Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN


PERTUMBUHAN PENDUDUK MELALUI PROGRAM
PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah
Hukum dan Kependudukan
Dosen Pembimbing : Mahmuda Panca Wisma Febriharini, S.H., M.Hum.

Disusun oleh
NUR AFNI
NPM : 191003742017500

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SEMARANG
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya

kami dapat menyelesaikan makalah tentang Hukum dan Kependudukan ini dengan baik

meskipun banyak kekurangan didalamnya. Kami juga berterima kasih kepada Ibu Mahmuda

Panca Wisma Febriharini, S.H., M.Hum., Selaku Dosen Mata Kuliah Hukum dan

Kependudukan yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka membahas wawasan serta

pengetahuan kita mengenai Implementasi Kebijakan Pengendalian Pertumbuhan Penduduk

Melalui Program Pendewasaan Usia Perkawinan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa

didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami

berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat

dikesempatan-kesmpatan berikutnya , mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran

yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang

membacanya. Sebelumya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang

berkenan dihati.

Pati, April 2022

Tim penyusun

2
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN PERTUMBUHAN PENDUDUK

MELALUI PROGRAM PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN

A. Latar Belakang
Jumlah penduduk dunia saat ini terus tumbuh, pada tahun 2011 menembus
angka tujuh miliar. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan memprihatinkan bangsa
seluruh dunia, sehingga 189 negara anggota PBB termasuk indonesia berkomitmen
melaksanakan Millennium Development Goals (Mdg’s). Untuk mewujudkan hal itu
perlu membangunan kependudukan melalui program KB yang bertujuan menekan
angka kelahiran secara serius guna mecegah terjadinya ledakan pendudukan yang
berdampak pada pembangunan secara keseluruhan.
Pada awalnya program Keluarga Berencana Nasional adalah upaya
pengaturan kelahiran dalam rangka peningkatan kesejahteraan ibu dan anak.
Kemudian dalam perkembangannya sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera,
dinyatakan bahwa program Keluarga Berencana Nasional ditujukan untuk
melembagakan dan membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera
(NKKBS). Menurut Undang- undang Nomor 10 Tahun 1992 tersebut dikatakan bahwa
Keluarga Berencana adalah upaya kepedulian dan peran serta masyarakat melalui :
Pendewasaan Usia Perkawinan, Pengaturan Kelahiran, Pembinaan Ketahanan
Keluarga, dan Peningkatan Kesejahteraan Keluarga.
Permasalahan kependudukan pada dasarnya terkait dengan kuantitas,
kualitas dan mobilitas penduduk. Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga telah mengamanatkan
perlunya pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas
penduduk agar mampu menjadi sumber daya yang tangguh bagi pembangunan dan
ketahanan nasional. Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012, Indonesia saat ini menghadapi persoalan kependudukan dan KB yang
cukup berat untuk mencapai target rencana pembangunan jangka menengah nasional
(RPJMN) tahun 2010-2014. Persoalan tersebut antara lain tingginya angka kelahiran
total (TFR) masih tetap pada angka 2,6 anak per wanita yang berarti tidak ada
penurunan dalam kurun 10 tahun terakhir. Angka fertilitas pada usia remaja juga
masih tinggi ditandai dengan ASFR 15-19 tahun sebesar 48 per 1000 wanita. Lalu
tingkat kesertaan ber-KB relatif konstan dibanding 5 tahun lalu yaitu 57,9 persen.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jatim
menyatakan sebanyak 16,84 persen pada wanita atau remaja yang usia dibawah 20
tahun yang menikah dini dari 18.792 pernikahan di bulan Januari 2013, rendahnya usia

3
perkawinan pertama menjadikan masalah tersendiri bagi remaja, pemerintah dan
masyarakat. Jika dilihat jumlah remaja di Indonesia kurang lebih 28 persen atau 64
juta dari total jumlah penduduk sebesar 237,6 juta jiwa (Sensus Penduduk, 2010). Di
kabupaten pamekasan, menurut laporan Badan Pemberdayaan Perempuan dan
keluarga berencana (BPPKB) tahun 2013, tercatat sebanyak 1314 atau sekitar 12 %
yang menikah di bawah usia 20 tahun, dan dari laporan tersebut menunjukan
kecamatan tlanakan memiliki persentase tertinggi yakni sekitar 51,43%.
Dalam program pengendalian pertumbuhan penduduk tidak hanya melihat
dari aspek keikutsertaan masyarakat dalam program KB yakni dengan alat kontrasepsi
tetapi pengendalian pertumbuhan penduduk telah membidik generasi muda. Salah satu
program pembangunan yang berkaitan dengan kependudukan adalah Program
Keluarga Berencana yang bertujuan mengendalikan jumlah penduduk diantaranya
melalui program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).
Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian secara mendalam mengenai Implementasi Kebijakan Pengendalian
Pertumbuhan Penduduk Melalui Program Pendewasaan Usia Perkawinan.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka rumusan


