasar pertimbangan besarnya alo-
ditetapkan berdasar- kasi emisi yang diberikan ke suatu daerah
kan kondisi sesuai dengan kondisi
biogeofisiknya biogeofisiknya

(4) Penetapan fungsi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Uraian tentang fungsi kawasan dan
kawasan dan Tahun 2016 perannya dalam menyediakan layanan jasa
perannya dalam lingkungan atau jasa ekosistem
menyediakan layanan
jasa lingkungan atau
jasa ekosistem

(5) Tidak melakukan Peraturan Menteri LHK Nomor P.17 Areal kerja IUPHHK-HT yang ada hutan
penebangan hutan Tahun 2017 alam primer dan masuk wilayah fungsi
alam primer yang ada Ekosistem Gambut serta dalam tata ruang
di areal IUPHHK-HT fungsi Ekosistem Gambut, tidak ditebang
yang masuk wilayah
fungsi lindung Eko-
sistem Gambut
16 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

No. Aksi Mitigasi Dasar Kebijakan Keterangan

(1) (2) (3) (4)

(6) Perlindungan dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Pasal 17, Perusahaan wajib menyusun
pengelolaan areal Tahun 2014 tentang Perlindungan dan rencana perlindungan dan pengelolaan
IUPHHK-HA hutan Pengelolaan Ekosistem Gambut Ekosistem Gambut
primer masuk dalam
wilayah fungsi
Ekosistem Gambut

(7) Penyelamatan hutan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun Pasal 70 sampai 80 mengatur hak dan
alam primer di areal 2007 tentang Tata Hutan, Rencana kewajiban IUPHHK-HA terkait
kerja IUPHHK-HA Pengelolaan Hutan, dan Pemanfaatan penebangan kayu
melalui penurunan Hutan
volume dan luas
tebangan terhadap
Perusahaan (IUPH-
HK-HA) dengan
realisasi tebangan di
bawah Rencana Kerja
Tahunan (RKT)

(8) Penyelamatan hutan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun Larangan penebangan hutan alam primer
alam primer 2019 tentang Pemberhentian diberlakukan untuk izin usaha baru dan
Pemberian Izin Baru dan izin usaha yang sudah berjalan setelah
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011
Alam Primer dan Lahan Gambut

(9) Pengelolaan hutan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Prinsip Kriteria Indikator Pengelolaan
alam sekunder Tahun 2007 dan Undang-Undang Hutan Alam Lestari di areal IUPHHK-HA
yang masuk wilayah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lahan Gambut
budidaya Ekosistem Perlindungan dan Pengelolaan
Gambut secara lestari Lingkungan Hidup
sebagaimana diatur
dalam Prinsip Kriteria
Indikator Pengelolaan
Hutan Alam Lestari

Perlidungan dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Pasal 17, Perusahaan wajib menyusun
(10) pengelolaan lahan Tahun 2014 rencana perlindungan dan pengelolaan
HGU yang masuk Ekosistem Gambut
Ekosistem Gambut.
Perubahan izin usaha
IUPHHK-HT untuk 1
rotasi, dan pemulihan
Ekosistem Gambut

(11) Pencegahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun Pelaksanaan Undang-Undang dan


konversi lahan 2009 tentang Perlindungan Lahan kebijakan ini memandatkan pemerintah
pertanian produktif Pertanian Pangan Berkelanjutan daerah untuk menjaga lahan pertanian
pangan
KEBIJAKAN TERKAIT
Mitigasi PERUBAHAN IKLIM 17

No. Aksi Mitigasi Dasar Kebijakan Keterangan

(1) (2) (3) (4)

(12) Peningkatan Undang-Undang Nomor 19 Tahun Undang-undang dan kebijakan ini


produktivitas serta 2013 tentang Perlindungan dan memandatkan pemerintah daerah untuk
Indeks penanaman Pemberdayaan Petani; peningkatan kesejahteraan petani
yang dapat dengan peningkatan produktivitas usaha
mengurangi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 67 tani dan pengembangan kegiatan ekonomi
permintaan lahan Tahun 2016 tentang alternatif lainnya
pertanian ke depan Pemberdayaan Kelembagaan Petani;
sehingga secara tidak
langsung dapat Peraturan Menteri LHK Nomor 43
mengurangi Tahun 2017 tentang Pemberdayaan
deforestasi Masyarakat Sekitar Cagar Alam dan
Hutan Konservasi

Undang-Undang Perkebunan Nomor Pasal 3 Butir (d) Penyelenggaraan perke-


39 Tahun 2014 bunan bertujuan meningkatkan produk-
tivitas

(13) Pemanfaatan limbah Peraturan Menteri LHK Nomor P.12 Pasal 13 Ayat (1) Huruf (a) disebutkan
kayu dari HGU pada Tahun 2015 bahwa tanaman hutan berkayu dan
saat peremajaan tanaman budidaya tahunan yang berkayu
perkebunan untuk ditujukan untuk mendukung penyediaan
bahan baku industri bahan baku industri primer hasil hutan
kayu primer
Undang-Undang Nomor 39 Tahun Pasal 3 Tujuan penyelenggaraan
2014 tentang Perkebunan. perkebunan tanaman berkayu salah
satunya untuk mendukung penyediaan
bahan baku kayu industri kayu primer

1.2. Penurunan Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam tidak Terencana (Un-Planned)

(1) Pencegahan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun Upaya penegakan hukum untuk
penebangan liar 2005 tentang Pemberantasan Pene- memerangi pembalakan liar dengan me-
bangan Kayu Ilegal di Kawasan Hutan wajibkan 18 lembaga pemerintah nasional
dan Peredarannya di Seluruh Wilayah dan semua Pemerintah Daerah melakukan
Republik Indonesia kerjasama memerangi
kegiatan pembalakan liar

(2) Pengelolaan areal Peraturan Menteri LHK Nomor P.12 Pelaksanaan Pasal 7 Ayat (1) dan Pasal
IUPHHK-HT yang Tahun 2015 10 Ayat (2) pengelolaan areal tanaman
rawan konflik dan kehidupan di lahan mineral untuk
dekat dengan masyarakat setempat melalui pola
pemukiman kemitraan
masyarakat
setempat melalui pola
kemitraan
18 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

No. Aksi Mitigasi Dasar Kebijakan Keterangan

(1) (2) (3) (4)

(3) Pemberdayaan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun Pasal 83 dan 84 mengatur


masyarakat di 2007 tentang Tata Hutan, Rencana pemberdayaan masyarakat setempat
areal IUPHHK-HA Pengelolaan Hutan, dan Pemanfaatan dengan cara pengembangan kapasitas
Lahan Mineral dekat Hutan
pemukiman dengan
cara peningkatan
kapasitas masyarakat
setempat melalui
kerjasama
pengelolaan hutan
pola kemitraan

(4) Pemberdayaan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Pasal 17, Perusahaan wajib menyusun
masyarakat di areal Tahun 2014 rencana perlindungan dan pengelolaan
IUPHHK-HA Lahan Ekosistem Gambut
Gambut yang masuk
wilayah budidaya Eko-
sistem Gambut dekat
pemukiman dengan
cara peningkatan
kapasitas masyarakat
setempat melalui
kerjasama
pengelolaan hutan
pola kemitraan

(5) Pemberdayaan dan Peraturan Menteri LHK Nomor 83 Ta- Mengatur sistem pengelolaan hutan yang
pemberian akses hun 2016 tentang Perhutanan Sosial dilakukan oleh masyarakat guna mening-
pada masyarakat katkan mata pencaharian dan kualitas
melalui Perhutanan hidup mereka, sekaligus juga untuk
sosial mengembangkan potensi-potensi hutan

2. Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management)

2.1 Penerapan Teknik Reduce Impact Logging (RIL)

(1) Penerapan Teknik Peraturan Direktur Jenderal PHPL Penerapan teknik RIL untuk
Reduce Impact Nomor P.9 Tahun 2018 tentang meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu
Logging (RIL) Penerapan Teknik Pemanenan dan meminimalkan dampak
Berdampak Rendah (Reduce Impact pemanenan terutama terhadap aspek
Logging) pada Areal IUPHHK-HA ekologi/ lingkungan

2.2. Penerapan Teknik Pengelolaan Hutan Lestari

(1) Sertifikasi Wajib Peraturan Menteri LHK Nomor P.30 Peraturan yang mewajibkan semua
Pengelolaan Hutan Tahun 2016 tentang Sertifikasi pemegang hak pengelolaan/
Produksi Lestari Pengelolaan Hutan Produksi Lestari pengusahaan hutan memiliki sertifikasi
(PHPL) PHPL
KEBIJAKAN TERKAIT
Mitigasi PERUBAHAN IKLIM 19

No. Aksi Mitigasi Dasar Kebijakan Keterangan

(1) (2) (3) (4)

(2) Pengelolaan hutan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun Prinsip Kriteria Indikator Pengelolaan
alam sekunder secara 2007 dan Hutan Alam Lestari di areal IUPHHK-HA
lestari sebagaimana Undang-Undang Nomor 32 Tahun Lahan Mineral
diatur dalam Prinsip 2009 tentang Perlindungan dan
Kriteria Indikator Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan Hutan
Alam Lestari

(3) Penatausahaan kayu Peraturan Menteri LHK Nomor P.21 Peraturan yang mewajibkan semua
dari hutan hak; hutan Tahun 2015; pemegang hak (IUPHHK-HT dan IUPH-
tanaman, dan hutan HK-HA) dan pemilik hutan hak (hutan
alam Peraturan Menteri LHK Nomor P.42 rakyat) untuk melakukan penatausahaan
Tahun 2016 tentang Penatausahaan kayu hasil hutannya untuk legalitas hasil
Hasil Hutan Kayu dari Hutan Tanaman; kayu, bahan baku kayu tersertifikasi, dan
dan peningkatan penerimaan pasar terhadap
hasil kayu dari hutan yang dikelola secara
Peraturan Menteri LHK Nomor P.43 lestari
Tahun 2016 Penatausahaan Hasil
Hutan Kayu dari Hutan Alam

(4) Penerapan sistem Peraturan Menteri LHK Nomor P.12 Pasal 6 Ayat (1) Penerapan sistem
silvikultur TPTI dan/ Tahun 2015 silvikultur TPTI dan/atau Tebang
atau Tebang Rumpang (TR) pada hutan alam primer
Rumpang (TR) pada areal IUPHHK-HT
areal hutan alam
primer di areal IUPH-
HK-HT

3. Peningkatan Cadangan Karbon

3.1. Penanaman Hutan Tanaman Lahan Mineral

(1) Penataan Peraturan Menteri LHK Nomor P.62 Pasal 5 Ayat (2) areal bekas tebangan yang
pemanfaatan areal Tahun 2019 masih berhutan dipertahankan untuk
kerja IUPHHK-HTI kawasan lindung, areal hutan alam yang
untuk mengoptimal- memiliki karakteristik sumber daya hutan
kan fungsi produksi yang dapat diusahakan dengan sistem
dengan memperha- silvikultur THPB dan selain THPB, areal
tikan keseimbangan tidak berhutan/tidak produktif yang dapat
lingkungan dan sosial diusahakan dan Pasal 12 jenis komodi-
tas yang diusahakan tidak terbatas pada
hutan tanaman, tapi bisa juga komodi-
tas non-kayu, pangan sampai bioenergi
melalui agroforestry

(2) Peningkatan Peraturan Menteri LHK Nomor P.12 Pasal 9 Ayat (2) peningkatan produktivi-
produktivitas Tahun 2015 tas tanaman melalui kegiatan: pemilihan
tanaman IUPHHK-HT jenis, pemuliaan pohon, penyediaan bibit
unggul, manipulasi lingkungan

(3) Perpanjangan daur Peraturan Menteri LHK Nomor P.12 Pasal 8 Ayat (1) Penetapan daur atau siklus
atau siklus tebang Tahun 2015 tebang berdasarkan umur masak tebang
tanaman IUPHHK-HA ekonomis dan/atau berdasarkan umur
di Lahan Mineral pada hasil produksi yang maksimal
sampai hasil produksi
maksimal
20 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

No. Aksi Mitigasi Dasar Kebijakan Keterangan

(1) (2) (3) (4)

(4) Percepatan pena- Belum ada kebijakan khusus Perlu inovasi kebijakan IUPHHK-HT, luas
naman IUPHHK-HT realisasi penanaman 2 kali luas LC-HTI
melalui realisasi luas dengan pengawasan di lapangan oleh
penananaman 2 kali Dinas Provinsi dan Tenaga Teknis
luas Land Cleraing Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
(LC-HTI) dengan Pembinaan Hutan
pengawasan

(5) Penambahan klausul Peraturan Menteri Kehutanan Nomor Penambahan klausul pada Pasal 4 yakni
kewajiban pelaksa- P.39 Tahun 2008 kewajiban pelaksanaan penanaman
naan penanaman sesuai dengan rencana dalam RKT
dalam sanksi
administrasi IUPH-
HK-HT Lahan Mineral

(6) Percepatan pena- Peraturan Pemerintah Nomor 11 Perlu inovasi kebijakan KLHK terhadap
naman IUPHHK-HT Tahun 2010 IUPHHK-HT berupa sanksi administrasi
melalui sanksi untuk IUPHHK-HT yang tidak melak-
administrasi sampai sanakan penanaman setidaknya 50% luas
pencabutan izin IUPHHK-HT paling lambat 3 tahun sejak
izin dikeluarkan dan sampai pencabutan
izin apabila lebih dari satu daur (umumnya
6 tahun).

(7) Percepatan pena- Peraturan Pemerintah Nomor 11 Percepatan penanaman HGU yang tidak
naman HGU melalui Tahun 2010 melaksanakan penanaman secara optimal
penetapan lahan HGU setelah 3 tahun terbit izin usaha dengan
sebagai tanah terlan- luasan lahan tidak diusahakan >25% dari
tar dan optimalisasi total luas lahan efektif melalui penetapan
pemanfaatan lahan lahan HGU sebagai tanah terlantar
terlantar

(8) Kebijakan insentif Inovasi Kebijakan KLHK berupa Pasal 31 Ayat (2) Insentif kebijakan untuk
diberikan untuk Peraturan Menteri LHK untuk IUPH- IUPHHK-HT yang melakukan kegiatan yang
pemegang izin HK-HT dari Peraturan Pemerintah memberikan dampak positif terhadap
IUPHHK-HT yang Nomor 46 Tahun 2017 tentang lingkungan, meliputi: pemberian keringa-
dapat mecapai target Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup nan kewajiban, pemberian kemudahan
penanaman sesuai dan/atau pelonggaran persyaratan pelak-
aturan yang sudah sanaan kegiatan, pemberian fasilitas dan/
ditetapkan atau bantuan, pemberian dorongan dan
khususnya pada bimbingan, pemberian pengaluan dan/
wilayah izin yang atau penghargaan, dan/atau pemberita-
memiliki tingkat risiko huan kinerja positif kepada publik.
emisi tinggi

3.2. Penanaman Hutan Ta-


naman Lahan Gambut

(1) Perlidungan dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Pasal 17, Perusahaan wajib menyusun
pengelolaan Eko- Tahun 2014 rencana perlindungan dan pengelolaan
sistem Gambut dan Ekosistem Gambut
Perubahan izin usaha
IUPHHK-HT untuk 1
rotasi, dan pemulihan
Peraturan Menteri LHK Nomor P.16 Pedoman teknis pemulihan fungsi
Ekosistem Gambut
Tahun 2017 Ekosistem Gambut
KEBIJAKAN TERKAIT
Mitigasi PERUBAHAN IKLIM 21

No. Aksi Mitigasi Dasar Kebijakan Keterangan

(1) (2) (3) (4)

3.3. Pengayaan dan


Rehabilitasi Hutan
dan Lahan

(1) Pengayaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun Penerapan sistem silvikultur ini dalam
rehabilitasi dengan 2007 bentuk pengayaan dan rehabilitasi
agroforestry dan dengan agroforestry dan tanaman
tanaman campuran campuran (Agro-Kompleks), dimana
(Agro-Kompleks), tutupan tajuk pohon minimal 30% dari
dimana tutupan tajuk total luas areal IUPHHK-HA secara
pohon minimal 30% proporsional
dari total luas areal
IUPHHK-HA secara
proporsional di Lahan
Mineral

(2) Reklamasi Tambang Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun Tata cara pelaksanaan dan pelaporan,
2010 tentang Reklamasi dan Pasca beserta kewajiban pelaporan dari
Tambang pemegang izin dalam pelaksanaan rekla-
masi juga diatur dalam Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
26 Tahun 2018

(3) Panduan serta Insentif Peraturan Menteri LHK Nomor 39 Dukungan dan pemberian insentif bagi
untuk Rehabilitasi Tahun 2016 tentang Perubahan atas rehabilitasi lahan dan hutan terdegradasi
Hutan dan Lahan Peraturan Menteri Kehutanan serta optimasi pemanfaatan lahan-
Nomor 9 Tahun 2013 tentang Tata lahan tidak produktif melalui penanaman
Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung spesies tanaman multi-guna dalam sistem
dan Pemberian Insentif Kegiatan agroforestry
Rehabilitasi Hutan dan Lahan

(4) Pemulihan wilayah Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun Pasal 9 Ayat (1) Penetapan fungsi
fungsi Ekosistem 2016 tentang Perubahan atas Ekosistem Gambut, meliputi: fungsi
Gambut melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun lindung dan fungsi budidaya
rehabilitasi, suksesi 2014 mengenai Perlindungan dan
alami, restorasi, dan/ Pengelolaan Ekosistem Gambut
atau cara lain yang
Peraturan Menteri LHK Nomor P.16 Teknis pemulihan ekosistem gambut
sesuai dengan
Tahun 2017
perkembangan ilmu
pengetahuan dan
teknologi di areal
IUPHHK-HA Lahan
Gambut
22 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

No. Aksi Mitigasi Dasar Kebijakan Keterangan

(1) (2) (3) (4)

4. Peningkatan Peranan Konservasi (The Role of Conservation)

(1) Peningkatan atau Peraturan Pemerintah 57 Tahun 2016 Pengaturan tentang kewajiban menjaga
penambahan areal tentang Perlindungan dan areal yang masih berhutan yang memiliki
lindung atau Pengelolaan Ekosistem Gambut; nilai-nilai konservasi dan perlindungan tata
konservasi di Kawasan air di Kawasan hutan dapat konversi dan
hutan produksi yang Peraturan Pemerintah Nomor 104 Ta- areal penggunaan lain
dapat dikonversi (HPK) hun 2015 tentang Pemanfaatan Hutan;
dan areal penggunaan Peraturan Pemerintah Nomor 105
lain (APL) yang masih Tahun 2015 tentang
berhutan yang Pedoman Alokasi dan Fungsi Hutan;
memiliki nilai-nilai
konservasi dan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun
perlindungan tata air 2017 tentang Moratorium;
Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2014 tentang Konservasi Tanah dan Air;
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun
1990 tentang Pengelolaan Area
Lindung

5. Pengelolaan Lahan Gambut

(1) Pengelolaan tata air Peraturan Menteri LHK Nomor P.15 Ta- Kewajiban pengelola lahan gambut untuk
gambut hun 2017 tentang Pemantauan Tinggi menjaga dan mempertahankan muka air
Muka Air Gambut tanah gambut pada kedalaman tidak lebih
dari 40 cm

(2) Pengelolaan lahan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun Kebijakan yang mewajibkan pemerintah
dan kebakaran 2015 tentang Peningkatan di semua tingkat untuk mengembangkan
Pengendalian Kebakaran Hutan dan sistem pengelolaan kebakaran dan hutan
Lahan di wilayahnya masing-masing, serta
menerapkan sanksi bagi pelaku usaha
Peraturan Menteri LHK Nomor P.77 yang tidak menerapkan pengelolaan
Tahun 2015 tentang Penanganan Areal kebakaran di wilayahnya
Bekas Kebakaran di Wilayah Konsesi

Peraturan Kepala BPN 15 Tahun 2016


tentang Prosedur Pencabutan Izin
Konsesi pada Areal Terbakar
4 Strategi
PELAKSANAAN

Pelaksanaan aksi-aksi mitigasi untuk mencapai target NDC dikelompokkan ke


dalam 4 (empat) sektor utama yang merupakan sumber-sumber emisi GRK nasi-
onal yang sejalan dengan Inventarisasi Emisi GRK Nasional (merujuk IPCC 2006).
Pengelompokkan aksi-aksi mitigasi tersebut adalah Sektor Energi, Sektor IPPU
(proses industri dan penggunaan produk), Sektor Limbah, dan Sektor AFOLU
(pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya).

Pada bab ini disampaikan arah dan strategi pelaksanaan NDC secara
komprehensif dan sejalan dengan rencana pembangunan di setiap sektor
mencakup baseline emisi GRK, target penurunan emisi GRK dan rencana aksi
mitigasi yang akan dilaksanakan. Selain itu, pada bab ini juga disampaikan tata
kelembagaan pelaksanaan aksi-aksi mitigasi yang mencakup: (i) penanggung
jawab, pelaksana, dan pendanaan dan (ii) pemantauan, pelaporan dan verifikasi
capaian penurunan emisi GRK.

4.1 Sektor Energi


4.1.1 Baseline dan Target Penurunan Emisi GRK
Sektor energi dalam konteks perubahan iklim mencakup aktivitas yang
menghasilkan emisi GRK terkait penggunaan energi dan rangkaian aktivitas
penyediaan energi. Aktivitas penggunaan energi yang menghasilkan emisi GRK
terdiri atas 2 (dua) kelompok, yaitu pembakaran bahan bakar fosil yang meng-
hasilkan emisi GRK langsung (direct emission) seperti misalnya penggunaan
bahan bakar untuk subsektor transportasi, subsektor industri, subsektor komer-
sial, dan rumah tangga, dan lain-lain dan penggunaan energi listrik yang tidak
secara langsung menghasilkan emisi GRK (indirect emissions) seperti misalnya
24 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

penggunaan peralatan listrik yang listriknya dipasok oleh pembangkit listrik pihak ketiga di luar boundary
aksi mitigasi. Aktivitas penyediaan energi yang menghasilkan emisi GRK terdiri atas 2 kelompok yaitu yang
terkait pembakaran bahan bakar fosil (pembangkit listrik dan pengilangan migas) dan emisi fugitive saat
penambangan, pengolahan dan pengangkutan bahan bakar fosil (batu bara dan migas).

Pada skenario baseline, emisi GRK diproyeksikan berdasarkan asumsi bahwa sejak tahun dasar 2010
sektor energi berkembang mengikuti skenario business as usual (BAU), yaitu tidak ada upaya intervensi
yang bertujuan untuk menurunkan emisi GRK. Dengan demikian, pada skenario baseline perkembangan
sektor energi pada dasarnya meneruskan tren perkembangan energi yang terjadi sebelum tahun dasar.
Drivers perkembangan energi pada skenario BAU adalah pertumbuhan populasi dan perkembangan
ekonomi nasional maupun sektoral. Asumsi pertumbuhan populasi mengikuti proyeksi yang dipublikasi
BPS, sedangkan asumsi pertumbuhan ekonomi hingga 2030 berkisar antara 5%-5,5% tahun. Asumsi per-
tumbuhan sektor listrik mengikuti RUPTL yang tersedia pada saat NDC disusun, yaitu RUPTL 2015-2024.

Asumsi-asumsi yang digunakan pada skenario baseline, diantaranya adalah tidak ada upaya ekstra
untuk meningkatkan efisiensi energi pada semua subsektor pengguna energi, tidak ada penambahan
pembangkit energi terbarukan sejak tahun dasar, pertambahan kebutuhan listrik dipenuhi dengan
pembangunan pembangkit batu bara konvensional (teknologi setara sub-critical power plant), PLTD dan
pembangkit gas yang telah ada dalam skema perencanaan penambahan pembangkit sebelum tahun
dasar, tidak adanya fuel switching menuju bahan bakar rendah emisi, teknologi transportasi yang
digunakan sama dengan teknologi transportasi di tahun dasar, tidak ada upaya pergeseran moda
transportasi menuju kendaraan massal, tidak ada upaya ekstra untuk penambahan pangsa penggunaan
bahan bakar nabati.

Pada skenario mitigasi diasumsikan bahwa driver perkembangan energi adalah perkembangan
populasi dan ekonomi nasional dengan tingkat pertumbuhan yang sama dengan yang terjadi pada
skenario baseline, namun pada skenario mitigasi setelah tahun dasar hingga tahun 2030 telah
mempertimbangkan adanya berbagai aktivitas intervensi yang menghasilkan tingkat emisi GRK lebih
rendah dibandingkan dengan tingkat emisi GRK pada skenario baseline. Aktivitas mitigasi mencakup
(i) peningkatan upaya-upaya efisiensi energi di berbagai aktivitas terkait penyediaan maupun
penggunaan energi yang merujuk target pemerintah, yaitu di tahun 2025 efisiensi energi subsektor
industri dapat mencapai 6%, rumah tangga 5%, transportasi 5% dan komersial 1%, (ii) peningkatan peng-
gunaan pembangkit energi terbarukan, (iii) peningkatan penggunaan teknologi pembangkit batu bara
yang lebih efisien (clean coal technology), (iv) peningkatan penggunaan pembangkit yang rendah karbon
(PLTG dan waste heat recovery), (v) penggunaan energi yang lebih rendah karbon (substitusi minyak tanah
oleh LPG) dan (vi) peningkatan penggunaan bahan bakar nabati (BBN).

Tingkat emisi GRK pada masing-masing skenario baseline dan skenario mitigasi (CM1 dan CM2) bergan-
tung pada perkembangan sektor. Perkembangan sektor energi untuk konsumsi energi final berdasar-
kan jenis dan sektor pengguna pada skenario baseline dan skenario mitigasi CM1 dan CM2 disampaikan
berturut-turut pada Gambar 4-1 dan Gambar 4-2 . Pada perkembangan energi final tersebut terdapat
konsumsi bahan bakar fosil, biomassa, BBN dan listrik di sisi pengguna energi. Emisi GRK yang timbul
karena pembakaran bahan bakar fosil dikategorikan sebagai emisi GRK langsung (direct emissions), emisi
GRK dari penggunaan listrik dikategorikan sebagai emisi GRK tidak langsung (indirect emissions), dan emisi
GRK dari pembakaran biomassa dan BBN (bahan bakar nabati) dikategorikan sebagai karbon netral.
STRATEGI
PELAKSANAAN 25

Gambar 4-1
Proyeksi konsumsi energi final menurut jenis bahan bakar

450

400 BBN
Listrik
350
Biomassa
300
Gas
Juta toe

250 Minyak

200 Batu bara

150

100

50

0
Baseline CM1 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2

2010 2015 2020 2025 2030

Gambar 4-2
Proyeksi konsumsi energi final (termasuk listrik) menurut subsektor pengguna

450

400 Transportasi

350 Industri

300 Rumah Tangga


Juta toe

250 Komersial

200

150

100

50

-
Baseline CM1 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2

2010 2015 2020 2025 2030


26 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Perkembangan sektor energi untuk energi primer mencakup keseluruhan energi termasuk yang
ditransformasikan di dalam negeri, yaitu pada pembangkit listrik, kilang migas (BBM, LPG, dan LNG),
serta pemrosesan batu bara. Perkembangan sektor energi untuk energi primer yang dikelompokan
berdasarkan jenis energi pada skenario baseline dan skenario mitigasi CM1 dan CM2 disampaikan pada
Gambar 4-3.

Gambar 4-3
Proyeksi konsumsi energi primer menurut jenis bahan bakar

600
BBN
500 Geotermal
Biomassa
Surya dan angin
400
Hidro
Juta toe

Gas
300
Minyak
Batu bara
200

100

-
Baseline CM1 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2

2010 2015 2020 2025 2030

Selain sumber-sumber emisi GRK sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, terdapat sumber-
sumber emisi GRK sektor energi lainnya yang belum tercakup di dalam perkembangan energi untuk
skenario baseline maupun skenario mitigasi, yaitu pembakaran bahan bakar untuk own use pada fasilitas
produksi migas hulu dan penambangan batu bara dan emisi CH4 fugitive dari fasilitas produksi migas hulu
(flaring, venting, leaks), kilang BBM, dan tambang batu bara. Penghitungan emisi GRK untuk perkembangan
energi tidak dapat mencakup semua sumber emisi GRK tersebut, yaitu pembakaran bahan bakar untuk
own use di fasilitas produksi migas hulu dan penambangan batu bara karena keterbatasan data.

Perkembangan emisi GRK pada skenario baseline dan skenario mitigasi disampaikan pada Gambar 4-4
dan Gambar 4-5. Dapat dilihat bahwa penurunan emisi GRK skenario mitigasi CM2 ditargetkan lebih be-
sar dibandingkan penurunan emisi GRK skenario mitigasi CM1. Perbandingan tingkat emisi GRK skenario
baseline dan skenario mitigasi (CM1 dan CM2) di tahun 2030 menunjukkan bahwa potensi penurunan
emisi GRK pada skenario CM1 sebesar 358 juta ton CO2e dan pada skenario CM2 sebesar 398 juta ton
CO2e.
STRATEGI
PELAKSANAAN 27

Pada potensi penurunan emisi GRK skenario mitigasi CM1 sebesar 358 juta ton di tahun 2030, besarnya
penurunan emisi GRK yang dikomitmenkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
untuk memenuhi target NDC adalah 314 juta ton CO2e di tahun 2030 melalui kegiatan mitigasi di sektor
energi sebesar 309 juta ton CO2e dan kegiatan reboisasi lahan bekas tambang sebesar 5 juta ton CO2e
yang dikategorikan sebagai mitigasi subsektor FOLU.

Rincian kontribusi masing-masing aksi mitigasi terhadap target NDC di dalam penurunan emisi GRK pada
tahun 2030 disampaikan pada Gambar 4-6. Pada Gambar 4-6 dapat dilihat bahwa target penurunan
emisi GRK sektor energi terutama dipenuhi dari penggunaan EBT (58%), pembangkit listrik batu bara bersih
dan gas (25%), efisiensi energi (13%), dan sisanya fuel switching (~4%). Penjelasan masing-masing aksi dan
kontribusinya di tahun 2030 disampaikan pada Tabel 4-1.

Gambar 4-4
Proyeksi emisi GRK dari masing-masing sumber emisi GRK

1.800
Emisi GRK (juta ton CO2e)

1.600
1.400
1.200
1.000
800
600
400
200
-
CM2

CM2

CM2
CM1

CM1
CM1

CM1
Baseline

Baseline
Baseline

Baseline

Fugitive* Transportasi
*emisi CH4 fugitive dari fasilitas
Pemrosesan Batu bara Industri produksi migas hulu (flaring, venting,
leaks), kilang BBM, dan tambang
Pengilangan Migas Rumah Tangga batu bara

Pembangkit Listrik Komersial


28 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4-5
Perbandingan proyeksi dan intensitas emisi GRK skenario baseline dan mitigasi

1.800 6
Emisi GRK (juta ton CO2e)

1.600 Fugitive*
5
Pemrosesan Batu bara
1.400

Intensitas ton CO2e/kapita


Pengilangan Migas
1.200 4
Pembangkit Listrik

1.000 Transportasi
3
Industri
800
Rumah Tangga
600 2 Komersial

400 Intensitas
1
200

- 0
2010 2015 2020 2025 2030 2010 2015 2020 2025 2030 2010 2015 2020 2025 2030

Baseline CM1 CM2

*emisi CH4 fugitive dari fasilitas produksi migas hulu (flaring, venting, leaks), kilang BBM, dan tambang batu bara
Gambar 4-6
Target penurunan emisi GRK skenario CM1 (unconditional) tahun 2030 berdasarkan jenis aktivitas mitigasi

ENERGI
314 juta ton CO2e

Energi Efisiensi EBT Energi Bersih Fuel Switching AFOLU


41,76 juta ton CO2e 183,66 juta ton CO2e 74,00 juta ton CO2e 9,59 juta ton CO2e 5,00 juta ton CO2e

Komersial Rumah tangga Industri Transportasi Industri 27,28 Power 93,71 Transportasi 62,66 Power Rumah tangga 9,59

Direct - Direct - Direct 21,41 Direct 20,35 CCT 39,34

Indirect 1,91 Indirect 25,87 Indirect 10,28 Indirect - GAS 34,66

Penghematan energi Penghematan energi Penghematan energi Penghematan energi Penambahan Pembangkit Listrik: Penambahan biofuel Pembangkit Listrik: Penambahan gas
Komersial: Rumah tangga: Industri: Transportasi: terhadap 2010 terhadap 2010 terhadap 2010
Industri: • Tenaga air Transportasi: • SC 1.770 ktoe Rumah tangga:
• Listrik 165 ktoe • Listrik 2.245 ktoe • Batu bara 3.302 ktoe • BBM 6.395 ktoe 3.993 ktoe • USC 5.978 ktoe
• BBM 586 ktoe • Penggunaan • Panas bumi • Penggunaan • PLTG & PLTGU • Penggunaan gas
• Gas 1.649 ktoe biomassa 4.775 ktoe 3.210 ktoe biofuel 20.041 ktoe Gas 7.852 ktoe dan LPG 6.610
• Listrik 892 ktoe • Penggunaan biofuel • Solar & Wind ktoe
4.92 ktoe 352 ktoe
• Biomassa
143 ktoe
• Biofuel
676 ktoe
PELAKSANAAN
STRATEGI
29
30 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-1
Rincian target penurunan emisi GRK dari kegiatan aksi mitigasi sektor energi

Kegiatan Aksi Mitigasi dan Target Rincian Aksi Mitigasi dan Target
Penurunan Emisi GRK 2030 2030

Penerapan tindakan efisiensi Penerapan tindakan efisiensi energi Penghematan energi rumah tangga:
energi. di rumah tangga dengan target • Listrik 2.245 ktoe
penurunan emisi GRK indirect 25,87
Target penurunan emisi GRK juta ton CO2e
2030 sebesar 41,76 juta ton
CO2e. Penerapan tindakan efisiensi energi Penghematan energi komersial:
komersial dengan target penurunan • Listrik 165 ktoe
emisi GRK indirect 1,91 juta ton
CO2e.

Penerapan tindakan efisiensi energi Penghematan energi industri:


industri dengan target penurunan • Batu bara 3.302 ktoe
emisi GRK 21,41 juta ton CO2e dan • BBM 586 ktoe
penurunan emisi GRK indirect 10,28 • Gas 1.649 ktoe
juta ton CO2e. • Listrik 892 ktoe

Penerapan tindakan efisiensi Penghematan energi transportasi:


energi transportasi dengan target BBM 6.395 ktoe
penurunan emisi GRK 20,35 juta ton
CO2e

Penggunaan EBT (Energi Baru Penggunaan EBT untuk kegiatan Penambahan penggunaan
Terbarukan). industri dengan target penurunan biomassa dan BBN dibanding 2010:
emisi GRK 27,28 juta ton CO2e 4.775 ktoe dan 4.792 ktoe.
Target penurunan emisi GRK
2030 sebesar 183,66 juta ton Penggunaan EBT untuk pembangkit Produksi listrik EBT:
CO2e. listrik dengan target penurunan • PLTA 3.933 ktoe
emisi GRK 93,71 juta ton CO2e • PLTP 3.210 ktoe
• PLT Surya & Bayu 352 ktoe
• PLT Biomassa 143 ktoe
• PLT BBN 676 ktoe

Penggunaan EBT untuk transportasi Penambahan penggunaan biofuel


dengan target penurunan emisi dibanding 2010: 20.041 ktoe
GRK 62,66 juta ton CO2e

Penerapan teknologi Pembangkit listrik menggunakan • Pembangkit Listrik CCT super


pembangkit listrik energi bersih. clean coal technology (CCT) dengan critical sebesar 1.777 ktoe
target penurunan emisi GRK 39,34 • Pembangkit Listrik CCT ultra
Target penurunan emisi GRK
juta ton CO2e super critical (USC) sebesar
2030 sebesar 74,00 juta ton
5.978 ktoe
CO2e.

Power gas dengan target PLTG dan PLTGU Gas 7.852 ktoe
penurunan emisi GRK 34,66 juta ton
CO2e

Fuel Switching Penggantian minyak tanah dengan Penambahan penggunaan gas di


Target penurunan emisi GRK gas di rumah tangga dengan target rumah tangga dibanding 2010:
2030 sebesar 9,59 juta ton CO2e. penurunan emisi GRK sebesar 9,59 6.610 ktoe
juta ton CO2e

Reklamasi lahan bekas tambang Target penurunan emisi GRK 5 juta


sektor energi (diperhitungkan di ton CO2e
sektor AFOLU)
STRATEGI
PELAKSANAAN 31

4.1.2 Aksi-aksi Mitigasi


Merujuk Gambar 4-6 dan Tabel 4-1 pada Sub-Bab 4.1.1, aksi mitigasi di sektor energi (di luar reklamasi
lahan bekas tambang) mencakup efisiensi energi, energi baru dan terbarukan, energi bersih (bahan bakar
dan teknologi rendah karbon) di sisi pembangkit listrik dan penggantian bahan bakar yang lebih rendah
emisi di rumah tangga. Aksi-aksi mitigasi tersebut diimplementasikan ke dalam subsektor energi yang
merupakan sumber emisi GRK signifikan, yaitu subsektor produksi energi, subsektor transportasi dan
subsektor pengguna energi (selain subsektor transportasi). Berikut penjelasan aksi-aksi mitigasi dan
target penurunan emisi GRK pada setiap subsektor.

Efisiensi Energi

Aksi-aksi yang akan dilakukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi meliputi peningkatan
efisiensi peralatan energi di sisi pengguna akhir maupun di sisi penyediaan energi dan peningkatan
efisiensi sistem transportasi dengan mendorong penggunaan transportasi massal. Dalam hal
peningkatan efisiensi peralatan dan sistem penggunaan energi measure yang akan dilakukan adalah
menerbitkan standar efisiensi (labelling) dan building codes. Dengan adanya standar efisiensi maka
peralatan yang ada di pasar dan digunakan masyarakat adalah peralatan yang efisien. Penerapan build-
ing codes akan dapat menjamin bahwa gedung-gedung baru yang dibangun adalah gedung yang hemat
energi.

Standar efisiensi yang telah diterbitkan diantaranya adalah untuk lampu hemat energi, air conditioning,
refrigerator dan motor listrik industri. Building codes yang telah diterbitkan adalah untuk gedung
perkantoran dan komersial di Jakarta. Penerbitan building codes akan dilanjutkan untuk kota-kota besar
lainnya seperti Bandung, Surabaya dan Medan. Peningkatan efisiensi sistem transportasi akan dilakukan
melalui: penyediaan transportasi massal berupa bus dan kereta api di beberapa kota besar seperti
Jakarta, Palembang, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta, peningkatan efisiensi melalui manajemen
transportasi seperti pengaturan ganjil-genap, ERP, e-toll, pengaturan traffic light yang efisien, manajemen
lapangan terbang dan pelabuhan laut, pengalihan angkutan barang dari truk ke kereta api. Untuk
meningkatkan efisiensi pada sistem penyediaan tenaga listrik akan dilakukan upaya-upaya pengurangan
susut jaringan. Peningkatan efisiensi ditargetkan akan menghasilkan efisiensi penggunaan energi di tahun
2025 sebesar 5% di subsektor rumah tangga, 5% di subsektor transportasi, 6% di subsektor industri dan
1% di subsektor komersial. Untuk mendorong pelaksanaan peningkatan efisiensi energi di industri akan
dilakukan kegiatan diseminasi informasi dan pelatihan dan penyediaan insentif pendanaan awal (audit
energi) dan pemberian penghargaan (award).

Para pihak yang akan berperan dalam implementasi aksi mitigasi melalui efisiensi energi adalah
Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan,
Pemerintah Daerah, pihak swasta dan masyarakat.
32 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Energi Baru dan Terbarukan (EBT)

Energi terbarukan yang akan dikembangkan adalah biofuel untuk transportasi dan pembangkit listrik
dan sistem-sistem pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan. Pembangkit listrik energi
terbarukan yang akan dibangun adalah jenis pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), pembangkit
listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga bayu (angin)
(PLTB), pembangkit listrik tenaga bioenergi (biomassa, biogas, sampah), pembangkit listrik berbahan
bakar CPO. Di samping itu juga akan dilakukan penggunaan biomassa sebagai bahan bakar campuran
pada PLTU batu bara. Untuk mendorong pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan, pemerintah
menerbitkan peraturan harga listrik yang menarik bagi investor diantaranya melalui sistem feed-in tariff.
Jenis biofuel yang dikembangkan adalah biodiesel dari sawit dan sumber-sumber nabati lainnya seperti
jarak pagar, kemiri sunan dan nyamplung, serta bioetanol.

Para pihak yang berperan dalam implementasi aksi mitigasi EBT adalah Kementerian ESDM, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Pertamina, PLN, dan Non-PS
(Independent Producer, swasta dan masyarakat).

Penggunaan Bahan Bakar Rendah Karbon

Penurunan emisi GRK melalui penggunaan bahan bakar rendah karbon akan dilakukan dengan cara
substitusi bahan bakar yang memiliki kandungan karbon tinggi (BBM dan batu bara) dengan gas alam dan
LPG. Penggunaan minyak tanah di rumah tangga di beberapa wilayah Indonesia timur akan digantikan
LPG. Adanya jaringan gas akan mengurangi penggunaan minyak tanah dan LPG di rumah tangga.
Substitusi LPG oleh gas alam yang disalurkan melaui jaringan gas bukan dimaksudkan untuk penurunan
emisi GRK melainkan untuk mengurangi beban impor LPG.

Penggunaan minyak solar pada beberapa PLTD akan disubstitusi oleh gas alam. Total kapasitas PLTD-
solar yang akan dikonversi menjadi PLTD-gas adalah 1.957 MW. Pembangunan pembangkit baru
berbahan bakar gas akan diprioritaskan dibandingkan pembangkit batu bara.

Para pihak yang akan berperan dalam implementasi aksi mitigasi kategori penggunaan energi rendah
karbon adalah Kementerian ESDM, Pemerintah Daerah, industri penyedia gas, PLN, dan pihak swasta dan
masyarakat.

CCS/CCUS

Di samping aksi-aksi mitigasi sektor energi yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat aksi mitigasi yang
sangat signifikan dalam menurunkan emisi GRK pada sektor energi melalui implementasi CCS/CCUS
(Carbon Capture and Storage/Carbon Capture Utilization and Storage) pada kegiatan produksi migas hulu.
Aksi mitigasi ini akan dijelaskan pada subsektor produksi energi di Migas Hulu.
STRATEGI
PELAKSANAAN 33

4.1.2.1 Subsektor Produksi Energi

Pembangkit Listrik

Subsektor pembangkit merupakan salah satu emitter utama di sektor energi. Emisi subsektor pembangkit
berasal dari pembakaran bahan bakar pembangkit yaitu batu bara, minyak dan gas bumi. Aksi mitigasi di
subsektor pembangkit terdiri atas 4 kelompok aksi yaitu clean coal technology, peningkatan penggunaan
pembangkit energi terbarukan, peningkatan penggunaan pembangkit berbahan bakar yang lebih rendah
karbon dan peningkatan efisiensi pembangkit. Selain aksi mitigasi di sisi penyediaan, dilakukan juga aksi
mitigasi di sisi pengguna (demand side) yaitu peningkatan efisiensi penggunaan energi listrik melalui
peningkatan penggunaan peralatan-peralatan yang hemat energi dan rekayasa sistem demand yang lebih
hemat energi.

Aksi mitigasi kategori clean coal technology (CCT) diharapkan dapat mengurangi emisi GRK sebesar
39,34 juta ton CO2e di tahun 2030. Aksi mitigasi kategori ini dipilih karena Indonesia memiliki cadangan
batu bara yang cukup besar sehingga pembangkit listrik Indonesia masih mengandalkan batu bara. Untuk
mengurangi emisi GRK, teknologi pembangkit yang akan digunakan adalah pembangkit jenis supercritical
(efisiensi 37-40%), ultra super critical (efisiensi 43%) dan IGCC (efisiensi 45-48%). Hingga tahun 2030,
pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dengan teknologi clean coal ditargetkan
mencapai 11.751 MW. Rencana pemanfaatan clean coal technology diperlihatkan pada Gambar 4-7.

Gambar 4-7
Rencana pemanfaatan Clean Coal Technology

USC,η=43% IGCC,η=45-48%

SC & USC IGCC & CCS

2020 2026 2030


USC 11.751 MW

1. PLTU Jawa - 5 (Banten) 1x1000 MW COD 2022


2. PLTU Indramayu - 4 1x1000 MW COD 2026
3. PLTU Jawa - 1 (Cirebon) 1x924 MW COD 2022
4. PLTU Jawa - 4 (Jepara) 1x1000 MW COD 2021
5. PLTU Jawa Tengah (Batang) 1x950 MW COD 2020
6. PLTU Jawa - 7 (Bojonegara) 1x991 MW COD 2020
7. PLTU Jawa - 9 (Banten) 1x1000 MW COD 2023
8. PLTU Jawa - 10 (Banten) 1x1000 MW COD 2023
9. PLTU Jawa - 8 (Cilacap) 1x1000 MW COD 2020
34 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Pembangkit listrik berbahan bakar energi terbarukan dan berbahan bakar yang lebih rendah karbon
yang akan ditingkatkan pemanfaatannya adalah: PLTPB (panas bumi), PLTA/PLTMH (tenaga air), PLTS
(tenaga surya), PLTBn (bahan bakar nabati), PLTBm (biomassa) dan PLTB (tenaga bayu/angin). Rencana
penambahan pembangunan pembangkit berbahan bakar energi terbarukan, berdasarkan Kementerian
ESDM, diperlihatkan pada Tabel 4-2 sampai dengan Tabel 4-7. Dengan penambahan pembangkit
tersebut, proyeksi perkembangan kapasitas pembangkit skenario baseline dan skenario mitigasi
diperlihatkan pada Gambar 4-8 dan proyeksi emisi kedua skenario tersebut diperlihatkan pada Gambar
4-9.

Tabel 4-2
Rencana pembangunan PLT panas bumi

Tahun Target Penambahan (MW) Target Kapasitas Terpasang (MW)

2020 140 2.273,5

2021 80 2.353,5

2022 132 2.485,5

2023 310 2.785,5

2024 355 3.150,5

2025 3.160 6.310,5

Tabel 4-3
Rencana pembangunan PLTA, PLTM, PLTMH, pump storage

Tahun Target Penambahan (MW) Target Kapasitas Terpasang (MW)

2020 564 5.796,64

2021 1.234 7.030,64

2022 200 7.230,64

2023 350 7.580,64

2024 1.716 9.296,64

2025 3.074 12.370,64

Tabel 4-4
Rencana pembangunan PLTS

Tahun Target Penambahan (MW) Target Kapasitas Terpasang MW)

2020 78,5 166,69

2021 219,3 385,99

2022 129 514,99

2023 160,3 675,29

2024 3,7 678,99

2025 250 928,99


STRATEGI
PELAKSANAAN 35

Tabel 4-5
Rencana pembangunan PLT Bayu

Tahun Target Penambahan (MW) Target Kapasitas Terpasang (MW)

2020 0 71,07

2021 30 101,1

2022 360 461,1

2023 260 721,1

2024 50 771,1

2025 150 921,1

Tabel 4-6
Rencana pembangunan PLT Bioenergi (biomassa, biogas, sampah)

Penambahan kapasitas (MW)


Kumulatif
Jenis PLT penambahan
s.d. 2025 (MW)
2020 2021 2022 2023 2024 2025

PLT Bio 62 55,2 70 39,8 102,6 4 333,6

PLTSa 12,5 0 234 0 0 10 258,5

PLTBn CPO 5 0 0 0 0 0 5

PLTBm 50,7 15 52,9 5 0 5 132,1

PLTBg 8,5 0 0 5 0 0 19,9

Total 138,7 70,2 356,9 49,8 102,6 19 749

Tabel 4-7
Rencana pembangunan PLT CPO

Target
Tahun Target Penambahan Kapasitas (MW)
Kapasitas Terpasang (MW)

2020 738,8 783,0

2021 108,8 891,8

2022 108,8 1.000,6

2023 108,8 1.109,4

2024 108,8 1.218,2

2025 110,5 1.328,7


36 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4-8
Proyeksi produksi energi listrik berdasarkan jenis energi di pembangkit

600
TWh

500
BBN
Geotermal
400
Biomassa
300 Surya dan Angin
Hidro
200 Gas
Minyak
100
Batu bara

CM2
CM1

CM1

CM2

CM1

CM2

CM1
Baseline
Baseline

Baseline

Baseline

2010 2015 2020 2025 2030

Gambar 4-9
Proyeksi emisi GRK pembangkit pada berbagai skenario

700

600

500
Juta Ton CO2e

400

300

200

100

-
Baseline CM1 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2

2010 2015 2020 2025 2030


STRATEGI
PELAKSANAAN 37

Selain pembangunan pembangkit energi terbarukan skala utilitas (power plant), akan dikembangkan pula
infrastruktur sistem-sistem energi terbarukan skala lebih kecil untuk penyediaan listrik maupun non
listrik. Rencana pembangunan infrastruktur EBT tersebut diperlihatkan pada Tabel 4-8 sampai dengan
Tabel 4-10.

Tabel 4-8
Rencana pembangunan infrastruktur EBT (jumlah unit)

Unit
No. Kegiatan Infrastruktur
2020 2021 2022 2023 2024 2025

1 Pemasangan LTSHE @20 Wp - - - - - -

2 Penerangan Jalan Umum dengan PV (PJUTS) 50 50 50 50 50 50


@200Wp

3 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) - - - - - -


Terpusat di Kawasan 4T*

4 Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro 7 - - - - -

5 PLTS Rooftop 800 800 800 800 800 800

6 PLTS Rooftop Usulan Markas Besar TNI (PKS 2 6 - - - - -


tahun)

7 PLTS Pos Jaga TNI AD (PKS 2 tahun) 22 - - - - -

8 PLTS Pos Jaga TNI AL (PKS 2 tahun) 22

9 PLTS Pos Pengamat Gunung Api 20 - - - - -

10 Revitalisasi PLT EBT 32 - - - - -

Non Listrik

11 Pembangunan Biogas Komunal @12m3* - - - - - -

* Program dilaksanakan sebelum tahun 2020

Tabel 4-9
Rencana pembangunan infrastruktur EBT (kapasitas)

Energi (Kapasitas)
No. Kegiatan Infrastruktur
2020 2021 2022 2023 2024 2025

Listrik

1 Pemasangan LTSHE @20 Wp (MWp)* - - - - - -

2 Penerangan Jalan Umum dengan PV (PJUTS) 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0
@200Wp (MWp)

3 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terpusat - - - - - -


di Kawasan 4T (MWp)*

4 Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (MW) 0,07 - - - - -

5 PLTS Rooftop (MWp) 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0

- PLTS Rooftop Usulan Markas Besar TNI 0,15 - - - - -


(PKS 2 tahun) (MWp)
38 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Energi (Kapasitas)
No. Kegiatan Infrastruktur
2020 2021 2022 2023 2024 2025

- PLTS Pos Jaga TNI AD (PKS 2 tahun) (MWp) 0,22 - - - - -

- PLTS Pos Jaga TNI AL (PKS 2 tahun) (MWp)* - - - - - -

6 Pembangunan PLTS Pos Pengamat Gunung Api 0,04 - - - - -

7 Revitalisasi PLT EBT* - - - - - -

TOTAL (MW) 20,48 20,0 20,0 20,0 20,0 20,00

Non Listrik

8 Pembangunan Biogas Komunal @12m3* - - - - - -

Pembangunan Biogas Komunal (BOE)* - - - - - -

Kumulatif Kapasitas Biogas Komunal (BOE) 225,0 225,0 225,0 225,0 225,0 225,0

* Program dilaksanakan sebelum tahun 2020

Tabel 4-10
Rencana pembangunan infrastruktur EBT (produksi energi)

Kegiatan Produksi Energi (Wh)


No.
Infrastruktur 2020 2021 2022 2023 2024 2025
1 Pemasangan - - - - - -
LTSHE @20 Wp
2 Penerangan Jalan 14.600.000 14.600.000 14.600.000 14.600.000 14.600.000 14.600.000
Umum dengan PV
(PJUTS) @200Wp
3 Pembangkit
Listrik Tenaga
Surya (PLTS)
Terpusat di
Kawasan 4T
4 Pembangkit
Listrik Tenaga
Mikro Hidro
5 Pembangunan
Biogas Komunal
@12m3
6 PLTS Rooftop 14.600.000 14.600.000 14.600.000 14.600.000 14.600.000 14.600.000
7 PLTS Rooftop Usu- 219 - - - - -
lan Markas Besar
TNI (PKS 2 tahun)
8 PLTS Pos Jaga TNI 321,2 - - - - -
AD (PKS 2 tahun)
9 PLTS Pos Jaga TNI
AL (PKS 2 tahun)
10 Pembangunan 58,4 - - - - -
PLTS Pada Pos
Pengamat Gunung
Api
11 Total 29.798.600 29.200.000 29.200.000 29.200.000 29.200.000 29.200.000
STRATEGI
PELAKSANAAN 39

Untuk mendorong peningkatan pemanfaatan EBT di subsektor pembangkit listrik, diperlukan


pengembangan dan penerapan renewable energy portfolio standard di subsektor pembangkit listrik.

Penyediaan Bahan Bakar Nabati (BBN)

Dalam upaya mitigasi emisi GRK dari kegiatan transportasi Indonesia akan melakukan substitusi bahan
bakar minyak (fosil) dengan BBN hasil produksi dalam negeri. Rencana pengembangan BBN diperlihatkan
pada Tabel 4-11.

Tabel 4-11
Rencana pengembangan BBN

Produksi BBN (juta kL) 2020 2021 2022 2023 2024 2025

Biodiesel (30%) 14,37 14,86 15,36 16,11 16,87 17,85

Co-Processing Biohidrokarbon*)            

Green-Gasoline 0,5 0,9 0,9 1,5 1,5 1,5

Green-Diesel 0,2 0,2 0,5 0,5 0,5 0,5

Green-Avtur 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1

Standalone Biohidrokarbon*)

Green-Diesel 0 0 1 2 2 2

TOTAL 15,17 16,06 17,86 20,21 20,97 21,95

Potensi Mitigasi Lainnya di Subsektor Produksi Energi

Selain aksi-aksi mitigasi yang telah dikemukakan terdahulu, masih terdapat potensi aksi mitigasi
lainnya di sektor energi, yaitu: (i) pengurangan gas-gas fugitive di lapangan migas melalui housekeeping
untuk mengurangi kebocoran pada peralatan penanganan migas dan kegiatan menuju zero flaring dan
venting, (ii) pengurangan pelepasan gas CO2 dari sistem pemurnian gas di lapangan migas dengan cara
penangkapan gas CO2 untuk selanjutnya diinjeksikan ke reservoir untuk keperluan Enhanced Oil Recovery
(EOR), dinamakan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dan/atau penyimpanan CO2 di formasi
geologi (Carbon Capture and Storage atau CCS), (iii) implementasi CCUS atau CCS terhadap gas hasil
pembakaran pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

Pilot plant untuk CCS di Lapangan Sukowati yang akan menginjeksikan CO2 sebesar 300 ton per hari dan
ditargetkan menjadi full scale tahun 2027 dengan menginjeksikan CO2 sebesar 6.000 ton/hari. Pada pilot
plant ini, CO2 berasal dari central processing plant (CPP) Gundhih – Pertamina.

Kegiatan menuju zero flaring dan venting dimulai dengan memperkenalkan program Zero Routine Flaring
(ZRF) yang pada saat ini sedang dilaksanakan SKK Migas dengan pemberian penghargaan peringkat bagi
perusahaan yang berhasil melaksanakan zero routine flaring.
40 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.1.2.2 Subsektor Transportasi


Emisi GRK subsektor transportasi berasal dari (i) pembakaran bahan bakar fosil, yaitu bahan bakar minyak
(BBM) dan bahan bakar gas (BBG) dan (ii) tenaga listrik. Jenis GRK yang dihasilkan dari pembakaran
bahan bakar fosil terutama adalah gas CO2 dan sedikit gas CH4 dan N2O. Jenis GRK yang dihasilkan dari
penggunaan listrik di kereta rel listrik (KRL) dan mass rapid transit (MRT), menghasilkan emisi GRK tidak
langsung (indirect emision) yang terjadi di pembangkit listrik.

Tren data aktivitas pada skenario baseline pada dasarnya meneruskan sistem transportasi, teknologi, dan
bahan bakar sebagaimana yang terjadi pada base year (2010). Aksi mitigasi subsektor transportasi terdiri
atas 2 kelompok besar, yaitu (i) peningkatan efisiensi sistem transportasi (peralatan dan pengembangan
moda transportasi massal) dan (ii) substitusi bahan bakar fosil oleh bahan bakar terbarukan dan bahan
bakar rendah karbon.

Peningkatan efisiensi sistem transportasi meliputi:

•• peningkatan penyediaan dan pemanfaatan fasilitas transportasi massal, yaitu bus rapid transit (BRT),
mass rapid transit (MRT), light rapid transit (LRT), dan kereta api (KA)
•• peningkatan efisiensi peralatan transportasi melalui peremajaan kendaraan,
•• mendorong pemanfaatan kendaraan bermotor listrik, yaitu kendaraan berbahan bakar listrik (KBL)
dan LCEV (dengan catatan listrik yang digunakan rendah karbon)
•• mendorong pemanfaatan kendaraan hemat energi, yaitu LCGC (Low Cost Green Car)
•• peningkatan efisiensi manajemen transportasi darat dengan menerapkan peraturan ganjil genap,
Area Traffic Control System (ATCS), Performance Based Navigation (PBN)
•• peningkatan efisiensi kapal laut dengan menerapkan program Energy Efficiency Design Index (EEDI, Ship
Energy Efficiency Management Plan (SEEMP)
•• peningkatan infrastruktur Double track kereta api Pantura
•• peningkatan penggunaan kereta api untuk angkutan barang (pindah dari truk ke kereta api)
•• pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP)

Peningkatan penggunaan bahan bakar rendah emisi, melalui

•• peningkatan pemanfaatan kendaraan BBG untuk menggantikan BBM


•• penyediaan bahan bakar dengan bilangan oktan lebih tinggi dari RON 88
•• peningkatan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) menggantikan BBM

Target penurunan emisi GRK dari aksi-aksi mitigasi di subsektor transportasi ditargetkan mencapai sekitar
40 juta ton CO2e di tahun 2030. Sebagian besar penurunan emisi akan dihasilkan dari substitusi BBM oleh
BBN. Kontribusi penurunan emisi GRK dari masing-masing aksi diperlihatkan pada Gambar 4-10.
STRATEGI
PELAKSANAAN 41

Gambar 4-10
Potensi penurunan emisi GRK dari aksi mitigasi subsektor transportasi untuk skenario
mitigasi CM1

40 Penghijauan bandara
PJU+PLTS
35
SBNP
Potensi Mitigasi GRK

30 Double track KA pantura


Efisiensi kapal (EEDI+SEEMP)
(Juta ton CO2e)

25 Taksi (smart drive)


Angkutan barang truk ke kereta
20
Peremajaan pesawat
15 PBN
Angkutan massal
10 RON > 88
CNG
5
Bioavtur
0 Biofuel
2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030

4.1.2.3 Subsektor Pengguna Energi

Di samping terjadi pada subsektor produksi energi yaitu pembangkit listrik dan subsektor transportasi,
emisi GRK juga terjadi di subsektor penggunaan energi lainnya yaitu penggunaan energi di subsektor
industri, subsektor komersial dan subsektor rumah tangga. Emisi tersebut terjadi akibat pembakaran
bahan bakar fosil untuk keperluan penyediaan energi termal (memasak, produksi kukus dll.). Di samping
itu ada juga penggunaan bahan bakar untuk produksi listrik untuk penggunan sendiri baik di industri
maupun subsektor komersial.

Proyeksi emisi GRK dari penggunaan energi bergantung pada proyeksi penggunaan energi dan jenisnya.
Untuk skenario baseline diasumsikan bahwa perkembangan penggunaan energi dan jenisnya mengikuti
tren yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Aksi-aksi mitigasi di sisi pengguna energi terutama peningkatan efisiensi energi, baik melalui penggunaan
peralatan hemat energi maupun pengembangan sistem-sistem energi yang lebih efisien, seperti
penggunaan panas buang (waste heat recovery and utilization) dan sistem cogeneration (listrik dan termal).
Di samping itu, terdapat aksi mitigasi melalui substitusi bahan bakar, dari yang tinggi kandungan
karbon menjadi yang lebih rendah karbon (mitan ke LPG atau gas alam). Proyeksi konsumsi energi di sisi
pengguna (di luar subsektor transportasi) untuk skenario baseline dan mitigasi disampaikan pada Gambar
4-11 dan Gambar 4-12.
42 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4-11
Proyeksi konsumsi energi subsektor pengguna (tidak termasuk subsektor
transportasi) untuk skenario baseline dan mitigasi

250
Industri

200 Rumah Tangga

Komersial
150
Juta Toe

100

50

-
Baseline CM1 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2

2010 2015 2020 2025 2030

Gambar 4-12
Proyeksi konsumsi per jenis energi pada subsektor pengguna energi (tidak
termasuk subsektor transportasi) untuk skenario baseline dan mitigasi

250
Listrik
Biomassa
200
Gas
Minyak
150
Juta Toe

Batu bara

100

50

-
Baseline CM1 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2

2010 2015 2020 2025 2030


STRATEGI
PELAKSANAAN 43

Berdasarkan proyeksi penggunaan energi tersebut telah dihitung proyeksi emisi GRK untuk skenario
baseline dan skenario mitigasi (Gambar 4-13 dan Gambar 4-14). Dapat dilihat pada gambar tersebut
bahwa penurunan emisi GRK yang signifikan terdapat pada subsektor industri dan subsektor rumah
tangga. Dari segi jenis energi, penurunan yang signifikan terdapat pada penggunaan listrik akibat efisiensi
energi dan perbaikan faktor emisi GRK pembangkit listrik.

Gambar 4-13
Proyeksi emisi GRK subsektor pengguna (tidak termasuk subsektor transportasi)
untuk skenario baseline dan mitigasi

1.200
Industri
1.000
Rumah Tangga

Komersial
800
Juta ton CO 2e

600

400

200

-
Baseline CM1 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2

2010 2015 2020 2025 2030

Gambar 4-14
Proyeksi emisi GRK subsektor pengguna energi berdasarkan jenis bahan bakar
(tidak termasuk subsektor transportasi) untuk skenario baseline dan mitigasi

1.200
Listrik

1.000 Biomassa

Gas
800
BBM
Juta ton CO 2e

Batu bara
600

400

200

-
Baseline CM1 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2

2010 2015 2020 2025 2030


44 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Energi di Industri

Pada subsektor industri terdapat dua kelompok jenis aksi mitigasi terkait penggunaan energi, yaitu
tindakan-tindakan efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan terutama biomassa. Pada Gambar
4-15 berikut ini disampaikan proyeksi penggunaan energi final di industri.

Gambar 4-15
Proyeksi penggunaan energi final di industri skenario
baseline dan mitigasi

160
Konsumsi Energi Final (Juta toe)

140

120

100 BBN
Listrik
80
Biomassa
60 Gas
Minyak
40
Batu bara
20

-
Baseline CM1 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2 Baseline CM1 CM2
2010 2015 2020 2025 2030

Gambar 4-16
Potensi penurunan emisi subsektor penggunaan
energi di industri tahun 2030

30

25
Biomassa Efisiensi Energi
juta ton CO 2e

20

15

10

-
Semen Pupuk Pulp & Tekstil Besi Ke ramik & Makanan Kimia Industri
Kertas & Baja Kaca & Minuman lainnya
STRATEGI
PELAKSANAAN 45

Merujuk Gambar 4-15 dapat dilihat potensi penurunan emisi GRK kegiatan mitigasi terkait penggunaan
energi di industri adalah sekitar 56 juta ton di tahun 2030. Rincian target penurunan per jenis industri
utama dan jenis aksi mitigasi diperlihatkan pada Gambar 4-16. Nampak bahwa mitigasi melalui efisiensi
energi sangat berpotensi untuk diimplementasikan disemua industri sedangkan penggunaan biomassa
(kayu/arang kayu, limbah domestik atau RDF, limbah pertanian, dan lain-lain) sangat potensial diimple-
mentasikan di industri pulp-kertas, industri makanan dan minuman, industri semen, industri CPO, dan
industri lainnya.

4.1.3 Kesenjangan (Gap) Capaian Penurunan Emisi GRK Sektor Energi


Untuk mengetahui capaian aksi mitigasi sektor energi hingga saat ini telah dihitung dan dibandingkan
tingkat emisi saat ini yang tercatat oleh inventarisasi dengan tingkat emisi baseline sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 4-17. Dapat dilihat bahwa hasil inventarisasi emisi 2013-2016 sudah lebih
rendah dari emisi baseline pada tahun-tahun tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa aksi-aksi mitigasi
telah menghasilkan penurunan emisi GRK. Apabila tren tersebut dapat dipertahankan maka dapat
diharapkan bahwa target penurunan sebesar 314 juta ton CO2e di tahun 2030 akan dapat tercapai.

Gambar 4-17
Status penurunan emisi GRK sektor energi periode 2010-2016

1.800
1.600
1.400

1.200
Juta ton CO2e

Transportasi
1.000
Pembangkit
800
Industri
600
Perumahan
400
Komersial
200
Baseline
-
2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

2019

2020

2021

2022

2023

2024

2025

2026

2027

2028

2029

2030
46 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.1.4 Kelembagaan Implementasi, Pemantauan, dan Pelaporan Aksi Mitigasi


Subsektor Pembangkit Listrik

Para pihak yang akan berperan dalam implementasi aksi mitigasi subsektor pembangkit adalah
Kementerian ESDM, PLN dan Independent Producers. Detail dari jenis-jenis aksi mitigasi subsektor
pembangkit listrik berikut bentuk aksi, penanggung jawab, pelaksana, pendanaan, pemantauan,
pelaporan dan verifikasinya disampaikan pada Tabel 4-12 hingga Tabel 4-13.

Subsektor Transportasi

Detail dari jenis-jenis aksi mitigasi subsektor transportasi berikut bentuk aksi, penanggung jawab,
pelaksana, pendanaan, pemantauan, pelaporan dan verifikasinya disampaikan pada Tabel 4-14 hingga
Tabel 4-25.

Subsektor Penggunaan Energi Selain Transportasi

Detail dari jenis aksi di sisi subsektor pengguna energi selain transportasi berikut penanggung jawab
aksi, pelaksana aksi, pendanaan, pemantauan, pelaporan dan verifikasinya disampaikan pada Tabel 4-26
sampai Tabel 4-29.

Tabel 4-12
Rincian aksi mitigasi subsektor pembangkit listrik: jenis aksi, penanggung jawab, dan
pelaksana implementasi

Penanggung Jawab Pelaksana/


Nama Aksi Bentuk Aksi
Aksi implementasi

Energi Terbarukan  

• Panas bumi Regulasi, Investasi KemenESDM/ BUMN/Swasta


infrastruktur KemenBUMN

• Hidro Regulasi, Investasi KemenESDM/ BUMN/Swasta


infrastruktur KemenBUMN

• Tenaga Surya Regulasi, Investasi KemenESDM/ BUMN/Swasta


infrastruktur KemenBUMN

• Tenaga Angin Regulasi, Investasi KemenESDM/ BUMN/Swasta


infrastruktur KemenBUMN

• Biofuel Regulasi, Investasi KemenESDM/ BUMN/Swasta


infrastruktur KemenBUMN

Low Carbon Emitting Power Plants 

Gas turbine/combined cycle Regulasi, Investasi KemenESDM/ BUMN/Swasta


infrastruktur KemenBUMN

Clean Coal Technology

Supercritical dan Ultra Regulasi, Investasi KemenESDM/ BUMN/Swasta


Supercritical coal infrastruktur KemenBUMN
STRATEGI
PELAKSANAAN 47

Tabel 4-13
Rincian aksi mitigasi subsektor pembangkit listrik: pendanaan, pemantauan, pelaporan dan
verifikasinya

Nama Aksi Pendanaan Pemantauan Pelaporan Verifikasi

Energi Terbarukan  

• Panas bumi APBN, Investor KemenESDM/Swasta KemenESDM/Swasta KLHK

• Hidro APBN, Investor KemenESDM/Swasta KemenESDM/Swasta KLHK

• Tenaga Surya APBN, Pemda KemenESDM/Pemda KemenESDM/Pemda KLHK

• Tenaga Angin APBN, Investor KemenESDM/Swasta KemenESDM/Swasta KLHK

• Biofuel APBN, Investor KemenESDM/Swasta KemenESDM/Swasta KLHK

Low Carbon Emitting Power Plants 

Gas turbine/
APBN, Investor KemenESDM KemenESDM/Swasta KLHK
combined cycle

Clean Coal Technology

Supercritical dan
Ultra Supercritical APBN, Investor KemenESDM KemenESDM/Swasta KLHK
coal

Tabel 4-14
Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi jenis, penanggung jawab, dan pelaksana
implementasi aksi mitigasi

Penanggung Jawab Pelaksana/


Nama Aksi Jenis Aksi
Aksi implementor

Efisiensi sistem transportasi:  

• Busway Investasi infrastruktur Kemenhub/Pemda BUMN/Swasta

• MRT Investasi infrastruktur Kemenhub/Pemda BUMN/Swasta

• LRT Investasi infrastruktur Kemenhub/Pemda BUMN/Swasta

• Kereta api Investasi infrastruktur  Kemenhub/Pemda BUMN/Swasta

Efisiensi peralatan Peraturan (Pembatasan Perusahaan transportasi,


Kemenhub
transportasi Umur Kendaraan) pemilik kendaraan

Green Car (mobil hemat Peraturan, investasi


Kemenperin/Kemenhub Produsen mobil/swasta
energi/mobil listrik) infrastruktur fabrikasi

Peningkatan efisiensi Regulasi, Investasi


manajemen transportasi: infrastruktur untuk Kemenhub/Pemkot Kemenhub/Pemkot
ganjil genap-ATCS-PBN ATCS-PBN
48 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Penanggung Jawab Pelaksana/


Nama Aksi Jenis Aksi
Aksi implementor

Bahan bakar rendah emisi karbon

Kendaraan berbahan Investasi infrastruktur,


KemenESDM Pertamina
bakar gas promosi, insentif

Investasi infrastruktur
Kendaraan berbahan
distribusi, promosi, KemenESDM Produsen BBN
bakar BBN (biofuel)
insentif

Peningkatan bilangan Regulasi dan investasi


KemenESDM Pertamina
oktan (RON > 88) infrastruktur

• Kendaraan bermotor
listrik (KBL)-dengan
listrik yang rendah Regulasi dan investasi
Kemenhub/KemenESDM/ Produsen mobil listrik,
karbon infrastruktur, promosi,
Kemenperin pemilik kendaraan listrik
(faktor emisi rendah) insentif
• Low Carbon Emission
Vehicle (LCEV)

Tabel 4-15
Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, termasuk elemen pendanaan, pemantauan,
pelaporan dan verifikasi

Nama Aksi Pendanaan Pemantauan Pelaporan Verifikasi

Efisiensi sistem transportasi:

• Busway APBN Kemenhub/Pemda Kemenhub/Pemda KLHK

• MRT APBN Kemenhub/Pemda Kemenhub/Pemda KLHK

• LRT APBN Kemenhub/Pemda Kemenhub/Pemda KLHK

• Kereta api APBN Kemenhub/Pemda Kemenhub/Pemda KLHK

Efisiensi peralatan
APBN Kemenhub/Pemda Kemenhub/Pemda KLHK
transportasi

Green Car (mobil hemat


Swasta Kemenhub/Pemda Kemenhub/Pemda KLHK
energi/mobil listrik)

Peningkatan efisiensi
manajemen transpor-
APBN Kemenhub/Pemda Kemenhub/Pemda KLHK
tasi: ganjil genap-ATCS-
PBN
STRATEGI
PELAKSANAAN 49

Nama Aksi Pendanaan Pemantauan Pelaporan Verifikasi

Bahan bakar rendah emisi karbon

• Kendaraan
KemenESDM/
berbahan bakar APBN, publik KemenESDM KLHK
Pertamina
Gas

• Kendaraan
KemenESDM/
berbahan bakar APBN, publik KemenESDM KLHK
Pertamina
BBN (biofuel)

• Peningkatan
KemenESDM/
bilangan oktan APBN KemenESDM KLHK
Pertamina
(RON > 88)

• Kendaraan bermo-
tor listrik (KBL)-
dengan listrik yang Kemenperin_
Industri KemenESDM KLHK
rendah karbon KemenESDM
• Low Carbon Emis-
sion Vehicle (LCEV)

Tabel 4-16
Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, penanggung jawab, dan pelaksana

Sub Penanggung Jawab Pelaksana/


Nama Aksi Bentuk Aksi
sektor Aksi Implementor/ Operator

Operasionalisasi Implementasi layanan


Ditjen Kereta Api
Kereta Penumpang transportasi PT KAI
Kemenhub
Jarak Jauh penumpang

PT KAI membawahi 6
operator:
• KALOG
• Jatim Petroleum
Kereta Transport (JPT)
Api • Buana Kontenindo
Operasionalisasi Implementasi layanan Ditjen Kereta Api Ekspres (BKE)
Kereta Api Barang pengantaran barang Kemenhub • Bumi Wijaya Indorail
(BWI)
• Varia Usaha
• Krakatau Bandar
Samudera (KBL)
• Bintang Laut
Platinum (BLP)

Operasionalisasi Implementasi layanan


Ditjen Kereta Api PT KAI/PT. Kereta
Kereta Api Perkotaan transportasi
Kemenhub Commuter Indonesia (KCI)
Jabodetabek penumpang
50 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Sub Penanggung Jawab Pelaksana/


Nama Aksi Bentuk Aksi
sektor Aksi Implementor/ Operator

Pemanfaatan Jalur Implementasi layanan


Ditjen Kereta Api
Ganda Lintas Utara penumpang dan PT KAI
Kemenhub
Jawa pengantaran barang

Implementasi
Efisiensi Lokomotif PT KAI PT KAI/ PT INKA
peremajaan lokomotif

Implementasi
Elektrifikasi
peremajaan kereta PT KAI PT KAI
Kereta Api
api

Tabel 4-17
Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi termasuk elemen pendanaan, pemantauan,
pelaporan dan verifikasi

Sub Pemantauan/
Nama Aksi Pendanaan Pelaporan Verifikasi
sektor Monitoring

Operasionalisasi Infrastruktur Rel:


Kereta Kemenhub Ditjen KA
PT KAI KLHK
Penumpang Jarak Operasional: PT Kemenhub
Jauh KAI

Infrastruktur Rel:
Operasionalisasi
Kemenhub Ditjen KA
Kereta Api PT KAI KLHK
Operasional: PT Kemenhub
Barang
KAI

Operasionalisasi Infrastruktur Rel:


Kereta Api Kemenhub Ditjen KA
Kereta PT KAI KLHK
Perkotaan Operasional: PT Kemenhub
Api
Jabodetabek KAI/ KCI

Infrastruktur Rel:
Pemanfaatan
Kemenhub Ditjen KA
Jalur Ganda PT KAI KLHK
Operasional: PT Kemenhub
Lintas Utara Jawa
KAI

Efisiensi Ditjen KA
Investasi: PT KAI PT KAI KLHK
Lokomotif Kemenhub

Elektrifikasi Ditjen KA
Investasi: PT KAI PT KAI KLHK
Kereta Api Kemenhub
STRATEGI
PELAKSANAAN 51

Tabel 4-18
Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, penanggung jawab, dan pelaksana

Pelaksana/
Sub Penanggung Jawab
Nama Aksi Bentuk Aksi Implementor/
sektor Aksi
Operator

Implementasi layanan
Operasionalisasi Kereta Ditjen Kereta Api PT Railink Divisi
transportasi
Api Bandara Kualanamu Kemenhub Regional 1
penumpang bandara

Operasionalisasi Kereta Implementasi layanan


Ditjen Kereta Api
Api Bandara Soekarno transportasi PT Railink Daop I Jakarta
Kemenhub
Kereta - Hatta penumpang bandara
Api Pembangunan dan Implementasi layanan
Ditjen Kereta Api
operasionalisasi MRT transportasi PT MRT Jakarta
Kemenhub
(Mass Rapid Transit) penumpang dalam kota

Pembangunan dan
Implementasi layanan Ditjen Kereta Api
Operasionalisasi LRT PT KAI
transportasi penumpang Kemenhub
(Light Rapid Transit)

Tabel 4-19
Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi termasuk elemen pendanaan, pemantauan,
pelaporan dan verifikasi

Sub Pemantauan/
Nama Aksi Pendanaan Pelaporan Verifikasi
sektor Monitoring

Operasionalisasi
Kereta Api PT KAI dan PT Ditjen KA
PT KAI KLHK
Bandara Angkasapura II Kemenhub
Kualanamu

Operasionalisasi
Kereta Api PT KAI dan PT Ditjen KA
PT KAI KLHK
Bandara Soekarno Angkasapura II Kemenhub
– Hatta

Hibah Pemerintah
Kereta Pusat pada Pemda
Api Pembangunan dan
(DKI Jakarta)
operasionalisasi Ditjen KA
Investasi: Share PT KAI KLHK
MRT (Mass Rapid Kemenhub
Pemerintah Pusat
Transit)
49% dan Pemprop
DKI 51%

Investasi:
Pembangunan dan
Penugasan
Operasionalisasi Ditjen KA
Pemerintah kpd PT KAI KLHK
LRT (Light Rapid Kemenhub
PT. Adhi Karya.
Transit)
Operator: PT. KAI
52 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-20
Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, penanggung jawab, dan pelaksana

Pelaksana/
Penanggung Jawab
Subsektor Nama Aksi Bentuk Aksi Implementor/
Aksi
Operator
Implementasi Bus Rapid Ditjen Perhubungan Pemerintah Daerah/
BRT dan feeder
Transit di Perkotaan Darat BUMD
Manajemen Rekayasa Lalu lintas (dengan kegiatan pendukung dibawah ini)
Regulasi pembatasan
a. Ganjil – Genap kendaraan bermotor Pemerintah Daerah Dishub/ Polri
pada area tertentu
Regulasi berupa
Ditjen Perhubungan
dokumen analisis
b. Andalalin Darat/ Pemerintah Dishub
dampak lingkungan
Daerah
pada lingkup perkotaan
Implementasi
penyediaan fasilitas
Perhubungan c. Manajemen Parkir
park & ride di Pemerintah Daerah Dishub/BLU/Swasta
Darat (Park & Ride)
pinggiran kota
(berdasarkan zonasi)
Implementasi
Ditjen Perhubungan
d. Non-Motorized penyediaan fasilitas
Darat/ Pemerintah Dishub/ Swasta
Transport (NMT) sepeda (jalur sepeda
Daerah
dan/atau bike sharing)
Implementasi system Ditjen Perhubungan
e. ATCS (Area Traffic
pengaturan lampu lalu Darat/ Pemerintah Dishub
Control System)
lintas Daerah
Implementasi Ditjen Perhubungan
f. Perlengkapan Jalan
penggunaan PJU Darat/ Pemerintah Dishub
(PJU Solar cell)
Renewable Energy Daerah

Tabel 4-21
Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi termasuk elemen pendanaan, pemantauan,
pelaporan dan verifikasi

Pemantauan/
Subsektor Nama Aksi Pendanaan Pelaporan Verifikasi
Monitoring

Pemerintah
Daerah/BUMD, Pemerintah Pemerintah
BRT dan feeder KLHK
bantuan hibah Daerah Daerah
bus Kemenhub
Perhubungan Manajemen Rekayasa Lalu lintas: (dengan kegiatan pendukung dibawah ini) 
Darat
Pemerintah Pemerintah Pemerintah
a. Ganjil - Genap KLHK
Daerah Daerah Daerah

Investasi: Swasta Pemerintah Pemerintah


b. Andalalin KLHK
atau Pemerintah Daerah Daerah
STRATEGI
PELAKSANAAN 53

Pemantauan/
Subsektor Nama Aksi Pendanaan Pelaporan Verifikasi
Monitoring

c. Manajemen
Pemerintah Pemerintah Pemerintah
Parkir (Park & KLHK
Daerah/Swasta Daerah Daerah
Ride)

d. Non-Motorized Pemerintah Pemerintah Pemerintah


KLHK
Transport (NMT) Daerah/Swasta Daerah Daerah

e. ATCS (Area Pemerintah


Pemerintah Pemerintah
Traffic Control Pusat/ Pemerin- KLHK
Daerah Daerah
System) tah Daerah

f. Perlengkapan Pemerintah
Pemerintah Pemerintah
Jalan (PJU Solar Pusat/ Pemerin- KLHK
Daerah Daerah
cell) tah Daerah

Tabel 4-22
Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, penanggung jawab, dan pelaksana

Pelaksana/
Penanggung Jawab
Subsektor Nama Aksi Bentuk Aksi Implementor/
Aksi
Operator

Peremajaan Angkutan Umum (dengan kegiatan pendukung dibawah ini)

Implementasi Ditjen Perhubungan Pemilik angkutan


a. Peremajaan
peremajaan Darat/ Pemerintah swasta/ BUMN/
Angkutan Umum
kendaraan umum Daerah/ Swasta Koperasi

Regulasi dan
Pemilik angkutan
implementasi
swasta/BUMN/
b. Uji Berkala pengawasan kondisi Pemerintah Daerah
Koperasi/ Pemilik
kendaraan yang
bengkel bersertifikat
beroperasi

Perhubungan Smart/Eco-Driving (dengan kegiatan pendukung dibawah ini)


Darat
Ditjen Perhubungan
Ditjen Perhubungan Darat/ Pemerintah
Regulasi dan
a. Smart/Eco-Driving Darat/ Pemerintah Daerah/ Pemilik
Pelatihan
Daerah/ Swasta angkutan swasta/
BUMN/ Koperasi

Regulasi dokumen
Ditjen Perhubungan
pencatatan konsum-
Ditjen Perhubungan Darat/ Pemerintah
si bahan bakar, jarak
b. e-logbook Darat/ Pemerintah Daerah/ Pemilik
tempuh dan waktu
Daerah/ Swasta angkutan swasta/
beroperasi penge-
BUMN/ Koperasi
mudi
54 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-23
Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, pemantauan, pelaporan dan verifikasi (lanjutan)

Pemantauan/
Subsektor Nama Aksi Pendanaan Pelaporan Verifikasi
Monitoring
Peremajaan Angkutan Umum (dengan kegiatan pendukung dibawah ini)
a. Perema- Operator ang- Pemilik
Pemerintah
jaan Angku- kutan swasta/ angkutan swasta/ KLHK
Daerah
tan Umum BUMN/ Koperasi BUMN/ Koperasi
Operator ang- Pemilik
kutan swasta/ angkutan swasta/
Pemerintah
b. Uji Berkala BUMN/ Koperasi/ BUMN/ Koperasi/ KLHK
Daerah
Pemilik Bengkel Pemilik Bengkel
bersertifikat bersertifikat
Smart/Eco-Driving (dengan kegiatan pendukung di bawah ini)
 
Perhubungan Dtijen Perhubu- Ditjen Perhubu- Ditjen Perhubu-
Darat ngan Darat/Pe- ngan Darat/ Pe- ngan Darat/ Pe-
a. Smart/ merintah Daerah/ merintah Daerah/ merintah Daerah/
KLHK
Eco-Driving Pemilik angkutan Pemilik angkutan Pemilik angkutan
swasta/ BUMN/ swasta/ BUMN/ swasta/ BUMN/
Koperasi Koperasi Koperasi
Ditjen Perhubu- Ditjen Perhubu- Ditjen Perhubu-
ngan Darat/ Pe- ngan Darat/ Pe- ngan Darat/ Pe-
merintah Daerah/ merintah Daerah/ merintah Daerah/
b. e-logbook KLHK
Pemilik angkutan Pemilik angkutan Pemilik angkutan
swasta/ BUMN/ swasta/ BUMN/ swasta/ BUMN/
Koperasi Koperasi Koperasi

Tabel 4-24
Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi, penanggung jawab, pelaksana

Pelaksana/
Penanggung
Subsektor Nama Aksi Bentuk Aksi Implementor/
Jawab Aksi
Operator
Over Dimension Over Loading (ODOL) (dengan kegiatan pendukung dibawah ini)
Implementasi Ditjen Perhubungan
a. Short sea perpindahan angkutan Darat (ASDP) dan BUMN/ Swasta
shipping barang dari Truk ke Ditjen Perhubungan (Pemilik Kapal/ Feri)
Kapal/ Feri Laut)
Regulasi dan imple-
b. Jembatan Ditjen Perhubungan
mentasi Pengukuran Ditjen Perhubungan Darat
timbang Darat
berat muatan barang
Perhubungan
Darat PT KAI membawahi 6 operator:
• KALOG
c. Shifting • Jatim Petroleum Transport (JPT)
barang dari • Buana Kontenindo
Implementasi layanan Ditjen Kereta Api
truk ke KA • Ekspres (BKE)
pengantaran barang Kemenhub
(masuk dalam Bumi Wijaya Indorail (BWI)
KA Barang) • Varian Usaha Krakatau Bandar
• Samudera (KBL) Bintang Laut
Platinum (BLP)
STRATEGI
PELAKSANAAN 55

Tabel 4-25
Rincian aksi mitigasi subsektor transportasi termasuk elemen pendanaan, pemantauan,
pelaporan dan verifikasi

Pemantauan/
Subsektor Nama Aksi Pendanaan Pelaporan Verifikasi
Monitoring

Over Dimension Over Loading (ODOL) (dengan kegiatan pendukung dibawah ini)

Ditjen Ditjen Ditjen


Perhubungan Da- Perhubungan Da- Perhubungan Da-
a. Short sea rat (ASDP), Ditjen rat (ASDP), Ditjen rat (ASDP), Ditjen
KLHK
shipping Perhubungan Perhubungan Perhubungan
Laut), BUMN, Laut), BUMN, Laut), BUMN,
Perhubungan BUAM dan Swasta BUAM dan Swasta BUAM dan Swasta
Darat Ditjen Ditjen Ditjen
b. Jembatan
Perhubungan Perhubungan Perhubungan KLHK
timbang
Darat Darat Darat

Infrastruktur Rel:
c. Shifting angkutan
Kemenhub Ditjen KA
barang dari truk ke PT KAI KLHK
Operasional: PT Kemenhub
KA Barang
KAI

Tabel 4-26
Aksi mitigasi, penanggung jawab, pelaksana, pendanaan, pemantauan, pelaporan dan
verifikasi subsektor penggunaan energi

Penanggung Pelaksana/
Nama Aksi Bentuk Aksi
Jawab Aksi Implementasi

Efisiensi Energi

Sektor Industri  

Audit energi dan Penetapan standar (Code)


KemenESDM/Kemenperin Industri
peningkatan efisiensi IKE, Promosi, Insentif,

Energi Terbarukan
Promosi, Insentif KemenESDM/Kemenperin Industri
(Bio-fuel)

Waste heat recovery Promosi, Insentif KemenESDM/Kemenperin Industri

Co-gen industry Promosi, Insentif KemenESDM/Kemenperin Industri

Industrial Appliances  

Efficiency standards,
Electric Motors KemenESDM/Kemenperin Industri
Promosi, Insentif

Efficiency standards,
Furnace KemenESDM/Kemenperin Industri
Promosi, Insentif

Efficiency standards,
Burner KemenESDM/Kemenperin Industri
Promosi, Insentif
56 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-27
Aksi mitigasi, penanggung jawab, pelaksana, pendanaan, pemantauan, pelaporan dan
verifikasi subsektor penggunaan energi

Nama Aksi Pendanaan Pemantauan Pelaporan Verifikasi

Efisiensi Energi

Sektor Industri  

Audit energi dan


APBN KemenESDM/Kemenperin KemenESDM KLHK
peningkatan efisiensi

Energi Terbarukan
APBN KemenESDM/Kemenperin KemenESDM KLHK
(Bio-fuel)

Waste heat recovery APBN KemenESDM/Kemenperin KemenESDM KLHK

Co-gen industry

Industrial Appliances

Electric Motors APBN KemenESDM/Kemenperin KemenESDM KLHK

Furnace APBN KemenESDM/Kemenperin KemenESDM KLHK

Burner APBN KemenESDM/Kemenperin KemenESDM KLHK

Tabel 4-28
Aksi mitigasi, penanggung jawab, pelaksana, pendanaan, pemantauan, pelaporan dan
verifikasi subsektor penggunaan energi

Nama Aksi Bentuk Aksi Penanggung Jawab Aksi Pelaksana/implementasi

Efisiensi Energi

Residential appliances  

Efficiency standards,
Lighting KemenESDM Produsen lampu
Promosi, Insentif

Efficiency standards,
Cooking KemenESDM Produsen rice cooker
Promosi, Insentif

Efficiency standards,
Air conditioning KemenESDM Produsen AC.
Promosi, Insentif

Efficiency standards,
Refrigeration KemenESDM Produsen refrigerator
Promosi, Insentif

Efficiency standards,
Washing machine KemenESDM Produsen mesin cuci
Promosi, Insentif

Subsektor komersial  

Promosi, standar, IKE,


Green building, KemenESDM/KemenPUPR Pemilik gedung
sertifikasi
STRATEGI
PELAKSANAAN 57

Nama Aksi Bentuk Aksi Penanggung Jawab Aksi Pelaksana/implementasi

Co-gen Insentif KemenESDM Pemilik generator

Fasilitas Umum

Promosi, investasi
PJU Hemat Energi KemenESDM/Pemda Pemda/Masyarakat
infrastruktur

EBT di Bangunan

LTSHE (lampu tenaga surya Promosi, investasi


KemenESDM/Pemda Masyarakat
hemat energi) infrastruktur

Rooftop Solar PV Regulasi, promosi, insentif KemenESDM/Pemda Masyarakat/Pemda

Tabel 4-29
Aksi mitigasi, penanggung jawab, pelaksana, pendanaan, pemantauan, pelaporan dan
verifikasi subsektor penggunaan energi

Nama Aksi Pendanaan Pemantauan Pelaporan Verifikasi

Efisiensi Energi

Residential appliances  

KemenESDM/ KemenESDM/
Lighting APBN KLHK
Kemenperin Kemenperin

KemenESDM/ KemenESDM/
Cooking APBN KLHK
Kemenperin Kemenperin

KemenESDM/ KemenESDM/
Air conditioning APBN KLHK
Kemenperin Kemenperin

KemenESDM/ KemenESDM/
Refrigeration APBN KLHK
Kemenperin Kemenperin

KemenESDM/ KemenESDM/
Washing machine APBN KLHK
Kemenperin Kemenperin

Subsektor komersial  

Green building, APBN KemenESDM/KemenPUPR KemenESDM KLHK

Co-gen APBN KemenESDM KemenESDM KLHK

Fasilitas Umum

PJU Hemat Energi APBN KemenESDM KemenESDM KLHK

EBT di Bangunan

LTSHE (lampu tenaga surya


APBN KemenESDM/Pemda KemenESDM/Pemda
hemat energi)

Rooftop Solar PV Swasta KemenESDM/Pemda KemenESDM/Pemda


58 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.1.5 Biaya dan Kebutuhan Investasi


Aksi-aksi mitigasi sektor energi membutuhkan biaya investasi yang cukup besar untuk pembangunan
infrastruktur energi seperti pembangkit listrik, penggantian peralatan pada kegiatan konservasi energi,
pembangunan jaringan gas, dan lain-lain. Kebutuhan biaya investasi untuk mitigasi emisi GRK sektor
energi pada tahun 2030 diperkirakan akan mencapai sekitar Rp 3.500 triliun dengan rincian sebagai
berikut:

•• Pembangkit EBT: Rp1.688 triliun


•• EBT non listrik: Rp 84 triliun
•• Pembangkit listrik batu bara rendah karbon: Rp 1.619 triliun
•• Jaringan gas kota dan konversi mitan ke LPG: Rp 17 triliun
•• Konservasi energi: Rp 92 triliun

4.1.6 Dampak Implementasi Aksi-aksi Mitigasi Sektor Energi Terhadap


Perkembangan Sektor Energi dan Sosio-ekonominya
Untuk melihat implikasi dari implementasi aksi-aksi mitigasi perubahan iklim pada pelaksanaan NDC
Indonesia sektor energi terhadap makro ekonomi Indonesia telah dilakukan simulasi model analisis
menggunakan Dynamic CGE (Computable General Equilibrium), dengan cakupan spesifik pada sektor
energi, dengan asumsi bahwa sektor-sektor lain di luar energi tidak terdampak oleh aksi-aksi mitigasi
sektor energi (‘Ceteris Paribus’). Dynamic CGE digunakan untuk memodelkan hubungan antara aksi-ak-
si mitigasi sektor energi dengan keekonomian nasional dari sektor-sektor terkait dan sebaliknya dari
sektor-sektor terkait terhadap perkembangan sektor energi yang sifatnya dinamis.

