Anda di halaman 1dari 14

BAB

Kajian Politik Islam


10
Dalam agama Islam, bukan masalah Ubudiyah dan Ilahiyah saja
yang dibahas. Akan tetapi tentang kemaslahatan umat juga dibahas dan
diatur dalam Islam, dalam kajian ini salah satunya adalah politik Islam
yang dalam bahasa agamanya disebut Fiqh Siyasah. Fiqh Siyasah dalam
konteks terjemahan diartikan sebagai materi yang membahas mengenai
ketatanegaraan Islam (politik Islam). Secara bahasa Fikih adalah meng-
etahui hukum-hukum Islam yang bersifat amali melalui dalil-dalil yang
terperinci. Adapun Siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputu-
san, pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan.
Adapun lbn Al-Qayyim mengartikan Fiqh Siyasah adalah segala
perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan
dan lebih jauh dari kemudaratan, serta sekalipun Rasulullah tidak mene-
tapkannya dan bahkan Allah menetapkannya pula.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Fikih Siyasah
adalah hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyatnya.
Pembahasan di atas dapat diartikan bahwa politik Islam dalam kajian
Islam disebut Fiqh Siyasah.

A. PENGERTIAN KATA-KATA KUNCI, SIYASAH,


SIYASAH SYAR'IYYAH DAN LAIN-LAIN
Kata siyasah berasal dari kata sasa. Kata ini dalam kamus Al-Munjid
dan lisanAl-'Arab berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah
bisa juga berarti pemerintahan dan politik, atau membuat kebijaksana-
an. Abdul Wahhab Khallafmengutip ungkapan Al-Maqriziyang menya-
takan, arti kata siyasah adalah mengatur. Kata sasa sama dengan to go-
vern, to leat. Siyasah sama dengan policy (of goverment, corprotion, etc).
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM

Jadi siyasah menurut bahasa mengandung beberapa arti, yaitu menga-


tur, mengurus, dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat
politis untuk mencapai suatu tujuan.
Secara terminologis dalam lisan Al-Arab, siyasah adalah menga-
tur atau memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada kemasla-
hatan. Adapun di dalam Al-Munjid di sebutkan, siyasah adalah mem-
buat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan
yang menyelamatkan. Dan, siyasah adalah ilmu pemerintahan untuk
mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam
negeri dan politik luar negeri serta kemasyarakatan, yakni mengatur ke-
hidupan atas dasar keadilan dan istikamah. 185
Adapun siyasah syari'iyyah secara etimologi berasal dari kata syara'
yang berarti sesuatu yang bersifat syar'i atau bisa diartikan sebagai per-
aturan politik yang bersifat syar'i. Secara terminologis menurut lbnu
'Aqail adalah sesuatu tindakan yang secara praktis membawa manusia
dekat dengan kemaslahatan dan terhindar dari kerusakan.
Dari definisi siyasah yang dikemukakan lbnu 'Aqail di atas me-
ngandung beberapa pengertian. Pertama, bahwa tindakan atau kebi-
jakan siyasah itu untuk kepentingan orang banyak. Ini menunjukkan
bahwa siyasah itu dilakukan dalam konteks masyarakat dan pembuat
kebijakannya pastilah orang yang punya otoritas dalam mengarahkan
publik. Kedua, kebijakan yang diambil dan diikuti oleh publik itu bersifat
altematif dari beberapa pilihan yang pertimbangannya adalah mencari
yang lebih dekat kepada kemaslahatan bersama dan mencegah adanya
keburukan. Hal seperti itu memang salah satu sifat khas dari siyasah
yang penuh cabang dan pilihan. Ketiga, siyasah itu dalam wilayah ijtiha-
di, yaitu dalam urusan-urusan publik yang tidak ada dalil qath'i dari Al-
Qur' an dan Sunnah melainkan dalam wilayah kewenangan imam kaum
Muslimin.
Sebagai wilayah ijtihadi maka dalam siyasah yang sering digunakan
adalah pendekatan qiyas dan maslahat mursalah. Oleh sebab itu, dasar
utama dari adanya siyasah Syar'iyyah adalah keyakinan bahwa syariat
Islam diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhi-
rat dengan menegakkan hukum yang seadil-adilnya meskipun cara yang
ditempuhnya tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah secara ek-
splisit. Adapun Siyasah Syar'iyyah dalam arti ilmu adalah suatu bidang
ilmu yang mempelajari hal ihwal pengaturan urusan masyarakat dan
negara dengan segala bentuk hukum, aturan dan kebijakan yang dibuat

185 Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Uakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 22-23 .