masalahan yang hendak diajukan dalam penulisan ini dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimana implementasi kebijakan pengendalian pertumbuhan penduduk melalui
program pendewasaan usia perkawinan Di Kabupaten Pamekasan ?
2) Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi program pendewasaan usia
perkawinan ?
C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah, maka tujuan


yang ingin dicapai dirumuskan sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan tentang pengendalian


pertumbuhan penduduk melalui program pendewasaan usia perkawinan di
Kabupaten Pamekasan
2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi program pendewasaan usia
perkawinan
D. Manfaat Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah, maka manfaat
yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :

1) Manfaat Teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.

4
2) Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan
masukan yang konkret bagi pemerintah terutama dalam kebijakan pengendalian
pertumbuhan penduduk.

I. KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian terdahulu
Dari beberapa kajian pustaka yang penulis ketahui ada beberapa penelitian yang bisa
diidentikkan dengan tulisan ditulis. Pertama, Penelitian yang berjudul Kebijakan
Pemenuhan Hak-Hak Reproduksi Dalam Peningkatan Kualitas Program Keluarga
Berencana Nasional di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan yang ditulis oleh
Drs. Hamdan Nasution, M.Si. penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kebijakan akan pemenuhan hak –
hak reproduksi sudah dapat terpenuhi secara maksimal, sehingga menjadi indicator
dalam peningkatan kualitas program KB. Kedua, Penelitian yang berjudul Fenomena
Pernikahan Usia Dini di Masyarakat Madura, Yang ditulis oleh Hairi pada tahun 2009,
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui
factor – factor apa saja yang menyebabkan fenomena pernikahan usia dini.
B. Implementasi Kebijakan Publik
Proses pelaksanaan kebijakan (Policy Implementation) merupakan proses
yang panjang dan meluas guna tercapainya tujuan kebijakan tersebut. Pemahaman
implementasi kebijakan yang baik jangan hanya menyoroti lembaga – lembaga
administrasi atau badan – badan yang bertanggung jawab atas suatu program berikut
pelaksanaanya terhadap kelompok sasaran, tetapi juga perlu memperhatikan secara
cermat berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi dan social yang secara langsung
maupun tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku yang terlibat dalam program
yang pada akhirnya membawa dampak pada program tersebut (dalam Abdul Wahab,
2008, h.184-185).
Mazmanian dan Sabatier (dalam Agustino, 2006, h.153) berpendapat bahwa
pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang – undang,
namun dapat pula berbentuk perintah – perintah atau keputusan – keputusan eksekutif
yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut
mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau
sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur
proses implementasinya.