Indikator yang digunakan untuk analisis dampak aksi-aksi mitigasi tersebut adalah Produk Domestik
Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, dan Gross Output. Analisis perkembangan sektor energi juga
memperhatikan adanya perubahan struktur ekonomi 2010-2030, yang menggambarkan adanya sedikit
pergeseran basis aktivitas ekonomi dari ekonomi berbasis primary industry (Agriculture dan Mining)
menuju ekonomi berbasis secondary industry (manufaktur) dan tertiary industry (Jasa atau service)
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4-18. Perkembangan struktur ekonomi tersebut berlaku pada
proyeksi perkembangan sektor energi untuk skenario baseline maupun skenario mitigasi unconditional
(CM1). Hasil analisis mengenai PDB menunjukkan bahwa aksi-aksi mitigasi perubahan iklim sektor energi
akan dapat mengakibatkan terjadinya sedikit penurunan PDB sebesar 0,8% di tahun 2030 dibandingkan
kondisi baseline, yaitu dari Rp 19.082 triliun (baseline) menjadi Rp 18.924 triliun (skenario CM1) sebagaima-
na diperlihatkan pada Gambar 4-19.

Analisis dampak aksi mitigasi sektor energi terhadap penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa
skenario baseline menyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan skenario mitigasi. Hal ini disebabkan
oleh beberapa hal diantaranya adalah terbentuknya sistem energi yang lebih efisien dan pergeseran
pembangkit batu bara ke pembangkit terbarukan yang membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja di sektor
energi (Gambar 4-20).

Analisis mengenai Gross Output dari aktivitas sektor energi menunjukkan bahwa sebagian besar tidak
terpengaruh oleh aksi-aksi mitigasi. Subsektor yang terdampak (positif) adalah sektor yang terkait
langsung dengan energi khususnya pembangkitan listrik dengan dampak peningkatan output yang cukup
STRATEGI
PELAKSANAAN 59

signifikan, yaitu 30g (panas bumi), 30h (air), 30w (bayu) dan 30b (bioenergi) dan beberapa
subsektor yang peningkatan output-nya tidak signifikan seperti subsektor no. 26 (peralatan listrik), 27
(peralatan transportasi) dan 28 (permesinan). Perbandingan gross output 2030 – 2010 berbagai subsektor
diperlihatkan pada Gambar 4-21.

Gambar 4-18
Proyeksi perubahan struktur ekonomi Indonesia

40.000
Industri Jasa (Services)
Gross Output (Triliun Rupiah)

35.000
Industri Semen

30.000 Industri Besi Baja

Transportasi
25.000
Konstruksi
20.000
Industri Kimia

15.000 Industri Pulp Kertas

Industri Manufaktur
10.000
Energi-Tambang-Utilitas
5.000
Agro-Ternak-Hutan-Perikanan

-
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030

Gambar 4-19
Proyeksi PDB skenario baseline dan mitigasi unconditional (CM1)

19.082
20.000

18.924
PDB (Triliun rupiah)

17.500

15.000

12.500
BAU
10.000 CM1

7.500

5.000
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030
60 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4-20
Proyeksi perbandingan penyerapan tenaga kerja skenario baseline dan mitigasi

140
Tenaga kerja (Juta orang)

120

100
BAU
80 CM1

60

40

20

0
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030

Gambar 4-21
Perbandingan rasio output per subsektor (skenario baseline dan mitigasi) pada
tahun 2030 terhadap tahun 2010

24
22
Baseline CM1
Rasio Output per subsektor pada

20
18
tahun 2030 (2010=1)

16
14
12
10
8
6
4
2
0
01
02
03
04
05a
05b
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23a
23b
24
25
26
27
28
29
30tc
30to
30tg
30g
30h
30s
30w
30b
30z
31
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
STRATEGI
PELAKSANAAN 61

Tabel 4-30
Daftar kode subsektor pada analisis gross output dari aktivitas sektor energi

01 Padi 20 Kimia Dasar 30b PLT Bioenergi

02 Jagung 21 Produk Plastik 30z PLTSa (Sampah)

03 Gandum 22 Produk Kimia Khusus 30n PLT Nuklir

04 Tanaman Pangan Lainnya 23a Semen 31 Gas (Gas Kota)

05a Tanaman Minyak Nabati 23b Keramik dan Gelas 32 Penyediaan Panas/Steam
(Selain Sawit)

05b Kelapa Sawit 24 Besi Baja 33 Penyediaan Air Bersih

06 Perkebunan Lainnya 25 Produk Logam dan Logam 34 Penanganan Limbah dan


Bukan Besi Daur Ulang

07 Peternakan 26 Peralatan elektrik dan 35 Konstruksi


elektronik

08 Kehutanan 27 Peralatan Transportasi 36 Perdagangan (wholesale)

09 Perikanan Darat dan Laut 28 Permesinan 37 Kereta Api

10 Tambang Batu bara 29 Manufaktur lainnya 38 Transportasi Darat


(selain Kereta Api)

11 Industri Hulu Minyak Bumi 30 Listrik (komoditas) 39 Transportasi dan Layanan Lainnya

12 Industri Hulu Gas Alam 30tc PLTU Batu bara 40 Layanan Informasi dan
Telekomunikasi (ICT)

13 Tambang Lainnya 30to PLTU Minyak 41 Finansial dan Asuransi

14 Makanan, minuman, dan 30tg PLTG/PLTGU 42 Pengadministrasian Publik


tembakau

15 Tekstil, Alas Sepatu (foot 30g PLT Panas Bumi 43 Real Estate
wear), dan Kulit

16 Produk-produk Kayu 30h PLTA 44 Pendidikan dan Penelitian


Olahan

17 Pulp Kertas, Printing dan 30s Solar PV 45 Layanan Kesehatan, Medis, dan
Produk Kertas Sosial

18 Kilang Migas 30w PLT Bayu 46 Layanan Lainnya

19 Kokas (Refinery Coke)


62 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.1.7 Enabling Conditions Pencapaian Target NDC Sektor Energi


Sebagaimana dikemukakan terdahulu, target penurunan emisi GRK pada NDC sektor energi cukup
besar yang memerlukan kondisi yang dapat memfasilitasi dan mendorong upaya pencapaian target.
Kondisi-kondisi tersebut diantaranya adalah:

•• adanya kebijakan harga energi yang kondusif untuk mendorong dilaksanakannya upaya-upaya
efisiensi energi;
•• adanya peraturan mengenai kewajiban industri dan bangunan komersial dengan konsumsi energi
tinggi untuk melaksanakan konservasi atau upaya-upaya efisiensi energi dengan target tertentu;
•• adanya regulasi untuk menerapkan energy performance standard bagi peralatan rumah tangga,
komersial dan industri
•• adanya sistem pendanaan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan energi terbarukan;
•• adanya kebijakan jual beli listrik renewable dan waste heat recovery, yang diusahakan oleh masyarakat
(perusahaan maupun individual), dengan harga yang menarik sehingga mendorong pengembangan
energi listrik terbarukan;
•• adanya review terhadap regulasi yang menghambat penggunaan sampah kota dan limbah lainnya
sebagai sumber energi dan selanjutnya menggantikan regulasi yang menghambat tersebut dengan
regulasi yang memfasilitasi/mendorong pemanfaatan limbah untuk energi.
STRATEGI
PELAKSANAAN 63

4.2 Sektor IPPU (Proses Industri dan Penggunaan Produk)


4.2.1 Baseline dan Target Penurunan Emisi GRK
Sumber emisi GRK IPPU adalah proses-proses reaksi kimia yang terjadi pada sistem produksi di industri
semen, amonia, petrokimia dan karbon black, besi baja, aluminium, asam nitrat, dan industri lainnya,
dan penggunaan produk. Di Indonesia, emisi GRK IPPU mencakup gas-gas karbon dioksida (CO2),
dinitrogen oksida (N2O), dan perfluorocarbons (PFCs sebagai CF4/C2F6). Emisi CO2 terutama berasal dari
proses klinkerisasi semen, proses produksi amonia, proses produksi besi baja sedangkan emisi N2O
berasal dari proses produksi nitric acid dan emisi PFCs dari proses produksi aluminium. Pada saat ini,
kegiatan IPPU di Indonesia yang mengemisikan CH4 tidak ada. Data dan informasi mengenai emisi
GRK dari penggunaan gas-gas yang termasuk kategori GRK di dalam produk seperti HFCs (aerosol dan
propellant), SF6 (umumnya digunakan pada produk-produk alas sepatu, foam/busa, pengatur tegangan
gardu listrik) dan pelepasan CO2 dari penggunaan senyawa hidrokarbon (bahan bakar fosil) untuk
kegiatan non-energi (pelumas, wax/lilin, pelarut) sangat terbatas.

Besarnya tingkat emisi GRK sektor IPPU dipengaruhi oleh perkembangan kapasitas produksi masing-
masing industri yang disebutkan sebelumnya. Berdasarkan perkembangan kapasitas produksi, industri
semen tumbuh relatif tinggi, yaitu 7% pertahun dari 43,09 juta ton di tahun 2010 menjadi 69,17 juta ton di
tahun 2017, industri urea meningkat dari 6,61 juta ton di tahun 2010 menjadi 6,91 juta ton di tahun 2017
dengan laju 1% per tahun dimana sempat terjadi penurunan produksi di tahun 2013-2014 dan setelah
itu cenderung fluktuatif, industri amonia meningkat dari 4.996 ton di tahun 2010 menjadi 5,91 juta ton di
tahun 2016 dengan laju 2,3% per tahun selama periode 2010-2016, industri besi baja hanya mengalami
sedikit peningkatan sebesar 1,4% (2010-2016), dan penggunaan karbonat dan produk lainnya sangat
fluktuatif dan konsumsinya kecil sehingga tidak banyak mempengaruhi tingkat emisi GRK sektor IPPU.

Profil perkembangan kapasitas produksi industri dan penggunaan produk selama periode 2010-2016
dan proyeksinya sampai dengan tahun 2030 disampaikan pada Gambar 4-22. Proyeksi kapasitas
produksi industri dan penggunaan produk merujuk Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
(RIPIN) 2015-2035, pembangunan pabrik baru yang sedang berjalan dan rencana pengembangan di tingkat
perusahaan.

Gambar 4-22
Perkembangan kapasitas produksi dan konsumsi produk dan proyeksinya

120
Proyeksi Konsumsi natrium karbonat
Historis Konsumsi karbonat lainnya
100 Konsumsi karbonat makanan-minuman
Konsumsi karbonat pulp-kertas
Konsumsi karbonat industri keramik
80 Konsumsi karbonat industri gelas
Produksi timah
Juta Ton

Produksi timbal
60 Produksi lime
Produksi karbida
Produksi petrokimia dan karbon black
40 Produksi aluminium
Produksi besi dan baja
Produksi asam nitrat
20 Produksi urea
Produksi amonia
Produksi semen
-
2010 2015 2020 2025 2030
64 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Hasil inventarisasi emisi GRK nasional [Second BUR Indonesia, KLHK 2018] menunjukkan tingkat emisi GRK
sektor IPPU nasional adalah 36 juta ton CO2e di tahun 2010. Selama periode 2010 - 2016, tingkat emisi
GRK sektor IPPU naik rata-rata 7,4% pertahun menjadi 55,31 juta ton CO2e di tahun 2016 dan diperkira-
kan terus naik dengan laju rata-rata 1,6% pertahun (2016-2030) menjadi 69.603 ton CO2e di tahun 2030
apabila tidak ada regulasi dan/atau upaya-upaya mitigasi perubahan iklim (skenario BAU). Selama periode
2010 – 2030, tingkat emisi GRK sektor IPPU diperkirakan naik dengan laju rata-rata 3,35% pertahun.

Pada tahun 2010, kontribusi emisi GRK industri semen adalah 54% total emisi IPPU, amonia 20,7%, besi
baja 2,5%, aluminium 1,5%, asam nitrat 0,2%, petrokimia dan karbon black 5,5%, dan sisanya (industri
lainnya dan penggunaan produk) 15,5%. Pada tahun 2016, terjadi pergeseran dimana kontribusi industri
semen (51,6%), amonia (17,6%), besi baja (15,8%), asam nitrat (1%), aluminium (0,9%), petrokimia
dan karbon black (3,8%), dan sisanya dari industri lain dan penggunaan produk (9,4%). Proyeksi emisi
masing-masing industri dan intensitas rata-rata emisi untuk skenario baseline dan skenario mitigasi untuk
mencapai target mitigasi CM1 dan CM2 disampaikan pada Gambar 4-23.

Gambar 4-23
Proyeksi dan intensitas emisi GRK IPPU skenario baseline dan mitigasi

80 0.8
Tingkat Emisi GRK (Juta Ton CO2e)

70 0.7
Intensitas Emisi, Ton CO2e/Ton Produk
60 0.6

Industri lainnya
50 0.5
Produksi aluminium
40 0.4
Produksi asam nitrat
30 0.3 Produksi besi dan baja

20 0.2 Produksi amonia


Produksi semen
10 0.1
Intensitas
- 0.0
2010
2012
2014
2016
2018
2020
2022
2024
2026
2028
2030

2010
2012
2014
2016
2018
2020
2022
2024
2026
2028
2030

2010
2012
2014
2016
2018
2020
2022
2024
2026
2028
2030

Baseline CM1 CM2

Sumber: Estimasi berdasarkan data-data NDC 2019, 2nd BUR, TNC dan stakeholder consultation

Pada Gambar 4-23 dapat dilihat bahwa di tahun 2030 tingkat emisi baseline diperkirakan naik 1,93 kali
dibandingkan tingkat emisi di tahun 2010, yaitu dari 36,07 juta ton CO2e menjadi 69,63 juta ton CO2e. Un-
tuk mencapai target NDC unconditional sektor IPPU, penurunan emisi GRK mitigasi CM1 adalah 2,75 juta
ton CO2e, (dari 69,6 juta ton CO2e menjadi 66,85 juta ton CO2e). Untuk mencapai target conditional, target
penurunan emisi GRK untuk mitigasi CM2 adalah 3,25 juta ton CO2e, (dari 69,63 juta ton CO2 menjadi
66,35 juta ton CO2e). Proyeksi tingkat emisi GRK skenario baseline dan skenario mitigasi (CM1 dan CM2),
serta target penurunan emisi GRK untuk masing-masing industri disampaikan pada Gambar 4-24.
STRATEGI
PELAKSANAAN 65

Gambar 4-24
Proyeksi tingkat emisi GRK IPPU dan target penurunan emisi GRK
75 3,5
Tingkat Emisi GRK

60 3,0
(Juta Ton CO2e)

Target pengurangan
45 2,5

(Juta Ton CO2e)


30 2,0
15
1,5
0
Base 1,0
BAU CM1 CM2
Year 0,5
2010 2030
0,0
Industri Lainnya 4,36 5,63 5,63 5,62 CM1 CM2
Aluminum 0,53 0,58 0,58 0,54 2030
Aluminum - 0,03
Asam Nitrat 0,09 0,75 0,75 0,69
Asam Nitrat - 0,05
Besi Baja 4,16 13,12 13,12 13,06
Besi Baja - 0,07
Amonia 7,46 11,82 10,79 10,62
Amonia 1,03 1,20
Semen 19,46 37,73 36,01 35,83
Semen 1,73 1,90

Besarnya alokasi penurunan emisi GRK mitigasi CM1 dan CM2 mencapai target unconditional dan
conditional dapat dilihat pada Gambar 4-25. Mitigasi CM1 mencakup blended cement dan efisiensi
penggunaan gas alam sebagai bahan baku dan bahan bakar proses produksi amonia melalui perbaikan
teknologi (new/advance technology). Mitigasi CM2 mencakup peningkatan aksi-aksi mitigasi CM1 dan
penambahan aksi-aksi mitigasi di industri lainnya, yaitu penerapan secondary mitigation (katalis selektif
untuk destruksi emisi N2O) pada industri asam nitrat, pemanfaatan scrap untuk bahan baku industri besi
baja, dan pemanfaatan potensi penurunan emisi PFCs kegiatan proyek CDM di industri aluminium.Target
tersebut direncanakan akan dicapai melalui aksi-aksi mitigasi di industri-industri sebagaimana tercantum
pada Tabel 4-31.

Gambar 4-25
Alokasi target penurunan emisi GRK sektor IPPU

Target Unconditional
(Skenario CM1)
2,75 Juta Ton CO2e (2030)

Semen Amonia
1,725 Juta Ton CO2e 1,03 Juta Ton CO2e

Target Conditional
(Skenario CM2)
3,25 Juta Ton CO2e (2030)

Semen Amonia Besi Baja Asam Nitrat Aluminium


1,9 Juta Ton CO2e 1,2 Juta Ton CO2e 0,07 Juta Ton CO2e 0,054 Juta Ton CO2e 0,035 Juta Ton CO2e
66 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-31
Aksi-aksi mitigasi sektor IPPU

Aksi-aksi
BAU CM1 (Unconditional) CM2 (Conditional)
Mitigasi

AKSI-AKSI MITIGASI UTAMA:

Peningkatan aksi mitigasi ‘blended


Mitigasi ‘blended cement’ (pada
cement’ (sebagian besar atau seluruh
Penurunan Tidak ada sebagian produksi semen) dengan
produksi semen) dengan penambahan
emisi CO2 tindakan/aksi penambahan aditif atau bahan baku
aditif atau bahan baku alternatif untuk
dari proses mitigasi alternatif untuk mengurangi ‘clinker
mengurangi ‘clinker to cement ratio’ dari
klinkerisasi perubahan to cement ratio’ dari 83% di tahun
83% di tahun 2010 menjadi 75% di
semen iklim dan 2010 menjadi 75% di tahun 2030
tahun 2030 untuk mencapai target CM2
kebijakan atau untuk mencapai target CM1.
(setelah target CM1 terpenuhi).
regulasi yang
mengarah
Perbaikan teknologi ammonia plant Peningkatan teknologi ammonia plant
Penurunan kepada
dengan teknologi yang lebih efisien dengan teknologi yang lebih efisien
emisi CO2 penurunan
dalam penggunaan bahan bakar dalam penggunaan bahan bakar fosil
dari proses tingkat emisi
fosil (bahan baku maupun bahan (untuk bahan baku maupun bahan ba-
produksi GRK
bakar) dan CO2 recovery untuk kar) dan CO2 recovery setelah target CM1
amonia
mencapai target CM2 tercapai untuk mencapai taget CM2

AKSI-AKSI MITIGASI YANG POTENSIAL LAINNYA:

Peningkatan penggantian teknologi


Penggantian teknologi smelter yang
smelter yang lebih efisien (energi dan
lebih efisien (energi dan bahan
bahan baku) dan pemanfaatan scrap
baku) dan pemanfaatan scrap
Penurunan sebagai pengganti bahan baku. Target
sebagai pengganti bahan baku.
emisi CO2 penurunan emisi GRK diperkirakan
Target penurunan emisi
dari industri dari data jumlah teknologi baru yang
diperkirakan dari data teknologi
besi baja potensial untuk dipasang dan scrap yang
baru yang sedang/direncanakan
Tidak ada potensial untuk dimanfaatkan industri
dipasang dan jumlah scrap yang di-
tindakan/aksi secara nasional. Target CM2 ditentukan
manfaatkan saat ini secara nasional.
mitigasi setelah target CM1 tercapai
perubahan
iklim dan Memasukan sebagian capaian Memasukkan lebih tinggi lagi capaian
Penurunan kebijakan atau penurunan emisi GRK (PFCs dan penurunan emisi GRK (PFCs dan CO2)
emisi PFCs regulasi yang CO2) dari kegiatan CDM pada dari kegiatan CDM pada Smelter Alumini-
dari industri mengarah Smelter Aluminium di PT Inalum um yang telah berakhir pada tahun 2017
Aluminium kepada yang telah berakhir pada tahun Untuk mencapai target CM2. Target CM2
penurunan 2017 untuk mencapai target CM1. ditentukan setelah target CM1 tercapai
tingkat emisi
GRK Perbaikan teknologi dengan
pemasangan secondary catalyst
Penurunan Perbaikan teknologi dengan pema-
untuk destruksi emisi N2O pada
emisi N2O sangan secondary catalyst untuk
proses produksi asam nitrat. Target
dari proses destruksi emisi N2O pada proses
CM1 ditentukan dengan
produksi produksi asam nitrat. Target CM2
mempertimbangkan industri asam
Asam Nitrat ditentukan setelah target CM1 tercapai
nitrat yang memasang secondary
catalyst untuk destruksi emisi N2O

Sumber: Diolah dari dokumen NDC Indonesia [KLHK, 2016]


STRATEGI
PELAKSANAAN 67

4.2.2 Aksi-aksi Mitigasi


Target penurunan emisi GRK sektor IPPU ditetapkan berdasarkan aksi-aksi mitigasi yang potensial untuk
mengurangi emisi gas-gas CO2, N2O, dan PFCs (CF4/C2F6) dari proses produksi di industri semen, amonia,
asam nitrat, besi baja, dan aluminium. Target penurunan tingkat emisi tersebut tidak mencakup emisi
GRK dari penggunaan produk dan proses produksi industri kategori lainnya (IPCC 2006), seperti industri
elektronik.

Aksi-aksi mitigasi tersebut dapat dikelompokan sebagai berikut ini.

•• target unconditional dicapai melalui aksi-aksi mitigasi utama yang dimplementasikan di industri
semen dan amonia;
•• target conditional dicapai melalui aksi-aksi mitigasi yang potensial diimplementasikan dengan
meningkatkan implementasi mitigasi di industri semen dan amonia pada CM1 ditambah dengan
aksi-aksi mitigasi di industri asam nitrat, besi baja dan aluminium.

4.2.2.1 Mitigasi Utama

Blended Cement

Kontributor emisi GRK IPPU terbesar di Indonesia adalah industri semen, yaitu 19,46 juta ton CO2e (53,96%
total emisi GRK IPPU nasional) di tahun 2010. Kontribusi emisi GRK IPPU dari industri semen dipengaruhi
oleh peningkatan kapasitas produksi dan perubahan faktor emisi ton CO2e/ton produk. Pada tingkat
produksi semen sebesar 43 juta ton dan rasio klinker/semen sebesar 0,83 di tahun 2010, faktor emisi GRK
IPPU dari proses produksi semen adalah 0,452 ton CO2/ton semen. Faktor emisi di tahun 2010 (base year)
ini digunakan untuk penghitungan proyeksi emisi baseline 2010-2030.

Tingkat emisi baseline diproyeksikan menggunakan faktor emisi dan rasio klinker/semen produksi semen
di tahun 2010 dengan asumsi tidak ada mitigasi setelah tahun 2010 sampai dengan 2030, yaitu 0,452
ton CO2/ton produk dan rasio ‘klinker/semen’ 83%. Tingkat emisi mitigasi diproyeksikan menggunakan
asumsi rasio ‘klinker/semen’ dapat mencapai 75%.Pada Gambar 4-26 disampaikan asumsi faktor emisi
dan rasio klinker/semen yang digunakan untuk menghitung emisi GRK IPPU untuk skenario baseline dan
skenario mitigasi. Asumsi tersebut didasari adanya target penurunan emisi GRK yang hendak dicapai
dengan meningkatkan penggunaan bahan baku alternatif pengganti klinker (blended cement) sehingga
‘rasio klinker/semen’ dapat dikurangi dari 83% pada tahun 2010 menjadi 75% pada tahun 2030. Untuk
mencapai ‘rasio klinker/semen’ 75%, Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 512/M-IND-Kep/12/2015
digunakan untuk Penetapan Standar Industri Hijau pada Industri Semen Portland. Pada keputusan
menteri tersebut dinyatakan bahwa emisi maksimum pada proses produsi semen adalah 0,75 ton CO2/
ton cementitious.

Merujuk emisi baseline dan rasio klinker/semen (Gambar 426) yang hendak dicapai di tahun 2030, dapat
dihitung potensi penurunan emisi GRK IPPU di indutri semen selama periode 2010-2030 seperti yang
disampaikan pada Gambar 4-27. Pada skenario baseline (BAU), dengan asumsi tidak ada mitigasi selama
periode 2010-2030 faktor emisi GRK IPPU adalah 0,452 ton CO2/ton semen. Pada tingkat produksi semen
83,5 juta ton di tahun 2030 (dengan pertumbuhan rata-rata 3,37%/tahun), kontribusinya diperkirakan
naik menjadi 37,73 juta ton CO2e (54,2% emisi GRK IPPU). Pada skenario mitigasi, faktor emisi industri
semen diproyeksikan turun dengan adanya mitigasi blended cement hingga 0,427 ton CO2/ton cementi-
tious (skenario CM1) dan 0,410 ton CO2/ton cementitious (skenario CM2) sejalan dengan perubahan rasio
68 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

klinker/semen (0,83 di tahun 2010 turun menjadi 0,75 di tahun 2030). Pada tingkat produksi yang sama
dengan skenario baseline, pada tahun 2030, kontribusinya diperkirakan menjadi 36,01 juta ton CO2e atau
56,6% emisi GRK IPPU (skenario CM1) dan 35,68 juta ton CO2e atau 56,6% emisi GRK IPPU (skenario CM2).

Gambar 4-26
Faktor emisi juta ton CO2e/ton produk dan rasio klinker/semen

Faktor Emisi GRK Ton rasio ton


CO2e/Ton semen klinker/ton semen
0,46 0,86

0,84
0,45
0,82
0,44
0,80

0,43 0,78
Faktor emisi baseline
0,76 Realisasi faktor emisi
0,42
Faktor emisi target
0,74
0,41 Rasio klinker/semen baseline
0,72 Realisasi rasio klinker/semen
0,40 0,70 Rasio klinker/semen target
2010 2015 2020 2025 2030

Gambar 4-27
Proyeksi emisi GRK IPPU pada skenario baseline dan mitigasi, serta potensi
penurunannya di industri semen

4 40

3,5 35
Tingkat Emisi GRK (Juta ton CO2e)
Penurunan Emisi GRK (Ton CO2e)

3 30
Realisasi reduksi
2,5 25
Potensi reduksi

2 20 CDM
Proyeksi emisi baseline
1,5 15
Proyeksi emisi mitigasi

1 10 Inventarisasi emisi

0,5 5

0 0
2010 2015 2020 2025 2030
STRATEGI
PELAKSANAAN 69

Tingkat emisi baseline dan realisasi penurunan emisi yang terjadi di industri semen sampai dengan
tahun 2016 menunjukkan rata-rata industri semen telah memenuhi salah satu standar komponen
industri hijau karena rerata faktor emisi produksi semen berada pada rentang 0,421 - 0,452 ton CO2/ton
cementitious. Mitigasi ‘blended cement’ juga telah dilakukan industri semen melalui mekanisme proyek CDM (clean
development mechanism). Proyek CDM tersebut berakhir tahun 2017 sehingga potensi penurunan emisi
GRK IPPU tersebut dapat dimasukan ke dalam target NDC di dalam menurunkan emisi GRK IPPU.

Untuk memenuhi target penurunan emisi Sektor IPPU, kontribusi industri semen dengan program
blended cement adalah 1,73 juta ton CO2e untuk mitigasi CM1 dan 1,90 juta ton CO2e untuk mitigasi CM2.
Target CM1 sudah dapat dicapai dengan menerapkan blended cement pada 50% kapasitas produksi
semen nasional sedangkan target CM2 dapat dicapai dengan menerapkan blended cement pada 55%
kapasitas produksi semen nasional (Gambar 4-28). Hasil inventarisasi emisi GRK menunjukkan bahwa
penurunan emisi GRK di tahun 2016 mencapai 1,68 juta ton CO2e (mendekati target unconditional).

Gambar 4-28
Potensi penerapan blended cement dan penurunan emisi GRK IPPU

3,5

3,0
reduksi emisi (Juta Ton CO2e)

2,5
3,45
2,0
Juta Ton CO2e
1,5 (100 % produksi
semen) 1,73 Juta Ton
1,0 CO2e penurunan
(50% produksi
0,5 semen)
0,0
2030
Potensi reduksi Reduksi CM1 Reduksi CM2

Perbaikan Teknologi Ammonia Plant

Tingkat emisi CO2 kegiatan IPPU ammonia plant dari seluruh industri pupuk di Indonesia pada tahun
2010 (base year) diperkirakan mencapai 9,15 juta ton CO2e (2nd BUR, KLHK 2018). Emisi CO2 tersebut
(inventarisasi maupun proyeksi skenario mitigasi) naik sejalan dengan perkembangan kapasitas produksi
amonia dan urea yang bergantung pada emisi CO2 yang terbentuk pada proses produksi amonia dan
berapa besar recovery emisi CO2 untuk proses produksi urea. Kenaikan tingkat emisi CO2 tersebut lebih
landai dibandingkan kenaikan emisi apabila tidak ada perbaikan teknologi, pengoperasian pabrik baru,
perbaikan managemen produksi, dan kebijakan/regulasi yang mengarah kepada penurunan emisi CO2
70 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

(baseline). Proyeksi tingkat emisi baseline dan proyeksi skenario mitigasi pada tahun 2030 diperkirakan
naik menjadi 11,82 juta ton CO2e (baseline) dan 9,15 juta ton CO2e (mitigasi). Pada tahun 2030 potensi
penurunan emisi GRK diperkirakan mencapai 2,67 juta ton CO2e.

Proyeksi emisi GRK IPPU ammonia plant di tahun 2030 untuk skenario baseline disusun dengan asumsi
tidak ada perbaikan teknologi selama 2010-2030 namun pabrik tua yang akan diganti dengan pabrik baru
yang lebih efisien menggunakan gas alam sebagai bahan baku dan bahan bakar di ammonia plant selama
periode tersebut tidak dimasukan ke dalam baseline. Skenario mitigasi mempertimbangkan perbaikan
teknologi dan pengoperasian pabrik baru yang direncanakan masing-masing perusahaan termasuk
mengintegrasikan pabrik amonia stand alone dengan pabrik urea yang mengasorb CO2. Target penurunan
emisi GRK IPPU pada proses produksi amonia yang dipertimbangkan dalam NDC Indonesia adalah per-
baikan teknologi (new/advance technology) dan pengoperasian pabrik baru.

Data-data tingkat pabrik (Gambar 4-29) menunjukkan bahwa pada tahun 2010 kebutuhan gas alam
rata-rata pabrik amonia (tidak termasuk pabrik tua yang phase out digantikan pabrik baru) di Indonesia
adalah 45,12 GJ/ton NH3 (intensitas tertinggi) dan 33,62 GJ/ton NH3 (intensitas terendah). Pada tingkat
kebutuhan gas alam tersebut, masih terdapat ruang untuk peningkatan teknologi. Pada rentang waktu
2010-2030, cukup banyak perbaikan teknologi yang telah dilakukan dan direncanakan indutri pupuk
di Indonesia. Intensitas kebutuhan gas alam rata-rata di Indonesia turun menjadi 39,2 GJ/ton NH3
dimana beberapa pabrik baru telah mencapai intensitas lebih rendah dibandingkan angka default IPCC
2016 Guideline, rata-rata dunia dan Eropa, namun masih di atas rata-rata BAT (best available technology).
Intensitas kebutuhan gas alam rata-rata di tahun 2010 digunakan sebagai basis penghitungan
proyeksi emisi baseline sedangkan intensitas konsumsi gas alam rata-rata 2010-2030 digunakan untuk
penghitungan proyeksi emisi mitigasi yang penghitungannya juga mempertimbangkan factor recovery CO2
urea plant (Gambar 4-30). Intensitas kebutuhan gas alam rata-rata dan emisi GRK IPPU rata-rata pabrik
pupuk di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4-31.

Profil tahunan perkembangan dan proyeksi kapasitas produksi amonia dan urea dari seluruh industri
pupuk di Indonesia berikut tingkat emisi GRK IPPU yang dilepaskan sampai dengan 2030 disampaikan
pada Gambar 4-32. Pada Gambar 4-32 dapat dilihat bahwa tingkat emisi, hasil inventarisasi emisi GRK
IPPU dan proyeksinya sampai dengan 2030 cenderung naik dengan tingkat pertumbuhan lebih rendah
dibandingkan emisi yang terjadi jika tidak ada mitigasi perbaikan teknologi di ammonia plant yang
menunjukkan adanya penurunan emisi.
STRATEGI
PELAKSANAAN 71

Gambar 4-29
Intensitas kebutuhan gas alam pada ammonia plant Indonesia

60
Intensitas Tertinggi
50 Intensitas Tinggi
Baseline
Rata-rata Indonesia
40
World Average
GJ/ton NH3

EU Average
30 Intensitas Terendah
BAT
20

10

0
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Catatan: * Rata-rata Indonesia diolah dari data pabrik

Gambar 4-30
CO2 recovery dan faktor emisi GRK IPPU baseline dan mitigasi

2,60
Faktor Emisi (ton CO2 e/ton amonia)

0,89
2,50
0,87
faktor recovery CO2
2,40 0,85 (ton CO2 /ton urea)

0,83
2,30
0,81
2,20
0,79
2,10
0,77

2,00 0,75
2010 2015 2020 2025 2030

Faktor emisi Faktor emisi baseline Proyeksi faktor emisi

Faktor recovery CO2 Faktor recovery CO2 baseline Proyeksi faktor recovery CO2
72 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4-31
Intensitas kebutuhan gas alam oleh ammonia plant dan emisi GRK IPPU

42,0 15,0
Intensitas Kebutuhan Gas Alam GJ/Ton NH3

41,5
12,5

Emisi GRK IPPU (Juta Ton CO2e)


41,0
10,0
40,5

40,0 7,5

39,5
5,0
39,0
2,5
38,5

38,0 0,0
2010 2015 2020 2025 2030
Inventarisasi Intensitas Gas Alam Proyeksi Intensitas Gas Alam
Baseline Intensitas Gas Alam Inventarisasi Emisi IPPU
Baseline Emisi IPPU proyeksi Emisi IPPU

Gambar 4-32
Profil perkembangan industri pupuk dan tingkat emisi baseline dan mitigasi

20 14
Tingkat Emisi GRK (Juta Ton CO2e)

12
Kapasitas produksi (Juta Ton)

15
10

8
10
6

4
5

0 -
2010 2015 2020 2025 2030
Realisasi produksi urea Proyeksi produksi urea Realisasi produksi amonia
Proyeksi produksi amonia Baseline Emisi IPPU Inventarisasi Emisi IPPU
Proyeksi Emisi IPPU
STRATEGI
PELAKSANAAN 73

Untuk memenuhi target NDC unconditional di tahun 2030, kontribusi pabrik pupuk adalah 1,03 juta ton
CO2e (CM1) sedangkan untuk target conditional, kontribusi pabrik pupuk adalah 1,20 juta ton CO2e (CM2).
Target pada CM1 dicapai dengan perbaikan teknologi pada ammonia plant dan recovery urea pada 38,5%
kapasitas produksi. Target conditional (CM2) dicapai dengan perbaikan teknologi pada 45% kapasitas
produksi (Gambar 4-33). Dukungan regulasi pemerintah dalam mitigasi emisi GRK terkait industri pupuk
dinyatakan dalam Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2018 tentang Penetapan Standar
Industri Hijau untuk Industri Pupuk Urea, Pupuk SP-36, dan Pupuk Amonium Sulfat yang menyatakan
bahwa emisi CO2e maksimum adalah 1,6 ton CO2e/ton urea (tidak disebutkan standar per ton amonia).

Gambar 4-33
Potensi perbaikan teknologi ammonia plant dan penurunan emisi GRK IPPU

3,0

2,5
Pengurangan emisi IPPU
(Juta Ton CO2e )

2,0

1,5
100,0%
1,0

0,5 38,5% 45,0%

0,0
Potensi Implementasi
100% Potensi Skenario CM1 Skenario CM2

4.2.2.2 Potensi Mitigasi Lainnya

Secondary Catalyst Untuk Destruksi N2O Industri Asam Nitrat

Profil industri asam nitrat Indonesia menunjukkan adanya peningkatan produksi asam nitrat yang
signifikan pada tahun 2012 dengan beroperasinya dua pabrik baru hingga mencapai kapasitas 167 ton,
pada tahun 2014 terdapat tambahan pabrik baru hingga mencapai kapasitas 235 ton, dan pada tahun
2016 hingga mencapai kapasitas 334,3 ton. Adanya peningkatan kapasitas produksi, emisi N2O yang
terlepas selama proses produksi juga meningkat. Selain itu, emisi N2O juga dipengaruhi oleh ada atau
tidaknya teknologi yang dapat mendestruksi atau mencegah terbentuknya N2O sebagai premier,
secondary, dan tertierary mitigations.

Pada penetapan target NDC, teknologi mitigasi yang dipertimbangkan di dalam penurunan emisi
N2O pada proses produksi asam nitrat adalah penerapan teknologi selective secondary catalyst untuk
mendestruksi N2O yang terbentuk selama proses produksi asam nitrat sehingga menurunkan
intensitas (faktor) emisi (Gambar 4-34). Informasi penurunan intensitas (faktor) emisi tersebut digunakan
untuk proyeksi emisi N2O baseline dan skenario mitigasi sampai dengan 2030 (Gambar 4-35).
74 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4-34
Profil produksi asam nitrat dan intensitas emisi GRK baseline dan mitigasi

400 3.0 Realisasi produksi


asam nitrat
Produksi Asam Nitrat (Ton)

350
2.5 Proyeksi produksi
asam nitrat
300

(Ton CO2e /Ton Produk)


Faktor emisi
2.0

Faktor Emisi GRK


250
Faktor emisi
200 1.5 baseline
Proyeksi faktor
150 emisi
1.0
100
0.5
50

0 0.0
2010 2015 2020 2025 2030

Gambar 4-35
Profil emisi N2O baseline dan mitigasi industri asam nitrat

0,8 0,40

0,7 0,35
Penurunan emisi GRK (fraksi)

0,6 0,30
Emisi GRK (Juta ton CO2 e)

0,5 0,25

0,4 0,20

0,3 0,15

0,2 0,10

0,1 0,05

0,0 0,00
2010 2015 2020 2025 2030
Potensi reduksi Reduksi Emisi Emisi baseline Proyeksi emisi
STRATEGI
PELAKSANAAN 75

Target penurunan emisi N2O diperkirakan dari salah satu industri asam nitrat yang telah beroperasi
dengan secondary catalyst dan industri asam nitrat lainnya yang potensial untuk pemasangan teknologi
serupa (100% produksi nasional). Potensi penurunan emisi N2O dari salah satu industri asam nitrat
yang beroperasi dengan secondary catalyst (32% produksi nasional) adalah sebesar 117 kilo ton CO2e
sedangkan kontribusi industri asam nitrat untuk mencapai target NDC conditional (CM2) adalah sebesar
54 kilo ton CO2e yang dipenuhi dari pengoperasian 15% produksi nasional (Gambar 4-36).

Gambar 4-36
Potensi perbaikan teknologi ammonia plant dan penurunan emisi GRK IPPU

400
Pengurangan Emisi N2O (kilo ton CO2e)

350
300
250
361
200 kilo ton CO2e
(100% produksi
150 nasional)
100
117 kilo ton CO 2 e
50 (32% produksi) 54 kilo ton CO2 e
(15% produksi)
-
2030
Potensi semua industri Potensi satu industri Target CM2

Penurunan Emisi CO2 dari Produksi Crude Steel di Industri Besi Baja

Profil industri besi baja Indonesia (Gambar 4-37) menunjukkan adanya penurunan produksi yang signifikan
di tahun 2012 - 2013 dengan berhentinya unit produksi BF (Blast Furnace), namun terjadi peningkatan
produksi di tahun 2015 dengan beroperasinya BOF (Basic Oxygen Furnace) meskipun pada tahun 2015
unit produksi DRI (Direct Reduction Iron) berhenti beroperasi. Perubahan sistem produksi di industri besi
baja tersebut mempengaruhi tingkat emisi IPPU (CO2) proses produksi besi baja karena masing-masing
sistem produksi memiliki faktor emisi berbeda-beda (Gambar 4-37).
76 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4-37
Profil pengoperasian sistem proses dan produksi crude steel di Indonesia

3
juta ton

0
2010 2015 2020 2025 2030
Realisasi produksi Crude Steel Proyeksi produksi Crude Steel EAF
Proyeksi EAF BOF Proyeksi BOF
DRI Proyeksi DRI BF
Proyeksi BF

Proyeksi kapasitas produksi crude steel sampai dengan tahun 2030 disusun berdasarkan sistem
produksi yang dioperasikan pada tahun-tahun tersebut. Pada Gambar 4-38 disajikan proyeksi produksi
crude steel hingga tahun 2030 berikut proyeksi tingkat emisi CO2 IPPU yang dihasilkan dari pengoperasian
masing-masing sistem produksi tersebut. Proyeksi emisi skenario baseline disusun dengan asumsi, jika
tidak ada penggunaan scrap pada proses electric arc furnace (EAF) maka bahan baku disuplai dari unit
produksi blast furnace.

Gambar 4-38
Proyeksi produksi crude steel dan tingkat emisi CO2 IPPU industri besi baja

7 14
Tingkat Emisi (Juta Ton CO2e)

6 12
Produksi Crude Steel (Juta Ton)

5 10
4 8
3 6
2 4
1 2
- 0
2010 2015 2020 2025 2030
Realisasi produksi Crude Steel Proyeksi produksi Crude Steel
Inventarisasi emisi Emisi baseline
Proyeksi emisi
STRATEGI
PELAKSANAAN 77

Pada tahun 2030, proyeksi emisi CO2 IPPU di industri besi baja untuk skenario baseline diperkirakan
sebesar 13,12 juta ton CO2e sedangkan untuk skenario mitigasi diperkirakan sebesar 11,76 juta ton CO2e.
Potensi penurunan emisi CO2 IPPU di tahun 2030 adalah 1,37 juta ton CO2e. Potensi penurunan tersebut
dicapai melalui pemanfaatan scrap (10% total bahan baku) di seluruh unit EAF. Kontribusi industri besi
baja di dalam mencapai target conditional (CM2) dapat dicapai apabila 15% produksi criude steel di EAF
Indonesia menggunakan 10% scrap (Gambar 4-39).

Gambar 4-39
Potensi penggunaan scrap di industri besi baja dan penurunan emisi IPPU

1,40
1,20
Penurunan emisi IPPU

1,00
(Juta Ton CO2e)

0,80
100%
0,60
Potensi penurunan
0,40
GRK
0,20 1,37 Juta Ton CO2e 5%
0%
0,00
2030
Potensi Pengurangan Emisi Target CM1 Target CM2

Penurunan Emisi PFCs IPPU dari proses produksi di Industri Aluminium

Di Indonesia hanya terdapat satu industri aluminium dengan kapasitas produksi terpasang pada saat ini
sebesar 250.000 ton aluminum per tahun. Profil produksi aluminium pada tahun 2010-2016 dan perkiraan
proyeksinya sampai dengan tahun 2030 berikut faktor emisi PFCs dari proses produksi disampaikan pada
Gambar 4-40. Terdapat penurunan tingkat emisi PFCs yang signifikan pada tahun 2011 dan seterusnya
yang ditandai dengan turunnya faktor emisi dari 2,24 menjadi 1,8 kilo ton CO2e per ton produk aluminium.

Aktivitas mitigasi yang potensial dalam menurunkan emisi PFCs adalah mengurangi Anode Effect (AE) pada
fasilitas smelter. AE adalah kondisi dimana tegangan dalam tungku reduksi mendadak meningkat ketika
level alumina yang terlarut dalam tungku peleburan jauh di bawah normal. Sejak awal beroperasi di tahun
1982, smelter menggunakan CWPB (center work pre-bake cell technology with bar brake). Pengurangan AE
dicapai dengan mengganti software dan hardware dan menggabungkan algoritma baru di dalam sistem
kontrol yang mampu mengurangi frekuensi AE, durasi, dan over voltage. Pada tahun 2030, tingkat emisi
PFCs baseline diperkirakan mencapai 577 kilo ton CO2e sedangkan skenario mitigasi 462 kilo ton CO2e dan
potensi penurunan emisi GRK sebesar 116 kilo ton CO2e (Gambar 4-41).
78 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4-40
Profil produksi dan faktor emisi PFCs di industri aluminium Indonesia

0,30 2,5

0,25
2,0

Ton CO2e/ton produk


Juta Ton Aluminum

0,20
1,5
0,15
1,0
0,10

0,05 0,5

0,00 0,0
2010 2015 2020 2025 2030
Realisasi produksi aluminium Proyeksi produksi aluminium
Faktor emisi Faktor emisi baseline
Proyeksi faktor emisi

Gambar 4-41
Emisi PFCs IPPU dan potensi penurunannya di industri aluminium Indonesia

700 150
Pengurangan Emisi PFCs (kilo ton CO2e)

600 130
Emisi PFCs (kilo ton CO2e)

110
500
90
400
70
300
Potensi penurunan (2030) 50
200 sebesar 0,116 juta ton CO2e
30
100 10

- -10
2010 2015 2020 2025 2030
Potensi reduksi Pengurangan emisi Inventarisasi emisi
Baseline emisi Proyeksi emisi
STRATEGI
PELAKSANAAN 79

Kontribusi industri aluminium dalam mencapai target NDC untuk mencapai penurunan emisi GRK (PFCs)
adalah mempertimbangkan capaian penurunan emisi GRK (PFCs) yang telah dicapai melalui proyek CDM
yang dimulai dengan proses validasi pada tahun 2010 dan berakhir pada tahun 2017. Target NDC dalam
mengurangi emisi PFCs IPPU untuk skenario conditional (CM2) adalah 35 kilo ton CO2e atau sekitar 30%
klaim penurunan emisi PFCs pada industri aluminium melalui proyek CDM (Gambar 4-42).

Gambar 4-42
Potensi penurunan tingkat emisi PFCs dari proyek CDM di industri aluminium dan
kontribusinya dalam mencapai target NDC conditional (CM2)

120
Pengurangan emisi PFCs

100
(kilo ton CO2e)

80

60 100%
40

20 0% 30%
-
2030
Potensi pengurangan PFCs Pengurangan PFCs (CM1) pengurangan PFCs (CM2)

4.2.3 Kesenjangan (Gap) Capaian Penurunan Emisi GRK IPPU Dan Target 2030

Inventarisasi emisi GRK IPPU Indonesia selama 2010-2016 menunjukkan bahwa terjadi penurunan
tingkat emisi yang cukup signifikan apabila dibandingkan tingkat emisi baseline maupun target mitigasi
unconditional (skenario CM1) dan conditional (skenario CM2). Hal ini mengindikasikan bahwa mitigasi yang
diimplementasikan selama 2010-2016 telah berjalan sukses dan berdampak pada penurunan emisi GRK
IPPU. Pada Gambar 4-43 dapat dilihat tingkat emisi GRK tahunan hasil inventarisasi selama 2010-2016
dan proyeksinya sampai dengan tahun 2030 untuk skenario baseline dan mitigasi unconditional (CM1) dan
mitigasi conditional (CM2).
80 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4-43
Tingkat emisi GRK baseline, skenario mitigasi dan inventarisasi sektor IPPU

75

70

65
Juta Ton CO2e

60

55

50 Baseline

45 Inventory
40 Mitigasi Skenario CM1
35 Mitigasi Skenario CM2
30
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030

Tingkat emisi hasil inventarisasi di tahun 2010, 2016 dan tingkat emisi di tahun 2030 untuk proyeksi ske-
nario baseline (BAU) dan mitigasi (CM1 dan CM2) dapat dilihat pada Gambar 4-44. Dapat dilihat bahwa
capaian penurunan emisi GRK pada tahun 2016 adalah 6,5 Juta Ton CO2e, dimana pada tahun 2016 ting-
kat emisi baseline adalah 59 Juta Ton CO2e dan tingkat emisi mitigasi adalah 52,56 Juta Ton CO2e. Apabila
capaian penurunan emisi GRK tersebut dapat terus dipertahankan, maka capaian penurunan emisi GRK
tersebut telah melebihi target NDC di tahun 2030 (Gambar 4-44).

Gambar 4-44
Tingkat emisi, target dan capaian penurunan emisi GRK sektor IPPU

Tingkat emisi GRK IPPU Target & capaian pengurangan emisi


80 8,0
70 7,0
Industri Lainnya
60 6,0
Juta Ton CO2e

Juta Ton CO2e

Industri Lainnya
50 Aluminum
5,0
Aluminum
40 4,0 Asam Nitrat
30 Asam Nitrat
3,0 Besi Baja
20 Besi Baja 2,0
Amonia
10 Amonia 1,0
0 0,0 Semen
Semen
BAU

BAU
CM1

CM2
Base Year

Capaian
Inventory

CM1

CM2

2010 2030 2016 2030 2016


STRATEGI
PELAKSANAAN 81

4.2.4 Kelembagaan Implementasi, Pemantauan dan Pelaporan Aksi Mitigasi


Sektor IPPU
Strategi pelaksanaan kegiatan aksi mitigasi pada sektor IPPU secara umum terdiri dari tiga yaitu melalui
penerbitan regulasi, dukungan investasi, dan pemberian insentif. Pada Tabel 4-32 dapat dilihat strate-
gi pelaksanaan tersebut dan sistem kelembagaan masing-masing aksi untuk masing-masing industri.
Sedangkan sistem pemantauan, mekanisme pelaporan dan verifikasi aksi mitigasi sektor IPPU berikut
kelembagaannya diperlihatkan pada Tabel 4-33.

Tabel 4-32
Strategi pelaksanaan mitigasi sektor IPPU dan sistem kelembagaan

Strategi Pelaksanaan dan


Pelaksanaan Aksi Mitigasi Institusi Penanggung Jawab Aksi
Pelaksana

Strategi Pelaksanaan
• Penerbitan peraturan
Industri semen Kemenperin • Bantuan investasi
• Penyediaan insentif
• Pelaksana : industri terkait

Strategi Pelaksanaan
• Penerbitan peraturan
Industri besi dan baja Kemenperin • Bantuan investasi
• Penyediaan insentif
• Pelaksana : industri terkait

Strategi Pelaksanaan
• Penerbitan peraturan
Kemenperin dan Kementerian
Industri pupuk • Bantuan investasi
BUMN
• Penyediaan insentif
• Pelaksana : industri terkait

Strategi Pelaksanaan
• Penerbitan peraturan
Industri aluminium Kemenperin • Bantuan investasi
• Penyediaan insentif
• Pelaksana : industri terkait

Strategi Pelaksanaan
• Penerbitan peraturan
Industri asam nitrat Kemenperin • Bantuan investasi
• Penyediaan insentif
• Pelaksana : industri terkait
82 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-33
Pemantauan, pelaporan dan verifikasi aksi mitigasi sektor IPPU

Pelaksana Aksi Mekanisme


Data yang Dipantau Verifikasi
Mitigasi Pelaporan

• Data produksi semen


Industri semen KLHK
• Faktor emisi
Industri terkait
Industri besi dan baja • Data produksi besi dan baja melaporkan data KLHK
mitigasi ke
Industri pupuk • Data produksi pupuk, konsumsi gas KLHK
Kemenperin dan
Industri aluminium • Data produksi aluminium KLHK KLHK

Industri asam nitrat • Data produksi asam nitrat KLHK

4.2.5 Biaya
Perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai target unconditional (CM 1) pada sektor IPPU disam-
paikan pada Tabel 4-34. Kebutuhan biaya tersebut mencakup kegiatan-kegiatan implementasi proses
baru, pemasangan peralatan pengendalian emisi GRK dari kegiatan IPPU, penambahan dan substitusi
unit produksi baru (new/advance technology), retrofit, perbaikan teknologi, perbaikan manajemen peng-
operasian pabrik, dan kategori lainnya. Kebutuhan biaya terbatas pada perkiraan biaya investasi.

Tabel 4-34
Perkiraan kebutuhan biaya mitigasi sektor IPPU target unconditional (CM 1)

Jenis Mitigasi Aksi Mitigasi Rp Keterangan

Penurunan CO2 Pemasangan fasilitas Co-Processing (AFR) untuk 300 miliar IPPU & Energi
melalui penerapan menurunkan rasio klinker/semen ke 75%
blended cement di (2030)
industri Semen

Penurunan CO2 di 1. Pembanguan pabrik baru dengan New/ 40 - 50 miliar IPPU & Energi
Ammonia Plant Advance Technology
2. Substitusi dan Retrofit Teknologi 40 miliar
3. Perbaikan Teknologi 350 miliar
4. Perbaikan Sistem Produksi 40 miliar

Penurunan N2O di Pemasangan Secondary N2O Abatement Catalyst 45 - 50 miliar IPPU & Energi
industri Asam Nitrat dan Biaya Operasi

Penurunan PFCs di Perbaikan sistem software dan hardware dan 85 miliar IPPU & Energi
industri Aluminium menggabungkan algoritma baru di dalam
sistem kontrol yang mampu mengurangi
frekuensi AE, durasi, dan over voltage

TOTAL 80 – 85 miliar
STRATEGI
PELAKSANAAN 83

4.2.6 Timeline
Rencana target pencapaian aksi mitigasi sektor IPPU diperlihatkan pada Tabel 4-35.

Tabel 4-35
Rencana target pencapaian aksi mitigasi sektor IPPU

Pelaksana Mitigasi Sebelum 2020 2020-2024 2025-2030

Rasio Klinker/ Semen 78% Rasio Klinker/ Semen 76%


Industri Semen Rasio Klinker/ Semen 75%
- 79% - 77%

Substitusi/Reftrofit dan Perbaikan Teknologi, dan Perbaikan Sistem Produksi


Industri Amonia
Pembangunan Pabrik Baru (New/Advance Technology)

Pemasangan Secondary
Pemasangan Secondary Catalyst di pabrik lainnya
Industri Asam Nitrat
Catalyst di satu industri dan penggantian katalis
secara reguler

Memenuhi Target CM2 dan


Industri Aluminium CDM Project
Karbon Market

Industri Besi dan Baja Penggunaan scrap di unit EAF sampai dengan 10%

4.2.7 Enabling Condition Pencapaian Target NDC Sektor IPPU


Target penurunan emisi GRK sektor IPPU dapat dicapai apabila ditunjang oleh iklim yang kondusif yang
memerlukan enabling conditions sebagai berikut:

•• Kebijakan insentif dan skema pendanaan investasi yang menarik.


•• Peraturan terkait batasan (CAP) emisi GRK di industri dan sistem pelaporan yang mendorong industri
melaporkan capaian penurunan emisi GRK sektor IPPU.
•• Dukungan pemerintah (kementerian dan institusi terkait) untuk memfasilitasi komunikasi antara
produsen semen dengan konsumen mengenai batasan rasio klinker dan kualitas semen mengingat
preference konsumen yang mengutamakan penggunaan produk semen dengan rasio klinker tinggi
akan menjadi hambatan dalam mencapai target penurunan emisi GRK.

Kebijakan sektor industri yang mendukung pelaksanaan mitigasi GRK IPPU, diantaranya adalah:

•• Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 512/M-IND-Kep/12 Tahun 2015 tentang Penetapan Standar
Industri Hijau untuk ‘Industri Semen Portland’ yang mensyaratkan 750 kg CO2/ton cementitious.
•• Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2018 tentang Penetapan Standar Industri Hijau
untuk Industri Pupuk Urea, SP-36, dan Amonium Sulfat yang menyatakan emisi GRK maksimum 1,6
ton CO2e/ton urea.
84 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.3 Sektor Limbah


4.3.1 Baseline dan Target Penurunan Emisi GRK
Sumber-sumber emisi GRK sektor limbah adalah unit-unit proses pengolahan limbah, yaitu (i) pengolahan
limbah padat domestik (sampah) di TPA (tempat pengolahan akhir) maupun pengolahan limbah padat
industri (termasuk limbah B-3 proses produksi) di landfill, (ii) pengolahan secara biologis (pengomposan
atau biodigester), (iii) pembakaran secara terbuka (open burning) dan insinerasi; (iv) pengolahan limbah cair
domestik, (v) pengolahan limbah cair industri, dan (vi) pengolahan limbah lainnya, yaitu limbah infeksius
(rumah sakit, puskesmas, dan laboratorium kesehatan). Aksi-aksi mitigasi pada NDC Indonesia sektor
limbah mencakup kegiatan pengolahan limbah pada butir (i) s/d (v). Pengolahan limbah lain-lain tidak
termasuk di dalam pelaksanaan NDC mengingat belum ada upaya-upaya mitigasi yang signifikan
menurunkan emisi GRK pada kegiatan pengolahan limbah lain-lain tersebut. Dengan demikian, proyeksi
tingkat emisi GRK sektor limbah mencakup seluruh proyeksi emisi GRK dari sumber-sumber utama di
sektor limbah tersebut. Pada Gambar 4-45 disampaikan sumber-sumber emisi GRK sektor limbah
sebagaimana diatur pada pedoman IPCC 2006.

Gambar 4-45
Sumber-sumber emisi GRK sektor limbah

4A1 Managed

4A Tempat Pembuangan Akhir


(TPA/Landfill) Limbah Padat 4A2 Unmanaged
(Domestik dan Industri

4A3 Uncategorized

4B Pengolahan Limbah Padat


Secara Biologi

4C1 Insinerasi

4 Sektor Limbah 4C Insinerasi Limbah dan


Open-Burning
4C2 Open-Burning

4D1 IPAL (Instalasi


Pengolahan
Air Limbah)
Domestik
4D Pengolahan & Pembuangan
Limbah Cair (Domestik dan
Industri)
4D2 IPAL (Instalasi
Pengolahan
Air Limbah)
Industri
4E Lain-lain (limbah B-3, limbah
infeksius, e-waste, dll)
STRATEGI
PELAKSANAAN 85

Skenario baseline (BAU) diasumsikan untuk kondisi dimana tidak ada aktivitas mitigasi atau kebijakan
yang mengarah kepada terjadinya penurunan emisi GRK setelah tahun dasar 2010 sampai dengan target
2030 sejalan dengan keadaan BAU (business as usual). Proyeksi emisi GRK skenario baseline (BAU) disusun
dengan asumsi bahwa laju emisi GRK sejalan dengan jumlah limbah yang diolah, dengan driver dari
peningkatan jumlah limbah yang diolah adalah jumlah penduduk, waste generation per kapita dan
kandungan DOC (degradable organic component) untuk limbah domestik dan kapasitas produksi industri,
waste generation per produk atau per output ekonomi (Gross Domestic Product/GDP), dan DOC (kandungan
degradable organic component) untuk limbah industri. Sedangkan kemajuan teknologi pengolahan limbah
lebih mempengaruhi faktor emisi GRK yang dilepaskan dari setiap unit limbah yang diolah.

Proyeksi skenario mitigasi mengasumsikan laju peningkatan jumlah limbah yang diolah dipengaruhi
oleh parameter-parameter yang sama yang merupakan driver peningkatan jumlah limbah pada skenario
baseline, namun dengan tingkat emisi GRK yang lebih rendah, baik skenario mitigasi untuk mencapai
target unconditional (CM1) maupun conditional (CM2).

Rendahnya tingkat emisi GRK pada skenario CM1 karena adanya aksi-aksi mitigasi pada pengolahan
limbah sebagai berikut:

•• Limbah padat domestik: pemanfaatan LFG recovery untuk pembangkit listrik atau heat/ steam,
pemanfaatan limbah untuk produksi kompos, daur ulang kertas melalui program 3R dan Bank
Sampah, pemanfaatan sampah menjadi bahan bakar di PLTSa dan/atau refuse derived fuel (RDF)
dengan target penurunan emisi GRK sebesar 8,16 juta ton CO2e;
•• Limbah cair domestik: pemisahan sludge dari septic tank dan pembangunan IPAL terpusat dengan
sistem aerobik, dan pembangunan IPAL komunal dengan sistem biodigester yang dilengkapi dengan
pemanfaatan gas metana sebagai bahan bakar dengan target penurunan emisi GRK yang hendak
dicapai sebesar 88 kilo ton CO2e;
•• Limbah padat industri (termasuk sludge IPAL industri): pemanfaatan sebagai bahan bakar, bahan
baku, dan kompos; untuk mencapai target unconditional, mitigasi diimplementasikan pada industri
pulp kertas berupa pemanfaatan sludge IPAL menjadi bahan baku, bahan bakar (insinerasi), dan kom-
pos dengan target penurunan emisi GRK sebesar 91 kilo ton CO2e;
•• Limbah cair industri: pengolahan dengan biodigester yang dilengkapi methane recovery dan
pemanfaatan untuk pembangkit listrik maupun heat/steam dengan target penurunan emisi GRK
sebesar 3,01 juta ton CO2e.

Aksi-aksi mitigasi skenario CM2 hampir sama dengan yang ada pada skenario CM1, namun terdapat
perbedaan pada besarnya jumlah limbah yang diolah dengan teknologi yang menghasilkan emisi GRK
lebih rendah dan jumlah penangkapan dan pemanfaatan gas metana yang relatif lebih tinggi sehingga
menghasilkan penurunan emisi GRK yang lebih besar, yaitu mencapai 18,01 juta ton CO2e.

Proyeksi emisi GRK sektor limbah untuk skenario baseline (BAU) dan skenario mitigasi dalam skema
unconditional (CM1) dan conditional (CM2) disampaikan pada Gambar 4-46. Dapat dilihat pada gambar
bahwa intensitas emisi GRK mitigasi skenario CM1 ditargetkan turun menjadi 0,96 kali intensitas emisi
baseline di tahun 2030, sedangkan pada skenario CM2, ditargetkan intensitas emisi GRK berkurang 0,91
kali emisi baseline di tahun 2030.

Penurunan intensitas tersebut merepresentasikan adanya penurunan emisi GRK yang ditargetkan
sebesar 11,35 juta ton CO2e pada tahun 2030. Rincian tingkat emisi GRK dan target penurunan emisi GRK
mitigasi CM1 dan CM2 untuk masing-masing subsektor (kategori) limbah dapat dilihat pada Gambar 4-47
86 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

sedangkan rincian target penurunan emisi GRK tahunan untuk masing-masing aksi mitigasi 2020-2030
disampaikan pada Lampiran 1 Tabel L.1.1 (mitigasi CM1) dan Tabel L.1.2 (mitigasi CM2).

Alokasi target penurunan emisi GRK untuk masing-masing subsektor pada pengolahan limbah dapat
dilihat pada Gambar 4-48, sedangkan rincian aksi-aksi mitigasi pada masing-masing subsektor pengolah-
an limbah disampaikan pada Tabel 4-36 dan penjelasannya pada subbab 4.3.2.1 sampai dengan 4.3.2.4.

Gambar 4-46
Proyeksi tingkat emisi GRK sektor limbah, skenario baseline, CM1, dan CM2

350 1,200

Intensitas (ton CO2e/kapita)


300 1,000
Emisi GRK (Juta Ton CO2e)

250
0,800
200
0,600
150
0,400
100

50 0,200

- -
2010
2012
2014
2016
2018
2020
2022
2024
2026
2028
2030
2010
2012
2014
2016
2018
2020
2022
2024
2026
2028
2030
2010
2012
2014
2016
2018
2020
2022
2024
2026
2028
2030
Baseline Baseline Baseline
Limbah Padat Domestik Limbah Padat Industri Limbah Cair Domestik
Limbah Cair Industri Intensitas
STRATEGI
PELAKSANAAN 87

Gambar 4-47
Tingkat emisi GRK sektor limbah, proyeksi dan target penurunannya

300 30

25

Penurunan emisi GRK


250
Tingkat Emisi GRK

(Juta Ton CO2e)


20
(Juta Ton CO2e)

200
15
150
10
100
5
50
0
CM1 CM2
0
Base Year BAU CM1 CM2 2030
Limbah Cair
2010 2030 Industri
3,01 18,01

Limbah Cair Industri 35,20 208,29 205,29 190,29 Limbah Padat


0,09 0,09
Industri
Limbah Padat Industri 0,15 0,38 0,29 0,29
Limbah Cair
0,09 0,09
Limbah Cair Domestik 17,60 28,95 28,86 28,86 Domestik
Limbah Padat 8,16 8,16
Limbah Padat Domestik 34,78 58,22 50,06 50,06 Domestik

Sumber: Diolah dari NDC Indonesia 2016, Second BUR, TNC dan konsultasi dengan para pihak

Gambar 4-48
Alokasi target penurunan emisi GRK sektor Limbah

SEKTOR LIMBAH

11,35
Juta Ton CO2e
(2030)

Pengolahan Pengolahan Pengolahan Pengolahan


limbah padat limbah cair limbah padat limbah cair
domestik domestik industri industri

8,16 0,09 0,09 3,01


Juta Ton CO2e Juta Ton CO2e Juta Ton CO2e Juta Ton CO2e
88 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-36
Rincian target penurunan emisi GRK sektor Limbah (Juta Ton CO2e)

Mitigasi CM1 Mitigasi CM2


Aksi-aksi Mitigasi
2020 2025 2030 2020 2025 2030

Pengolahan Limbah Padat Domestik

Tingkat Emisi Baseline 44,73 47,15 58,22 44,73 47,15 58,22

Tingkat Emisi Mitigasi

- Pengomposan 44,66 45,87 55,62 44,66 45,87 55,62

- Daur Ulang kertas (TPST, TPS3R, Bank Sampah) 44,10 45,87 56,04 44,10 45,87 56,04

- TPA + LFG Recovery (SRT atau power plant) 44,15 46,23 56,75 44,15 46,23 56,75

- Energy Recovery PLTSa dan RDF 44,73 47,04 56,31 44,73 47,04 56,31

Penurunan Emisi

- Pengomposan 0,07 1,28 2,61 0,07 1,28 2,61

- Daur Ulang kertas (TPST, TPS3R, Bank Sampah) 0,63 1,28 2,18 0,63 1,28 2,18

- TPA + LFG Recovery (SRT atau power plant) 0,58 0,92 1,47 0,58 0,92 1,47

- Energy Recovery PLTSa dan RDF - 0,11 1,91 - 0,11 1,91

Pengolahan Limbah Cair Domestik

Tingkat Emisi Baseline 24,58 26,93 28,95 24,58 26,93 28,95

Tingkat Emisi Mitigasi

- IPAL Kota terpusat sistem Aerobik 24,58 26,93 28,95 24,58 26,93 28,95

- IPAL Komunal (Biodigester + gas recovery) 24,58 26,93 28,95 24,58 26,93 28,95

- Sludge Removal 24,58 26,93 28,94 24,58 26,93 28,94

- IPAL (statistik) 24,51 26,86 28,86 24,51 26,86 28,86

Penurunan Emisi

- IPAL Kota terpusat sistem Aerobik 0,0002 0,0003 0,0006 0,0002 0,0003 0,0006

- IPAL Komunal (Biodigester + gas recovery) 0,0002 0,0004 0,0005 0,0002 0,0004 0,0005
STRATEGI
PELAKSANAAN 89

Mitigasi CM1 Mitigasi CM2


Aksi-aksi Mitigasi
2020 2025 2030 2020 2025 2030

- Sludge Removal 0,0009 0,0016 0,0030 0,0009 0,0016 0,0030

- IPAL (statistik) 0,07 0,08 0,08 0,07 0,08 0,08

Pengolahan Limbah Padat Industri (Sludge


IPAL Pulp & Kertas)

Tingkat Emisi Baseline 0,24 0,31 0,38 0,24 0,31 0,38

Tingkat Emisi Mitigasi

- Pengomposan 0,24 0,30 0,38 0,24 0,30 0,38

- Reuse dan Pemanfaatan lain 0,18 0,24 0,32 0,18 0,24 0,32

- Bahan bakar 0,22 0,28 0,36 0,22 0,28 0,36

Penurunan Emisi

- Pengomposan 0,0015 0,0018 0,0018 0,0015 0,0018 0,0018

- Reuse dan Pemanfaatan lain 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06

- Bahan bakar 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03

Pengolahan Limbah Cair Industri - - - - - -

Tingkat Emisi Baseline 73,59 122,06 208,29 73,59 122,06 208,29

- Industri (selain pulp kertas, termasuk CPO) 69,05 117,14 202,80 69,05 117,14 202,80

- Pulp & Kertas 4,54 4,92 5,49 4,54 4,92 5,49

Tingkat Emisi Mitigasi

- Biogas POME dan industri lain 68,78 115,51 199,80 68,78 115,51 184,80

- Biogas Pulp Kertas 4,54 4,91 5,48 4,54 4,91 5,48

Penurunan Emisi

- Biogas POME dan industri lain 0,27 1,64 3,00 0,27 1,64 18,00

- Biogas Pulp Kertas 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01

Total Penurunan Sektor Limbah 2 5 11 2 5 26


90 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.3.2 Aksi-aksi Mitigasi


Aksi-aksi mitigasi emisi GRK sektor limbah akan diimplementasikan pada sumber-sumber utama emisi
GRK melalui skenario unconditional (CM1) dengan target penurunan emisi GRK di tahun 2030 sebesar 11
juta ton CO2e (0,38% terhadap skenario baseline) dan pada skenario conditional (CM2) sebesar 26 juta ton
CO2e (1% terhadap skenario baseline).

Untuk mencapai target tersebut, diperlukan pengembangan strategi komprehensif untuk meningkatkan
kualitas kebijakan dan kapasitas institusi di tingkat lokal, meningkatkan kapasitas pengelolaan limbah cair
perkotaan, mengurangi limbah yang dibuang ke landfill melalui pendekatan “reduce, reuse, recycle” dan
pemanfaatan sampah dan limbah untuk energi.

Rincian mengenai aksi-aksi mitigasi untuk setiap sumber emisi dan target penurunan emisi GRK
masing-masing skenario berdasarkan dokumen First NDC of Indonesia disajikan pada sub-bab berikut ini.

