Anda di halaman 1dari 3

Corona, sang virus yang menjangkiti media massa

Hermansyah Adnan

Virus corona yang lahir dari rahim Wuhan, sebuah kota di China pada
pertengahan Desember 2019, cukup menggemparkan. Walau belum mampu
mengimbangi cepatnya penyebaran konten di dunia internet, penularan dan jangkauan
virus ini cukup melesat dan spektakuler sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
yang menamakan virus ini dengan Covid 19, pada tanggal 11 Maret 2020 menyatakan
bahwa wabah virus ini sebagai pandemic, artinya wabah ini sudah global dan mendunia.
Buktinya, menurut data yang dikumpulkan John Hopkins University
(Kompas,com, Senin, 23/3/2020), total jumlah kasus Covid-19 di seluruh dunia mencapai
331.275 kasus, dengan 14.450 kematian, dan 97.847 pasien dinyatakan sembuh. Jumlah
kasus terbanyak tercatat di China, 81.397, disusul Italia dengan 59.138, dan Amerika
Serikat sebanyak 33.073 kasus. Sementara Indonesia, hingga Minggu (22/3/2020)
dilaporkan total virus korona di Indonesia telah mencapai 514 orang. Pasien meninggal
sebanyak 48 orang dan yang sembuh 29 orang.
Virus mematikan ini bukan hanya sekedar menular ke manusia dengan cepat dan
ganas, tetapi juga menjangkiti media massa dengan sekejap dan memanas, sehingga
hampir tidak ada media massa yang tidak latah memberitakan monster kecil ini. Seolah
monster ini menjadi ikon utama dalam memenuhi rasa ingin tahu manusia yang sudah
ketakutan. Seakan virus ganas ini menjadi momok yang menghantui setiap orang,
bagaikan menjadi malaikat pencabut nyawa yang tidak kelihatan.
Anehnya, semakin masyarakat ketakutan semakin ingin tahu keberadaan,
keganasan dan kekejaman virus ini. Semakin rakyat panik, semakin sering nonton TV,
baca koranatau media online, bahkan semakin resah semakin sering lihat status FB, WA,
Twitter dan berbagai jejaring sosial lainnya.
Pada titik ini, media massa dengan berbagai jenis, macam dan bentuknya, bagai
menjadi panca indra setiap orang, hampir tidak ada satu berita pun yang terkait dengan
virus berbahaya ini yang luput dari perhatian masyarakat. Informasi virus berbahaya ini,
walau berputar dan bertebaran di tengah masyarakat secara bebas, sebagian besar
bersumber dari berita dan informasi media massa.

1
Media massa, bak digerogoti virus ganas, seakan tiada henti menyebarkan berita-
berita heboh dan gawat tentang korona, sehingga manusia makin panas dan meradang.
Akhirnya, manusia terbentuk fikiran dan perasaannya tentang virus ini, yang diolah
media massa, padahal fakta sesungguhnya belum tentu sesuai dengan yang diberitakan.
Dalam dunia jurnalistik, fakktor aktualitas dan nilai jual berita sangat menentukan
dalam hidup matinya media massa. Memang iklan adalah simbol kekayaan, tetapi jika
media massa itu tidak laku, maka iklan pun akan ogah singgah. Jika media massa itu
kere, penuh dengan berita-berita basi dan tidak menarik, maka paling hanya dapat iklan
recehan bagai pengemis di pinggir jalan.
Karena faktor ini, tidak jarang, media massa, apakah cetak atau online, saling
berlomba mengejar berita-berita hangat, heboh, penuh sensasi dan menarik. Terkadang
jika tidak hangat dihangat-hangatkan, jika tidak terlalu panas dikipas-kipas agar
membara, jika tidak besar dibuat sensasi agar heboh, jika berita biasa dibuat luar biasa
agar menarik. Bahkkan terkadang juga ada media massa yang memutar balik fakta untuk
memancing orang mau melongok, atau untuk maksud tertentu. Kira kira ilustrasi
sederhana begini: jika sebenarnya “anjing menggigit manusia” sebagai berita biasa maka
diubah menjadi “manusia menggigit anjing” agar orang terkesima.
Akan tetapi, bukan berarti setiap media massa diragukan kebenaran berita yang
disajikan. Pada tingkat data, sumber, dan konfirmasi, media massa formal (bukan abal-
abal) mempunyai kode etik, aturan dan ketentuan baku, di antaranya bahwa tidak boleh
menyampaikan berita bohong dan menyebarkan fitnah atau tidak boleh kontoversial dan
meresahkan masyarakat.
Namun terkadang, sebagian media massa, mengolah data dan fakta yang
dikumpulkan disesuaikan dengan kepentingan tertentu, atau keuntungan tertentu, atau
untuk mencari popularitas, atau untuk – secara sederhana – agar isunya laku.
Tidak sedikit media massa yang mem-blow up- atau membesar-besarkan berita
tersebut agar mendapat perhatian yang pada gilirannya akan menuai keuntungan
okonomi. Tidak jarang ada media massa yang menghubungkan kasus-kasus dan isu-isu
korona dengan hal-hal atau orang-orang tertentu yang pada akhirnya akan mendapatkan
keuntungan politik, tidak langka ada media massa yang mengaitkan covid-19 itu dengan
hal-hal yang bersifat kultural, spiritual dan sebagainya. Berbagai “olahan” media massa

2
tersebut ada yang positif dan ada yang negatif, ada yang mencerdaskan dan menyadarkan
umat dan ada pula yang menyesatkan manusia.
Dalam dunia yang sangat tergantung pada informasi, tentu masih ada media
massa yang melaporkan berita apa adanya, masih terdapat media massa yang mempunyai
integritas dan idealisme yang tinggi, tapi harus diakui, pada titik tertentu, atau pada
keadaan tertentu, integritas dan idealism akan sedikit memudar dipengaruhi oleh
“kekuatan dan kepentingan” tertentu, apakah ekonomi, bisnis, kekuasaan, tekanan dan
sebagainya yang bisa mengarahkan – sedikit atau banyak - kemana dan bagaimana berita,
informasi atau berbagai macam konten lainnya dari isi media massa itu harus
dipublikasikan.
Dalam era informasi dan globalisasi, kebutuhan akan media massa, suatu
keharusan bagi masyarakat. Sayangnya kebutuhan itu tidak sebanding dengan
kemampuan masyarakat untuk mampu menfilter setiap pemberitaan dan informasi media
massa. Sebagian rakyat tidak tahu mana yang benar dan salah dari pemberitaan, tidak
mengerti yang mana yang objektif dan subjektif, tidak faham mana pencitraan dan
pembusukan, tidak pandai membaca yang tersirat dari yang tersurat dan kurang punya
pengalaman terhadap berbagai informasi fiktif, hoak dan berbagai kejahatan media massa
lainnya, khususnya media massa online yang terkadang ada yang tidak jelas
indentitasnya, illegal dan liar. Masyarakat awam, yang hanya sekedar punya kemampuan
mengakses informasi internet, menjadi korban pemberitaan dan informasi yang tidak
benar.

Anda mungkin juga menyukai