5
Dengan kata lain implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan
dilaksanakan secara maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.
Terdapat beberapa konsep mengenai implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh
beberapa ahli. Secara Etimologis, implementasi menurut kamus Webster yang dikutip
oleh Solichin Abdul Wahab adalah sebagai berikut: Konsep implementasi berasal dari
bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement
(mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan
sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk
menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab (2006:64).
Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas,
disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu kegiatan atau usaha yang
dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil
yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.
C. Pemilihan Model Implementasi Kebijakan
Implementasi memegang peranan penting dalam keberhasilan suatu
perencaanaan strategis, yang lebih bersifat operasional. Dalam penulisan ini, penulis
memadukan dengan konsep model yang lebih relevan dengan penulisan ini, maka
penulisan ini memilih menggunakan kerangka model analisis Implementasi Kebijakan
(A model Framework for policy implementatition Analyisis) oleh Daniel Mazmanian
dan Paul A. Sabatier (1983) hal ini dikarenakan persoalan pendewasaan usia
perkawinan merupakan suatu kebijakan yang benar – benar komprehensif dan
membutuhkan analisa yang mendalam. Berhasil atau tidaknya Implementasi Program
Pengendalian Pertumbuhan Penduduk Melalui Program Pendewasaan usia perkawinan
sangat tergantung pada:
1. Masalah yang digarap atau diintervensi
2. Kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi secara tepat
3. Faktor – faktor di luar perundangan yang mempengaruhi implemetasi
Mengutip dari Nugroho (2009,h. 664) yang mengatakan, bahwa teori yang
komprehensif tentang teori – teori implementasi, pada dasarnya metodenya adalah
skpetis, dan mengemukakan bahwa antara satu teori dengan teori lainnya saling
mengungguli. Hasil persaingan terkini adalah model yang Top – Down semakin
tergeser oleh Bottom – Up dengan berkembangnya demokrasi. Karena itu model
yang sintesis adalah model yang bersifat Bottom – Up dan jaringan.
Tidak ada model yang terbaik dalam implementasi kebijakan, setiap jenis
kebijakan public memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada
kebijakan public yang perlu diimplementasikan secraa Top-Down seprti anti terorisme.
Kebijakan – kebijakan bersifat Top – Downer berkaitan dengan keselamatan Negara.
Sementara itu, ada jenis kebijakan yang efektif dengan model mekanisme paksa. Tidak
ada pilihan model terbaik yang kita miliki adalah pilihan – pilihan model yang harus

6
kita pilih secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan kebijakannya sendiri. Namun ada
hal yang penting yakni, implementasi nalysiskebijakan haruslah menampilkan
keefektifan kebijakan itu sendiri ( Nugroho, 2009. H.646).
Keefektifan kebijakan juga dipertegas oleh Abdul Wahab (1997,h.62) bahwa
tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijaksanaan tidak
dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak – pihak yang terlibat
dalam pelaksanaannya tidak bekerjasama atau mereka telah bekerja secara tidak
efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai
permasalahan atau kemungkinan permasalahan yang digarap diluar jangkauan
kekuasaan, sehingga betapun gigih usaha mereka, hambatan – hambatan yang ada
tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sukar untuk
dipenuhi. Adapun model yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model Kerangka
Analysis Implementasi (A Framework For Implementation Analysis) yang
dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan paul A. Sabatier (1983) Peran penting
dari analisis implementasi kebijakan negara ialah menidentifikasikan variabel-variabel
yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses
implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi 3
kategori, yaitu:
1. Mudah tidaknya masalah dikendalikan
2. Kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi
3. Variabel diluar undang-undang yang mempengaruhi implementasi
D. Konsep Tentang Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu, dan

dapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah populasi

menggunakan “per waktu unit” untuk pengukuran Pertumbuhan penduduk merupakan

salah satu faktor yang penting dalam masalah sosial ekonomi umumnya dan masalah

penduduk pada khususnya. Karena di samping berpengaruh terhadap jumlah dan

komposisi penduduk juga akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi suatu

daerah atau negara maupun dunia.

Faktor – faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk. Ada beberapa hal

yang dapat memepengaruhi laju pertumbuhan penduduk yang ada di sekitar kita,

diantaranya:

a) Tingkat kelahiran yang cukup tinggi

Dalam hal ini salah satu faktor yang dapat mengakibatkan angka kelahiran yang

sangat tinggi yaitu kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengatur jarak

7
kelahiran anak, padahal dalam hal ini pemerintah sudah menyarankan kepada

masyarakat agar mengatur jaraknya yaitu dengan memanfaatkan alat kontrasepsi

yang telah disediakan oleh pemerintah.

b) Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap program yang dikeluarkan oleh

pemerintah khususnnya yang berkaitan dengan laju pertumbuhan penduduk.