4.3.2.1 Limbah Padat Domestik


Upaya-upaya penurunan emisi GRK pada NDC subsektor limbah padat domestik (sampah) mencakup
kegiatan peningkatan landfill gas (LFG) recovery di tempat pengolahan akhir (TPA) dan peningkatan
penurunan jumlah sampah yang berpotensi mengemisikan GRK pada saat ditimbun di TPA melalui
penerapan 3R (reduce, reuse, recycle) dengan jalan daur ulang kertas melalui operasionalisasi kegiatan
bank sampah dan pemanfaatan sampah (organik) menjadi kompos untuk melanjutkan kegiatan yang
telah direalisasikan di base year (2010), dan pemanfaatan untuk refuse derived fuel (RDF) yang digunakan
sebagai bahan bakar di industri maupun pembangkit listrik (PLTSa). Kegiatan aksi mitigasi pada skenario
mitigasi diperlihatkan pada Tabel 4-37.

Tabel 4-37
Aksi-aksi mitigasi pada pengolahan sampah untuk mencapai target NDC

Subsektor Penghindaran Emisi GRK Pengurangan Emisi GRK

Aksi mitigasi mengurangi limbah padat yang dikelola di Aksi mitigasi pengurangan emisi metana
TPA (landfill) melalui: melalui:
1. Pemanfaatan sampah menjadi kompos di TPA, 1. Penerapan Landfill Gas (LFG) recovery
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dan yang diimbangi dengan rehabilitasi
Limbah
Tempat Pengolahan Sampah 3R (TPS 3R). TPA open dumping menjadi TPA
padat
2. 3R kertas melalui operasionalisasi kegiatan Bank sanitary landfill yang dilengkapi
domestik
Sampah, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) pengelolaan gas metana.
dan Tempat Pengolahan Sampah 3R (TPS 3R).
3. Pemanfaatan sampah menjadi RDF (di industri) atau
bahan bakar/bahan baku di PLTSa.

Pada proyeksi emisi GRK pengolahan sampah skenario baseline, diasumsikan belum ada upaya-upaya
dan/atau regulasi yang mengarah kepada penurunan emisi GRK selama periode 2010–2030 yang sejalan
dengan kondisi business as usual (BAU). Pada skenario baseline, karakteristik sampah diasumsikan sama
dengan kondisi base year (2010) sedangkan jumlah sampah pada tahun 2030 diperkirakan meningkat
signifikan dibandingkan pada tahun 2010. Peningkatan tersebut sejalan dengan pertambahan jumlah
STRATEGI
PELAKSANAAN 91

penduduk dan peningkatan laju timbulan sampah. Pada periode 2010-2030, volume timbulan sampah
diperkirakan meningkat rata-rata sekitar 1,1% per tahun. Proyeksi pertumbuhan penduduk sampai
dengan tahun 2030 merujuk data statistik BPS (Lampiran 1, Tabel L.1.8).

Pada periode 2010-2018 timbulan sampah Indonesia meningkat rata-rata 1,4% per tahun, dari sekitar
60 juta ton di tahun 2010 menjadi sekitar 67 juta ton di tahun 2018. Pada tahun 2017, proporsi sistem
penanganan sampah adalah: 73% ditimbun di TPA, 0,03% dikomposkan, 0,05% daur ulang, 21% open
burning dan 6% tidak tertangani (untreated).

Teknologi pengolahan sampah pada skenario BAU adalah teknologi yang diaplikasikan pada base year
2010, yaitu daur ulang dan pengomposan (persentase sangat kecil), OB (open burning), untreated, dan
pembuangan di TPA. Teknologi pengolahan sampah yang diterapkan pada skenario mitigasi adalah
sebagaimana disampaikan pada Tabel 4-35.

Proyeksi pengolahan sampah skenario baseline diperlihatkan pada Gambar 4-49 sedangkan pada
skenario mitigasi diperlihatkan pada Gambar 4-50. Tampak pada gambar bahwa sebagian besar (lebih
dari 70%) sampah ditangani dengan cara penimbunan di TPA, namun persentase 3-R (pengomposan dan
recycling kertas) pada skenario mitigasi lebih besar dibanding pada skenario baseline. Pada Gambar 4-50
juga diperlihatkan bahwa RDF/PLTSa mulai diterapkan tahun 2020 dan akan terus berkembang secara
signifikan.

Gambar 4-49
Pengelolaan sampah berdasarkan teknologi pengolahan, skenario baseline
Padat Domestik (Juta Ton)

80
Pengolahan Limbah

TPA
60
PLTSa
3R
40
Kompos
20 Untreated
Open Burning
-
2010 2015 2020 2025 2030

Gambar 4-50
Proyeksi timbulan sampah dan teknologi pengolahannya, skenario mitigasi

80
Pengolahan Limbah Padat

70
Domestik (Juta Ton)

TPA
60
50 PLTSa
40 3R
30 Kompos
20
Untreated
10
- Open Burning
2010 2015 2020 2025 2030
92 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Berdasarkan data historis dan proyeksi timbulan sampah dan teknologi pengolahannya, telah dihitung
tingkat emisi GRK (historis dan proyeksinya) untuk periode 2010-2030 pada skenario baseline dan
skenario mitigasi sebagaimana disampaikan pada Gambar 4-51. Sedangkan hasil perhitungan tingkat
emisi GRK masing-masing aksi mitigasi disampaikan pada Gambar 4-52. Besarnya potensi penurunan
emisi GRK dari aksi-aksi mitigasi dihitung dari selisih tingkat emisi GRK skenario baseline dengan tingkat
emisi GRK skenario mitigasi. Dapat dilihat pada Gambar 4-51 dan Gambar 4-52 bahwa upaya-upaya
mitigasi subsektor limbah padat domestik diperkirakan dapat mencapai penurunan emisi GRK sebesar
8,16 juta ton CO2e di tahun 2030. Alokasi masing-masing target penurunan emisi GRK subsektor limbah
padat domestik disampaikan pada Gambar 4-53. Data lebih rinci mengenai alokasi target penurunan
emisi GRK subsektor sampah domestik dan kebutuhan fasilitas pengelolaan sampah dapat dilihat pada
lampiran (Tabel L.1.3 sampai dengan Tabel L.1.7 pada Lampiran L.1)

Gambar 4-51
Emisi GRK pengolahan sampah, skenario baseline dan mitigasi

70
BAU Emisi baseline (2030) : 58 , 22 juta ton CO2e
60 Mitigasi
Emisi GRK (Juta ton CO2e)

50

40

30 Emisi mitigasi (2030) : 50,06 juta ton CO2e

20

10
Penurunan emisi GRK dari pengolahan sampah: 8,16 juta ton CO2e (2030)
-
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030

Gambar 4-52
Proyeksi emisi GRK berdasarkan aksi mitigasi
60
BAU

LFG Recovery di TPA saja


Emisi GRK (Juta ton CO2e)

55
LFG + Kompos

50 LFG + 3R & Kompos

LFG + 3R & Kompos + PLTSa/RDF

45

40

35
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030
STRATEGI
PELAKSANAAN 93

Gambar 4-53
Alokasi target penurunan emisi GRK subsektor sampah dan roadmap
pembangunan fasilitas mitigasi

Pengolahan juta ton


Limbah Padat
Domestik
8,164 CO2e
(2030)

TPA dilengkapi LFG recovery Energi recovery Daur ulang kertas Pengomposan

juta ton juta ton juta ton


1,469 CO2e 1,911 CO2e 2,177 CO2e 2,606 juta ton
CO e 2

SRT PLTSa dan/atau RDF TPST


Sampah diolah

5.900SRT 4,6 juta 2.857 unit


(1.469 unit terintegrasi
ton/tahun pengomposan)
Pembangkit Listrik

45 MW TPS3R

3.018 unit
(1.703 unit terintegrasi
pengomposan)

Bank Sampah

762 unit

bar 4.53 agar satuan Ggram CO2e dikonversi ke juta ton CO2e  8,16 juta ton CO2e eperti dalam narasi s

4.3.2.2 Limbah Cair Domestik


Sumber-sumber utama emisi GRK subsektor limbah cair domestik mencakup emisi CH4 dari pengolahan
limbah MCK (mandi, cuci, dan pembuangan tinja) di rumah tangga (septic tank, laterine, saluran
pembuangan) dan pengolahan terpusat (IPAL komunal, IPAL terpusat, dan IPLT) dan emisi N2O dari
limbah cair perkotaan yang terjadi sepanjang saluran pembuangan (tidak langsung) sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 4-54.

Gambar 4-54
Sumber emisi GRK pada pengolahan limbah cair domestik di Indonesia

Limbah Cair Domestik

Latrine/ IPAL Lainnya:


Septic tank IPAL Komunal IPLT IPAL: Instalasi Pengolahan
cubluk Terpusat Sungai, danau, Air Limbah
kolam, tanah IPLT : Instalasi Pengolahan
Lumpur Tinja
Lumpur ( sludge ) dll.
94 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Aksi-aksi mitigasi subsektor limbah cair domestik mencakup penggunaan teknologi yang memberikan
dampak terhadap penurunan emisi GRK yang kontribusinya terhadap total emisi GRK nasional, yaitu
CH4. Teknologi mitigasi emisi gas metana diantaranya: fasilitas IPLT untuk mengolah sludge yang diambil
dari septic tank, IPAL terpusat dengan sistem aerobik, dan IPAL komunal dengan sistem biodigester yang
dilengkapi pemanfaatan gas metana. Pada subsektor limbah cair domestik, emisi N2O merupakan emisi
tidak langsung yang jauh lebih rendah dibanding emisi metana. Pada Tabel 4-38 disampaikan aksi-aksi
mitigasi pengolahan limbah cair domestik yang dimanfaatkan untuk mencapai target NDC sektor limbah.

Tabel 4-38
Aksi-aksi mitigasi pengolahan limbah cair domestik untuk target NDC

Subsektor Penghindaran Emisi GRK Pengurangan Emisi GRK

Limbah cair domestik 1. Pengoperasian IPAL Terpusat/Terpadu aerobik 3. Pengoperasian IPAL Komunal
2. Pengambilan lumpur tinja dari MCK untuk dengan biodigester untuk bahan
diolah di IPLT bakar gas rumah tangga.

Parameter yang mempengaruhi tingkat emisi GRK pengolahan limbah cair domestik selain jumlah limbah
yang diolah adalah karakteristik limbah dan faktor emisi terkait teknologi pengolahan yang digunakan.
Jumlah limbah yang diolah bergantung kepada jumlah penduduk dan karakteristik limbah mencakup
parameter BOD (merujuk IPCC 2006, untuk Indonesia digunakan 14,6 kg BOD/kapita/tahun), konsumsi
protein per kapita (merujuk data BPS). Proyeksi limbah (direpresentasikan sebagai BOD) pada setiap
teknologi pengolahan limbah untuk skenario baseline dan mitigasi disampaikan pada Gambar 4-55
dan Gambar 4-56. Faktor emisi CH4 ditentukan oleh jumlah maksimum gas CH4 yang terbentuk selama
proses pengolahan (angka default IPCC 2006) dan faktor koreksi pembentukan gas metana yang besarnya
bergantung teknologi yang digunakan (angka default IPCC 2006).

Gambar 4-55
Proyeksi perkembangan pengolahan limbah cair domestik menurut jenis
teknologi pengolahan, skenario baseline

4
Juta ton BOD

Biodigester
3
IPLT
IPAL
2
Lainnya
Septic tank
1

-
2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030
STRATEGI
PELAKSANAAN 95

Gambar 4-56
Proyeksi perkembangan pengolahan limbah cair domestik menurut jenis
teknologi pengolahan, skenario mitigasi

Biodigester
Juta ton BOD

3 IPLT
IPAL
2
Lainnya
Septic tank
1

0
2010 2015 2020 2025 2030

Proyeksi emisi GKR subsektor limbah domestik untuk skenario baseline dan skenario mitigasi diperlihat-
kan pada Gambar 4-57. Nampak bahwa penurunan emisi GRK pada aksi-aksi mitigasi subsektor limbah
cair domestik relatif kecil, yaitu 88 kilo ton CO2e di tahun 2030. Alokasi target penurunan emisi GRK sub-
sektor limbah cair domestik tahun 2030 disampaikan pada Gambar 4-58.

Gambar 4-57
Proyeksi emisi GRK subsektor pengolahan limbah cair domestik, skenario
baseline dan mitigasi
32

30 Emisi baseline : 28,95 juta ton CO2e (2030)


Emisi GRK (Juta ton CO2e)

28
Baseline
26
Mitigasi
24 Emisi mitigasi: 28,86 juta
ton CO2e (2030)
22
Penurunan emisi (2030) : 88 kilo ton CO2e
20

18
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030
96 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4-58
Alokasi target penurunan emisi GRK subsektor pengolahan limbah cair
domestik tahun 2030

Pengolahan kilo ton


limbah cair
domestik 88 CO2e
(2030)

IPAL Kota
Biodigester IPAL Komunal Sludge Removal
Terpusat Aerobik

84 0,5 0,6 3
kilo ton CO2e kilo ton CO2e kilo ton CO2e kilo ton CO2e

IPAL Kota Pembangunan IPAL Sludge


terpusat biodigester Komunal Removal

2,2 juta 295 IPAL


IPAL
penduduk kota yang terinstal
komunal yang 468.310
menggunakan biodigester kg BOD
potensial
IPAL terpusat dengan
kapasitas
100 jiwa

4.3.2.3 Limbah Padat Industri


Limbah padat industri yang pengolahannya menghasilkan emisi GRK adalah limbah proses (mulai dari
penyiapan bahan baku, proses konversi sampai dengan penanganan produk) dan limbah padat yang
dihasilkan dari pengolahan limbah cair. Jenis industri yang penanganan limbah padatnya menghasilkan
emisi GRK yang signifikan adalah industri pulp dan kertas, industri sawit, dan industri makanan dan
minuman.

Industri yang diperkirakan berpotensi untuk melakukan aksi mitigasi emisi GRK adalah industri pulp
dan kertas. Emisi GRK dari industri pulp dihasilkan pada penanganan sludge wastewater treatment (WWT)
secara landfill, sedangkan emisi GRK industri kertas berasal dari penanganan sludge WWT di kolam
penampung lumpur. Besarnya emisi GRK dari penanganan limbah padat industri pulp dan kertas ditentukan
oleh banyaknya limbah yang ditangani dan teknologi penanganan limbah. Banyaknya limbah ditentukan
oleh besarnya tingkat produksi. Aksi mitigasi emisi penanganan limbah padat industri pulp dan kertas
meliputi: (i) Pemanfaatan sludge IPAL menjadi bahan baku, (ii) Pemanfaatan sludge IPAL menjadi bahan bahan
bakar, dan (iii) Pemanfaatan sludge IPAL menjadi kompos. Proyeksi perkembangan pengolahan limbah
padat industri pulp dan kertas skenario baseline diperlihatkan pada Gambar 4-59 dan Gambar 4-60.
STRATEGI
PELAKSANAAN 97

Gambar 4-59
Proyeksi perkembangan pengolahan limbah padat industri pulp dan kertas
menurut jenis teknologi pengolahan, skenario baseline

200.000
Landfill Kolam lumpur
Limbah (ton)

150.000

100.000

50.000

-
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
Gambar 4-60
Proyeksi perkembangan pengolahan limbah padat industri pulp dan kertas
menurut jenis teknologi pengolahan, skenario mitigasi

180.000 Sludge bahan baku


160.000 dan pemanfaatan
lainnya
140.000
Limbah (ton)

Sludge bahan bakar


120.000
100.000
80.000 Sludge kompos

60.000
40.000 Kolam lumpur
20.000
0 Landfill
2010

2012

2014

2016

2018

2020

2022

2024

2026

2028

2030

Hasil perhitungan proyeksi emisi GRK subsektor pengolahan limbah padat industri pulp dan kertas
skenario baseline dan mitigasi diperlihatkan pada Gambar 4-61. Selisih emisi kedua skenario adalah
target penurunan yang akan dapat dihasilkan dari pelaksanaan aksi mitigasi. Target penurunan emisi GRK
subsektor pengolahan limbah padat industri relatif rendah yaitu sekitar 91 kilo ton CO2e di tahun 2030.
98 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar 4-61
Proyeksi perkembangan emisi GRK pengolahan limbah padat industri pulp dan kertas

450
400 Baseline
350 Mitigasi
300
kilo ton CO2e

250
200
150
100 Penurunan emisi (2030) :
91 kilo ton CO2e
50
-
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
Alokasi target penurunan emisi GRK subsektor limbah padat industri tahun 2030, yang menggambarkan
aktivitas industri untuk menjadi dasar rencana pembangunan fasilitas mitigasi ditampilkan dalam Gambar
4-62, sedangkan potensi penurunan emisi GRK per tahun dan rincian aksi per provinsi dapat dilihat pada
Lampiran 1.

Gambar 4-62
Target penurunan emisi GRK CM1 limbah padat industri

Pengolahan kilo ton


limbah padat
industri 90,7 CO2e
(2030)

Reuse (raw material) Pengomposan Bahan bakar

kilo ton kilo ton kilo ton


62,3 CO2e 1,8 CO2e 26,6 CO2e

Aktivitas industri Aktivitas industri limbah Aktivitas industri


limbah pabrik kertas pabrik pulp dan kertas limbah pabrik kertas

6 juta 3 juta ton 920.600 ton


kertas/tahun pulp/tahun kertas/tahun
STRATEGI
PELAKSANAAN 99

4.3.2.4 Limbah Cair Industri


Pengolahan limbah cair industri menghasilkan emisi GRK dalam bentuk gas metana dari pengolahan
imbah secara anaerobik. Banyaknya emisi GRK ditentukan oleh banyaknya limbah cair yang diolah,
chemical oxygen demand (COD) masing-masing jenis limbah cair industri dan teknologi pengolahannya.
Banyaknya limbah cair suatu industri berbanding lurus dengan tingkat produksi industri tersebut.

Aksi mitigasi emisi GRK dari pengolahan limbah cair industri dapat dilakukan dengan cara recovery dan
memanfaatkan gas metana yang dihasilkan oleh IPAL industri dengan konsep biodigester. Perlu dicatat
bahwa pengambilan lumpur dari IPAL (sludge recovery) dapat mengurangi produksi metana. Namun
sludge recovery dari IPAL industri merupakan common practice sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai
kegiatan mitigasi. Walaupun demikian kegiatan pemanfaatan sludge IPAL industri akan dihitung sebagai
kegiatan mitigasi di subsektor limbah padat (industri).

Proyeksi emisi GRK dari pengolahan limbah cair skenario baseline maupun skenario mitigasi dihitung
berdasarkan proyeksi banyaknya limbah cair yang diolah dan teknologi pengolahan limbah masing-
masing jenis industri. Gambar 4-63 menunjukkan proyeksi banyaknya limbah cair yang diolah per jenis
industri.

Gambar 4-63
Proyeksi banyaknya limbah cair yang diolah, menurut jenis industri

100
Lainnya
90
Karet (crumb rubber)

80 Gula (tebu)
Produksi CPO
70
Pengolahan sayur, buah dan jus
60
Juta ton COD

Produksi biodiesel

50 Minyak goreng sawit dan margarin


Minyak nabati
40
Pemurnian gula
30 Produksi pati

20 Sabun & deterjen


Pulp & kertas (kombinasi)
10
Kilang minyak bumi
0 Daging & unggas
2010

2012

2014

2016

2018

2020

2022

2024

2026

2028

2030

Pengolahan ikan
100 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Proyeksi hasil penghitungan emisi GRK dari pengolahan limbah cair industri skenario baseline maupun
skenario mitigasi CM1 diperlihatkan pada Gambar 4-63. Penurunan emisi GRK yang akan dihasilkan dari
aksi mitigasi CM1 di subsektor pengolahan limbah cair industri mencapai 3,01 juta ton CO2e di tahun
2030.

Untuk meningkatkan penurunan emisi GRK, pada skenario CM2 aksi mitigasi subsektor limbah cair
industri yaitu penangkapan dan pemanfaatan gas metana akan ditingkatkan sehingga penurunan emisi di
tahun 2030 akan mencapai 18,01 juta ton CO2e.

Gambar 4-64
Proyeksi emisi GRK pengolahan limbah cair industri skenario baseline dan
skenario mitigasi

250
(juta ton CO2e)

200 BAU Mitigasi


Emisi GRK

150

100

50

-
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
Daftar aksi mitigasi pengolahan limbah cair industri skenario CM1 dan CM2 diperlihatkan pada Tabel 4-39.
Perlu dicatat bahwa jenis aksi mitigasi kedua skenario pada dasarnya sama namun berbeda dari segi
kuantitasnya. Pada skenario CM2, tingkatan dari masing-masing aksi mitigasi lebih tinggi dibandingkan
pada skenario CM1.

Tabel 4-39
Aksi-aksi mitigasi pengolahan limbah cair industri untuk target NDC

Subsektor Mitigasi CM1 Mitigasi CM2

Limbah cair 1. Penangkapan gas metana dari IPAL industri 1. Penangkapan gas metana dari IPAL industri
industri untuk dimanfaatkan: (a) Biogas POME, (b) untuk dimanfaatkan :
Biogas IPAL pulp dan kertas (a) Biogas POME,
(b) Biogas IPAL industri pulp & kertas,
makanan & minuman dan industri
serupa lainnya.

Catatan: Pengambilan sludge dari IPAL merupakan common practice sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan mitigasi akan tetapi

pemanfaatan sludge IPAL dihitung sebagai kegiatan mitigasi di subsektor limbah padat industri.
STRATEGI
PELAKSANAAN 101

Alokasi target penurunan emisi GRK subsektor limbah cair industri dalam bentuk roadmap pembangunan
fasilitas mitigasi ditampilkan dalam Gambar 4-65 berikut ini.

Gambar 4-65
Target penurunan emisi GRK CM1 limbah cair industri

Pengolahan juta ton


limbah cair
industri 3,01 CO2e
(2030)

Biogas POME Biogas IPAL Pulp dan Kertas

3 juta ton
CO2e 0,01 juta ton
CO2e

CPO Mill Reaktor biogas IPAL

5,7 juta ton 165.000 ton


CPO/tahun kertas/tahun
102 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.3.3 Kesenjangan (Gap) Capaian Penurunan Emisi GRK Sektor Limbah dan
Target 2030
Untuk melihat posisi capaian aksi mitigasi hingga saat ini, pada Gambar 4-66 diperlihatkan inventarisasi
GRK sektor limbah, tingkat emisi baseline dan emisi mitigasi CM1. Dapat dilihat pada gambar tersebut
bahwa tingkat emisi GRK pada inventarisasi sedikit lebih rendah dibandingkan emisi baseline. Hal
ini mengindikasikan adanya keberhasilan aksi mitigasi. Apabila tren capaian mitigasi tersebut dapat
dipertahankan hingga 2030 maka target penurunan skenario CM1 akan dapat dicapai. Pada Gambar 4-67
diperlihatkan gambar yang serupa dengan Gambar 4-66 namun dibandingkan dengan CM2. Gambar 4-67
menunjukkan bahwa diperlukan upaya lebih keras untuk dapat mencapai tingkat penurunan emisi CM2
di tahun 2030.

Gambar 4-66
Capaian penurunan emisi sektor limbah dibandingkan target CM1
350
Emisi GRK (Juta Ton CO2e)

300
250
200
150
100
50
-

Limbah Padat Domestik Limbah Padat Industri


Limbah Cair Domestik Limbah Cair Industri
Tingkat Emisi Baseline Tingkat Emisi Target Mitigasi

Gambar 4-67
Capaian penurunan emisi sektor limbah dibandingkan target CM2
350
Emisi GRK (Juta Ton CO2e)

300
250
200
150
100
50
-

Limbah Padat Domestik Limbah Padat Industri


Limbah Cair Domestik Limbah Cair Industri
Tingkat Emisi Baseline Tingkat Emisi Target Mitigasi
STRATEGI
PELAKSANAAN 103

4.3.4 Kelembagaan Pelaksanaan, Pemantauan dan Pelaporan Aksi Mitigasi


Sektor Limbah berikut Strategi Pelaksanaan
Seperti halnya sektor IPPU, strategi pelaksanaan kegiatan mitigasi pada sektor limbah juga dapat dilaku-
kan melalui penerbitan peraturan, penyediaan insentif dan bantuan investasi seperti yang ditunjukkan
oleh Tabel 4-40.

Tabel 4-40
Penanggung jawab aksi dan strategi pelaksanaan kegiatan mitigasi sektor limbah

Penanggung
Kegiatan Mitigasi Emisi GRK Strategi Pelaksanaan
Jawab Aksi

LIMBAH PADAT DOMESTIK

1. Landfill Gas (LFG) recovery dari TPA, yaitu pemanfaatan gas DLH Penerbitan peraturan
methane untuk energi. Sebagai catatan, untuk menjaga KLHK Penyediaan insentif
kontinuitas produksi gas, pengelolaan TPA harus berupa Bantuan investasi
sanitary landfill atau managed landfill.

2. 3R kertas melalui operasionalisasi kegiatan Bank Sampah, Pemda Penerbitan peraturan


TPS3R dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu 3R (TPST KLHK Penyediaan insentif
3R). Sosialisasi

3. Pemanfaatan sampah menjadi kompos di Tempat Pemda Penerbitan peraturan


Pengolahan Sampah Terpadu 3R (TPST 3R), TPS3R, dan unit KLHK Penyediaan insentif
pengomposan di TPA Bantuan investasi

4. Penerapan teknologi pembangkit listrik tenaga sampah atau Pemda Penerbitan peraturan
PLTSa/RDF (Refuse Derived Fuel). ** KLHK Penyediaan insentif
Kementerian Bantuan investasi
ESDM

LIMBAH PADAT INDUSTRI (masih terbatas pada sludge industri pulp-paper)

1. Pemanfaatan sludge IPAL menjadi bahan baku. Industri terkait


Penerbitan peraturan
2. Pemanfaatan sludge IPAL menjadi bahan bakar atau Industri terkait
Penyediaan insentif
diinsinerasi.
Bantuan investasi
3. Pemanfaatan sludge IPAL menjadi kompos. Industri terkait

LIMBAH CAIR DOMESTIK

1. Operasionaliasi IPAL Komunal yang dilengkapi biodigester Pemda/BLHD Penerbitan peraturan


untuk flaring atau bahan bakar gas rumah tangga. KLHK Penyediaan insentif
Bantuan investasi

2. Operasionalisasi IPAL Terpusat/Terpadu aerobik. Pemda/BLHD Penerbitan peraturan


KLHK Bantuan investasi

3. Pengambilan lumpur tinja dari MCK / septic tank individual Pemda/BLHD Sosialisasi
untuk diolah di IPLT KLHK Penyediaan fasilitas

LIMBAH CAIR INDUSTRI

1. Penangkapan gas methane dari IPAL industri untuk Industri terkait Penerbitan peraturan
dimanfaatkan. Penyediaan insentif
Bantuan investasi
104 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Pemantauan dan pelaporan pelaksanaan aksi mitigasi pada sektor ini melibatkan beberapa instansi baik
pemerintah maupun pemerintah daerah. Secara rinci, bentuk kegiatan dan jenis data yang dipantau serta
pelaksana dapat dilihat pada Tabel 4-41.

Tabel 4-41
Pemantauan dan pelaporan aksi mitigasi sektor limbah

Kegiatan Mitigasi Emisi GRK Data yang dipantau Mekanisme Pelaporan

LIMBAH PADAT DOMESTIK

1. Landfill Gas (LFG) recovery dari • Sampah masuk TPA (ton atau Pengelola landfill mencatat data yang
TPA, yaitu pemanfaatan gas m3 per tahun). dibutuhkan, melakukan perhitungan
methane untuk energi. Sebagai • Volume gas yang dimanfaatkan emisi dan melaporkan kepada
catatan, untuk menjaga untuk energi (m3 per tahun). Pemda dan KLHK
kontinuitas produksi gas, • Jumlah KK yang dilayani gas TPA
pengelolaan TPA harus berupa per tahun.
sanitary landfill atau managed • Total pembangkit listrik (KWH
landfill. per tahun)

2. 3R kertas melalui operasional- • Total sampah kertas yang Pengelola bank sampah mencatat
isasi kegiatan Bank Sampah, dipisahkan oleh pusat-pusat 3R data yang dibutuhkan, melakukan
Tempat Penampungan (ton per tahun). perhitungan emisi dan melaporkan
Sementara (TPS) dan Tempat kepada Pemda dan KLHK
Pengolahan Sampah Terpadu
3R (TPST 3R).

3. Pemanfaatan sampah menjadi • Total sampah yang dikom- Pengelola TPST 3R mencatat
kompos di TPA dan Tempat poskan (ton atau m3 per tahun) data yang dibutuhkan, melakukan
Pengolahan Sampah Terpadu • Produksi kompos (ton atau m3 perhitungan emisi dan melaporkan
3R (TPST 3R). per tahun) kepada Pemda dan KLHK

4. Penerapan teknologi • Total sampah yang tertangani Pengelola PLTSa/RDF mencatat


pembangkit listrik tenaga (ton atau m3 per tahun). data yang dibutuhkan, melakukan
sampah atau PLTSa/RDF perhitungan emisi dan melaporkan
(Refuse Derived Fuel). ** kepada Pemda dan KLHK

LIMBAH PADAT INDUSTRI (terbatas pada industri pulp-paper)

1. Pemanfaatan sludge IPAL • Ton sludge IPAL yang dijadikan


menjadi bahan baku. bahan baku.
Industri terkait mencatat data
2. Pemanfaatan sludge IPAL • Ton sludge IPAL yang dijadikan
yang dibutuhkan, melakukan
menjadi bahan bakar atau bahan bakar/diinsinerasi.
perhitungan emisi dan melaporkan
diinsinerasi.
kepada Kemenperin dan KLHK
3. Pemanfaatan sludge IPAL • Ton sludge IPAL yang dijadikan
menjadi kompos. kompos.

LIMBAH CAIR DOMESTIK

1. Operasionaliasi IPAL Komunal • Jumlah KK yang terlayani IPAL Dinas Lingkungan Hidup Pemda
yang dilengkapi biodigester untuk menghitung TOW (KK). setempat mencatat data yang
untuk flaring atau bahan bakar • dari jumlah KK yang meman- dibutuhkan, melakukan perhitungan
gas rumah tangga. faatkan gas (SRT). emisi dan melaporkan kepada KLHK
STRATEGI
PELAKSANAAN 105

Kegiatan Mitigasi Emisi GRK Data yang dipantau Mekanisme Pelaporan

2. Operasionalisasi IPAL Terpusat/ • Jumlah KK yang terlayani untuk


Terpadu aerobik. menghitung TOW (KK).

3. Pengambilan lumpur tinja • Volume lumpur tinja yang Dinas Lingkungan Hidup Pemda
dari MCK untuk diolah di IPLT masuk ke IPLT (m3 per tahun). setempat mencatat data yang
(terbatas pada kegiatan IPLT DKI • Jumlah KK yang terlayani untuk dibutuhkan, melakukan perhitungan
Jakarta). menghitung TOW (KK). emisi dan melaporkan kepada KLHK
• Jenis IPLT (aerobik atau
dikeringkan untuk pupuk)

LIMBAH CAIR INDUSTRI

1. Penangkapan gas methane dari • Kapasitas riil produksi pabrik Industri terkait mencatat data
IPAL industri untuk dimanfaat- (ton produk per tahun) yang dibutuhkan, melakukan
kan. • COD inlet dan outlet (kg/m3). perhitungan emisi dan melaporkan
• debit limbah cair (m3 per ton kepada Kemenperin dan KLHK
produk).
• volume gas methane yang
dimanfaatkan (m3 gas per tahun
atau KwH per tahun).

4.3.5 Biaya
Perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk implementasi upaya-upaya mitigasi pada pengelolaan limbah
padat (sampah) domestik mencakup biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi mencakup
biaya pembangunan fasilitas pengumpulan dan pengangkutan sampah dan pemrosesan akhir sampah.
Fasilitas pengumpulan dan pengangkutan sampah mencakup fasilitas pengangkutan sampah secara
individual maupun komunal, fasilitas pengumpulan sampah, fasilitas penampungan sementara (TPS/
container), dan fasilitas pengangkutan sampah sampai ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir). Fasilitas pem-
rosesan akhir mencakup TPS3R (tempat pengelolaan sampah reuse, reduce, recycle), ITF (Intermediate Treat-
ment Facility), TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) dengan kualitas Sanitary Landfill, PLTSa (Pembangkit listrik
Tenaga Sampah), dan fasilitas konversi sampah menjadi RDF (Refuse Derived Fuels).

Biaya investasi untuk semua fasilitas tersebut diperkirakan berdasarkan jumlah sampah, kapasitas
pengolahan masing-masing fasilitas, fasilitas dasar (pengumpulan dan pengangkutan) yang harus
dibangun, rencana pembangunan fasilitas pemrosesan akhir, dan jarak antara masing-masing fasilitas
pengolahan sampah yang harus ditangani di setiap provinsi. Perkiraan biaya investasi masing-masing
fasilitas untuk mencapai target pengurangan emisi GRK pada mitigasi CM1 (skenario unconditional) dapat
dilihat pada Tabel 4-42 sedangkan rincian biaya investasi yang dibutuhkan di masing-masing provinsi
dapat dilihat pada Tabel L.1.9 (Lampiran 1).

Biaya operasional masing-masing fasilitas untuk masing-masing provinsi akan berbeda-beda karena
bergantung pada jumlah sampah yang ditangani, kapasitas pengolahan, rencana pengelolaan, jenis atau
teknologi yang digunakan pada masing-masing fasilitas, dan lain-lain.
106 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-42
Perkiraan biaya investasi fasilitas penanganan sampah padat domestik untuk mencapai
target mitigasi CM1 (skenario unconditional)

JENIS KEGIATAN BIAYA INVESTASI SUMBER PEMBIAYAAN


A Pengumpulan & Pengangkutan
1 Pengangkutan
a. Individual 3.994.099.560.000 Masyarakat
b. Komunal 2.213.857.000.000 Pemda/LSM/CSR
2 Pengumpulan 5.364.968.560.000 Pemda/LSM/CSR
3 Penampungan Sementara 3.776.780.000.000 Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten)
4 Pengangkutan 27.382.900.000.000 Pemerintah Provinsi
Sub - Total 42.732.605.120.000
B Pemrosesan Akhir
1 TPS3R 4.498.000.000.000 Pemda/LSM/CSR
2 ITF (intermediate treatment facility)1 22.700.000.000.000 Pemerintah Provinsi (Sub-nasional)
3 TPA Sanitary Landfill 105.278.500.000.000 Pemerintah Pusat (Nasional)
Pemerintah Pusat/Daerah/Badan
4 12 unit insinerator untuk fasilitas PLTSa2 6.890.000.000.000
Usaha/Internasional/Domestik
Transformasi RDF
5 3.175.000.000.000 Pemerintah Pusat/ Badan Usaha
(pengeringan dan pemadatan)
Sub – Total 142.541.500.000.000
Total 185.274.105.120.000

ITF dilengkapi 3R+kompos sebagai unit independen atau terintegrasi sanitary landfill dan PLTSa/RDF
1

2
hanya biaya investasi insinerator

4.3.6 Penentuan Provinsi dan Kota/Kabupaten Prioritas Untuk Target NDC


Sektor Limbah
Target penurunan emisi GRK di sektor limbah padat domestik yakni sebesar 8,16 juta ton CO2e. Nilai
tersebut diperoleh dari berbagai aksi mitigasi di subsektor limbah padat domestik, diantaranya
pemasangan LFG recovery di TPA menurunkan emisi GRK sebesar 1,4 juta ton CO2e, energy recovery dari
adanya pengelolaan sampah menggunakan PLTSa dan RDF menurunkan emisi GRK sebesar 1,9 juta ton
CO2e, daur ulang kertas menurunkan emisi GRK sebesar 2,1 juta ton CO2e, dan aktivitas pengomposan
menurunkan emisi GRK sebesar 2,6 juta ton CO2e. Usaha mencapai target yang telah dikemukakan di atas
disinkronkan dengan jumlah sampah padat domestik yang dihasilkan baik di tingkat provinsi, maupun
di level kabupaten/kota. Penentuan prioritas provinsi yang perlu membangun unit pengolahan sampah
dengan lebih intensif adalah berdasarkan:

•• Provinsi dengan emisi dari sektor limbah padat domestik besar mempunyai kewajiban untuk
menurunkan emisi (polluter pays principal)
STRATEGI
PELAKSANAAN 107

•• Provinsi dengan kota dan kabupaten diprioritaskan berdasarkan populasi penduduk, sehingga
mempunyai kewajiban untuk mengelola limbah.
•• Provinsi dengan kota yang telah memiliki fasilitas aksi mitigasi perubahan iklim.
•• Provinsi dengan PAD yang tinggi.

Pada Gambar 4-68 disajikan persentase sebaran penduduk Indonesia berdasarkan provinsi.

Gambar 4-68
Persentase sebaran penduduk Indonesia berdasarkan provinsi

3,1% 5,5%
2,0%
3,3%
Sumatera Utara (5,5%) Jawa Tengah (11,5%)
2,1% Riau (2,6%) Jawa Timur (14,5%)
Sumatera Selatan (3,3%) Bali (2,1%)
10,6%
DKI Jakarta (10,6%) Nusa Tenggara Barat (2,0%)
14,5%
Jawa Barat (16,6%) Kalimantan Timur (2,0%)
Banten (5,5%) Sulawesi Selatan (3,1%)
16,6%
11,5%
5,5%

Merujuk Gambar 4-68, nampak bahwa Provinsi Jawa Barat (16,6%) memiliki jumlah penduduk paling
besar diikuti Jawa Timur (14,5%), Jawa Tengah (11,4%), dan DKI Jakarta (10,6%) dibandingkan provinsi-
provinsi lain di Indonesia. Besarnya jumlah penduduk sejalan dengan jumlah sampah yang dihasilkan yang
tentunya diikuti dengan tanggung jawab pengolahannya yang lebih intensif.

PLTSa, sebagai teknologi yang intensif di dalam memusnahkan sampah akan diterapkan pada provinsi
dengan jumlah sampah yang besar sebagai salah satu kriteria disamping fasilitas aksi mitigasi perubah-
an iklim dan PAD sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pada Tabel 4-43 disajikan Provinsi beserta Kota/
Kabupaten yang menerapkan pengolahan sampah melalui PLTSa dan juga RDF. Pada tabel juga dapat
dilihat rencana pembangunan dan kapasitas pengolahan berdasarkan provinsi berikut kota/kabupaten di
Indonesia sebagai berikut.

Selanjutnya, pada Tabel 4-43 disajikan estimasi pembangunan PLTSa berdasarkan provinsi/kota di
Indonesia sebagai berikut:
108 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-43
Jumlah sampah yang diolah dan kapasitas PLTSa/RDF di beberapa Provinsi
dan Kota/Kabupaten di Indonesia

perbandingan Sampah yang diolah


Kapasitas* Kapasitas*
Kota / PLTSa dan RDF
Provinsi ton/hari ton/tahun PLTSa 2030, RDF 2030,
Kabupaten
ton/Hari ton/Hari
PLTSA RDF PLTSa+RDF

Sumatera Selatan Palembang 33% 67% 770 281.050 300 500

DKI Jakarta Jakarta 36% 64% 3.470 1.266.550 1.300 2.300

Bekasi,
Jawa Barat 50% 50% 3.040 1.109.600 1.600 1.600
Bandung

Semarang,
Jawa Tengah 50% 50% 1.900 693.500 1.000 1.000
Surakarta

Jawa Timur Surabaya 36% 64% 1.350 492.750 500 900

Tangerang,
Banten 47% 53% 1.620 591.300 800 900
TangSel

Bali Denpasar 33% 67% 1.060 386.900 400 700

Sulawesi Utara Manado 33% 67% 580 211.700 200 400

Sulawesi Selatan Makassar 44% 56% 860 313.900 400 500

Catatan: *kapasitas yang dimaksud adalah kapasitas pengolahan sampah

Berdasarkan jumlah sampah yang akan diolah di PLTSa dan kapasitas PLTSa untuk Kota/ Kabupaten di
masing-masing provinsi, maka rencana pembangunan kapasitas pembangkit masing-masing PLTSa ada-
lah sebagai berikut ini.

• DKI Jakarta merencakan PLTSa 13 MW yang mampu mengolah sampah 1.300 ton per hari

• Jawa Barat merencanakan PLTSa di Kota Bandung dan Bekasi dengan kapasitas 16 MW yang mampu
mengolah 1.600 ton sampah per hari.

• Jawa Tengah merencanakan PLTSa di Kota Surakata dan Semarang dengan kapasitas 5 MW yang
mampu mengolah sampah sebesar 500 ton per hari.

Provinsi lainnya yang merencakan pembangunan PLTSa adalah

a. Provinsi Banten merencanakan PLTSa 8 MW di Kota Tangerang dan Tangerang Selatan yang mampu
mengolah sampah 800 ton per hari.

b. Provinsi Jawa Timur merencanakan PLTSa 5 MW di Kota Surabaya yang mampu mengolah sampah
sebesar 500 ton per hari.

c. Provinsi Bali, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara merencanakan PLTSa 4 MW di Denpasar dan
Makassar untuk mengolah sampah 400 ton per hari di masing-masing PLTSa dan 2 MW di Manado
untuk mengolah sampah 200 ton per hari.

d. Provinsi Sumatera Selatan merencanakan PLTSa 3 MW di Kota Palembang yang mampu mengolah
sampah 300 ton per hari.
STRATEGI
PELAKSANAAN 109

Masing-masing Kota/Kabupaten di berbagai Provinsi tersebut selain merencanakan pembangunan PLTSa


juga merencanakan pengolahan sampah menjadi RDF dengan kapasitas sebagaimana disampaikan pada
Tabel 4-43.

Dari Gambar 4-68 dan Tabel 4-43, tampak bahwa Provinsi Jawa Barat mempunyai persentase tertinggi
yakni 16,6%, diikuti Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta dengan persentase masing-masing 11,5%,
dan 10,6%. Berdasarkan kriteria yang disebutkan di atas, maka Provinsi Jawa Barat berkewajiban untuk
mengelola sampah padat domestik secara lebih intensif. Bentuk/rencana pengelolaan sampah di
Provinsi Jawa Barat dengan adanya pembangunan PLTSa di Kota Bandung dengan kapasitas 10 MW yang
diperkirakan mampu mengolah 950 ton sampah per hari. Selanjutnya, rencana pembangunan tempat
pengelolaan sampah di Provinsi Jawa Tengah dengan pembangunan PLTSa di Kota Surakata dan
Semarang. Kapasitas PLTSa di Kota Surakarta sebesar 2 MW dan di Kota Semarang sebesar 5 MW, dengan
masing-masing kota mampu mengolah sampah sebesar 190 ton dan 475 ton per harinya. Di Provinsi DKI
Jakarta, pembangunan PLTSa mempunyai kapasitas 4 x 10 MW dengan kemampuan mengelola sampah
sebesar 3.800 ton per hari. Provinsi lainnya yang direncanakan membangun PLTSa adalah Provinsi
Banten dengan lokasi pembangunan PLTSa di Kota Tangerang dengan kapasitas PLTSa mengolah sampah
sebesar 475 ton per hari dan menghasilkan listrik sebesar 5 MW. Di Provinsi Jawa Timur, terdapat PLTSa
di Kota Surabaya dengan kapasitas listrik yang dihasilkan sebesar 10 MW dan kemampuan mengolah
sampah sebesar 950 MW. Di bagian timur Indonesia, Provinsi Sulawesi Selatan dan Bali juga terdapat
PLTSa dengan masing masing berkapasitas 5 dan 2 MW. Masing-masing PLTSa tersebut mampu
mengolah sampah sebanyak 475 dan 190 ton per hari. Pada Gambar 4-68.a disampaikan rencana
pembangunan PLTSa di Indonesia.

Gambar 4-68.a
Penjadwalan pembangunan PLTSa

2020 2021 2022 2023

• PLTSa DKI Jakarta • Total kapasitas • Total kapasitas • DKI Jakarta -


Bantar Gebang PLTSa 450-1.200 PLTSa 1.000-2.000 ITF Sunter
(50-100 ton/hari) ton/hari di Kab/ ton/hari di Kab/ (2.300 ton/hari)
Kota Surakarta Kota Bandung,
• PLTSa Tangerang -
dan Denpasar Semarang, dan
Rawa Kucing
Makassar.
(2.000 ton/hari)

• PLTSa Benowo
di Surabaya
(1.500 ton/hari)
110 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.3.7 Enabling Condition Pencapaian Target NDC Sektor limbah


Sebagaimana dikemukakan terdahulu terdapat potensi penurunan emisi GRK cukup besar di sektor
penanganan limbah. Untuk merealisasikan target NDC diperlukan kondisi yang dapat memfasilitasi dan
mendorong upaya pencapaian target tersebut, diantaranya:

•• Adanya bantuan teknologi dan sistem pendanaan untuk meningkatkan jumlah jaringan saluran
rumah tangga untuk pemanfaatan gas landfill.
•• Adanya bantuan teknis dan sistem pendanaan untuk kota/kabupaten agar dapat mengoperasikan
TPA sebagai managed landfill dan dilengkapi dengan sistem penanganan / pemanfaatan gas metana.
•• Adanya sinkronisasi regulasi terkait emisi dari penggunaan RDF dan limbah pada B3 untuk
pembangkit listrik di industri sehingga pihak pengguna industri tidak terkendala oleh regulasi emi-
si yang ketat namun dengan tetap secara komprehensif memperhatikan dampak lingkungan dan
kesehatan masyarakat dari penggunaan RDF.
•• Adanya perbaikan regulasi terkait pemanfaatan sludge IPAL industri dengan menghilangkan
persyaratan kandungan air di dalam sludge IPAL yang digunakan sebagai bahan bakar tidak melebihi
15%, karena kadar air dalam sludge sebagai bahan bakar tidak mempengaruhi kualitas emisi
pembakaran sedangkan untuk memenuhi persyaratan tersebut diperlukan tambahan energi un-
tuk pengeringan yang implikasinya peningkatan jumlah emisi GRK dan polutan lainnya dari proses
penyediaan energinya;
•• Adanya kebijakan kontrak jual beli listrik dan tipping fee yang kondusif untuk mendorong
pengembangan PLTSa.
•• Adanya kebijakan kontrak jual beli listrik yang kondusif agar dapat mendorong pengembangan
pemanfaatan gas metana dari penanganan palm oil mill effluent (POME) untuk pembangkitan listrik
yang dijual melalui jaringan PLN.
STRATEGI
PELAKSANAAN 111

KOTAK 2: Kontribusi Industri Dalam Mitigasi Perubahan Iklim dan Penurunan Emisi GRK:
Industri Pulp dan Kertas (Cross Cutting Issue Emisi GRK Energi dan Limbah)
Overview Kegiatan Industri Pulp Kertas dan Potensi Penurunan Emisi GRK
Profil emisi GRK industri pulp kertas dipengaruhi terutama oleh kegiatan penyediaan dan penggunaan energi, pengola-
han limbah proses produksi dan penggunaan kertas daur ulang sebagai bahan baku. Selain itu, kapasitas produksi juga
mempengaruhi kebutuhan energi dan beban pengolahan limbah yang implikasinya adalah meningkatnya profil emisi GRK
industri. Meskipun di industri pulp dan kertas terdapat emisi GRK IPPU dari penggunaan karbonat namun pada kegiatan
mitigasi emisi tersebut tidak tercakup karena jumlahnya sangat kecil.

Potensi Penurunan Emisi GRK Aksi-aksi Mitigasi Subsektor Industri Pulp dan Kertas
Aksi mitigasi yang potensial diterapkan di subsektor Industri Pulp Kertas mencakup kegiatan-kegiatan terkait penyediaan
dan penggunaan energi dan pengelolaan limbah (Tabel K2-1).

Tabel K2 - 1
Potensi penurunan emisi

Emisi GRK 2030, Juta Ton CO2e


Sumber Emisi Aksi Mitigasi Penurunan Penurunan
Baseline CM1 CM2
CM1 CM2
Energi

Efisiensi Energi, Peman-


Industri Pulp dan Pulp
faatan Energi Terbarukan 30,26 15,33 14,93 8,86 21,40
Kertas Terintegrasi
dan Energi Rendah Emisi

Efisiensi Energi dan


Industri Kertas Pemanfaatan Energi Ter- 24,53 15,70 8,83 13,35 11,18
barukan dan Rendah Emisi

Pemanfaatan kertas daur ulang sebagai bahan


baku mengurangi energi proses produksi pulp yang 0,01
digantikan

Sub-Total Penurunan Emisi GRK


23,77 32,58
Penggunaan Energi

Pengolahan Limbah

IPAL, Landfill sludge IPAL,


Industri Pulp dan Pulp
Pengomposan Sludge IPAL, 3,308 3,306 0,002 3,294 0,014
Kertas Terintegrasi
Bahan Bakar Sludge IPAL

IPAL, Pengolahan sludge


Industri Kertas 2,564 2,469 0,095 2,214 0,350
IPAL

Penurunan emisi IPAL proses produksi pulp yang


0,002
digantikan kertas daur ulang sebagai bahan baku

Penurunan emisi jika kertas daur ulang ditimbun di


0,002
TPA

Sub-Total Penurunan Emisi GRK


0,101 0,364
Pengolahan Limbah
112 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Mitigasi Emisi GRK di Industri Pulp dan Pulp Kertas Terintegrasi

Penyediaan dan Penggunaan Energi

Kegiatan penyediaan dan penggunaan energi di industri pulp dan kertas mempengaruhi profil emisi GRK. Peningkatan
efisiensi energi akan mengurangi emisi GRK. Nampak bahwa, pada tahun 2016 efisiensi energi mencapai 10,53% yang
ditandai dengan turunnya intensitas energi. Proyeksi ke depan, efisiensi energi tersebut diperkirakan akan terus meningkat
apabila mitigasi efisiensi energi mencapai 17,69% (mitigasi CM1) dan 28,43% (mitigasi CM2) di tahun 2030.

Intensitas penggunaan energi turun dari 0,0346 TJ/ton produk di tahun 2010 menjadi 0,0346 TJ/ton produk apabila tidak
ada aksi mitigasi (skenario baseline) atau 0,0285 TJ/ton produk (mitigasi CM1) dan 0,0248 TJ/ton (mitigasi CM2) di tahun 2030
(Gambar K2-1 dan K2-2).

Penyediaan energi industri pulp dan pulp kertas terintegrasi pada umumnya sama, dimana biomassa, sludge IPAL, white &
black liquor dimanfaatkan untuk bahan bakar industri pulp dan pulp kertas terintegrasi. Pemanfaatan energi terbarukan
(biomassa, biogas, sludge IPAL) dan energi rendah emisi seperti gas alam (Gambar K2-3) berpotensi mengurangi emisi GRK.
Efisiensi energi yang disertai perubahan keragaman pasokan energi dengan lebih banyak memanfaatkan biomassa (limbah
kayu, tandan kosong sawit, dan sludge IPAL) dan energi rendah karbon (gas alam) mendorong terjadinya penurunan emisi
GRK yang cukup signifikan melalui skenario CM1 dan CM2 (Gambar K2-4).

Mengingat pemanfaatan black liquor sebagai bahan bakar boiler sudah merupakan common practice di hampir semua
industri pulp sejak 1930-an maka tidak lagi dikategorikan sebagai aksi mitigasi yang dapat mengurangi emisi GRK, kecuali
teknologi advance (gasifikasi atau hydrothermal liquefaction). Penggunaan biomassa sebagai sumber energi dapat dikate-
gorikan sebagai mitigasi karena pelaksanaannya memerlukan upaya yang tidak murah (biomassa saat ini disuplai dari luar
pabrik) dan memiliki heating value-nya lebih rendah dibandingkan batu bara. Potensi penurunan emisi GRK dari kegiatan
efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan dan energi rendah karbon dapat dilihat pada Gambar K2-5.

Gambar K2 - 1
Profil penggunaan bahan bakar dan kapasitas produksi industri pulp kertas

0,035 20
18
0,030
16
Produksi (Juta Ton)
Intensitas Energi
(TJ/Ton Produk)

0,025 14
0,020 12
10
0,015 8
0,010 6
4
0,005
2
0,000 -
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030
Produksi Baseline CM1 CM2
STRATEGI
PELAKSANAAN 113

Gambar K2 - 2
Peningkatan efisiensi penggunaan bahan bakar di industri pulp kertas

0,70 40
Penggunaan bahan bakar (Juta TJ)

0,60 35

Peningkatan Efisiensi Energi (%)


30
0,50
25
0,40
20
0,30
15
0,20
10
0,10 5

0,00 0
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030

Efisiensi CM1 Efisiensi CM2 Baseline CM1 CM2

Gambar K2 - 3
Bauran pasokan energi dan profil emisi GRK industri pulp kertas

0,7
Penggunaan Energi (Juta TJ)

0,6
Gas Alam
0,5
Biogas
0,4
Biomassa
0,3
Black Liquor
0,2
MFO
0,1 IDO/Diesel
0,0 Batu bara
CM1

CM2

CM1

CM2
CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2

Baseline
Baseline

Baseline
Baseline

Baseline

2010 2015 2020 2025 2030

Gambar K2 - 4
Profil dan potensi penurunan emisi GRK dari efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan dan energi
rendah karbon

35 21
30 18
Pengurangan emisi GRK

25 15
Tingkat Emisi GRK

(Juta Ton CO2e)


(Juta Ton CO2e)

20 12
15 9
10 6
5 3
- -
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030
Reduksi CM1 Reduksi CM2 Baseline CM1 CM2
114 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar K2 - 5
Tingkat emisi GRK dan potensi penurunan emisi GRK kegiatan efisiensi energi dan pemanfaatan energi terba-
rukan dan energi rendah karbon

25
35.000
Tingkat Emisi GRK (kilo ton CO2e)

21
30.000

Pengurangan Emisi GRK


20
25.000

(Juta Ton CO2e)


15
15
20.000

15.000 10 8 8
10.000
5
5.000

- -
2016 2030 2016 2030
Baseline CM1 CM2 Reduksi CM1 Reduksi CM2

Pengolahan Limbah Industri

Pada pengolahan limbah, aksi mitigasi yang berpotensi mengurangi emisi GRK di industri pulp dan pulp kertas terintegrasi
diantaranya adalah perbaikan sistem pengolahan limbah industri, baik limbah cair (IPAL) maupun limbah padat (sludge).
Perbaikan IPAL diantaranya adalah perbaikan kualitas kolam aerobik, pemasangan biodigester untuk pengolahan limbah
cair dan produksi biogas, pemanfaatan kertas bekas untuk bahan baku pengganti pulp sehingga dapat mengurangi emisi
GRK dari kegiatan penggunaan energi dan pengolahan limbah pada saat memproduksi pulp, dan pemanfaatan sludge IPAL
sebagai bahan bakar. Profil emisi GRK pengolahan limbah dan potensi penurunannya disampaikan pada Gambar K2-6
dan K2-8. Gambar B-6 menunjukkan profil emisi GRK setelah pemanfaatan IPAL untuk Biodigester sedangkan Gambar K2-7
setelah penangan sludge IPAL Industri Kertas.

Gambar K2 - 6
Profil emisi GRK pengolahan limbah cair (IPAL) industri pulp kertas

4
Emisi GRK (Juta Ton CO2e)

-
CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2
Baseline

Baseline

Baseline

Baseline

Baseline

2010 2015 2020 2025 2030


STRATEGI
PELAKSANAAN 115

Gambar K2 - 7
Profil emisi GRK dari penangan sludge IPAL industri pulp kertas

40
Emisi GRK (kilo ton CO2e)

Sludge IPAL Bahan Bakar


30
Pengomposan Sludge IPAL
Landfill Sludge IPAL
20

10

-
CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2
Baseline

Baseline

Baseline

Baseline

Baseline
2010 2015 2020 2025 2030

Profil emisi GRK setelah adanya insinerasi sludge IPAL industri Kertas dapat dilihat pada Gambar K2-8. Nampak bahwa
potensi penurunan emisi GRK skenario CM2 sangat tinggi terkait adanya insinerasi sludge IPAL yang sedianya di landfill-kan
namun digunakan sebagai bahan bakar. Penurunan emisi GRK yang siginifikan berasal dari penghindaran pembentukan
emisi GRK dari sludge yang seharusnya dikelola di landfill dan pembakaran bahan bakar fosil yang digantikan oleh sludge
IPAL.

Implementasi aksi mitigasi tersebut membutuhkan regulasi yang mendukung pemanfaatan sludge IPAL sebagai bahan
bakar di industri. Salah satu yang dapat dilakukan adalah revisi regulasi yang telah ada sekarang dengan menghilangkan
persyaratan kandungan air dalam sludge IPAL tidak melebihi 15%, mengingat kadar air dalam sludge tidak mempengaruhi
kualitas pembakaran sedangkan pemenuhan persyaratan tersebut memerlukan tambahan energi untuk pengeringan yang
implikasinya adalah peningkatan jumlah emisi GRK dari tambahan energi yang dibutuhkan dan polutan lainnya dari proses
penyediaan energinya.

Gambar K2 - 8
Potensi penurunan emisi GRK pengolahan limbah industri pulp dan kertas

14,3
4 15,0
Emisi GRK (Juta Ton CO2e)

Sludge IPAL
Bahan Bakar
Pengurangan Emisi GRK

3
Pengomposan
10,0
(KTon CO2e)

Sludge IPAL
2
Landfill SLudge
1 IPAL
IPAL 5,0
- 1,8
Inventarisasi

CM1

CM2
Baseline
Baseline

0,8
-
CM1 CM2
Reduksi Reduksi 2030
2016 2030 2016
116 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Mitigasi Emisi GRK Industri Kertas (Paper Making)

Penyediaan dan Penggunaan Energi

Pada industri kertas, kebutuhan energi sebagian besar disuplai dari listrik PLN karena industri kertas umumnya terletak
di pulau Jawa yang agak sulit mengakses biomassa. Beberapa industri memanfaatkan batu bara sebagai bahan bakar
pembangkit. Mitigasi penurunan emisi GRK penggunaan energi mencakup upaya-upaya peningkatan efisiensi energi dan
peningkatan pemanfaatan energi terbarukan (biomassa dan biogas) dan/atau energi rendah emisi (gas alam). Profil
penggunaan energi sampai tahun 2016 dan proyeksinya sampai tahun 2030 secara nasional disampaikan pada Gambar K2-9
(pembakaran bahan bakar) dan K2-10 (pemakaian listrik). Intensitas konsumsi energi dan kaitannya dengan efisiensi energi
yang dapat dicapai sampai tahun 2016 maupun proyeksinya sampai tahun 2030 dapat dilihat pada Gambar K2-11 dan Bauran
energinya pada Gambar K2-12.

Profil intensitas penggunaan bahan bakar dan peningkatan efisiensinya sampai dengan 2016 dan proyeksinya sampai
dengan 2030 disampaikan pada Gambar K2-12 sedangkan profil untuk penggunaan listrik disampaikan pada Gambar
K2-13.

Gambar K2 - 9
Proyeksi penggunaan bahan bakar dan kapasitas produksi industri kertas

0,3 14
Penggunaan Enenrgi (Juta TJ)

12

Produksi (Juta Ton)


10
0,2
8

6
0,1
4

0,0 -
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030
Produksi Baseline Direct CM1 Direct CM2 Direct

Gambar K2 - 10
Proyeksi penggunaan listrik dan kapasitas produksi industri kertas
0,030 14
Penggunaan Enenrgi (Juta TJ)

0,025 12

10
Produksi (Juta Ton)

0,020
8
0,015
6
0,010
4
0,005 2

0,000 -
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030
Produksi Baseline Indirect CM1 Indirect CM2 Indirect
STRATEGI
PELAKSANAAN 117

Gambar K2 - 11
Bauran pasokan energi di industri kertas

0,3

Listrik
0,2
Penggunaan Energi (Juta TJ)

Biogas
0,2 Black liquor
Biomassa
0,1 LPG
Gas Alam
0,1
Waste Oil
0,0 MFO
CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2
Baseline

Baseline

Baseline

Baseline

Baseline
IDO/Diesel
Batu bara
2010 2015 2020 202 5 2030

Gambar K2 - 12
Profil intensitas dan peningkatan efisiensi bahan bakar di industri kertas
0,018 100

Peningkatan Efisiensi Energi (%)


0,016 90
0,014 80
Intensitas Energi

70
(TJ/Ton Produk)

0,012
60
0,010
50
0,008
40
0,006
30
0,004 20
0,002 10
0,000 0
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030
Efisiensi CM1 Efisiensi CM2 Baseline Direct CM1 Direct CM2 Direct

Gambar K2 - 13
Profil intensitas dan peningkatan efisiensi penggunaan listrik di industri kertas

0,003 40
Peningkatan Efisiensi Energi (%)
Intensitas Energi (TJ/Ton Produk)

35
0,002
30

0,002 25

20
0,001 15

10
0,001
5

0,000 0
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030
Efisiensi CM1 Efisiensi CM2 Baseline Indirect CM1 Indirect CM2 Indirect
118 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar K2 - 14
Potensi penurunan emisi GRK dari efisiensi energi (bahan bakar) dan penggunaan energi terbarukan dan
energi rendah karbon

50 12
Peningkatan Efisiensi Energy (% )

10

Pengurangan emisi GRK


40
8
30

(Juta Ton)
6
20
4
10 2

0 -
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030
Reduksi CM1 Reduksi CM2 Efisiensi CM1 Efisiensi CM2

Gambar K2 - 15
Profil dan potensi penurunan emisi GRK dari efisiensi energi listrik

40 1,6
Peningkatan Efisiensi Energi (%)

35 1,4

Pengurangan emisi GRK


30 1,2

(Juta Ton CO2e)


25 1,0
20 0,8
15 0,6
10 0,4
5 0,2
0 0,0
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030

Reduksi CM1 Reduksi CM2 Efisiensi CM1 Efisiensi CM2

Gambar K2 - 16
Profil dan potensi penurunan emisi GRK kegiatan energi di industri kertas

250 120
Pengurangan Emisi GRK (Juta Ton CO2e)

Listrik
200 Listrik 100
Bahan bakar
Tingkat Emisi GRK

Bahan bakar 80
(Juta Ton)

150
60
100
40
50
20

- -
Base Baseline CM2 Baseline CM1 CM2 Reduksi Reduksi Reduksi
Year CM1 CM2

2010 2016 2030 2016 2030


STRATEGI
PELAKSANAAN 119

Pengolahan Limbah Industri Kertas

Pengolahan limbah industri kertas pada dasarnya hampir serupa dengan pengolahan limbah di industri pulp kertas, yaitu
limbah cair diolah di IPAL aerobic yang setiap periode tertentu dilakukan sludge recovery. Industri kertas telah memanfaatkan
sludge sebagai bahan bakar dan bahan baku. Selain itu, telah banyak industri kertas yang mengolah limbah cair menggu-
nakan biodigester yang dilengkapi methane recovery untuk memasok kebutuhan energi di pembangkit listrik dan heat/steam.

Profil penggunaan energi untuk produksi industri kertas sampai dengan 2016 dan proyeksinya sampai dengan 2030
dapat dilihat pada Gambar K2-17. Nampak bahwa target efisiensi energi pada penggunaan bahan bakar dan listrik cukup
signifikan pada masing-masing skenario mitigasi (CM1 dan CM2). Perubahan efisiensi tersebut diperkirakan akan
mempengaruhi profil dan potensi penurunan emisi GRK sebagaimana dapat dilihat pada Gambar K2-18.

Gambar K2 - 17
Profil penggunaan energi untuk produksi industri kertas

0,30 12
Listrik

Kapasitas Produksi (Juta Ton)


0,25 10
Penggunaan Energi (TJ)

Bahan bakar
0,20 8
Kapasitas Produksi
0,15 6

0,10 4

0,05 2

0,00 -
CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2

CM1

CM2
Baseline

Baseline

Baseline

Baseline

Baseline

2010 2015 2020 2025 2030

Gambar K2 - 18
Profil tingkat emisi GRK dan penurunannya pada berbagai skenario

3,0 0,40
Tingkat Emisi GRK (Juta Ton CO2e)

0,35
2,5
Pengurangan Emisi GRK

0,30
2,0
(Juta Ton)

0,25

1,5 0,20

0,15
1,0
0,10
0,5 0,05

- 0,00
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030

Reduction CM1 Reduction CM2 Baseline CM1 CM2


120 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar K2 - 19
Profil dan potensi penurunan emisi GRK masing-masing skenario mitigasi

3,0
Emisi GRK Pengolahan Sludge IPAL 0,40

Pengurangan Emisi GRK (Ton CO2e)


Tingkat Emisi GRK (Juta Ton CO2e)

Emisi GRK IPAL 0,35


2,5
0,30
2,0 0,25

0,20
1,5
0,15

1,0 0,10

0,05
0,5
0,00
Reduksi Reduksi Reduksi
0,0
CM1 CM2
Baseline Baseline Mitigasi Baseline CM1 CM2

2010 2016 2030 2016 2030

Mitigasi Emisi GRK Pemanfaatan Kertas Daur ulang di Industri Kertas

Pemanfaatan kertas daur ulang untuk bahan baku di industri kertas mengurangi emisi GRK kegiatan energi dan pengolahan
limbah dari proses produksi pulp yang digantikan oleh kertas daur ulang, dimana 1 ton kertas daur ulang ~ 0,67 ton pulp.
Jika kertas daur ulang berasal dari dalam negeri, maka penggunaannya sebagai bahan baku akan menghindari terbentuknya
emisi GRK dari penimbunan kertas daur ulang tersebut di TPA (Tabel K2-2). Apabila kondisi seperti ini dapat dipertahankan,
artinya ketersediaan kertas daur ulang mencukupi kebutuhan industri kertas dalam negeri, maka penurunan emisi GRK di
tahun 2030 diperkirakan dapat mencapai 0,12 juta Ton CO2e (Gambar K2-20).

Tabel K2 - 2
Data penghitungan penurunan emisi GRK pemanfaatan kertas daur ulang

Baseline Unit 2014 2015 2016 2017 2018*

Pulp digantikan kertas


ton 3.884.820 3.991.800 4.060.444 4.317.494 4.317.494
daur ulang

Kertas ditimbun di TPA ton 3.517.855 4.265.560 4.039.312 4.251.819 3.250.688

Mitigasi Unit 2014 2015 2016 2017 2018*

Pulp digantikan kertas


ton - - - - -
daur ulang

Kertas ditimbun di TPA ton - - - - -

Unit 2014 2015 2016 2017 2018*

Intensitas emisi GRK


Ton CO2e/Ton 0,96 0,89 0,89 1,07 1,07
energi industri pulp

Intensitas emisi GRK


Ton CO2e/Ton 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25
limbah industri pulp
STRATEGI
PELAKSANAAN 121

Tabel K2 - 3
Data penghitungan penurunan emisi GRK pemanfaatan kertas daur ulang

Emisi Baseline Unit 2014 2015 2016 2017 2018*

Energi Industri pulp Juta ton CO2e 3,74 3,56 3,62 4,62 4,62

Pengolahan limbah
Juta ton CO2e 0,98 1,01 1,03 1,07 1,07
industri pulp

Kertas ditimbun di
Juta ton CO2e - 0,42 0,91 1,33 1,76
TPA

Total Juta ton CO2e 4,71 4,99 5,55 7,03 7,45

Emisi Mitigasi Unit 2014 2015 2016 2017 2018*

Energi industri pulp Juta ton CO2e - - - - -

Limbah industri pulp Juta ton CO2e - - - - -

Kertas ditimbun di
Juta ton CO2e
TPA

Total Juta ton CO2e - - - - -

Penurunan Emisi Unit 2014 2015 2016 2017 2018*

Energi industri pulp Juta ton CO2e 3,74 3,56 3,62 4,62 4,62

Limbah industri pulp Juta ton CO2e 0,98 1,01 1,03 1,07 1,07

Kertas ditimbun diTPA Juta ton CO2e - 0,42 0,91 1,33 1,76

Total Juta ton CO2e 4,71 4,99 5,55 7,03 7,45

Gambar K2 - 20
Penurunan emisi GRK kegiatan pemanfaatan kertas daur ulang

8
Pengurangan Emisi GRK (Juta Ton CO2e)

7
Kertas bekas ditimbun
diTPA
6

5 Emisi pengolahan limbah


produksi pulp
4
Emisi energi untuk
3 produksi pulp

-
2014 2015 2016 2017 2018*

*Data sementara; Sumber : APKI, 2019


122 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.4 Sektor Pertanian, Lahan dan Kehutanan


4.4.1 Baseline dan Target Penurunan Emisi
Penetapan skenario emisi baseline (BAU) dan mitigasi (CM1 dan CM2) pada sektor pertanian, lahan dan ke-
hutanan (AFOLU) dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa target pembangunan sektor. Skenario
BAU menggunakan asumsi dengan kebijakan dan program pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
lahan dan hutan diarahkan untuk memenuhi target pembangunan sektor tanpa mempertimbangkan
masalah perubahan iklim, sedangkan skenario mitigasi (CM1 dan CM2) memasukkan target penurunan
emisi GRK. Dalam hal ini pelaksanaan program dan kebijakan pembangunan sektor tidak diikuti oleh
kenaikan emisi GRK tetapi dapat mengurangi tingkat emisi GRK. Jadi pada semua skenario, target
pembangunan sektor tetap tidak dikorbankan, swasembada padi terpenuhi, tingkat ketergantungan
pada impor pangan menurun, target produksi beberapa komoditas strategis (ekspor) meningkat, dan
kebutuhan lahan untuk perumahan dan pakan selalu terpenuhi. Target pembangunan sektor yang
digunakan dalam penetapan skenario emisi GRK merujuk kepada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah dan Rencana Strategis Sektor (Bappenas, 2013; Kementan, 2015; Ditjenbun, 2015; Kemenhut,
2011). Secara rinci penetapan emisi BAU dan CM1 dan CM2 dapat dilihat pada Lampiran 2.

Pada skenario BAU, emisi GRK sektor ini setelah tahun 2010 atau tahun dasar akan mengalami
peningkatan yang cukup besar dalam 5 tahun pertama yaitu sebesar 16% yaitu dari 757 juta ton CO2e
menjadi 880 juta ton CO2e, dan kemudian mengalami penurunan secara perlahan sampai tahun 2030
dengan laju penurunan 0,37% per tahun sehingga mencapai tingkat emisi GRK sebesar 833 juta ton
CO2e. Pada skenario CM1, tidak ada peningkatan emisi GRK setelah tahun dasar akan tetapi mengalami
penurunan terus dengan laju sekitar 4,12% per tahun, sehingga pada tahun 2030 mencapai tingkat emisi
GRK sebesar 327 juta ton CO2e. Pada skenario CM2, sama seperti CM1, akan tetapi laju penurunan emisi
GRK lebih cepat dengan laju 7,58% per tahun sampai 2020 dan kemudian melambat dan pada tahun
2030 mencapai tingkat emisi GRK bersih (neto) sebesar 152 juta ton CO2e (Gambar 4-69).

Gambar 4-69
Proyeksi emisi pada skenario baseline (BAU) dan mitigasi (CM1 dan CM2)
2010-2030 sektor pertanian, lahan dan kehutanan

1.400
Direct N20
1.200
Indirect N20
Kebakaran Gambut
1.000
Perennial crops
Deforestasi
Emisi (juta ton CO2e)

800
HTI
600 Regenerasi hutan skunder
Pemanenan kayu
400
Pembakaran biomas
Pengapuran
200
Afforestasi/Reforestasi
0 Pemupukan Nitrogen
Peternakan
-200 Pengolahan sawah
Dekomposisi gambut
-400
Net Emission
BAU
-600
2010 2014 2019 2024 2029 2010 2014 2019 2024 2029 2010 2014 2019 2024 2029

BAU CM1 (Unconditional) CM2 (Conditional)


STRATEGI
PELAKSANAAN 123

Gambar 4-69 menunjukkan bahwa jalur emisi CM1 dan CM2 jauh lebih rendah dari BAU terutama
disebabkan karena besarnya penurunan tingkat emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan dan juga
dari dekomposisi gambut serta kebakaran lahan dan hutan, sementara tingkat serapannya juga lebih
tinggi. Merujuk kepada strategi utama penurunan emisi GRK dari sektor pertanian, lahan dan kehutanan
yang sudah diuraikan sebelumnya, maka bentuk kegiatan mitigasi yang dilakukan pada sektor ini terdiri dari
(i) penurunan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan, yaitu melalui pencegahan atau pengurang-
an terjadinya perubahan luasan/area penutupan lahan berhutan dari kondisi berhutan menjadi kondisi
tidak berhutan baik yang sudah direncanakan (planned) maupun yang tidak direncanakan (unplanned),
(i) pengelolaan Hutan Lestari, yaitu upaya penurunan emisi melalui pengelolaan hutan secara lestari
dengan inovasi berkelanjutan untuk memberikan dampak lingkungan rendah, diantaranya penerapan
Teknik Reduced Impact Logging (RIL), maupun penerapan teknik pengelolaan hutan lestari lainnya yaitu
pengurangan dampak merusak dari aktivitas pemanenan kayu serta penerapan sertifikasi PHPL (Penge-
lolaan Hutan Produksi Lestari), (iii) peningkatan cadangan karbon, yaitu upaya meningkatkan cadangan
karbon baik di atas maupun di bawah tanah melalui kegiatan rehabilitasi lahan, permudaan alam, pena-
naman pengayaan (enrichment planting) dan penanaman hutan tanaman pada lahan rendah karbon, (iv)
konservasi hutan, yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan hutan yang memiliki nilai konservasi
tinggi (HCV) dan juga karbon tinggi (HCS), (v) pengelolaan lahan gambut, yaitu upaya penurunan emisi
melalui upaya pembasahan (rewetting) lahan gambut yang sudah terdrainase dan peningkatan cadangan
karbon atas tanah (revegetation) serta pencegahan kebakaran, (vi) penerapan teknologi penurunan emi-
si pada sektor peternakan yaitu penurunan emisi dari sistem pencernaan ternak (enteric fermentation)
melalui perbaikan kualitas pakan, baik melalui perbaikan komposisi ransum, fermentasi pakan, menam-
bah konsentrat dan lainnya dan dari limbah/kotoran ternak melalui pemanfaatannya untuk biogas/energi
dan pengomposan, (vii) penerapan teknologi rendah emisi dalam budidaya padi sawah dan tanaman
pangan dan perkebunan lainnya, dan (viii) peningkatan produktivitas tanaman pangan termasuk tanaman
perkebunan melalui upaya perbaikan varietas, dan penerapan teknologi budidaya yang baik serta pening-
katan Indeks penanaman melalui perbaikan sarana dan prasarana pengairan untuk dapat menurunkan
permintaan terhadap lahan ke depan. Dampak yang diharapkan dari pelaksanaan strategi ini terhadap
faktor mendorong emisi dan serapan karbon pada skenario BAU, CM1 dan CM2 disajikan pada Tabel
4-44. Pada Lampiran 2 tercantum modeling penetapan emisi baseline dan mitigasi NDC sektor AFOLU.

Tabel 4-44.
Tingkat aktivitas atau faktor pendorong emisi dan serapan pada skenario BAU, CM1 dan CM2

Rata-Rata Kumulatif1
Kegiatan Aksi Skenario
per tahun 2013-2019 2013-2024 2013-2029 2030

BAU 802 6.023 9.956 13.692 14.433

Laju Deforestasi Lahan CM1 400 3.183 5.056 6.837 7.193


Mineral (000 hektare) CM2 229 2.081 3.072 3.943 4.117

Aktual 5
512 2.562 - - -

BAU 61 408 668 1.025 1.104

Laju Deforestasi Lahan CM1 4 32 56 72 75


Gambut (000 hektare) CM2 2 19 28 32 33

Aktual 5
149 743 - - -
124 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Rata-Rata Kumulatif1
Kegiatan Aksi Skenario
per tahun 2013-2019 2013-2024 2013-2029 2030

BAU 818 6.114 10.129 13.960 14.721

Laju Degradasi Lahan CM1 400 3.191 5.065 6.848 7.205


Mineral (000 hektare) CM2 233 2.110 3.124 4.022 4.203

Aktual5 369 1.844 - - -

BAU 62 410 672 1.030 1.109

Laju Degradasi Lahan CM1 4 33 56 73 76


Gambut (000 hektare) CM2 2 20 29 33 34

Aktual5 16 80 - - -

BAU 23 83 202 369 409

Pengelolaan Hutan CM1 170 647 1.542 2.773 3.058


Lestari (000 hektare) CM2 321 1.276 2.982 5.265 5.784

Aktual5 - - - - -

BAU 97 680 1.166 1.652 1.749


Laju Rehabilitasi Lahan CM1 104 727 1.246 1.765 1.869
Tanpa Rotasi
(000 hektare)1 CM2 173 1.211 2.076 2.942 3.115

Aktual5 - 484 - - -

BAU 110 769 1.318 1.867 1.977


Laju Rehabilitasi CM1 173 1.211 2.076 2.942 3.115
Lahan Dengan Rotasi
(000 hektare)2 CM2 156 1.090 1.869 2.648 2.803

Aktual 5
- - - - -

BAU 150 1.050 1.800 2.550 2.700

Laju Pembangunan CM1 320 2.240 3.840 5.440 5.760


HTI (000 hektare) CM2 320 2.240 3.840 5.440 5.760

Aktual 5
- 4.670 - - -

BAU - - - - -

Restorasi Gambut CM1 70 489 837 1.186 1.256


(000 hektare)3 CM2 156 1.091 1.871 2.651 2.807

Aktual5 - - - - -

BAU - - - - -

Perbaikan tata air CM1 634 864 864 864


gambut (000 hektare) CM2 - 749 864 864 864

Aktual5 - - - - -

Catatan: 1Untuk deforestasi dan degradasi, perhitungan kumulatif adalah dari tahun 2013 sesuai dengan REDD, sedangkan yang
lainnya dari 2011 sesuai dengan tahun dasar dan akhir periode kumulatif ialah tahun akhir periode RPJMN (2015-2019,
2020-2024, 2025-2029). 2 Rehabilitasi hanya merujuk pada lahan kering. 3Luas total hutan tanaman yang terbangun,
4
Restorasi mangrove belum diperhitungkan di dalam NDC, khususnya peningkatan karbon tanah. 5Aktual ialah data dari
2013-2017 atau kondisi tahun 2017.
STRATEGI
PELAKSANAAN 125

Penurunan deforestasi yang ditargetkan pada skenario CM1 dan CM2 akan sangat ditentukan oleh
keberhasilan sektor pertanian dalam mencapai target peningkatan produktivitas tanaman dan Indeks
penanaman dan juga pencegahan atau penurunan konversi lahan pertanian khususnya di Jawa (lihat
Lampiran 2). Apabila target peningkatan produktivitas dan indeks penanaman tidak dicapai akan dapat
mendorong pembukaan hutan baru. Program intensifikasi melalui perbaikan budidaya pertanian dan
pencarian varietas unggul baru berdaya hasil tinggi harus dijadikan sebagai program utama untuk
peningkatan produksi pertanian. Rehabilitasi wilayah tangkapan hujan, perbaikan dan pembangunan
areal irigasi baru juga perlu diprioritaskan khususnya pada areal pusat produksi pertanian untuk
menjamin keberhasilan program peningkatan indeks penanaman. Keberhasilan sektor pertanian dalam
melaksanakan program ini akan menurunkan permintaan lahan ke depan tanpa mengorbankan
target produksi yang sudah ditetapkan sehingga dapat mengurangi konversi hutan. Target peningkatan
produktivitas dan Indeks penanaman komoditas pertanian dan perkebunan pada BAU, CM1 dan CM2
dapat dilihat pada Tabel 4-45 dan Tabel 4-46.

