¹Siti Nurhayati
Akademi Keperawatan Pasar Rebo, Departemen Keperawatan Anak
E-mail: sitinurhayati.fa23@gmail.com
Jl. Tanah Merdeka No. 16, 17, 18 Jakarta Timur
Abstrak
HIV tidak hanya merupakan masalah fisik melainkan juga berdampak pada masalah psikososial. Remaja yang
mengalami HIV biasanya menjadi denial, menarik diri, takut terhadap penolakan teman sebaya, kecemasan
yang berakibat buruknya penampilan di sekolah, depresi, isolasi bahkan ada kecenderungan untuk bunuh diri.
Kurangnya pengetahuan keluarga dan masyarakat mengenai HIV/AIDS menambah buruk situasi yang dialami
penderita HIV/AIDS. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang terjadi remaja
adalah membantu mengembangkan konsep dirinya secara positif adalah melalui pelayanan bimbingan
konseling. Pendekatan multiaspek yang dilakukan oleh kelompok kesehatan publik, spesialis anak, sekolah, dan
program komunitas mampu menurunkan perilaku resiko tinggi seks dan penyalahgunaan obat – obatan
dikalangan remaja.
Abstract
HIV is not only a physical problem but it also affects psychosocial problems. HIV-infected teenagers usually
become denial, withdraw, fear of peer rejection, anxiety that results in poor performance in school, depression,
isolation and even suicidal tendencies. The lack of information of family and community about HIV / AIDS, make
this situation getting worse. One effort that can be done to overcome the problems that occur teenagers is to help
develop the concept of himself positively through counseling guidance services. Multi-aspect approaches by
public health groups, child specialists, schools, and community programs can reduce high-risk behavior of sex
and drug abuse among teenagers
berbagai infeksi seperti infeksi jamur, pengobatan ART. Kondisi mental yang
virus, atau bahkan kanker dan sebagainya. buruk menyebabkan apatis, keputusasaan,
Penderita akan meninggal dalam waktu 1 – sehingga terjadi penolakan obat (Haberer
2 tahun kemudian karena infeksi tersebut & Mellins, 2009).
(Irawati, tanpa tahun).
Kurangnya pemahaman keluarga dan
Selain masalah kesehatan fisik, berbagai masyarakat mengenai HIV/AIDS
gangguan psikososial dialami pula oleh menambah buruk situasi yang dialami
anak dengan HIV/AIDS sesuai usia penderita. HIV/AIDS masih dianggap
perkembangannya. Bowden dan Greenberg sebagai momok menyeramkan, saat
(2010) mengidentifikasi bahwa pada anak divonis sebagai penderita. Dalam
usia pertengahan mulai memahami ada kehidupan di masyarakat, penderita sering
sesuatu yang salah pada dirinya, perasaan menerima perlakuan yang tidak adil atau
bersalah karena munculnya penyakit, takut bahkan mendapatkan diskriminasi dari
dan penolakan. Pada remaja, penegakan lingkungan. Diskriminasi yang dialami
diagnosis penyakit HIV menyebabkan membuat mereka menarik diri dari
anak denial, menarik diri, takut terhadap lingkungan sekitar, serta stigmatisasi yang
penolakan teman sebaya, kecemasan yang berkembang dalam masyarakat mengenai
berakibat buruknya penampilan di sekolah, HIV/AIDS merupakan suatu vonis mati
depresi, isolasi bahkan kecenderungan bagi mereka. Kasus-kasus perlakuan
bunuh diri. Penderita HIV memiliki angka diskriminasi terhadap ODHA maupun
kondisi kesehatan mental lebih tinggi keluarganya merupakan indikasi adanya
dibandingkan masyarakat lain umumnya. dampak sosial ekonomi yang harus
Penderita HIV akan mengalami depresi, dialami, termasuk anak-anak. Kondisi ini
ansietas, post-traumatic stress disorder, membuat ruang gerak mereka terbatas
pemikiran bunuh diri, dan insomnia (the dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
U.S. Department of Health and Human Peristiwa yang dialami tersebut membuat
Services (HHS), 2016). Depresi dan mereka menutupi identitas mereka. Oleh
kecemasan umumnya dikaitkan dengan karena itu diperlukan berbagai upaya
masa remaja, namun terjadi juga pada anak dalam menangani permasalahan yang
yang lebih muda. Kondisi ini akan mereka hadapi.