E. Pendewasaan Usia Perkawinan


Permasalahan kependudukan pada dasarnya terkait dengan kuantitas,
kualitas dan mobilitas penduduk. Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga telah mengamanatkan
perlunya pengenddalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas
penduuk agar mampu menjadi sumber daya yang tangguh bagi pembangunan dan
ketahanan nasional. Salah satu program pembangunan yang berkaitan dengan
kependudukan adalah Program Keluarga Berencana yang bertujuan mengendalikan
jumlah penduduk diantaranya melalui program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).
Pendewasaan Usia Perkawinan Dan Hak-hak Reproduksi Bagi Remaja
Indonesia bertujuan untuk memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar di
dalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek
berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, ditinjau dari aspek kesehatan, ekonomi,
psikologi dan agama. Tujuan PUP seperti ini berimplikasi pada perlunya peningkatan
usia perkawinan yang lebih dewasa sehingga berdampak pada penurunan Total
Fertility Rate (TFR).
II. METODE PENULISAN
Jenis metode penulisan  yang digunakan adalah metode kepustakaan, yaitu
metode penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai teori dari
berbagai literatur yang berhubungan dengan judul penelitian ini secara kualitatif
maupun kuantitatif. Kualitatif untuk menganalisis keterkaitan jumlah penduduk dengan
permasalahan lingkungan yang ada.  Sedangkan kuantitatif untuk menggambarkan tren
jumlah penduduk. Selain itu, peneliti juga melakukan browsing internet untuk
mendukung teori dan data yang peneliti gunakan.
A. Sumber Data
 Sumber Data Primer
Sumber primer adalah hasil-hasil penelitian atau tulisan-tulisan karya peneliti
atau teoritisi yang orisinil, dalam hal ini sumber data primer yang digunakan
adalah Penelitian tentang Kebijakan Pemenuhan Hak-Hak Reproduksi Dalam
Peningkatan Kualitas Program Keluarga Berencana Nasional yang ditulis oleh
Drs. Hamdan Nasution, M.Si. dan selanjuntya sumber data primer yang kedua

8
adalah buku Kebijakan, Program Dan Kegiatan Deputi keluarga berencana &
kesehatan reproduksi.
 Sumber Data Sekunder
Sumber sekunder adalah bahan pustaka yang ditulis dan dipublikasikan oleh
seorang penulis yang tidak secara langsung melakukan pengamatan atau
berpartisipasi dalam kenyataan yang dideskripsikan, Dengan kata lain penulis
tersebut  bukan penemu teori. Adapun sumber data sekunder yang menjadi
pendukung adalah :
1. Abdul Wahab, Solichin. (1997). Analisis Kebijaksanaan (Dari formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara) edisi kedua, Bumi Aksara. Jakarta.
2. Subroto, Prija. 2003 Pilihan Cara Kb : Quality Of Care, Working For
Clients Rights. Jakarta : PKBI
3. Winarno, Budi. 2005. Teori & Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media
Pressindo.
4. Wolton, Dominique. Teori Komunikasi. Yogyakarta : kreasi wacana, 2007
5. http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-
implementasi-kebijakan http://www.pkbipamekasan.com/2013/02/laporan-
penelitian.html
6. http://ntt.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/
B. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian library research, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan
data literer yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang
berkesinambungan (koheren) dengan objek pembahasan yang diteliti.  Data yang
ada dalam kepustakaan tersebut dikumpulkan dan diolah dengan cara:
 Editing, yaitu pemeriksaan kembali dari data-data yang diperoleh terutama
dari segi kelengkapan, kejelasan makna dan koherensi makna antara yang
satu dengan yang lain.
 Organizing yakni menyusun data-data yang diperoleh dengan kerangka yang
sudah ditentukan.
 Penemuan hasil penelitian, yakni melakukan analisis lanjutan terhadap hasil
penyusunan data dengan menggunakan kaidah-kaidah, teori dan metode yang
telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan (inferensi) tertentu yang
merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah.
III.ANALISIS DAN SINTESIS
A. ANALISIS
1. Implementasi Kebijakan pengendalian pertumbuhan penduduk
Berbicara penduduk Indonesia tidak terlepas dari jumlah penduduk yang besar dan
sebaran yang tidak merata antar wilayah. Hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun

9
2010 (SP 2010) mencatat jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa.
Hasil sensus ini melebihi dari proyeksi sebesar 234,2 juta jiwa. Begitu pula terjadi
peningkatan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) periode tahun 2000-2010 sebesar
1,49% dari 1,45% pada periode tahun 1990-2000. Padahal Kepala BPS Rusman
Hermawan pernah mengatakan pada Desember 2009 dalam rangka persiapan SP
2010, bahwa potensi pertumbuhan penduduk tiap tahun dilihat sejak 2000-2009
sebesar 1,34 persen. Dengan jumlah penduduk yang besar tersebut menempatkan
Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar ke empat dunia setelah cina, india,
dan amerika serikat. Terkait dengan jumlah penduduk Presiden SBY pada saat
pidato kenegaraan dalam rangka HUT ke-67 Proklamasi Kemerdekaan RI
mengatakan: “Jumlah penduduk yang semakin besar ini, tentu membawa tantangan
bagi kita untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk,”. Jika laju pertumbuhan
tidak dapat dikendalikan, dikhawatirkan terjadi berbagai masalah sosial terkait
dengan penduduk yang besar.
Oleh karena itu perlu diambil kebijakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan
penduduk. Presiden SBY menegaskan kebijakan pengendalian penduduk dalam
lanjutan pidatonya. “Pemerintah berupaya menggalakkan kembali program Keluarga
Berencana untuk menciptakan keluarga yang sehat dan sejahtera”. Pemerintah
melalui BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional)
membuat rumusan kebijakan-kebijakan terkait kependudukan, salah satunya adalah
Program Pengendalian Penduduk 2012 yang diperkuat dengan Undang-Undang RI
Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga. Pada Pasal 18 UU tersebut secara jelas tujuan pengendalian penduduk,
yaitu “ Pengendalian kuantitas penduduk dilakukan untuk mewujudkan keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan antara jumlah penduduk dengan lingkungan hidup
baik yang berupa daya dukung alam maupun daya tampung lingkungan serta kondisi
perkembangan sosial ekonomi dan budaya”. Sedangkan pada Pasal 20 disebutkan
teknis pengendalian penduduk tersebut, “Untuk mewujudkan penduduk tumbuh
seimbang dan keluarga berkualitas, Pemerintah menetapkan kebijakan keluarga
berencana melalui penyelenggaraan program keluarga berencana.” Masalah kedua
adalah sebaran penduduk. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, Pulau Jawa masih
menjadi wilayah terpadat di Indonesia, yaitu lebih dari separuh (57,5%) jumlah
penduduk Indonesia menetap di pulau tersebut padahal luasnya hanya 6,8 persen
dari total wilayah Indonesia.
2. Implementasi kebijakan Pengendalian Pertumbuhan Penduduk Melalui
Program pendewasaan Usia Perkawinan, kemudian dianalisis dengan ;
1) Mudah Tidaknya Masalah Dikendalikan
Masalah Pernikahan Dini Di Kabupaten Pamekasan menjadi Permaslahan Yang
Tetap Menjadi Perhatian Pemerintah, Hal Ini Terlihat Dari Laporan Pernikahan

10
Berdasarkan Umur Istri Kabupaten Pamekasan Tahun 2013, Dengan Persentase
Umur Yang Menikah Di Bawah Umur <20 Tahun Sebanyak 12 %. Menurut
BPPKB factor – factor penyebab tingginya angka pernikahan ini di bawah usia
<20 Tahun, antara lain :

1. Faktor Pendidikan.

Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika


seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu
dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga
merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri. Disini, terasa makna dari wajib
belajar 9 tahun. Jika asumsi kita anak masuk sekolah pada usia 6 tahun, maka
saat wajib belajar 9 tahun terlewati, anak tersebut sudah berusia 15 tahun. Di
harapkan dengan wajib belajar 9 tahun , maka akan punya dampak yang
cukup signifikan terhadap laju angka pernikahan dini.

2. Faktor sosial budaya

Fenomena pernikahan di usia dini menjadi kultur masyarakat Indonesia yang


masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas 2. Pra orang tua
ingin mempercepat pernikahan anaknya dengan berbagai alasan social.
Mengubah budaya dalam struktur masyarakat turun temurun seperti tradisi
pernikahan bukan hal yang mudah. Di kabupaten pamekasan budaya menikah
di usia dini sangat dipengaruhi oleh budaya. Budaya “ Memberi Pagar”
menjadi salah satu contoh budaya yang menjadi factor tingginya pernikahan
dini.

2) Kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses implementasi secara


tepat
Dalam masyarakat Madura Program ini mengalami pertentangan dengan
konsep pemahaman tentang pernikahan yang merujuk pada hasil penelitian
yang berjudul Fenomena Pernikahan dini di Masyarakat Muslim Madura.
Penelitian ini mengunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan pengumpulan
datanya dilakukan dengan melalui teknik wawancara, observasi. Penelitian ini
menghasilkan beberapa temuan yaitu bahwa pernikahan di usia muda di Desa
Bajur Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan disebabkan oleh faktor ekonomi,
faktor pendidikan, faktor agama, faktor tradisi, faktor orang tua dan bahkan
memang ada faktor dari anak itu sendiri yang berkeinginan untuk menikah.
Dengan adanya pernikahan di usia muda seringkali memunculkan suasana
kehidupan keluarga yang tidak mengalami kebahagiaan, sebagian besar dari
pasangan yang melakukan pernikahan di usia muda memutuskan untuk
melakukan perceraian dengan alasan ketidak cocokan dengan pasangan
tersebut, ketidak harmonisan dalam rumah tangga, dan kesulitan pemenuhan
dalam segala kebutuhan rumah tangga (Hairi, 2009).