Tabel 4-45
Target peningkatan produktivitas komoditas pertanian dan kehutanan pada scenario BAU,
CM1 dan CM2

Produktivitas Target Produktivitas Rata-rata per tahun (ton/hektare)


Komoditas1 Skenario
2010 2013-2019 2013-2024 2013-2029 2013-2030

BAU 5,80 5,82 5,83 5,84 5,84

Padi Jawa CM1 5,80 5,97 6,04 6,11 6,12


(ton/hektare) CM2 5,80 6,00 6,09 6,18 6,19

Aktual2 5,72 5,76

BAU 4,20 4,34 4,40 4,46 4,47


Padi Luar Jawa CM1 4,20 4,43 4,53 4,64 4,66
(ton/hektare)
CM2 4,20 4,56 4,72 4,88 4,92

Aktual2 4,37 4,60

BAU 4,44 4,52 4,55 4,58 4,59


Serealia CM1 4,44 4,52 4,55 4,58 4,59
(Jagung)
(ton/hektare) CM2 4,44 4,75 4,89 5,04 5,07

Aktual2 4,44 4,90

BAU 3,04 3,04 3,04 3,04 3,04

Padi Gogo CM1 3,04 3,06 3,07 3,08 3,09


(ton/hektare) CM2 3,04 3,17 3,23 3,28 3,30

Aktual2 3,04 3,31

BAU 9,03 9,17 9,23 9,29 9,30


Sayuran- CM1 9,03 9,17 9,23 9,29 9,30
sayuran
(ton/hektare) CM2 9,03 9,43 9,61 9,78 9,82

Aktual2 9,03
126 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Produktivitas Target Produktivitas Rata-rata per tahun (ton/hektare)


Komoditas1 Skenario
2010 2013-2019 2013-2024 2013-2029 2013-2030

BAU 20,22 21,05 21,40 21,77 21,84

Ubi Kayu CM1 20,22 21,05 21,40 21,77 21,84


(ton/hektare) CM2 20,22 22,12 22,98 23,88 24,06

Aktual2 20,22 23,89

BAU 47,89 50,32 51,38 52,47 52,69

Tebu CM1 47,89 50,32 51,38 52,47 52,69


(ton/hektare) CM2 47,89 52,58 54,71 56,95 57,41

Aktual2 47,89

BAU 10,71 10,84 10,90 10,95 10,96


Buah-buahan
dan Kacang- CM1 10,71 11,16 11,35 11,54 11,58
kacangan CM2 10,71 11,16 11,35 11,54 11,58
(ton/hektare)
Aktual2 10,71

BAU 0,85 0,89 0,91 0,93 0,93


Tanaman
industri lainnya CM1 0,85 0,91 0,94 0,98 0,98
(Karet) CM2 0,85 0,91 0,94 0,98 0,98
(ton/hektare)
Aktual2 0,85

BAU 16,10 17,61 18,29 19,01 19,16

Kelapa sawit CM1 16,10 18,18 19,15 20,19 20,40


(ton/hektare) CM2 16,10 18,18 19,15 20,19 20,40

Aktual 2
16,10

BAU 20,00 21,17 21,36 21,65 21,69


Produktivitas CM1 20,00 21,67 21,94 22,35 22,41
HTI (m3/hek-
tare/thn) CM2 20,00 22,00 22,33 22,82 22,89

Aktual 2
20,00

Pemanfaatan BAU - 215,95 232,52 251,59 255,81


Kayu
CM1 - 198,82 206,73 215,07 216,86
Perkebunan
sawit & karet CM2 - 197,11 205,23 214,00 215,85
(000 hektare/
Aktual2 - - - - -
thn)

Catatan: 1Untuk komoditas lainnya, tidak ada perbedaan produktivitas tanaman antara BAU, CM1 dan CM2. Target peningkatan
produktivitas ditetapkan berdasarkan target sektor dan kondisi historis dalam rangka mencapai target produksi yang
ditetapkan. Khusus untuk padi untuk mencapai swasembada pangan, sedangkan komoditas pangan lainnya mengurangi
impor. Untuk sawit dan kayu, target produksi untuk memenuhi kebutuhan domestik dan target ekspor. 2Aktual ialah data
dari 2014-2017 (sumber: https://www.pertanian.go.id/home/ ?show=page&act=view&id=61). 3HTI merupakan komoditas
kehutanan dan juga tanaman karet sudah menjadi komoditas kehutanan.
STRATEGI
PELAKSANAAN 127

Tabel 4-46.
Target capaian Indeks Penanaman (IP) pada skenario BAU, CM1 dan CM2

IP Target IP Rata-Rata
Komoditas1 Skenario
2010 2013-2019 2013-2024 2013-2029 2013-2030
Padi Jawa BAU 1,80 1,83 1,85 1,86 1,86
CM1 1,80 1,91 1,95 2,00 2,01
CM2 1,80 1,92 1,97 2,02 2,03
Aktual2 1,80 1,89 - - -
Padi Luar Jawa BAU 1,45 1,49 1,51 1,53 1,53
CM1 1,45 1,54 1,57 1,61 1,62
CM2 1,45 1,58 1,64 1,70 1,71
Aktual 2
1,45 1,31 - - -
Padi Gogo BAU 0,90 0,91 0,91 0,91 0,91
CM1 0,90 0,92 0,93 0,94 0,94
CM2 0,90 0,93 0,95 0,96 0,96
Aktual 2
- - - - -
Serealia (Jagung) BAU 0,63 0,63 0,63 0,63 0,63
CM1 0,63 0,63 0,63 0,63 0,63
CM2 0,63 0,64 0,64 0,65 0,65
Aktual2 - - - - -
Sayuran-sayuran BAU 0,63 0,63 0,63 0,63 0,63
CM1 0,63 0,63 0,63 0,63 0,63
CM2 0,63 0,64 0,64 0,64 0,64
Aktual 2
- - - - -
Ubi Kayu BAU 0,63 0,63 0,63 0,63 0,63
CM1 0,63 0,63 0,63 0,63 0,63
CM2 0,63 0,63 0,63 0,63 0,63
Aktual 2
- - - - -
Tebu BAU 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
CM1 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
CM2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
Aktual2 - - - - -
Buah-buahan dan BAU 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17
Kacang-kacangan
CM1 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17
CM2 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17
Aktual2 - - - - -
Tanaman industri BAU 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
lainnya (Karet)
CM1 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
CM2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
Aktual 2
- - - - -
128 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

IP Target IP Rata-Rata
Komoditas1 Skenario
2010 2013-2019 2013-2024 2013-2029 2013-2030
Kelapa sawit BAU 0,64 0,64 0,64 0,64 0,64
CM1 0,64 0,71 0,71 0,71 0,71
CM2 0,64 0,71 0,71 0,71 0,71
Aktual2

Catatan: 1Untuk tanaman tahunan, Indeks penanaman menunjukkan persentase tanaman yang sudah menghasilkan. 2Aktual ialah
data dari 2014-2017 (sumber: https://www.pertanian.go.id/home/?show= page&act=view&id=61)

Secara umum, target peningkatan produktivitas tanaman pangan pada skenario mitigasi CM1, CM2 harus
lebih tinggi dibanding dengan skenario BAU. Demikian juga dengan Indeks penanaman. Untuk tanaman
padi di Jawa, produktivitas aktual saat ini sekitar 5,76 ton/hektare dan di luar Jawa sekitar 4,6 ton/hektare.
Peningkatan produktivitas padi saaat ini dibanding dengan tahun dasar 2010 untuk Jawa masih lebih
rendah dari target NDC, namun untuk luar Jawa sudah melebihi target NDC (Tabel 4-45). Demikian juga
halnya dengan target peningkatan Indeks penanaman padi dan tanaman pangan pada skenario mitigasi
(CM1 dan CM2) sampai 2030 harus lebih tinggi dibanding skenario BAU (Tabel 4-46). Upaya peningkatan
Indeks penanaman akan sangat tergantung pada ketersediaan air. Pada skenario BAU, upaya peningkatan
Indeks penanaman di Jawa relatif lebih sulit dibanding skenario mitigasi. Hal ini disebabkan wilayah
pertanaman padi Sawah di Jawa umumnya berada di pantai utara Jawa yang pada saat ini kemampuan
daya dukung lingkungan hidup (DDLH) untuk penyediaan air sudah terlewati. Pada saat ini persen luas
wilayah yang DDLH penyediaan air sudah terlewati sudah mencapai 45% dan umumnya berada di pantai
utara Jawa (Bappenas, 2019). Pada skenario BAU, diperkirakan wilayah yang DDLH penyediaan air
sudah terlewati akan meningkat menjadi 55% pada tahun 2045. Berhasilnya pelaksanaan mitigasi pada
skenario CM1 dan CM2, diproyeksikan kondisi tutupan hutan/vegetasi wilayah tangkapan hujan
(lindung) akan lebih baik dibanding skenario BAU dan wilayah yang DDLH penyediaan air yang terlewati
akan menurun dibanding kondisi saat ini yaitu menjadi 37%.

Pencegahan konversi lahan pertanian, khususnya sawah di Jawa juga merupakan target yang harus
dicapai oleh sektor pertanian untuk mengurangi permintaan lahan ke depan sehingga dapat mengurangi
deforestasi. Konversi lahan pertanian di Jawa menjadi pertanian, akan membutuhkan pembukaan lahan
baru yang lebih besar di luar Jawa dalam mengejar target produksi sektor karena lebih rendahnya
tingkat kesuburan tanah di luar Jawa. Dalam skenario BAU, laju konversi sawah di Jawa mencapai 47,9 ribu
hektare per tahun (sekitar 1,2% per tahun), sedangkan pada skenario CM1 dan CM2 laju konversi pada
masing-masing skenario harus ditekan sampai 23,4 ribu hektare/tahun (0,6%) dan 3,9 ribu hektare/tahun
(0,1% per tahun). Dengan laju konversi ini, kebutuhan pembukaan sawah baru per tahun di luar Jawa pada
skenario BAU, CM1 dan CM2 masing-masing mencapai 42,5 ribu hektare (1,2%), 25,1 ribu hektare (0,7%)
dan 23,6 ribu hektare (0,6%).

Untuk mencapai target produksi perkebunan (terutama sawit), kebutuhan penambahan luas perkebunan
per tahun akan mencapai lebih dari 0,570 ribu hektare/tahun apabila tingkat produktivitas tidak bisa
ditingkatkan secara signifikan seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 4-46. Luas pembukaan hutan
untuk memenuhi kebutuhan lahan perkebunan ke depan akan dapat diturunkan apabila produktivitas
komoditas perkebunan seperti sawit dapat ditingkatkan 25% dari tingkat produktivitas tahun 2010,
demikian juga untuk komoditas perkebunan lainnya walaupun tidak setinggi peningkatan produktivitas
sawit. Secara umum, target peningkatan produktivitas pada skenario mitigasi, khususnya (CM2) dibanding
kondisi saat ini lebih tinggi dari pada skenario BAU (Tabel 4-46).
STRATEGI
PELAKSANAAN 129

Proyeksi penggunaan lahan sampai 2030 pada skenario BAU, CM1 dan CM2 apabila asumsi pada setiap
skenario terpenuhi dapat dilihat pada Gambar 4-70.

Gambar 4-70
Perubahan luas tutupan lahan 2010-2030 pada skenario BAU, CM1 dan CM2

BAU CM1 CM2


200.000
Primary Forest
Luas tutupan (000 hektare)

Secondary Forest
160.000

Timber Plantation

120.000 Cropland Perenial

Cropland Annual

80.000 Grassland

Settlement

40.000 Wetland

Otherhand

0
2010 2020 2030 2010 2020 2030 2010 2020 2030

Luas lahan grassland merupakan luas kebutuhan lahan untuk padang pengembalaan dan pakan ternak,
sedangkan annual cropland untuk tanaman semusim (padi, serealia dan tanaman semusim lainnya),
perennial cropland untuk tanaman tahunan yaitu perkebunan dan buah-buahan, dan timber plantation
untuk hutan tanaman industri (HTI).

Luas kebutuhan lahan produksi kayu (HTI) sangat ditentukan oleh realisasi penanaman di areal izin
HTI yang sangat lambat pada saat ini, pelibatan partisipasi masyarakat dalam realisasi penanaman HTI,
penerapan teknik silvikultur yang tepat, penggunaan bibit unggul, pemupukan tanaman HTI, dan
kontribusi perkebunan untuk pemenuhan kebutuhan (lihat Lampiran 2). Apabila berbagai upaya untuk
peningkatan produktivitas HTI dan kontribusi kayu dari perkebunan untuk pemenuhan kebutuhan kayu
meningkat, maka kebutuhan lahan untuk HTI akan menurun. Lahan untuk pengembalaan ternak dan
pangan sebagian dapat digunakan di lahan perkebunan melalui program integrasi pangan, pakan, ternak
dan kebun. Apabila asumsi ini digunakan maka kebutuhan untuk mengkonversi hutan juga akan menurun.
Di dalam NDC, asumsi untuk integrasi pangan, pakan, ternak dan kebun tidak ada

Kontribusi sektor pertanian dalam penurunan emisi untuk mencapai target NDC juga dilakukan melalui
penerapan teknologi budidaya rendah emisi, diantaranya penggunaan varietas rendah emisi, penera-
pan teknologi budidaya sawah hemat air (SRI dan PTT), pemanfaatan limbah ternak untuk biogas dan
perbaikan supplemen pakan. Intensitas penerapan teknologi budidaya ini pada skenario BAU, CM1 dan
CM2 disajikan pada Tabel 4-47.


130 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-47
Target penerapan teknologi rendah emisi pada pertanian

Rata-Rata Kumulatif
Kegiatan Aksi Skenario
per tahun 2011 - 2019 2011 - 2024 2011 - 2029 2011 - 2030

Penggunaan BAU - - - - -
Varietas Rendah
CM1 45 410 636 862 908
Emisi di Lahan
Sawah (000 hektare) CM2 49 422 666 918 969

Penerapan Sistem BAU 29 125 332 540 581


Pengairan Sawah
CM1 98 608 1.219 1.830 1.953
Lebih Hemat Air
(000 hektare) CM2 103 624 1.277 1.937 2.070

Pemanfaatan BAU - - - - -
Limbah Ternak
CM1 16 64 153 283 314
untuk Biogas
(000 hewan ternak) CM2 16 64 153 283 314

Perbaikan BAU - - - - -
Suplemen Pakan
CM1 580 2.414 5.708 10.469 11.602
(000 hewan ternak)
CM2 580 2.414 5.708 10.469 11.602

4.4.2 Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan

4.4.2.1 Penurunan Laju Deforestasi


Untuk pencapaian target penurunan emisi dari deforestasi berdasarkan skenario NDC tanpa syarat
(CM1-unconditional), pemerintah menargetkan total deforestasi dalam periode 2013 sampai 2030 tidak
lebih dari 7,268 juta hektare, yaitu 7,193 juta hektare di hutan lahan mineral dan 0,075 juta hektare di
hutan lahan gambut (Tabel 4-48). Target ini setara dengan pengurangan rata-rata laju deforestasi sebesar
0,400 juta hektare/tahun untuk lahan mineral dan 0,042 juta hektare/tahun untuk lahan gambut.

Tabel 4-48
Target capaian pengurangan laju deforestasi lahan mineral dan gambut

Rata-Rata Kumulatif
Kegiatan Aksi Skenario
per tahun 2013-2019 2013-2024 2013-2029 2013-2030

BAU 802 6.023 9.956 13.692 14.433


Laju Deforestasi CM1 400 3.183 5.056 6.837 7.193
Lahan Mineral
(000 hektare) CM2 229 2.081 3.072 3.943 4.117

Aktual 2
512 2.562 - - -

BAU 61 408 668 1.025 1.104


Laju Deforestasi CM1 4 32 56 72 75
Lahan Gambut
(000 hektare) CM2 2 19 28 32 33

Aktual 2
149 743 - - -
STRATEGI
PELAKSANAAN 131

Sejak tahun 2013 sampai 2017, luas hutan yang sudah terdeforestasi sudah mencapai 3,305 juta hektare,
yaitu 2,562 juta hektare di lahan mineral dan 0,743 juta hektare di lahan gambut. Dengan demikian maka
luas hutan yang masih dapat dikonversi untuk mencapai target NDC CM1 dari 2018-2030 ialah sebesar
3,963 juta hektare. Lebih jauh apabila yang ingin dicapai ialah target NDC CM2, maka luas hutan yang
bisa dikonversi selama periode 2018-2030 tidak lebih dari 0,845 juta hektare lagi.

Strategi untuk pencapaian target penurunan emisi dari deforestasi perlu mempertimbangkan kondisi
biogeofisik (BGF) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 70 Tahun 2017 tentang Tata
Cara Pelaksanaan REDD+. IBGF merupakan Indeks yang digunakan dalam mempertimbangkan besarnya
alokasi emisi yang diberikan ke suatu wilayah sesuai dengan kondisi biogeofisiknya. IBGF ditetapkan
berdasarkan laju deforestasi historis (Indeks Emisi Historis, IEH) dan persentase tutupan hutan alam yang
masih tersisa saat ini pada wilayah tersebut (Indeks Tutupan Hutan, ITH).

Wilayah yang memiliki tingkat IBGF tertinggi merupakan wilayah yang laju deforestasi masa lalu (emisi
historis) tinggi sementara luas fraksi wilayah yang masih berhutan alam sudah sangat rendah. Artinya,
wilayah yang IBGF memiliki tingkat pertama (nilai indeks=1,0) akan memiliki risiko yang sangat tinggi untuk
kehilangan hutan alam dalam waktu yang tidak terlalu lama atau dapat dikatakan memiliki tingkat risiko
emisi sangat tinggi. Pada wilayah ini, keberadaan faktor-faktor pendorong (drivers) deforestasi sudah
sangat tinggi sehingga perlu mendapat prioritas untuk penanganan faktor pendorong. Sebaliknya pada
wilayah yang tingkat IBGF rendah.

Mengikuti Peraturan Menteri LHK Nomor 70 Tahun 2017, IBGF pada wilayah menurut unit pengelolaan1
disusun dengan menggunakan tiga kategori IEH dan tujuh kategori ITH seperti yang ditunjukkan oleh
Tabel 4-49. Indeks Biogeofisik (IBGF) dihitung dengan menggunakan persamaan:

IBGF = (IEH+ITH)/2

Untuk wilayah dengan ITH = 0 ditetapkan memiliki IBGF = 0 untuk semua kategori IEH, karena deforestasi
tidak lagi memungkinkan terjadi pada wilayah tersebut. Kategori tingkat risiko emisi ditetapkan berdasar-
kan nilai IBGF, yaitu: 1,0 = Ekstrem Tinggi (ET); 1,5 = Sangat Tinggi (ST); 2,0 = Tinggi; 2,5 = Agak Tinggi (AT);
3,0 = Sedang (S); 3,5 = Agak Rendah (AR); 4,0 = Rendah (R); 4,5 = Sangat Rendah (SR); 5,0-5,5 = Ekstrem
Rendah (ER); dan 0 = tidak ada hutan (TAH).

Tabel 4-49
Nilai IBGF berdasarkan IEH dan ITH

Indeks Emisi Indeks Tutupan Hutan (% tutupan hutan)


(Laju Deforestasi)
0 1:<10 2: 10-20 3: 20-30 4: 30-50 5: 50-80 6: >80

1: Tinggi 0 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5

3: Sedang 0 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5

5: Rendah 0 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0 5,5


1
Unit pengelolaan dalam hal ini merujuk kepada unit area di luar Kawasan hutan yang berada dalam pengelolaan pemer-
intah kabupaten/masyarakat dan perusahaan (HGU), unit area di dalam Kawasan hutan yang berada dalam pengelolaan
KPH, HPH, HTI, Taman Nasional (Konservasi) dan perhutanan sosial (PIAPS)
132 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Berdasarkan nilai IBGF, sebaran wilayah unit pengelolaan yang memiliki tingkat risiko emisi tinggi sebagian
besar berada di Sumatera, dan diikuti oleh Kalimantan dan Sulawesi, sementara yang paling sedikit di
Papua (Gambar 4-71). Luas areal masih berhutan yang berada di wilayah unit pengelola yang memiliki ting-
kat risiko emisi agak tinggi (AT) sampai ekstrem- tinggi (ET) mencapai 7,9 juta hektare yang sebagian besar
berada di APL dan KPH (Tabel 4-50), dan umumnya tersebar di Kalimantan, diikuti Sumatera, Sulawesi,
Papua, Maluku, Bali-NT, dan Jawa (Gambar 4-72 dan Tabel 4-51).

Tabel 4-50
Total luas hutan alam tahun 2017 pada unit pengelolaan menurut tingkat risiko emisi

Tingkat
APL1 Konservasi KPH2 Non-KPH Total
Risiko Emisi
ET 800.170 8.168 159.625 88.041 1.056.003
ST 616.031 77.740 264.957 136.554 1.095.282
T 1.148.039 7.435 483.852 344.749 1.984.075
AT 1.139.892 154.028 2.214.186 292.034 3.800.141
S 1.532.998 890.750 7.583.853 657.312 10.664.913
AR 264.755 187.410 2.882.601 617.342 3.952.108
R 801.589 3.846.990 7.865.106 926.996 13.440.681
SR 368.295 6.653.935 19.028.127 1.659.813 27.710.169
ER 230.915 4.744.328 18.180.819 1.497.623 24.653.685
Total 6.902.684 16.570.783 58.663.126 6.220.464 88.357.057

Catatan: 1 Luasan sudah masuk wilayah yang dibebani izin HGU, 2Luasan sudah masuk wilayah yang dibebani IUPHHK-HT, IUPH-
HK-HA, PIAPS dan izin dalam Kawasan hutan lainnya. Data merupakan hasil olahan interpretasi citra

Gambar 4-71
Sebaran wilayah unit pengelolaan menurut tingkat risiko emisi
STRATEGI
PELAKSANAAN 133

Gambar 4-72
Tingkat risiko emisi berdasarkan Indeks Biogeofisik (IBGF) pada wilayah masih
berhutan di setiap unit pengelolaan

Tabel 4-51
Sebaran luas wilayah masih berhutan alam tahun 2017 menurut kategori tingkat risiko emisi
di tujuh wilayah pembangunan hutan

Tingkat Risiko Emisi


Wilayah Total
ET ST T AT S AR R SR ER

Bali-NT 0 8.606 82.316 136.618 566.115 359.908 903.136 325.988 428.704 2.811.391

Jawa 22.732 33.976 55.915 65.798 220.116 9.877 292.354 5.963 82.398 789.130

Kali-
519.628 573.905 895.738 1.614.615 5.332.684 960.230 3.220.692 6.362.535 6.179.459 25.659.486
mantan

Maluku 0 51.205 76.070 113.552 474.082 190.663 1.230.246 1.330.371 1.473.980 4.940.169

Papua 334 3.978 19.489 462.533 1.751.884 1.124.179 4.719.542 10.425.385 15.272.216 33.779.539

Sulawesi 66.824 110.668 342.674 436.211 815.221 776.329 558.750 4.822.483 1.036.638 8.965.797

Suma-
446.486 312.945 511.872 970.815 1.504.812 530.921 2.515.961 4.437.444 180.290 11.411.546
tera

Total 1.056.003 1.095.282 1.984.075 3.800.141 10.664.913 3.952.108 13.440.681 27.710.169 24.653.685 88.357.057

Catatan: Data merupakan hasil olahan interpretasi citra


134 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Selain memperhatikan tingkat risiko emisi deforestasi, strategi penentuan langkah aksi pengurangan
deforestasi juga harus memperhatikan fungsi kawasan dan perannya dalam menyediakan layanan jasa
lingkungan atau jasa ekosistem seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Wilayah yang memiliki layanan jasa
ekosistem tinggi perlu mendapat prioritas dalam pelaksanaan aksi. Indeks Jasa Ekosistem (IJE) dari suatu
kawasan dapat ditetapkan berdasarkan daya dukung daya tampung (DDDT), keanekaragaman hayati, dan
potensi karbon (Bappenas 2019; Kotak 3). Wilayah dengan nilai IJE tinggi harus ditetapkan sebagai arahan
lindung mengingat fungsi pentingnya dalam memberikan layanan jasa lingkungan. Luas wilayah dalam
dan luar Kawasan hutan yang perlu ditetapkan sebagai arahan lindung mencapai 65 juta hektare, dan
sekitar 57 juta hektare (86%) masih berupa hutan alam (Tabel 4-52).

Tabel 4-52
Total luas hutan alam tahun 2017 pada unit pengelolaan yang masuk arahan lindung
menurut tingkat risiko emisi

Tingkat
APL1 Konservasi KPH2 Non-KPH Total
Risiko Emisi
ET 935.521 8.168 134.208 57.844 1.135.740
ST 417.300 77.740 217.977 90.045 803.061
T 711.388 7.435 405.141 304.426 1.428.390
AT 429.242 154.027 1.637.850 158.893 2.380.013
S 172.904 890.749 5.068.316 218.625 6.350.594
AR 29.153 187.410 1.912.568 54.500 2.183.630
R 160.383 3.846.986 5.001.786 170.247 9.179.403
SR 65.699 6.653.930 12.673.744 392.562 19.785.934
ER 1.804 4.744.315 8.907.822 344.294 13.998.235
Total 2.923.393 16.570.759 35.959.412 1.791.435 57.244.999

Catatan: 1 Luasan sudah masuk wilayah yang dibebani izin HGU, 2Luasan sudah masuk wilayah yang dibebani IUPHHK-HT, IUPH-
HK-HA, PIAPP dan izin dalam Kawasan hutan lainnya. Data merupakan hasil olahan interpretasi citra

Strategi penurunan emisi dari deforestasi dapat dilakukan dengan mencegah konversi hutan yang
sudah direncanakan (planned deforestation) dan yang tidak direncanakan (unplanned deforestation). Planned
deforestation adalah kegiatan konversi hutan alam baik dalam atau luar kawasan hutan yang secara
hukum diperbolehkan sesuai izin usaha yang diberikan, diantaranya konversi menjadi kebun pada areal
HGU, menjadi hutan tanaman pada areal IUPHHK-HT (tidak termasuk areal bekas tebangan yang masih
berhutan dan tidak dapat dihindari untuk diusahakan) atau areal Perhutanan Sosial untuk HTR.
Sedangkan Uplanned Deforestation adalah kegiatan konversi hutan yang secara hukum tidak diperbolehkan
(illegal), diantaranya kegiatan perambahan hutan..
STRATEGI
PELAKSANAAN 135

KOTAK 3. Penilaian Indeks Jasa Ekosistem Kawasan Hutan


Penilaian Jasa Ekosistem suatu Kawasan sangat diperlukan untuk membantu dalam memberikan arahan pemanfaatan dan
pengelolaan Kawasan sehingga dapat menjamin keberlanjutan layanan jasa lingkungan dan pembangunan sesuai
dengan yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS), dalam pasal 9 ayat 2a dan pasal 13 ayat 1c. Arahan pemanfaatan kawasan tidak hanya didasarkan pada
parameter kepekaannya terhadap erosi (fisik), namun juga terkait kapasitas daya dukung dan daya tampungnya untuk menyangga
kehidupan manusia, nilai keanekaragaman hayatinya, dan serta nilai simpanan karbon dalam kaitannya dengan isu perubahan
iklim. Dalam kaitan ini, kawasan penentuan nilai Indeks Jasa Ekosistem kawasan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
spasial dengan mengintegrasikan tiga komponen kunci, yaitu:

• Data daya dukung/daya tampung (DDDT) indikatif;


• Kualitas hutan berdasarkan nilai candangan karbon tinggi atau high carbon stock (HCS) dan fraksi tutupan tajuk hutan; dan
• Nilai Konservasi Tinggi atau High Conservation Value (HCV) yang ditetapkan berdasarkan keberadaan mega fauna (satwa dilind-
ungi: badak, harimau, gajah, orangutan, anoa, owa, macan tutul, babi rusa), ekosistem esensial (mangrove, karst, savanna, dan
gambut dan eksosistem lumut di pegunungan tinggi) dan Kawasan konservasi

Nilai Indeks Jasa Ekosistem ditetapkan dengan memberikan nilai skor pada ketiga komponen, dimana untuk DDDT dan kualitas
hutan memiliki skor dari 1 (sangat rendah) sampai 5 (sangat tinggi), sedangkan HCV hanya 1 (tidak ada) dan 5 (ada). Skor dari
masing-masing komponen ini digunakan untuk menentukan Indeks Jasa Ekosistem (IJE) yang dapat memberikan bentuk arahan
pemanfaatan Kawasan (Tabel K3.1)

Tabel K3.1
Kriteria untuk Penetapan Arahan Pemanfaatan Kawasan berdasarkan nilai Indeks Jasa Ekosistem

Arahan HCV KH DDDT Catatan

APL Ada >=2 1-5 Belum diokupasi masyarakat

Kualitas hutan sangat rendah, namun merupakan ekosistem esensial (gambut,


Ada >=0 1-5
Lindung HK/HL savanna, kars, eksosistem pegunungan tinggi) dan belum diokupasi masyarakat

Tidak Ada >=3 1-5 Belum diokupasi masyarakat

HP Ada >=2 1-5 Termasuk ekosistem esensial

APL Ada >=3 >=3 Dipertahankan sebagai kawasan produksi


Produksi
HP Tidak Ada >=2 1-5 Kualitas hutan baik

APL Ada <2 >=3 Belum diokupasi masyarakat

Ada <2 1-5 Sudah diokupasi masyarakat kurang dari 20 tahun

HK/HL Tidak Ada =2 1-5


Rehabilitasi Bukan merupakan ekosistem esensial
Tidak Ada <2 >=3

Ada <2 1-5 Ekosistem esensial dan sudah diokupasi masyarakat


HP
Tidak Ada <2 >=3 Apabila belum diokupasi masyarakat

HK/HL/ Ada <2 1-5 Khusus untuk HK/HL apabila sudah diokupasi masyarakat lebih dari 20 tahun
Konversi
HP Tidak Ada <2 1-5 (TORA)

Sumber: Bappenas (2019)


136 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Berdasarkan hasil analisis ini, diperoleh bahwa areal dengan arahan lindung mencapai 65,1 juta hektare, sekitar 2,93 juta hektare
ada di Areal Penggunaan Lain (APL), dan yang ada di dalam kawasan konservasi dan lindung masing-masing sekitar 19,2 juta
hektare dan 26,1 juta hektare, dan sisanya sekitar 16,5 juta hektare di Kawasan Hutan produksi. Berdasarkan TGHK luas
Kawasan konservasi seluas 21,2 juta hektare (sedikit lebih rendah dari data statistik KLHK karena ada perbedaan data dasar
spasial seperti garis batas perairan) dan berada dalam arahan lindung sekitar 90,3%, sekitar 2 juta hektare masuk arahan
rehabilitasi karena sudah tidak berhutan atau sudah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian, sedangkan
sisanya tidak teridentifikasi dan sudah menjadi lahan terbangun yang masuk ke dalam arahan konversi. Demikian juga untuk
Kawasan Hutan lindung, dan Hutan Produksi TGHK (Tabel K3.2; Gambar K3.1), ada yang masuk arahan lindung, produksi
dan rehabilitasi.

Tabel K3.2
Luas Pemanfaatan Fungsi Kawasan Hutan berdasarkan IJE menurut Fungsi Kawasan

Arahan Rehabilita-
dengan APL Konversi Lindung Produksi Rehabilitasi si Agro- Blank Total
IJE TGKH foresti

APL 53.497.064 0 2.931.599 10.381.962 751.138 0 584.093 68.145.856

HK 0 66.052 19.173.217 0 888.077 911.692 172.406 21.211.443

HL 0 121.540 26.057.661 0 643.916 2.522.684 96.452 29.442.254

HP 0 4.504.096 6.582.796 14.888.800 2.834.865 338.622 103.008 29.252.186

HPK 0 2.622.769 1.826.981 5.762.426 1.422.634 221.214 45.533 11.901.558

HPT 0 2.176.128 8.053.604 15.392.922 803.107 280.188 95.205 26.801.155

Blank 0 13.156 486.211 0 68.145 45.257 4.046.217 4.658.988

Total 53.497.064 9.503.741 65.112.069 46.426.110 7.411.882 4.319.657 5.142.914 191.413.440

Gambar K3.1
Sebaran Luas Arahan Pemanfaatan Kawasan menurut Fungsi Kawasan TGHK berdasarkan Indeks Jasa
Ekosistem
STRATEGI
PELAKSANAAN 137

Berdasarkan kondisi tahun 2017, luas kawasan yang sudah dibebani izin HGU dan HTI dan dialokasikan
untuk perhutanan sosial (PIAPS) yang masih berhutan alam mencapai 10,5 juta hektare (Tabel 4-53). Lebih
dari setengahnya berada pada areal PIAPS. Berdasarkan IJE, areal berhutan seluas 10,5 juta hektare tersebut
sekitar 5,8 juta hektare termasuk arahan lindung, sehingga hutan alam harus tetap dipertahankan. Merujuk
ke target CM1, luas konversi hutan alam dari 2018-2030 tidak boleh melebihi 3,963 juta hektare dan untuk
target CM2, tidak melebihi 0,845 juta hektare. Apabila semua hutan dalam arahan lindung di area HGU,
HTI dan PIAPS dikonservasi, sedangkan sisanya tetap dikonversi maka potensi deforestasi yang akan terjadi
dari 2018-2030 akan mencapai 4,7 juta hektare yang sudah melebihi target CM1. Sementara tingkat risiko
hutan alam di luar areal berizin untuk terdeforestasi (unplanned deforestation) juga cukup besar. Ada sekitar
6,6 juta hektare hutan alam di luar areal tidak berizin memiliki tingkat risiko emisi (deforestasi) dari agak ting-
gi sampai ekstrem tinggi. Dengan demikian target CM1 akan sangat sulit dicapai kalau hanya melalui upaya
mencegah planned deforestation saja. Berdasarkan pertimbangan ini, ada tambahan empat pilihan
kebijakan terkait konversi hutan di dalam areal HGU, HTI dan PIAPS di luar arahan lindung untuk mencapai
target NDC seperti yang disajikan pada Tabel 4-54.

Tabel 4-53
Area yang masih berhutan alam yang berada dalam Kawasan yang sudah dibebani izin HGU,
HTI dan untuk perhutanan sosial (PIAPS).

Arahan Lindung & Non Lindung Arahan Lindung


TRE Total Total
PIAPS HTI HGU PIAPS HTI HGU
ET 71.932 89.718 94.482 256.132 55.222 59.485 67.819 182.527
ST 104.979 200.132 138.240 443.351 70.011 149.885 90.597 310.492
T 99.083 193.063 107.849 399.996 67.313 126.311 67.148 260.773
AT 355.963 499.615 244.323 1.099.900 212.953 249.335 138.483 600.770
S 378.870 440.635 186.603 1.006.107 180.366 243.450 105.692 529.507
AR 278.985 294.138 67.187 640.310 143.334 144.790 39.582 327.706
R 1.128.806 745.246 194.895 2.068.947 620.764 357.282 132.715 1.110.761
SR 1.610.491 101.405 244.175 1.956.071 878.998 75.913 55.013 1.009.923
ER 2.109.262 354.898 165.559 2.629.719 1.365.423 88.031 62.414 1.515.868
Total 6.138.372 2.918.850 1.443.312 10.500.534 3.594.383 1.494.482 759.462 5.848.327

Catatan: Data merupakan hasil olahan interpretasi citra. Untuk areal konsesi yang tumpang tindih (HGU, PIAPS, HTI dan HPH)

Tabel 4-54
Opsi pemanfaatan Kawasan yang masih berhutan alam di dalam Kawasan yang sudah
dibebani izin untuk mencapai target penurunan emisi NDC dari deforestasi

Hutan Alam yang berada di


Opsi
Dalam Arahan lindung Luar arahan lindung
1 Semua dikonservasi Semua dapat dikonversi menjadi kebun/HTI
2 Semua dikonservasi 20% dikonservasi
3 Semua dikonservasi 40% dikonservasi
4 Semua dikonservasi 60% dikonservasi
5 Semua dikonservasi 90% dikonservasi
138 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Berdasarkan opsi di Tabel 4-54 dapat dilihat bahwa dengan tambahan 20% hutan dalam HGU, HTI dan
PIAPS di luar arahan lindung untuk dikonservasi (Opsi 2), maka hutan di luar kawasan berizin yang boleh
terdeforestasi untuk mencapai target NDC CM1 adalah sekitar 0,241 juta hektare (Tabel 4-55). Untuk
opsi 3, 4 dan 5 dimana 40%, 60% dan 90% hutan di luar arahan lindung dikonservasi, maka luas hutan di
luar Kawasan berizin yang boleh terdeforestasi untuk mencapai target NDC CM1 masing-masing sekitar
1,771 juta hektare, 2,102 juta hektare dan 3,498 juta hektare. Apabila target penurunan emisi dari
deforestasi yang ingin dicapai adalah skenario CM2, maka opsi 5 yang harus dilakukan. Dengan opsi 5,
hutan di luar kawasan berizin yang boleh terdeforestasi tidak lebih dari 0,380 juta hektare (Tabel 4-55).

Tabel 4-55
Luas hutan alam di dalam dan di luar Kawasan berizin yang dikonservasi untuk mencapai
target penurunan emisi NDC dari deforestasi

Kawasan dibebani Izin NDC Di luar Izin


Opsi
Total HA Dikonservasi Konversi Konversi1 Konversi

1 10.500.534 5.848.327 4.652.207 3.963.000 (689.207)

2 10.500.534 6.778.769 3.721.766 3.963.000 241.234

3 10.500.534 7.709.210 2.791.324 3.963.000 1.171.676

4 10.500.534 8.639.652 1.860.883 3.963.000 2.102.117

5a 10.500.534 10.035.314 465.221 3.963.000 3.497.779

5b 10.500.534 10.035.314 465.221 845.000 379.779

Catatan: Data merupakan hasil olahan interpretasi citra.

Berdasarkan opsi konservasi hutan alam di atas, maka untuk Opsi 1 persentase hutan alam dalam areal
konsesi HGU, HTI dan PIAPS yang harus dikonservasi masing-masing sekitar 53%, 51% dan 53% (Gambar
4-73). Pada Opsi lima (90% areal berhutan alam di luar arahan lindung dikonservasi), luas hutan alam
yang harus dikonservasi masing-masing sekitar 95%, 95% dan 89%. Secara rinci, persentase areal yang
berhutan alam yang harus dikonservasi di areal HGU, HTI dan PIAPS pada setiap provinsi disajikan pada
Tabel 4-56 sampai Tabel 4-58. HGU yang luas areal hutan alam masih luas yaitu di atas 200 ribu hektare
umumnya berada di Kalimantan dan Papua (Tabel 4-56). Provinsi-provinsi di pulau Kalimantan, areal HGU
yang masih berhutan alam umumnya masuk arahan lindung yaitu antara 37% sampai 84% dengan rata
rata sekitar 63%. Sementara di provinsi-provinsi di pulau Papua lebih rendah yaitu antara 16% sampai
30%.

Pada areal konsesi HTI yang luas hutan alamnya masih tinggi (di atas 200 ribu hektare), umumnya juga
berada di provinsi-provinsi pulau Kalimantan dan Papua. Selain itu di Provinsi Riau, Provinsi Maluku, dan
Provinsi Sulawesi Tengah, areal HTI yang masih berhutan alam juga masih cukup luas yaitu di atas 100 ribu
hektare (Tabel 4-57). Untuk Provinsi Riau, hampir semua areal yang masih berhutan di areal HTI masuk
dalam arahan lindung. Sedangkan di Provinsi Papua hanya sedikit yang masuk arahan lindung, dan sebagian
besar masuk ke dalam arahan produksi. Selanjutnya untuk perhutanan sosial, areal yang dicadangkan di
banyak provinsi umumnya masih berhutan alam (Tabel 4-58), dan yang terluas ada di Provinsi Papua yaitu
melebihi 1,6 juta hektare. Di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua Barat luas areal PS
yang berhutan alam masing-masing sekitar 0,5 juta hektare, sementara di Provinsi Aceh, Riau, Sumatera
Barat, Sulawesi Tengah, NTB, NTT masing-masing mencapai lebih dari 0,2 juta hektare.
STRATEGI
PELAKSANAAN 139

Gambar 4-73
Persentase luasan lahan yang masih berhutan alam di areal konsesi yang perlu
dikonservasi untuk mencapai target CM1 NDC

Opsi 1 Opsi 2 Opsi 3 Opsi 4 Opsi 5

95

95

89
81

80

77
72

71

69
62

61

61
53

53
51

HGU HT I PI APS

Tabel 4-56
Luas lahan berhutan di areal HGU yang perlu dikonservasi untuk mencapai target CM1 NDC
menurut provinsi

Luas hutan alam Persentase hutan alam harus dikonservasi pada Opsi
Provinsi
2017 (hektare) 1 2 3 4 5
Aceh 27.129 63,5 70,8 78,1 85,4 96,3
Bengkulu 11.081 48,2 58,5 68,9 79,3 94,8
Gorontalo 870 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Jambi 1.032 52,3 61,8 71,4 80,9 95,2
Kalimantan Barat 297.735 79,0 83,2 87,4 91,6 97,9
Kalimantan Selatan 10.826 69,7 75,8 81,8 87,9 97,0
Kalimantan Tengah 200.519 84,0 87,2 90,4 93,6 98,4
Kalimantan Timur 221.732 47,0 57,6 68,2 78,8 94,7
Kalimantan Utara 212.509 36,8 49,5 62,1 74,7 93,7
Kepulauan Riau 3.803 28,8 43,1 57,3 71,5 92,9
Lampung 266 90,8 92,7 94,5 96,3 99,1
Papua 290.059 16,2 32,9 49,7 66,5 91,6
Papua Barat 60.922 30,0 44,0 58,0 72,0 93,0
Riau 31.015 93,2 94,6 95,9 97,3 99,3
Sulawesi Barat 314 52,7 62,2 71,6 81,1 95,3
140 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Luas hutan alam Persentase hutan alam harus dikonservasi pada Opsi
Provinsi
2017 (hektare) 1 2 3 4 5
Sulawesi Selatan 211 93,0 94,4 95,8 97,2 99,3
Sulawesi Tengah 58.400 67,5 74,0 80,5 87,0 96,8
Sulawesi Tenggara 1.425 2,7 22,1 41,6 61,1 90,3
Sulawesi Utara 4.372 0 20,0 40,0 60,0 90,0
Sumatera Barat 7.939 79,7 83,8 87,8 91,9 98,0
Sumatera Utara 1.149 8,7 27,0 45,2 63,5 90,9
Grand Total 1.443.312 52,6 62,1 71,6 81,0 95,3

Tabel 4-57
Luas lahan berhutan di areal HTI yang perlu dikonservasi untuk mencapai target CM1 NDC
menurut provinsi

Luas Berhutan Persentase harus dikonservasi pada Opsi


Provinsi
2017 (hektare) 1 2 3 4 5
Aceh 81.765 75,5 80,4 85,3 90,2 97,5
Gorontalo 32.426 0,1 20,1 40,0 60,0 90,0
Jambi 88.271 82,2 85,8 89,3 92,9 98,2
Kalimantan Barat 413.463 76,4 81,2 85,9 90,6 97,6
Kalimantan Selatan 108.851 26,5 41,2 55,9 70,6 92,6
Kalimantan Tengah 292.243 94,6 95,7 96,8 97,9 99,5
Kalimantan Timur 336.561 51,6 61,3 71,0 80,6 95,2
Kalimantan Utara 91.350 19,0 35,2 51,4 67,6 91,9
Kep. Bangka Belitung 66.634 16,1 32,9 49,7 66,5 91,6
Maluku 118.353 12,6 30,0 47,5 65,0 91,3
Maluku Utara 25.494 0,6 20,4 40,3 60,2 90,1
Nusa Tenggara Barat 26.619 7,5 26,0 44,5 63,0 90,7
Nusa Tenggara Timur 36.073 0,3 20,3 40,2 60,1 90,0
Papua 413.286 1,2 21,0 40,7 60,5 90,1
Papua Barat 81.052 31,4 45,2 58,9 72,6 93,1
Riau 258.667 97,1 97,7 98,3 98,8 99,7
Sulawesi Barat 23.216 89,1 91,3 93,4 95,6 98,9
Sulawesi Selatan 17.400 65,5 72,4 79,3 86,2 96,5
Sulawesi Tengah 175.195 39,5 51,6 63,7 75,8 93,9
Sulawesi Tenggara 73.723 55,3 64,3 73,2 82,1 95,5
Sulawesi Utara 2.064 - 20,0 40,0 60,0 90,0
Sumatera Barat 33.365 29,2 43,4 57,5 71,7 92,9
Sumatera Selatan 36.153 65,1 72,1 79,1 86,0 96,5
Sumatera Utara 86.618 72,7 78,1 83,6 89,1 97,3
Total 2.918.843 51,2 61,0 70,7 80,5 95,1
STRATEGI
PELAKSANAAN 141

Tabel 4-58.
Luas lahan berhutan di areal PIAPS yang perlu dikonservasi untuk mencapai target CM1 NDC
menurut provinsi

Luas Berhutan Persentase harus dikonservasi pada Opsi


Provinsi
2017 (hektare) 1 2 3 4 5
Aceh 337.908 92,8 94,2 95,7 97,1 99,3
Bali 818 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Bengkulu 30.339 85,6 88,5 91,4 94,3 98,6
Gorontalo 28.706 52,5 62,0 71,5 81,0 95,3
Jambi 36.273 94,2 95,3 96,5 97,7 99,4
Kalimantan Barat 570.875 89,1 91,3 93,5 95,6 98,9
Kalimantan Selatan 25.261 34,1 47,3 60,5 73,7 93,4
Kalimantan Tengah 562.250 93,2 94,5 95,9 97,3 99,3
Kalimantan Timur 171.253 54,3 63,5 72,6 81,7 95,4
Kalimantan Utara 133.742 37,9 50,3 62,7 75,1 93,8
Kep. Bangka Belitung 17.958 30,3 44,3 58,2 72,1 93,0
Kepulauan Riau 86.260 19,4 35,5 51,6 67,7 91,9
Lampung 11.832 99,4 99,5 99,6 99,8 99,9
Maluku 96.328 4,2 23,3 42,5 61,7 90,4
Maluku Utara 56.956 1,4 21,2 40,9 60,6 90,1
Nusa Tenggara Barat 244.554 65,6 72,5 79,3 86,2 96,6
Nusa Tenggara Timur 319.791 47,9 58,3 68,7 79,2 94,8
Papua 1.608.840 27,6 42,1 56,6 71,1 92,8
Papua Barat 466.226 63,7 71,0 78,2 85,5 96,4
Riau 260.075 91,7 93,3 95,0 96,7 99,2
Sulawesi Barat 28.051 58,2 66,6 74,9 83,3 95,8
Sulawesi Selatan 158.818 79,9 83,9 88,0 92,0 98,0
Sulawesi Tengah 209.502 32,7 46,1 59,6 73,1 93,3
Sulawesi Tenggara 137.230 46,2 57,0 67,7 78,5 94,6
Sulawesi Utara 29.073 19,0 35,2 51,4 67,6 91,9
Sumatera Barat 336.307 93,1 94,5 95,9 97,2 99,3
Sumatera Selatan 7.093 94,2 95,3 96,5 97,7 99,4
Sumatera Utara 166.055 52,4 61,9 71,4 81,0 95,2
Grand Total 6.138.372 52,8 60,9 69,1 77,2 89,4

Secara total, HGU yang di arealnya masih memiliki hutan alam ada di 724 unit pengelola, sedangkan
untuk HTI dan PIAPS masing-masing 323 unit dan 1.147 unit (Tabel 4-59). Konsesi yang persentase
tutupan hutan alamnya masih di atas 40% pada tahun 2017 mencapai 140 unit untuk HGU, 117 unit
untuk HTI dan 673 unit untuk PIAPS dengan luas tutupan hutan masing-masing mencapai sekitar 0,88 juta
hektare, 1,92 juta hektare dan 5,31 juta hektare (Tabel 4-60). Konsesi dengan tutupan luas hutan alam masih
tinggi menunjukkan bahwa sebagian besar areal berhutan masih belum dimanfaatkan untuk penanaman,
sehingga sebagian besar dari areal berhutan akan dikonversi, kecuali untuk PIAPS karena sebagian besar
masih belum diberikan izinnya dan baru bersifat indikatif. Oleh karena itu, bentuk izin PS yang diberi-
142 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

kan ialah pemanfaatan hutan untuk hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan lainnya. Dengan
pertimbangan ini, maka areal konsesi HGU dan HTI yang optimal dapat dikonservasi ialah Opsi 2, sedangkan
untuk perhutanan sosial dapat Opsi 5. Berdasarkan target ini, luas hutan yang dikonservasi di areal konsesi
dan perhutanan sosial secara total mencapai sekitar 8,2 juta hektare (Tabel 4-61). Artinya, areal berhutan
di dalam konsesi dan perhutanan sosial yang dapat dikonversi maksimum 2,33 juta hektare.

Dengan target yang lebih progresif yaitu penerapan Opsi 4 (Tabel 4-61) untuk konsesi HGU dan HTI, maka
total areal behutan dalam konsesi dan perhutanan sosial yang dikonservasi mencapai 9,01 juta hektare atau
yang dapat dikonversi tidak lebih dari 1,49 juta hektare. Dengan mengikuti skenario optimum, hutan di luar
areal konsesi yang bisa dikonversi sampai 2030 untuk mencapai target NDC CM1 tidak lebih dari 1,60
juta hektare sedangkan dengan skenario progresif, hutan yang bisa dikonversi menjadi 2,44 juta hektare.
Namun demikian dengan skenario progressif, target penurunan emisi NDC CM2 tetap tidak akan dapat
dicapai karena maksimum konversi hutan dalam areal konsesi tidak boleh lebih dari 0,845 juta hektare
(lihat Tabel 4-55) dengan asumsi hutan di luar konsesi tidak ada lagi yang dikonversi.

Tabel 4-59
Jumlah konsesi menurut kategori luasan konsesi dan persentase tutupan hutan

Kategori Kategori luas konsesi (000 hektare)


Jenis Konsesi
% hutan <5 5-10 10-20 20-40 40-60 60-100 >100 Total
<5 72 71 104 37 11 1 2 298
5-10 18 29 28 7 1 1 84
10-20 29 28 38 13 1 1 110
HGU 20-40 40 21 23 8 92
40-60 25 15 18 7 1 66
60-80 11 13 6 3 33
>80 21 5 6 8 1 41
HGU Total 216 182 223 83 14 4 2 724
<5 4 11 10 8 5 6 7 51
5-10 4 5 9 5 3 1 2 29
10-20 4 7 14 12 2 2 2 43
HTI 20-40 11 11 16 18 13 5 4 78
40-60 7 11 15 15 3 6 3 60
60-80 6 4 14 6 3 3 1 37
>80 11 4 4 3 1 2 25
HTI Total 47 53 82 67 29 24 21 323
<5 95 23 14 7 1 1 141
5-10 34 9 9 5 1 1 59
10-20 51 24 18 13 1 1 108
PIAPS 20-40 85 31 23 16 5 3 3 166
40-60 91 31 25 18 5 170
60-80 89 24 38 15 7 1 174
>80 217 40 32 20 11 1 8 329
Total PIAPS 662 182 159 94 30 8 12 1.147
STRATEGI
PELAKSANAAN 143

Tabel 4-60
Total luas berhutan menurut kategori luasan konsesi dan persentase tutupan hutan

Jenis Kategori Kategori luas konsesi (hektare)


Total
Konsesi % hutan <5 5-10 10-20 20-40 40-60 60-100 >100
<5 2.865 7.958 25.196 15.660 8.807 1.789 7.587 69.861
5-10 3.275 15.430 29.225 12.355 2.929 5.301 0 68.516
10-20 9.424 29.860 82.914 48.401 4.731 10.720 0 186.049
HGU 20-40 31.091 43.206 97.607 64.466 0 0 0 236.370
40-60 18.335 60.339 125.592 77.211 26.083 0 0 307.560
60-80 16.505 63.456 55.022 51.169 0 0 0 186.152
>80 15.971 32.575 72.524 217.295 0 50.439 0 388.803
HGU Total 97.466 252.823 488.080 486.557 42.550 68.248 7.587 1.443.312
<5 158 1.419 2.991 6.700 5.775 7.777 19.876 44.696
5-10 661 2.752 8.402 8.893 11.556 4.359 30.449 67.072
10-20 1.971 8.225 34.254 51.399 9.861 19.696 74.863 200.270
HTI 20-40 6.411 21.072 71.496 147.691 155.781 117.913 166.118 686.482
40-60 7.995 40.449 99.715 202.257 56.227 220.212 205.408 832.263
60-80 12.613 19.905 139.586 123.652 107.904 172.734 78.083 654.476
>80 4.562 28.168 51.100 62.379 81.052 206.325 433.585
HTI Total 34.371 121.990 407.543 602.972 347.104 623.742 781.121 2.918.843
<5 2.270 3.902 4.666 3.667 687 1.715 16.907
5-10 3.900 4.902 9.401 10.021 4.564 21.903 54.690
10-20 13.324 26.588 38.016 47.355 7.972 12.926 146.181
PIAPS 20-40 44.967 63.055 101.443 124.606 80.866 74.947 122.512 612.396
40-60 77.443 111.388 174.945 268.411 121.075 753.262
60-80 90.005 118.928 385.044 312.059 225.097 50.400 1.181.340
>80 243.825 282.528 406.547 532.751 493.246 74.879 1.339.624 3.373.391
Total PIAPS 475.735 611.290 1.120.063 1.298.870 928.944 219.432 1.484.039 6.138.372

Tabel 4-61
Persentase dan luas areal berhutan dalam wilayah konsesi yang dikonservasi untuk menca-
pai target NDC

Skenario Optimum Skenario Progressif


Jenis Konsesi
% hektare % hektare
PIAPS 89,4 5.490.434 89,4 5.490.434
HTI 61,0 1.779.351 80,5 2.349.097
HGU 62,1 896.232 81,0 1.169.772
Total Dikonservasi 8.166.017 9.009.303
Total bisa dikonversi 2.334.526 1.491.240
Batas atas luas hutan luar konsesi bisa dikonversi untuk
1.601.474 2.333.760
capai target CM1
Batas luas atas hutan luar konsesi bisa dikonversi untuk
-1.489.526 -646.240
capai target CM2*
*
Angka negatif menunjukkan konversi yang terjadi di dalam areal konsesi sudah melewati batas atas luas hutan yang masih bisa dikonversi
untuk mencapai target NDC CM2.
144 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Upaya untuk mengurangi konversi hutan di luar konsesi perlu dilakukan dengan mengatasi faktor
pendorong deforestasi pada wilayah yang tingkat risiko emisinya tinggi. Areal masih berhutan di luar
konsesi dengan tingkat risiko emisi tinggi mencapai 5,2 juta hektare, jauh di atas luas batas atas yang
hanya 1,6 juta hektare untuk skenario Optimum dan 2,3 juta hektare untuk skenario progresif (lihat Tabel
4-61). Sebagian besar berada di Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Riau,
Papua, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Utara (Tabel 4-62). Dari luas 5,2 juta hektare, sekitar 2,86 juta hektare
berada di APL, dan 2,35 juta hektare dalam Kawasan (Konservasi, KPH, non-KPH). Bila tidak ada
kebijakan pemerintah daerah untuk menetapkan kawasan dengan nilai karbon tinggi sebagai Kawasan
non-budidaya (Kawasan lindung) maka kemungkinan besar areal ini akan dikonversi menjadi Kawasan
budidaya. Artinya target NDC CM1 akan semakin sulit untuk dicapai. Areal yang masuk kebijakan PIPPIB
(Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019) di areal APL hanya 0,61 juta hektare, yaitu sekitar 0,43 juta
hektare hutan primer di lahan mineral dan gambut dan 0,18 juta hektare hutan skunder di lahan gambut.

Tabel 4-62
Area berhutan dalam unit pengelolaan dengan tingkat risiko emisi agak tinggi sampai
ekstrem tinggi (IBGF 1,0-2,5) menurut provinsi

Konser-
Provinsi APL1 KPH1 Non-KPH1 Konsesi2 Total
vasi
Aceh 187.642 0 989 28.821 217.452
Bali 8.911 - 8.911
Banten 2.274 - 2.274
Bengkulu 18.507 128 53.556 32 33.911 106.134
DI Yogyakarta 485 - 485
Gorontalo 59.218 17.359 5.481 15.288 97.346
Jambi 58.098 3.955 126.370 100.838 289.261
Jawa Barat 5.296 24.049 - 29.344
Jawa Tengah 1.219 4.239 68.416 - 73.874
Jawa Timur 14.772 57.671 - 72.443
Kalimantan Barat 212.702 78.930 65.367 25.269 523.480 905.748
Kalimantan Selatan 33.115 36.274 120.885 1.124 82.910 274.307
Kalimantan Tengah 159.340 250.662 290.197 503.480 1.203.679
Kalimantan Timur 396.842 24.877 29.085 568 311.805 763.176
Kalimantan Utara 207.993 7.875 3.403 237.704 456.976
Kepulauan Bangka Belitung 32.778 2.507 60.326 54.034 149.645
Kepulauan Riau 32.948 1.142 18.594 418 9.854 62.956
Lampung 2.910 511 19.783 3.614 26.819
Maluku 81.187 44.629 418 126.233
Maluku Utara 96.034 18.558 0 114.593
Nusa Tenggara Barat 70.997 11.753 31 15.135 97.916
Nusa Tenggara Timur 93.278 12.025 15.410 120.713
Papua 189.776 135.077 27.153 119.378 471.384
Papua Barat 14.950 - 14.950
STRATEGI
PELAKSANAAN 145

Konser-
Provinsi APL1 KPH1 Non-KPH1 Konsesi2 Total
vasi
Riau 37.897 175.193 23.399 465.126 701.616
Sulawesi Barat 28.255 44.469 4.007 4.541 81.273
Sulawesi Selatan 31.154 30.589 7.538 11.457 80.738
Sulawesi Tengah 406.919 1.412 14.254 23 36.654 459.262
Sulawesi Tenggara 109.612 37.901 31.944 6.616 6.168 192.241
Sulawesi Utara 45.260 2 25.222 70.484
Sumatera Barat 115.375 12.378 19.142 -4.210 142.684
Sumatera Selatan 40.595 49.714 161.312 38.937 290.558
Sumatera Utara 69.320 65.504 6.190 89.012 230.025
Grand Total 2.857.604 247.370 1.464.362 637.178 2.728.986 7.935.501
1
Tidak termasuk hutan dalam konsesi, 2 Konsesi-HGU, HTI, HPH & PIAPS.

Untuk mencapai target penurunan emisi NDC dari deforestasi, perlu dilakukan beberapa inovasi
kebijakan dan program diantaranya ialah sebagai berikut:

1. Kebijakan Optimasi Kawasan berdasarkan Indeks Jasa Ekosistem (IJE). Dalam kebijakan ini, areal
dalam konsesi maupun luar konsesi yang memiliki Indeks Jasa Ekosistem (IJE) tinggi ditetap-
kan sebagai arahan lindung. Artinya, pemilik konsesi yang arealnya memiliki IJE tinggi tidak boleh
dikonversi menjadi non-kehutanan tetapi harus dikonservasi. Bagi pemerintah Daerah, optimasi
kawasan hutan berdasarkan IJE harus menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang dan
rencana pembangunan daerah termasuk rencana pengelolaan KPH (RPHJP KPHP dan KPHL) sesuai
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan Pengendalian
dan Evaluasi Pembangunan Daerah. Penggunaan IJE dalam optimasi Kawasan sejalan dengan Peratur-
an Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Penanggung Jawab
pelaksanaan penataan kawasan hutan berdasarkan IJE dilakukan oleh Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), sementara pembinaan dan pengawasan oleh Menteri LHK.
Optimasi kawasan hutan berdasarkan IJE perlu dilaksanakan mulai dari tingkat nasional, provinsi dan
unit pengelolaan tingkat tapak (KPH).
2. Kebijakan insentif untuk pemilik konsesi yang mengkonservasi areal masih berhutan alam yang tidak
masuk ke dalam arahan lindung. Areal yang masih berhutan alam di dalam Kawasan atau luar
Kawasan secara umum masuk ke dalam Wilayah Penilaian Kinerja REDD+ (Peraturan Menteri LHK
Nomor 70 Tahun 2017). Kebijakan menjadikan areal berhutan yang tidak masuk arahan lindung
menjadi areal konservasi akan berhak mendapatkan insentif dari dana RBP kegiatan REDD+ sejalan
dengan Peraturan Menteri LHK Nomor 70 Tahun 2017. Pemilik konsesi yang menetapkan areal
berhutan di luar arahan lindung menjadi Kawasan konservasi dapat mengajukan registrasi kegiatan
pengendalian perubahan iklim sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor 71 Tahun 2017 (SRN PPI). Untuk
konsesi perkebunan, Penanggung Jawab pelaksanaan kegiatan adalah pemilik izin HGU, sementa-
ra pembinaan dan pengawasan oleh Dinas Pertanahan Kabupaten atau Provinsi dan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Sementara pembinaan dan pengawasan yang
berhubungan dengan registrasi pengendalian perubahan iklim adalah Direktorat Jenderal Pengen-
dalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK. Untuk pemegang IUPHHK-HT, areal yang masih berhutan alam di
luar arahan lindung yang dikonservasi masih bisa dimanfaatkan hasil hutan kayunya dapat dilaku-
146 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

kan dengan Sistem Silvikultur selain THPB (TPTI, TPTJ, TR, dan/atau TJTI) sesuai dengan karakteristik
sumber daya hutan dan penerapan MSS (Multi Sistem Silvikultur) dapat dilakukan pada areal yang
memiliki kondisi gabungan areal tidak berhutan/tidak produktif dan areal bekas tebangan yang
masih berhutan dan tidak dapat dihindari untuk diusahakan (sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor
62 Tahun 2019 pasal 5 ayat 2 dan pasal 11 ayat 1-5). Penanggung jawab pelaksanaan kegiatan ada-
lah pemilik izin HTI, sementara pembinaan dan pengawasan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (PHPL) dan Pengelola KPH. Bagi Pemerintah Daerah, kebijakan melakukan konservasi
pada areal masihberhutan alam di luar arahan lindung juga berhak mendapatkan insentif melalui
penetapan alokasi anggaran pembangunan kehutanan dan lingkungan, sejalan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
3. Peraturan Perundangan pelarangan penebangan areal berhutan alam pada izin kelola perhutanan
sosial (PS), tetapi diberikan izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan hutan.
Penanggung jawab pelaksanaan pencegahan penebangan di areal izin kelola PIAPS adalah masyarakat
pemilik izin kelola PIAPS, sementara pembinaan dan pengawasan oleh Direktorat Jenderal
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) dan Pengelola KPH.
4. Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Penerbitan Izin Baru dan
Peningkatan Tata Kelola di Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut secara konsisten. Penanggung
jawab pelaksanaan pencegahan penebangan hutan alam primer dan lahan gambut adalah Direktorat
Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (GAKKUM), sementara pembina dan
pengawasan adalah Menteri LHK.
5. Prioritisasi penguatan KPH dan percepatan pembentukan KPH pada wilayah dengan tingkat risiko
tinggi (Kotak 4). Pencegahan deforestasi dari kegiatan ilegal (unplanned deforestation) berupa
penebangan kayu secara ilegal dan okupasi kawasan hutan dan lahan gambut memerlukan
kehadiran pengelola KPH di tingkat tapak. Keberadaan KPH yang kuat sebagai pengelola di tingkat
tapak akan sangat menentukan keberhasilan dalam mengelola faktor pendorong perubahan tutupan
lahan dalam Kawasan hutan. Pendekatan untuk penguatan KPH perlu memperhatikan tipologi KPH
untuk menjamin efektifitas KPH dalam mengelola Kawasan ke depan. Tipologi lembaga pengelola
Kawasan (KPH) dapat didasarkan pada potensi sumber daya hutan (tegakan), modal sosial, dan kapa-
sitas pemerintah/Lembaga pengelola (Bappenas, 2019). Peninjauan terhadap RPHJP diperlukan untuk
melihat sinkronisasi program KPH dengan program direktorat lain yang terkait dengan pengelolaan
faktor pendorong (driver) perubahan tata guna lahan dalam Kawasan. Penanggung jawab penyusu-
nan RPHJP KPH (KPHP dan KPHL) adalah Kepala KPH (KPHP dan KPHL) dan Dinas Kehutanan Provinsi
berkerjasama dengan UPT KLHK setempat, sementara pengesahan RPHJP oleh Direktur KPH (KPHP
dan KPHL) atas nama Menteri LHK. Telaahan RPHJP KPH (KPHP dan KPHL) melibatkan Kepala Badan
Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia KLHK yang berhubungan dengan kegiatan
penyuluhan dan sumber daya manusia KPH, Kepala Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi
KLHK yang berhubungan dengan pengembangan dan usaha jenis tanaman serta inovasinya, Direk-
torat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung yang berhubungan dengan
lahan kritis dan rehabilitasi hutan serta lahan, dan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi
Lestari yang berhubungan dengan usaha pemanfaatan kawasan hutan KPH. Secara umum, penang-
gung jawab penguatan KPH (KPHP dan KPHL) adalah Pengelola KPH (KPHP dan KPHL) bersama UPT
KLHK setempat, sementara pembina dan pengawas KPH (KPHP dan KPHL), yaitu: Dinas Kehutanan
Provinsi, Direktur KPH (KPHP dan KPHL), Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia KLHK, Kepala Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi KLHK, Direktorat Jenderal
Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL), dan Direktorat Jenderal
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).
STRATEGI
PELAKSANAAN 147

KOTAK 4. Tingkat Risiko Deforestasi di Provinsi Kalimantan


Berdasarkan IBGF, areal berhutan dengan risiko deforestasi tinggi di Provinsi Kalimantan Tengah mencapai 1,2 juta hektare (Gambar
K4.1). Sekitar 42% dari areal ini berada di areal konsesi dan 58% di luar konsesi. Di luar konsesi, sekitar 13% di luar Kawasan, 24% di
dalam kawasan yang belum ada KPH (non-KPH) dan 21% di KPH. KPH yang memiliki risiko deforestasi tinggi ada pada 7 unit KPHP (Unit
VII, XX, XXII, XXVI, XXIX, XXVII, dan XXXI) dan 1 unit KPHL (Unit XXII; Gambar B1). KPH_KPH dengan tingkat risiko tinggi perlu mendapat-
kan prioritas untuk program penguatan kelembgaan maupun untuk program perhutanan sosial (PS). Pembentukan KPH pada wilayah
dengan risiko tinggi yang belum ada KPHnya juga harus diprioritaskan. Pengembangan kerjasama atau kemitraan antara KPH dengan
konsesi untuk program pemberdayaan maupun penguatan ekonomi masyarakat pada wilayah bersiko tinggi harus didorong. Dalam
KPHP Unit VII terdapat 10 perusahaan konsesi yang menempati lebih dari 50% luas KPH dan dua lokasi indikatif untuk perhutanan sosial
(Tabel K4.1). Kerjasama antara KPH dan pemegang konsesi untuk mendorong atau mempercepat pembentukan unit perhutanan sosial
perlu dikembangkan.

Gambar K4.1
Sebaran areal berhutan dengan risiko tinggi di Provinsi Kalimantan Tengah menurut Unit Pengelola (kiri) dan
luas areal berhutan dengan risiko tinggi dan rendah menurut Unit KPH (kanan)

140,000 1,200,000

Area Berhutan Risiko Rendah (hektare)


Area berhutan Risiko Tinggi (hektare)

120,000 1,000,000
100,000
800,000
80,000
600,000
60,000
400,000
40,000

20,000 200,000

- -
UN IT XVII

UN IT XXIII

UN IT XXVII
UN IT XXVIII

UN IT XX XII
UN IT XVIII

UN IT XX X

UN IT IV
UN IT IX

UN IT XXXIIIL
UN IT XX
UN IT XII

UN IT XIX
UN IT XV
UN IT XVI

UN IT XXI
Unit XXII, Unit XXVI

UN IT XXIV
UN IT XXIX
UN IT XX V

UN IT XXXI
UN IT II

UN IT V II
UN IT VIII
UN IT X
UN IT XI

UN IT XIII
UN IT XIV
UN IT I

UN IT III
UN IT V
UN IT V I

Ekstrim Tinggi
Sangat Tinggi
Tinggi
Agak Tinggi
KPH Sedang
PIAPS Agak Rendah KPHP KPHL
HTI Rendah
HGU Sangat Rendah
Non KPH Ekstrim Rendah
Risiko Tinggi Risiko Rendah

Tabel K4.1
Banyak unit konsesi di areal KPH dengan tingkat risiko tinggi

HTI HPH PIAPS


Jenis KPH Unit KPH Luas KPH
#Unit Luas #Unit Luas #Unit Luas

UNIT VII 158.858 3 31.132 7 63.866 2 16.827

UNIT XIV 46.518 1 4.623 3 13.240 1 767

UNIT XX 187.075 3 12.684 4 58.368 2 15.210

Unit XXII,
316.493 3 59.530 6 82.189 5 15.690
Unit XXVI
KPHP
UNIT XXIX 193.936 1 45.654 0 0 3 33.287

UNIT XXV 157.480 1 10 1 26 2 103.204

UNIT XXVII 303.450 4 20.208 0 0 3 83.280

UNIT XXVIII 145.114 4 12.897 0 0 3 44.720

UNIT XXXI 372.737 0 0 0 0 4 105.750

UNIT IV 7.801 0 0 0 0 1 1.010


KPHL
UNIT XXXII 185.378 0 0 0 0 3 41.701

Total 2.074.840 20 186.738 21 217.689 29 461.447


148 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.4.3 Pencegahan Degradasi Hutan


Untuk pencapaian target penurunan emisi dari degradasi2 berdasarkan skenario NDC tanpa syarat (CM1-
unconditional), pemerintah menargetkan total degradasi dalam periode 2013 sampai 2030 tidak lebih dari
7,281 juta hektare, yaitu 7,205 juta hektare di hutan lahan mineral dan 0,076 juta hektare di hutan lahan
gambut (Tabel 4-63). Sejak tahun 2013 sampai 2017, luas hutan primer yang mengalami degradasi sudah
mencapai 1,924 juta hektare, yaitu 1,844 juta hektare di lahan mineral dan 0,080 juta hektare di lahan
gambut. Dengan demikian luas hutan primer yang boleh mengalami degradasi untuk mencapai target
NDC CM1 dari 2018-2030 ialah sebesar 5,358 juta hektare, sedangkan untuk mencapai target NDC
CM2, tidak boleh lebih dari 2,313 juta hektare.

Tabel 4-63
Target capaian pengurangan laju degradasi hutan di lahan mineral dan gambut

Rata-Rata Kumulatif dari tahun 2013


Kegiatan Aksi Skenario
Per tahun 2013-2019 2013-2024 2013-2029 2013-2030
BAU 818 6.114 10.129 13.960 14.721
Laju Degradasi
CM1 400 3.191 5.065 6.848 7.205
Lahan Mineral
CM2 233 2.110 3.124 4.022 4.203
(000 hektare)
Aktual 2
369 1.844 - - -
BAU 62 410 672 1.030 1.109
Laju Degradasi
CM1 4 33 56 73 76
Lahan Gambut
CM2 2 20 29 33 34
(000 hektare)
Aktual2 16 80 - - -

Dari data tutupan hutan tahun 2017, total luas hutan primer sekitar 45,848 juta hektare (Tabel 4-64).
Sebagian besar dari hutan primer berada di KPH dan hutan konservasi dan sebagian kecil di luar Kawasan
hutan (APL). Dari luasan ini, sekitar 1,005 juta hektare masuk wilayah dengan tingkat risiko emisi agak
tinggi sampai sangat sangat tinggi (IBGF 1,0-2,5; Tabel 4-64). Pada wilayah ini, peluang bagi hutan primer
untuk mengalami degradasi secara tidak legal (unplanned degradation) cukup tinggi karena keberadaan
faktor pendorong deforestasi dan degradasi hutan sudah tinggi. Dengan asumsi bahwa unplanned
degradation sulit untuk dihindari pada wilayah ini, maka luasan hutan primer yang masih boleh mengalami
degradasi secara legal dalam areal konsesi HPH untuk mencapai target NDC CM1 tidak boleh lebih dari
5,358 juta hektare, sementara untuk CM2 sekitar 2,313 juta hektare.

Tabel 4-64
Luas hutan primer tahun 2017 di APL, Konservasi, KPH dan non KPH

IBGF APL1 Konservasi KPH2 Non-KPH2 Total


ET 80.978 2.876 2.346 4.612 90.810
ST 25.987 2.179 23.000 1.486 52.651
T 145.060 46 28.096 5.720 178.922


2
Degradasi hutan didefinisikan sebagai perubahan hutan primer menjadi hutan skunder akibat kegiatan penebangan atau
pengambilan kayu.
STRATEGI
PELAKSANAAN 149

IBGF APL1 Konservasi KPH2 Non-KPH2 Total


AT 230.259 69.065 343.021 40.626 682.972
S 604.394 162.787 1.665.372 143.542 2.576.095
AR 47.253 49.536 1.052.425 197.403 1.346.617
R 184.871 2.739.611 2.936.270 298.210 6.158.963
SR 172.106 5.212.455 10.841.591 868.165 17.094.317
ER 68.134 3.977.383 12.831.494 790.299 17.667.309
Total 1.559.041 12.215.937 29.723.616 2.350.061 45.848.655

Catatan: Data merupakan hasil olahan interpretasi citra. 1Termasuk areal HGU, 2 Termasuk areal konsesi dan PIAPS

Luas hutan primer yang berada dalam areal konsesi HPH pada tahun 2017 mencapai 6,159 juta
hektare (Tabel 4-65). Berdasarkan indeks jasa ekosistem (IJE) areal yang masih berhutan primer yang
harus masuk arahan lindung hanya sekitar 1,19 juta hektare dan sisanya untuk arahan produksi. Dengan
penerapan kebijakan bahwa areal dengan arahan lindung harus dikonservasi, maka ada potensi seluas
4,958 juta hektare areal berhutan primer akan dimanfaatkan hasil hutan kayunya, sedikit di atas batas
4,674 juta hektare. Oleh karena itu untuk mencapai target CM1 NDC, selain adanya kewajiban untuk
mengkonservasi hutan primer pada areal dengan arahan lindung, maka kebijakan pembatasan peman-
faatan hasil hutan kayu di areal hutan primer oleh pemegang izin konsesi HPH dapat dilakukan melalui
penerapan secara konsisten Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pemberhentian Pemberian
Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang didukung
kebijakan insentif pembayaran berbasis kinerja (RBP REDD+; Peraturan Menteri LHK P.70/MENLHK/
SETJEN/KUM.1/12/2017) dan penerapan secara konsisten Peraturan Perundangan tentang Instrumen
Ekonomi Lingkungan Hidup (Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016), dan penyusunan kebijakan
Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon (Carbon Pricing) yang sedang disiapkan saat ini oleh
Pemerintah melalui Kementerian LHK. Selain dalam areal konsesi HPH, masih ada hutan primer dalam
areal konsesi Restorasi Ekosistem hutan produksi (IUPHHK-RE) yang luasnya mencapai sekitar 85 ribu
hektare. Sekitar 35% masuk ke dalam arahan lindung.

Tabel 4-65
Luas hutan alam di HPH yang berdasarkan IJE masuk arahan lindung dan produksi

IBGF Luas HPH Hutan Alam Hutan Primer IJE-Arahan Lindung IJE-Arahan Produksi

ST 82.877 15.283 10.452 4.323 6.129

T 119.738 31.188 - - -

AT 371.965 117.554 19.106 19.081 24

S 592.143 410.088 45.495 38.536 6.959

AR 120.968 55.235 1.056 126 930

R 3.246.662 2.328.082 452.517 92.819 359.698

SR 4.106.156 3.553.001 772.439 241.507 530.932

ER 10.899.112 10.375.182 4.857.730 789.070 4.068.660

Total 19.539.621 16.885.612 6.158.795 1.185.463 4.973.331

Catatan: 1 Tidak termasuk areal yang sudah memiliki IUPHHK-HT, IUPHHK-HA, dan PIAPP. Data merupakan hasil olahan interpretasi
citra. Areal dengan
150 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Seperti halnya deforestasi, dapat juga disusun lima opsi konservasi hutan primer pada areal konsesi HPH,
yaitu Opsi 1 areal yang masuk arahan lindung dikonservasi, sedangkan opsi 2, 3, 4 dan 5, selain areal
lindung juga ditambahkan areal di luar arahan lindung masing-masing 20%, 40%, 60% dan 90%. Dengan
Opsi 1, target CM1 NDC tidak dapat dicapai, sebaliknya dengan opsi 2, 3, 4 dan 5 (Tabel 4-66). Pada Opsi
2, apabila hutan primer di dalam arahan lindung dan ditambah 20% di luar arahan lindung dikonservasi
oleh HPH, maka target NDC CM1 akan dapat dicapai dan ada surplus sebesar 0,74 juta hektare.

Tabel 4-66
Opsi konservasi hutan primer pada areal konsesi HPH untuk mencapai target NDC

HPH NDC Di luar Izin


Opsi
Hutan Primer Dikonservasi Ditebang Ditebang 1
Ditebang
1 6.158.795 1.185.463 4.973.332 5.357.668 384.336
2 6.158.795 2.180.129 3.978.666 5.357.668 1.379.002
3 6.158.795 3.174.796 2.983.999 5.357.668 2.373.669
4 6.158.795 4.169.462 1.989.333 5.357.668 3.368.335
5a 6.158.795 5.661.462 497.333 5.357.668 4.860.335
5b 6.158.795 5.661.462 497.333 2.313.175 1.815.842
1
Batas atas luas penebangan hutan primer untuk mencapai target CM1 NDC ialah 4,72 juta hektare dan untuk CM2 NDC 1,674 juta
hektare.

Berdasarkan IBGF, areal yang masih berhutan primer dalam areal HPH secara umum berada pada wilayah
dengan tingkat risiko emisi rendah (Tabel 4-65). Hal ini berarti bahwa keberadaan faktor pendorong
terjadinya kegiatan illegal sangat rendah, yaitu kurang dari 0,5%. Oleh karena itu, peran dari pemilik
konsesi HPH untuk untuk mencapai target NDC dengan tidak melakukan penebangan hutan primer pada
areal bukan lindung menjadi sangat penting. HPH yang arealnya masih memiliki hutan primer sangat
luas ialah di Papua, Papua Barat dan Kalimantan (Tabel 4-67), yang mengindikasikan sebagian besar
areal belum masuk ke dalam rencana tebang. Upaya pencegahan penebangan hutan alam primer secara
ilegal di areal kerja HPH juga harus dilaksanakan dengan baik oleh pemilik izin HPH sesuai dengan amanat
Peraturan Perundangan pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan di areal kerja HPH tertera
pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013. Pembina dan pengawas upaya pencegahan penebangan
hutan alam primer secara tidak sah di areal kerja HPH adalah Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (PHPL) dan Pengelola KPHP.

Tabel 4-67
Luas hutan primer di areal HPH yang perlu dikonservasi (tidak ditebang) untuk mencapai
target CM1 NDC menurut provinsi

Arahan Pemanfaatan Hutan


Luas HPH Hutan Alam Hutan Primer
Provinsi Primer menurut IJE
(hektare) (hektare) (hektare)
Lindung Produksi
Aceh 116.904 103.763 57.984 56.660 1.324
Bengkulu 36.616 28.026 8.070 8.060 10
Gorontalo 3 3 3 3
STRATEGI
PELAKSANAAN 151

Arahan Pemanfaatan Hutan


Luas HPH Hutan Alam Hutan Primer
Provinsi Primer menurut IJE
(hektare) (hektare) (hektare)
Lindung Produksi
Jambi 55.722 24.513 17.901 17.901
Kalimantan Barat 1.058.088 892.581 216.998 191.745 25.253
Kalimantan Selatan 226.279 124.512 654 232 422
Kalimantan Tengah 3.683.428 3.073.882 246.767 177.501 69.266
Kalimantan Timur 3.239.150 2.575.912 592.116 215.148 376.968
Kalimantan Utara 2.047.409 1.943.774 1.076.891 11.379 1.065.513
Maluku 901.009 746.596 62.638 1.685 60.954
Maluku Utara 648.323 515.227 81.007 3.618 77.390
Nusa Tenggara Barat 27.902 22.919 7.581 7.581
Papua 2.865.676 2.679.859 1.928.453 178.410 1.750.043
Papua Barat 3.423.020 3.203.038 1.632.105 169.375 1.462.730
Riau 181.387 121.321 4.019 4.019
Sulawesi Barat 31.582 31.040 24.788 20.010 4.778
Sulawesi Tengah 468.026 386.114 153.286 93.444 59.842
Sulawesi Utara 26.390 26.390 10.875 2.994 7.882
Sumatera Barat 191.359 175.528 5.066 2.896 2.171
Sumatera Utara 311.348 210.614 31.592 30.385 1.207
Grand Total 19.539.621 16.885.612 6.158.795 1.185.463 4.973.331

Berdasarkan kategori luas konsesi dan persentase tutupan hutan primer, dari 307 pemegang izin HPH,
sebanyak 82 HPH memiliki hutan primer masih luas yaitu di atas 40% luas konsesi (Tabel 4-68). Total luas
hutan primer di 82 HPH mencapai 4,55 juta hektare (Tabel 4-69). Kemungkinan kayu di hutan primer pada
HPH untuk ditebang akan tinggi. Apabila diasumsikan hutan primer dari luasan ini tetap dipanen kayunya,
target CM1 NDC masih tetap bisa dicapai karena masih di bawah batas atas CM1 (lihat Tabel 4-63).