mempengaruhi kepatuhan terhadap
Salah satu upaya yang dapat dilakukan menemukan masih adanya sikap perawat
untuk mengatasi masalah yang terjadi yang menolak dan memberikan hukuman
remaja adalah membantu mengembangkan kepada pasien disebabkan masih
konsep dirinya secara positif. Terapi terdapatnya stigma perawat terhadap
spiritualitas adalah salah satu upaya untuk pasien HIV/AIDS. Oleh karena itu
mengobati masalah emosional, karena dirasakan masih perlunya diadakan
spiritualitas dan agama memberikan pelatihan perawat agar bisa berlaku lebih
jawaban atas ketakutan dan penderitaan caring dalam memenuhi kebutuhan pasien
ODHA pasca diagnosis. Spiritualitas juga HIV/AIDS biopsikososiospiritual. Menurut
dianggap memberikan penyembuhan dan Allen & Marshall (2008), manajemen
perasaan tenang secara emosional perawatan jangka panjang bagi anak perlu
(Chicoki, 2007). Selain itu pemberian dipersiapkan perawatan akhir hidup bagi
edukasi melalui pelayanan bimbingan anak yang sakit parah dan perawatan
konseling oleh konselor yang profesional paliatif bagi anak dan keluarga. ANECCA
adalah upaya berikutnya. Pelayanan (2011), menguraikan faktor penting yang
konseling bertujuan membantu penderita mendukung perawatan jangka panjang
HIV/AIDS untuk membangkitkan yang efektif bagi anak dengan HIV,
semangat hidup agar bisa menerima meliputi: pengetahuan perawat,
kondisi dan keadaan diri dan mampu infrastruktur kesehatan fungsional, sistem
menyesuaikan diri dengan kondisi yang manajemen informasi fungsional, akses
dialaminya. (Wahyu,S.,Taufik., Ilyas, A., terhadap obat esensial dan
2012 ). ketersediaannya, komunikasi aktif sejak
dini beserta keterlibatan orangtua/wali,
Pelayanan konseling yang baik hanya struktur pendukung di tingkat masyarakat,
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan dan dukungan untuk pengasuh.
yang memiliki pengetahuan dan terampil
dalam berbagai kebutuhan perawatan anak Pemberian konseling dan edukasi pada
dengan HIV. Hal ini disebabkan oleh dasarnya merupakan upaya memberikan
panjangnya waktu pengobatan (seumur pendidikan sebagai pilar utama
hidup) karena HIV merupakan penyakit pencegahan HIV. Pada tahun 2000
kronis dan terminal. Penelitian yang diperkenalkan sebuah terminologi baru
dilakukan oleh Oktarina (2011), ‘education vaccine’, pendidikan dilihat
sebagai ujung tombak upaya pencegahan tangga atau ikut membantu merawat
penyebaran HIV (Vandemoortele, Jan & anggota keluarga yang sakit. Dari segi
Enrique Delamonica, 2000). Kementerian kualitas, selain anak tidak bisa konsentrasi
Kesehatan (2011) melaporkan sampai saat belajar di sekolah karena masalah
dengan akhir 2010 terdapat kasus AIDS yang ia alami, sering juga anak
tertinggi pada kelompok usia muda (15-29 menghadapi kondisi tidak nyaman karena
tahun) yaitu sekitar 50,5 %. Hal ini masih besarnya stigma di masyarakat
dimungkinkan karena keterbatasan akses terlebih jika anak tersebut adalah pengidap
informasi dan layanan kesehatan yang HIV/AIDS. Menurut Siregar (2012),
berdampak pada rendahnya pengetahuan stigma ODHA (stigma instrumental,
tentang HIV dan AIDS yang benar. simbolis, kesopanan) berpengaruh terhadap
Menurut Komisi Penanggulangan AIDS penerimaan masyarakat terhadap ODHA di
(KPA) tahun 2011, pemahaman remaja Desa Buntu Bedimbar Kecamatan Tanjung
tentang HIV dan AIDS masih sangat Morawa Kabupaten Deli Serdang .