11
Adanya kebijakan yang terkesan kontradiktif antara pemahan atau budaya
masyarakat dengan UU No 52 Tahun 2009 dan dengan tujuan program
pendewasaan ini menjadi salah satu penyebab kurang maksimal dalam
pelaksanaan program ini. PLKB atau Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana
oleh masyarakat sebagai penyuluh khusus untuk KB atau pengenalan alat
kontrasepsi tetapi ketika memberikan informasi dan edukasi dianggap bukan
tugas dan tanggung jawab mereka. Hal ini menjadi gambaran bahwa proses
advokasi sebelum memnjalankan program ini sangat diperlukan agar
komunikasi yang disampaikan kepada masyarakat dapat diterima dengan baik.

3) Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi

 Terbatasnya Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana

Keberadaan petugas PLKB sangat mempengaruhi prose imlpementasi


program ini. Jumlah Penyuluh Keluarga Berencana semakin berkurang
karena purna tugas atau pensiun. Sampai dengan bulan Agustus 2013
Penuyuluh KB di Kabupaten Pamekasan sebanyak 66 orang dengan
ratio dibanding desa 1: 6. Sementara beban tugas yang harus
dilaksanakan semakin berat seiring dengan diberlakukannya otonomi
daerah yang mengamanatkan Urusan KBKS, Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak menjadi tanggung jawab Badan Pemberdayaan
Perempuan Perempuan dan KB. Jadi selain harus menjalankan 4 pilar
program KB juga harus bertanggung jawab terhadap suksesnya program
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Padahal dalam
indikator Standar Pelayanan Minimal bidang KBKS angka ideal untuk
ratio PKB per desa adalah 1:2.
3. Faktor – Factor Yang Mempengaruhi Program Pendewasaan Usia Perkawinan
Program Pendewasaan Usia Perkawinan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
1. Peningkatan assets/ capabilities remaja, yaitu segala sesuatu yang positif yang
terdapat pada diri remaja (pengetahuan, sikap, perilaku, hobi, minat dan
sebagainya)
2. Pengembangan resources/opportunities, yaitu jaringan dan dukungan yang
dapat diberikan kepada remaja dan program PUP oleh semua stakeholders
terkait (orang tua, teman, sekolah, organisasi remaja, Pemerintah, media
massa, dan sebagainya)
3. Pemberian pelayanan kedua/second chance kepada remaja yang telah menjadi
korban triad KRR, agar bisa sembuh dan kembali hidup normal. Program PUP
dengan peningkatan dan pengembangan ketiga faktor tersebut akan
menghasilkan Tegar Remaja (TR).