Tabel 4-68
Jumlah konsesi menurut kategori luas HPH dan persen tutupan hutan primer

Kategori % Kategori luas konsesi (000 hektare)


Tutupan Hutan Total
Primer <5 5-10 10-20 20-40 40-60 60-100 >100

<5 15 3 16 32 26 18 11 121

5-10 2 4 6 8 2 22

10-20 2 1 4 9 7 5 28

20-40 1 1 3 16 11 14 8 54

40-60 1 3 6 6 7 10 33

60-80 1 1 2 4 3 3 11 25

>80 8 2 4 2 8 24

Total 28 5 27 68 65 59 55 307
152 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-69
Luas hutan primer dalam konsesi menurut kategori luas HPH dan persen tutupan hutan
primer

Persentase Kategori luas HPH (000 hektare)


Tutupan Total
Hutan Primer <5 5-10 10-20 20-40 40-60 60-100 >100

<5 17 - 912 2.115 14.260 17.901 11.392 46.597

5-10 2.107 9.293 20.498 48.708 22.136 102.741

10-20 789 1.837 28.006 61.665 70.867 140.558 303.722

20-40 235 2.524 13.221 123.833 175.460 338.763 477.206 1.131.241

40-60 43 26.835 94.380 135.567 279.593 856.937 1.393.355

60-80 237 3.928 10.203 107.462 95.794 176.553 1.203.547 1.597.724

>80 10.721 54.049 184.740 151.324 1.182.579 1.583.413

Total 12.042 6.452 55.115 419.137 687.985 1.083.708 3.894.355 6.158.795

Untuk mencapai target penurunan emisi GRK pada NDC dari degradasi hutan primer, beberapa kebijakan
yang perlu dilakukan diantaranya ialah:

1. Penerapan Kebijakan dan Peraturan pelarangan penebangan hutan alam primer pada areal yang
mempunyai izin di luar areal arahan lindung yang disertai kebijakan insentif sebagai bagian dari
implementasi kebijakan REDD+ sesuai dengan Peraturan Menteri LHK Nomor 70 Tahun 2017. Pemilik
izin kawasan hutan (HPH) yang tidak melakukan penebangan hutan primer pada areal izin usahanya
dapat mengajukan registrasi kegiatan pengendalian perubahan iklim sesuai Peraturan Menteri LHK
Nomor 71 Tahun 2017. Pelaksanaan kegiatan pencegahan planned degradation ialah pemilik izin (HPH
dan HTI dan pembinaan dan pengawasan untuk registrasi kegiatan pengendalian perubahan iklim
adalah Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK.
2. Pengawasan ketat dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Kerusakan Hutan oleh Pemilik Konsesi. Pembina dan pengawas upaya
pencegahan penebangan hutan alam primer secara tidak sah di areal kerja HPH adalah Direktorat
Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Pengelola KPH.
3. Peningkatan pelaksanaan Peraturan Menteri LHK Nomor P.21 Tahun 2015 tentang Penatausahaan
Hasil Hutan Kayu dari Hutan Hak (Hutan Rakyat), Peraturan Menteri LHK Nomor P.42 Tahun 2016
tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Tanaman, dan Nomor P.43 Tahun 2016 tentang
Penatausahaan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam. Peraturan yang mewajibkan semua pemegang
hak (IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT) dan pemilik hutan hak (hutan rakyat) untuk melakukan penatau-
sahaan kayu hasil hutannya untuk legalitas hasil kayu, bahan baku kayu tersertifikasi, dan pening-
katan penerimaan pasar terhadap hasil kayu dari hutan yang dikelola secara lestari. Penanggung
jawab kegiatan ini adalah UPT Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Dinas Kehutanan
Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Sementara Pembina dan pengawas adalah Bupati/ Walikota/
Gubernur, Direktorat jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).
STRATEGI
PELAKSANAAN 153

4. Pencegahan penebangan liar yang merupakan pelaksanaan dari Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal di Kawasan
Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Indonesia melalui upaya penengakan hukum untuk
memerangi pembalakan liar (unplanned deforestation) dengan mewajibkan lembaga pemerintah
nasional dan semua Pemerintah Daerah melakukan kerjasama memerangi kegiatan pembalakan
liar. Penanggung jawab kegiatan ini di kawasan hutan yang ada izin usahanya adalah pemilik izin,
sementara pembinaan dan pengawasan oleh Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi
Lestari (PHPL) dan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(GAKUM). Penanggung jawab kegiatan ini di luar izin usaha adalah KPH (KPHP dan KPHL), sementara
pembinaan dan pengawasan oleh Dinas Kehutanan Provinsi.

4.4.4 Pengelolaan Hutan Lestari


Target penurunan emisi GRK pada NDC melalui kegiatan pengelolaan hutan lestari sejalan dengan
Peraturan Menteri LHK Nomor P.30 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
(PHPL) dimana penurunan emisi dapat terjadi melalui penerapan teknologi di area dengan tingkat
kerusakan tegakan dan keterbukaan wilayah minimal3, yang masuk ke dalam Indikator 2.4 PHPL
(Ketersediaan dan penerapan teknologi ramah lingkungan untuk pemanfaatan hasil hutan kayu). Karena
itu Indikator 2.4 harus menjadi indikator penting yang diperhatikan dalam proses pemberian sertifikasi.

Merujuk pada peraturan tersebut, penurunan emisi melalui PHPL dapat terjadi melalui upaya
pengurangan dampak kerusakan tegakan akibat penebangan baik dengan penerapan teknologi RIL
(Reduce Impact Logging, RIL)4 maupun melalui upaya pengayaan (Enhanced Natural Regeneration, ENR)
apabila kondisi tegakan hutan setelah tebangan mengalami degradasi berat atau berada pada tingkat
yang tidak memungkinkan regenarasi alami dapat menjamin keberlanjutan produksi. Dalam kaitan ini,
perlu ada kewajiban bagi pemilik konsesi untuk melakukan upaya ENR pada wilayah yang mengalami
degradasi berat ini.

Hasil analisis terhadap kondisi tutupan tegakan hutan menunjukkan bahwa dari total luas hutan alam dalam
kawasan sebesar 88,7 juta hektare, sekitar 48% dari areal ini sudah menjadi hutan skunder dan 52%
masih berupa hutan primer (Tabel 4-70). Kondisi tutupan tajuk dari hutan skunder cukup beragam yaitu
berkisar dari 10% sampai di atas 90%. Sebagian besar masih dalam kondisi yang cukup baik yaitu dengan
tutupan tajuk masih di atas 70% (Tabel 4-70). Kawasan hutan yang kondisi tutupan tajuk kurang dari 70%
dapat dijadikan sasaran pelaksanaan program pengayaan (ENR), sedangkan yang masih di atas 70% dapat
ditebang dengan penerapan RIL.

1
Tidak termasuk HGU,
2
Tidak termasuk konsesi (HTI & HPG)
3
Masuk ke dalam Indikator 2.4 PHPL, yaitu Ketersediaan dan penerapan teknologi ramah lingkungan untuk pemanfaatan
hasil hutan kayu
4
Pengaturan tentang Penerapan Teknik Pemanenan Berdampak Rendah (Reduce Impact Logging) pada Areal HPh (IUPH-
HK-HA), sudah dituangkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK No-
mor P.9 Tahun 2018.
154 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-70
Luas hutan primer dan skunder menurut tingkat tutupan tajuk hutan alam di dalam dan luar
kawasan hutan

Persen
Konser- Non-
Hutan Tutupan APL1 KPH2 HGU HPH HTI Total
vasi KPH2
Tajuk

Sekunder <30% 36.231 14.224 63.739 27.312 20.238 4.524 14.801 181,069

30%-50% 600.675 65.568 363.368 42.057 44.324 15.249 58.532 1,189,774

50%-70% 892.685 230.673 1.032.565 278.598 177.078 153.712 206.490 2,971,800

>70% 2.773.391 4.044.357 14.936.731 2.926.218 974.108 10.553.333 2.269.328 38,477,465

Primer 1,385,943 12.215.937 23.556.950 2.014.409 206.983 6.158.795 367.821 45.906.838

Total 5,688,924 16.570.759 39.953.352 5.288.595 1.422.731 16.885.612 2.916.972 88.726.947

Strategi utama penurunan emisi GRK dari sektor kehutanan antara lain melalui (i) perbaikan sistem
pengelolaan sumber daya lahan dan hutan dengan membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di
semua wilayah hutan, (ii) peningkatan adopsi praktik pengelolaan hutan lestari di hutan produksi; (iii)
percepatan pembangunan hutan tanaman industri dan hutan rakyat serta pemanfaatan kayu
perkebunan untuk memenuhi permintaan kayu sehingga mengurangi ketergantungan pemenuhan
kebutuhan kayu dari hutan alam, (iv) optimasi perencanaan tata ruang, pemanfaatan lahan tidak
produktif serta peningkatan produktivitas dan intensitas penanaman sehingga mengurangi tekanan
terhadap hutan alam untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan ekspansi lahan pertanian, (v) Konser-
vasi dan peningkatan rosot karbon melalui restorasi ekosistem hutan produksi, dan rehabilitasi lahan dan
moratorium izin baru atau konsesi di lahan gambut, dan (vi) perbaikan sistem pengelolaan lahan gambut,
serta (vi) percepatan adopsi teknologi budidaya rendah karbon.

Tabel 4-71
Target capaian NDC kegiatan aksi pengelolaan hutan lestari

Rata-rata per Kumulatif


Kegiatan Aksi Skenario
tahun 2011-2019 2011-2024 2011-2029 2011-2030

BAU 23 83 202 369 409


Pengelolaan CM1 170 647 1.542 2.773 3.058
Hutan Lestari
(000 hektare) CM2 321 1.276 2.982 5.265 5.784

Aktual - - - - -

Sebaran luas hutan primer dan hutan skunder menurut kondisi persen tutupan tajuk pada HPH di setiap
provinsi dapat dilihat pada Tabel 4-72. Secara umum, lokasi HPH untuk pelaksanaan kegiatan RIL dan ENR
umumnya berada di Papua Barat, Kalimantan Tengah, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Kali-
mantan Barat. Total luas untuk pelaksanaan RIL dan ENR dalam arel HPH maksimum sekitar 12,87 juta hektare
(Tabel 4-72). Secara potensial pelaksanaan kegiatan RIL dan ENR di dalam Kawasan hutan (KPH dan non-KPH)
mencapai 22,3 juta hektare (Tabel 4-73), dan bila ditambah dengan kawasan dalam HPH mencapai sekitar
35,2 juta hektare, lebih tinggi dari target CM1 NDC.
STRATEGI
PELAKSANAAN 155

Tabel 4-72
Luas hutan primer dan sekunder tahun 2017 di dalam wilayah HPH

Jumlah Skunder
Provinsi Primer Total
HPH <30% 30%-50% 50%-70% >70%

Aceh 2 3 0 30 45.747 57.984 103.763

Bengkulu 2 25 133 1.054 18.744 8.070 28.026

Gorontalo 1 0 0 0 0 3 3

Jambi 2 1.088 25 73 5.426 17.901 24.513

Kalimantan Barat 21 141 507 5.822 669.114 216.998 892.581

Kalimantan Selatan 2 33 914 12.077 110.834 654 124.512

Kalimantan Tengah 35 162 1.339 37.776 2.787.839 246.767 3.073.882

Kalimantan Timur 52 404 6.018 25.849 1.951.526 592.116 2.575.912

Kalimantan Utara 28 197 321 1.282 865.083 1.076.891 1.943.774

Maluku 11 309 203 3.897 679.549 62.638 746.596

Maluku Utara 9 102 189 2.017 431.912 81.007 515.227

NTB 1 1 0 0 15.338 7.581 22.919

Papua 22 117 640 11.416 739.232 1.928.453 2.679.859

Papua Barat 24 82 2.364 30.604 1.537.884 1.632.105 3.203.038

Riau 3 1.444 557 2.207 113.095 4.019 121.321

Sulawesi Barat 2 - 0 19 6.233 24.788 31.040

Sulawesi Tengah 9 19 87 17.201 215.521 153.286 386.114

Sulawesi Utara 1 - - - 15.514 10.875 26.390

Sumatera Barat 3 0 - 669 169.792 5.066 175.528

Sumatera Utara 5 399 1.952 1.720 174.952 31.592 210.614

Grand Total 235 4.524 15.249 153.712 10.553.333 6.158.795 16.885.612

Catatan: Data merupakan hasil olahan interpretasi citra

Tabel 4-73
Potensi pelaksanaan kegiatan RIL dan ENR di luar konsesi

Unit Fungsi Luas Hutan Primer (hektare)* Luas Hutan Skunder (hektare)

Non KPH Lindung1 22.227 241.501

KPH Lindung1 11.645.990 6.258.240

Non KPH Produksi2 1.996.925 3.066.721

KPH Produksi2 12.378.175 12.736.048

Total 26.043.317 22.302.510

*
Dengan pelaksanaan PIPPIB, areal hutan primer di luar konsesi akan dipertahakan/dikonservasi, 1 Hutan sekunder potensial untuk
ENR, 2 Hutan produksi potensial untuk RIL dan ENR.
156 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Berdasarkan analisis di atas, strategi untuk implementasikan sistem pengelolaan hutan lestari agar dapat
mencapai target NDC ialah sebagai berikut:

1. Peraturan untuk menetapkan indikator 2.4 PHPL dalam proses penilaian sertifikasi PHPL menjadi
indikator penting yang wajib dipenuhi oleh setiap konsesi. Dengan ketentuan ini maka konsesi yang
bisa mendapatkan sertifikasi dengan kriteria baik harus memenuhi indikator tersebut, yaitu adanya
program pelaksanaan kegiatan ENR pada wilayah bekas tebangan di areal konsesi yang tingkat ker-
usakan tegakan dan keterbukaan wilayah cukup tinggi. Dalam regulasi tersebut ketentuan tentang
persentase tutupan tajuk atau tingkat keterbukaan wilayah minimal yang menyebabkan konsesi terke-
na kewajiban melakukan ENR harus ditetapkan. Prioritas pertama untuk pelaksanaan kegiatan pen-
gayaan ialah Kawasan hutan yang tutupan tajuknya kurang dari 30% dan kemudian antara 30%-50%
dan kemudian antara 50%-70%. Setiap konsesi wajib untuk memiliki peta perencanaan pelaksanaan
kegiatan ENR. Areal yang masuk ke dalam wilayah untuk ENR tidak boleh dimasukkan ke dalam
rencana kegiatan tebang tahunan sampai kondisi memenuhi tingkat tutupan tajuk melebihi 70% (Ko-
tak 5). Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/ Menhut-II Tahun 2008 tentang Pedoman
Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan disebutkan bahwa tingkat keberhasilan tanaman pengayaan di
kawasan hutan minimal 70% dari total lubang tanaman. Penanggung jawab pelaksanaan pengayaan
dalam pengelolaan hutan alam produksi di areal kerja HPH adalah pemilik izin HPH, sementara pem-
bina dan pengawas adalah Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), Direktorat
Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) dan Pengelola KPH.

KOTAK 5. Prioritas pelaksanaan kegiatan pengayaan di HPH Provinsi Kalimantan Tengah


Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang memiliki 65 konsesi HPH yang luas areal berhutannya di atas
3,0 juta hektare. Berdasarkan analisis tingkat tutupan tajuk, sekitar 15 HPH memiliki areal yang rata-rata tingkat tutupan tajuk
hutannya relatif rendah yaitu dibawah 70% dan standar deviasi dari rata-rata persen tutupan tajuknya juga cukup tinggi yaitu di
atas 10%. Luas areal hutannya ialah sekitar 0,9 juta hektare. Areal ini merupakan areal yang perlu mendapatkan prioritas utama
untuk pelaksanaan ENR. Sementara 40 HPH lainnya masih memiliki tingkat tutupan tajuk di atas 70% dan standar deviasi dari
rata-rata persen tutupan tajuknya juga lebih rendah yaitu kurang dari 10% dengan total luas sekitar 1,9 juta hektare (Tabel K5.1).
Areal ini diperkirakan dapat pulih tanpa pengayaan melalui proses regenerasi alamiah (Natural Regeneration) dan pada peneban-
gan selanjutnya harus menggunakan teknologi RIL. Konsesi yang memiliki areal berhutan yang persen tutupan tajuknya rendah
bisa mendapatkan sertifikasi PHPL baik apabila memiliki rencana dan melaksanakan kegiatan ENR di wilayah yang ditetapkan
sebagai wilayah prioritas.

Tabel K5.1
Prioritas pelaksanaan kegiatan ENR di HPH Provinsi Kalimantan Tengah
Simpangan baku dari
Prioritas pelaksanaan Rata-Rata % Tutupan
Jumlah HPH Luas rata-rata % tutupan
ENR Tajuk hutan skunder
Tajuk
1 7 331.202 68 20
2 8 567.366 70 11
3 13 490.748 73 7
4 26 1.328.345 77 2
5 11 109.455 78 0
Total 65 2.827.116


STRATEGI
PELAKSANAAN 157

2. Kawasan hutan yang memiliki tutupan tajuk kurang dari 70% diarahkan untuk diberikan izin
kepada swasta berupa kegiatan tidak eksploitatif atau perbaikan ekosistem (restorasi ekosistem) yang
didukung skema pemberian insentif.
3. Pemanfaatan kayu di luar konsesi, yaitu oleh pengelola KPHP, juga harus mengikuti ketentuan yang
ditetapkan dimana penebangan hanya bisa dilakukan pada areal yang kondisi tutupan tajuk lebih dari
70% dan dengan menerapkan RIL. Demikian juga halnya untuk areal Kawasan yang kondisi tutupan
tajuknya kurang dari 70% harus dilakukan kegiatan ENR dan pada waktu pemanenan selanjutnya
harus menerapkan RIL. Penanggung jawab pelaksanaan ENR dan teknik RIL dalam pengelolaan hutan
alam produksi di areal kerja KPHP adalah pengelola KPHP, sementara pembina dan pengawas adalah
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Dinas Kehutanan Provinsi.
4. Pada lahan berhutan alam di luar kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL) yang kondisi
tutupan tajuk kurang dari 70% juga perlu melakukan program pengayaan dengan prioritas perta-
ma diberikan pada areal yang persentase tutupan tajuk kurang dari 30% dan kedua untuk areal
yang kondisi tutupan tajuk kurang dari 50%. Penanggung jawab pengayaan pada lahan APL adalah
Pemerintah Daerah setempat (Provinsi dan Kabupaten/ Kota), sementara pembina dan pengawas
adalah Gubernur atau Bupati/ Walikota.

4.4.5 Peningkatan Cadangan Karbon


Upaya mitigasi dengan peningkatan cadangan karbon merupakan bagian dari kegiatan rehabilitasi hutan
dan lahan (RHL) termasuk rehabilitasi lahan bekas tambang, dan juga pembangunan hutan tanaman
industri pada lahan bercadangan karbon rendah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
di pasal 40 dinyatakan bahwa kegiatan RHL merupakan upaya untuk memulihkan, mempertahankan
dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam
mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Tujuan penyelenggaraan RHL ialah untuk
menurunkan degradasi hutan dan lahan serta memulihkan lahan-lahan rusak/kritis agar dapat berfungsi
sebagai media produksi dan media tata air. Kegiatan RHL yang diarahkan untuk memulihkan lahan-lahan
rusak/kritis yang berfungsi sebagai media produksi, setelah rehabilitasi nantinya akan dapat dimanfaat-
kan kayunya, sementara yang diarahkan untuk media tata air akan tetap dijaga sebagai wilayah lindung/
konservasi sehingga tidak diperbolehkan pemanfaatan kayunya. Kegiatan RHL untuk pemulihan fungsi
produksi di dalam NDC disebut sebagai kegiatan ‘rehabilitasi lahan dengan rotasi’, sedangkan yang untuk
fungsi tata air dan layanan jasa lingkungan lainnya sebagai kegiatan ‘rehabilitasi lahan tanpa rotasi’.

Lahan kritis dan sangat kritis yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan berupa lahan yang sudah
dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan tidak produktif (Tabel 4-74). Secara total luas lahan kritis dan
sangat kritis di dalam kedua Kawasan mencapai 7,786 juta hektare dan sekitar 87% sudah dimanfaat-
kan untuk pertanian, khususnya kegiatan pertanian berpindah yang ditunjukkan dalam bentuk pertanian
lahan kering campur semak. Lahan kritis dan sangat kritis yang ada di APL mencapai hampir 4,753 juta
hektare, dalam KPH mencapai lebih dari 1,882 juta hektare, dalam non-KPH sekitar 0,186 juta hektare,
kawasan konservasi sekitar 0,547 juta hektare dan konsesi sekitar 0,418 juta hektare.
158 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-74
Luas lahan kritis dan sangat kritis di dalam dan luar kawasan hutan di tanah mineral

APL1 KPH2 Non KPH2 Konsesi3 Konservasi


Jenis Tutupan
Lahan Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat
Kritis Kritis Kritis Kritis Kritis
Kritis Kritis Kritis Kritis Kritis

Belukar 47.335 5.760 23.586 5.185 4.011 818 19.097 12.588 2.349 755

Lahan terbuka 41.266 62.407 113.947 154.673 46.926 33.814 160.955 152.080 53.248 41.690

Padang Ilalang 33.110 539 10.446 434 13 - 633 17 467 34

Belukar Rawa 882 48 1.149 34 2.314 20 937 536 2.200 -

Pertanian Kering 948.889 726.255 175.070 121.901 5.566 21.293 3.081 2.054 47.109 40.109

Pertanian
1.763.955 1.122.126 809.428 466.432 21.696 49.310 43.503 22.854 282.075 77.259
Campur

Total 2.835.437 1.917.135 1.133.625 748.659 80.526 105.255 228.207 190.130 387.448 159.847

Tidak termasuk HGU, 2Tidak termasuk HPH dan HTI, 3 HGU, HPH dan HTI. Data merupakan hasil olahan citra
1

4.4.5.1 Rehabilitasi Lahan Tanpa Rotasi


Pencapaian target penurunan emisi NDC CM1 dengan kegiatan RHL dilakukan melalui kegiatan
penanaman tanpa rotasi pada lahan mineral dengan luas mencapai sekitar 2,1 juta hektare pada tahun
2030. Untuk pencapaian target penurunan emisi CM2, luas kegiatan penanaman harus ditingkatkan dari
2,1 juta menjadi 3,5 juta hektare (Tabel 4-75). Sasaran utama untuk pelaksanaan kegiatan rehabilitasi
tanpa rotasi ialah areal lahan kritis yang berada di KPHL dan Non KPH dalam kawasan lindung serta
kawasan konservasi.

Tabel 4-75
Target capaian NDC kegiatan aksi rehabilitasi lahan tanpa rotasi

Kumulatif dari tahun 2011


Rata-Rata
Kegiatan Aksi Skenario
Per tahun
(2019) (2024) (2029) (2030)

BAU 97 877 1.265 1.556 1.944

Laju Rehabilitasi CM1 104 932 1.452 1.972 2.076


Lahan Tanpa Rotasi
(000 hektare)1 CM2 173 1.558 2.405 3.288 3.461

Aktual - 484 - - -

1
Tingkat keberhasilan (survival rate) untuk BAU antara 21% dan 23%, CM1 antara 23% dan 30% dan CM2 antara 25% dan 38%.
STRATEGI
PELAKSANAAN 159

Berdasarkan pada potensi lahan yang tersedia, luas lahan kritis dan sangat kritis yang berada dalam
dalam KPHL, non KPH-HL dan Kawasan hutan konservasi mencapai 1,873 juta hektare, dan sebagian besar
masuk ke dalam kriteria kritis (Tabel 4-76). Lokasi sebaran lahan kritis terbanyak ada di enam provinsi yang
luasnya lebih dari 100 ribu hektare (Tabel 4-77). Ke enam provinsi tersebut ialah Lampung, Papua, Su-
lawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Luas lahan kritis di enam provinsi
mencapai lebih dari 62% total lahan kritis. Untuk pencapaian target NDC CM1, pada akhir tahun 2030
semua lahan kritis dan sangat kritis tersebut harus sudah direhabilitasi, sedangkan untuk mencapai target
NDC CM2, lahan yang tersedia tidak mencukupi. Namun demikian kekurangan lahan untuk rehabilitasi
tanpa rotasi dapat dicukupi apabila lahan dengan kriteria agak kritis dimasukkan sebagai areal prioritas
RHL. Luas lahan agak kritis di Kawasan KPHL, Non-KPH HL dan konservasi mencapai 1,037 juta hektare,
dimana sekitar 63% ada di areal KPHL dan 35% di kawasan hutan konservasi. Dengan demikian, untuk
pencapaian target NDC CM2 maka seluruh lahan agak kritis, kritis dan sangat kritis yang ada di dalam areal
KPHL, Non-KPH HL dan Kawasan hutan konservasi pada akhir tahun 2030 sudah direhabilitasi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II Tahun 2008 tentang Pedoman
Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, tingkat keberhasilan rehabilitasi di kawasan hutan minimal 70%.
Pelaksanaan rehabilitasi pada lahan yang tingkat kekritisannya sangat kritis, maka untuk mencapai
tingkat keberhasilan tinggi sangat sulit karena kondisi biofisik sudah tidak mendukung keberhasilan
tumbuh jenis tanaman pohon. Rehabilitasi lahan sangat kritis membutuhkan penyiapan lahan yang baik
melalui teknologi pengolahan lahan, pengapuran, dan pemupukan serta pemeliharaan yang baik. Secara
alami, regenerasi pada lahan sangat kritis mungkin dimulai oleh jenis pionir. Oleh karena itu, dalam
prioritisasi pelaksanaan RHL perlu mempertimbangkan aspek ini.

Tabel 4-76
Luas lahan kritis dan sangat kritis di areal KPHL, Non KPH-HL dan konservasi

Pertanian1 Tidak Produktif2

Unit Total
Sangat Sangat
Kritis Sub-Total Kritis Sub-Total
Kritis Kritis

KPHL 690.717 453.032 1.143.748 42.490 66.657 109.147 1.252.896

Non KPH-HL 9.279 58.887 68.167 2.317 2.395 4.712 72.878

Konservasi 329.184 117.368 446.552 58.264 42.479 100.743 547.295

Total 1.029.180 629.287 1.658.467 103.071 111.531 214.602 1.873.069

1
Berupa pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur, 2 Belukar, belukar rawa lahan terbuka dan padang ilalang.
160 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-77
Sebaran lahan kritis dan sangat kritis di areal KPHL, Non-KPH HL dan Kawasan hutan
konservasi menurut Provinsi

KPHL Non-KPH HL Konservasi


Provinsi Sangat Sangat Sangat Total
Kritis Kritis Kritis
Kritis Kritis Kritis
Aceh 10.316 31.797 5.529 14.043 61.686
Bali 4.652 1.795 32 6.479
Banten 2.178 1.179 1.402 5.172 9.932
Bengkulu 13.192 10.166 8.421 1.728 33.506
DI Yogyakarta 9 110 25 144
Gorontalo 172 1.634 3 25 194 2.949 4.978
Jambi 7.028 4.003 11.031
Jawa Barat 2.464 36.620 3.290 18.677 61.052
Jawa Tengah 1.604 2.977 532 2.479 7.592
Jawa Timur 5.258 20.431 2.547 5.062 33.298
Kalimantan Barat 21.364 874 0 9.550 1.245 33.033
Kalimantan Selatan 1.071 30.013 7.486 6.346 44.915
Kalimantan Tengah 749 138 19.134 375 20.397
Kalimantan Timur 3.364 210 23.002 436 27.012
Kalimantan Utara 363 42 3.082 629 4.116
Kep. Bangka Belitung 1.063 14 1.077
Kepulauan Riau 22 22
Lampung 173.394 13.534 78.536 2.941 268.406
Maluku 3.494 5.862 13 35 7.899 6.311 23.614
Maluku Utara 10.764 8.683 26 3 1.179 1.872 22.527
NTB 5.225 3 2.412 9.154 16.794
NTT 45.769 3.765 4.350 243 54.127
Papua 104.601 9.570 2 75.912 9.930 200.016
Papua Barat 7.678 627 21 0 3.127 2.318 13.771
Riau 5.121 26.783 39.929 10.216 82.049
Sulawesi Barat 25.588 6.273 578 1.304 33.743
Sulawesi Selatan 37.464 115.892 0 3.194 6.736 163.285
Sulawesi Tengah 4.777 13.562 8 7 7.554 934 26.842
Sulawesi Tenggara 26.916 1.932 1 4.229 53 33.130
Sulawesi Utara 9.028 7.412 2 3 14.078 2.860 33.384
Sumatera Barat 24.957 83.674 4 18.943 9.600 137.178
Sumatera Selatan 49.898 39.418 29.993 22.504 141.814
Sumatera Utara 142.201 106.032 4.182 9.702 262.117
Grand Total 733.207 519.689 11.596 61.282 387.448 159.847 1.873.069
STRATEGI
PELAKSANAAN 161

Berdasarkan data dan informasi yang diuraikan di atas, strategi implementasikan upaya pencapaian
penurunan emisi melalui rehabilitasi lahan tanpa rotasi adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan rehabilitasi dengan penanaman pohon diprioritaskan pada lahan yang tingkat
kekritisannya agak kritis dan kritis. Pelaksanaan RHL pada lahan sangat kritis dimulai dengan
menggunakan pohon jenis pionir. Penanggung jawab pelaksanaan rehabilitasi tanpa rotasi di kawasan
Hutan Lindung adalah UPT Ditjen PDASHL dan Pengelola KPHL, sementara pembina dan pengawas
adalah Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) dan
Dinas Kehutanan Provinsi. Penanggung jawab pelaksanaan rehabilitasi tanpa rotasi di kawasan Hutan
Konservasi adalah Balai Besar/ Balai/ UPT Ditjen KSDAE, sementara pembina dan pengawas adalah
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE).

2. Konsep pendekatan rehabilitasi tanpa rotasi selain dimulai dari kawasan yang agak kritis dan/atau
kritis, juga perlu memperhatikan modal sosial masyarakat. Rehabilitasi sebaiknya dimulai dari kawasan
hutan dengan modal sosial yang tinggi dicirikan oleh keinginan kerjasama stakeholders setempat
(pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, pemimpin masyarakat, tokoh pemuda, Perguruan Tinggi, LSM
dan sebagainya) yang bersedia melaksanakan kegiatan rehabilitasi kawasan hutan dan kemampuan
kelembagaan KPH (lihat Kotak 6). Selanjutnya, jenis tanaman pohon untuk rehabilitasi disesuaikan
dengan keinginan masyarakat setempat dan untuk menghasilkan hasil hutan non kayu (HHBK).
Kalaupun jenis tanaman pohon yang akan ditanam berbeda dengan keinginan masyarakat, maka
harus ada kegiatan penyuluhan dan pendampingan untuk memberikan pengarahan dan juga
memberikan bukti keberhasilan dan keuntungan jenis tanaman yang baru ini dalam meningkatkan
pendapatan dan memperbaiki fungsi jasa lingkungan. Penanggung jawab pelaksanaan rehabilitasi
tanpa rotasi di kawasan Hutan Produksi adalah UPT Ditjen PHPL dan Pengelola KPHP, sementara
pembina dan pengawas adalah Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan
Dinas Kehutanan Provinsi. Penanggung jawab pelaksanaan rehabilitasi tanpa rotasi di kawasan Hutan
Lindung adalah UPT Ditjen PDASHL dan Pengelola KPHL, sementara pembina dan pengawas adalah
Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) dan Dinas
Kehutanan Provinsi. Penanggung jawab pelaksanaan rehabilitasi tanpa rotasi di kawasan Hutan
Konservasi adalah Balai Besar/ Balai/ UPT Ditjen KSDAE, sementara pembina dan pengawas adalah
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE).

3. Pelaksanaan rehabilitasi tanpa rotasi yang berada pada areal PIAPS perlu diselaraskan dengan
program Perhutanan Sosial melalui kemitraan dengan masyarakat sesuai amanat Peraturan
Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016. Penanggung jawab pelaksanaan rehabilitasi tanpa rotasi di
kawasan hutan PIAPS adalah masyarakat pemilik izin kelola Perhutanan Sosial, sementara pembina
dan pengawas adalah Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) dan
Pengelola KPH. Berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 39 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 9 Tahun 2013 tentang mengenai Tata Cara Pelaksanaan,
Kegiatan Pendukung dan Pemberian Insentif Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Para pihak yang
ikut membantu pelaksanaan rehabilitasi tanpa rotasi terutama masyarakat setempat, maka diberikan
peluang pemanfaatan ruang kawasan hutan untuk penanaman spesies tanaman multi-guna dengan
sistem agroforestry.
162 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.4.5.2 Rehabilitasi Lahan Dengan Rotasi


Pelaksanaan kegiatan RHL melalui penanaman pada lahan mineral dengan rotasi untuk pencapaian
target penurunan emisi NDC memerlukan luasan penanaman yang lebih luas dibading dengan yang
tanpa rotasi. Untuk target penurunan emisi CM1, total lahan yang harus direhabilitasi sampai tahun 2030
mencapai 3,5 juta hektare, sedangkan pada CM2 memerlukan luasan yang lebih rendah yaitu 3,1 juta
hektare (lihat Tabel 4-78). Lebih rendahnya kebutuhan lahan untuk CM2 dikarenakan lebih tingginya
produktivitas hutan tanaman yang digunakan pada CM2 dibanding CM1 (lihat Tabel 4-45). Dengan
demikian untuk mencapai target produksi yang sama, luasan lahan yang dibutuhkan menjadi lebih rendah.

Tabel 4-78
Target capaian NDC kegiatan aksi rehabilitasi lahan dengan rotasi

Rata-Rata Kumulatif dari tahun 2011


Kegiatan Aksi Skenario
per tahun (2019) (2024) (2029) (2030)

BAU1 110 986 1.536 2.086 2.196


Laju Rehabilitasi
Lahan Dengan CM12 173 1.558 2.423 3.288 3.461
Rotasi CM23 156 1.399 2.179 2.959 3.115
(000 hektare)1
Aktual - - - - -

Catatan: Tingkat keberhasilan (survival rate) untuk 1BAU antara 52% dan 57%, 2CM1 antara 54% dan 65% dan 3CM2 antara 57%
dan 76%.

Strategi implementasikan upaya pencapaian penurunan emisi melalui rehabilitasi lahan dengan rotasi
relatif sama dengan rehabilitasi tanpa rotasi. Perbedaan terutama pada sasaran kawasan hutan pada
KPHP, Non-KPH HP, dan APL serta areal konsesi. Secara total areal yang tersedia untuk kegiatan RHL
dengan rotasi ialah sekitar 5,913 juta hektare (Tabel 4-79), jauh di atas target NDC. Lahan kritis yang
luas tersebar di 9 provinsi yang total luasnya mencapai 63% dari total luas lahan kritis nasional. Kesem-
bilan provinsi tersebut ialah Sumatera Utara, Jawa Barat, NTT, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Sumatera
Barat, Sulawesi Utara, Banten dan Sulawesi Utara (Table 4-80). Dua provinsi pertama luas lahan kritisnya
masing-masing lebih dari 700 ribu hektare.
STRATEGI
PELAKSANAAN 163

KOTAK 6. Penetapan Tipologi KPH dan Prioritisasi Lokasi Pelaksanaan Aksi


Pengembangan model kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya hutan perlu mempertimbangkan secara komprehen-
sif landasan teori ekonomi. Terjadinya kesejangan yang sangat besar antara pengelolaan SDH pengusahaan hutan skala besar
(private) dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat serta pengelolaan oleh pemerintah yang merupakan salah satu indikator
belum dipergunakannya pertimbangan ini dengan baik. Informasi terkait kekuatan modal sosial kapital dan kapasitas pemerintah
pada suatu wilayah serta kondisi sumber daya hutan perlu digunakan untuk menentukan bagaimana model tata-laksana Kawasan
Hutan dikembangkan. Penentuan tipologi KPH berdasarkan ke tiga kriteria dilakukan dengan melalui dua tahapan analisis. Tahap
pertama ialah mengelompokkan KPH berdasarkan kondisi KPH yang dinilai dari dua parameter yaitu (1) luas KPH dan (2) jumlah
izin KPH. Berdasarkan faktor ini, KPH dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu KPH yang:

a. Kondisi SDA KPH Tinggi (Tipe A): Luas KPH lebih dari 100.000 hektare dan beban izin mencakup kurang dari 50% luas KPH

b. Kondisi SD KPH Sedang (Tipe B): Luas KPH lebih dari 100.000 hektare dan beban izin mencakup lebih dari 50% luas KPH

c. Kondisi SD KPH Rendah (Tipe C): Luas KPH kurang dari 100.000 hektare dan beban izin mencakup lebih atau kurang dari
50% luas KPH

Tahap kedua ialah menetapkan model tata kelola KPH pada setiap tipe SDH-KPH menurut kondisi modal sosial
masyarakat dan kapasitas pemerintah (Gambar K6.1). Modal sosial masyarakat merupakan kekuatan yang dimiliki oleh suatu
masyarakat yang dipengaruhi oleh lima faktor, antara lain: (1) Saling kepercayaan (mutual trust), (2) Jaringan
kerjasama (networking), (3) Komunikasi, (4) Hierarki kepemimpinan, dan (5) Norma yang diakui bersama. Dalam analisis faktor yang
mempengaruhi modal sosial diukur dari dua parameter, yaitu: aktivitas pertanian oleh penduduk di sekitar KPH dan keberadaan
penduduk di sekitar KPH. Lahan KPH menjadi wadah interaksi, komunikasi, kerjasama yang mempengaruhi norma dan saling
kepercayaan dalam masyarakat sekitar KPH. Berdasarkan modal sosial masyarakat sekitar KPH, maka ada dua macam modal sosial
masyarakat, yaitu:

1. Modal Sosial Masyarakat Tinggi: aktivitas pertanian dan keberadaan penduduk di sekitar KPH lebih besar dari 10% dari
luas KPH.

2. Modal Sosial Masyarakat Rendah: aktivitas pertanian dan keberadaan penduduk di sekitar KPH kurang dari 10% dari luas
KPH.

Kapasitas Pemerintah ditentukan berdasarkan hasil pemetaan Urusan Pemerintahan Daerah di Bidang Lingkungan Hidup
dan Bidang Kehutanan untuk seluruh Provinsi dan Kabupaten sesuai dengan SK.651/MENLHK/Setjen/Kum.1/8/2016. Kapasitas
pemerintah dinilai berdasarkan kelengkapan organisasi, jumlah penduduk, luas wilayah dan Produk Domestik Bruto (PDB). Setiap
pemerintah provinsi dan kabupaten memiliki nilai skor berdasarkan kondisi dari faktor tersebut.
Berdasarkan skor, kapasitas pemerintah dibagi menjadi dua yaitu:

1. Kapasitas Pemerintah Besar (kuat): skor di atas 800.

2. Kapasitas Pemerintah Kecil (lemah): skor kurang dari 800.

Dari tahap dua ini diperoleh empat tipe tata-kelola SDH yaitu (1) KPH yang masuk kelompok dengan kondisi sosial kapital tinggi
dan kapasitas pemerintah besar (Tipe-1), (2) KPH yang masuk kelompok dengan kondisi sosial kapital tinggi dan
kapasitas pemerintah kecil (Tipe-2), (3) KPH yang masuk kelompok dengan kondisi sosial kapital rendah dan kapasitas
pemerintah besar (Tipe-3), dan (4) KPH yang masuk kelompok dengan kondisi sosial kapital rendah dan kapasitas
pemerintah kecil (Tipe-4). Dari dua tahapan analisis tersebut akan diperoleh 12 Tipologi KPH.

Arahan dalam pengembangan tata-kelola kawasan perlu memperhatikan tipologi KPH (Gambar K6.1). Untuk Tipe-1, dimana kondi-
si modal sosial atau sosial kapital kuat dan kapasitas pemerintah besar, diarahan mengikuti model tata-kelola kolaborasi (collabo-
rative management) antara pemerintah dan masyarakat. Untuk Tipe-2, dimana sosial kapital tinggi dan kapasitas pemerintah kecil,
diarahan untuk tata-kelola berbasis masyarakat (community-based management). Untuk Tipe-3, dimana sosial kapital rendah dan
kapasitas pemerintah besar, diarahkan ke model tata kelola pemerintah. Untuk Tipe-4, dimana sosial kapital rendah dan kapasitas
pemerintah rendah, diarahkan untuk tata kelola swasta. Dalam kajian ini Tipe-1 dan 2 karena sama-sama memiliki sosial kapital
yang tinggi, maka dapat disebut sebagai Kelola Masyarakat, sedangkan untuk Tipe-3 Kelola Pemerintah dan Tipe-4 Kelola
164 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Usaha. Model kelola masyarakat dapat dalam bentuk HKm, HTR, HD dan Kemitraan. Model Kelola Pemerintah dalam bentuk
BUMN-BUMD-BUMDESA, dan model Kelola Usaha dalam bentuk IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE. Sebaran KPH berdasarkan
tipologi dapat dilihat pada Gambar K6.2).

Gambar K6.1
Model Tata Kelola KPH berdasarkan kondisi modal sosial dan kapasitas pemerintah

KAPASITAS NEGARA
KUAT LEMAH
Collaborative Management Community Based Management (Hutan
KUAT
(HKm, HTR, HD, dll) Adat, Koperasi, dll)
MODAL SOSIAL
State Management
LEMAH Private (IUPHHK-HA, HT, RE)
(BUMN, Perhutani, Inhutani, dll)

Gambar K6.2
Sebaran KPH menurut Tipologi

Berdasarkan tipologi, sebagian besar KPH masuk ke dalam tipe Kelola Swasta (A4, B4 dan C4) yaitu mencapai 44 juta hektare
(53%), dan kemudian Kelola Masyarakat (A1, A2, B1, B2, C1 dan C2) sekitar 20 juta hektare (24%) dan Kelola Pemerintah
sekitar 19 juta hektare (23%). Persentase luas KPH menurut tipologi dapat dilihat pada Gambar K6.3.
STRATEGI
PELAKSANAAN 165

Gambar K6.3
Luas KPH menurut Tipologi

35

Persentase Luas (%)


30
25
20
15
10
5
0
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

A B C
Tipologi KPH

Dalam menetapkan prioritasi lokasi pelaksanaan aksi, selain memperhatikan tingkat risiko emisi juga perlu mempertimbangkan tipologi
KPH. Untuk kasus Provinsi Kalimantan Tengah (lihat KOTAK 4), prioritas lokasi pelaksanaan aksi pada wilayah yang tingkat risikonya dari
ekstrem tinggi sampai sedang (Gambar K6.4). Tipologi KPH pada lokasi prioritas perlu digunakan untuk mengarahkan strategi pelak-
sanaan aksi. Pada wilayah berisiko tinggi dan tipologi KPH masuk Tipe A1, A2, B1, B2, C1, dan C2 (tipe kelola masyarakat), maka pada
wilayah ini program pelaksanaan aksi harus berbasis pengelolaan bersama masyarakat. Program Perhutanan Sosial perlu dipercepat
realisasinya di wilayah ini. Demikian juga program penguatan KPH. Pada Tipe A3, B3, dan C3 (tipe Kelola Pemerintah), pelaksanaan
kegiatan lebih dominan dilakukan oleh KPH, sedangkan pada Tipe A4, B4, dan C4, dominan oleh swasta. Pada Tipe C4, misalnya sebagian
besar wilayah KPH sudah dibebani izin sehingga pelaksanaan aksi lebih banyak dilakukan oleh pemegang izin.

Gambar K6.4
Lokasi prioritas pelaksanaan aksi menurut tingkat risiko emisi dan tipologi KPH
166 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Berdasarkan lokasi, sebagian besar areal lahan kritis berada di areal APL dan umumnya sudah
dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian khususnya tanaman semusim. Oleh karena itu, pelaksanaan RHL
pada areal ini diarahkan untuk mengubah pola usaha tani berbasis tanaman semusim dengan berbasis
tanaman tahunan melalui program wanatani (agroforestry). Pada areal KPHP, pelaksanaannya perlu
disinergikan dengan kegiatan perhutanan sosial (PIAPS), khususnya kegiatan hutan tanaman rakyat (HTR).

Tabel 4-79
Luas lahan kritis dan sangat kritis di areal KPHP, Non KPH-HP, APL dan konsesi

Pertanian1 Tidak Produktif2


Unit Sangat Sangat Total
Kritis Sub-Total Kritis Sub-Total
Kritis Kritis

KPHP 293.781 135.301 429.083 106.637 93.669 200.306 629.389

Non KPH - HP 17.983 11.716 29.699 50.947 32.256 83.203 112.902

APL 2.712.844 1.848.381 4.561.226 122.592 68.754 191.346 4.752.572

Dalam Konsesi 46.584 24.909 71.492 181.623 165.221 346.845 418.337

Total 3.071.192 2.020.307 5.091.499 461.800 359.900 821.700 5.913.199

1
Berupa pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur, 2 Belukar, belukar rawa lahan terbuka dan padang ilalang.

Pada areal PIAPS, diperkirakan luas lahan agak kritis, kritis dan sangat kritis mencapai 0,819 juta hektare
dan sekitar 25% termasuk kategori sangat kritis. Sekitar hampir 60% areal sudah dimanfaatkan
masyarakat untuk kegiatan pertanian semusim dan pertanian campur. Apabila pelaksanaan RHL
disinergikan dengan lokasi perhutanan sosial, maka luas lahan kritis yang dibutuhkan di luar lokasi PIAPS
sampai 2030 tinggal 2,3 juta hektare. Penanggung jawab pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan mineral
dengan rotasi di hutan Produksi di areal PIAPS adalah pemilik Akses Kelola Perhutanan Sosial. Sementa-
ra, pembina dan pengawas pelaksanaannya oleh Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan (PSKL) dan Pengelola KPH.

Tabel 4-80
Sebaran lahan kritis dan sangat kritis di areal KPH, Non KPH-HP, APL dan konsesi menurut
Provinsi

APL Non-KPH HP KPH Konsesi


Provinsi Sangat Sangat Sangat Sangat Total
Kritis Kritis Kritis Kritis
Kritis Kritis Kritis Kritis

Aceh 12.185 41.948 218 171 1.752 1.435 57.708

Bali 35.973 217 36.190

Banten 210.071 71.690 3.215 680 285.656

Bengkulu 46.943 376 50 5.280 1.934 1.219 13 55.814


STRATEGI
PELAKSANAAN 167

APL Non-KPH HP KPH Konsesi


Provinsi Sangat Sangat Sangat Sangat Total
Kritis Kritis Kritis Kritis
Kritis Kritis Kritis Kritis

DI Yogyakarta 59.796 524 215 0 60.536

Gorontalo 10.687 147.919 170 1.622 1.564 9.436 610 390 172.398

Jambi 19.782 2.309 23 7.815 45.318 11.329 46.072 132.647

Jawa Barat 196.426 533.042 5.457 2.425 737.349

Jawa Tengah 51.651 111.519 93 554 163.817

Jawa Timur 22.574 268.634 6.838 3.909 301.955

Kalimantan Barat 9.994 944 1.043 21 102.859 4.360 26.751 612 146.583

Kalimantan Selatan 4.905 10.159 2.798 312 9.572 25.552 24.855 14.523 92.676

Kalimantan Tengah 21.963 9.071 11.846 7.802 34.333 4.214 31.079 7.066 127.375

Kalimantan Timur 41.116 7.802 461 304 11.382 6.695 24.608 43.319 135.688

Kalimantan Utara 36.765 8.429 499 145 7.980 2.578 11.012 3.502 70.910

Kep. Bangka Belitung 1.191 1 3.193 260 3.359 8.003

Kepulauan Riau 1.359 2.853 870 84 31 5.197

Lampung 93.874 5.101 20.926 395 850 121.145

Maluku 22.650 18.999 1.138 44 13.439 9.189 606 157 66.223

Maluku Utara 44.214 33.240 983 2.027 9.046 4.876 2.205 3.832 100.422

NTB 18.109 10 0 3.743 308 365 22.535

NTT 439.342 1.542 736 7.241 81 693 449.635

Papua 37.731 1.728 4.124 3.958 10.647 1.324 1.927 389 61.828

Papua Barat 19.206 93 338 392 7.655 747 3.677 3.151 35.260

Riau 31.542 20.975 14.720 4.595 41.164 23.635 21.618 14.228 172.478

Sulawesi Barat 29.441 4.797 2.356 261 7.663 378 734 45.630

Sulawesi Selatan 8.889 45.511 1.732 5.956 6.580 32.265 750 4.040 105.723

Sulawesi Tengah 72.412 54.743 1.029 2.401 13.037 4.276 2.822 1.666 152.385

Sulawesi Tenggara 252.957 5.890 6.253 312 12.728 6.675 4.738 144 289.696

Sulawesi Utara 117.677 61.037 9 4 21.061 9.716 209.504

Sumatera Barat 52.922 230.110 997 5.171 1.743 1.255 1.334 6.946 300.479

Sumatera Selatan 340.419 35.398 976 7.603 1.545 22.058 1.905 409.903

Sumatera Utara 470.673 180.524 715 146 31.867 32.232 27.314 36.376 779.847

Total 2.835.437 1.917.135 68.930 43.972 400.419 228.970 228.207 190.130 5.913.199
168 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.4.5.3 Pembangunan Hutan Tanaman Industri


Luas izin yang sudah dikeluarkan untuk pembangunan hutan tanaman melalui IUPHHK-HT sudah
mencapai sekitar 11,322 juta hektare5, dan sekitar 14% berada di lahan gambut (Tabel 4-81). Sampai akhir
2017, luas lahan yang sudah dibangun menjadi HTI baru mencapai 1,64 juta hektare atau sekitar 14%,
sedangkan sisanya sebagian besar merupakan lahan tidak produktif (35%), tutupan hutan (26%), pertanian
semusim (17%). Di luar IUPHHK-HT, luas hutan tanaman mencapai 3,05 juta hektare yang berada di APL
(40%) dan kawasan hutan (60%). Hutan tanaman di luar IUPHHK-HT sebagian besar (98%) berada di lahan
mineral. Jadi secara total, luas hutan tanaman mencapai 4,67 juta hektare.

Untuk mencapai target produksi kayu sesuai dengan RKTN6 (lihat Lampiran Gambar L2-8), total luas HTI
yang harus sudah dibangun sampai akhir 2030 pada skenario BAU ialah 7,8 juta hektare dan CM1/CM2
sebesar 11,2 juta hektare (Tabel 4-82). Lebih rendahnya tambahan luas HTI yang diperlukan di BAU dikare-
nakan lebih tingginya kontribusi sumbangan kayu dari deforestasi dibanding CM1 dan CM2.

Tabel 4-81
Luas menurut jenis tutupan lahan di dalam Kawasan IUPHHK-HT tahun 2017

Tutupan lahan Gambut Mineral Total

Hutan Alam 293.387 2.634.043 2.927.430

Hutan Tanaman (sesuai izin) 424.045 1.215.896 1.639.942

Perkebunan 123.435 525.564 648.999

Pertanian 49.128 1.868.606 1.917.734

Terbangun 1.377 115.558 116.935

Tidak Produktif 669.537 3.267.196 3.936.733

Lainnya (badan air & blank) 8.396 126.311 134.708

Total 1.569.306 9.753.175 11.322.480

Catatan: Data merupakan hasil olahan interpretasi citra.


5
Data statistik kehutanan untuk luas IUPHHK-HT atau HTI yang dikeluarkan (release) oleh Ditjen PHPL
sampai akhir bulan Agustus 2019 seluas 11,353 juta hektare, sedikit berbeda dengan angka luas HTI
roadmap. Sumber data peta yang digunakan ialah peta digitasi yang diperoleh dari Direktorat Jenderal PHPL, jadi dari
sumber peta yang sama dengan yang digunakan Peta resmi dari PKTL. Perbedaan angka terjadi karena piranti komputer
pengolahan peta dan pembulatan angka desimal di belakang koma. Hal yang sama juga terjadi untuk luas KPH, HPH,
rehabilitasi, dan HGU.

6
Target produksi kayu di dalam Roadmap NDC masih merujuk kepada RKTN sebelum direvisi. Terdapat perbedaan asumsi
riap yang digunakan antara RKTN revisi dengan NDC. Sebagai contoh, pada NDC angka riap di hutan kayu adalah 22,89
m3/hektare/tahun sementara RKTN revisi menggunakan angka 25 m3/hektare/tahun. Demikian juga halnya dengan riap
pada hutan alam dan perkebunan. Perbedaan ini menyebabkan angka total produksi kayu yang berbeda, namun demiki-
an target luas HTI, hutan alam dan perkebunan untuk produksi kayu relatif sama antara RKTN sebelum dan setelah revisi.
STRATEGI
PELAKSANAAN 169

Tabel 4-82
Target capaian NDC kegiatan aksi peningkatan pembangunan HTI

Rata-rata Kumulatif dari tahun 2011


Kegiatan Aksi Skenario
per tahun (2019) (2024) (2029) (2030)

BAU 150 6.020 6.770 7.520 7.670

Laju Pembangunan CM1 320 7.550 9.150 10.750 11.070


HTI (000 hektare) CM2 320 7.550 9.150 10.750 11.070

Aktual* 4.670 - - -

*Luas hutan tanaman total tahun 2017 berdasarkan analisis citra yang ada di dalam dan luar kawasan

Berdasarkan kondisi 2017 dengan luas total HTI sekitar 4,67 juta hektare, maka luas HTI baru yang
akan dibangun sampai 2030 pada skenario BAU ialah 3,0 juta hektare dan skenario CM1/CM2 sebesar
6,40 juta hektare. Dengan luas IUPHHK-HT yang mencapai 11,322 juta hektare, sementara yang baru
ditanami hanya 1,64 juta hektare (Tabel 4-79), maka berarti lahan yang tersedia untuk penanaman di areal
HTI ada sekitar 9,68 juta hektare. Dengan asumsi luas efektif untuk penanaman hanya 70%, sesuai dengan
Peraturan Menteri LHK Nomor P.12 Tahun 2015, maka luas yang tersedia untuk penanaman sekitar 7,84
juta hektare. Dengan demikian untuk mencapai target NDC, areal HTI yang harus ditanam sampai 2030
minimal sekitar 81,6% dari lahan tersedia.

Lambatnya realisasi penanaman HTI disebabkan oleh adanya masalah tenurial dan kendala lainnya. Luas
areal yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat cukup luas yaitu mencapai 2,68 juta hektare baik untuk
perkebunan, pertanian semusim maupun pemukiman, sementara lahan tidak produktif juga sangat luas
yaitu mencapai 3,96 juta hektare (Tabel 4-82). Secara umum, lahan tidak produktif juga cukup banyak yang
diklaim masyarakat sehingga memperlambat realisasi pernanaman. Provinsi yang luas areal IUPHHK-HT
belum ditanami hutan tanaman tetapi dimanfaatkan oleh masyarakat atau masih terlantar sangat besar
ialah di Provinsi Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Riau (Tabel 4-83). Luasnya
mencapai hampir 40% dari total luas IUPHHK-HT. Pengembangan pola kemitraan dengan masyarakat
untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan, khususnya pada lahan yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat
atau yang sudah di klaim oleh masyarakat. Peraturan dan kebijakan untuk dapat mendorong pemilik izin
konsesi untuk mempercepat penanaman arealnya perlu dikembangkan.

Tabel 4-83
Sebaran jenis tutupan lahan areal IUPHHK-HT menurut provinsi

Lahan
Hutan Hutan Perkebu- Pertani- Tidak Grand
Provinsi Terba- Lainnya
Alam Tanaman nan an Produktif Total
ngun

Aceh 81.765 20.734 2.681 17.326 3.765 108.120 798 235.189

Bengkulu 103 15 119

Gorontalo 32.426 270 11 17.362 51 24.464 74.585

Jambi 88.272 224.925 46.558 122.977 1.304 192.294 265 676.595


170 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Lahan
Hutan Hutan Perkebu- Pertani- Tidak Grand
Provinsi Terba- Lainnya
Alam Tanaman nan an Produktif Total
ngun

Kalimantan Barat 413.463 55.488 36.366 642.446 6.379 652.411 9.665 1.816.218

Kalimantan
108.893 25.332 96.937 118.195 25.323 146.808 348 521.837
Selatan

Kalimantan
292.243 53.466 37.544 73.349 8.339 188.024 7.640 660.606
Tengah

Kalimantan Timur 342.597 291.214 69.294 55.123 19.478 790.612 10.017 1.578.334

Kalimantan Utara 91.350 14.103 24.711 11.619 7.330 85.547 1.281 235.941

Kep. Bangka
66.634 5.646 73.049 29.553 95.670 1.766 272.317
Belitung

Lampung 84 11.704 48.327 49.945 2.359 17.843 867 131.128

Maluku 118.353 4.206 6 69.210 244 192.020

Maluku Utara 25.494 33.123 5.705 6.123 0 70.445

NTB 26.619 14 25.475 290 26.047 18 78.462

NTT 36.073 565 5.752 451 12.757 140 55.738

Papua 413.286 539 20.340 188.719 84.823 707.707

Papua Barat 81.052 665 95 15.838 683 98.332

Riau 261.061 556.482 138.558 131.594 2.429 432.106 1.850 1.524.080

Sulawesi Barat 23.216 32 11.140 1.498 10.154 51 46.091

Sulawesi Selatan 17.400 1.473 24.243 37 5.543 8 48.704

Sulawesi Tengah 175.195 1.960 33.620 48 33.603 663 245.088

Sulawesi Teng-
73.723 61 197 26.498 0 19.238 4 119.720
gara

Sulawesi Utara 2.064 1.964 637 4.665

Sumatera Barat 33.365 8.724 27.431 10.530 2 22.347 94 102.493

Sumatera Selatan 36.182 271.060 77.179 376.305 8.192 686.342 13.298 1.468.558

Sumatera Utara 86.618 71.204 34.365 58.866 6 106.263 185 357.507

Grand Total 2.927.430 1.639.942 648.999 1.917.734 116.935 3.936.733 134.708 11.322.480

Berdasarkan kondisi di atas, beberapa strategi untuk percepatan pembangunan HTI untuk mencapai
target NDC diantaranya sebagai berikut:

1. Inovasi kebijakan HTI berupa kewajiban untuk merealisasikan penanaman IUPHHK-HT pada lahan
terlantar sebesar 2 kali luas land clearing HTI (LC-HTI) dengan pengawasan. Kewajiban ini akan
mempercepat realiasi pembangunan HTI. Berdasarkan skenario optimum (lihat Tabel 4-61), sekitar
61% Kawasan izin yang masih berhutan alam harus tetap dipertahankan sebagai hutan alam
(konservasi). Jadi artinya paling tidak ada sekitar 1,2 juta hektare untuk land clearing HTI. Dengan
ketentuan 1 hektare areal LC-HTI dengan realisasi penanaman HTI seluas 2 kali lipat, maka akan ada
percepatan penanaman seluas 3,6 juta hektare, yaitu 1,2 juta hektare lahan LC-HTI dan 2,4 juta hektare
lahan tidak produktif. Dengan dukungan kebijakan insentif dan disinsentif bagi percepatan penanaman,
STRATEGI
PELAKSANAAN 171

diperkirakan realisasi penanaman seluas 6,56 juta hektare dapat dicapai dengan melakukan kemi-
traan dengan masyarakat melalui pemanfaatan lahan pertanian serta lahan tidak produktif yang ada.
2. Penambahan klausul dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39 Tahun 2008, pada
Pasal 4 sanksi administrasi HTI berupa kewajiban pelaksanaan penanaman sesuai dengan
rencana dalam RKT (Rencana Kerja Tahunan). Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin pelaksanaan
pembangunan HTI sesuai dengan RKT atau komitmen rencana yang dibuat oleh pemilik izin HTI.
3. Percepatan penanaman IUPHHK-HT melalui optimalisasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 11 Tahun 2010. Inovasi kebijakan berupa penetapan lahan HTI yang tidak melaksanakan pena-
naman secara optimal setelah 3 tahun terbit izin HTI, dengan luasan lahan tidak diusahakan >50%
dari total luas lahan efektif, sebagai tanah terlantar. Inovasi kebijakan ini diperlukan untuk menjamin
pelaksanaan pembangunan HTI sesuai dengan target waktu atau komitmen rencana yang dibuat oleh
pemilik izin HTI.
4. Areal HTI yang masih produktif dengan potensi tegakan hutan > 20 m3/hektare, maka sesuai dengan
Kriteria 11 pada Pasal 6 Peraturan Menteri LHK Nomor P.12 Tahun 2015, tidak dilakukan
penebangan atau sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB). Sistem silvikultur untuk
areal HTI dengan potensi tegakan (log over area-LOA) > 20 m3/hektare menggunakan Sistem Silvikultur
Intensif (SILIN) dan Multi Sistem Silvikultur (MSS) untuk multi usaha pemanfaatan hutan alam.
5. Peningkatan produktivitas tanaman HTI yang merupakan pelaksanaan secara konsisten dari
Peraturan Menteri LHK Nomor P.12 Tahun 2015 (Pasal 9 Ayat 2 menyebutkan bahwa peningkatan
produktivitas tanaman melalui kegiatan: pemilihan jenis, pemuliaan pohon, penyediaan bibit unggul,
manipulasi lingkungan). Berdasarkan target NDC, peningkatan produktivitas tanaman HTI dari 7,22
m3/hektare pada skenario BAU menjadi 7,46 m3/hektare pada skenario CM1/CM2.
6. Penanggung jawab untuk seluruh pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan HTI di atas
adalah pemilik izin HTI. Sementara pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Pengelola KPH.

4.4.6 Pengelolaan Lahan Gambut


Upaya penurunan emisi NDC untuk pengelolaan lahan gambut dilakukan pada lokasi yang sudah dibebani
izin dan diusahakan serta lokasi lain di luar izin. Pada lahan gambut yang sudah dibebani izin dan dikelola
oleh swasta dan telah membangun sistem pengelolaan tata air (sistem Kanal), upaya mitigasi dilakukan
melalui perbaikan sistem pengelolaan tata air sejalan dengan Peraturan Menteri LHK Nomor P.15
Tahun 2017. Perbaikan sistem pengelolaan tata air diarahkan untuk menjaga tinggi muka air tanah
gambut pada kedalaman 40 cm. Untuk lahan gambut di luar areal yang belum atau yang sudah dibebani
izin dan belum dikelola dengan baik dan mengalami kerusakan harus di restorasi sesuai dengan
ketentuan yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P16/MenLHK/Setjen/Kum.1/2/2017
tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.

Berdasarkan data tutupan lahan 2017, lahan gambut yang masih berhutan alam hanya tinggal 5,993 juta
hektare (42%) dari total keseluruhan. Sekitar 4,504 juta hektare (31%) sudah dimanfaatkan untuk hutan
tanaman, perkebunan, dan pertanian serta wilayah terbangun, dan sisanya merupakan lahan tidak
produktif (Tabel 4-84). Sebagian areal yang dimanfaatkan merupakan areal yang sudah diberikan izin
pengelolaan yaitu HGU, IUPHHK-HT (HTI) dan IUPHHK-HA (HPH) dengan total luas sekitar 3,922 juta
hektare. Luasan yang baru dimanfaatkan oleh pemilik izin untuk penanaman tanaman sesuai izinnya
172 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

baru mencapai sekitar 1,314 juta hektare, yaitu sekitar 0,890 juta hektare untuk perkebunan (HGU)
dan 0,424 juta hektare untuk hutan tanaman (HTI). Sebagian wilayah yang sudah dibebani izin banyak
yang dimanfaatkan untuk kegiatan lain dan sebagian tidak produktif. Wilayah HGU dan HTI yang sudah
dimanfaatkan merupakan wilayah yang dapat dijadikan target untuk pelaksanaan kegiatan mitigasi di
lahan gambut dengan perbaikan pengelolaan tata air, sedangkan tutupan lainnya yang tidak produktif
atau tidak dikelola secara baik dengan prinsip berkelanjutan menjadi sasaran untuk kegiatan restorasi.

Tabel 4-84
Luas lahan gambut menurut jenis tutupan lahan dan tipe Kawasan

Konser- Non
Tutupan Lahan APL1 HGU KPH2 HPH HTI Total
vasi KPH2

Hutan Alam 294.719 279.051 1.474.405 2.479.408 681.835 490.390 293.387 5.993.196

Hutan Tanaman 12.792 19.788 313 21.496 2.344 12.889 424.045 493.668

Perkebunan 1.030.005 889.758 4.762 385.143 338.779 15.925 123.435 2.787.807

Pertanian 558.511 200.553 6.045 168.893 144.447 16.858 49.128 1.144.435

Lahan Terbangun 55.147 6.656 34 8.894 5.216 418 1.377 77.742

Tidak Produktif 570.344 311.919 354.275 1.196.038 375.755 82.660 669.537 3.560.529

Lainnya 3 35.185 4.588 49.863 142.629 63.711 21.440 8.396 325.813

Total 2.556.703 1.712.313 1.889.698 4.402.502 1.612.087 640.581 1.569.306 14.383.189

Catatan: 1 Tidak termasuk HGU; 2 Tidak termasuk HTI, HPH. 3 Badan air dan tidak ada data. Data merupakan hasil olahan interpretasi
citra.

4.4.6.1 Pengelolaan Tata Air


Untuk pencapaian target penurunan emisi NDC, penerapan perbaikan pengelolaan tata air di area
perkebunan (HGU) dan hutan tanaman industri (HTI) harus mencapai 0,864 juta hektare pada tahun 2030
pada skenario CM1 dan CM2 (Tabel 4-85). Secara total, luas lahan yang diusahakan untuk perkebunan dan
hutan tanaman di lahan gambut mencapai sekitar 3,280 juta hektare yang dapat melakukan perbaikan
tata air. Namun demikian dari luasan ini yang ada dalam Kawasan konsesi hanya (HGU dan HTI), hanya
1,314 juta hektare. Oleh karena itu, untuk mencapai target NDC, pengawasan terhadap pelaksanaan
kewajiban melakukan perbaikan pengelolaan tata air oleh pemegang konsesi sesuai dengan yang
diamanatkan oleh Peraturan Menteri LHK Nomor P.15 Tahun 2017 harus dilakukan dengan ketat.

Tabel 4-85
Target capaian NDC kegiatan aksi perbaikan tata air lahan gambut

Rata-Rata Kumulatif
Kegiatan Aksi Skenario
(2013-2030) (2013-2019) (2013-2024) (2013-2029) (2013-2030)
BAU - - - - -
Perbaikan tata CM1 - 634 864 864 864
air gambut
(000 hektare) CM2 - 749 864 864 864
Aktual - - - - -
STRATEGI
PELAKSANAAN 173

Berdasarkan sebaran luas perkebunan dan hutan tanaman, provinsi yang memiliki perkebunan dan hutan
tanaman di luar konsesi yang cukup luas ialah di provinsi Kalimantan Barat, Jambi, Riau, dan Sumatera
Selatan (Tabel 4-86). Total luas perkebunan di luar konsesi yang ada di empat provinsi ini mencapai 705 ribu
hektare, hampir sama dengan total luas konsesi. Sedangkan hutan tanaman mencapai 21 ribu hektare.
Pengembangan pola kerjasama antara pemegang konsesi dengan pengelola perkebunan atau hutan
tanaman di luar konsesi dalam upaya perbaikan pengelolaan tata air akan berpotensi untuk meningkat-
kan penurunan emisi GRK melebihi target NDC.

Tabel 4-86
Luas perkebunan dan hutan tanaman di dalam dan di luar areal konsesi menurut Provinsi

Perkebunan Hutan Tanaman


Provinsi
APL HGU KPH HTI
Aceh 32.915 32.942 0 0
Bengkulu 4.771 0 0 0
Jambi 140.583 47.048 268 58.898
Kalimantan Barat 87.134 223.395 1.712 43.909
Kalimantan Selatan 46.617 51 0 0
Kalimantan Tengah 42.478 57.900 0 0
Kalimantan Timur 7.911 7.979 0 0
Kalimantan Utara 578 35.468 320 2.600
Kep. Bangka Belitung 748 0 0 0
Kepulauan Riau 3.044 0 0 0
Lampung 11.622 0 0 0
Papua 965 826 12 -
Papua Barat 1.115 0 0 0
Riau 265.829 410.189 17.646 205.144
Sumatera Barat 36.531 11.569 -
Sumatera Selatan 211.753 20.583 1.538 113.419
Sumatera Utara 135.409 41.807 - 76
Total 1.030.005 889.758 21.496 424.045

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut bahwa pemegang konsesi di area gambut perlu mengembangkan pemetaan kedalaman kubah
gambut untuk mengetahui keberadaan gambut dalam. Apabila ternyata terdapat area gambut dalam
yang tidak berada di area fungsi lindung dan sudah dibuka maka pemegang konsesi dapat melanjutkan
kegiatannya dengan syarat mereka menerapkan sistem tata air yang baik. Apabila area gambut dalam
yang sudah dibuka tersebut berada di area fungsi lindung maka setelah masa izin berakhir areanya harus
dipulihkan melalui kegiatan restorasi, dan jika belum dibuka maka area tersebut harus disisihkan
sebagai area konservasi.
174 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.4.6.2 Restorasi Lahan Gambut


Untuk mencapai target penurunan emisi NDC, luas gambut yang harus direstorasi sampai pada tahun
2030 minimal 1,26 juta hektare untuk CM1 dan 2,81 juta hektare untuk CM2 (Tabel 4-87). Pada skenario
tersebut kegiatan restorasi mencakup kegiatan pembasahan (rewetting) dan penghijauan kembali
(revegetasi) yang terutama difokuskan pada area gambut dalam yang saat ini digunakan untuk kegiatan
pertanian serta lahan-lahan yang tidak produktif. Luas lahan yang tidak produktif dan pertanian di luar
areal HGU dan IUPHHK-HT mencapai 3,47 juta hektare, di atas target luas NDC (lihat Tabel 4-84).

Tabel 4-87
Target capaian NDC kegiatan aksi restorasi gambut

Rata-rata per Kumulatif


Kegiatan Aksi Skenario
tahun 2011-2019 2011-2024 2011-2029 2011-2030
BAU - - - - -
Restorasi CM1 70 489 837 1.186 1.256
Gambut
(000 hektare)3 CM2 156 1.091 1.871 2.651 2.807
Aktual2 - - - - -

Panduan teknis untuk pemulihan ekosistem gambut (restorasi gambut) telah dituangkan dalam
Peraturan Menteri LHK Nomor P.16/MenLHK/Setjen/Kum.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan
Fungsi Ekosistem Gambut. Badan Restorasi Gambut telah mengembangkan pendekatan untuk memu-
lihkan ekosistem gambut sejalan dengan peraturan tersebut ke dalam tiga proses yaitu pembasahan
kembali gambut (rewetting) yang diikuti dengan penghijauan (revegetasi) dan revitalisasi, yang selajutnya
dikenal sebagai paradigma 3R (Rewetting-Revegetation-Revitalization). Pendekatan untuk pemulihan
ekosistem gambut sangat ditentukan oleh zona gambut. Zona gambut terdiri dari zona inti yaitu wilayah
dengan gambut dalam untuk perlindungan ekosistem gambut, zona penyangga (buffer zone), yaitu wilayah
dengan gambut dangkal yang mengalami degradasi yang terletak di sekitar zona inti, dan zona produksi
yaitu wilayah bukan gambut yang berada disekitar buffer zone (Gambar 4-74).

Gambar 4-74
Proses restorasi gambut

Buffer zone di gambut dangkal terdegradasi

Zona inti untuk


perlindungan dan
restorasi gambut
• Perlindungan
ub u
K

• Restorasi ah ga mb Gelam Agroforestry Madu Akuakultur


• Reforestasi
• Pembatasan untuk
penggunaan lain
Zona produksi berkelanjutan di area non-gambut

Canal Blocking Reforestasi Reforestasi HHBK


(spesies (cth: gelam) Sengon Karet Pertanian Agroforestry
endemik)
STRATEGI
PELAKSANAAN 175

Pemulihan ekosistem gambut dengan 3R didasarkan pada pemulihan gambut dalam yang terdegradasi
dan rawan kebakaran pada zona inti yang dikelilingi oleh zona produksi dengan gambut yang lebih
dangkal di mana masyarakat dan bisnis lokal melakukan kegiatan usaha tani pada gambut yang telah
dibasahkan. Zona produksi dapat mencakup kegiatan kehutanan, agroforestri dan perusahaan swasta.
Dengan demikian pada zona produksi ini kegiatan usaha tani yang dilakukan ialah yang adaptif terhadap
kondisi basah atau tidak berdrainase. Sistem usaha tani alternatif yang adaptif dengan kondisi basah
dikenal sebagai paludikultur. Kemudian di wilayah sekitar zona produksi yang bukan gambut dikembang-
kan kegiatan ekonomi seperti agroforestry agar penghidupan masyarakat tercukupi dan meningkat.

Meningkatkan mata pencaharian dan ekonomi masyarakat di tanah non-gambut dan di lahan gambut
dangkal di zona penyangga akan membantu mengamankan dukungan lokal untuk perlindungan dan
restorasi di daerah gambut yang lebih dalam, yang pada gilirannya akan berkontribusi pada pemeliharaan
dan pemulihan layanan ekosistem, termasuk penyimpanan karbon yang berfungsi penting untuk menca-
pai sasaran NDC Indonesia. Kegiatan ini dapat dikembangkan lebih lanjut melalui pengakuan hukum dan
perlindungan hak tenurial, termasuk hak adat atas tanah di beberapa daerah serta lisensi pemanfaatan,
tetapi juga dapat membatasi ekspansi petani kecil ke daerah gambut dalam yang rapuh.

Pengelolaan kegiatan restorasi yang dilakukan di area gambut dalam pada kawasan non hutan serta
non konsesi (non HTI-HGU) menjadi tanggung jawab Pemda dan dapat difasilitasi oleh Badan Restorasi
Gambut (BRG), sedangkan di dalam kawasan konsesi menjadi tangungjawab pemegang konsesi dibawah
pengawasan Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran
dan Kerusakan Lingkungan, KLHK.

Kegiatan restorasi gambut yang dilakukan BRG terdiri dari kegiatan pembasahan (rewetting), revegetasi,
dan revitalisasi. Kegiatan rewetting terdiri atas kegiatan pembuatan sumur bor, pembangunan sekat kanal,
penimbunan kanal, dan pembuatan embung. Kegiatan revegetasi yang dilakukan dibagi atas 3 kategori
yakni:

•• suksesi alami, untuk area gambut dengan penutupan vegetasi padat (>50%);
•• pengkayaan, untuk area gambut dengan penutupan vegetasi jarang (25-50%);
•• pola maksimal, untuk area gambut dengan penutupan vegetasi terbuka (<25%)

Kegiatan revitalisasi dilakukan untuk mengurangi dampak kegiatan restorasi kepada masyarakat
dan dapat berupa pembinaan Desa Peduli Gambut, peningkatan kapasitas kelembagaan, maupun
pengembangan alternatif sumber mata pencaharian.

Di tahun 2018, BRG merencanakan kegiatan revegetasi di sekitar 144.250 hektare lahan gambut di 5
provinsi dari total 1,433 juta hektare (Tabel 4-88). Jadi rencana ini baru 10% dari total luas gambut yang
harus direstorasi di kelima provinsi tersebut atau setara dengan 10% dari target capaian NDC CM1. Apabi-
la restorasi di seluruh luasan target di 5 provinsi ini bisa direalisasikan maka artinya target NDC juga dapat
terpenuhi. Kewenangan dan pembiayaan untuk melakukan kegiatan restorasi ini dibagi ke dalam UPRG
(Unit Pelaksana Restorasi Gambut). UPRG adalah pemangku kawasan yang bertanggung jawab dalam
melakukan restorasi gambut, bisa berupa pemerintah daerah (Dinas Kehutanan, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten, dll), perusahaan/ konsesi, KPH, dan pengelola kawasan konservasi (Taman
Nasional, Suaka Margasatwa, dll). UPRG ditentukan dengan melihat peta administrasi, peta kawasan
konservasi, peta kawasan hutan, peta konsesi, dan peta HGU. Adapun sumber anggaran untuk kegiatan
restorasi ini dapat berasal dari APBN, APBD, IUPHHK-HA, HGU/IUP, ataupun sumber dari pihak ke-3 yang
tidak mengikat.
176 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel 4-88
Rencana kegiatan restorasi BRG pada tahun 2018

Area gambut Luasan target tahun 2018 % target tahun


yang harus 2018 terhadap
Provinsi Suksesi Alami Pengkayaan Pola Maksimal
direstorasi Total luas yang ha-
(hektare) (Hektare) (Hektare) (Hektare) rus direstorasi

Jambi 177.178 697 15.966 9.739 26.402 15%

Kalimantan Barat 146.358 3 1.117 9.295 10.415 7%

Papua 47.409 68 916 155 1.139 2%

Riau 805.044 18.684 18.053 4.966 41.703 5%

Sumatera Selatan 257.342 17.736 787 46.068 64.591 25%

Total 1.433.331 37.188 36.839 70.223 144.250 10%

Untuk sektor Kehutanan, selain pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan tersebut di atas, maka
sudah diterbitkan berbagai izin pemanfaatan hutan lainnya, meliputi: Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHH-BK), Izin
Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPL), dan Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Silvopastural (IUPK-S).
Data jumlah unit dan luas izin usaha pemanfaatan hutan yang sudah dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) sampai akhir bulan Agustus 2019, yaitu: IUPHHK-RE sebanyak
13 unit dengan total luas 622.822 hektare; IUPHH-BK sebanyak 14 unit dengan total luas 304.781 hektare;
IUPL sebanyak 10 unit dengan total luas 52.256 hektare, dan IUPK-S sebanyak 2 unit dengan total luas
616 hektare. Dalam areal izin usaha ini sudah ada pengelola yang melakukan kegiatan pemanfaatan,
perlindungan dan pengamanan kawasan hutan.

Berdasarkan uraian upaya penurunan emisi GRK dari skenario NDC dan target NDC sampai tahun 2030
untuk Sektor Kehutanan melalui penurunan laju deforestasi, pencegahan degradasi hutan, pengelolaan
hutan lestari, rehabilitasi lahan lahan (dengan dan tanpa rotasi), pembangunan HTI, dan pengelolaan
lahan gambut; maka terlihat rangkaian kegiatan dalam bentuk sistem yang saling berhubungan satu
dengan lainnya. Keterkaitan sistem ini dimulai dari penataan kawasan hutan melalui optimasi kawasan
hutan dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/ kota sampai tapak atau unit pengelolaan (KPH). Kebija-
kan satu sumber peta (one map policy) dengan data digital dan spasial yang sama untuk seluruh wilayah
Indonesia sangat membantu penataan kawasan hutan yang mendukung pembangunan berkelanjutan
melalui pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sesuai target NDC sampai tahun 2030. Selain itu,

Rencana Strategis Kementerian LHK yang komprehensif dengan kesatuan program, kegiatan, dan
anggaran akan mendukung capaian target NDC.

Data dan informasi yang disusun pada saat penyiapan dokumen Roadmap NDC meliputi wilayah
Sumatera, Jawa, Bali Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Metode analisis data yang
digunakan dalam kajian ini dapat dimanfaatkan untuk penyusunan rencana pembangunan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.

Kerjasama dan koordinasi rencana pembangunan kehutanan antara Kementerian LHK dengan
Pemerintahan Provinsi di seluruh Indonesia dijembatani oleh pengelolaan KPH (KPHP dan KPHL)
yang mengelola kawasan hutan pada tingkat tapak. Rencana pengelolaan KPH (KPHP dan KPHL) yang
STRATEGI
PELAKSANAAN 177

berhubungan dengan perubahan kawasan memerlukan pengesahan dari Menteri LHK. Selain itu,
kerjasama usaha yang bersifat komersial antara pengelola KPH (KPHP dan KPHL) dengan pihak swasta
masih merupakan kewenangan dari Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Lestari (PHPL). KPH (KPHP
dan KPHL) hanya mempunyai kewenangan dalam pelaksanaan kegiatan konservasi, perlindungan,
pengamanan, dan rehabilitasi yang sifatnya biaya atau pengeluaran (cost centre). Sementara kegiatan yang
mendatangkan keuntungan untuk KPH (KPHP dan KPHL) berupa kerjasama usaha komersial dengan
pihak swasta masih menjadi kewenangan Kementerian LHK. Oleh karena itu, penataan kelembagaan yang
sifatnya kerjasama dan koordinasi dalam pengelolaan KPH (KPHP dan KPHL) antara Kementerian LHK
dengan Pemerintahan Provinsi sangat diperlukan.

4.4.7 Penurunan Emisi GRK dari Kegiatan Pertanian


Penguatan kapasitas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim telah menjadi bagian dari kebijakan
pembangunan pertanian berkelanjutan dan telah dijabarkan dalam beberapa peraturan seperti
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 45 Tahun 2011 tentang Tata Hubungan Kerja Antar Kelembagaan
Teknis, Penelitian dan Pengembangan, dan Penyuluhan Pertanian dalam Mendukung Peningkatan Produksi
Beras Nasional (P2BN) serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 131 Tahun 2014 tentang Mekanisme
dan Hubungan Kerja Antar Lembaga yang Membidangi Pertanian dalam Mendukung Peningkatan
Produksi Pangan Strategis Nasional. Kedua regulasi ini menekankan perlunya antisipasi atas dampak
perubahan iklim dan kontribusi terhadap penurunan emisi selama sejalan dengan tujuan utama produksi
pangan nasional.

Pada sektor pertanian, skenario baseline untuk 4 kegiatan mitigasi utama sama sekali tidak ada kegiatan
mitigasi yang telah dilakukan, sehingga belum terlihat tren bahwa skenario mitigasi merupakan
peningkatan pelaksanaan kegiatan mitigasi. Sektor ini diharapkan dapat menyumbang penurunan emi-
si sebanyak 9 Mton CO2e pada skenario CM1 dan 4 Mton CO2e pada skenario CM2. Target penurunan
emisi yang lebih kecil pada CM2 disebabkan oleh proyeksi penggunaan lahan pertanian yang lebih sedikit
dibandingkan pada skenario BAU. Peningkatan produktivitas komoditas pertanian melalui penerapan
teknologi menjadikan sektor pertanian dapat mempertahankan target produksi dengan penggunaan
lahan yang lebih sedikit.

Sebagaimana telah dicantumkan pada Tabel 4-45, terdapat 4 teknologi mitigasi sektor pertanian yang
direncanakan dalam NDC, yakni:

1. Penggunaan varietas rendah emisi di lahan sawah


2. Penerapan sistem pengairan sawah lebih hemat air melalui program SPR/PTT
3. Pemanfaatan limbah ternak untuk biogas
4. Perbaikan suplemen pakan

Selain keempat kegiatan mitigasi diatas, implementasi NDC juga akan mencakup beberapa kegiatan yang
dapat mendukung penerapan praktik pertanian yang baik seperti peningkatan produktivitas dan indeks
penanaman (lihat Tabel 4-45 dan Tabel 4-46) untuk mengurangi permintaan terhadap lahan. Selain
itu juga upaya untuk mengurangi konversi sawah menjadi non-pertanian di pulau Jawa harus menjadi
kegiatan penting untuk mengurangi permintaan lahan di depan (lihat Lampiran 2). Peningkatan
pemanfaatan kayu dari perkebunan pada saat peremajaan, khususnya perkebunan sawit dan karet juga
178 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

merupakan aksi mitigasi penting untuk dapat mengurangi ketergantungan pemenuhan kebutuhan kayu
dari hutan alam.