minim, padahal remaja termasuk kelompok
usia yang rentan dengan perilaku berisiko. Baik keluarga maupun masyarakat
Dalam penelitian yang pernah dilakukan memerlukan penyuluhan yang terus
KPA, persentase remaja (15-24 tahun) menerus mengenai HIV untuk
yang mampu menjawab dengan benar menghilangkan banyak mitos yang telah
cara-cara pencegahan penularan HIV dan disebarluaskan oleh orang – orang yang
AIDS serta menolak pemahaman yang tidak terinformasi dengan baik. Keluarga
salah mengenai penularan HIV dan AIDS merupakan support system utama bagi
hanya sebesar 14,3%. anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Li et al (2006), diketaui bahwa semua
Meski pendidikan diyakini mampu partisipan (30 ODHA) sangat
menurunkan kejadian HIV, namun fakta membutuhkan dukungan keluarga sebagai
menunjukkan sebaliknya. Banyak ODHA pendukung utama. Dukungan yang mereka
yang terpaksa berhenti menjalani perlukan berupa dukungan keuangan,
pendidikannya karena HIV/AIDS. dukungan dalam aktifitas sehari-hari, dan
Seringkali anak-anak dari keluarga ODHA dukungan psikologis penelitian yang
terpaksa mangkir dari sekolah untuk mengukur kualitas hidup pasien HIV/AIDS
membantu memenuhi kebutuhan rumah yang dilakukan Kusuma (2010)
mengemukakan adanya hubungan yang edukasi tentang pencegahan HIV, test, dan
signifikan antara dukungan keluarga pengobatan.
dengan kualitas hidup, dimana ODHA
yang tidak mendapat dukungan keluarga Diagnosis awal dan pemberian pengobatan
akan menurun kualitas hidupnya kepada anak serta orang dewasa
(OR=12,06). Dukungan yang kuat dari merupakan upaya yang dapat lebih
keluarga khususnya pasangan hidup, teman memberikan jaminan untuk hidup lebih
dekat membantu ODHA melewati masa- lama dan lebih sehat. Anak dan keluarga
masa kritis pasca diagnosis HIV/AIDS yang tertular HIV harus memperoleh akses
(Collein, 2010). pelayanan kesehatan yang ramah anak,
serta perawatan gizi dan pelayanan
Menurut Wong (2008), pencegahan kesejahteraan sosial. Semua penderita HIV
merupakan komponen utama dalam harus tahu hak-hak mereka. gizi dan
penyuluhan tentang HIV, terutama pada pelayanan kesejahteraan sosial. Selain itu
kelompok remaja. Materi penyuluhan diperlukan kerjasama lintas sektoral dan
harus meliputi cara penularan, bahaya program untuk pemberdayaan ODHA serta
penyuntikan IV dan pemakaian obat – menggiatkan Karang Taruna serta kegiatan
obatan demi kesenangan semata, dan kerohanian sehingga waktu luang
pentingnya tidak melakukan hubungan masyarakat diisi dengan hal-hal positif
seks serta praktik seks yang aman. (Siregar, 2012).
Pendekatan multiaspek yang dilakukan
oleh kelompok kesehatan publik, spesialis Kesimpulan
anak, sekolah, dan program komunitas Penerimaan keluarga, perhatian, dan
mampu menurunkan perilaku resiko tinggi support yang kuat kepada remaja dapat
seks dan penyalahgunaan obat – obatan memperkuat perubahan perilaku positif
dikalangan remaja di Negara Amerika pada dirinya. Pemberian edukasi dan
Serikat (Weintrub, 2012). Memberikan informasi yang dibutuhkan oleh remaja
penyuluhan kepada semua orang tentang pengidap HIV/AIDS dapat
HIV, mengurangi cap buruk serta membangkitkan semangat remaja untuk
diskriminasi harus dimasukkan sebagai mempertahankan kualitas hidupnya secara
bagian dari komunikasi, informasi dan maksimal. Dukungan sosial berupa
suasana dan kondisi hangat, ungkapan
dampak sosial ekonomi pada individu dan Wahyu,S., Taufik., & Ilyas,A., (2012).
rumah tangga dengan HIV di Tujuh Konsep diri dan masalah yang dialami
Provinsi di Indonesia. Child Poverty and orang terinfeksi HIV/AIDS. J.ilmiah
Social Protection Conference. 10-11 konseling. 1-12. Vol. 1 Nomor 1 Januari
September 2013. AIDSina Foundation. 2012
Indonesia.
Weintrub, PS. (2012). Trends in HIV Risk
The U.S. Department of Health and Behaviors in Teens from 1991 to 2011.
Human Services. (2017). HIV and Journal Watch. Pediatrics & Adolescent
Children and Adolescents. Medicine (Aug 15, 2012)
https://aidsinfo.nih.gov/understanding-hiv-
aids/fact-sheets/27/92/hiv-and-mental- Wong, D.L. (2008). Wong’s essential of
health (June 2, 2018) pediatric nursing. (6th ed.). Philadelphia.
Mosby Year Book