12
satu pemicu terjadinya nikah di bawah umur justru akibat dari kemajuan zaman dan
teknologi media informasi. Apapun pemantiknya,  nikah di bawah umur adalah
fenomena sosial budaya yang tidak masuk akal karena pelaku sekaligus korban,
sesuai peraturan perundangan masih dalam kategori usia anak-anak. Laporan Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada bulan Juni 2012 saja
untuk usia kawin pertama penduduk wanita kurang dari usia 20 tahun di seluruh
Jawa Timur mencapai 6.847 orang atau 19,88 persen dari seluruh perkawinan
pertama penduduk wanita di semua usia sebesar 34.443 orang. Jumlah tertinggi
angka perkawinan pertama penduduk wanita usia yang sama adalah yang terjadi di
Kabupaten Malang yakni dengan 887 perempuan atau 29,09 persen dari total
pernikahan 3.049. Sementara prosentase tertinggi dibanding seluruh jumlah
pernikahan pada usia tersebut di tempatnya adalah Kabupaten Bondowoso sebesar
196 atau 49,75 persen dari total pernikahan 394 orang.
Lebih lanjut, data tersebut mengungkap sampai dengan pada Juni 2011 laporan usia
kawin pertama penduduk wanita seluruh JawaTimur usia di bawah 20 tahun
mencapai 34.016 orang atau sebesar 19,97 persen dari jumlah laporan seluruh usia
kawin pertama penduduk wanita di Jawa Timur sebesar 171.862 orang. Sebetulnya
secara implisit UU Perkawinan 1 Tahun 1974 pada pasal 6 ayat (2) menyebut
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun masih dalam kategori anak.
Sementara perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang terjadi pria yang
belum mencapai usia 19 tahun dan wanita di bawah 16 tahun (pasal 7 ayat 1).
Anehnya UU tersebut mensahkan apabila mendapat dispensasi dari pengadilan atau
pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita (pasal 7
ayat 2). Dengan kata lain perkawinan di bawah umur bisa dilegalkan sekalipun
terjadi pada usia anak-anak di bawah 18 tahun (pasal 1 ayat 1 UU nomor 23 Tahun
2003 tentang Perlindungan Anak). Dalam arti, negara mengizinkan perkawinan yang
melanggar hak asasi anak (UU No. 39/1999 Bagian Kesepuluh tentang Hak Anak
pasal 52 s/d pasal 66). Perkawinan pada anak-anak adalah melembagakan tindakan
merenggut kebebasan masa anak-anak atau remaja untuk memperoleh haknya.
Tepatnya hak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi (pasal 1 ayat 2 UU No 23 Tahun 2002). Sekaligus
melestarikan pelanggaran hak untuk mendapatkan pendidikan, berpikir dan
berekspresi, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya, hak untuk
beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan teman sebaya, bermain,
berekspresi, dan berkreasi. Juga merenggut hak mendapat perlindungan. Anak-anak
sebagai korban sekaligus pelaku seringkali terkurung pelbagai justifikasi perkawinan
bawah umur yang bisa datang dari orangtua, hakim pengadilan agama, tokoh agama,
tokoh masyarakat adat, dan tak jarang juga atas inisiatif pelaku sendiri.

13
Orang tua bisa berdalih meringankan beban tanggungjawab ekonomi yang
mendorong terjadinya pernikahan tersebut. Atau atas nama pelestarian dinasti
kekayaan tertentu. Bahkan secara ekstrem bukan tidak mungkin pernikahan di
bawah umur sebetulnya adalah modus terselubung penjualan anak-anak mereka.
Ketiadaan kesadaran hukum yang kemudian mentradisi juga menjadikan pernikahan
di bawah umur suatu solusi. Pergaulan bebas yang berbuah kehamilan di luar nikah,
misalnya, menjadikan perkawinan sebagai cara untuk menutup aib keluarga.
Seringkali keadaan ini disokong oleh pejabat kantor urusan agama, yang menyakini
bila tak segera dinikahkan pasangan-pasangan seperti itu cenderung menafikan
norma agama dan perzinahan merajalela. Selain tentu saja, di pelbagai daerah telah
mentradisi bentuk perjodohan oleh orangtuanya. Biasanya mereka berpegang mitos
umum bila anak telah lepas masa menstruasi di usia 12 tahun, maka sudah waktunya
untuk menikah. Diantara beberapa kenyataan tersebut, yang paling populer adalah
keyakinan yang dianut dari pelbagai tafsir hadist nabi oleh tokoh-tokoh agama.
Berdalih meneladani sunah rasul, maka perkawinan di bawah umur tersebut kerap
kali masih terjadi
Lebih dari itu, tampaknya data yang dilansir Badan Pemberdayaan Perempuan Jawa
Timur pada tahun 2013 cukup mencengangkan. Di beberapa kabupaten di Jawa
Timur terungkap angka pernikahan pertama penduduk perempuan bawah umur 17
tahun memperlihatkan di atas 50 persen dari total pernikahan di daerahnya. Seperti
Kabupaten Jember mencapai 56 persen, Bondowoso 73, 9 persen, Probolinggo 71,5
persen, Lamongan 52, 5 persen, Sampang 63,8 persen, Pamekasan 59,2 persen, dan
Kabupaten Sumenep 60 persen. Sementara secara nasional data BPS
memperlihatkan hampir 47 persen perempuan pernah menikan saat usia mereka di
bawah 18 tahun; 13,4 persen perempuan sudah menikah pada usia 10-15 tahun; 33,4
persen menikah usia 16-18 tahun.
B. SINTESIS
Sintesis merupakan bentuk lain dari kegiatan atau metode berpikir. Secara
sederhana, Russel menyatakan bahwa sintesa logik berarti menentukan makna
pernyataan atas dasar empirik. Meskipun demikian, kebenaran proposisi Russel perlu
dianalisis dengan membedah pengertian yang dikemukakan.
Berdasarkan definisi tersebut, Implementasi kebijakan pengendalian petumbuhan
penduduk merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk meminimalisir angka
pernikahan di bawah umur, tidak hanya mengendalikan pertumbuhan penduduk dari
sisi kuantitas tetapi kulaitas dan memperkecil angka kematian ibu dan anak. Banyak
hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk menekan angka perkawinan di bawah umur
ini antara lain melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) melalui berbagai
kegiatan yang berbasis masyarakat dan pentingnya Education Of Sex atau
Pengetahuan tentang KRR pada usia sekolah atau remaja.