Perkembangan luas panen, produksi, dan tingkat produktivitas beberapa komoditas pertanian tahun
2014-2018 menunjukkan bahwa hanya produktivitas tanaman jagung dan ubi kayu sudah melampaui
target pada skenario CM1 dan CM2 (lihat Tabel 4-43). Upaya lain untuk mencapai target produksi pangan
tanpa harus melakukan pembukaan lahan pertanian baru adalah dengan mengoptimalkan penggunaan
lahan-lahan yang sudah ada serta melakukan pertanian kombinasi. Khusus untuk tanaman padi,
produktivitas padi baik di Jawa masih berada di bawah proyeksi BAU NDC, sedangkan di luar Jawa sudah
melewati target NDC (lihat Tabel 4-45). Sebaliknya untuk capaian Indeks Pertanaman (IP), di Jawa sudah
melewati target NDC, sedangkan di luar Jawa masih di bawah target (lihat Tabel 4-46).

Program sektor pertanian lain yang dapat mengurangi permintaan pada lahan khususnya untuk lahan
pengembalaan ternak, produksi pakan dan pangan ialah pemanfaatan lahan perkebunan. Integrasi
perkebunan dengan ternak, pengembangan pakan ternak dan pangan sudah dilakukan, namun dampak
dari pelaksanaan kegiatan ini belum diakomodasi dalam perhitungan kebutuhan lahan NDC. Keberhasilan
pelaksanaan program ini, juga akan dapat mengurangi kebutuhan permintaan lahan untuk ternak dan
pangan. Selain pada lahan perkebunan, kegiatan pertanian juga bisa dilakukan di lahan kehutanan
terutama di lahan perhutanan sosial. Di tahun 2017 terdapat 1,2 juta hektare lahan untuk perhutanan
sosial dan di 340.000 hektare diantaranya dilakukan kegiatan pertanian.

4.4.7.1 Penggunaan Varietas Rendah Emisi


Berdasarkan berberapa hasil riset di Indonesia, tingkat emisi varietas padi sangat beragam antar varietas,
yaitu antara 0,075 sampai 0,310 ton/hektare/musim (Tabel 4-89). Varietas dengan tingkat emisi tertinggi
ialah Inpari 15, dan terendah Dodokan. Di dalam NDC, varietas yang digunakan sebagai baseline ialah
Cisadane dengan tingkat emisi sekitar 0,181 ton/hektare/musim. Berdasarkan NDC, varietas yang
digunakan untuk mencapai target penurunan emisi secara umum ialah IR64.

Tabel 4-89
Faktor emisi CH4 berbagai varietas padi di Indonesia

Ranking Varietas Emisi CH4 (ton/hektare/musim)

1 Inpari 15 0,310

2 Inpari 14 0,295

3 Tukad Unda 0,185

4 Cisadane 0,181

5 Inpari 20 0,180

6 Ciherang 0,165

7 Tukad Petanu 0,158

8 Cisantana 0,129

9 Muncul 0,127

10 Way Apoburu 0,125


STRATEGI
PELAKSANAAN 179

Ranking Varietas Emisi CH4 (ton/hektare/musim)

11 Situe Bagendit 0,123

12 Tukad Belian 0,116

13 Memberamo 0,112

14 IR64 0,103

15 IR36 0,101

16 Maros 0,096

17 Inpari 17 0,086

18 Inpari 18 0,082

19 Dodokan 0,075

Sumber: Wiharjaka and Makarim (2001), BPLP (2006), Wiharjaka dan Sarwoto (2015)

Pada tahun 2017, luas lahan sawah beririgasi diperkirakan sekitar 4,745 juta hektare (Kementan, 2018).
Target NDC untuk penerapan varietas padi rendah emisi pada akhir tahun 2030 diharapkan mencapai
0,908 juta hektare untuk CM1 dan sekitar 0,969 juta hektare untuk CM2 (Tabel 4-90) dengan demikian
berdasarkan target tersebut maka diharapkan pada akhir tahun 2030 sekitar seperempat dari luas sawah
sudah menggunakan varietas rendah emisi. Penggunaan varietas padi rendah emisi diarahkan kepada
wilayah dimana praktik penggenangan air pada sawah dilakukan secara terus menerus (continuous flooding)
yang umumnya dilakukan pada wilayah persawahan di Jawa dengan pengairan golongan 1 dan 2. Namun
demikian, sistem pemantauan terkait penggunaan varietas rendah emisi belum berjalan dan perlu
diintegrasikan ke dalam sistem pengumpulan data statistik pertanian.

Tabel 4-90
Target capaian NDC kegiatan aksi mitigasi penggunaan varietas padi rendah emisi

Rata-Rata Kumulatif
Skenario
per tahun 2011-2019 2011-2024 2011-2029 2011-2030
BAU - - - - -
CM1 (000 hektare) 45 410 636 862 908
CM2 (000 hektare) 49 422 666 918 969

4.4.7.2 Pelaksanaan Program SRI/PTT


Baik program SRI maupun PTT bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman pangan, khususnya padi,
dengan metode ramah lingkungan yang salah satunya adalah melalui peningakatan efisiensi penggunaan
air dan penggunaan pupuk organik. Peningkatan efisiensi dilakukan dengan mengatur pemberian air
irigasi dari sistem penggenangan terus menerus menjadi penggenangan berkala atau berselang
(intermittent) atau macak-macak. Akan tetapi, pelaksanaannya memiliki kendala karena keterbatasan
pengetahuan petani akan prosedur dan manfaatnya dan berfungsinya sistem pengaturan air irigasi yang
baik. Oleh karena itu, penerapannya hanya memungkinkan pada lahan sawah beririgasi yang sistem
pengaturan air yang baik.
180 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Berdasarkan target NDC, target luas lahan yang sudah menerapkan sistem ini sampai akhir 2030
mencapai 1,95 juta hektare untuk CM1 dan 2,07 juta hektare untuk CM2 (Tabel 4-91). Luas lahan beririgasi
yang tersedia dan berpotensi untuk melaksanakan kegiatan ini masih cukup luas yaitu melebihi 3 juta
hektare. Pada saat ini dari luas lahan sawah beririgasi sekitar 4,745 juta hektare, yang akan digunakan untuk
penerapan varietas rendah emisi sekitar 1 juta hektare. Dengan demikian lahan yang tersedia untuk
penerapan teknologi hemat air adalah sekitar 3,745 juta hektare, melebihi target NDC.

Tabel 4-91
Target capaian NDC kegiatan aksi mitigasi peningkatan sistem pengairan sawah

Rata-Rata Kumulatif
Kegiatan Aksi Skenario
per tahun 2011-2019 2011-2024 2011-2029 2011-2030

BAU 29 125 332 540 581


Penerapan Sistem
Pengairan Sawah CM1 98 608 1.219 1.830 1.953
Lebih Hemat Air CM2 103 624 1.277 1.937 2.070
(000 hektare)
Aktual2 - - - - -

Implementasi kegiatan SRI/PTT yang tercatat hanya yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan
sifatnya merupakan program percontohan. Diharapkan keberhasilan dari pelaksanaan kegiatan pi-
lot dapat dikembangkan atau direplikasi oleh pihak lain. Namun demikian sistem pengumpulan data
pelaksanaan kegiatan pasca kegiatan pilot pada lokasi lain belum terbangun sehingga sulit untuk dapat
dipantau dampak keseluruhan dari pelaksanaan program ini terhadap penurunan emisi. Pengintegrasian
proses pengumpulan data terkait kegiatan ini ke dalam sistem pengumpulan data statistik pertanian perlu
segera dilakukan (lihat Bab 5).

4.4.7.3 Pemanfaatan limbah ternak untuk biogas


Seiring dengan meningkatnya permintaan akan produk daging, maka jumlah ternak juga akan semakin
meningkat dan emisi yang dihasilkan dari kegiatan peternakan juga akan terus meningkat. Penurunan
emisi dari kegiatan peternakan ditargetkan berasal dari pengelolaan kotoran ternak serta perbaikan
kualitas pakan yang keduanya terutama merupakan penghasil gas CH4. Penurunan emisi dari pelaksanaan
kegiatan ini akan mencapai target penurunan emisi yang ditetapkan oleh NDC apabila jumlah ternak yang
kotorannya sudah dimanfaatkan untuk produksi biogas pada akhir tahun 2030 mencapai 0,314 juta ekor
ternak (lihat Tabel 4-92).

Tabel 4-92
Target capaian NDC kegiatan aksi mitigasi pemanfaatan limbah ternak untuk biogas

Rata-Rata Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif


Kegiatan Aksi Skenario
per tahun Akhir 2019 (akhir 2024) Akhir 2029 akhir 2030
Pemanfaatan Lim- BAU - - - - -
bah Ternak Untuk CM1 17 64 153 283 314
Biogas (000 hewan
ternak) CM2 17 64 153 283 314
STRATEGI
PELAKSANAAN 181

Berdasarkan data statistik pertanian, populasi ternak besar ruminansia hampir mencapai 20 juta ekor,
yang terbesar ialah sapi potong yang mencapai 17 juta ekor (Tabel 4-93). Besar populasi ternak ini jauh
di atas kebutuhan NDC sehingga implementasi aksi mitigasi sektor peternakan sangat memungkinkan.

Tabel 4-93
Populasi beberapa jenis ternak (dalam ribuan ekor) tahun 2014-2018

Jenis Ternak 2014 2015 2016 2017 2018


Sapi potong 14.727 15.420 15.997 16.429 17.050
Sapi perah 503 519 534 540 550
Kerbau 1.335 1.347 1.355 1.322 1.356
Kuda 428 430 424 409 421
Kambing 18.640 19.013 17.862 18.208 18.721
Domba 16.092 17.025 15.717 17.142 17.398
Babi 7.694 7.808 7.904 8.261 8.542
Ayam Petelur 146.660 155.007 161.364 176.937 181.752
Ayam Pedaging 1.443.349 1.528.329 1.632.801 1.848.731 1.891.435
Itik 45.268 45.322 47.423 49.056 51.239

Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2018. Kementerian Pertanian, 2019

Pelaksanaan kegiatan pemanfaatan kotoran ternak untuk produksi biogas dapat diarahkan pada
peternakan besar maupun skala komunitas yang ternaknya dikandangkan. Hal ini karena dibutuhkan
kotoran dengan volume besar dan biaya pembuatan biodigester juga tergolong mahal. Pembangunan
biogas skala kecil relatif kurang berhasil karena pemanfaatannya yang tidak optimal dan gas yang
dihasilkan juga terbuang karena tidak ada perawatan dan pemasangan fasilitas flaring juga memerlukan
biaya dan perawatan yang tidak mudah.

Pengelolaan kotoran ternak dalam skenario CM1 NDC ditargetkan mencapai 0,314 juta ternak yang
berada di peternakan skala besar dan komunal, sehingga kemungkinan besar pelaksanaannya hanya
dapat dilakukan di wilayah Barat Indonesia (Jawa, Sumatera, Bali). Pada wilayah-wilayah ini, peternakan
besar atau komunitas dapat memasang biodigester skala menengah seperti pada tipe fixed dome yang
dapat menghasilkan cukup biogas untuk pemanfaatan lanjutan seperti untuk pembangkitan listrik. Sistem
pengolahan kotoran ternak seperti ini juga menghasilkan sludge yang dapat digunakan sebagai tambahan
pupuk organik. Pada sistem pertanian kombinasi seperti agrosilvopastura, pengembangan biogas tidak
hanya dapat mengurangi emisi GRK dari pencegahan timbulnya CH4 melainkan juga mengurangi emisi
GRK dari konsumsi listrik berbasis fosil serta dari penggunaan pupuk non-organik.

Renstra Kementerian Pertanian tahun 2018 telah memasukkan peningkatan fasilitas pengolahan biogas,
kompos dan pupuk cair kedalam program kerjanya dengan target pelaksanaan yang meningkat dari
tahun ke tahun. Selain dari program pemerintah, kegiatan seperti ini diharapkan dapat dikembangkan
melalui peran serta swasta, LSM serta swadaya masyarakat. Namun demikian, seperti halnya SRI/PTT,
pelaksanaan kegiatan ini juga banyak yang terbatas pada skala percontohan dan mekanisme
pengumpulan data dari pelaksanaan kegiatan pasca pilot juga belum terbangun sehingga sulit memantau
dan mengukur dampak keseluruhan dari pelaksanaan program ini terhadap penurunan emisi. Untuk
mendukung kegiatan ini, diperlukan inovasi kebijakan yang mewajibkan peternakan skala besar untuk
memanfaatkan kotoran ternak untuk produksi biogas dan juga mendorong perusahaan skala besar untuk
kerjasama dengan masyarakat dalam mengembangkan biogas.
182 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.4.7.4 Perbaikan suplemen pakan ternak


Porsi pakan ternak tinggi konsentrat berpotensi menimbulkan lebih banyak emisi fermentasi enterik
pada ternak ruminansia dari pada porsi pakan ternak dengan hijauan. Beberapa penelitian tengah
dikembangkan oleh Kementerian Pertanian guna mengidentifikasi tipe pakan hijauan dengan kandungan
tanin tinggi yang dapat mengurangi pembentukan gas metana pada hewan ruminansia. Perbaikan
pakan ternak dengan penambahan porsi hijauan perlu ditunjang dengan suplai hijauan baik melalui
penanaman tanaman hijauan tersebut maupun melalui pengembangan pakan dengan kandungan tanin,
seperti leguminosa atau kacang-kacangan. Esktrak dari tanaman ini dapat diambil taninnya sebagai pakan
aditif. Selain itu, beberapa teknologi perbaikan pakan untuk dapat menekan emisi dari pencernaan
hewan dan produktivitasnya juga sudah tersedia dan beberapa diantaranya ialah urea molasses blok
(Tabel 4-94), sudah mulai digunakan petani. Seperti SRI/PTT, mekanisme pengumpulan data dari
pelaksanaan kegiatan pasca pilot juga belum terbangun sehingga sulit memantau dan mengukur dampak
keseluruhan dari pelaksanaan program ini terhadap penurunan emisi.

Tabel 4-94
Suplemen pakan ternak untuk penurunan emisi metana

Penurunan Emisi (kg


Supplemen Pakan Negara Deskripsi
CH4/ekor/tahun)

Meningkatkan produksi susu hingga 10-30%


(pada sapi perah), meningkatkan efisiensi
Mineral blok (MNB) Indonesia, Tiongkok 15,4 (3,8 - 27)
penggunaan protein, meningkatkan efisiensi
konversi pakan

Meningkatkan efisiensi konversi pakan,


Indonesia,
meningkatkan produksi susu hingga 25%,
Urea molasses block Bangladesh, 14,0
mengurangi pembentukan CH4 hingga 27%,
Myanmar, India
meningkatkan produktivitas ternak sebesar 60%

Jerami direndam dalam larutan urea 2%


Perlakuan urea Tiongkok, Indonesia, selama 15 hari, meningkatkan kapasitas cerna
6,1 (3,8 – 8,3)
pada jerami Myanmar, Vietnam hingga 25%, meningkatkan produksi susu
hingga 20-30%

Perlakuan pakan Meningkatkan kapasitas cerna hingga 5%,


Vietnam, Republik
secara kimiawi/ meningkatkan pertambahan bobot (6kg/th), 10,0 (5,0 -15)
Korea
mekanis mengurangi pembentukan CH4 hingga 10-30%

Pada NDC, perbaikan suplemen pakan ternak ditargetkan untuk diberikan kepada sekitar 11,6 juta ternak
(Tabel 4-95). Aksi mitigasi ini ditargetkan terutama untuk sapi potong dan sapi perah. Sebagaimana halnya
dengan pelaksanaan aksi mitigasi pemanfaatan limbah ternak untuk biogas, aksi mitigasi ini penerapan-
nya juga lebih diarahkan pada ternak-ternak yang dikandangkan sehingga wilayah pelaksanaannya akan
lebih banyak berada di Indonesia bagian barat. Jika membandingkan jumlah sapi potong dan sapi perah
di tahun 2018 sebesar 17,6 juta ekor dengan target capaian NDC per akhir tahun 2019 sebesar 2,7 juta
ekor maka kemungkinan besar target NDC di tahun 2030 akan dapat tercapai, terutama apabila laju
pertumbuhan ternak ini tidak mengalami penurunan.
STRATEGI
PELAKSANAAN 183

Tabel 4-95
Target capaian NDC kegiatan aksi mitigasi perbaikan suplemen pakan ternak

Rata-Rata Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif


Kegiatan Aksi Skenario
per tahun Akhir 2019 (akhir 2024) Akhir 2029 akhir 2030

Perbaikan Suplemen BAU - - - - -


Pakan (000 hewan
ternak) CM1 639 2.414 5.708 10.469 11.602

CM2 639 2.414 5.708 10.469 11.602

4.4.8 Biaya
Kebutuhan biaya untuk pelaksanaan kegiatan mitigasi sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan
lahan (AFOLU) dihitung berdasarkan standar biaya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Badan Restorasi Gambut serta hasil survei dan kajian literatur.

4.4.8.1 Biaya Aksi Mitigasi Kehutanan dan Perubahan Lahan


Aksi mitigasi di sektor kehutanan dan perubahan lahan dibagi menjadi aksi mitigasi yang akan
mencegah dan/atau mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan; menerapkan pengelolaan hutan
lestari; meningkatkan serapan karbon melalui rehabilitasi hutan dan lahan; serta memperbaiki kondisi
lahan gambut melalui revegetasi dan manajemen tata air. Untuk mengetahui besarnya kebutuhan dana
guna mencapai target NDC, pertama diidentifikasi standar biaya per unit untuk masing-masing aksi
mitigasi (Tabel 4-96). Nilai-nilai standar ini diolah dari laporan analisis biaya untuk pencapaian target NDC
di Indonesia.

Tabel 4-96
Biaya per unit berbagai aksi mitigasi NDC sektor kehutanan

Biaya Investasi Biaya Satu Daur Hidup


Aksi Mitigasi
(Juta Rp/hektare) (Juta Rp/hektare)

Pengurangan Laju Deforestasi 3,90 10,63

Sustainable Forest Management 0,26 0,62

Laju Rehabilitasi Tanpa Rotasi 1,37 2,34

Laju Rehabilitasi Lahan Dengan Rotasi 2,17 4,46

Pembangunan HTI 9,14 21,75

Restorasi Gambut 5,96 6,57

Perbaikan Tata Air Gambut 0,06 0,18


184 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Biaya untuk kegiatan restorasi gambut mencakup rata-rata biaya untuk kegiatan rewetting dan revegetasi.
Selain itu, biaya pencegahan serta penanganan kebakaran gambut tidak dibuat terpisah melainkan juga
sudah dipertimbangkan dalam biaya kegiatan restorasi gambut, sehingga peningkatan kegiatan restorasi
gambut akan mengurangi potensi kebakaran gambut. Biaya untuk pelaksanaan kegiatan aksi pemulihan
lahan gambut merupakan biaya tambahan untuk perbaikan sistem tata air dari kegiatan manajemen tata
air yang sudah dilakukan pemegang konsesi sehingga baik biaya investasi maupun biaya satu daur hidup
untuk kegiatan ini tidak besar.

Estimasi kebutuhan biaya pelaksanaan aksi mitigasi NDC dihitung dengan mengalikan luas area target
pelaksanaan NDC sebagaimana yang dijelaskan di Bab 4 dengan biaya per unitnya (Tabel 4-96). Dari
pendekatan tersebut didapatkan estimasi kebutuhan biaya investasi dan biaya satu daur hidup aksi
mitigasi NDC yang disajikan pada Tabel 4-97 danTabel 4-98.

Total biaya investasi yang diperlukan untuk melaksanakan semua kegiatan mitigasi sektor FOLU dari
tahun 2013 sampai 2030 untuk mencapai target CM1 mencapai 127 triliun rupiah atau sekitar 7,07 triliun
rupiah per tahun, sedangkan untuk mencapai target CM2 sebesar 138 triliun rupiah atau sekitar 7,67 trili-
un rupiah per tahun. Sementara total biaya per daur hidup yang diperlukan untuk mencapai target CM1
mencapai sekitar 309 triliun rupiah atau 17,2 triliun rupiah per tahun, dan untuk target CM2 sebesar 322
triliun rupiah atau sekitar 18 triliun rupiah per tahun.

Tabel 4-97
Estimasi kebutuhan biaya investasi pelaksanaan aksi mitigasi NDC

Kebutuhan biaya investasi (Miliar Rp)


Kegiatan Aksi Skenario Rata-Rata Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif
Tahunan 2013-2019 2013-2024 2013-2029 2013-2030

Pengurangan Laju CM1 1.569 11.073 19.109 26.738 28.236


Deforestasi Lahan
Mineral CM2 2.235 15.371 26.848 38.024 40.231

Pengurangan Laju CM1 223 125 217 281 294


Deforestasi Lahan
Gambut CM2 232 73 109 126 129

Pengurangan Laju CM1 1.629 12.445 19.755 26.706 28.099


Degradasi Lahan
Mineral CM2 2.279 8.230 12.183 15.686 16.391

Pengurangan Laju CM1 224 128 220 285 297


Degradasi Lahan
Gambut CM2 233 76 113 130 132

Pengelolaan CM1 44 168 401 721 795


Hutan Lestari CM2 84 332 775 1.369 1.504

Rehabilitasi CM1 142 996 1.707 2.418 2.560


Lahan Tanpa
Rotasi CM2 237 1.659 2.845 4.030 4.267

Rehabilitasi Lahan CM1 375 2.628 4.506 6.383 6.759


Dengan Rotasi CM2 338 2.366 4.055 5.745 6.083
STRATEGI
PELAKSANAAN 185

Kebutuhan biaya investasi (Miliar Rp)


Kegiatan Aksi Skenario Rata-Rata Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif
Tahunan 2013-2019 2013-2024 2013-2029 2013-2030

CM1 2.925 20.474 35.098 49.722 52.646


Pembangunan HTI
CM2 2.925 20.474 35.098 49.722 52.646

CM1 416 2.912 4.991 7.071 7.487


Restorasi Gambut
CM2 929 6.505 11.152 15.798 16.728

Pengelolaan Tata CM1 - 38 52 52 52


Air Gambut CM2 - 45 52 52 52

CM1 50.988 86.056 120.377 127.225


Total
CM2 55.132 93.231 130.681 138.162

Tabel 4-98
Estimasi kebutuhan biaya daur hidup pelaksanaan aksi mitigasi NDC

Kebutuhan dana – lifecycle cost (Miliar Rp)


Kegiatan Aksi Skenario
Rata-Rata Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif
Tahunan 2013-2019 2013-2024 2013-2029 2013-2030

Pengurangan CM1 4.276 30.182 52.084 72.877 76.960


laju
deforestasi
CM2 6.092 41.897 73.179 103.639 109.655
lahan mineral

Pengurangan CM1 607 341 591 767 801


laju
deforestasi
CM2 632 200 298 343 350
lahan gambut

Pengurangan CM1 4.439 33.921 53.846 72.792 76.588


laju degradasi
lahan mineral CM2 6.212 22.432 33.207 42.756 44.675

Pengurangan CM1 610 349 601 776 810


laju degradasi
lahan gambut CM2 635 208 308 353 360

CM1 105 401 956 1.719 1.896


Pengelolaan
Hutan Lestari
CM2 199 791 1.849 3.264 3.586

Rehabilitasi CM1 243 1.701 2.915 4.130 4.373


lahan tanpa
rotasi CM2 405 2.834 4.859 6.884 7.288

Rehabilitasi CM1 772 5.402 9.261 13.120 13.892


lahan dengan
rotasi CM2 695 4.862 8.335 11.808 12.502
186 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Kebutuhan dana – lifecycle cost (Miliar Rp)


Kegiatan Aksi Skenario
Rata-Rata Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif
Tahunan 2013-2019 2013-2024 2013-2029 2013-2030

CM1 6.960 48.720 83.520 118.320 125.280


Pembangunan
HTI
CM2 6.960 48.720 83.520 118.320 125.280

CM1 459 3.210 5.502 7.795 8.253


Restorasi
Gambut
CM2 1.024 7.171 12.293 17.415 18.440

Pengelolaan CM1 - 114 156 156 156


Tata air
gambut - 135 156 156 156

CM1 124.342 209.431 292.452 309.008


Total
CM2 129.250 218.004 304.937 322.293
STRATEGI
PELAKSANAAN 187

4.4.8.2 Biaya Aksi Mitigasi Pertanian


Estimasi biaya mitigasi sektor pertanian dihitung untuk 4 jenis kegiatan aksi yakni peningkatan suplemen
pakan ternak, pengembangan biogas dari kotoran ternak, penerapan varietas padi rendah emisi serta
perbaikan pengelolaan air (irigasi). Biaya per unit target kegiatan aksi tersebut disajikan pada Tabel 4-99.
Estimasi biaya untuk kegiatan aksi di sektor peternakan merupakan biaya instalasi penuh (pembuatan
baru), sementara biaya untuk perbaikan irigasi dan penerapan varietas padi rendah emisi merupakan
tambahan biaya dibandingkan dengan biaya teknologi yang sudah lebih umum digunakan.

Tabel 4-99
Biaya per unit target kegiatan mitigasi sektor pertanian

Kegiatan aksi Unit target Biaya per unit target (Rp)

Perbaikan suplemen pakan ternak Ekor/tahun 326.400

Pengembangan biogas dari kotoran ternak Ekor/tahun 621.350

Perbaikan pengelolaan air sawah (irigasi) hektare/tahun 1.631.760

Penerapan varietas padi rendah emisi hektare/tahun 67.125

Dengan estimasi biaya per unit target mitigasi sebagaimana dijelaskan di atas, maka kebutuhan dana un-
tuk pelaksanaan NDC di sektor pertanian sampai tahun 2030 untuk mencapai target CM1 ialah sebesar
Rp 7,23 triliun Rp 0,361 triliun per tahun, sedangkan untuk mencapai target CM2 sebesar Rp 7,42 triliun
atau sekitar Rp 0,371 triliun per tahun. Secara rinci biaya total dan rata-rata untuk pelaksanaan per aksi
mitigasi pada sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 4-100.

Tabel 4-100
Kebutuhan dana pelaksanaan aksi mitigasi NDC sektor pertanian

Kebutuhan Biaya Investasi (Miliar Rupiah)


Kegiatan Aksi Skenario Rata-Rata Kumulatif Kumulatif Kumulatif Kumulatif
Tahunan 2011-2019 2011-2024 2011-2029 2011-2030

Penggunaan Varietas CM1 3,05 27,50 42,69 57,89 60,93


Rendah Emisi di Lahan
Sawah (000 hektare) CM2 3,25 28,35 44,73 61,61 65,05

Penerapan Sistem CM1 159,32 992,23 1.989,24 2.986,78 3.186,44


Pengairan Sawah Lebih
Hemat Air (000 hektare) CM2 168,85 1.017,74 2.083,33 3.160,25 3.377,06

Pemanfaatan Limbah CM1 9,76 39,95 95,16 175,81 195,13


Ternak Untuk Biogas
(000 hewan ternak) CM2 9,76 39,95 95,16 175,81 195,13

Perbaikan Suplemen CM1 189,34 787,91 1.863,22 3.417,05 3.786,89


Pakan (000 hewan ternak) 189,34 787,91 1.863,22 3.417,05 3.786,89

CM1 1.848 3.990 6.638 7.229


Total
CM2 1.874 4.086 6.815 7.424
188 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

4.4.8.3 Strategi Pendanaan


Pada subsektor perubahan lahan dan kehutanan, kegiatan-kegiatan aksi yang berkaitan dengan
pengelolaan hutan lestari, pembangunan HTI serta perbaikan tata air gambut akan lebih banyak dilakukan
oleh swasta dan demikian juga pendanaannya. Sementara untuk kegiatan rehabilitasi lahan serta
restorasi gambut akan melibatkan peran serta masyarakat serta pemerintah daerah.

Pendanaan untuk upaya penurunan laju deforestasi dan degradasi hutan akan membutuhkan
kontribusi dari semua pihak, baik pemerintah maupun pemerintah daerah, sektor swasta serta
masyarakat. Selain itu, mekanisme Result-Based Payment (RBP) REDD+ baik dari LoI Norwegia, the
Green Climate Fund (GCF), maupun Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) juga bisa digunakan untuk
membantu mendukung perangkat pelaksanaan kegiatan aksi serta memberikan insentif atas capaian
penurunan emisi GRK yang terjadi.

Dari peluang pendanaan komersial, dimulai tahun 2018 telah diterbitkan Obligasi dan Sukuk Hijau
untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang memiliki aspek berkelanjutan seperti pengembangan energi baru
terbarukan, pengelolaan air bersih, serta transportasi ramah lingkungan. Di subsektor pertanian,
Kementerian Pertanian telah memiliki alokasi anggaran dari APBN untuk bantuan peremajaan tanaman
bagi petani perkebunan seperti karet, kakao, kopi, dan tanaman komoditas utama lainnya. Khusus untuk
tanaman sawit, dana bantuan berasal dari BPD PKS.

4.4.9 Pemantauan dan Pelaporan Aksi Mitigasi Sektor Kehutanan


Pemantauan dan pelaporan kegiatan mitigasi di sektor kehutanan akan memerlukan dukungan informasi
kehutanan seperti hasil pemetaan perubahan tutupan lahan, tingkat serapan karbon berbagai spesies
tanaman serta adanya petak ukur permanen. Pemantauan dan Pelaporan aksi mitigasi Sektor Kehutanan
dapat didekati dari tugas dan fungsi masing-masing Eselon I di Kementerian LHK yang berhubungan
dengan aksi mitigasi. Kebijakan Menteri Kehutanan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.42 Tahun 2010 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan yang merupakan turunan dari
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan turunan dari
Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, pada Pasal 4 menyebutkan bahwa sistem rencana
kehutanan ada 2 (dua), yaitu: (1) Rencana Kawasan Hutan dan (2) Rencana Pembangunan Kehutanan.
Rencana Kawasan Hutan berhubungan dengan fungsi pokok kawasan hutan. Sementara Rencana
Pembangunan Kehutanan tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja Tahunan
(Renja) Kehutanan.

Setiap rencana pembangunan (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota dan Unit Pengelolaan) yang
menyebabkan perubahan (penambahan dan pengurangan) luas dan spasial arahan pemanfaatan
kawasan hutan yang berdampak terhadap perubahan luas dan fungsi kawasan hutan harus berpedoman
kepada peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia yakni Undang-Undang Kehutanan
Nomor 41 Tahun 1999 untuk menjaga dan mengawal fungsi pokok kawasan hutan (Konservasi, Lindung
dan Produksi) untuk kepentingan bangsa Indonesia dalam jangka panjang.

Secara umum Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL). bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan terhadap luas dan fungsi kawasan hutan.
Berdasarkan RKTN Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49 Tahun 2011, arahan pemanfaatan kawasan
STRATEGI
PELAKSANAAN 189

hutan ada 6 meliputi: Konservasi (KH Konservasi), Perlindungan Hutan Alam dan Lahan Gambut (KH
Lindung), Rehabilitasi (KH Rehabilitasi), Pengusahaan Hutan Skala Besar atau Korporasi, Pengusahaan
Hutan Skala Kecil atau Kemitraan Masyarakat, dan Non Kehutanan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2007 jo. Nomor 3 Tahun 2008, maka dalam setiap kawasan hutan Konservasi dan
kawasan hutan Lindung serta kawasan hutan Rehabilitasi ada peluang pemanfaatan, meliputi: peman-
faatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan pemanfaatan jasa lingkungan. Hubungan
antara arahan pemanfaatan kawasan hutan, pola pengelolaan dan pemanfaatan, pihak yang bertanggung
jawab atau pelaksana terhadap aksi mitigasi dan pihak yang menjadi pembina dan pengawas serta
pemantauan dan pelaporan aksi mitigasi tertera pada Tabel 4-101. Sementara uraian implementasi
aksi mitigasi, perubahan arahan pemanfaatan kawasan hutan, pola pemanfaatan, penanggung jawab/
pelaksana, pembina dan pengawas, pemantauan dan pelaporan aksi mitigasi tertera pada Tabel 4-102.

Tabel 4-101
Rincian arahan pemanfaatan kawasan hutan, pola pemanfaatan, penanggung jawab/
pelaksana, pembina dan pengawas, pemantauan dan pelaporan aksi mitigasi

Arahan Penanggung
Pola Pengelolaan Pembina dan
Pemanfaatan Jawab/ Pelaporan Pemantauan
Pemanfaatan Pengawas Aksi
KH Pelaksana Aksi
Pengelolaan Swakelola Balai Besar atau Direktorat Pemolaan Ditjen KSDAE. Ditjen
oleh Balai Besar atau Balai atau UPT dan Informasi Pengendalian
Balai atau UPT Ditjen Ditjen KSDAE di Konservasi Alam Perubahan
Konservasi Sumber Daya lapangan (Ditjen KSDAE). Iklim (PPI)
Alam dan Ekosistem
(KSDAE)
Kerjasama pemanfaatan Pemilik izin usaha Balai Besar, Balai, Ditjen KSDAE. Ditjen
kawasan, HHBK, dan pemanfaatan UPT, Direktorat Pengendalian
KH Konservasi
jasa lingkungan dengan (kawasan, HHBK Pemolaan dan Perubahan
pemilik izin/ investor dan jasa lingkun- Informasi Konservasi Iklim (PPI)
gan) Alam (Ditjen KSDAE).
Kerjasama pemanfaatan Pemilik izin usaha Balai Besar, Balai, Ditjen KSDAE. Ditjen
kawasan, HHBK, dan jasa pemanfaatan UPT, Direktorat Pengendalian
lingkungan dengan masyarakat atau Pemolaan dan Perubahan
masyarakat atau kelompok mas- Informasi Konservasi Iklim (PPI)
kelompok masyarakat yarakat Alam (Ditjen KSDAE).
Swakelola oleh UPT UPT Ditjen Direktorat Ditjen Ditjen
Direktorat Jenderal PDASHL di lapa- Perencanaan dan PDASHL. Pengendalian
KH Pengendalian Daerah ngan Evaluasi Pengelolaan Perubahan
Perlindungan Aliran Sungai dan Hutan DAS (Ditjen PDASHL). Iklim (PPI)
Hutan Alam Lindung (PDASHL)
dan Lahan Swakelola oleh Pengelola Pengelola KPHL Dinas Kehutanan Ditjen Ditjen
Gambut KPHL Provinsi dan Ditjen PDASHL. Pengendalian
PDASHL. Perubahan
Iklim (PPI)
190 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Arahan Penanggung
Pola Pengelolaan Pembina dan
Pemanfaatan Jawab/ Pelaporan Pemantauan
Pemanfaatan Pengawas Aksi
KH Pelaksana Aksi
Kerjasama pemanfaatan Pemilik izin usaha UPT, Direktorat Ditjen Ditjen
kawasan, HHBK, dan pemanfaatan Perencanaan dan PDASHL. Pengendalian
jasa lingkungan dengan (kawasan, HHBK Evaluasi Pengelolaan Perubahan
pemilik izin/ investor dan jasa DAS (Ditjen PDASHL), Iklim (PPI)
lingkungan) Dinas Kehutanan
Provinsi.
Kerjasama pemanfaatan Pemilik izin usaha UPT Ditjen PDASHL, Ditjen Ditjen
kawasan, HHBK, dan jasa pemanfaatan Direktorat Perenca- PDASHL. Pengendalian
lingkungan dengan mas- masyarakat atau naan dan Evaluasi Perubahan
yarakat atau kelompok kelompok Pengelolaan DAS, Iklim (PPI)
masyarakat masyarakat Ditjen PDASHL, Dinas
Kehutanan Provinsi.
Swakelola oleh UPT UPT Ditjen Direktorat Ditjen Ditjen
DitJen PDASHL PDASHL di lapa- Perencanaan dan PDASHL. Pengendalian
ngan Evaluasi Pengelolaan Perubahan
DAS (Ditjen PDASHL). Iklim (PPI)
Swakelola oleh Pengelola Pengelola KPH Dinas Kehutanan Ditjen Ditjen
KPH Provinsi dan Ditjen PDASHL. Pengendalian
PDASHL Perubahan
KH Rehabilitasi
Iklim (PPI)
Kerjasama rehabilitasi Pemilik UPT, Dit. Ditjen Ditjen
dengan masyarakat atau kerjasama Perencanaan dan PDASHL. Pengendalian
kelompok masyarakat rehabilitasi Evaluasi Pengelolaan Perubahan
masyarakat atau DAS (Ditjen PDASHL) Iklim (PPI)
kelompok dan Dinas Kehutanan
masyarakat Provinsi.
KH Pengusa- Izin Usaha IUPHHK-HA, Pemilik izin usaha Direktorat Kesatuan Ditjen PHPL. Ditjen
haan Skala IUPHHK-HT, dan IUPH- (IUPHHK-HA, Pengelolaan Hutan Pengendalian
Besar atau HK-RE IUPHHK-HT dan Produksi (Ditjen Perubahan
Korporasi IUPHHK-RE) PHPL). Iklim (PPI)
KH Pengusa- Izin Usaha HKm, HTR, Pemilik izin usaha Dit. Penyiapan Ditjen PSKL Ditjen
haan Skala HD, Kemitraan Usaha (HKm, HTR, HD, Kawasan Perhutanan Pengendalian
Kecil atau dan Kemitraan Sosial (Ditjen PSKL). Perubahan
Kemitraan Usaha) Iklim (PPI)
Masyarakat
Izin HGU Pemilik izin HGU Dinas Pertanahan Kem. Agra- *
dan Kem. Agraria dan ria dan Tata
Tata Ruang/Badan Ruang/ Badan
Pertanahan Nasional Pertanahan
(ATR-BPN) Nasional
KH Non (ATR-BPN)
Kehutanan
(HGU) Lahan di luar HGU Dinas Pertanahan Kem. Agraria dan Kem. Agra- *
Kabupaten/ Kota/ Tata Ruang/Badan ria dan Tata
Provinsi Pertanahan Nasional Ruang/ Badan
(ATR-BPN) Pertanahan
Nasional
(ATR-BPN)

Catatan: *Perlu dibangun mekanisme terkait pemantauan dan pelaporan pemanfaatan lahan non-kehutanan dalam rangka
mencapai target NDC, mengingat sampai saat ini belum ada linkage antara pemberian izin kawasan non-hutan yang
berada di bawah kewenangan ATR-BPN dengan pelepasan kawasan hutan yang berada di bawah kewenangan KLHK.
STRATEGI
PELAKSANAAN 191

Tabel 4-102
Rincian implementasi aksi mitigasi, perubahan arahan pemanfaatan kawasan hutan,
pola pemanfaatan, penanggung jawab/ pelaksana aksi mitigasi, pembina dan pengawas
aksi mitigasi

Pola Pe-
Arahan Penanggung
ngelolaan Pembina dan Pemantau-
Aksi Mitigasi Peman- Jawab/ Pelaporan
Peman- Pengawas Aksi an
faatan KH Pelaksana Aksi
faatan

Penurunan Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam yang terencana (Planned)

Moratorium Izin Baru KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Direktorat Ditjen PHPL. Ditjen
dan Penyempurnaan Pengusa- HK-HA ha IUPHHK-HA Kesatuan Pengenda-
haan Skala Pengelolaan lian Peru-
Besar Hutan Produksi bahan Iklim
(Ditjen PHPL), (PPI)
Dinas Kehutanan
Provinsi.

Pencegahan pene- KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT atau Ditjen PHPL. Ditjen
bangan hutan alam Pengusa- HK-HA ha IUPHHK-HA Pengelola KPH, Pengenda-
di areal IUPHHK-HA haan Skala Direktorat Kesa- lian Peru-
secara tidak sah Besar tuan Pengelolaan bahan Iklim
Hutan Produksi (PPI)
(Ditjen PHPL), dan
Dinas Kehutanan
Provinsi.

Penetapan alokasi Rencana Optimasi Balai Pemetaan Dit. Rencana Ditjen PKTL. Ditjen
emisi di suatu wilayah Kawasan peman- Kawasan Hutan Penggunaan dan Pengenda-
ditetapkan Hutan faatan (BPKH) DitJen Pembentukan lian Peru-
berdasarkan kondisi kawasan PKTL Wilayah Pengelo- bahan Iklim
biogeofisiknya hutan laan Hutan (Ditjen (PPI)
PKTL).

Penetapan fungsi Rencana Optimasi Balai Pemetaan Dit. Rencana Ditjen PKTL. Ditjen
kawasan dan Kawasan peman- Kawasan Hutan Penggunaan dan Pengenda-
perannya dalam Hutan faatan (BPKH), Pembentukan lian Peru-
menyediakan layanan kawasan Direktorat Wilayah Pengelo- bahan Iklim
jasa lingkungan atau hutan Usaha Hutan laan Hutan (Ditjen (PPI)
jasa ekosistem Produksi, Ditjen PKTL)
PKTL

Tidak melakukan KH IUPH- Pemilik izin usa- Dit. Kesatuan Ditjen PHPL. Ditjen
penebangan hutan Pengusa- HK-HA ha IUPHHK-HA Pengelolaan Pengenda-
alam primer yang ada haan Skala Hutan Produksi lian Peru-
di areal IUPHHK-HT Besar (DitJen PHPL). bahan Iklim
yang masuk wilayah (PPI)
fungsi lindung Eko-
sistem Gambut

Perlindungan dan KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL Ditjen
pengelolaan areal Pengusa- HK-HA ha IUPHHK-HA an Pengelolaan Pengenda-
IUPHHK-HA hutan haan Skala Hutan Produksi lian Peru-
primer masuk dalam Besar (Ditjen PHPL), bahan Iklim
wilayah fungsi Dinas Kehutanan (PPI)
Ekosistem Gambut Provinsi
192 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Pola Pe-
Arahan Penanggung
ngelolaan Pembina dan Pemantau-
Aksi Mitigasi Peman- Jawab/ Pelaporan
Peman- Pengawas Aksi an
faatan KH Pelaksana Aksi
faatan

Penyelamatan hutan KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL Ditjen
alam primer di areal Pengusa- HK-HA ha IUPHHK-HA an Pengelolaan Pengenda-
kerja IUPHHK-HA haan Skala Hutan Produksi lian
melalui penurunan Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
volume dan luas Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
tebangan terhadap Provinsi
Perusahaan (IUPH-
HK-HA) dengan
realisasi tebangan di
bawah Rencana Kerja
Tahunan (RKT)

Penyelamatan hutan KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL Ditjen
alam primer Pengusa- HK-HA ha IUPHHK-HA an Pengelolaan Pengenda-
sebagaimana diatur haan Skala Hutan Produksi lian
dalam Instruksi Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
Presiden Nomor 5 Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
Tahun 2019 Provinsi

Pengelolaan hutan KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL Ditjen
alam sekunder Pengusa- HK-HA ha IUPHHK-HA an Pengelolaan Pengenda-
yang masuk wilayah haan Skala Hutan Produksi lian
budidaya Ekosistem Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
Gambut secara lestari Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
sebagaimana diatur Provinsi
dalam Prinsip Kriteria
Indikator Pengelolaan
Hutan Alam Lestari

Perlidungan dan Non Izin HGU Pemilik izin HGU Dinas Pertanahan Kem. Agraria *
pengelolaan lahan Kehutanan dan Kem. Agraria dan Tata
HGU yang masuk (HGU) dan Tata Ruang/ Ruang/Badan
Ekosistem Gambut. Badan Pertanahan
Perubahan izin usaha Pertanahan Nasional (ATR-
IUPHHK-HT untuk 1 Nasional (ATR- BPN)
rotasi, dan pemulihan BPN)
Ekosistem Gambut

Pencegahan Non Lahan di Dinas Pertanah- Kem. Agraria Kem. Agraria *


konversi lahan Kehutanan luar HGU an Kabupaten/ dan Tata Ruang/ dan Tata
pertanian produktif dan di luar Kota/ Provinsi Badan Ruang/Badan
HGU Pertanahan Pertanahan
Nasional (ATR- Nasional (ATR-
BPN) BPN)

Peningkatan produk- Non Lahan di Dinas Pertanah- Kem. Agraria Kem. Agraria *
tivitas serta indeks Kehutanan luar HGU an Kabupaten/ dan Tata Ruang/ dan Tata
penanaman yang dan di luar Kota/ Provinsi Badan Pertana- Ruang/Badan
dapat mengurangi HGU han Nasional Pertanahan
permintaan lahan (ATR-BPN) Nasional (ATR-
pertanian ke depan BPN)
sehingga secara tidak
langsung dapat
mengurangi
deforestasi
STRATEGI
PELAKSANAAN 193

Pola Pe-
Arahan Penanggung
ngelolaan Pembina dan Pemantau-
Aksi Mitigasi Peman- Jawab/ Pelaporan
Peman- Pengawas Aksi an
faatan KH Pelaksana Aksi
faatan

Pemanfaatan limbah Non Izin HGU Pemilik izin HGU Dinas Pertanahan Kem. Agraria *
kayu dari HGU pada Kehutanan dan Kem. Agraria dan Tata
saat peremajaan (HGU) dan Tata Ruang/ Ruang/Badan
perkebunan untuk Badan Pertana- Pertanahan
bahan baku industri han Nasional Nasional (ATR-
kayu primer (ATR-BPN) BPN)

Penurunan Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam tidak Terencana (Un-Planned)

Seluruh Seluruh Seluruh UPT Seluruh Ditjen Seluruh Ditjen Ditjen


Kawasan peman- atau Balai di di Kementerian di KLHK Pengenda-
Hutan faatan bawah Ditjen di KLHK lian
Pencegahan (kawasan, KLHK Perubahan
penebangan liar kayu, Iklim (PPI)
HHBK, jasa
ling-
kungan)

Pengelolaan KH IUPH- Pemilik izin UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL Ditjen
areal IUPHHK-HT Pengusa- HK-HT usaha IUPH- an Pengelolaan Pengenda-
yang rawan konflik haan Skala HK-HT Hutan Produksi lian
dan dekat dengan Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
pemukiman Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
masyarakat setempat Provinsi
melalui pola kemitraan

Pemberdayaan KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL Ditjen
masyarakat di Pengusa- HK-HA ha IUPHHK-HA an Pengelolaan Pengenda-
areal IUPHHK-HA haan Skala Hutan Produksi lian
Lahan Mineral dekat Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
pemukiman dengan Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
cara peningkatan Provinsi
kapasitas masyarakat
setempat melalui ker-
jasama pengelolaan
hutan pola kemitraan

Pemberdayaan KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL Ditjen
masyarakat di areal Pengusa- HK-HA ha IUPHHK-HA an Pengelolaan Pengenda-
IUPHHK-HA Lahan haan Skala Hutan Produksi lian
Gambut yang masuk Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
wilayah budidaya Eko- Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
sistem Gambut dekat Provinsi
pemukiman dengan
cara peningkatan
kapasitas masyarakat
setempat melalui ker-
jasama pengelolaan
hutan pola kemitraan

KH HKm, HTR, Pemilik izin us- UPT, Dit. Peny- Ditjen PSKL Ditjen Pen-
Pemberdayaan dan Pengusa- HD dan aha masyarakat iapan Kawasan gendalian
pemberian akses pada haan Skala Kemitraan atau kelompok Perhutanan So- Perubahan
masyarakat melalui Kecil atau masyarakat sial (Ditjen PSKL), Iklim (PPI)
Perhutanan sosial Kemtraan Dinas Kehutanan
Masyarakat Provinsi.
194 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Pola Pe-
Arahan Penanggung
ngelolaan Pembina dan Pemantau-
Aksi Mitigasi Peman- Jawab/ Pelaporan
Peman- Pengawas Aksi an
faatan KH Pelaksana Aksi
faatan

Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management)

KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL Ditjen
Pengusa- HK-HA ha IUPHHK-HA an Pengelolaan Pengenda-
Penerapan Teknik
haan Skala Hutan Produksi lian
Reduce Impact Logging
Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
(RIL)
Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
Provinsi

KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL Ditjen
Pengusa- HK-HA dan ha IUPHHK-HA an Pengelolaan Pengenda-
Sertifikasi Wajib
haan Skala IUPH- dan IUPHHK-HT Hutan Produksi lian
Pengelolaan Hutan
Besar HK-HT (Ditjen PHPL), Perubahan
Produksi Lestari
Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
Provinsi

KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL Ditjen Pen-
Pengusa- HK-HA dan ha IUPHHK-HA an Pengelolaan gendalian
haan Skala IUPH- dan IUPHHK-HT Hutan Produksi Perubahan
Besar HK-HT (Ditjen PHPL), Iklim (PPI)
Penatausahaan kayu Dinas Kehutanan
dari hutan hak; hutan Provinsi
tanaman, dan hutan
alam Non Hutan Hak Pemilik Hutan Balai/UPT, Dit. Ditjen Ditjen
Kehutanan (Hutan Rakyat Perencanaan dan PDASHL Pengenda-
Rakyat) Evaluasi Pengelo- lian
laan DAS (Ditjen Perubahan
PDASHL) Iklim (PPI)

Pengelolaan hutan KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL. Ditjen
alam sekunder secara Pengusa- HK-HA dan ha IUPHHK-HA an Pengelolaan Pengenda-
lestari sebagaimana haan Skala IUPH- dan IUPHHK-HT Hutan Produksi lian
diatur dalam Prinsip Besar HK-HT (Ditjen PHPL), Perubahan
Kriteria Indikator Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
Pengelolaan Hutan Provinsi.
Alam Lestari

Penerapan sistem KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL. Ditjen
silvikultur TPTI dan/ Pengusa- HK-HT ha IUPHHK-HT an Pengelolaan Pengenda-
atau Tebang Rumpang haan Skala Hutan Produksi lian
(TR) pada areal hutan Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
alam primer di areal Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
IUPHHK-HT Provinsi.

Penanaman Hutan Tanaman Lahan Mineral

KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL. Ditjen
Pengusa- HK-HT ha IUPHHK-HT an Pengelolaan Pengenda-
Peningkatan
haan Skala Hutan Produksi lian
produktivitas tanaman
Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
IUPHHK-HT
Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
Provinsi.
STRATEGI
PELAKSANAAN 195

Pola Pe-
Arahan Penanggung
ngelolaan Pembina dan Pemantau-
Aksi Mitigasi Peman- Jawab/ Pelaporan
Peman- Pengawas Aksi an
faatan KH Pelaksana Aksi
faatan

Perpanjangan daur KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL. Ditjen
atau siklus tebang Pengusa- HK-HT ha IUPHHK-HT an Pengelolaan Pengenda-
tanaman IUPHHK-HT haan Skala Hutan Produksi lian
di Lahan Mineral Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
sampai hasil produksi Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
maksimal Provinsi.

Percepatan pena- KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL. Ditjen
naman IUPHHK-HT Pengusa- HK-HT ha IUPHHK-HT an Pengelolaan Pengenda-
melalui realisasi luas haan Skala Hutan Produksi lian
penananaman 2 kali Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
luas land clearing (LC- Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
HTI) dengan penga- Provinsi.
wasan

Penambahan klausul KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL. Ditjen
kewajiban pelaksa- Pengusa- HK-HT ha IUPHHK-HT an Pengelolaan Pengenda-
naan penanaman haan Skala Hutan Produksi lian
dalam sanksi admin- Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
istrasi IUPHHK-HT Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
Lahan Mineral Provinsi.

Percepatan pena- KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL. Ditjen
naman IUPHHK-HT Pengusa- HK-HT ha IUPHHK-HT an Pengelolaan Pengenda-
melalui penetapan haan Skala Hutan Produksi lian
lahan IUPHHK-HT Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
sebagai tanah terlan- Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
tar dan optimalisasi Provinsi.
pemanfaatan lahan
terlantar

Percepatan pena- Non Izin HGU Pemilik izin HGU Dinas Pertanahan Kem. Agraria *
naman HGU melalui Kehutanan dan Kem. Agraria dan Tata
penetapan lahan HGU (HGU) dan Tata Ruang/ Ruang/Badan
sebagai tanah terlan- Badan Pertana- Pertanahan
tar dan optimalisasi han Nasional Nasional (ATR-
pemanfaatan lahan (ATR-BPN) BPN)
terlantar

Penanaman Hutan Tanaman Lahan Gambut

KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL, Ditjen
Perlidungan dan
Pengusa- HK-HT ha IUPHHK-HT an Pengelolaan BRG Pengenda-
pengelolaan Eko-
haan Skala Hutan Produksi lian
sistem Gambut dan
Besar (Ditjen PHPL), Perubahan
Perubahan izin usaha
Dinas Kehutanan Iklim (PPI)
IUPHHK-HT untuk 1
Provinsi, dan
rotasi, dan pemulihan
Badan Restorasi
Ekosistem Gambut
Gambut (BRG)
196 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Pola Pe-
Arahan Penanggung
ngelolaan Pembina dan Pemantau-
Aksi Mitigasi Peman- Jawab/ Pelaporan
Peman- Pengawas Aksi an
faatan KH Pelaksana Aksi
faatan

Pengayaan dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Pengayaan dan reha- KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- DitJen PHPL, Ditjen
bilitasi dengan agro- Pengusa- HK-HA ha IUPHHK-HA an Pengelolaan DitJen Pengenda-
forestry dan tanaman haan Skala Hutan Produksi PDASHL lian
campuran (Agro- Besar (DitJen PHPL), Perubahan
Kompleks), dimana DitJen PDASHL, Iklim (PPI)
tutupan tajuk pohon Dinas Kehutanan
minimal 30% dari total Provinsi.
luas areal IUPHHK-HA
secara proporsional di
Lahan Mineral

KH Swakelola Balai/ UPT DitJen Dit. Perencanaan DitJen Ditjen


Rehabilitasi oleh Balai/ PDASHL atau dan Evaluasi PDASHL Pengenda-
Target capaian keber- UPT DitJen Pengelola KPH Pengelolaan DAS lian
hasilan rehabilitasi PDASHL (DitJen PDASHL) Perubahan
hutan dan tanaman atau Iklim (PPI)
Pengelola
KPH

KH Swakelola Balai/ UPT DitJen Dit. Perencanaan DitJen Ditjen


Rehabilitasi oleh Balai/ PDASHL atau dan Evaluasi PDASHL Pengenda-
Panduan serta Insentif UPT DitJen Pengelola KPH Pengelolaan DAS lian
untuk Rehabilitasi PDASHL (DitJen PDASHL) Perubahan
Hutan dan Lahan atau Iklim (PPI)
Pengelola
KPH

Pemulihan wilayah KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL, Ditjen
fungsi Ekosistem Pengusa- HK-HA ha IUPHHK-HA an Pengelolaan Ditjen PPKL, Pengenda-
Gambut melalui haan Skala Hutan Produksi BRG . lian
rehabilitasi, suksesi Besar (Ditjen PHPL), Dit. Perubahan
alami, restorasi, dan/ Pengendalian Iklim (PPI)
atau cara lain yang se- Kerusakan Gam-
suai dengan perkem- but (Ditjen PPKL),
bangan ilmu penge- Ditjen PDASHL,
tahuan dan teknologi Dinas Kehutanan
di areal IUPHHK-HA Provinsi, dan BRG
Lahan Gambut

Peningkatan Peranan Konservasi (The Role of Conservation)

Peningkatan atau Non KH Non Dinas Pertanah- Ditjen PKTL, Kem. Ditjen PKTL, *
penambahan areal Kehutanan Kehutanan an Kabupaten/ Agraria dan Tata Kem. Agraria
lindung atau konser- menjadi KH (HPK dan Kota/ Provinsi Ruang/Badan dan Tata
vasi di Kawasan hutan Konservasi APL) men- dan BPKH Ditjen Pertanahan Nasi- Ruang/Badan
produksi yang dapat jadi KH PKTL onal (ATR-BPN) Pertanahan
dikonversi (HPK) dan Konservasi Nasional (ATR-
areal penggunaan lain BPN)
(APL) yang masih ber-
hutan yang memiliki
nilai-nilai konservasi
dan perlindungan tata
air
STRATEGI
PELAKSANAAN 197

Pola Pe-
Arahan Penanggung
ngelolaan Pembina dan Pemantau-
Aksi Mitigasi Peman- Jawab/ Pelaporan
Peman- Pengawas Aksi an
faatan KH Pelaksana Aksi
faatan
Pengelolaan Lahan Gambut
KH Swakelola Balai/ UPT DitJen UPT. Dit. Pengen- Ditjen PPKL, Ditjen
Perlindun- oleh Balai/ PDASHL atau dalian Kerusakan Ditjen Pengenda-
gan Hutan UPT DitJen Pengelola KPH Gambut (Ditjen PDASHL, BRG lian
Pengelolaan tata air
Alam dan PDASHL PPKL), DitJen Perubahan
gambut
Lahan atau PDASHL dan Iklim (PPI)
Gambut Pengelola Badan Restorasi
KPH Gambut
KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PPKL, Ditjen
Pengusa- HK-HA dan ha IUPHHK-HA an Pengelolaan Ditjen Pengenda-
haan Skala IUPH- dan IUPHHK-HT Hutan Produksi PDASHL, lian
Besar HK-HT (Ditjen PHPL), Ditjen PHPL Perubahan
Dit. Pengenda- BRG Iklim (PPI)
lian Kerusakan
Gambut (Ditjen
PPKL), Ditjen
PDASHL, BRG dan
Dinas Kehutanan
Provinsi
Non Izin HGU Pemilik izin HGU Dinas Pertanah- Kem. Agraria *
Kehutanan an, Kem. Agraria dan Tata
(HGU) dan Tata Ruang/ Ruang/Badan
Badan Pertana- Pertanahan
han Nasional Nasional (ATR-
(ATR-BPN) BPN)
KH Per- Swakelola Balai/ UPT DitJen Dit. Perencanaan Ditjen Ditjen
lindungan oleh Balai/ PDASHL atau dan Evaluasi PDASHL, BRG Pengenda-
Hutan Alam UPT DitJen Pengelola KPH Pengelolaan DAS lian
dan Lahan PDASHL (Ditjen PDASHL), Perubahan
Gambut atau BRG Iklim (PPI)
Pengelola
KPH
KH IUPH- Pemilik izin usa- UPT, Dit. Kesatu- Ditjen PHPL, Ditjen
Pengusa- HK-HA dan ha IUPHHK-HA an Pengelolaan Ditjen PPKL, Pengenda-
haan Skala IUPH- dan IUPHHK-HT Hutan Produksi Ditjen lian
Pengelolaan lahan dan Besar HK-HT (Ditjen PHPL), Dit. PDASHL, BRG Perubahan
kebakaran Pengendalian Iklim (PPI)
Kerusakan Gam-
but (Ditjen PPKL),
Ditjen PDASHL,
BRG
Non Izin HGU Pemilik izin HGU Dinas Pertanah- Kem. Agraria *
Kehutanan an, Kem. Agraria dan Tata
(HGU) dan Tata Ruang/ Ruang/Badan
Badan Pertana- Pertanahan
han Nasional Nasional (ATR-
(ATR-BPN) BPN)

Catatan: *Perlu dibangun mekanisme terkait pemantauan dan pelaporan pemanfaatan lahan non-kehutanan dalam rangka men-
capai target NDC, mengingat sampai saat ini belum ada linkage antara pemberian izin kawasan non-hutan yang berada di
bawah kewenangan ATR-BPN dengan pelepasan kawasan hutan yang berada di bawah kewenangan KLHK.


198 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Dampak dari pelaksanaan kegiatan mitigasi sektor kehutanan terhadap penurunan deforestasi dan
degradasi hutan dipantau dengan Sistem Pemantauan Sumber daya Hutan Nasional (National Forest
Monitoring System/ NFMS) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang melakukan pemetaan perubahan tutupan lahan
setiap tahun sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Planologi Hutan Nomor P.1/VII-IPSDH/2015.
Proses pemetaan tutupan lahan dilakukan setiap tahun dengan melibatkan beberapa Lembaga lain.
LAPAN melakukan pengumpulan citra LANDSAT sepanjang tahun dan pra-pemrosesan citra untuk
memproduksi mosaik. Mosaik akan tersedia pada bulan Juni yang didistribusikan ke Direktorat IPSDH dan
ke BPKH. BPKH di bawah pengawasan IPSDH akan melakukan interpretasi gambar secara manual selama
periode Juli-Oktober, sementara data tutupan lahan dari kunjungan lapangan (dengan koordinat yang
ditentukan) dikumpulkan pada periode Maret-September. Pada bulan Oktober, semua hasil interpretasi
yang dilakukan oleh BPKH akan dikompilasi ke nasional oleh IPSDH untuk QA/QC dan penilaian akurasi.
Pada bulan Desember hasil interpretasi selesai dan dilaporkan dan didistribusikan ke pihak pengguna.
Data ini dijadikan sebagai basis oleh setiap pihak pelaksana kegiatan pencegahan deforestasi dan
degradasi hutan untuk mengukur dampak dari pelaksanaan kegiatan penurunan emisi dari deforestasi
dan degradasi hutan.

Program National Forest Inventory (NFI) telah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan sejak tahun 1989 dan hingga kini memiliki 2.735 petak ukur permanen (PUP). Melalui program
ini dilakukan pemetaan dan pengukuran atas sumber daya hutan di seluruh Indonesia, yang kemudian
menjadi dasar ground-truthing analisis satelit untuk estimasi stok karbon pada tingkat nasional yang
selanjutnya digunakan untuk perhitungan emisi. Selain itu, Program Inventarisasi Hutan Menyeluruh
Berkala (IHMB) merupakan program yang mengumpulkan informasi atas stok kayu tegakan di area hutan
produksi. Program ini dilakukan secara berkala setiap 10 tahun oleh para pemegang IUPHHK serta
pengelola KPHP serta dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Untuk
memantau pertumbuhan dan riap tegakan pohon di area IUPHHK maka setiap pemegang konsesi harus
membangun Petak Ukur Permanen (PUP). Setidaknya 6 PUP harus dibangun di hutan alam lahan kering
serta sementara di hutan alam rawa harus dibangun setidaknya 16 PUP. Data pengukuran yang
dikumpulkan dari PUP ini dilaporkan oleh pemegang konsesi kepada Ditjen PHPL serta Badan Litbang dan
Inovasi LHK.

Data mengenai tegakan baik sebelum penebangan (ITSP – Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan)
maupun tegakan tinggal (Inventarisasi Tegakan Tinggal) serta Laporan Hasil Penebangan (LHP) juga
dikumpulkan oleh pemegang IUPHHK dan dilaporkan kepada Dinas Kehutanan pada tingkat provinsi
maupun kabupaten. Data dan informasi ini dapat diunakan untuk mengestimasi potensi degradasi
hutan meupun kinerja kegiatan penebangan. Seluruh informasi yang disebutkan diatas akan dikompilasi
dalam Sistem Pemantauan Hutan Nasional (National Forest Monitoring System – NFMS) guna menghasilkan
estimasi perubahan tutupan maupun biomassa dari lahan. Rangkuman tipe data yang dikumpulkan dari
masing-masing program diatas serta periode pengukurannya disajikan pada Tabel 4-103.
STRATEGI
PELAKSANAAN 199

Tabel 4-103
Data yang dikumpulkan dan periode pengumpulan data

Kegiatan
Data yang Periode
pemantau- Cadangan Karbon
dikumpulkan pengukuran
an
DBH > 20 cm, tinggi, tutupan
Biomas atas permukaan (Aboveground
NFI kanopi, tingkat kerusakan pohon, Setiap 3 tahun
biomass)
nama spesies
Stok kayu tegakan, , DBH > 20 cm, Biomas atas permukaan (Aboveground
IHMB Setiap 10 tahun
tinggi, nama spesies biomass)
Biomas atas permukaan (Aboveground
PUP DBH > 10 cm, tinggi, nama spesies Setiap 3 tahun
biomass)
Setiap tahun sebelum Biomas atas permukaan (Aboveground
ITSP DBH > 20 cm, tinggi, nama spesies
penebangan biomass)
Diameter (mulai dari benih hingga
Setiap tahun setelah Biomas atas permukaan (Aboveground
ITT pohon), tinggi, tingkat kerusakan
penebangan biomass)
pohon, nama spesies
Diameter kayu tebangan, panjang Setiap tahun setelah Biomas atas permukaan (Aboveground
LHP
kayu, nama spesies penebangan biomass) yang diambil dari area hutan

Di internal KLHK, informasi dari program-program tersebut diatas kemudian diolah untuk membangun
Data Aktivitas maupun Faktor Emisi. Kaitan antar masing-masing program tersebut serta institusi yang
terlibat dijelaskan dalam skema berikut ini (Gambar 4-75).

Gambar 4-75
Kelembagaan kegiatan pemantauan dan pelaporan di sektor kehutanan

IHN: Inventarisasi Hutan Nasional


sebelumnya
NFI: National Forest Inventory
DITJEN
IHN
PKTL
Pelaporan

IHMB PUP ITSP ITT LHP

DITJEN
PHPL IHMB PUP ITSP ITT LHP

BLI PUP
Pemantauan & Evaluasi

Inventarisasi
Lokal
Dishub
ITSP ITT LHP
Prov/Kab

IUPHHK IHMB PUP ITSP ITT LHP

Data Aktivitas Faktor Emisi


200 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Khusus untuk kegiatan mitigasi di area gambut, beberapa pemilik konsesi yang memiliki area di lahan
gambut melakukan pemantauan atas tinggi muka air di wilayah operasi mereka dan melaporkannya
kepada Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK sejalan dengan Peraturan Menteri LHK Nomor
P.15 Tahun 2017 tentang Pemantauan Tinggi Muka Air Gambut. Selain itu mereka juga melaporkan inisiatif
yang sedang dan telah dilakukan (bila ada) terkait upaya perbaikan tata air maupun kegiatan restorasi area
gambut dalam. Perkembangan pelaksanaan aksi dapat dipantau antara lain melalui pengukuran tinggi
muka air (water table). Badan Restorasi Gambut telah melakukan pemantauan tinggi muka air di beberapa
titik, baik di lokasi tempat mereka melakukan kegiatan mitigasi, maupun lokasi tempat kegiatan mitigasi
belum dilakukan. Hal ini untuk mengetahui dinamika tinggi muka air baik sebelum maupun sesudah
kegiatan mitigasi dilakukan. Sistem pemantauan tinggi muka air tanah gambut yang sudah dikembangkan
oleh kedua lembaga ini harus menjadi bagian dari sistem MRV Nasional sehingga upaya yang dilakukan
oleh pihak di luar pemerintah nasional dalam perbaikan pengelolaan lahan gambut dapat diukur
pengaruhnya terhadap penurunan emisi GRK.

4.4.10 Pemantauan dan Pelaporan Aksi Mitigasi Sektor Pertanian


Data aktivitas untuk estimasi emisi sektor pertanian umumnya masih menggunakan data statistik dari
Badan Pusat Statistik (BPS) yang memiliki jaringan hingga ke tingkat kecamatan. Beberapa publikasi BPS
yang digunakan sebagai sumber data diantaranya Statistik Nasional Indonesia serta Kabupaten Dalam
Angka. Sistem pengumpulan data yang sudah berjalan di Sektor Pertanian baik untuk Subsektor Budidaya
Pertanian maupun Subsektor Pertenakan harus dikembangkan sehingga upaya mitigasi yang dilakukan
oleh sektor pertanian dapat diukur dan diverifikasi dengan baik secara berkelanjutan. Uraian tentang
sistem pengumpulan data pada ke dua subsektor ini adalah pada sub-bab berikut.

4.4.10.1 Subsektor Budidaya Pertanian


Pada subsektor pertanian pangan, mekanisme pengumpulan data sudah berjalan dimana jenis data dan
waktu pengumpulannya sudah menjadi standar dengan mengikuti form tertentu yaitu form isian Statistik
Pertanian Tanaman Pangan (SP TP). Salah satu jenis data yang telah rutin dilakukan adalah data mengenai
luas tanam dan luas panen padi telah tersedia di BPS. Informasi-informasi ini dikumpulkan secara
berkala oleh petugas BPS mulai dari tingkat kecamatan sebelum akhirnya dipublikasikan dalam angka
total pada tingkat nasional dan provinsi serta angka total kecamatan dan kabupaten di tingkat kabupaten.
BPS dan Kementerian Pertanian telah melakukan kerjasama dalam pengumpulan data-data pertanian.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1992 dan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 1992,
pelaksanaan tugas pengumpulan data statistik pertanian tanaman pangan dan hortikultura di BPS dilaku-
kan oleh Bagian Statistik Tanaman Padi dan Bagian Statistik Tanaman Palawija dan Hortikultura, Biro Pusat
Statistik. Data yang dikumpulkan melalui laporan Statistik Pertanian (SP) tanaman pangan mencakup luas
tanaman padi, luas tanaman palawija, penggunaan lahan, alat/mesin dan kelembagaan pertanian serta
perbenihan. Untuk tanaman hortiultura, daftar isian pengumpulan data hortikultura dinamakan Statistik
Pertanian Hortikultura (SPH).

Alur pengumpulan data yang telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian dapat diilustrasikan seperti
yang ditunjukkan oleh Gambar 4-76 dibawah ini. Pengumpulan data statistik pertanian di lapangan dilaku-
kan oleh KSK/Mantri Statistik maupun KCD/Mantri Tani, atau Petugas Kecamatan yang pernah mendapat
pelatihan statistik pertanian. Data tersebut dikompilasi di tingkat desa/kelurahan dan dilaporkan dengan
STRATEGI
PELAKSANAAN 201

Daftar SP (Statistik Pertanian). Adapun data yang dikumpulkan dalam laporan SP mencakup antara lain:
luas tanaman padi, luas tanaman palawija, penggunaan lahan, alat/mesin dan kelembagaan pertanian
serta perbenihan. Kompilasi data ini selanjutnya dikumpulkan di kantor dinas pertanian maupun BPS
tingkat kabupaten/kota sebelum diteruskan ke provinsi dan akhirnya ke BPS dan Ditjen Tanaman Pangan
Kementerian Pertanian.

Namun demikian, dalam sistem pengumpulan di atas beberapa data yang diperlukan untuk meman-
tau pelaksanaan aksi mitigasi belum termasuk dalam jenis data yang secara rutin dikumpulkan. Sebagai
contoh, informasi terkait pemanfaatan pupuk organik, pupuk kimia, perbaikan irigasi sebagaimana pada
pelaksanaan program SRI dan PTT, serta pengelolaan pasca panen seperti pembakaran residu pertanian
belum dipantau dan dilaporkan dalam statistik pertanian. Untuk dapat mengakomodasi data pelaksanaan
mitigasi, maka form isian SP TP perlu dikembangkan dengan menambahkan jenis data baru terkait
mitigasi GRK.

Gambar 4-76
Alur pelaporan data statistik budidaya tanaman pangan

BPS Distan Tanaman Pangan

Database TP Database SP TP
Arsip
- SP TP BPS Provinsi Distan Provinsi
- SUB-S
SP TP (2)
SP TP (1) SUB-S Genap(2)
SUB-S (1) Database SP TP
Arsip
Database TP
- SP TP
- SUB-L Arsip
BPS Kabupaten/Kota Distan Kabupaten/Kota
- SUB-S - SP TP

SUB-L (1) SUB-S Genap (2)


SUB-DS Database SP TP SUB-DS
SUB-L
SUB-S Ganjil (2) SP TP (3)

Daftar sampel: SUB-DS Database Puso


KSK/Mantis KCD/Mantan POPT-PHP

Arsip
PPL (BPP) - SP TP

SUB-L (1) SP TP
SUB-S Ganjil (2)
Desa
Keterangan
SUB-S Kerjasama, Koordinasi,
Genap (2) Sinkronisasi

Pelaporan

Pengumpulan Data
Lapangan/Petani Penyerahan Dokumen

4.4.10.2 Subsektor Peternakan


Pengumpulan data di subsektor peternakan oleh BPS mencakup data jumlah ternak serta
penyembelihannya mulai tingkat kecamatan sebagaimana diatur dalam Panduan Teknis Pengumpulan
202 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Data Statistik Ternak. Dalam proses pengumpulan data tersebut, BPS juga bekerjasama dengan dinas
terkait di tingkat kabupaten/kota sebagaimana digambarkan dalam Gambar 4-77.

Gambar 4-77
Alur pengumpulan dan pelaporan data peternakan

Ditjen Peternakan
BPS Pusat
& Kesehatan Hewan
Verifikasi dan validasi

Melaporkan Verifikasi dan


Ditjen Peternakan validasi
& Kesehatan Hewan

Ditjen Peternakan/Dinas
BPS Provinsi Koordinasi yang Menangani Fungsi
Peternakan Provinsi

Melaporkan Verifikasi dan


validasi

Ditjen Peternakan/Dinas
BPS Kabupaten Koordinasi yang Menangani Fungsi
Peternakan Kabupaten/Kota

Melaporkan Verifikasi dan


validasi

Koordinator Statistik Petugas Pengumpul Data


Kecamatan BPS
Koordinasi (Kecamatan)

DESA DESA DESA


Data Peternakan Data Peternakan Data Peternakan

Seperti halnya Statistik Pertanian Tanaman Pangan, pengumpulan data di subsektor peternakan juga
belum mencakup parameter pelaksanaan kegiatan aksi mitigasi, misalnya perlakuan atas ternak (dikan-
dangkan, dilepas di padang rumput, dll) maupun metode pengelolaan kotorannya. Selain itu juga belum
dilakukan data atas jenis pakan ternak yang umumnya digunakan. Oleh karena itu, untuk mendukung
pelaksanaan NDC, perlu dilakukan perbaikan sistem pemantauan dan pengumpulan data terkait pelaksa-
naan aksi mitigasi yang dapat dilakukan melalui beberapa tahapan berikut:

1. Identifikasi sumber data


2. Penyusunan regulasi yang mendorong dilakukannya pengumpulan data yang bisa menjadi indikator
capaian kegiatan aksi mitigasi
STRATEGI
PELAKSANAAN 203

3. Revisi form isian data statistik pertanian (SP)


4. Pelatihan bagi petugas pengumpul data

Dalam pengumpulan data, Kementerian Pertanian dapat bekerjasama dengan lembaga lain seperti
pemerintah desa, dengan mengaitkan kebijakan penyusunan profil desa sebagaimana dituangkan
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 Peran kelompok tani dalam mendukung
pengumpulan data juga dapat dilakukan dengan memodifikasi sistem pengumpulan data dalam
Simluhtan agar tidak hanya mengumpulkan data komoditas, luasan lahan dan produksi, melainkan juga
menyertakan informasi perlakuan tanam yang dilakukan. Sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan yang
terkait aksi mitigasi, para penanggung jawab/pelaksana teknis kegiatan di Kementerian Pertanian telah
mengumpulkan dan melaporkan data pelaksanaan kegiatannya.
204 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI
5
Sistem Pemantauan,
Pelaporan, dan
Verifikasi
Pelaksanaan Aksi
Mitigasi

Salah satu keluaran penting NDC adalah klaim capaian penurunan emisi yang
dihasilkan dari pelaksanaan aksi mitigasi. Untuk mencapai klaim tersebut, maka
diperlukan sistem MRV (measurement, reporting and verification) yang dapat
dipertanggungjawabkan. Karena itu, desain MRV suatu aksi memerlukan
perencanaan untuk memastikan bahwa parameter yang diukur serta data dan
informasi yang dikumpulkan dapat mendukung dihasilkannya estimasi capaian
penurunan emisi serta pelaporan yang akurat.

Pemantauan capaian pelaksanaan kegiatan mitigasi dalam pelaksanaan NDC


akan memanfaatkan mekanisme pemantauan pelaksanaan mitigasi (terkait
MRV) yang telah ada, dengan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 71
Tahun 2011 tentang Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca serta Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 72 Tahun 2017 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi Aksi dan Sumber
daya Pengendalian Perubahan Iklim.

Pengukuran dan pemantauan aksi mitigasi ini menjadi tanggung jawab


pelaksana/ penanggung jawab aksi mitigasi dan sebaiknya diintegrasikan ke
dalam desain kegiatan aksi, termasuk bahwa pengukuran dan pemantauan
perlu dilakukan terus menerus untuk bisa merekam dampak pelaksanaan aksi
mitigasi. Selain itu, pelaksana/penganggungjawab aksi juga harus melakukan
pengontrolan kualitas (quality control) terhadap data yang diperoleh selama
pelaksanaan pemantauan guna memastikan data tersebut akurat, konsisten,
dan dapat dipertanggungjawabkan.
206 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Sebagaimana dijabarkan sebelumnya, terdapat berbagai jenis aksi mitigasi dan perlu diperhatikan
bahwa tidak semua aksi mitigasi tersebut dapat langsung menghasilkan penurunan emisi yang terukur
dan/atau dapat diestimasi. Terutama di sektor kehutanan, terdapat aksi mitigasi yang berkontribusi
terhadap pengurangan laju deforestasi atau degradasi hutan dengan mengatasi salah satu/sebagian
pemicu deforestasi dan degradasi hutan tersebut. Sebagai contoh, di sektor kehutanan terdapat aksi
mitigasi yang berkontribusi terhadap pengurangan laju deforestasi atau degradasi hutan dengan
mengatasi salah satu/sebagian pemicu deforestasi dan degradasi hutan tersebut. Akan tetapi karena
kurangnya pemahaman akan kompleksitas proses terjadinya maupun dicegahnya deforestasi atau
degradasi hutan, serta belum terdapatnya metode untuk mengkuantifikasi dengan akurat peran suatu
aspek terhadap proses deforestasi dan degradasi hutan, maka pelaporan aksi-aksi mitigasi semacam ini
tidak akan disertai klaim penurunan emisi sehingga laporan hanya akan berisi informasi pelaksanaan aksi
dan capaian fisiknya.

5.1 Pengaturan Kelembagaan untuk Pemantauan dan Pelaporan


Berdasarkan Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 679 Tahun 2017 tentang Pemantauan Implementasi
NDC, telah dibentuk Tim Pengarah dan Tim Teknis pemantauan NDC. Tim Pengarah dan Tim Teknis
beranggotakan perwakilan dari K/L terkait dan pakar. Dalam SK tersebut Ketua Tim Pengarah dimandatkan
untuk membentuk Sekretariat yang akan membantu operasional pemantauan dan pelaporan imple-
mentasi NDC yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga di tingkat nasional, dengan kerangka waktu
pemantauan adalah tahun 2017-2019 (pra-2020) dan 2020-2030 (pasca 2020).

Sebagai tindak lanjut dari SK tersebut, pada November 2018 KLHK menerbitkan buku Mekanisme
Pemantauan Implementasi NDC yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai alur pemantauan dan
pelaporan aksi mitigasi dan adaptasi NDC yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga di tingkat nasional.
Pemantauan pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi NDC di setiap Kementerian/Lembaga diharapkan
dikoordinasikan oleh unit kerja atau kelompok kerja penanggung jawab di masing-masing Kementerian/
Lembaga.

Sesuai dengan mandat Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 679 Tahun 2017, pemantauan implementasi
NDC mengacu pada mekanisme MRV yang telah dikembangkan, dengan menggunakan sistem informasi
melalui Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI), yang akan mencakup baik
kegiatan mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim. Untuk kegiatan mitigasi perubahan iklim akan
dilakukan pemantauan terhadap:

1. Kegiatan berpengaruh penting (enabling condition) yang mencakup aspek kebijakan dan kelem-
bagaan, pendanaan aksi mitigasi, pengembangan teknologi, penelitian dan pengembangan (R&D),
peningkatan kapasitas dan kepedulian masyarakat, dan penegakan dan kepatuhan hukum; dan
2. Kegiatan yang secara langsung dapat menurunkan emisi GRK di masing-masing 5 kategori sektor
(kehutanan, energi, limbah, pertanian, dan IPPU).