148

BAB 10 """"" KAJIAN POLITIK ISLAM

oleh pemegang kekuasaan negara yang sejalan dengan jiwa dan prinsip
dasar syariat Islam untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat. Dari
asal usul kata siyasah dapat diambil dua pengertian. Pertama, siyasah
dalam makna negatifyaitu menggerogoti sesuatu. Seperti ulat atau nge-
ngat yang menggerogoti pohon, kutu busuk yang menggerogoti kulit
dan bulu domba sehingga pelakunya disebut s-US. Kedua, siyasah dalam
pengertian positif yaitu menuntun, mengendalikan, memimpin, me-
ngelola dan merekayasa sesuatu untuk kemaslahatan. Adapun penger-
tian siyasah dalam terminologi para fuqaha, dapat terbaca di antaranya
pada uraian Ibnul Qayyim ketika mengutip pendapat Ibnu 'Aqil dalam
kitab Al Funun yang menyatakan, siyasah adalah tindakan yang dengan
tindakan itu manusia dapat lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh
dari kerusakan meskipun tindakan itu tidak ada ketetapannya dari rasul
dan tidak ada tuntunan wahyu yang diturunkan. Dengan kata lain, dapat
dipahami bahwa esensi siyasah syar'iyyah itu ialah kebijakan penguasa
yang dilakukan untuk menciptakan kemaslahatan dengan menjaga ram-
bu-rambu syariat. Rambu-rambu syariat dalam siyasah adalah: (1) da-
lil-dalil kullydariAI-Qur'an maupun al-Hadits, (2) maqashid syari'ah, 3)
semangat ajaran Islam, (4) kaidah-kaidah kulliyahfiqhiyah.
Dari beberapa definisi di atas, esensi dari siyasah syar'iyyah yang
dimaksudkan adalah sama, yaitu kemaslahatan yang menjadi tujuan
syara' bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan
dan hawa nafsu manusia saja. Sebab, disadari sepenuhnya bahwa tujuan
persyarikatan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemasla-
hatan bagi manusia dalam segala segi dan aspek kehidupan manusia di
dunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang bisa membawa kepada
kerusakan, dengan kata lain setiap ketentuan hukum yang telah diga-
riskan oleh syariat adalah bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan
bagi manusia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwasanya siya-
sah syar'iyyah merupakan setiap kebijakan dari penguasa yang tujuan-
nya menjaga kemaslahatan manusia, atau menegakkan hukum Allah,
atau memelihara etika, atau menebarkan keamanan di dalam negeri,
dengan apa-apa yang tidak bertentangan dengan nash, baik nash itu ada
(secara eksplisit) ataupun tidak ada (secara implisit). Tujuan utama siya-
sah syar'iyyah adalah terciptanya sebuah sistem pengaturan negara yang
islami dan untuk menjelaskan bahwa Islam menghendaki terciptanya
suatu sistem politik yang adil guna merealisasikan kemaslahatan bagi
umat manusia di segala zaman dan di setiap negara.

• 149
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM

B. OBJEK DAN METODE SIVASAH SVAR'IVVAH


Dengan siyasah Syar'iyyah, pemimpin mempunyai kewenangan
menetapkan kebijakan disegala bidang yang mengandung kemasla-
hatan umat. Baik itu di bidang politik, ekonomi, hukum dan undang-un-
dang. Secara terperinci Imam al Mawardi menyebutkan di antara yang
termasuk ke dalam Ahkamus Sulthaniyah (hukum kekuasaan) atau ke-
wenangan siyasah syar'iyyah sekurang-kurangnya mencakup dua puluh
bidang, yaitu:
1. 'Aqdul Imamah atau keharusan dan tata cara kepemimpinan dalam
Islam yang mengacu kepada syura.
2. Taqlidu al-Wizarah atau pengangkatan pejabat menteri yang me-
ngandung dua pola, yaitu wizarah tafwidhiyyah dan wizarah tan-
fidziyysah.
3. Taqlid al-imarah 'ala al- bildd, pengangkatan pejabat negara seper-
ti gubemur, wali negeri, atau kepala daerah dan sebagainya.
4. Taqlid al-imarat 'ala al-jihad, mengangkat para pejabat militer,
panglima perang dan sebagainya.
5. Wilayah 'ala hurubi al- mashdlih, yaitu kewenangan untuk meme-
rangi para pemberontak atau ahl al- riddah.
6. Wilayatu al-qadha, kewenangan dalam menetapkan para pemim-
pin pengadilan, para qadhi, hakim dan sebagainya.
7. Wilayatu al-madhalim, kewenangan memutuskan persengketaan
di antara rakyatnya secara langsung ataupun menunjuk pejabat
tertentu.
8. Wilayatun niqabah, kewenangan menyensus penduduk, mendata
dan mencatat nasab setiap kelompok masyarakat dari rakyatnya.
9. Wilayah 'ala imamati ash-shalawat, kewenangan mengimami sha-
lat baik secara langsung atau mengangkat petugas tertentu.
10. Wilayah 'ala al-hajj, kewenangan dan tanggung jawab dalam pe-
layanan penyelenggaraan keberangkatan haji dan dalam memim-
pin pelaksanaannya.
11. Wilayah 'ala al-shadaqat, kewenangan mengelola pelakasanaan
zakat, infak dan sedekah masyarakat dari mulai penugasan 'amilin,
pengumpulan sampai distribusi dan penentuan para mustahiknya.
12. Wilayah 'ala al-fai wal gahnimah, kewenangan pengelolaan dan
pendistribusian rampasan perang.
13. Wilayah 'ala al-wadh'I al-jizyah wal kharaj, kewenangan mene-
tapkan pungutan pajak jiwa dari kaum kafir dan bea cukai dari ba-
rang-barang komoditi.