14
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pendewasaan Usia Perkawinan bertujuan untuk memberikan pengertian dan
kesadaran kepada remaja agar di dalam merencanakan keluarga, mereka dapat
mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, ditinjau
dari aspek kesehatan, ekonomi, psikologi dan agama. Tujuan PUP seperti ini
berimplikasi pada perlunya peningkatan usia perkawinan yang lebih dewasa sehingga
berdampak pada penurunan Total Fertility Rate (TFR).
Dalam implementasi kebijakan program pendewasaan usia perkawinan ada beberapa
hal yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan tersebut dilihat dari mudah tidaknya
masalah diimplementasikan antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu Faktor
pendidikan dan factor social budaya, kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses
implementasi secara tepat, serta variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi.
Program Pendewasaan Usia Perkawinan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
1. Peningkatan assets/ capabilities remaja, yaitu segala sesuatu yang positif yang
terdapat pada diri remaja (pengetahuan, sikap, perilaku, hobi, minat dan
sebagainya)
2. Pengembangan resources/opportunities, yaitu jaringan dan dukungan yang
dapat diberikan kepada remaja dan program PUP oleh semua stakeholders
terkait (orang tua, teman, sekolah, organisasi remaja, Pemerintah, media
massa, dan sebagainya)
3. Pemberian pelayanan kedua/second chance kepada remaja yang telah menjadi
korban triad KRR, agar bisa sembuh dan kembali hidup normal. Program PUP
dengan peningkatan dan pengembangan ketiga faktor tersebut akan
menghasilkan Tegar Remaja (TR).
Dalam masyarakat Madura khususnya di Kabupaten Pamekasan program ini bisa
dikatakan tidak bisa dipahami secara mendalam oleh sebagian masyarakat tertentu
yang dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain Ekonomi,agama,tradisi dan orang
tua.
B. Saran
1. Langkah yang harus dilakukan adalah mengadvokasi pemerintah daerah dengan
menampilkan fakta-fakta mengenai permasalahan kependudukan dan memberi
saran langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya.
2. Pembentukan Pusat Informasi Konseling Remaja di setiap daerah di Indonesia
untuk mempermudah akses dalam mendapatkan informasi tentag remaja
3. Adanya Program Acces Service Knowladges yang dikelola oleh Non
Government dalam memudahkan memberikan pelayanan ramah remaja.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. 2006. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan
Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta.

BKKBN Kabupaten Pamekasan. 2003, Buku Kinerja Pelayanan KB. Pamekasan : PKB – KR,

Deputi keluarga berencana & kesehatan reproduksi. 2005. Kebijakan, Program Dan Kegiatan.
Jakarta : BKKBN.

Dewi, Ambarsari, 2002, Kebijakan Publik dan Partisipasi Perempuan, Pattiro, Jakarta

Dunn, Wiliam N-, 2000, Analisis Kebijakan Publik, Gajah Mada University Press, Yogyakarta

16
Edward III, George C, 1980, Implementing Public Policy, Congressional Quarterly Press,
Washinton D.C.

Moleong, Lexy, 2000, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung

Nazir, Moh, 2003, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta

Edward III, George C,. 1978. Understanding Public Policy. New Jersey: Prantice Hall
Subroto, Prija. 2003 Pilihan Cara Kb : Quality Of Care, Working For Clients Rights. Jakarta :
PKBI
Winarno, Budi. 2005. Teori & Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.
Wolton, Dominique. Teori Komunikasi. Yogyakarta : kreasi wacana, 2007
http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan
http://www.pkbipamekasan.com/2013/02/laporan-penelitian.html

http://ntt.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/

17

Anda mungkin juga menyukai