Pelaksana atau penanggung jawab aksi mitigasi perubahan iklim menyampaikan informasi tersebut,
antara lain tipe kegiatan mitigasi serta status perkembangannya (dalam perencanaan/sedang
dilaksanakan/sudah berakhir) dan klaim capaian penurunan emisi GRK yang telah terjadi untuk dapat
diverifikasi, melalui SRN-PPI yang akan digunakan Sekretariat Pemantauan NDC sebagai salah satu input
dalam menyusun kemajuan implementasi NDC di Indonesia untuk dapat dilaporkan kepada Menteri LHK.
Alur Pemantauan dan pelaporan implementasi NDC tersebut dapat dilihat pada Gambar 5-1.
SISTEM PEMANTAUAN, PELAPORAN, DAN VERIFIKASI
PELAKSANAAN AKSI MITIGASI 207

Gambar 5-1
Alur pelaporan capaian kegiatan mitigasi dan adaptasi yang dilakukan oleh
kementerian dan lembaga

Pelaporan
Sintesis
Penyediaan
informasi

Dengan:

1. Sekretariat Pemantauan NDC melakukan proses Pemantauan Pertama, mengumpulkan informasi


rencana kebijakan/ program/kegiatan aksi adaptasi dan mitigasi dari sektor
2. Sektor (K/L) menyampaikan informasi klaim capaian penurunan emisi dari implementasi NDC kepada
Dit. IGRK MPV
3. Dit. IGRK MPV melakukan verifikasi atas klaim capaian penurunan emisi yang disampaikan oleh sektor
4. Sekretariat Pemantauan NDC melakukan Pemantauan Kedua, yakni klarifikasi serta konfirmasi status
atas informasi rencana kebijakan/ program/ kegiatan aksi adaptasi dan mitigasi yang telah diberikan
oleh sektor pada tahap Pemantauan Pertama
5. Dit. IGRK MPV menyampaikan hasil verifikasi klaim capaian penurunan emisi kepada sektor (K/L)
6. Dit. IGRK MPV menyampaikan hasil capaian penurunan emisi dari kegiatan mitigasi sektor (yang telah
diverifikasi) kepada Sekretariat Pemantauan NDC
7. Sekretariat Pemantauan NDC menyampaikan laporan hasil pemantauan pelaksanaan dan capaian
NDC adaptasi dan mitigasi kepada Tim Teknis NDC
8. Tim Teknis NDC mengkaji laporan hasil pemantauan pelaksanaan dan capaian NDC serta
menyampaikannya kepada Tim Pengarah NDC
9. Tim Pengarah NDC menyampaikan laporan hasil pemantauan pelaksanaan dan capaian NDC kepada
Menteri LHK

Masing-masing kementerian teknis terkait telah memiliki mekanisme bagi pengumpulan data dan
estimasi emisi untuk inventarisasi GRK, namun belum semua kementerian tersebut memiliki mekanisme
untuk pengumpulan data dan estimasi capaian dari pelaksanaan aksi mitigasi di sektornya masing-
masing.
208 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

5.2 Estimasi Capaian Penurunan Emisi dan/atau Peningkatan Serapan


Selain melakukan pemantauan akan aktivitas dalam aksi mitigasi, masing-masing penanggung jawab
sektor juga bertanggungjawab atas estimasi capaian penurunan emisi yang dihasilkan dari aksi mitigasi
tersebut.

Sehubungan dengan metodologi yang digunakan untuk estimasi capaian aksi mitigasi, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan Pedoman Penyusunan Metodologi Perhitungan
Penurunan Emisi dan/atau Peningkatan Serapan GRK dalam Kerangka Verifikasi Aksi Mitigasi, yang isinya
menjabarkan pendekatan umum estimasi penurunan emisi untuk berbagai aksi mitigasi. Dalam pedoman
tersebut juga disebutkan bahwa metodologi penghitungan pencapaian mitigasi harus dapat dipertang-
gungjawabkan secara sains, akurat dalam tingkat yang wajar serta dapat diterapkan dengan baik di
Indonesia. Untuk itulah kemudian dibentuk Tim Panel Metodologi Penurunan Emisi dan/atau Peningkatan
Serapan Gas Rumah Kaca di bawah koordinasi Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim selaku
Penanggung Jawab (Surat Keputusan Nomor 22/PPI/IGAS/PPI.2/6/2017).


Panel Metodologi terdiri atas unsur pakar/ahli, akademisi, dan praktisi perubahan iklim terkait metodologi
Penurunan Emisi dan/atau Peningkatan Serapan Gas Rumah Kaca, dan bertugas antara lain untuk
mengidentifikasi, menghimpun dan mengkaji metodologi dari berbagai inisiatif lokal, individu, instansi atau
lembaga dan sektor swasta. Selain itu, Panel ini juga dapat melakukan telaah atas beberapa metodologi
yang telah ada, seperti metodologi CDM serta metode yang dikeluarkan oleh IPCC, terkait kesesuaian
penerapannya di Indonesia.

5.3 Pengaturan Kelembagaan untuk Verifikasi


Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 72 Tahun 2017, Direktorat Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim, melalui Direktorat IGRK MPV, bertanggungjawab atas proses verifikasi
klaim capaian penurunan emisi yang disampaikan sektor. Proses ini akan dilaksanakan dengan mengacu
pada Peraturan Menteri LHK Nomor 72 Tahun 2017 terutama pada Lampiran III. Proses verifikasi akan
mencakup verifikasi atas dokumen serta apabila diperlukan, survei lapangan di lokasi pelaksanaan aksi
mitigasi.

Selain dari lingkup Direkorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, tim verifikasi juga dapat melibat-
kan pakar dari perguruan tinggi. Tim ini akan memeriksa laporan capaian aksi mitigasi terutama pada
aspek-aspek berikut: batas fisik pelaksanaan aksi, baseline yang digunakan, serta metodologi yang
diterapkan dalam menghitung capaian penurunan emisi termasuk penggunaan faktor emisi dan data
aktivitas.

Sebagaimana disebutkan dalam sub bab 6.2, Ditjen PPI KLHK telah mengeluarkan Pedoman Penyusunan
Metodologi Perhitungan Penurunan Emisi dan/atau Peningkatan Serapan GRK dalam Kerangka Verifikasi
Aksi Mitigasi. Pedoman tersebut akan membantu verifikator dalam menilai pendekatan/metodologi yang
digunakan oleh pelaksana/penanggung jawab aksi mitigasi dalam mengestimasi capaian penurunan emisi
dari kegiatan yang telah dilakukan. Dari proses verifikasi ini Direktorat IGRK-MPV akan mengeluarkan nilai
capaian penurunan emisi terverifikasi yang dituangkan dalam bentuk laporan untuk melengkapi laporan
capaian NDC.
SISTEM PEMANTAUAN, PELAPORAN, DAN VERIFIKASI
PELAKSANAAN AKSI MITIGASI 209

5.4 Tahapan pelaksanaan MRV


Tahapan pelaksanaan MRV mengacu pada Peraturan Menteri LHK Nomor 72 Tahun 2017 dan berada di
bawah kewenangan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. Pelaksanaan MRV implementasi
NDC saat ini mengadopsi prosedur sebagaimana diterapkan dalam penyusunan inventarisasi GRK,
dimana data dan informasi dari sektor dikumpulkan di Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK.
Beberapa Kementerian/Lembaga telah memiliki pengaturan kelembagaan serta kapasitas teknis untuk
melakukan estimasi emisi, namun masih ada kementerian yang belum sepenuhnya memiliki mekanisme
pengumpulan data dan evaluasi hasil pelaksanaan aksi mitigasi.

Pengembangan mekansime MRV di masing-masing Kementerian/Lembaga perlu didasarkan pada


adopsi atas peraturan mengenai MRV di tingkat nasional. Hal-hal yang dapat diatur di peraturan tingkat
kementerian ini diantaranya penunjukan penanggungjawab di sektor tersebut, alur pengumpulan data
dan informasi terkait pelaksanaan aksi mitigasi, jalur koordinasi dengan koordinator pemantauan NDC di
tingkat nasional.
6
Strategi Pendanaan
Pencapaian Target NDC

Kebutuhan pendanaan untuk mendukung upaya pencapaian target NDC


dapat dipenuhi dengan optimalisasi sistem pendanaan perubahan iklim yang
terdiri atas beberapa elemen antara lain sumber pendanaan, institusi penyalur
pendanaan, mekanisme penyaluran dana serta lembaga penerima dana yang
bertindak sebagai pelaksana kegiatan atau proyek. Keterkaitan berbagai elemen
serta alur pendanaan dapat dilihat pada Gambar 6-1 berikut ini.

Gambar 6-1
Alur pendanaan kegiatan pencapaian Target NDC

Pemerintah

Insentif: Insentif:
• Regulasi Suku Bunga • Regulasi Suku Bunga
• Insentif Pajak • Insentif Pajak
• Jaminan Pemerintah • Jaminan Pemerintah
• Subsidi • Subsidi

Institusi Pelaksa-
Implementasi
Sumber Penyalur Proyek
Rp Rp na Proyek Rp
Dana Dana
Pencapaian
NDC
Mekanisme: Instrumen:
• Belanja • Ekuitas
Pemerintah • Pinjaman
Menyediakan Menerima, • Pinjaman • Hibah
Dana mengelola, dan Pemerintah • Instrumen
menyalurkan dana • Hibah de-risking
• Sistem Per-
bankan
• Investasi Swasta
• Pasar Karbon • Kementerian/
• Pasar Modal Lembaga
• Pemerintah • Pemerintah • Bond • Pemerintah Daerah
• Pemerintah • Pemerintah Daerah
• Mitra Kerja Sama
Daerah • Mitra Kerja Sama
(Multilateral &
• Lembaga Kerja Multilateral &
Bilateral)
Sama Multilateral Bilateral
• Badan Usaha
• Lembaga Kerja • Lembaga Keuangan
Swasta
Sama Bilateral Nasional dan
• Badan Usaha Milik
• Investor Swasta Internasional
Negara/Daerah
• Dana Masyarakat • Badan Usaha
• Lembaga Swadaya
Swasta
Masyarakat
• Badan Layanan
• Kelompok
Umum
Masyarakat
212 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Strategi pendanaan upaya pencapaian target NDC diarahkan untuk i) peningkatan dan diversifikasi
sumber dana; ii) pengembangan kapasitas institusi penyaluran pendanaan; serta iii) peningkatan
kapasitas pelaksana kegiatan untuk mendapatkan pendanaan. Adapun strategi untuk mencapai hal
tersebut dapat dilihat pada Gambar 6-2 berikut ini.

Gambar 6-2
Strategi pendanaan pencapaian target NDC

• Peningkatan alokasi APBN/APBD dan mengoptimalkan


monitoring dengan budget tagging;
• Peningkatan bantuan keuangan pusat ke daerah;
• Pemanfaatan Dana Desa;
• Pemberlakuan Carbon Tax; pemberlakuan mekanisme Peningkatan
carbon pricing/ tax & Diversifikasi
• Mendorong terbentuknya dana jangka panjang untuk
perubahan iklim misalnya energi terbarukan dan efisiensi Sumber Dana
energi;
• Pemanfaatan Pinjaman/Hibah luar negeri;
• Penerbitan Green Bond/Sukuk;
• Mobilisasi sumber dana masyarakat seperti filantropi dan
CSR.

• Pengembangan Badan Layanan Umum terkait isu


perubahan iklim;
• Mendorong kerjasama lembaga keuangan nasional Pengembangan
dengan lembaga keuangan internasional;
• Mendorong terciptanya skema pembiayaan inovatif dari
Kapasitas
lembaga keuangan; Institusi
• Mendorong kerja sama dan pemanfaatan dana
dari platform pendanaan internasional seperti GCF,
Penyalur
CTF, GEF, dll.; Pendanaan
• Mendorong sinergi pendanaan dengan skema Blended
Finance.

• Peningkatan dukungan perbankan dengan produk inovatif


(bunga murah, jangka panjang, mekanisme de-risking dan
skema project finance);
Peningkatan
• Pengembangan insentif finansial untuk mendorong Kapasitas
investasi swasta; Pelaksana
• Mendorong skema pinjaman daerah; Kegiatan Untuk
• Mendorong Skema KPBU termasuk pemanfaatan fasilitas
Viability Gap Fund dan Availability Payment; Menerima
• Mengembangkan skema penjaminan kredit untuk Badan Pendanaan
Usaha.
Daftar Pustaka

Bappenas. 2013. Studi Pendahuluan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang
Pangan Dan Pertanian 2015-2019, Direktorat Pangan dan Pertanian, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.

Bappenas. 2019. Kajian Pendahuluan RPJMN 2020-2024 Sektor Kehutanan. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Jakarta.

Boer and Rosita. 2019. Analysis of Cost for the Implementation of LUCF Mitigation Toward NDC Target in
Indonesia. Unpublished

BPLP. 2006. Varietas padi rendah emisi gas rumah kaca. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian
28: 12-13.

Ditjenbun. 2015. Rencana strategis Direktorat Jenderal Perkebunan 2015-2019. Direktorat Jenderal
Perkebunan, Kementerian Pertanian, Jakarta.

Kementerian ESDM. HEESI (Handbook of Energy and Economics Statistics of Indonesia, 20011 – 2018,
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Jakarta

IPCC. 2018. Summary for Policymakers. In: Global warming of 1.5°C. An IPCC Special Report on the
impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse
gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of
climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty [V. Masson-Delmotte, P.
Zhai, H. O. Pörtner, D. Roberts, J. Skea, P.R. Shukla, A. Pirani, W. Moufouma-Okia, C. Péan, R. Pid-
cock, S. Connors, J. B. R. Matthews, Y. Chen, X. Zhou, M. I. Gomis, E. Lonnoy, T. Maycock, M. Tignor,
T. Waterfield (eds.)]. In Press
214 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Kementan. 2018. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2018. Jakarta. Kementerian Pertanian
Republik Indonesia

Kementan. 2015. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2015-2019 (Strategic Plan of Ministry of
Agriculture) Kementerian Pertanian RI, http://www.pertanian.go.id/file/ RENSTRA_2015-2019.pdf

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Pedoman Penentuan Aksi Mitigasi Perubahan
Iklim. Direktorat Jendral Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Jakarta

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. National Forest Reference Emission Level for REDD+
In the Context of Decision 1/CP.16 Paragraph 70, Directorate General of Climate Change. The Ministry
of Environment and Forestry. Indonesia KLHK, 2016. Indonesia 1st Nationally Determined Contribu-
tion. Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. https://www4.
unfccc.int/sites/ndcstaging/PublishedDocuments/ IndonesiaFirst/FirstNDC Indonesia_submit-
ted to UNFCCC Set_November202016.pdf

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. First Nationally Determined Contribution Republic of
Indonesia. https:// www4.unfccc.int/sites/ndcstaging/PublishedDocuments/IndonesiaFirst/First-
NDC Indonesia_submitted to UNFCCC Set_November202016.pdf

Wihardjaka, A., & A.K. Makarim. 2001. Emisi gas metana melalui beberapa varietas padi pada tanah
Inceptisol yang disawahkan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 20(1): 10-16.

Wiharjaka dan Sarwoto. 2015. Emisi gas rumah kaca dan hasil gabah dari beberapa varietas padi unggul
tipe baru di lahan sawah tadah hujan di Jawa Tengah. Ecolab 9: 1 - 46
LAMPIRAN 1
Data Pendukung ROADMAP MITIGASI EMISI GRK
SEKTOR LIMBAH

L.1.1 Potensi Penurunan Emisi GRK Sektor Limbah

Tabel L .1.1
Rincian Potensi Penurunan Emisi GRK Tahunan Sektor Limbah, Skenario Mitigasi CM1
(dalam Juta Ton CO2e)

Sumber Emisi dan


2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Aksi-aksi Mitigasi
Pengolahan Limbah
Padat Domestik
Tingkat Emisi Baseline 34,78 36,06 37,31 38,37 39,31 40,29 41,33 42,27 43,13 43,95
Tingkat Emisi Mitigasi
• Pengomposan 34,78 36,06 37,30 38,36 39,30 40,28 41,32 42,26 43,13 43,91
• Daur Ulang kertas
(TPST, TPS3R, Bank 34,78 36,06 37,26 38,27 39,15 40,07 41,05 41,92 42,70 43,42
Sampah)
• TPA + LFG Recovery
(SRT atau power 34,78 36,00 37,18 38,28 39,20 39,94 40,93 41,83 42,65 43,42
plant)
• Energy Recovery
34,78 36,06 37,31 38,37 39,31 40,29 41,33 42,27 43,13 43,95
PLTSa dan RDF
Penurunan Emisi
• Pengomposan - -0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,04
• Daur Ulang kertas
(TPST, TPS3R, Bank - - 0,05 0,10 0,16 0,22 0,28 0,35 0,43 0,53
Sampah)
• TPA + LFG Recovery
(SRT atau power - 0,06 0,13 0,09 0,11 0,35 0,40 0,44 0,48 0,53
plant)
• Energy Recovery
- - - - - - - - - -
PLTSa dan RDF
Pengolahan Limbah
Cair Domestik
Tingkat Emisi Baseline 17,60 18,09 18,54 19,89 20,58 21,29 21,98 22,89 23,38 23,87
Tingkat Emisi Mitigasi
• IPAL Kota terpusat
17,60 18,09 18,54 19,89 20,58 21,29 21,98 22,89 23,38 23,87
sistem Aerobik
• IPAL Komunal
(Biodigester + gas 17,60 18,09 18,54 19,89 20,58 21,29 21,98 22,89 23,38 23,87
recovery)
216 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Sumber Emisi dan


2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Aksi-aksi Mitigasi
• Sludge Removal 17,60 18,09 18,54 19,89 20,58 21,29 21,98 22,89 23,38 23,86
• IPAL (statistik) 17,60 18,09 18,54 19,89 20,45 21,16 21,87 22,83 23,32 23,80
Penurunan Emisi
• IPAL Kota terpusat
- - - - - 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0002
sistem Aerobik
• IPAL Komunal
(Biodigester + gas 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0002 0,0002 0,0002 0,0002
recovery)
• Sludge Removal - - - - - - 0,0006 0,0006 0,0007 0,0008
• IPAL (statistik) - - - - 0,13 0,13 0,11 0,06 0,06 0,07
Pengolahan Limbah
Padat Industri
- - - - - - - - - -
(Sludge IPAL Industri
Pulp dan Kertas)
Tingkat Emisi Baseline 0,15 0,17 0,17 0,18 0,19 0,19 0,19 0,20 0,22 0,23
Tingkat Emisi Mitigasi
• Pengomposan 0,15 0,17 0,17 0,18 0,19 0,19 0,19 0,20 0,22 0,23
• Reuse dan
0,12 0,13 0,13 0,14 0,16 0,17 0,15 0,14 0,16 0,17
Pemanfaatan lain
• Bahan bakar 0,12 0,14 0,15 0,15 0,16 0,17 0,17 0,18 0,19 0,20
• Penurunan Emisi
• Pengomposan - -0,0008 -0,0003 0,0001 0,0003 0,0006 0,0008 0,0004 0,0009 0,0012
• Reuse dan
0,03 0,04 0,04 0,05 0,04 0,02 0,05 0,06 0,06 0,06
Pemanfaatan lain
• Bahan bakar 0,03 0,03 0,02 0,03 0,03 0,02 0,03 0,03 0,03 0,03
Pengolahan Limbah
- - - - - - - - - -
Cair Industri
Tingkat Emisi Baseline 35,19 37,65 39,73 42,29 43,08 44,69 49,24 55,18 60,65 66,76
• Industri (selain pulp
kertas, termasuk 32,62 34,95 36,94 39,37 40,04 41,63 45,98 50,83 56,24 62,29
CPO)
• Pulp & Kertas 2,57 2,71 2,79 2,91 3,05 3,06 3,26 4,36 4,41 4,48
Tingkat Emisi Mitigasi
• Biogas POME dan
32,62 34,95 36,90 39,25 39,93 41,51 45,82 50,64 56,03 62,05
industri lain
• Biogas Pulp Kertas 2,57 2,71 2,78 2,90 3,03 3,05 3,26 4,35 4,41 4,47
Penurunan Emisi
• Biogas POME dan
- - 0,04 0,12 0,10 0,12 0,15 0,18 0,21 0,24
industri lain
• Biogas Pulp Kertas - - 0,01 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
Total Penurunan
0 0 0 0 1 1 1 1 1 2
Sektor Limbah
LAMPIRAN 217

Tabel L.1.1 (lanjutan)


Rincian Potensi Penurunan Emisi GRK Tahunan Sektor Limbah, Skenario Mitigasi CM1
(dalam Juta Ton CO2e)

Sumber Emisi dan


2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
Aksi-aksi Mitigasi
Pengolahan Limbah
Padat Domestik
Tingkat Emisi
44,73 45,50 46,22 46,89 47,96 47,15 49,39 51,63 53,90 54,26 58,22
Baseline
Tingkat Emisi
Mitigasi
• Pengomposan 44,66 45,14 45,59 46,03 46,88 45,87 47,89 49,89 51,90 51,97 55,62

• Daur Ulang kertas


(TPST, TPS3R, Bank 44,10 44,75 45,34 45,88 46,82 45,87 47,96 50,04 52,13 52,29 56,04
Sampah)
• TPA + LFG Recovery
(SRT atau power 44,15 44,86 45,52 46,12 47,11 46,23 48,37 50,52 52,68 52,92 56,75
plant)
• Energy Recovery
44,73 45,50 46,20 46,86 47,89 47,04 49,20 51,29 53,30 53,19 56,31
PLTSa dan RDF
Penurunan Emisi
• Pengomposan 0,07 0,37 0,62 0,86 1,07 1,28 1,50 1,74 2,00 2,29 2,61

• Daur Ulang kertas


(TPST, TPS3R, Bank 0,63 0,75 0,88 1,01 1,14 1,28 1,43 1,59 1,77 1,96 2,18
Sampah)
• TPA + LFG Recovery
(SRT atau power 0,58 0,64 0,70 0,77 0,84 0,92 1,01 1,11 1,22 1,34 1,47
plant)
• Energy Recovery
- 0,01 0,02 0,03 0,06 0,11 0,19 0,34 0,60 1,07 1,91
PLTSa dan RDF
Pengolahan Limbah
Cair Domestik
Tingkat Emisi
24,58 25,06 25,53 26,00 26,47 26,93 27,40 27,86 28,32 28,78 28,95
Baseline
Tingkat Emisi
Mitigasi
• IPAL Kota terpusat
24,58 25,06 25,53 26,00 26,47 26,93 27,40 27,86 28,32 28,78 28,95
sistem Aerobik
• IPAL Komunal
(Biodigester + gas 24,58 25,06 25,53 26,00 26,47 26,93 27,40 27,86 28,32 28,78 28,95
recovery)
• Sludge Removal 24,58 25,06 25,53 26,00 26,47 26,93 27,39 27,86 28,32 28,77 28,94

• IPAL (statistik) 24,51 24,99 25,46 25,93 26,40 26,86 27,32 27,78 28,24 28,69 28,86

Penurunan Emisi
• IPAL Kota terpusat
0,0002 0,0002 0,0002 0,0003 0,0003 0,0003 0,0004 0,0004 0,0005 0,0006 0,0006
sistem Aerobik
218 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Sumber Emisi dan


2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
Aksi-aksi Mitigasi
• IPAL Komunal
(Biodigester + gas 0,0002 0,0003 0,0003 0,0003 0,0004 0,0004 0,0004 0,0004 0,0005 0,0005 0,0005
recovery)
• Sludge Removal 0,0009 0,0010 0,0011 0,0012 0,0014 0,0016 0,0018 0,0020 0,0023 0,0026 0,0030

• IPAL (statistik) 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08

Pengolahan
Limbah Padat
Industri (Sludge
IPAL Pulp & Kertas)
Tingkat Emisi
0,24 0,25 0,27 0,28 0,29 0,31 0,32 0,33 0,35 0,37 0,38
Baseline
Tingkat Emisi
Mitigasi
• Pengomposan 0,24 0,25 0,26 0,28 0,29 0,30 0,32 0,33 0,35 0,36 0,38

• Reuse dan
0,18 0,19 0,20 0,22 0,23 0,24 0,26 0,27 0,29 0,30 0,32
Pemanfaatan lain
• Bahan bakar 0,22 0,23 0,24 0,25 0,27 0,28 0,29 0,31 0,32 0,34 0,36

Penurunan Emisi
• Pengomposan 0,0015 0,0016 0,0017 0,0018 0,0018 0,0018 0,0019 0,0019 0,0019 0,0019 0,0018

• Reuse dan
0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06
Pemanfaatan lain
• Bahan bakar 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03

Pengolahan Limbah
- - - - - - - - - - -
Cair Industri
Tingkat Emisi
73,59 81,23 89,77 99,33 110,05 122,06 135,54 150,66 167,65 186,74 208,29
Baseline
• Industri (selain
pulp kertas, 69,05 76,62 85,09 94,58 105,21 117,14 130,53 145,57 162,46 181,45 202,80
termasuk CPO)
• Pulp & Kertas 4,54 4,61 4,68 4,75 4,83 4,92 5,00 5,09 5,19 5,29 5,49

Tingkat Emisi
Mitigasi
• Biogas POME dan
68,78 76,07 84,27 93,49 103,85 115,51 128,62 143,39 160,00 178,72 199,80
industri lain
• Biogas Pulp Kertas 4,54 4,60 4,67 4,75 4,83 4,91 5,00 5,09 5,18 5,28 5,48

Penurunan Emisi
• Biogas POME dan
0,27 0,55 0,82 1,09 1,36 1,64 1,91 2,18 2,45 2,73 3,00
industri lain
• Biogas Pulp Kertas 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01

Total Penurunan
2 2 3 4 5 5 6 7 8 10 11
Sektor Limbah
LAMPIRAN 219

Tabel L.1.2
Rincian Potensi Penurunan Emisi GRK Tahunan Sektor Limbah, Skenario Mitigasi CM2
(dalam Juta Ton CO2e)

Sumber Emisi dan


2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Aksi-aksi Mitigasi
Pengolahan Limbah
Padat Domestik
Tingkat Emisi
34,78 36,06 37,31 38,37 39,31 40,29 41,33 42,27 43,13 43,95
Baseline
Tingkat Emisi
Mitigasi
• Pengomposan 34,78 36,06 37,30 38,36 39,30 40,28 41,32 42,26 43,13 43,91

• Daur Ulang kertas


(TPST, TPS3R, Bank 34,78 36,06 37,26 38,27 39,15 40,07 41,05 41,92 42,70 43,42
Sampah)
• TPA + LFG Recovery
(SRT atau power 34,78 36,00 37,18 38,28 39,20 39,94 40,93 41,83 42,65 43,42
plant)
• Energy Recovery
34,78 36,06 37,31 38,37 39,31 40,29 41,33 42,27 43,13 43,95
PLTSa dan RDF
Penurunan Emisi
• Pengomposan - -0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,04

• Daur Ulang kertas


(TPST, TPS3R, Bank - - 0,05 0,10 0,16 0,22 0,28 0,35 0,43 0,53
Sampah)
• TPA + LFG Recovery
(SRT atau power - 0,06 0,13 0,09 0,11 0,35 0,40 0,44 0,48 0,53
plant)
• Energy Recovery
- - - - - - - - - -
PLTSa dan RDF
Pengolahan Limbah
Cair Domestik
Tingkat Emisi
17,60 18,09 18,54 19,89 20,58 21,29 21,98 22,89 23,38 23,87
Baseline
Tingkat Emisi
Mitigasi
• IPAL Kota terpusat
17,60 18,09 18,54 19,89 20,58 21,29 21,98 22,89 23,38 23,87
sistem Aerobik
• IPAL Komunal
(Biodigester + gas 17,60 18,09 18,54 19,89 20,58 21,29 21,98 22,89 23,38 23,87
recovery)
• Sludge Removal 17,60 18,09 18,54 19,89 20,58 21,29 21,98 22,89 23,38 23,86

• IPAL (statistik) 17,60 18,09 18,54 19,89 20,45 21,16 21,87 22,83 23,32 23,80

Penurunan Emisi
• IPAL Kota terpusat
- - - - - 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0002
sistem Aerobik
220 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Sumber Emisi dan


2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Aksi-aksi Mitigasi
• IPAL Komunal
(Biodigester + gas 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0002 0,0002 0,0002 0,0002
recovery)
• Sludge Removal - - - - - - 0,0006 0,0006 0,0007 0,0008

• IPAL (statistik) - - - - 0,13 0,13 0,11 0,06 0,06 0,07

Pengolahan
Limbah Padat
Industri (Sludge
IPAL Pulp & Kertas)
Tingkat Emisi
0,15 0,17 0,17 0,18 0,19 0,19 0,19 0,20 0,22 0,23
Baseline
Tingkat Emisi
Mitigasi
• Pengomposan 0,15 0,17 0,17 0,18 0,19 0,19 0,19 0,20 0,22 0,23

• Reuse dan
0,12 0,13 0,13 0,14 0,16 0,17 0,15 0,14 0,16 0,17
Pemanfaatan lain
• Bahan bakar 0,12 0,14 0,15 0,15 0,16 0,17 0,17 0,18 0,19 0,20

• Penurunan Emisi
• Pengomposan - -0,0008 -0,0003 0,0001 0,0003 0,0006 0,0008 0,0004 0,0009 0,0012

• Reuse dan
0,03 0,04 0,04 0,05 0,04 0,02 0,05 0,06 0,06 0,06
Pemanfaatan lain
• Bahan bakar 0,03 0,03 0,02 0,03 0,03 0,02 0,03 0,03 0,03 0,03

Pengolahan Limbah
- - - - - - - - - -
Cair Industri
Tingkat Emisi
35,19 37,65 39,73 42,29 43,08 44,69 49,24 55,18 60,65 66,76
Baseline
• Industri (selain
pulp kertas, 32,62 34,95 36,94 39,37 40,04 41,63 45,98 50,83 56,24 62,29
termasuk CPO)
• Pulp & Kertas 2,57 2,71 2,79 2,91 3,05 3,06 3,26 4,36 4,41 4,48

Tingkat Emisi
Mitigasi
• Biogas POME dan
32,62 34,95 36,90 39,25 39,93 41,51 45,82 50,64 56,03 62,05
industri lain
• Biogas Pulp Kertas 2,57 2,71 2,78 2,90 3,03 3,05 3,26 4,35 4,41 4,47

Penurunan Emisi
• Biogas POME dan
- - 0,04 0,12 0,10 0,12 0,15 0,18 0,21 0,24
industri lain
• Biogas Pulp Kertas - - 0,01 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01

Total Penurunan
0 0 0 0 1 1 1 1 1 2
Sektor Limbah
LAMPIRAN 221

Tabel L .1.2 (lanjutan)


Rincian Potensi Penurunan Emisi GRK Tahunan Sektor Limbah, Skenario Mitigasi CM2
(dalam Juta Ton CO2e)

Sumber Emisi dan


2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
Aksi-aksi Mitigasi
Pengolahan Limbah Padat
Domestik
Tingkat Emisi Baseline 44,73 45,50 46,22 46,89 47,96 47,15 49,39 51,63 53,90 54,26 58,22

Tingkat Emisi Mitigasi


• Pengomposan 44,66 45,14 45,59 46,03 46,88 45,87 47,89 49,89 51,90 51,97 55,62

• Daur Ulang kertas


(TPST, TPS3R, Bank 44,10 44,75 45,34 45,88 46,82 45,87 47,96 50,04 52,13 52,29 56,04
Sampah)
• TPA + LFG Recovery
(SRT atau power 44,15 44,86 45,52 46,12 47,11 46,23 48,37 50,52 52,68 52,92 56,75
plant)
• Energy Recovery
44,73 45,50 46,20 46,86 47,89 47,04 49,20 51,29 53,30 53,19 56,31
PLTSa dan RDF
Penurunan Emisi
Pengomposan 0,07 0,37 0,62 0,86 1,07 1,28 1,50 1,74 2,00 2,29 2,61

• Daur Ulang kertas


(TPST, TPS3R, Bank 0,63 0,75 0,88 1,01 1,14 1,28 1,43 1,59 1,77 1,96 2,18
Sampah)
• TPA + LFG Recovery
(SRT atau power 0,58 0,64 0,70 0,77 0,84 0,92 1,01 1,11 1,22 1,34 1,47
plant)
• Energy Recovery
- 0,01 0,02 0,03 0,06 0,11 0,19 0,34 0,60 1,07 1,91
PLTSa dan RDF
Pengolahan Limbah Cair
Domestik
Tingkat Emisi Baseline 24,58 25,06 25,53 26,00 26,47 26,93 27,40 27,86 28,32 28,78 28,95

Tingkat Emisi Mitigasi


• IPAL Kota terpusat
24,58 25,06 25,53 26,00 26,47 26,93 27,40 27,86 28,32 28,78 28,95
sistem Aerobik
• IPAL Komunal
(Biodigester + gas 24,58 25,06 25,53 26,00 26,47 26,93 27,40 27,86 28,32 28,78 28,95
recovery)
• Sludge Removal 24,58 25,06 25,53 26,00 26,47 26,93 27,39 27,86 28,32 28,77 28,94

• IPAL (statistik) 24,51 24,99 25,46 25,93 26,40 26,86 27,32 27,78 28,24 28,69 28,86

Penurunan Emisi
• IPAL Kota terpusat
0,0002 0,0002 0,0002 0,0003 0,0003 0,0003 0,0004 0,0004 0,0005 0,0006 0,0006
sistem Aerobik
222 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Sumber Emisi dan


2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
Aksi-aksi Mitigasi
• IPAL Komunal
(Biodigester + gas 0,0002 0,0003 0,0003 0,0003 0,0004 0,0004 0,0004 0,0004 0,0005 0,0005 0,0005
recovery)
• Sludge Removal 0,0009 0,0010 0,0011 0,0012 0,0014 0,0016 0,0018 0,0020 0,0023 0,0026 0,0030

• IPAL (statistik) 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08

Pengolahan Limbah
Padat Industri (Sludge
IPAL Pulp dan Kertas)
Tingkat Emisi Baseline 0,24 0,25 0,27 0,28 0,29 0,31 0,32 0,33 0,35 0,37 0,38

Tingkat Emisi Mitigasi


• Pengomposan 0,24 0,25 0,26 0,28 0,29 0,30 0,32 0,33 0,35 0,36 0,38

• Reuse dan
0,18 0,19 0,20 0,22 0,23 0,24 0,26 0,27 0,29 0,30 0,32
Pemanfaatan lain
• Bahan bakar 0,22 0,23 0,24 0,25 0,27 0,28 0,29 0,31 0,32 0,34 0,36

Penurunan Emisi
• Pengomposan 0,0015 0,0016 0,0017 0,0018 0,0018 0,0018 0,0019 0,0019 0,0019 0,0019 0,0018

• Reuse dan
0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06
Pemanfaatan lain
• Bahan bakar 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03

Pengolahan Limbah
- - - - - - - - - - -
Cair Industri
Tingkat Emisi Baseline 73,59 81,23 89,77 99,33 110,05 122,06 135,54 150,66 167,65 186,74 208,29

• Industri (selain
pulp kertas, 69,05 76,62 85,09 94,58 105,21 117,14 130,53 145,57 162,46 181,45 202,80
termasuk CPO)
• Pulp & Kertas 4,54 4,61 4,68 4,75 4,83 4,92 5,00 5,09 5,19 5,29 5,49

Tingkat Emisi Mitigasi


• Biogas POME
68,78 76,07 84,27 93,49 103,85 115,51 124,53 136,57 150,46 166,45 184,80
dan industri lain
• Biogas Pulp Kertas 4,54 4,60 4,67 4,75 4,83 4,91 5,00 5,09 5,18 5,28 5,48

Penurunan Emisi
• Biogas POME
0,27 0,55 0,82 1,09 1,36 1,64 6,00 9,00 12,00 15,00 18,00
dan industri lain
• Biogas Pulp Kertas 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01

Total Penurunan
2 2 3 4 5 5 10 14 18 22 26
Sektor Limbah
L.1.2 Pengelolaan Sampah di Tingkat Provinsi

Tabel L .1.3
Rumah Kompos di TPS 3R
Asumsi kapasitas pengolahan kompos: 388 kg/unit TPS 3R/hari

Jumlah DISTRIBUSI JUMLAH UNIT TPS 3R


RUMAH KOMPOS DI TPS 3R YANG MEMILIKI RUMAH KOMPOS (UNIT)
Provinsi

Target 2030 Baseline 2010-2017 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030

Aceh 29 10 12 13 15 17 19 20 22 24 25 27 29

Sumatera Utara 73 0 7 13 20 27 33 40 47 53 60 66 73

Sumatera Barat 28 0 3 5 8 10 13 15 18 20 23 25 28

Riau 49 4 8 12 16 20 24 28 33 37 41 45 49

Jambi 19 9 10 11 12 13 14 15 16 16 17 18 19

Sumatera Selatan 51 1 6 10 15 19 24 28 33 37 42 46 51

Bengkulu 11 3 4 4 5 6 6 7 8 8 9 10 11

Lampung 51 0 5 9 14 19 23 28 32 37 42 46 51

Kep. Bangka Belitung 8 12 12 11 11 11 10 10 10 9 9 9 8

Kep. Riau 13 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12 13 13

DKI Jakarta 75 9 15 21 26 32 38 44 50 56 61 67 73

Jawa Barat 356 91 115 139 163 187 211 236 260 284 308 332 356

Jawa Tengah 237 106 118 130 142 154 166 177 189 201 213 225 237

DI Yogyakarta 24 0 2 4 7 9 11 13 15 17 20 22 24

Jawa Timur 265 23 45 67 89 111 13 155 177 199 221 243 265
LAMPIRAN
223
224
Jumlah DISTRIBUSI JUMLAH UNIT TPS 3R
RUMAH KOMPOS DI TPS 3R YANG MEMILIKI RUMAH KOMPOS (UNIT)
Provinsi

Target 2030 Baseline 2010-2017 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
NDC MITIGASI

Banten 98 0 9 18 27 36 45 53 62 71 80 89 98

Bali 27 0 2 5 7 10 12 15 17 20 22 25 27
PETA JALAN IMPLEMENTASI

Nusa Tenggara Barat 30 0 3 6 8 11 14 16 19 22 24 27 30

Nusa Tenggara Timur 30 0 3 5 8 11 14 16 19 22 24 27 30

Kalimantan Barat 26 1 3 6 8 10 13 15 17 19 22 24 26

Kalimantan Tengah 15 0 1 3 4 6 7 8 10 11 12 14 15

Kalimantan Selatan 22 6 7 9 10 12 13 15 16 18 19 21 22

Kalimantan Timur 21 0 2 4 6 8 9 11 13 15 17 19 21

Kalimantan Utara 5 0 0 1 1 2 2 3 3 4 4 4 5

Sulawesi Utara 13 5 6 6 7 8 8 9 10 10 11 12 13

Sulawesi Tengah 16 0 1 3 4 6 7 9 10 12 13 15 16

Sulawesi Selatan 44 4 8 11 15 19 22 26 30 33 37 41 44

Sulawesi Tenggara 15 1 2 4 5 6 7 9 10 11 12 14 15

Gorontalo 6 3 3 4 4 4 5 5 5 5 6 6 6

Sulawesi Barat 8 0 1 1 2 3 3 4 5 6 6 7 8

Maluku Utara 10 28 26 25 23 21 20 18 16 15 13 11 10

Maluku 70 0 1 1 2 3 3 4 5 6 6 7 8

Papua Barat 60 0 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6

Papua 18 0 2 3 5 7 8 10 12 13 15 17 18

Jumlah 1.703 326 451 576 702 827 952 1.077 1.202 1.327 1.453 1.578 1.703
Tabel L.1.4
Jumlah TPS 3R yang Memiliki Unit Recovery Material Kertas
Asumsi berat kertas yang di-recovery: 150 kg/unitTPS 3R/hari

Jumlah TPS 3R yang melakukan DISTRIBUSI JUMLAH UNIT TPS 3R


recovery material kertas YANG MELAKUKAN RECOVERY MATERIAL KERTAS (UNIT)
Provinsi

Target 2030 Baseline 2010-2017 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030

Aceh 51 10 14 17 21 25 29 32 36 40 44 47 51

Sumatera Utara 130 0 12 24 35 47 59 71 82 94 106 118 130

Sumatera Barat 49 0 4 9 13 18 22 27 31 36 40 45 49

Riau 87 4 12 19 27 34 42 49 57 64 72 79 87

Jambi 34 9 11 14 16 18 20 23 25 27 30 32 34

Sumatera Selatan 90 1 9 17 25 33 41 50 58 66 74 82 90

Bengkulu 19 3 4 6 7 9 10 12 13 14 16 17 19

Lampung 90 0 8 16 25 33 41 49 58 66 74 82 90

Kep. Bangka Belitung 15 12 12 12 13 13 13 13 14 14 14 14 15

Kep. Riau 23 10 11 12 13 15 16 17 18 19 20 22 23

DKI Jakarta 129 9 20 31 42 53 64 75 86 96 107 118 129

Jawa Barat 631 91 140 189 238 287 336 385 435 484 533 582 631

Jawa Tengah 420 106 135 163 192 220 249 277 306 334 363 392 420

DI Yogyakarta 42 0 4 8 12 15 19 23 27 31 35 38 42

Jawa Timur 470 23 64 104 145 185 226 267 307 348 388 429 470

Banten 174 0 16 32 47 63 79 95 111 126 142 158 174


LAMPIRAN
225
226
Jumlah TPS 3R yang melakukan DISTRIBUSI JUMLAH UNIT TPS 3R
recovery material kertas YANG MELAKUKAN RECOVERY MATERIAL KERTAS (UNIT)
Provinsi

Target 2030 Baseline 2010-2017 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
NDC MITIGASI

Bali 48 0 4 9 13 17 22 26 30 35 39 43 48

Nusa Tenggara Barat 54 0 5 10 15 20 24 29 34 39 44 49 54


PETA JALAN IMPLEMENTASI

Nusa Tenggara Timur 53 0 5 10 14 19 24 29 33 38 43 48 53

Kalimantan Barat 47 1 5 9 13 18 22 26 30 34 38 43 47

Kalimantan Tengah 27 0 2 5 7 10 12 15 17 20 22 24 27

Kalimantan Selatan 40 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 37 40

Kalimantan Timur 37 0 3 7 10 13 17 20 23 27 30 33 37

Kalimantan Utara 9 0 1 2 2 3 4 5 5 6 7 8 9

Sulawesi Utara 22 5 7 8 10 11 13 14 16 17 19 21 22

Sulawesi Tengah 29 0 3 5 8 10 13 16 18 21 23 26 29

Sulawesi Selatan 78 4 11 18 24 31 38 45 51 58 65 72 78

Sulawesi Tenggara 27 1 3 6 8 10 13 15 17 20 22 24 27

Gorontalo 11 3 4 5 5 6 7 8 8 9 10 11 11

Sulawesi Barat 14 0 1 2 4 5 6 7 9 10 11 12 14

Maluku Utara 17 28 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17

Maluku 12 0 1 2 3 4 6 7 8 9 10 11 12

Papua Barat 10 0 1 2 3 4 4 5 6 7 8 9 10

Papua 32 0 3 6 9 12 15 18 21 24 26 29 32

Jumlah 3.018 326 571 815 1.060 1.305 1.550 1.794 2.039 2.284 2.528 2.773 3.018
Tabel L.1.5
Jumlah Unit Fasilitas Pengelolaan Sampah
Asumsi kapasitas pengolahan kompos: 6466 kg/unit TPST/hari

Jumlah DISTRIBUSI JUMLAH UNIT TPS 3R YANG


RUMAH KOMPOS DI TPST MEMILIKI RUMAH KOMPOS (UNIT)
Provinsi

Target 2030 Baseline 2010-2017 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030

Aceh 25 0 2 5 7 9 11 14 16 18 20 23 25

Sumatera Utara 63 54 55 56 56 57 58 59 60 61 61 62 63

Sumatera Barat 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Riau 42 0 4 8 12 15 19 23 27 31 35 38 42

Jambi 17 7 8 9 10 10 11 12 13 14 15 16 17

Sumatera Selatan 44 3 7 10 14 18 22 25 29 33 36 40 44

Bengkulu 9 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9

Lampung 44 0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44

Kep. Bangka Belitung 7 0 1 1 2 3 3 4 5 5 6 7 7

Kep. Riau 11 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 11 11

DKI Jakarta 63 2 8 13 19 24 30 35 41 46 52 57 63

Jawa Barat 307 37 62 86 111 135 160 184 209 233 258 283 307

Jawa Tengah 204 6 24 42 60 78 96 114 132 150 168 186 204

DI Yogyakarta 21 0 2 4 6 7 9 11 13 15 17 19 21

Jawa Timur 229 14 34 53 73 92 112 131 151 170 190 209 229

Banten 85 2 10 17 25 32 40 47 55 62 70 77 85
LAMPIRAN
227
228
Jumlah DISTRIBUSI JUMLAH UNIT TPS 3R YANG
RUMAH KOMPOS DI TPST MEMILIKI RUMAH KOMPOS (UNIT)
Provinsi

Target 2030 Baseline 2010-2017 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
NDC MITIGASI

Bali 23 0 2 4 6 8 11 13 15 17 19 21 23

Nusa Tenggara Barat 26 0 2 5 7 10 12 14 17 19 21 24 26


PETA JALAN IMPLEMENTASI

Nusa Tenggara Timur 26 0 2 5 7 9 12 14 16 19 21 23 26

Kalimantan Barat 23 0 2 4 6 8 10 12 14 17 19 21 23

Kalimantan Tengah 13 3 4 5 6 7 8 9 9 10 11 12 13

Kalimantan Selatan 19 0 2 4 5 7 9 11 12 14 16 18 19

Kalimantan Timur 18 10 11 11 12 13 14 14 15 16 16 17 18

Kalimantan Utara 4 0 0 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4

Sulawesi Utara 11 1 2 3 4 5 5 6 7 8 9 10 11

Sulawesi Tengah 14 0 1 3 4 5 6 8 9 10 11 13 14

Sulawesi Selatan 38 0 3 7 10 14 17 21 24 28 31 35 38

Sulawesi Tenggara 13 0 1 2 4 5 6 7 8 9 11 12 13

Gorontalo 5 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 5

Sulawesi Barat 7 0 1 1 2 2 3 4 4 5 4 6 7

Maluku Utara 8 0 1 2 2 3 4 5 5 6 7 8 8

Maluku 6 0 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6

Papua Barat 5 0 0 1 1 2 2 3 3 3 4 4 5

Papua 16 0 1 3 4 6 7 9 10 11 13 14 16

Jumlah 1.469 150 268 387 507 626 745 864 983 1.103 1.222 1.341 1.469
Tabel L.1.6
Jumlah TPST memiliki unit recovery material kertas
Asumsi berat kertas yang di-recovery: 2500 kg/unit TPS 3R/hari

Jumlah TPST yang melakukan DISTRIBUSI JUMLAH UNIT TPS 3R


recovery material kertas YANG MELAKUKAN RECOVERY MATERIAL KERTAS (UNIT)
Provinsi

Target 2030 Baseline 2010-2017 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030

Aceh 44 10 13 16 19 22 25 28 32 35 38 41 44

Sumatera Utara 111 0 10 20 30 40 50 61 71 81 91 101 111

Sumatera Barat 42 0 4 8 11 15 19 23 27 31 34 38 42

Riau 74 4 10 17 23 30 36 42 49 55 62 68 74

Jambi 29 9 11 13 15 16 18 20 22 24 26 27 29

Sumatera Selatan 77 1 8 15 22 29 36 43 49 56 63 70 77

Bengkulu 16 3 4 5 7 8 9 10 11 12 14 15 16

Lampung 78 0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 71 78

Kep. Bangka Belitung 13 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 13 13

Kep. Riau 20 10 11 12 13 13 14 15 16 17 18 19 20

DKI Jakarta 111 9 18 28 37 46 55 65 74 83 92 102 111

Jawa Barat 541 91 132 173 214 255 295 336 377 418 459 500 541

Jawa Tengah 360 106 129 152 175 195 221 245 268 291 314 337 360

DI Yogyakarta 36 0 3 7 10 13 16 20 23 26 30 33 36

Jawa Timur 402 23 57 92 126 161 195 230 265 299 333 368 402

Banten 149 0 14 27 41 54 68 81 95 108 122 135 149


LAMPIRAN
229
230
Jumlah TPST yang melakukan DISTRIBUSI JUMLAH UNIT TPS 3R
recovery material kertas YANG MELAKUKAN RECOVERY MATERIAL KERTAS (UNIT)
Provinsi

Target 2030 Baseline 2010-2017 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
NDC MITIGASI

Bali 41 0 4 7 11 15 19 22 26 30 34 37 41

Nusa Tenggara Barat 46 0 4 8 13 17 21 25 29 34 38 41 46


PETA JALAN IMPLEMENTASI

Nusa Tenggara Timur 45 0 4 8 12 16 21 25 29 33 37 41 45

Kalimantan Barat 40 1 5 8 12 15 19 22 26 29 33 36 40

Kalimantan Tengah 23 0 2 4 6 8 10 13 15 17 19 21 23

Kalimantan Selatan 34 6 9 11 14 16 19 21 24 26 29 31 34

Kalimantan Timur 31 0 3 6 9 11 14 17 20 23 26 29 31

Kalimantan Utara 7 0 1 1 2 3 3 4 5 5 6 7 7

Sulawesi Utara 19 5 6 8 9 10 11 13 14 15 16 18 19

Sulawesi Tengah 25 0 2 4 7 9 11 13 16 18 20 22 25

Sulawesi Selatan 67 4 10 15 21 27 33 38 44 50 56 61 67

Sulawesi Tenggara 23 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Gorontalo 10 3 4 4 5 5 6 7 7 8 8 9 10

Sulawesi Barat 12 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Maluku Utara 15 28 27 26 24 23 22 21 20 18 17 16 15

Maluku 11 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Papua Barat 8 0 1 2 2 3 4 5 5 6 7 8 8

Papua 28 0 3 5 8 10 13 15 18 20 23 25 28

Jumlah 2.587 326 532 737 943 1.148 1.354 1.559 1.765 1.970 2.176 2.381 2.587
Tabel L.1.7
Jumlah Unit Fasilitas Recovery Material Kertas di Bank Sampah
Asumsi kapasitas pengolahan kompos: 354 kg/unit bank sampah/hari

Jumlah DISTRIBUSI JUMLAH UNIT BANK SAMPAH


RECOVERY KERTAS DI BANK SAMPAH YANG ME-RECOVERY MATERIAL KERTAS (UNIT)
Provinsi

Target 2030 Baseline 2010-2017 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030

Aceh 13 16 16 15 15 15 15 14 14 14 13 13 13

Sumatera Utara 33 2 5 8 10 13 16 19 22 24 27 30 33

Sumatera Barat 12 38 36 33 31 29 26 24 22 19 17 15 12

Riau 22 6 7 9 10 12 13 15 16 18 19 20 22

Jambi 9 0 1 2 2 3 4 5 5 6 7 8 9

Sumatera Selatan 23 8 9 11 12 13 15 16 17 19 20 21 23

Bengkulu 4 13 12 11 10 10 9 8 7 6 5 5 4

Lampung 23 0 2 4 6 8 10 12 15 17 19 21 23

Kep. Bangka Belitung 4 13 12 11 10 10 9 8 7 6 5 5 4

Kep. Riau 6 8 8 8 7 7 7 7 7 6 6 6 6

DKI Jakarta 33 1 4 7 10 13 15 18 21 24 27 30 33

Jawa Barat 159 2 16 31 45 59 73 88 102 116 131 145 159

Jawa Tengah 106 11 20 28 37 46 54 63 71 80 89 97 106

DI Yogyakarta 11 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Jawa Timur 119 0 11 22 32 43 54 65 75 86 97 108 119

Banten 44 0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44
LAMPIRAN
231
232
Jumlah DISTRIBUSI JUMLAH UNIT BANK SAMPAH
RECOVERY KERTAS DI BANK SAMPAH YANG ME-RECOVERY MATERIAL KERTAS (UNIT)
Provinsi

Target 2030 Baseline 2010-2017 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
NDC MITIGASI

Bali 12 0 1 2 3 4 5 7 8 9 10 11 12

Nusa Tenggara Barat 14 0 1 2 4 5 6 7 9 10 11 12 14


PETA JALAN IMPLEMENTASI

Nusa Tenggara Timur 13 0 1 2 4 5 6 7 8 10 11 12 13

Kalimantan Barat 12 0 1 2 3 4 5 6 8 9 10 11 12

Kalimantan Tengah 7 0 1 1 2 2 3 4 4 5 6 6 7

Kalimantan Selatan 10 0 1 2 3 4 5 5 6 7 8 9 10

Kalimantan Timur 9 2 3 3 4 5 5 6 7 7 8 9 9

Kalimantan Utara 2 0 0 0 1 1 1 1 1 2 2 2 2

Sulawesi Utara 6 0 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6

Sulawesi Tengah 7 0 1 1 2 3 3 4 5 5 6 7 7

Sulawesi Selatan 20 10 11 12 13 14 14 15 16 17 18 19 20

Sulawesi Tenggara 7 0 1 1 2 2 3 4 4 5 5 6 7

Gorontalo 3 5 5 5 4 2 2 2 3 3 3 3 3

Sulawesi Barat 3 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3 3

Maluku Utara 4 0 0 1 1 2 2 2 3 3 4 4 4

Maluku 3 0 0 1 1 1 1 2 2 2 3 3 3

Papua Barat 2 0 0 0 1 1 1 1 2 2 2 2 2

Papua 8 0 1 1 2 3 4 4 5 6 7 7 8

Jumlah 762 126 184 242 299 357 415 473 531 588 646 704 762
LAMPIRAN 233

Tabel L.1.8
Proyeksi Penduduk Indonesia

Jumlah penduduk (unit: orang)


No. Provinsi
2010 2015 2020 2025 2030 2035

1 Aceh 4.523.100 5.002.000 5.459.900 5.870.000 6.227.600 6.541.400

2 Sumatera Utara 13.028.700 13.937.800 14.703.500 15.311.200 15.763.700 16.073.400

3 Sumatera Barat 4.865.300 5.196.300 5.498.800 5.757.800 5.968.300 6.130.400

4 Riau 5.574.900 6.344.400 7.128.300 7.898.500 8.643.300 9.363.000

5 Jambi 3.107.600 3.402.100 3.677.900 3.926.600 4.142.300 4.322.900

6 Sumatera Selatan 7.481.600 8.052.300 8.567.900 9.000.400 9.345.200 9.610.700

7 Bengkulu 1.722.100 1.874.900 2.019.800 2.150.400 2.264.300 2.360.600

8 Lampung 7.634.000 8.117.300 8.521.200 8.824.600 9.026.200 9.136.100

Kepulauan Bangka
9 1.230.200 1.372.800 1.517.600 1.657.500 1.788.900 1.911.000
Belitung

10 Kepulauan Riau 1.692.800 1.973.000 2.242.200 2.501.500 2.768.500 3.050.500

11 DKI Jakarta 9.640.400 10.177.900 10.645.000 11.034.000 11.310.000 11.459.600

12 Jawa Barat 43.227.100 46.709.600 49.935.700 52.785.700 55.193.800 57.137.300

13 Jawa Tengah 32.443.900 33.774.100 34.940.100 35.958.600 36.751.700 37.219.400

14 DI Yogyakarta 3.467.500 3.679.200 3.882.300 4.064.600 4.220.200 4.348.500

15 Jawa Timur 37.565.800 38.847.600 39.886.300 40.646.100 41.077.300 41.127.700

16 Banten 10.688.600 11.955.200 13.160.500 14.249.000 15.201.800 16.033.100

17 Bali 3.907.400 4.152.800 4.380.800 4.586.000 4.765.400 4.912.400

Nusa Tenggara
18 4.516.100 4.835.600 5.125.600 5.375.600 5.583.800 5.754.200
Barat

Nusa Tenggara
19 4.706.200 5.120.100 5.541.400 5.970.800 6.402.200 6.829.100
Timur
234 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Jumlah penduduk (unit: orang)


No. Provinsi
2010 2015 2020 2025 2030 2035

20 Kalimantan Barat 4.411.400 4.789.600 5.134.800 5.432.600 5.679.200 5.878.100

21 Kalimantan Tengah 2.220.800 2.495.000 2.769.200 3.031.000 3.273.600 3.494.500

22 Kalimantan Selatan 3.642.600 3.989.800 4.304.000 4.578.300 4.814.200 5.016.300

23 Kalimantan Timur 3.576.100 4.068.600 4.561.700 5.040.700 5.497.000 5.929.200

24 Sulawesi Utara 2.277.700 2.412.100 2.528.800 2.624.300 2.696.100 2.743.700

25 Sulawesi Tengah 2.646.000 2.876.700 3.097.000 3.299.500 3.480.600 3.640.800

26 Sulawesi Selatan 8.060.400 8.520.300 8.928.000 9.265.500 9.521.700 9.696.000

27 Sulawesi Tenggara 2.243.600 2.499.500 2.755.600 3.003.000 3.237.700 3.458.100

28 Gorontalo 1.044.800 1.133.200 1.219.600 1.299.700 1.370.200 1.430.100

29 Sulawesi Barat 1.164.600 1.282.200 1.405.000 1.527.800 1.647.200 1.763.300

30 Maluku 1.541.900 1.686.500 1.831.900 1.972.700 2.104.200 2.227.800

31 Maluku Utara 1.043.300 1.162.300 1.278.800 1.391.000 1.499.400 1.603.600

32 Papua Barat 765.300 871.500 981.800 1.092.700 1.200.100 1.305.000

33 Papua 2.857.000 3.149.400 3.435.400 3.701.700 3.939.400 4.144.600

Nasional 238.518.800 255.461.700 271.066.400 284.829.400 296.405.100 305.652.400


Tabel L.1.9
Biaya investasi fasilitas pengelolalan sampah yang dibutuhkan masing-masing provinsi untuk skenario unconditional (CM1)

Biaya investasi pemrosesan akhir Biaya investasi pewadahan, pengumpulan dan


Jum- hingga tahun 2030 (Miliar Rupiah) pengangkutan hingga 2030 (Miliar Rupiah)
lah Penampungan
Provinsi TPST/
Kota/ Pewadahan Pewadahan Pengum- Sementara Pengang-
Kab PLTSa RDF ITF TPS3R/ TPA TOTAL TOTAL
Individual Komunal pulan (TPS/ kutan
IPST container)

ACEH 23 - - 380 78 1.546 2.003 84 47 99 70 505 804


SUMATERA
33 - - 980 192 5.643 6.814 213 118 250 176 1.276 2.033
UTARA
SUMATERA
19 - - 380 71 1.930 2.380 80 45 95 67 483 770
BARAT
RIAU 12 - - 660 128 3.128 3.916 116 64 155 109 793 1.238

JAMBI 11 - - 260 50 1.352 1.662 56 31 66 46 337 535


SUMATERA
17 390 250 680 133 3.069 4.522 126 70 168 118 857 1.338
SELATAN
BENGKULU 10 - - 140 28 661 829 31 17 36 25 183 292

LAMPUNG 15 - - 680 135 3.264 4.079 121 67 162 114 827 1.292
KEP. BANGKA
7 - - 120 20 526 666 24 13 28 20 146 232
BELITUNG
KEP. RIAU 7 - - 180 32 1.016 1.228 37 21 44 31 225 358

DKI JAKARTA 6 1.300 575 960 196 3.458 6.488 152 85 227 159 1.155 1.778

JAWA BARAT 27 1.600 400 4.680 955 23.398 31.033 744 412 1.106 777 5.636 8.675

JAWA TENGAH 35 1.000 250 3.120 635 12.376 17.381 495 274 660 464 3.363 5.255

DI YOGYAKARTA 5 - - 320 63 1.547 1.930 57 31 76 53 387 604

JAWA TIMUR 38 500 450 3.480 712 15.878 21.020 554 307 823 579 4.194 6.456

BANTEN 8 800 450 1.300 261 6.118 8.928 205 114 304 214 1.553 2.390

BALI 9 520 350 360 71 1.206 2.507 64 36 76 53 387 616


NUSA TENGGA-
10 - - 400 77 1.801 2.277 75 42 100 71 513 800
RA BARAT
LAMPIRAN
235
Biaya investasi pemrosesan akhir Biaya investasi pewadahan, pengumpulan dan
236
Jum- hingga tahun 2030 (Miliar Rupiah) pengangkutan hingga 2030 (Miliar Rupiah)
lah Penampungan
Provinsi TPST/
Kota/ Pewadahan Pewadahan Pengum- Sementara Pengang-
NDC MITIGASI

Kab PLTSa RDF ITF TPS3R/ TPA TOTAL TOTAL


Individual Komunal pulan (TPS/ kutan
IPST container)
NUSA TENGGA-
22 - - 400 78 1.823 2.301 86 48 102 71 518 825
RA TIMUR
PETA JALAN IMPLEMENTASI

KALIMANTAN
14 - - 360 68 1.621 2.048 77 42 90 64 460 733
BARAT
KALIMANTAN
14 - - 200 41 946 1.187 44 24 52 37 266 423
TENGAH
KALIMANTAN
13 - - 300 59 1.564 1.923 65 36 76 54 391 622
SELATAN
KALIMANTAN
10 - - 280 54 1.615 1.948 60 33 71 50 362 576
TIMUR
KALIMANTAN
5 - - 80 9 357 446 14 8 16 12 85 135
UTARA
SULAWESI
15 260 200 180 30 638 1.308 36 20 43 30 220 349
UTARA
SULAWESI
13 - - 220 42 1.006 1.267 47 26 55 39 283 450
TENGAH
SULAWESI
24 520 250 600 114 3.040 4.524 128 71 151 106 771 1.228
SELATAN
SULAWESI
14 - - 200 40 938 1.178 44 24 51 36 263 419
TENGGARA
GORONTALO 6 - - 100 13 413 526 18 10 22 15 112 178
SULAWESI
6 - - 120 16 553 689 22 12 26 18 135 214
BARAT
MALUKU 11 - - 140 24 697 861 28 16 33 24 171 272

MALUKU UTARA 10 - - 100 17 510 627 20 11 24 17 123 195

PAPUA BARAT 13 - - 80 14 357 451 16 9 17 12 85 139

PAPUA 29 - - 260 49 1.284 1.593 53 29 63 44 320 509

JUMLAH 6.890 3.175 22.700 4.498 105.279 142.542 3.994 2.214 5.365 3.777 27.383 42.733
Lampiran 2
Modeling Penetapan Emisi Baseline dan Mitigasi NDC untuk
Sektor Pertanian, Kehutanan dan Alih Guna Lahan (AFOLU)

Latar Belakang
Paris Agreement tegas menyebutkan perlunya komunitas global bekerja sama untuk menekan kenaikan
temperatur rata-rata bumi dibawah 2oC (tepatnya mengusahakan setinggi-tingginya 1,5oC). Puncak
emisi GRK harus segera dilampaui sehingga dapat tercapai keseimbangan antara emisi antropogenis dan
pembersihannya di pertengahan abad ini. Dengan demikian, penting sekali bagi semua negara untuk
mengarusutamakan strategi mitigasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan jangka panjang
masing-masing. Khusus untuk Indonesia, pembangunan sektor pertanian dan kehutanan telah secara
signifikan berkontribusi terhadap emisi GRK. Kenaikan kebutuhan lahan seiring naiknya kebutuhan
pangan, peternakan, kayu, perumahan dan pembangunan infrastruktur lainnya akan menjadi tantangan
untuk dekarbonisasi.

Selama periode 2000 - 2012, sektor AFOLU menjadi sumber penyumbang emisi GRK terbesar (KLHK,
2015). Pada tahun 2000 total emisi dari sektor ini sekitar 601,67 MtCO2e dan meningkat hingga 807,71
MtCO2e di tahun 2012. Kontribusinya terhadap total emisi nasional berturut-turut dalam 2 tahun terakhir
adalah 60% dan 56%, sementara sektor energi berkontribusi sekitar 30% dan 35%. Dalam konteks
pertumbuhan emisi, sebetulnya yang tertinggi adalah sektor energi yaitu 5,8% per tahun diikuti oleh
sektor limbah 5% per tahun, sektor AFOLU hanya 2,1% per tahun dan industrial process and product
utilization (IPPU) 0,05% per tahun. Namun demikian, variabilitas dari tahun ke tahun emisi sektor kehutanan
sangat tinggi. Hal ini dikarenakan tingginya fluktuasi emisi dari kebakaran gambut dan konversi hutan
atau deforestasi (Gambar L2-1). Emisi dari kebakaran gambut umumnya meningkat signifikan ketika
kekeringan yang berasosiasi dengan El Nino terjadi (Murdiyarso dan Adiningsih, 2006; Putra et al. 2008;
Putra dan Hayasaka 2011; Yulianti et al. 2012; Yuliyanti dan Hayasaka 2013). Antara tahun 2000 - 2012,
tingkat deforestasi tahunan bervariasi dari 0,335 juta hektare/tahun hingga 1,106 juta hektare/tahun.

Rerata bersih emisi GRK dari sektor AFOLU selama periode tahun 2000 - 2012 mencapai 741,35 Mt CO2e.
Empat sumber utama emisi yang mendominasi 95% dari total emisi sektor ini antara lain dekomposisi
gambut (39%), kebakaran gambut (26%), konversi hutan (23%) dan pertanian padi (10% termasuk
penggunaan pupuk nitrogen, kapur, dan lainnya). Emisi dari dekomposisi gambut tampak akan terus
menjadi sumber emisi tertinggi sektor ini. Emisi pada umumnya ditimbulkan dari pembukaan gambut
untuk digunakan aktivitas pertanian, perkebunan dan tanaman kayu. Sebagian besar gambut yang
digunakan untuk aktivitas pertanian dan perkebunan didesain memiliki sistem kanal untuk pengeringan
air gambut sehingga tanaman dan pohon dapat tumbuh di lahan tersebut. Namun demikian praktik
ini mengekspos gambut sehingga teroksidasi. Kecil kemungkinan kita dapat menghentikan emisi dari
pembukaan dan penggunaan gambut kecuali lahan gambut tersebut diairi atau dibasahkan kembali. Opsi
yang paling mungkin untuk menurunkan tingkat emisi dari dekomposisi gambut adalah dengan mening-
katkan pengelolaan air. Peningkatan pengelolaan air ditujukan untuk menghindari pengeringan berlebih
dan untuk menjaga gambut tetap terendam namun juga optimal ditanami.
238 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar L2-1
Tingkat emisi GRK dari sektor AFOLU selama 2000 - 2012 (KLHK, 2015)

1.300
Peat Fire
1.100
Peat decomposition
900
Emission (Mt CO2 e)

Abandonment of managed lands


700
Forest and grassland conversion
500

Changes in forest & other woody


300
biomass stocks
100 Livestock

-100 Rice Cultivation & Soils


2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

Laporan ini menguraikan 3 skenario pembangunan rendah karbon yang digunakan di NDC untuk
pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan yang digunakan yaitu skenario baseline dan mitigasi (CM1
dan CM2).

Kondisi sektoral
Dalam penyusunan lajur pembangunan rendah karbon NDC, asumsi yang disusun didasarkan pada
kondisi sektoral historis dan target pembangunan di sektor tersebut. Kondisi sektoral dan target
pembangunan sektor AFOLU diuraikan berikut:

Pertumbuhan penduduk dan ekonomi


Berdasarkan tren historis, pertumbuhan penduduk cenderung menurun, sebagai contoh tren periode
1980 - 1990 adalah 1,98% sedangkan di periode 2000 - 2010 turun menjadi 1,49%. Penurunan ini terus
berlanjut hingga 1,38% pada 2010-2015, 1,19% pada 2015-2020, 1% pada 2020-2025, 0,8% pada 2025-
2030 dan hingga 0,62% pada 2030-3035. Total populasi pada tahun 2035 diperkirakan melebihi 300 juta,
dengan kata lain 26% lebih banyak dari jumlah saat ini. BPS, Bappenas dan UNFA (2013) memperkirakan
populasi tersebut akan terkonsentrasi di Jawa (167,3 Juta), berturut-turut diikuti oleh Sumatera (68,5 Juta),
Sulawesi (22,7 Juta), Kalimantan (20,3 Juta), Bali dan Nusa Tenggara (17,5 Juta) dan Maluku dan Papua (9,3
Juta).
LAMPIRAN 239

Ekonomi Indonesia tumbuh cukup baik dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Pada awal tahun 2000-an
PDB Indonesia (berdasarkan harga saat ini) hanya Rp 2.300 triliun (USD 248 miliar atau USD 1.132
per kapita) dan pada tahun 2013 meningkat tajam hingga Rp 9.084 triliun (USD 939 miliar atau USD 3.442
per kapita). Namun demikian pertumbuhan ekonomi ini per tahunnya cukup bervariasi antara 4,6% -
6,5% per tahun. RPJMN 2015 - 2019 menetapkan target pertumbuhan 6% - 8% per tahun. Saat ini sektor
industri dan jasa mendominasi hingga 85% dari ekonomi nasional. Penyumbang terbesar sektor industri
antara lain manufaktur, tambang dan galian, konstruksi, serta dari sektor jasa antara lain hotel,
restoran, keuangan, real estate, transportasi dan telekomunikasi. Sisanya dari sektor pertanian,
peternakan, kehutanan dan perikanan (Gambar L2-2).

Gambar L2-2
Komposisi PDB Indonesia tahun 2013

GDP Structure Year 2012


(in percent) Agriculture, Farming, Forestry and Fishery
Mining & Extraction
10,81 14,50
Manufacturing Industry
7,27
Electricity, Gas, and Clean Water
11,80
6,67 Construction
Trading, Hotel and Restaurant
Transportation and Telecommunication
13,96
Finance, Real Estate and Services Company
23,97 Services
10,26 0,76

Sumber daya lahan dan kehutanan


Luas lahan di Indonesia mencapai 187,9 Juta hektare. Pada tahun 2013, sekitar 63,9 Juta hektare (34%)
dialokasikan untuk penggunaan non hutan dan sekitar 124,0 Juta hektare (66%) untuk usaha kehutanan.
Sekitar 14,9 Juta hektare diantara lahan tersebut adalah lahan gambut (Ritung et al., 2011). Data citra
Landsat mengindikasikan 91,4 Juta hektare dari total lahan tidak menunjukkan tutupan hutan, ini bukan
saja teridentifikasi di wilayah yang secara tertulis dikategorikan lahan non-hutan, namun juga pada lahan
yang secara tertulis dianggap wilayah hutan. Sebagaimana dilihat pada Tabel L.2.1, sebagian besar lahan
non-hutan ditemukan di wilayah yang secara hukum termasuk Hutan Produksi (HP), Hutan Lindung (HL)
dan Hutan Konservasi (HK). Secara hukum, hutan-hutan ini tidak diperbolehkan untuk dialihfungsikan
untuk penggunaan selain hutan. Hanya wilayah hutan HPK dan APL yang secara hukum dapat dikonver-
si. Deforestasi yang terjadi di HP, HL dan HK dapat dikategorikan sebagian deforestasi tidak terencana,
sementara yang terjadi di HPK dan APL dapat dikatakan “terencana”. Kehilangan tutupan hutan yang
tak terencana dapat diakibatkan dari kebakaran hutan, pelanggaran batas hutan dan aktivitas ilegal lain.
Definisi serupa - terencana dan tidak terencana dapat digunakan pula dalam konteks degradasi
hutan. Degradasi terencana terutama disebabkan penebangan yang tidak berwawasan pembangunan
berkelanjutan dari konsesi-konsesi hutan legal sekalipun, sementara degradasi hutan tidak terencana
pada umumnya diakibatkan aktivitas penebangan di wilayah hutan.
240 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Berdasarkan kajian terhadap data deforestasi tahun 1990 - 2009, sebagian besar porsinya bukan untuk
pembangunan. Hingga tahun 2013, sebagian besar area terdeforestasi tersebut masih merupakan lahan
tidak produktif7, yang kurang dari 40% nya untuk pembangunan8. Pembukaan lahan atau pembangunan
sebagian besar untuk kepentingan perkebunan dan pertanian (79%), yang mengisyaratkan bahwa
perkebunan cenderung mengakibatkan pembukaan lahan hutan. Di sisi lain, deforestasi juga terjadi tetapi
tidak menjadi lahan produktif (semak, padang rumput, tanah kosong dan ladang berpindah baik di tanah
mineral maupun gambut (Gambar L2-3 dan L2-4). Rata-rata deforestasi tahunan selama periode 1990
- 2012 mencapai 0,92 Juta hektare. Angka tingkat deforestasi tersebut kemudian yang digunakan KLHK
dalam menyusun FREL untuk REDD+ hingga 2020 (KHLK, 2015).

Tabel L.2.1
Ringkasan zona fungsi lahan hutan Indonesia berdasarkan fungsi dan kondisinya hingga ta-
hun 2013 (DitjenPlan, 2014)

Tipe Hutan Kondisi Hutan


berdasarkan Fungsi Hutan Hutan Hutan Non Total
fungsinya Primer Sekunder Kayu Hutan
Area Hutan (000 hektare)
Hutan untuk menjaga biodiversitas flora 12.521,3 4.885,3 136,6 4.452,8 21.996,0
Konservasi (HK) dan fauna serta ekosistemnya, (6,7%) (2,6%) (0,1%) (2,4%) (11,7%)
seperti suaka alam, konservasi, serta
taman berburu
Hutan Lindung untuk menyediakan sistem 14.694,1 9.085,8 311,0 5.826,6 29.917,5
(HL) pendukung, menjaga sistem (7,8%) (4,8%) (0,2%) (3,1%) (15,9%)
hidrologis, menghindari banjir,
mengontrol erosi, intrusi air laut,
dan menjaga kesuburan tanah
Hutan Produksi untuk produksi kayu dan non-kayu 4.569,0 10.032,1 2.709,5 11.586,6 28.897,2
(HP) dan prinsip usaha berkelanjutan dit- (2,4%) (5,3%) (1,4%) (6,2%) (15,4%)
erapkan untuk menjaga ekosistem
hutan sebagai sumber produk kayu
dan non-kayu
Hutan Produksi untuk produksi kayu tapi dengan 10.010,5 11.374,3 483,9 5.818,0 27.686,7
Terbatas (HPT) intensitas penebangan rendah (5,3%) (6,1%) (0,3%) (3,1%) (14,7%)
(akibat kondisi topografis),
diterapkan sistem tebang yang
sangat selektif, potong-bersih yang
sangat terbatas, serta pemeliharaan
silvikultur pasca penebangan

7
Lahan tidak produktif yang tidak digunakan untuk pembangunan antara lain semak, padang rumput, rawa, semak rawa,
lahan kosong, badan air, pertanian lahan kering yang dikombinasikan dengan semak (ladang berpindah)
8
Area pembangunan: hutan (umumnya hutan tanaman kayu), perkebunan pertanian, pemukiman, bandar udara, area
transmigrasi, tambang dan tambak
LAMPIRAN 241

Tipe Hutan Kondisi Hutan


berdasarkan Fungsi Hutan Hutan Hutan Non Total
fungsinya Primer Sekunder Kayu Hutan
Hutan Hutan produksi yang dapat 2.957,3 4.473,6 79.2 8.015,4 15.525,5
Produksi dikonversi untuk kepentingan lain (1,6%) (2,4%) (0,04%) (4,3%) (8,3%)
yang dapat pembangunan, Area Penggunaan
dikonversi(HPK) Lain (APL) contohnya yang boleh
dikonversi untuk pertanian (kopi,
sawit, karet), pemukiman, atau
kebutuhan pendukung lain seperti
jalan, pelabuhan, dll

Area non-hutan
APL Area non hutan yang diperuntukkan 1.306,4 5.538,7 1.322,2 55.728,1 63.895,4
untuk pembangunan non (0,7%) (2,9%) (0,7%) (29,7%) (34,0%)
kehutanan
TOTAL 46.058,6 45.389,8 5.042,4 91.427,5 187.918,3
(24,5%) (24,2%) (2,7%) (48,6%) (100%)

Gambar L2-3
Pembagian area terdeforestasi yang diperuntukkan dan tidak diperuntukkan
bagi pembangunan (Berdasarkan data DitjenPlan, 2014)

Non-Developed Area-unproductive land


Non-Developed Area-shifting cultivation
Developed Area
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
1990-1996 1996-2000 2000-2003 2003-2006 2006-2009
242 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar L2-4
Distribusi lahan tidak produktif dan pertanian lahan kering kombinasi dengan
semak, umumnya ladang berpindah (Dianalisis dari data DitjenPlan, 2014)

(i) Rehabilitasi lahan dan hutan terdegradasi


Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan program rehabilitasi lahan untuk merestorasi,
menjaga dan meningkatkan kondisi hutan dan lahan. Selama periode 1990 - 2013, sekitar 6,2 Juta hektare
lahan terdegradasi, baik di wilayah hutan maupun non-hutan terlah direhabilitasi dengan tingkat
penanaman sekitar 270.000 hektare per tahun. Angka ini terus meningkat signifikan setelah tahun 2002
(Gambar L2-5). Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) yang disusun oleh Kementerian Kehutanan
pada tahun 2011 menyebutkan bahwa pada 2030 ditargetkan 11,6 Juta hektare lahan terdegradasi telah
direhabilitasi. Namun terlepas dari upaya yang telah maksimal, upaya pemeliharaan yang buruk
menyebabkan program rehabilitasi lahan masih jauh dari sukses. Boer (2012) mencatat persentase hidup
yang dicapai oleh penanaman program tersebut hanya 20%.
LAMPIRAN 243

Gambar L2-5
Tingkat rehabilitasi lahan di dalam dan luar kawasan hutan (Berdasarkan data dari
Statistik Kehutanan tahun 2001-2013; Kementerian Kehutanan, 2002, ..., 2014b)9

700 Land Rehabilitation in FA


Land Rehabilitation in NFA
600
Area (000 hektare)

500

400

300

200

100

0
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(ii) Produksi kayu
Pemerintah Indonesia menargetkan tahun 2030 total izin tanaman hutan kayu mencapai 14,5 Juta
hektare dengan kapasitas produksi kayu gelondongan tahunan sekitar 362,5 Juta m3 round wood
equivalent (RWE) jika diasumsikan pertumbuhannya 25 m3 hektare-1 tahun-1 (Kementerian Kehutanan,
2011). Kontribusi hutan alam untuk produksi kayu akan dipertahankan pada angka 14 Juta m3 yang
diperoleh dari 24,8 Juta hektare hutan alam dengan rataan pertumbuhan tahunan 0,57 m3 hektare-1
tahun-1. Dengan tingkat produksi semacam ini, pada tahun 2030 industri kayu lapis dapat ditingkatkan
produksinya hingga 37,2 million m3, industri penggergajian kayu 41,25 Juta m3, industri pertukangan 21,8
juta m3 dan industri mebel hingga 3,4 Juta m3. Sementara itu industri bubur kertas dan kertas dapat
meningkatkan produksinya hingga 63 Juta ton dan 56,7 Juta ton (total sekitar 240 Juta m3 RWE; Gambar
L2-6). Sebagai tambahan, industri kehutanan juga dapat berkontribusi terhadap produksi bioenergi
hingga 5 Juta ton metanol (Kementerian Kehutanan, 2011).


9
http://www.dephut.go.id/index.php/news/statistik_kehutanan
244 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar L2-6
Proyeksi produksi industri perkayuan (Kementerian Kehutanan, 2011)

400
Other processed
350 materials
Pulp and Paper
300 Plywood
Volume (million m3 RWE)

Sawnwood
250

200

150

100

50

0
2015 2020 2020 2030

Dalam rangka memenuhi target-target tersebut diatas, Kementerian Kehutanan hingga tahun 2013
telah mengeluarkan izin untuk penanaman kayu industri sebanyak 10,29 Juta hektare. Namun demikian,
total area yang telah ditanami baru 5,7 Juta hektare. Rata-rata tingkat penanaman per tahun sekitar 237.000
hektare. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dalam peta jalan yang telah direvisinya mengusulkan
untuk meningkatkan penanaman hutan hayu melalui partisipasi berbasis masyarakat. Diharapkan pada
tahun 2025 izin untuk penanaman industri kayu (swasta) mencapai 12,7 Juta hektare sementara hutan
desa dan hutan sosial sekitar 1 Juta hektare.

Pemerintah Indonesia meningkatkan HTI dan mengoptimalisasi penggunaan kayu dari sumber lain seperti
kayu sawit, kayu karet dan area terdegradasi untuk menjawab kebutuhan akan industri kayu proses yang
semakin meningkat sehingga ketergantungan terhadap hutan alam dapat berangsur dikurangi. Namun
demikian dengan terbatasnya kayu dari HTI, ketergantungan terhadap hutan alam terus berlanjut. Pada
awal tahun 1970an industri kayu proses hanya fokus pada kayu lapis dan sedikit industri penggergajian,
sehingga sebagian kecil saja hutan alam dirambah. Setelah tahun 2000 industri bubur kertas dan kertas
meningkat cepat (Gambar L2-8a). Pada tahun 2014 industri kayu proses ini mengkonsumsi hingga 65 Juta
m3 RWE yang diantara 81% untuk bubur kertas, 12% untuk kayu lapis, 5% untuk industri penggergajian
dan 3% untuk kayu proses lainnya. Jika dibandingkan dengan data penyediaan kayu resmi angka ini jauh
lebih tinggi (Gambar L2-8b). Selisih terbesar yaitu tahun 2003 yaitu sekitar 30 Juta m3 RWE (Gambar
L2-8c). Banyak penelitian mengindikasikan kayu ilegal yang beredar untuk memenuhi kekurangan
tersebut diperoleh dari hutan alam (Kementerian Kehutanan, 2007; Klassen, 2010; Hoare dan Welleslay,
2014; Koalisi Anti Mafia Kehutanan, 2015). Dalam Peta Jalan Revitalisasi Industri Kehutanan, kayu
gelondongan ilegal yang diserap oleh industri pemrosesan kayu diperkirakan mencapai 42,2 Juta m3 RWE
pada tahun 2002 berkurang menjadi 20,3 juta m3 RWE in pada tahun 2005.
LAMPIRAN 245

Gambar L2-7
Angka penambahan HTI selama periode 1990-2013 (Berdasarkan data dari
Statistik Kehutanan 2001-2013; Kementerian Kehutanan, 2002, ..., 2014b)
500.000

450.000

400.000
Planted Area (hektare)

350.000

300.000

250.000

200.000

150.000

100.000

50.000

0
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Gambar L2-8 2013

(a) Jumlah kayu yang diserap industri pemrosesan kayu, (b) Laporan
ketersediaan kayu legal (c) Selisih antara kebutuhan dan ketersediaan kayu

80 80
Other processed materials Other sources
Pulp and Paper IPK
70 70
Volume (million m RWE)

Plywood
Volume (Million m3 RWE)

Natural Forest (HPH)


Sawnwood
Timber Plantation (HTI/Perhutani)
60 60
3

50 50

40 40

30 30

20 20

10 10

0 0
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014

70

Wood Production Wood Consumption


60
Volume (million m3 RWE)

50

40

30

20

10

0
1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014
246 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Sumber daya pertanian


Dalam kurun 10 tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah melakukan pencapaian yang sangat baik
dalam produksi pangan yakni memenuhi target swasembada 5 produk pangan yaitu padi, jagung, kacang
kedelai, gula dan daging. Namun demikian, pada praktiknya hanya beras/padi yang tetap dapat dijaga
keseimbangan pasokan dan kebutuhannya. Komoditas lain hingga saat ini masih ditambah pasokannya
melalui impor. Bahkan untuk beras sekalipun, sesekali masih perlu ditambah pasokan melalui impor
agar stabilitas stok nasional terjaga. Pada tahun 2016 pemerintah memutuskan mengimpor 2,4 Juta ton
jagung untuk memenuhi kebutuhan pakan10. Ketergantungan terhadap impor untuk memenuhi
kebutuhan kedelai juga terus berlanjut. Pada 2014 sebagai contoh, produksi kedelai hanya 0,85 Juta ton
sementara kebutuhannya mencapai 2,5 Juta ton11. Hal yang sama terjadi pada komoditas-komoditas lain,
pemerintah mengimpor 3,1 Juta ton gula kasar12 di tahun 2015.

Dalam rangka meningkatkan produksi pangan, pemerintah Indonesia merencanakan ekspansi


penanaman padi keluar Jawa hingga 1 Juta hektare, 1 Juta lainnya di lahan kering untuk jagung, kedelai dan
palawija, meningkatkan intensitas tanam dengan sistem inter-cropping, meningkatkan produktivitas dan
meningkatkan penggunaan lahan tidak produktif. Hal yang sama juga dilakukan untuk gula,
pemerintah menargetkan untuk meningkatkan produksi gula 1,65% per tahun. Sejumlah program
diantaranya menambah area penanaman tebu 200.000 hektare dan meningkatkan pemanfaatan lahan
tidak produktif (marginal), peningkatan produktivitas dan revitalisasi industri gula serta akses finansial
(Bappenas, 2014).

Berdasarkan data historis 1990 - 2013, pertumbuhan wilayah tanaman pangan sangat kecil. Kenaikan
yang tajam perkebunan dan pertanian disajikan pada Gambar L2-9. Sebagian besar peningkatan
lahan pertanian itu didominasi oleh pembukaan perkebunan sawit. Jumlah area sawit meningkat secara
eksponensial sebesar 12% per tahun, sebagai contoh 0,3 Mha pada tahun 1980 menjadi 10,5 Mha
pada tahun 2012 (Gambar L2-9 kiri). Kenaikan yang tajam ini didorong oleh meningkatnya permintaan
kebutuhan domestik maupun internasional akan biodiesel. Wilayah kopi dan coklat juga meningkat meski
tidak sebanyak sawit (Gambar L2-9 Kiri). Kontribusi industri sawit terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional maupun regional harus diakui sangat signifikan. Diperkirakan industri sawit menyerap 6 Juta
pekerja (Goenadi, 2008). Pada tahun 2008 pendapatan nasional dari ekspor sawit dan produk turunannya
mencapai USD 14,5 miliar yang setara dengan 2,8% PDB Indonesia total tahun 2008 (Indonesian Palm Oil
Commission, 2008; GAPKI, 2009). Sehingga tidak mengherankan jika pertambahan area perkebunan sawit
tergolong paling cepat diantara komoditas lain.


10
http://www.kemenperin.go.id/artikel/13892/2016,-RI-Impor-Jagung-2,4-Juta-Ton

11
http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/05/25/kedelai-masih-harus-impor-tiga-tahun-lagi

12
http://bisnis.liputan6.com/read/2386579/ri-impor-31-juta-ton-gula-untuk-industri
LAMPIRAN 247

Gambar L2-9
Pertumbuhan lahan tanaman pangan berdasarkan komoditas pada 1990-2013

22 45
Oil Palm Idle (unproductive) land
20 Coconut 40 Upland (dryland)
Rubber
18 Cacao Rice Paddy
35

Area (million hektare)


Coffe
16
Area (million hektare)

Pepper
Tea 30
14

12 25

10 20
8
15
6
10
4

2 5

0 0

1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

Pertumbuhan lahan pertanian sebetulnya relatif rendah dibanding dengan perkebunan, bahkan lahan
sawah justru menunjukkan kecenderungan menurun (Gambar L2-9 kiri). Rata-rata penurunan lahan
sawah pada periode 1990 - 2013 sekitar 17.200 hektare per tahun. Banyak penelitian melaporkan bahwa
konversi lahan sawah didominasi oleh meningkatnya kebutuhan akan pemukiman dan pengembangan
wilayah urban/perkotaan (Agus et al., 2006).

Menimbang kontribusi sawit terhadap pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa dibilang kecil, pemerintah
Indonesia memasang target untuk melipatgandakan produksi sawit pada tahun 2020 yaitu 40 Juta ton
CPO (Ditjenbun, 2015; GAPKI, 2014). Lebih jauh lagi, GAPKI (2014) menyusun target peningkatan produksi
hingga 160 Juta ton CPO pada tahun 2050, atau sekitar 8x lebih tinggi dari angka tahun 2012. Diperkirakan
perkebunan kelapa sawit pada tahun 2020 dan 2050 secara berturut-turut mencapai 13,3 dan 28,2 Juta
hektare (Gambar L2-10). Sekitar 50% dan 60% perkebunan diperkirakan akan merupakan milik petani
kecil.

Ekspansi perkebunan sawit telah mencuri perhatian komunitas global karena dianggap dapat
menyebabkan masalah-masalah lingkungan yang serius. Kekhawatiran utamanya adalah konversi
hutan menjadi sawit menjadi kontributor utama emisi CO2 dan mengakibatkan hilangnya biodiversitas.
Perkebunan sawit yang ada di lahan gambut sering kali disebut sebagai ancaman terbesar
perubahan iklim. Terkait hal in pemerintah Indonesia mengumumkan satu kebijakan pada tahun 2010 untuk
mengarahkan perkebunan sawit ke lahan terdegradasi sehingga tidak lagi mengancam konversi hutan
atau gambut. Sebagai tambahan, upaya untuk meningkatkan produksi sawit akan dilakukan melalui
peningkatan produktivitas. Ditargetkan produksi sawit bisa mencapai 32 - 35 ton FFB/hektare (8-9 ton CPO/
hektare) pada periode 2031 - 2050 (GAPKI, 2014). Saat ini produktivitas sawit ada pada kisaran 20-23 ton
FFB/hektare atau 5-6 ton CPO/hektare.
248 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar L2-10
Proyeksi luas lahan dan produksi sawit tahun 2013 - 2050 (GAPKI, 2014)

30 180
160

Production (Mt CPO)


25
140
Area (M hektare)

20 120
100
15
80
10 60
40
5
20
- -
2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
Small Holders Privates & State Companies Production (Mt CPO)

Target untuk mencapai swasembada daging juga sangat menantang. Saat ini produksi daging nasional
hanya dapat memenuhi 65% dari kebutuhan (Ditjen Perternakan, 2015). Kebutuhan nasional ada pada
angka 385.035 ton sementara produksi hanya mencapai 249.925 ton (dari 11-12 juta sapi; Gambar
L2-11). Oleh karena itu kebutuhan nasional masih ditambah oleh pasokan impor. Impor daging
meningkat sekitar 5,5% per tahunnya sementara populasi sapi peningkatannya rata-rata hanya 3,7% per
tahun (Gambar L2-11).

Gambar L2-11
Populasi ternak sapi

20.000.000
Buffalo
18.000.000 Dairy Cattle
Beef Cattle
16.000.000

14.000.000
Populasi (ekor)

12.000.000

10.000.000

8.000.000

6.000.000

4.000.000

2.000.000

-
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
LAMPIRAN 249

Opsi implementasi NDC sektor AFOLU

Skenario-skenario
Tiga opsi skenario pembangunan di dalam NDC ialah (i) Business as Usual (BAU), (ii) counter measures
one (CM1) and (iii) counter measures two (CM2). Skenario BAU disusun dengan asumsi perencanaan
pembangunan sama sekali tidak menyertakan kebijakan maupun program mitigasi perubahan iklim.
Skenario CM1 disusun dengan asumsi sejumlah kebijakan dan program mitigasi perubahan iklim
diimplementasikan. Sementara itu pada CM2 diskenariokan kebijakan dan program mitigasi lebih intensif
lagi dan diimplementasikan maksimal. Pada semua skenario, diasumsikan swasembada padi terpenuhi,
pemintaan lahan untuk peternakan dan pemukiman terpenuhi, serta target produksi beberapa
komoditas strategis juga selalu tercapai (kayu lihat Gambar L2-6; sawit lihat Gambar L2-10).

Lima strategi utama penurunan emisi GRK dari sektor berbasis lahan antara lain: (i) Meningkatkan
pengelolaan sumber daya lahan dan hutan dengan membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
di semua wilayah hutan; (ii) Mendorong adopsi praktik pengelolaan hutan lestari di hutan produksi
dengan mengimplementasikan sistem sertifikasi wajib; (iii) Mengurangi ketergantungan terhadap
hutan alam dalam memenuhi permintaan kayu dengan meningkatkan penanaman hutan kayu di lahan
penduduk dan negara serta memaksimalkan pemanfaatan kayu dari perkebunan; (iv) Mengurangi tekanan
terhadap hutan alam untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan ekspansi lahan pertanian melalui
optimalisasi perencanaan tata ruang, pemanfaatan lahan tidak produktif serta peningkatan produktivitas
dan intensitas penanaman; (v) Meningkatkan rosot karbon melalui restorasi ekosistem hutan produksi
dan rehabilitasi lahan dan moratorium izin baru atau konsesi di lahan gambut.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan mitigasi yang mendukung implementasi
strategi-strategi mitigasi. Upaya untuk menurunkan deforetasi tak terencana khususnya di area yang tidak
memiliki badan penanggung jawab on-site atau area dimana izin konsesi telah dihentikan maka pemerin-
tah Indonesia akan mempercepat pembentukan KPH. Ada sekitar 600-an KPH perlu dibentuk untuk dapat
menangani seluruh wilayah hutan di Indonesia. Dalam Rencana Strategis Kementerian Kehutanan tahun
2010 - 2014 ditargetkan terbentuk 60 KPH (atau sekitar 12 KPH per tahun). Dengan kebijakan mitigasi,
selama periode 2009 - 2013, telah terbentuk 120 KPH atau dua kali lipat melampaui target.

Untuk mengurangi deforestasi terencana dan pembukaan lahan gambut, pemerintah Indonesia juga
telah menetapkan kebijakan moratorium izin atau konsesi baru. Moratorium pertama kali dikukuhkan
melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2010 dan diperbarui tiap 2 tahun (Instruksi Presiden Nomor 6
Tahun 2013 dan Nomor 8 Tahun 2015). Sebagai tambahan pemerintah Indonesia juga telah membentuk
Badan Nasional Restorasi Gambut (BRG), ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 01 Tahun 2016.
BRG akan bertugas untuk koordinasi dan fasilitasi restorasi gambut yang terdegradasi. Target restorasi
gambut hingga 2 Juta hektare.

Saat ini konversi hutan gambut masih terus berlangsung. Untuk mengakomodasi dampak kebijakan
moratorium gambut, sejumlah asumsi disusun dan diintegrasikan dalam setiap skenario. Pada BAU
diasumsikan penggunaan gambut untuk ekspansi lahan sawah tidak diizinkan dan padang rumput bisa
konstan bisa juga digunakan untuk aktivitas pembangunan lain (Tabel L.2.2). Pada skenario CM1 kondisi
tambahan diberlakukan yaitu tidak ada lagi konversi gambut untuk HTI dan pada CM2 lebih jauh lagi
berlaku juga pada perkebunan (sawit dan tanaman tahunan, namun karet tetap diperbolehkan asalkan
dianggap sebagai aktivitas penduduk; Tabel L.2.2). Implementasi efektif dari kebijakan-kebijakan tersebut
diharapkan dapat mengurangi deforestasi dan emisi GRK dari lahan gambut.
250 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel L.2.2
Asumsi pembatasan penggunaan gambut pada BAU, CM1 dan CM2

Konversi lahan gambut hutan


Historis BAU CM1 CM2
alam menjadi fungsi lain
HTI 1 1 0 0
Sawit 1 1 1 0
Karet 1 1 1 1
Tanaman keras 1 1 1 0
Padi di luar Jawa 1 0 0 0
Tanaman tahunan lain 1 1 1 1
Padang rumput 1 0 0 0

Catatan: 0 dan 1 berturut-turut mengindikasikan aktivitas pembangunan baru tidak dapat dan dapat dilakukan lahan gambut

Untuk lebih jauh menurunkan emisi, sejumlah mitigasi diimplementasikan pada kategori lahan tertentu
sebagai berikut:

1. Aksi penurunan emisi CH4 dari budididaya padi melalui peningkatan pengelolaan irigasi dan penggu-
naan varietas rendah emisi
2. Aksi penurunan emisi CH4 dari ternak melalui pemanfaatan kotoran ternak untuk produksi biogas dan
suplemen pakan
3. Aksi penurunan emisi N2O dari penggunaan pupuk nitrogen melalui praktik pertanian organik (mening-
katkan pemanfaatan pupuk organik)
4. Aksi penurunan emisi CO2 dari dekomposisi gambut melalui peningkatan pengelolaan air dan restora-
si gambut
5. Aksi untuk meningkatkan serapan karbon melalui pemanfaatan lahan tidak produktif untuk tanaman
kayu dan agroforestry

Tingkat intervensi aksi mitigasi di tiap skenario disusun berdasarkan tren historis dan rencana pemban-
gunan pemerintah (Tabel L.2.3).
LAMPIRAN 251

Tabel L.2.3
Tingkat implementasi aksi mitigasi pada tiga BAU, CM1 dan CM2

BAU CM1 CM2

Aksi mitigasi Pertum- Pertum- Pertum-


2030 2030 2030
buhan buhan buhan
(%) (%) (%)
(%/tahun) (%/tahun) (%/tahun)

Budidaya padi

Penggunaan varietas rendah 0 0 0,70 14,00 0,70 28,00


emisi di Jawa

Penggunaan varietas rendah 0 0 0,50 10,00 0,50 20,00


emisi di luar Jawa

Pengelolaan irigasi di Jawa 0 0 0,60 12,06 0,60 24,13

Pengelolaan irigasi di luar Jawa 0 0 0,46 9,10 0,46 18,21

Lahan tanaman pangan

Penurunan penggunaan pupuk 0,01 0,40 0,01 0,40 0,01 0,40


nitrogen

Peternakan

Manure management (biogas) 0 0 0,375 7,50 0,375 15,00

Suplemen pakan pada sapi 0 0 1,00 20,00 1,00 40,00


perah

Suplemen pakan pada ternak 0 0 0,50 10,00 0,50 20,00


lain

Pengelolaan gambut1

Peningkatan pengelolaan air 0 0 5,5 60,00 6,5 60,00

Restorasi 0 0 2,4 48,00 5,0 80,00

Efektivitas 0 0 0 90,00 0 90,00

Rehabilitasi lahan

Lahan tersedia digunakan untuk 31 50 45


implementasi Aff/Reff dengan
rotasi

Tingkat harapan hidup Aff/Reff 0,87 59 1,72 69 3,00 88


dengan rotasi

Lahan tersedia digunakan untuk 28 50 50


implementasi Aff/Reff tanpa
rotasi

Tingkat harapan hidup Aff/Reff 1,02 24 2,8 34 4,5 46


tanpa rotasi

Catatan: 1untuk pengelolaan gambut, area tanaman kayu dan sawit yang dapat diperbaiki pengelolaan airnya terbatas hanya 40%
dari total area (1,44 Juta hektare), sementara restorasi gambut diarahkan ke lahan non-produktif seperti padang rumput
dan semak yaitu kurang lebih 50% dari total padang rumput atau 3,23 Juta hektare
252 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Model, data dan asumsi

(i) Model
Kajian strategi rendah karbon menggunakan AFOLU Dashboard Model yang disusun oleh Boer et al. (2016).
Model tersebut dikembangkan sebagai bagian dari DDPP (Deep Decarbonization Pathway Project – IDDRI,
2016). Model terdiri dari 3 modul yaitu (i) Alih fungsi lahan; (ii) Aktivitas dan (iii) emisi. Tahap awal analisis
adalah menentukan kategori penggunaan lahan (hutan, tanaman pangan, padang rumput, pemukiman,
lahan basah dan APL) di tahun dasar (base year) yang dalam hal ini dipilih tahun 2010 dan data yang
diperhitungkan termasuk statistik maupun data satelit. Alih fungsi lahan di tahun berikutnya didorong
oleh perubahan aktivitas untuk memenuhi berbagai perubahan target produksi komoditas-komoditas
utama seperti sawit, padi dan kayu juga perubahan komoditas lain baik pangan, pakan maupun untuk
kebutuhan pemukiman. Perubahan tata guna lahan akan menghasilkan emisi GRK dan tingkat emisi dari
tiap jenis lahan dapat dikurangi dengan mengimplementasikan aksi mitigasi.

Tingkat kebutuhan pangan, pakan dan pemukiman ditentukan oleh perubahan populasi penduduk dan
binatan serta tingkat konsumsi masing-masing komoditas. Tingkat konsumsi komoditas pangan (beras
dan serealia) dipengaruhi perubahan PDB. Kapasitas lahan untuk memproduksi komoditas bergantung
pada produktivitas tanaman dan intensitas penanaman serta efisiensi guna lahan. Oleh karena itu peru-
bahan guna lahan di masa mendatang bergantung perubahan faktor-faktor seperti populasi, pertumbu-
han PDB, pertumbuhan populasi ternak, produktivitas tanaman pangan, intensitas penanaman, tingkat
konsumsi pangan dan pakan, target produksi komoditas-komoditas strategis. Secara skematis hubungan
antara 3 modul dalam AFOLU Dashboard disajikan pada Gambar L2-12.

Gambar L2-12
Skema AFOLU Dashboard Model

Input: Data Statistik


Tahun dasar peta Disagregasi kategori Luas area Komoditas
tutupan lahan tahun 2010 tutupan lahan dari dominan tahun 2010
dari satelit satelit pada (Sawit, Karet dan Padi gogo)
tahun dasar, t(0)

Input:
Data Statistik
Input/asumsi: Perhitungan Penggunaan Luas Panen dan Produktivitas
Pertumbuhan penduduk, PDB, Lahan Awal 2010 tahun 2010 untuk semua komoditas
Produktivitas, Indekspertanaman,
dan target produksi per skenario

Perhitungan tahunan: Input:


Perhitungan tahunan: Laju deforestasi
Perhitungan kebutuhan
Perhitungan LUC hingga
Input/asumsi: lahan untuk setiap hingga 2030
2050 sebagai hasil
Pertumbuhan konversi luasan sawah aktivitas hingga
perubahan aktivitas Mengikuti FREL
tahun 2050 untuk REDD
di Jawa, Pertumbuhan konversi luasan
sawah di luar Jawa dan tumbuhan
tahunan di luar Jawa per skenario Input/Asumsi:
Faktor emisi BAU, Kebijakan dan
Perhitungan Emisi
aksi mitigasi; rata-rata emisi dari
Input/asumsi: kebakaran gambut
Tingkat intervensi untuk
aktivitas mitigasi pada tiap
tipe guna lahan Perkiraan emisi Modul Aktivitas
BAU dan Mitigasi Modul Penggunaan Lahan
per skenario Modul Emisi
LAMPIRAN 253

(ii) Data dan asumsi


Populasi dan permintaan. Asumsi pertumbuhan populasi (baik penduduk maupun binatang) juga
pertumbuhan PDB sama pada ketiga skenario (Tabel L.2.2). Sebagaimana dijelaskan diatas, peningkatan
populasi akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan juga pangan dan pakan. Untuk
memenuhi meningkatnya permintaan lahan, model mengambilnya dari padang rumput dan lahan
non-produktif (termasuk APL; Tabel L.2.2). Padang rumput akan digunakan untuk pangan dan pemukiman
selama kebutuhan untuk ternak telah terpenuhi terlebih dahulu. Ketika padang rumput tersedia dan
lahan non-produktif tidak mencukupi, model akan otomatis meningkatkan tingkat deforestasi. Hal ini
berarti deforestasi akan terjadi hanya untuk memenuhi kebutuhan lahan untuk pembangunan, atau yang
dikategorikan sebagai deforestasi terencana, Pengecualian untuk wilayah Jawa, padi sawah umumnya
dikonversi menjadi pemukiman dan komersial, sementara di luar Jawa pembangunan padi umumnya
terjadi di lahan pertanian kering. Pola ini telah terjadi pada tren historis (Tabel L.2.5).

Tabel L.2.4
Proyeksi populasi penduduk dan ternak serta PDB

2010 2020 2030

Populasi [Juta] 239 271 296

PDB per kapita [USD/kapita] 1.299 2.327 4.167

Populasi (000 ekor)

Sapi perah 366 390 415

Ternak lain 9.727 10.107 10.502

Kerbau 1.440 1.496 1.554

Domba 10.725 11.144 11.580

Kambing 16.620 17.269 17.943

Kuda 419 435 452

Babi 7.477 7.769 8.073

Ayam lokal 84.672 87.979 91.416

Ayam petelur 105.210 109.320 113.590

Ayam broiler 162.225 168.562 175.146

Bebek 44.302 46.035 47.835

Catatan: Proyeksi populasi ternak mengikuti tren historis (Ditjenbun, 2015)


254 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel L.2.5
Input tingkat deforestasi dan konversi lahan pangan pada skenario BAU, CM1 dan CM2

Historis1 BAU CM1 CM2


Padi di Jawa (000 hektare/tahun) 1
-52,311 -41,87 -22,13 -3,87
(-1,34%/tahun) (-1,2%/tahun) (-0,6%/tahun) (-0,1%/tahun)
Padi di luar Jawa (000 hektare/tahun)1 48,405 47,472 26,82 31,92
(1,31%/ tahun) (1,15%/tahun) (0,68%/tahun) (0,8%/tahun)
Tingkat deforestasi (000 hektare/tahun)3 919 2013-’20:919 2013-’20:459 2013-’20:300
2021-’30:819 2021-’30:359 2021-’30:175
Tanaman tahunan lain (000 hektare/ -36,4 -35 -25 -25
tahun)4

Catatan: 1Tingkat konversi tahunan hingga 2050; 2Periode acuan adalah tahun 2000 - 2010 dan untuk deforestasi 1990 - 2012
(KLHK, 2015); 3Total deforestasi terencana dan tidak terencana. 4Berdasarkan data historis (1990 - 2013) sekitar 36,000
hektare lahan pertanian telah dikonversi untuk area terbangun lain seperti pemukiman.

Menimbang pola guna lahan historis, konversi hutan tidak semata-mata digunakan untuk pembanguan
(untuk memenuhi kebutuhan pemukiman, pangan, pakan dan target produksi). Gambar L2-3 menunjuk-
kan bahwa area yang terdeforstasi tidak dibangun tapi tetap ditinggalkan sebagai lahan non-produktif
(atau juga disebut deforetasi tidak terencana). Pemerintah Indonesia telat menyusun FREL untuk
mengevaluasi performa implementasi REDD+ (MoEF, 2015). Tingkat deforestasi di masa datang hingga
2020 diasumsikan sama dengan tren historis tahun 1990 - 2012. Penggunaan periode referensi panjang
dimaksudkan untuk menangkap kondisi umum transisi hutan di Indonesia dan merefleksikan kondisi
nasional, dinamika kebijakan, dan dampak (biofisik, sosial, pertumbuhan ekonomi, politik dan perencanaan
tata ruang). Untuk menangkap deforestasi tidak terencana, model digunakan sebagai input (Tabel L.2.5).
Tingkat deforestasi dari FREL dijadikan sebagai input model. Ketika deforestasi terencana lebih sedikit dari
input deforestasi, selisihnya akan dianggap sebagai deforestasi tidak terencana. Input deforestasi hanya
berlaku untuk periode hingga 2030, artinya tidak ada lagi deforestasi tidak terencana setelah tahun 2030.
Oleh karena itu tingkat deforestasi setelah 2030 hanya dari model (hanya deforestasi terencana).

Konsumsi, hasil dan intensitas penanaman


Kebutuhan komoditas-komoditas utama (pangan, pakan, kayu dan pemukiman) meningkat di masa
mendatang seiring dengan peningkatan populasi dan perubahan target ekspor pemerintah. Peningkatan
permintaan bergantung juga pada pola konsumsi, yang dipengaruhi oleh perubahan pendapatan (Chern
et al., 2003; Wailes dan Chavez, 2012; Diacon dan Maha, 2015). Banyak penelitian membuktikan tingkat
konsumsi meningkat seiring meningkatnya pendapatan (Ambarwati, 2015; Lisna dan Rivai, 2011; Diacon
dan Maha, 2015). Data konsumsi 2004 - 2008 menunjukkan bahwa peningkatan PDB per kapita sebesar
10% meningkatkan tingkat konsumsi sekitar 4,6% jika tidak ada perubahan inflasi, harga bahan pangan
utama - beras dan IPM (Lisna dan Rivai, 2011). Namun demikian, konsumsi beras menunjukkan korelasi
negatif dengan pendapatan, yang dalam hal ini diwakili oleh PDB per kapita (Kemendag, 2013; Boer et
al., 2014). Sudaryanto et al. (2010) telah membuat proyeksi tingkat konsumsi untuk sejumlah komoditas
hingga tahun 2050 dengan mempertimbangkan perubahan pendapatan tadi. Studi ini mengadopsi angka
pertumbuhan tingkat konsumsi dari studi Sudaryanto et al. (2010) dan mengintegrasikan tren historis
konsumsi dari Kemendag (2013), Bappenas (2013) dan Kementan (2015) sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel L.2.6.
LAMPIRAN 255

Tabel L.2.6
Proyeksi tingkat konsumsi masing-masing komoditas pada skenario BAU, CM1 dan CM2

BAU CM1 CM2


Komoditas 2010
2030 2030 2030

Konsumi tanaman tahunan (kg/kapital/tahun)

Beras 141,201 126,87 126,87 126,87

Jagung 84,77 89,11 93,66 93,66

Sayuran 55,55 61,38 61,38 61,38

Sumber minyak nabati 65,05 71,87 71,87 71,87

Tanaman pangan lain 13,80 14,64 14,64 14,64

Singkong 59,78 68,32 68,32 68,32

Tebu/gula 147,00 197,99 197,99 197,99

Consumption of perennial Crops (kg/cap/tahun)

Buah dan kacang-kacangan 80,33 88,76 88,76 88,76

Sawit 4,29 4,74 4,74 4,74

Grass consumption by animal (kg/hari/kepala)

Sapi (perah, potong) dan kerbau 35 35 35 35

Kuda 20 20 20 20

Kambing dan domba 5 5 5 5

Babi 3 3 3 3

Ayam kampung 0,10 0,10 0,10 0,10

Ayam petelur 0,09 0,09 0,09 0,09

Ayam broiler 0,09 0,09 0,09 0,09

Bebek 0,16 0,16 0,16 0,16

1
Konsumsi ini meliputi bahan pokok harian seperti pangan, bji-bijian, pakan ternak dan bahan mentah untuk industri pangan dan
non pangan (Bappenas, 2013).

Kapasitas produksi komoditas-komoditas utama untuk memenuhi tingkat permintaan ditentukan oleh
produktivitas tanaman dan intensitas penanaman. Pada RPJM Pangan dan Pertanian Bappenas (2013)
serta Rencana Strategis Kementerian Pertanian (2015) pemerintah telah menetapkan target untuk
meningkatkan produktivitas dan intensitas penanaman beberapa komoditas utama, juga ekspansi
lahan pertanian. Sejumlah penelitian dilakukan untuk menemukan varietas yang tinggi produktivitasnya,
teknologi, sistem budidaya dan perbaikan infrastruktur irigasi. Mengingat target pemerintah juga
mempertimbangkan performa historis dalam upayanya meningkatkan produktivitas dan intensitas
penanaman, maka studi ini memproyeksikan 2 variabel tersebut seperti dalam Tabel L.2.7.
256 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel L.2.7
Proyeksi produktivitas dan intensitas penanaman dalam skenario BAU, CM1 dan CM2

BAU CM1 CM2


Komoditas 2010
2030 2030 2030
Produktivitas tanaman tahunan (ton/hektare)
Padi di Jawa 5,80 5,88 6,04 6,50
Padi di luar Jawa 4,20 4,67 4,81 5,50
Padi dataran tinggi nasional 3,04 3,04 3,12 3,50
Serealia lain (utamanya jagung) 4,44 4,71 5,58 5,58
Sayuran 2
9,03 9,51 10,43 10,43
Sumber minyak nabati 2
5,27 7,00 7,00 7,00
Pangan lain2 0,87 1,06 1,06 1,06
Singkong 20,22 23,11 27,23 27,23
Tanaman gula (terutama tebu) 47,89 56,45 65,27 65,27
Produktivitas tanaman perenial (ton/hektare)
Buah dan kacang-kacangan2 10,71 11,34 12,26 12,26
Pangan Industri 2
0,85 1,01 1,09 1,09
Sawit (FFB) 3
16,10 22,70 24,08 24,08
Intensitas penanaman tanaman tahunan (IP) 4

Padi di Jawa 1,80 1,90 1,99 2,20


Padi di luar Jawa 1,45 1,58 1,58 1,90
Padi dataran tinggi nasional 0,90 0,92 0,92 1,00
Serealia lain (utamanya jagung) 0,63 0,63 0,66 0,66
Sayuran 0,63 0,63 0,65 0,65
Sumber minyak nabati 0,67 0,67 0,67 0,67
Pangan lain 0,56 0,56 0,56 0,56
Singkong 0,63 0,63 0,63 0,63
Tanaman gula (terutama tebu) 1,00 1,00 1,00 1,00
Intensitas penanaman tanaman perenial 4

Tanaman industri lain, buah dan


0,14 0,14 0,14 0,14
kacang-kacangan
Karet 1,00 1,00 1,00 1,00
Sawit 0,64 0,64 0,64 0,64
Grass/Animal Feed Productivity (kg/m ) 2 5

Rumput alami 6
0,5 0,61 0,62 0,63
Padang rumput 7
5,0 6,10 6,22 6,27

Catatan: 1Input untuk dashboard adalah dalam bentuk pertumbuhan hasil (% per tahun) berdasarkan data historis dan target
pemerintah (Bappenas, 2013; Kementan, 2014; Ditjenbun, 2015). 2Untuk tanaman gabungan, hasil dihitung dengan men-
jumlahkan produksi semua jenis tanaman dibagi dengan total area panen dari tanaman tersebut.3 Berdasarkan target
GAPKI (2014); Intensitas Tanam (IP) didefinisikan sebagai rasio antara luas panen dan luas areal baku. Untuk tanaman
semusim, IP mencerminkan jumlah penanaman tanaman dalam satu tahun di lahan yang sama (jika IP = 2, tanaman
tersebut ditanam dua kali setahun di tanah yang sama); untuk tanaman tahunan, IP mencerminkan persentase tanaman
yang sudah menghasilkan. 5Sumber pakan ternak dari rumput alam untuk sapi perah adalah 98%, untuk sapi lainnya
44%, kerbau 23%, domba 93%, kambing 57%, kuda 10%, ayam asli 40%, layer 56%, ayam pedaging 67%, dan bebek 48%
(Statistik Peternakan, 2012). 6 Panjang periode produksi rumput secara alami adalah 365 hari. 7Panjang periode ladang
pakan memproduksi rumput untuk skenario BAU, CM1, CM2 masing-masing adalah 45, 60 dan 75 hari.
LAMPIRAN 257

Produksi kayu
Untuk memenuhi target produksi, sumber kayu utamanya diperoleh dari perkebunan kayu, hutan alam
(konsesi), kayu dari area terdeforestasi dan sumber lain seperti pertanian, aforestasi, dan program
penanaman kembali. Saat ini ada kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan industri kayu
sehingga penebangan liar terpaksa menjadi pilihan untuk menutup kesenjangan tersebut. Untuk menga-
komodir kondisi ini, model mengasumikan pemanfaatan kayu dari hutan alam saat ini (50 m3 per hektare)
masih lebih tinggi tingkat pemanfaatan kayu yang lestari (30 m3 per hektare). Dan di masa mendatang
diasumsikan semua sudah memenuhi tingkat pemanfatan kayu yang lestari. Namun demikian, tingkat
pemanfaatan yang lestari diatur lebih awal pada CM2 yaitu tahun 2030, sedikit lama pada CM1 yaitu tahun
2040 dan terakhir dapat dicapai 2050 pada skenario BAU.

Produksi kayu dari hutan alam ditargetkan mencapai 20 Juta m3 per tahun pada 2050 (berdasarkan
skenario APHI), sedangkan pada CM1 dan CM2 dibatasi 14 Juta hektare per tahun saja pada 2020 (Skenario
RKTN, Kementerian Kehutanan 2012). Volume kayu yang diproduksi dari wilayah terdeforestasi
diasumsikan 50 m3/hektare. Saat ini hanya sedikit kayu dari area terdeforestasi yang dimanfaatkan untuk
industri kayu, banyak yang ditinggalkan begitu saja di lokasi, terutama pada wilayah-wilayah yang aksesnya
sulit. Diasumsikan hanya 50% dari kayu tersebut digunakan, namun pada masa mendatang skenarionya
adalah seluruh kayu dari wilayah terdeforestasi tersebut dapat maksimal seluruhnya terserap. Dalam
skenario CM2 kondisi ini dapat dicapai pada 2030, kemudian diikuti CM1 dan terakhir BAU. Hal yang untuk
kayu dari perkebunan rakyat, namun persentasenya lebih kecil (50%). Detailnya dapat dilihat pada Tabel
L.2.8.

Tabel L.2.8
Input yang digunakan untuk memperkirakan produksi kayu pada BAU, CM1 dan CM2

Komoditas 2010 BAU CM1 CM2

Volume kayu yang diambil dari 1 hektare hutan alam (m /hektare)


3 1
50 49 39 39

Target produksi kayu dari hutan alam (juta m3)2 13,4 16,72 14,0 14,0

Tingkat penanaman hutan kayu (000 hektare/tahun) 3


150 150 320 320

Persentase kayu dari area terdeforestasi4 10 51 71 71

Persentase kayu dari sawit dan tanaman pangan industri lain yang 50 50 50 50
diambil kayunya5

Catatan: 1 Pemanfaatan kayu yang berkelanjutan dari hutan alam berkisar pada volume 20 - 35 m3/hektare. Kajian ini mengasumsikan
tingkat pemanfaatan pada 50 m3/hektare di tahun 2010 mengindikasikan kelebihan dari pembalakan liar dan di tahun 2050
diperkirakan turun menjadi 30 m3/hektare atau dianggap tidak ada lagi pembalakan liar. Tingkat pemanfaatan pada angka
tersebut akan tercapai pada 2030 pada CM2. 2Target produksi kayu dari hutan alam dalam CM1 dan CM2 mengikuti RKTN
(Kementerian Kehutanan, 2011). yang mana akan dicapai tahun 2020, sementara dalam skenario BAU sedikit lebih tinggi
mengikuti APHI (2007) yang mana diasumsikan tercapai tahun 2050. 3Tingkat pembangunan HTI dalam BAU mengikuti
tren historis 1990- 2012 (Lihat Gambar L2-10) dan persentase yang dapat ditanami sekitar 63% berdasarkan APHI (2007).
Pembangunan HTI dibatasi hingga 14.5 Juta hektare (Kementerian Kehutanan, 2012). 4Persentase area terdeforestasi yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi kayu pada skenario BAU, CM1 dan CM2 masing-masing akan mencapai
51%, 71% dan 71% pada tahun 2030. Volume produksi kayu dari area terdeforestasi diasumsikan 50 m3/hektare. 5Persen-
tase area perkebunan pertanian (sawit dan karet) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi kayu pada akhir
rotasi tanaman pada skenario BAU, CM1 dan CM2 masing-masing akan mencapai 50% pada 2030, untuk semua skenario.
258 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Semua tanaman tahunan dan kayu setelah akhir rotasi akan diregenerasi atau ditanam ulang. Semua po-
hon baru tersebut kemudian akan tumbuh dan menjadi rosot karbon. Asumsi pada ketiga skenario untuk
tingkat penanaman pada hutan kayu, hutan alam (regenerasi), aforestasi dan reforestasi, dan pertanian
diuraikan pada Tabel L.2.9.

Tabel L.2.9
Input Mean Annual Increment (MAI) masing-masing jenis pohon pada skenario BAU, CM1 dan
CM2

MAI per Komoditas (tC/hektare/tahun) Rotasi (tahun) BAU CM1 CM2

Buah dan kacang-kacangan 50 2 2 2

Tanaman pangan industri 35 4 4 4

Sawit 35 3,50 3,50 3,50

Hutan sekunder 35 0,32 0.41 0.52 


2
HTI 6 7,22 7,46 7,62

Aforestasi dan reforestasi dengan rotasi2 10 5,74 5,87 5,87

Aforestasi dan reforestasi tanpa rotasi 40 4,00 4,00 4,00

Catatan: 1 Perkiraan Mean Annual Increment (MAI) hutan alam ditentukan berdasarkan data pertumbuhan diameter (m3/hektare/
tahun), karenanya konversi ke pertumbuhan biomassa atau Biomass Expansion Factor (BEF) menjadi 1,4 dan kerapatan
kayu 0,7 t/m3 (Ruhiyat, 1990). Peningkatan MAI hutan alam pada CM1 dan CM2 merefleksikan peningkatan pengelolaan
hutan melalui pengayaan penanaman. 2 MAI pada HTI dihitung berdasarkan potensi volume kayu m3/hektare dibagi lama
rotasi 6 tahun. Potensi volume kayu HTI saat ini 120 m3/hektare dan pada tahun 2030 mengikuti 3 skenario BAU, CM1 dan
CM2 berturut-turut 134, 140 dan 144 m3/hektare sebagai hasil peningkatan kualitas varietas dan teknologi pengelolaan
(Suhartati dan Rahmayanti, 2013). Peningkatan potensi volume kayu dengan memperbaiki varietas dan teknologi
pengelolaan terjadi setiap 10 tahunan. Dengan mengkonversi volume kayu menjadi ton karbon maka diperoleh, BEF 1,67
(IPCC), kerapatan kayu 0,4 t/m3 (FAO, 1997) dan fraksi karbon 0,5. MAI dihitung dengan membagi total karbon dengan
rotasi. MAI yang disajikan dalam tabel adalah nilai rataan selama periode 2011 - 2030.
LAMPIRAN 259

Hasil
Tata guna lahan
Faktor yang mendorong perubahan tata guna lahan (diantara pertumbuhan PDB, populasi penduduk,
populasi ternak, produktivitas tanaman pangan, intensitas penanaman, tingkat konsumsi pakan dan
pangan, target produksi komoditas-komoditas strategis) sebagaimana yang diuraikan pada bab sebelum-
nya, akan berdampak pada pola tata guna lahan. Hasil analisis mengindikasikan bahwa konversi hutan
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lahan akan produksi pangan dan pakan, pemukiman, serta
capaian target produksi komoditas-komoditas kunci masih lebih kecil daripada tingkat deforestasi yang
digunakan pada FREL untuk REDD+ pada periode 2013 - 2020 (Tabel L.2.10; c.f Tabel L.2.5). Pada skenario
BAU, tingkat deforestasi terencana selama periode yang sama sekitar 0,529 Juta hektare per tahun,
sedangkan pada CM1 dan CM2 berturut-turut 0,228 dan 0,212 Juta hektare per tahun (Tabel L.2.10).
Kebutuhan konversi hutan alam untuk memenuhi permintaan lahan bagi pembangunan menurun di
masa depan pada skenario CM1 dan CM2, tetapi pada skenario BAU meningkat. Ini terutama disebabkan
oleh target produksi minyak kelapa sawit yang ambisius seperti yang ditunjukkan pada Gambar L2-18.
Surplus produksi sawit pada masing-masing skenario BAU, CM1 dan CM2. Pada skenario CM1 dan CM2,
target produksi ini berkurang sekitar setengah dari target BAU.

Pada 2030, jika mengikuti skenario BAU hutan alam yang tersisa diperkirakan tinggal 75 Juta hektare.
Dari total wilayah tersebut 40% nya (26 Mha) adalah hutan primer. Sementara dalam skenario CM1 dan
CM2 berturut-turut 84,5 dan 87,9 Juta hektare, sekitar 44,6% (37,6 Mha) dan 46,8% (40,9 Mha) dari mas-
ing-masing skenario dianggap masih hutan primer.

Penurunan angka pembalakan liar dan meningkatnya penanaman hutan kayu, produktivitas tanaman,
intensitas penanaman dan tingkat konsumsi menentukan proyeksi area hutan alam. Perubahan pola tata
guna lahan dalam 3 skenario dan proporsi tata guna lahan berdasarkan kategori diuraikan berturut-turut
dalam Gambar L2-13 dan Gambar L2-14.

Tabel L.2.10
Tingkat deforestasi terencana dan tidak terencana tahunan pada masing skenario BAU, CM1
dan CM2

Skenario Tipe deforestasi 2013-2020 2021-2030 2031-2040 2041-2050


(000 hektare)
Terencana 532 584 794 725
BAU Tidak Terencana 387 235 - -
Total 919 819 794 725
Terencana 250 213 147 57
CM1 Tidak Terencana 209 146 - -
Total 459 359 147 57
Terencana 232 118 148 57
CM2 Tidak Terencana 68 57 27 118
Total 300 175 175 175
260 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar L2-13
Perubahan tata guna lahan pada 2010 - 2050 mengikut skenario BAU,
CM1 dan CM2





Gambar L2-14 menunjukkan bahwa padang rumput di tahun 2030 diperkirakan lebih luas dibanding
saat ini pada skenario BAU. Hal ini terjadi karena peningkatan kapasitas padang rumput untuk
memenuhi kebutuhan pakan lebih kecil pada skenario BAU dibanding pada dua skenario lain, sementara
populasi ternak terus meningkat (lihat Tabel L.2.4). Pada ketiga skenario kapasitas padang rumput dalam
menyediakan pakan ternak berturut-turut naik per tahunnya 1,0%, 1,1% dan 1,2%. Dengan angka
kenaikan tersebut pada tahun 2050 diperkirakan kapasitas padang rumput memproduksi pakan naik dari
0,5 menjadi 0,74 kg per m2 pada BAU, menjadi 0,77 kg per m2 pada CM1 dan menjadi 0,81 kg per m2 pada
CM2. Kapasitas ladang penggembalaan (pasture land) juga diasumsikan meningkat dari 5 menjadi 7,44
kg per m2 pada BAU, menjadi 7,74 kg per m2 pada CM1 dan menjadi 8,06 kg per m2 pada CM2. Sebagai
tambahan pada CM1 dan CM2 dengan peningkatan sistem pengelolaan, lahan juga dapat menyediakan
rumput/pakan lebih lama yaitu dari 45 menjadi 60 hari dan 75 hari dalam setahun. Ini terutatam relevan
untuk lahan-lahan di wilayah Jawa dan Sumatera. Ada kemungkinan permintaan lahan untuk kebutuhan
ternak terutama ruminansia dapat dikurangi secara signifikan jika sebagian besar padang rumput dapat
dikonversi menjadi ladang penggembalaan dan diterapkan sistem pengelolaan yang baik sehingga lahan
tersebut juga dapat memenuhi permintaan kebutuhan lain. Lebih jauh, ini dapat menurunkan kebutuhan
konversi hutan alam.
LAMPIRAN 261

Gambar L2-14
Persentase tata guna lahan masing-masing kategori tahun 2010 dan proyeksinya
mengikuti skenario BAU, CM1 dan CM2
2010
Primary Forest 2% 2%
Secondary Forest 1%
Timber Plantation
Cropland Perenial 14% 24%

Cropland Annual
Grassland
Settlement 17%

Wetland 25%
Otherland 12%
3%
2% 2% 2% 2% 2% 2%
2% 1% 1%
14%
20% 12% 22%
15% 13%

26% 17%
18%
18%
25% 25%

4% 13%
17% 13% 6% 6%

BAU-2030 CM1-2030 CM2-2030

Tingkat emisi
Pada tahun dasar (2010), emisi kotor mencapai 0,600 Gg CO2e (emisi dari kebakaran gambut tidak
diperhitungkan), dan penyerapan karbon sekitar 0,140 Gg sehingga bersihnya emisi mencapai 0,459 Gg
CO2e tanpa kebakaran gambut atau 0,712 Gg CO2e dengan kebakaran gambut. Total emisi bersih ini tidak
signifikan berbeda dengan proyeksi yang dibuat pada 1st BUR (Gambar L2-15).

Pada skenario BAU, emisi dari AFOLU akan naik sampai 2020 dan bertahap menurun setelahnya (Gambar
L2-15). Pada skenario CM1 emisi GRK mulai bergerak turun perlahan sejak 2010, sedangkan pada CM2
penurunannya jauh lebih cepat. Emisi per kapita pada tahun 2030 masih cukup tinggi pada BAU yaitu 2,8
ton CO2e sedangkan pada CM1 dan CM2 berturut-turut 1,1 ton CO2e dan 0,6 ton CO2e. Angka ini jelas
menunjukkan bahwa emisi dari gambut masih mendominasi.

Penurunan emisi yang cepat pada skenario CM2 dapat terjadi selain dampak dari upaya mitigasi juga dari
peningkatan produktivitas lahan dan intensitas penanaman sehingga berimbas pada jauh berkurangnya
kebutuhan akan ekspansi lahan untuk tanaman pangan (Tabel L.2.3). Pada CM2 ketergantungan pada
hutan alam untuk memenuhi kebutuhan kayu menurun dengan ditingkatkannya penanaman hutan kayu
serta tingkat rehabilitasi lahan (Gambar L-19 dan Tabel L.2.11). Oleh karena itu emisi dari pemanenan
kayu hutan alam pada skenario CM2 lebih kecil daripada skenario BAU. Sebagai tambahan, emisi dari
dekomposisi dan kebakaran gambut secara signifikan juga menurun sebagai konsekuensi kebijakan
moratorium sehingga tidak lagi terjadi pembukaan gambut untuk perkebunan-perkebunan besar (Tabel
L.2.2 dan Tabel L.2.11). Diasumsikan bahwa kondisi air pada gambut yang direstorasi akan kembali
pada kondisi alaminya sehingga tidak ada lagi emisi. Implementasi aksi mitigasi melalui peningkatan
pengelolaan kotoran ternak dan pemberian suplemen pakan juga peningkatan pengelolaan air pada
lahan sawah juga gambut juga berkontribusi terhadap penurunan emisi pada skenario ini (Tabel L.2.11).
262 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar L2-15
Perbandingan emisi bersih dari sektor AFOLU tahun 2010 (base year) dari
AFOLU Dashboard dan 1st BUR.

0,600
Indirect N2O Soil

Direct N2O Soil


0,500
Emission (juta ton CO2e)

Peatland decomposition

0,400 Biomass

Rice Cultivation
0,300
Enteric fermentation

Urea Fertilization
0,200
Manure Management

0,100 Liming

Biomass Burning
-
2010 2010

1st BUR Dashboard

Catatan: Emisi dari kebakaran gambut tidak diperhitungkan dalam AFOLU Dashboard

Tabel L.2.11
Potensi penurunan emisi CM1 dan CM2 relatif terhadap baseline

2020 2030
Skenario
Emisi (Gg CO2e) Penurunan (%) Emisi (Gg CO2e) Penurunan (%)

BAU 0,88 0,83

CM1 0,56 36 0,33 60

CM2 0,35 60 0,15 82

Produksi dan keseimbangan pangan


Implementasi kebijakan dan aksi mitigasi tidak akan secara signifikan mempengaruhi tingkat produksi
komoditas pertanian (Tabel L.2.12). Namun demikian dengan meningkatkan produktivitas dan
intensitas penanaman komoditas-komoditas pertanian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel L.2.3,
meningkatnya produksi (Tabel L.2.6) dapat atau tidak dapat mencukupi permintaan yang bergantung pada
tingkat konsumsi (Tabel L.2.4). Saat ini keseimbangan positif antara ketersediaan dan permintaan terjadi
pada komoditas padi, singkong, sumber minyak nabati, sawit dan tanaman lain yang defisit yaitu jagung,
sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan dan tanaman penghasil gula (Gambar L2-17 dan Gambar
L2-18). Surplus padi, singkong, sumber minyak nabati, sawit dan tanaman lain dapat dijaga hingga 2030
LAMPIRAN 263

dalam ketiga skenario (Gambar L2-17 dan Gambar L2-18). Untuk tanaman lain defisit akan semakin besar,
kecuali jagung pada skenario CM2. Swasembada beras dapat dipertahankan dalam 3 skenario dengan
meningkatkan produktivitas tanaman di Jawa 5,8 ton/hektare jadi 5,88 ton/hektare dan di luar Jawa dari
4,2 ton/hektare jadi 4,67 ton/hektare, serta intensitas penanaman dinaikkan dari 1,8 menjadi 1,9 dan 1,95
menjadi 1,99 (Tabel L.2.7). Pada tahun 2030 surplus beras lebih dari 2 Juta ton jika konsumsi diturunkan
dari 141 menjadi 126 kg per kapita per tahun. Level ini dapat menjamin ketahanan pangan.

Gambar L2-16
Tingkat emisi GRK pada skenario BAU, CM1 dan CM2

BAU
1.700.000 4,0
Direct N20
3,5 Indirect N20
Peat Fire
1.200.000 3,0 Perennial crops
Deforestation
2,5
Timber Plantation
700.000 2,0 Secondary Forest
Wood harvesting
Gg CO2 e

1,5 Biomas Burning


Liming
200.000 1,0 Affrn/Refotn
Urea Fertilization
0,5 Livestock
Rice Field
-300.000 - Peat
Net Emission
-0,5
Emission per Capita
-800.000 -1,0
2010 2020 2030

CM1 1.700.000 CM2 4,0


1.700.000 4,0
3,5
3,5
1.200.000 3,0
1.200.000 3,0

2,5 2,5

700.000 2,0
Gg CO2 eq

700.000 2,0
Gg CO2 e

1,5 1,5

200.000 1,0 200.000 1,0

0,5 0,5

-300.000 0,0 -300.000 0,0

-0,5 -0,5

-800.000 -1,0 -800.000 -1,0


2010 2020 2030 2010 2020 2030

Dengan pertumbuhan konsumsi singkong per kapita naik 0,67% per tahun, pada skenario BAU tidak
dimungkinkan untuk mempertahankan surplus. Pada tahun 2030 surplusnya hanya 2% dari jumlah saat
ini meski produktivitas dinaikkan dari 20,22 jadi 23,11 ton/hektare. Surplus dapat lebih dari 8 Juta ton jika
produktivitas dinaikkan jadi 24,63 ton/hektare dan mendekati 11 Juta ton jika dinaikan 27,23 ton/hektare.
264 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Dalam kasus jagung, saat ini tingkat produksi tidak cukup memenuhi permintaan. Dengan meningkatnya
permintaan akibat pertambahan populasi (Tabel L.2.4) dan konsumsi per kapita (Tabel L.2.6), defisit nya
akan mendekati 4 Juta ton pada tahun 2030 jika tidak ada peningkatan produktivitas yang signifikan.
Permintaan yang meningkat dapat dipenuhi tanpa impor jika produktivitas dinaikkan hingga 60% dari
angka saat ini (dari 4,44 ton/hektare menjadi 5,58 ton/hektare) dan intensitas penanaman dinaikkan 7,9%
(dari 0,63 ton/hektare menjadi 0,66 ton/hektare, lihat Tabel L.2.3).

Tabel L.2.12
Tingkat intervensi aksi mitigasi1 pada skenario BAU, CM1 dan CM2

BAU   2010 2020 2030

Sawah (tanpa aksi mitigasi) 8.763 8.600 8.294

Padi (000 hektare) Pemilihan varietas (mitigasi) - - -

Perbaikan irigasi (mitigasi) - 166 581

Total area (000 hektare) 54.303 60.701 67.236


Lahan tanaman pangan
Aplikasi nitrogen (000 ton urea) 6.422 7.179 7.951

Total populasi ternak 443.183 460.506 478.505

Peternakan (000 kepala) Suplemen pakan - - -

Biogas - - -

Total area gambut 14.585 14.585 14.585


Gambut
Peningkatan pengelolaan air - - -
(000 hektare)
Restorasi gambut - - -

Lahan tersedia untuk program Aff/Ref 14.033 - -

Aff/Ref tanpa rotasi - 972 1.944


Aforestasi/Reforestasi
Tingkat keberhasilan (%) tanpa rotasi - 22% 24%
(Aff/Ref; 000 hektare)
Aff/Ref dengan rotasi - 1.098 2.196

Tingkat keberhasilan (%) tanpa rotasi - 54% 59%

CM1   2010 2020 2030

Sawah (tanpa aksi mitigasi) 8.763 7.609 5.996

Padi (000 hektare) Pemilihan varietas (mitigasi) - 455 908

Perbaikan irigasi (mitigasi) - 730 1.952

Total area (000 hektare) 54.303 57.343 59.786


Lahan tanaman pangan
Aplikasi nitrogen (000 ton urea) 6.422 6.782 7.070

Total populasi ternak 443.183 457.547 466.903

Peternakan (000 kepala) Suplemen pakan - 2.958 11.602

Biogas - 79 314
LAMPIRAN 265

CM1   2010 2020 2030

Total area gambut 14.585 13.095 12.325


Gambut
Peningkatan pengelolaan air - 792 864
(000 hektare)
Restorasi gambut - 698 1.396

Lahan tersedia untuk program Aff/Ref 13.843 - -

Aff/Ref tanpa rotasi - 1.038 2.076


Aforestasi/Reforestasi
Tingkat keberhasilan (%) tanpa rotasi - 26% 34%
(Aff/Ref; 000 hektare)
Aff/Ref dengan rotasi - 1.730 3.461

Tingkat keberhasilan (%) tanpa rotasi - 58% 69%

CM2   2010 2020 2030

Sawah (tanpa aksi mitigasi) 8.763 7.806 6.285

Padi (000 hektare) Pemilihan varietas (mitigasi) - 471 969

Perbaikan irigasi (mitigasi) - 754 2.070

Total area (000 hektare) 54.303 56.808 58.855


Lahan tanaman pangan
Aplikasi nitrogen (000 ton urea) 6.422 6.718 6.960

Total populasi ternak 443.183 457.547 466.903

Peternakan (000 kepala) Suplemen pakan - 2.958 11.602

Biogas - 79 314

Total area gambut 14.585 12.158 11.179


Gambut
Peningkatan pengelolaan air - 864 864
(000 hektare)
Restorasi gambut - 1.564 2.542

Lahan tersedia untuk program Aff/Ref 13.843 - -

Aff/Ref tanpa rotasi - 1.730 3.461


Aforestasi/Reforestasi
Tingkat keberhasilan (%) tanpa rotasi - 30% 46%
(Aff/Ref; 000 hektare)
Aff/Ref dengan rotasi - 1.557 3.115

Tingkat keberhasilan (%) tanpa rotasi - 65% 88%

Catatan: 1Dalam model, perubahan intervensi dimasukkan dalam bentuk tingkat pertumbuhan. 2Total area gambut yang
terdeforestasi saat ini sekitar 6,1 Juta hektare dan hanya 47,5% nya yang digunakan untuk sawit, HTI dan penggunaan lain,
sisanya masih dalam kondisi tidak produktif

Defisit tanaman penghasil gula, sayuran, buah-buahan dan kacang-kacangan akan naik di masa datang
(2030). Sehingga defisit untuk sayuran diperkirakan mencapai 8 Juta ton pada BAU, 8 Juta pada CM1
dan 7 juta pada CM2 (Gambar L2-17). Produktivitas tanaman pangan pada tiga skenario dinaikkan 5,23%
(9,03 ton/hektare menjadi 9,51 ton/hektare) pada BAU, 10,34% (9,03 ton/hektare menjadi 9,97 ton/
266 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

hektare) pada CM1 dan 15,43% (9,03 ton/hektare menjadi 10,43 ton/hektare) sebagaimana diuraikan
pada Tabel L.2.7. Hal yang sama juga pada buah-buahan dan kacang-kacangan, defisit dapat meningkat
hingga 3x lebih besar dari saat ini (Lebih dari 9 Juta ton; Gambar L2-17). Untuk tanaman penghasil gula
defisit dapat mencapai 34 Juta ton atau setara 3,3 Juta ton gula (hablur). Berdasarkan Bappenas (2013),
defisit gula pada tahun 2010 sudah melampaui 1,8 Juta ton dan tahun 2012 naik menjadi 2,7 Juta ton.
Pertumbuhan defisit gula dari tahun ke tahun mencapai 25,7% per tahun. Tanpa ekspansi perkebunan
tebu dan peningkatan produktivitas, defisit ini akan sangat sulit diatasi. Pada skenario BAU, CM1 dan CM2
produktivitas tanaman diasumsikan naik 18%, 27% dan 36% dari angka saat ini.

Tabel L.2.13
Produksi komoditas pertanian pada skenario BAU, CM1 dan CM2

2010 2020 2030


Komoditas Skenario
Produksi (000 ton)
BAU 36.544 37.820 39.589
Padi CM1 36.544 41.699 48.340
CM2 36.544 45.098 57.151
BAU 23.918 25.186 26.516
Singkong CM1 23.918 25.296 26.750
CM2 23.918 27.461 31.524
BAU 21.440 24.508 27.601
Sumber minyak nabati CM1 21.440 24.615 27.845
CM2 21.440 24.615 27.845
BAU 92.386 165.450 269.572
Sawit (FFB) CM1 92.386 143.473 206.370
CM2 92.386 140.751 206.370
BAU 3.291 3.581 3.895
Tanaman pangan lain CM1 3.291 3.596 3.929
CM2 3.291 3.596 3.929
BAU 18.328 18.602 18.876
Jagung CM1 18.328 18.683 19.042
CM2 18.328 20.738 23.462
BAU 9.780 9.882 9.983
Sayuran CM1 9.780 9.925 10.071
CM2 9.780 10.563 11.406
BAU 15.235 15.918 16.633
Buah dan kacang-kacangan CM1 15.235 15.918 16.633
CM2 15.235 15.918 16.633
BAU 21.750 23.258 24.866
Gula CM1 21.750 23.360 25.085
CM2 21.750 25.119 29.007
LAMPIRAN 267

Produksi sawit pada tahun 2030 pada skenario BAU mencapai 269 Juta ton FFB (setara 67 Mt CPO). Pada
tingkat produksi ini, akan tercapai surplus 60 Juta ton CPO. Pada skenario ini pembukaan perkebunan
sawit baru akan membutuhkan lahan yang sangat luas dan dapat mengurangi peluang ekspansi lahan
pertanian tanaman pangan seperti sereal dan hortikultura (buah-buahan dan sayuran) juga meningkat-
kan risiko deforestasi yang mengarah pada tingginya emisi GRK (lihat Tabel L.2.10 dan Gambar L2-16).
Dalam BAU (skenario GAPKI) dan target produksi pada tahun 2030 hampir 4 kali lebih besar dari produksi
tahun 2010. Pada skenario CM1 dan CM2 target produksi dikurangi hingga 25% dari BAU.
Dengan meningkatnya produktivitas tanaman pangan (Tabel L.2.7), permintaan akan ekspansi lahan un-
tuk pertanian yang juga akan mengurangi angka deforestasi secara signifikan (Tabel L.2.10).

Gambar L2-17
Keseimbangan permintaan dan ketersediaan komoditas pertanian untuk
masing-masing skenario BAU, CM1 dan CM2

30

20

10
Food Balance (million ton)

-10

-20

-30
BAU 2010 BAU 2030 CM1 2030 CM2 2030

-40
Cassava Oil Crops Rice Other Crops Maize Vegetables Fruits and Sugar Crops
Nuts
268 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Gambar L2-18
Surplus produksi sawit pada masing-masing skenario BAU, CM1 dan CM2
80

70
Surplus of Production CPO (million ton)

60

50

40

30

20

10

-
2010 2030 2030 2030
BAU BAU CM1 CM2

Berdasarkan data BPS, data perdagangan tanaman pangan, hortikultura dan peternakan pada tahun 2010
- 2014 menunjukkan defisit, yang menandakan bahwa Indonesia masih negara pengimpor komoditas-
komoditas tersebut (Kementerian Pertanian, 2015). Khusus tanaman pangan, komoditas utama yang
diimpor antara lain jagung, kedelai juga padi. Sementara komoditas yang cukup besar kontribusinya
terhadap ekspor diantaranya singkong. Lebih spesifik, beras diimpor hanya pada tahun-tahun tertentu
ketika target produksi nasional tidak tercapai. Defisit perdagangan tanaman pangan pada periode 2010
- 2014 mencapai USD 3,4 – 6,4 miliar dengan rataan USD 5,28 miliar. Defisit tertinggi terjadi pada 2011.
Defisit juga masih terjadi pada tanaman hortikultura, antara lain durian, jeruk, bawang, kentang dan
wortel. Defisitnya berada pada kisaran USD 0,90 – 1,31 miliar dengan rataan USD 1,05 miliar. Defisit
tertinggi terjadi tahun 2012.

Neraca perdagangan perkebunan relatif konsisten surplus (Kementerian Pertanian, 2015). Nilai ekspor
komoditas-komoditas ini selalu lebih tinggi daripada impor. Komoditas utama yang diekspor diantaranya
coklat, teh, tembakau, sawit, karet, kopi dan kelapa. Produk perkebunan yang masih diimpor adalah gula.
Nilai ekspor selama periode 2010 - 2014 berada pada kisaran USD 31 - 41 miliar sedangkan impornya
USD 2,8 – 8,8 miliar. Neraca perdagangan peternakan menunjukkan defisit namun dengan pertumbuhan
ekspor 43,8% per tahun dan impor 33,9% per tahun (Ditjen Peternakan, 2015). Komoditas utama hasil
peternakan yang diimpor antara lain susu dan daging (dalam jumlah besar), bahkan sapi dalam keadaan
hidup masih banyak diimpor. Nilai impor dari komoditas peternakan ini berkisar pada USD 1,23 – 3,03
miliar dengan rataan USD 2,23 miliar.
LAMPIRAN 269

Produksi kayu
Target produksi kayu 360 Juta m3 sebagaimana dijelaskan dalam RKTN (Kementerian Kehutanan, 2011)
akan dicapai sebelum tahun 2050 pada ketiga skenario ini. Tingkat penanaman dapa HTI mengikuti
skenario BAU, CM1 dan CM2 berturut-turut 150, 250 dan 300 ribu hektare per tahun. Pada tahun 2030
total area yang ditanami mencapai 7,8, 11,2 dan 11,2 Juta hektare. Sebagaimana disebutkan di atas, total
izin yang telah dikeluarkan untuk HTI mencapai 10,29 hektare, namun demikian baru 5,7 Juta hektare di-
antaranya yang telah ditanami karena ada kendala tenurial. Total area yang ditargetkan untuk hutan kayu
dalam RKTN adalah 14,5 Juta hektare. Secara umum, area konsesi yang dapat ditanami berkisar 60-70%
(APHI, 2007).

Produksi kayu yang lebih tinggi pada skenario CM1 dan CM2 dibanding BAU tidak hanya karena lebih
banyak area dialokasikan untuk HTI namun juga kontribusi produksi kayu yang lebih tinggi dari program
aforestasi dan reforestasi (Tabel L.2.14). Namun demikian, kontribusi perkebunan/pertanian dan area
terdeforestasi terhadap produksi kayu lebih rendah pada skenario CM1 dan CM2 daripada dalam
skenario BAU karena total area perkebunan pertanian dan deforestasi pada kedua skenario ini dianggap
menurun secara signifikan (Lihat Gambar L2-19 dan Gambar L2-20).

Gambar L2-19
Produksi kayu dalam skenario BAU, CM1 dan CM2

350
BAU
CM1
300
CM2
Wood Production (million m3)

250

200

150

100

50

-
2010 2020 2030

Kontribusi HTI pada total produksi dalam setiap skenario di tahun 2030 sekitar 71% (BAU), 80% pada
CM1 dan 81% pada CM2. Sementara itu kontribusi dari konsesi hutan alam (HPH) akan mencapai 6,8%,
4,3% dan 4,2%. Sisanya datang dari perkenan dan area terdeforestasi. Dalam 3 skenario, ketergantungan
terhadap hutan alam untuk memenuhi kebutuhan produksi kayu menurun (Gambar L2-20).
270 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Tabel L.2.14
Produksi kayu berdasarkan sumber pada skenario BAU, CM1 dan CM2

Produksi kayu (000 m3) 2010 2020 2030

Hutan alam 13.430 15.073 16.715

Hutan kayu 96.547 133.929 174.810

BAU Aforestasi - 7.538 16.046

Tanaman tahunan 8.842 12.353 16.376

Area terdeforestasi 5.361 18.833 20.876

Hutan alam 13.430 14.000 14.000

Hutan kayu 96.547 173.926 261.971

CM1 Aforestasi - 13.113 28.730

Tanaman tahunan 8.205 9.935 11.414

Area terdeforestasi 5.361 11.713 12.757

Hutan alam 13.430 14.000 14.000

Hutan kayu 96.547 176.601 269.456

CM2 Aforestasi - 13.411 30.139

Tanaman tahunan 8.205 9.797 11.414

Area terdeforestasi 5.361 7.650 6.213

Gambar L2-20
Kontribusi hutan alam, tanaman hutan kayu, aforestasi, tanaman tahunan dan
area terdeforestasi terhadap produksi kayu pada masing-masing skenario BAU,
CM1 dan CM2

BAU CM1 CM2

100% 100% 100%


90% 90% 90%
80% 80% 80%
70% 70% 70%
60% 60% 60%
50% 50% 50%
40% 40% 40%
30% 30% 30%
20% 20% 20%
10% 10% 10%
0% 0% 0%
2010 2020 2030 2010 2020 2030 2010 2020 2030

Deforestasi Perenial Crops Afforestation


Timber Plantation Natural Forest
Daftar Pustaka
Ambarawati, N. 2014. Analisis kausalitas antara konsumsi Rumah Tangga Dengan Pdrb Perkapita di Jawa
Tengah periode tahun 1986-2011. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta. http://eprints.ums.ac.id/31665/23/naskah_publikasi.pdf.

Bappenas. 2013. Studi Pendahuluan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang
Pangan Dan Pertanian 2015-2019. Direktorat Pangan dan Pertanian, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.

Bappenas. 2019. Kajian Pendahuluan RPJMN 2020-2024 Sektor Kehutanan. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Jakarta.

Boer, R. 2015. Potential of Reducing GHG Emission from REDD+ Activities in Indonesia. In S. Nishioka. Enabling
Asia to Stabilise Climate. Springer, Singapore.

Boer, R. Imanuel, G.S., Thoha, S., Ardiansyah, M., Parulian, A., Sugardiman, R.A., Margono, B.A, Saigian, U
and Dewi, R.G. 2016. Pathways to deep decarbonizing agriculture, forest and other land uses sector
in Indonesia. Technical Report for Sustainable Development Solution Network (SDNS) and IDDRI.

Boer dan Rosita. 2019. Analysis of Cost for the Implementation of LUCF Mitigation Toward NDC Target in
Indonesia. Unpublished

BPLP. 2006. Varietas padi rendah emisi gas rumah kaca. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian
28: 12-13.

BPS. 2019. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi.

BPS. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. ISBN: 978-979-064-606-3. Jakarta.

BPS– Bappenas–UNPPA. 2013. Indonesia Population Projection 2010 – 2035, Jakarta.

BPS. Statistik Kesejahteraan Rakyat periode 2010-2012 dan periode 2014-2017.

Chern, W.S., Ishibashi, K., Taniguchi, K and Tokoyama, Y. 2003. Analysis of the food consumption of
Japanese households. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome
272 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Dephut, 2007. Roadmap revitalisasi industri kehutanan Indonesia (Roadmap for Revitalization of
Indonesian Forest Industry). Departmen Kehutanan, Ambarawati, N. 2014. Analisis kausalitas
antara konsumsi Rumah Tangga Dengan PDRB Perkapita di Jawa Tengah periode tahun 1986-
2011. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Diacon, P-E, and Maha, L-G. 2015. The Relationship between Income, Consumption and GDP: A Time
Series, Cross-Country Analysis. Procedia Economics and Finance 23: 1535 – 1543.

Ditjenbun. 2015. Rencana strategis Direktorat Jenderal Perkebunan 2015-2019. Direktorat Jenderal
Perkebunan, Kementerian Pertanian, Jakarta.

EIA. 2014. Permitting crime: How palm oil expansion drives illegal logging in Indonesia. Environmental Investi-
gation Agency. https://eia-international.org/wp-content/uploads/Permitting-Crime.pdf

FAO. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer. FAO Forestry Paper – 134.

FAO. 2009. “Indonesia Forestry Outlook Study.” Working Paper No. APFSOS II/WP/2009/13, Food and
Agriculture Organization of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok.
http://fao.org/docrep/014/am608e/am608e00.pdf

GAPKI. 2014. Industri minyak sawit Indonesia menuju 100 tahun NKRI: Membangun Kemandirian Ekonomi,
Energi dan Pangan Secara Berkelanjutan. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia,
Jakarta. http://dokumen.tips/download/link/industri-minyak-sawit-indonesia-menuju-100-
tahun-nkri.

IPCC. 2018. Summary for Policymakers. In: Global warming of 1.5°C. An IPCC Special Report on the
impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse
gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of
climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty [V. Masson-Delmotte, P.
Zhai, H. O. Pörtner, D. Roberts, J. Skea, P.R. Shukla, A. Pirani, W. Moufouma-Okia, C. Péan, R. Pid-
cock, S. Connors, J. B. R. Matthews, Y. Chen, X. Zhou, M. I. Gomis, E. Lonnoy, T. Maycock, M. Tignor,
T. Waterfield (eds.)]. In Press.

Jurnal Asia. 2016. BRG target restorasi 600.000 hektare gambut 2016. http://www.jurnalasia.com/bisnis/
agribisnis/brg-target-restorasi-600-000-hektare-gambut-2016/

Kemendag. 2013. Laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Pusat
Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Jakarta. http://www.kemendag.go.id/files/
pdf/2015/02/27/laporan-dinamika-pola-1425036045.pdf

Kemenhut. 2011. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) tahun 2011-2030. Lampiran Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P. 49/Menhut-II/2011. Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia,
Jakarta.

Kementan. 2014. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2014-2019. Kementerian Pertanian, Republik
Indonesia, Jakarta.

Kementan. 2015. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2015-2019 (Strategic Plan of Ministry of
Agriculture). Kementerian Pertanian, Republik Indonesia. http://www.pertanian.go.id/file/RENS-
TRA_2015-2019.pdf
DAFTAR
PUSTAKA 273

Kementan, 2018 Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2018. Jakarta. Kementerian Pertanian
Republik Indonesia.

Kementerian ESDM. HEESI (Handbook of Energy and Economics Statistics of Indonesia) 2011-2018. Jakarta.

Kementerian ESDM. D. Bahan Paparan Pengembangan Panas Bumi Indonesia.

Kementerian ESDM. 2015. Permen Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata
Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel).

Kementerian ESDM. 2017. Permen Nomor 57 Tahun 2017 tentang Standar Kinerja Energi Minimum dan
Pencantuman Label Hemat Energi untuk Pendingin Udara.

Kementerian ESDM. 2018. Permen Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Peman-
faatan Energi Baru dan Energi Terbarukan serta Konservasi Energi.

Kementerian ESDM. 2018. Permen Nomor 41 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan
Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelolaan Dana
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit.

Kementerian ESDM. 2018. Permen Nomor 49 Tahun 2018 tentang Sistem Pembangkit Listrik Tenaga
Surya.

Kementerian ESDM 2019. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Bahan
Paparan pada Rapim Bauran Energi Terbarukan. 15 April 2019. Bogor.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. 2018.
Buku Mekanisme Pemantauan Impementasi Nationally Determined Contribution (NDC). ISBN:
978-602-51356-6-8.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. 2017.
Buku Strategi Implementasi NDC (Nationally Determined Contribution). ISBN: 978-602-74011-6-7.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. 2018.
Pedoman Penentuan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim. Jakarta.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah
dan B3. 2019. Bahan Paparan ‘Pengelolaan Sampah dan Emisi GRK: Target Pengurangan dan
Penanganan Sampah hingga 2025’.

Kementerian Kesehatan. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013.

Kementerian Perindustrian. 2015. Kepmenperin Nomor 148/M-IND/Kep/3/2015 tentang Penetapan Stan-


dar Industri Hijau untuk Industri Pupuk Buatan Tunggal Hara Makro Primer.

Kementerian Perindustrian. 2015. Kepmenperin Nomor 512/M-IND/Kep/12/2015 tentang Penetapan


Standar Industri Hijau untuk Industri Semen Portland.

Kementerian Perindustrian. 2018. Permenperin Nomor 27 Tahun 2018 tentang Standar Industri Hijau
untuk Industri Pupuk Urea, Pupuk SP-36, dan Pupuk Amonium Sulfat.

Kementerian Perindustrian. 2015. Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.

Kementerian Perhubungan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek. Bahan Paparan ‘Penerapan


Kebijakan Transportasi di Wilayah Jabodetabek’ mengenai Rencana Induk Transportasi Jabode-
tabek. 28 Desember 2018. Jakarta.
274 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Kementerian Perhubungan. 2011. Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNAS).

Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden Nomor
61 Tahun 2015 tentang Pengumpulan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Koalisi Anti Mafia Hutan. 2015. Kesenjangan Persediaan Kayu Legal Dan Implikasinya Terhadap
Peningkatan Kapasitas Industri Kehutanan di Indonesia: Sebuah Kajian Peta Jalan Revitalisasi
Industri Kehutanan, Fase 1. Eyes on the Forest, GAPETA Borneo, Indonesian Corruption Watch,
Indonesia Working Group on Forest Finance, Jikalahari, RPHK, Auriga, Transparency International
Indonesia, Walhi & WWF-Indonesia

Lawson, S dan L. Macfaul. 2010. “Illegal Logging and Related Trade: Indicators of the Global Response.”
London: Chatam House.


Lisna, V and Rivai, N. 2011. Analisis faktor-faktor ekonomi makro yang mempengaruhi tingkat
konsumsi era pemerintahan SBY Jilid I. Ekonomi Pertanian IPB, Bogor. http://burhan.staff.ipb.
ac.id/files/2011/01/analisis-faktor-faktor-ekonomi-makro-yang-mempengaruhi-tingkat-konsum-
si-era-pemerintahan-sby-jilid-i.pdf

Luttrell, C., Obidzinski, K., Brockhaus, M., Muharrom, E., Petkova, E., Wardell, A. and Halperin, J. 2011
Lessons for REDD+ from measures to control illegal logging in Indonesia. United Nations Once on
Drugs and Crime and Center for International Forestry Research, Jakarta and Bogor, Indonesia.
http://www.cifor.org/publications/pdf_files/WPapers/WP74Obidzinski.pdf

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Indonesia First Biennial Update Report (BUR) Under
the United Nations Framework Convention on Climate Change. Ministry of Environment and Forestry,
Republic of Indonesia, Jakarta.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2007. “A Road Map for the Revitalization of Indonesia’s
Forest Industry. http://rimbawan.com/images/stories/makalah/roadmap_for_revitalization_of_in-
donesia_s_forest_industry_nov_indo_2007_i ndo.pdf

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. National Forest Reference Emission Level for REDD+
In the Context of Decision 1/CP.16 Paragraph 70, Directorate General of Climate Change. The Ministry
of Environment and Forestry. Indonesia KLHK, 2016. Indonesia 1st Nationally Determined Contribu-
tion. Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. https://www4.
unfccc.int/sites/ndcstaging/PublishedDocuments/ IndonesiaFirst/FirstNDC Indonesia_submit-
ted to UNFCCC Set_November202016.pdf

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. First Nationally Determined Contribution Republic of
Indonesia. https:// www4.unfccc.int/sites/ndcstaging/PublishedDocuments/IndonesiaFirst/First-
NDC Indonesia_submitted to UNFCCC Set_November202016.pdf

Murdiyarso D, Adiningsih E. 2006. Climate anomalies, Indonesian vegetation fires and terrestrial carbon
emissions. Mitigation Adaptation Strategy Global Change , 101-112.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P/10/MENLHK/SETJEN/PLB.0/4/2018


tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan dan Strategi Daerah Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 51 Tahun 2015 tentang Panduan Penyusunan Standar Industri
Hijau.
DAFTAR
PUSTAKA 275

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 514/M-IND/Kep/12/2015 tentang Penetapan Standar Industri


Hijau Pulp dan Kertas.

Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.

Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (JAKSTRANAS) Penge-
lolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah
Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

PT PLN. 2019. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2019-2018.

PT TUV Nord Indonesia dan Asian Management Consulting (AMC). 2018. Greenhouse Gas Emissions Profile
form Indonesia’s Industry Sector.

Putra,E.I. and Hayasaka,H. 2011. The effect of the precipitation pattern of the dry season on peat fire occurrence
in the Mega Rice Project area, Central Kalimantan, Indonesia. Tropics 19: 145-156

Putra, E.I., Hayasaka, H., Takahashi, H., & Usup, A. 2008. Recent Peat Fire Activity in the Mega Rice Project Area,
Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Disaster Research 3: 1-8

Santoso, H. 2005. Arah kebijakan dan implementasi rehabilitasi hutan dan lahan. Presentation in the
‘National Workshop Review of Rehabilitation Initiatives: Lessons from the past’ in CIFOR, Bogor, 22-23
February 2005. Jakarta.

Sathaye, J.A., Makundi, W.R. and Andrasko, K.E. 1995. ‘A comprehensive mitigation assessment process (CO-
MAP) for the evaluation of forestry mitigation options’, Biomass and Bioenergy 8(5), 345–356.

Siagian, U.W.R. et al. (2015). Pathways to deep decarbonization in Indonesia, SDSN - IDDRI.

Sudaryanto, T., R. Kustiari, dan H.P. Saliem. 2010. Perkiraan kebutuhan pangan tahun 2010−2050. hal
1−23 In Sumarno and N. Suharta (ed). Buku Analisis Sumber Daya Lahan Menuju Ketahanan
Pangan Berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta, hlm. 163.

Suhardi, E. Farida and HN. Handojo. 2007. Rehabilitation of Degraded Forests in Indonesia. In Don Ko Lee
(ed). Keep Asia Green Volume 1: Southeast Asia. International Union of Forest Research Organizations.
pp: 27-56 www.iufro.org/download/file/7379/5120/Indonesia_pdf/

Suhartati and S. Rahmayanti. 2013. Seed Source Evaluation of Acacia mangium and Eucalyptus pellita at
South Kalimantan. Tekno Hutan Tanaman 6: 47 - 54

UNCCD and MoEF. 2015. Indonesia - Land Degradation Neutrality National Report. United Nation
Convention on Desertification and Ministry of Environment and Forestry, Republic of Indonesia. http://
www.unccd.int/en/programmes/RioConventions/RioPlus20/Documents/LDN%20Project%20
Country%20Reports/indonesia_ldn_country_report.pdf

Wardojo, W. Suhariyanto, B.M. Purnama. 2001. Law enforcement and forest protection in Indonesia: A ret-
rospect and prospect. Paper presented on the East Asia Ministerial Conference on Forest Law Enforce-
ment and Governance, Bali, Indonesia, September 11-13, 2001.

Wailes, E.J. and Chavez, E.C. 2012. ASEAN and global rice situation and outlook. Asian Development Bank,
Manila.
276 PETA JALAN IMPLEMENTASI
NDC MITIGASI

Wihardjaka, A., & A.K. Makarim. 2001. Emisi gas metana melalui beberapa varietas padi pada tanah Incept
isol yang disawahkan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 20(1): 10-16.

Wiharjaka dan Sarwoto. 2015. Emisi gas rumah kaca dan hasil gabah dari beberapa varietas padi unggul
tipe baru di lahan sawah tadah hujan di Jawa Tengah. Ecolab 9: 1 – 46

Yulianti, N., and Hayasaka, H. 2013. Recent Active Fires under El Niño Conditions in Kalimantan, Indonesia.
American Journal of Plant Sciences 4: 685-696.

Yulianti, N., Hayasaka, H. and Usup, A. 2012. Recent Forest and Peat Fire Trends in Indonesia, the Latest De-
cade by Modis Hotspot Data. Global Environmental Research 16: 105-116.

Suyamto and Zaini, Z. 2010. Kapasitas produksi bahan pangan pada lahan sawah irigasi dan tadah
hujan. hal 25−42. In Sumarno and N. Suharta (ed). Buku Analisis Sumber Daya Lahan Menuju
Ketahanan Pangan Bekelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta, hlm.
163.
Direktorat Mitigasi Perubahan Iklim
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Gedung Manggala Wanabakti Blok VII Lt. 12
Jl. Gatot Subroto Jakarta 10270
Telp/Fax: (021) 5746722, Email: mitigasi01@gmail.com

Bekerja sama dengan:

Anda mungkin juga menyukai