150

BAB 10 """"" KAJIAN POLITIK ISLAM

14. Pima takhtalifu al-ahkamuhu minal bilad, kewenangan menetap-


kan status suatu wilayah dari kekuasaannya.
15. Ihya'u al-mawat wa ikhraju al-miyah, kewenangan memberikan
izin dalam pembukaan dan kepemilikan tanah tidak bertuan dan
penggalian mata air.
16. Wilayah Fil hima wal aifaq, kewenangan mengatur dan menentu-
kan batas wilayah tertentu sebagai milik negara, atau wilayah kon-
servasi alam, hutan lindung, cagar budaya, dan sebagainya.
17. Wilayah Fi ahkami al- iqtha: kewenangan memberikan satu bidang
tanah atau satu wilayah untuk kepentingan seorang atau sekelom-
pok rakyatnya.
18. Wilayah fl wadh'i dfwan, kewenangan menetapkan lembaga yang
mencatat dan menjaga hak-hak kekuasaan, tugas pekerjaan, harta
kekayaan, para petugas penjaga keamanan negara (tentara), serta
para karyawan.
19. Wilayahfi ahkami al- jaraim, kewenangan dalam menetapkan hu-
kuman hudu dan ta'zir bagi para pelaku kemaksiatan, tindakan pe-
langgaran dan kejahatan seperti peminum khamar, pejudi, pezina,
pencuri, penganiyaan dan pembunuhan.
20. Wilayahfi ahkami al-hisbah, kewenangan dalam menetapkan lem-
baga pengawasan.
Ulama yang lain, seperti lbnu Taimiyah juga mengupas beberapa
masalah yang masuk dalam kewenangan siyasah syar'iyyah. Beliau men-
dasarkan teori siyasah syar'iyyah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam
Surah an-Nisaa' (4): 58 dan 59.
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat ke-
pada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamuJ apabila mene-
tapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat (58). Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (NyaJ, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlain-
an Pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qur'anJ dan Rasul (sunnahnyaJ, jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimuJ dan
lebih baik akibatnya.(QS. an-Nisaa' (4):58-59)
Di mana kedua ayat tersebut menurut beliau adalah landasan ke-
hidupan masyarakat Muslim yang berkaitan dengan hak dan kewajib-
an antara pemimpin dan rakyat. Ayat pertama berisi kewajiban dan

• 151
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM

kewenangan para pemimpin sedang ayat kedua berisi kewajiban rak-


yat terhadap pemimpinnya. Secara garis besarnya, berdasar ayat per-
tama (an-Nisaa' [4]: 58), kewajiban dan kewenangan pemimpin adalah
menunaikan amanat dan menegakkan hukum yang adil. Adapun kewa-
jiban rakyat adalah taat kepada pemimpin selama mereka taat kepada
Allah dan Rasul-Nya (ayat an-Nisaa'[4]:59).
Kewajiban penguasa dalam menunaikan amanat meliputi peng-
angkatan para pejabat dan pegawai secara benar dengan memilih
orang-orang yang ahli, jujur dan amanah, pembentukan departemen
yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas negara, mengelola uang
rakyat dan uang negara dari zakat, infak, sedekah, fai dan ghanimah
serta segala perkara yang berkaitan dengan amanat kekayaan. Adapun
siyasah syar'iyyah dalam bidang penegakan hukum yang adil memberi
tugas dan kewenangan kepada penguasa untuk membentuk penga-
dilan, mengangkat qadhi dan hakim, melaksalanakan hukuman hudud
dan ta'zir terhadap pelanggaran dan kejahatan seperti pembunuhan,
penganiyaan, perzinaan, pencurian, peminum khamar, dan sebagai-
nya serta melaksanakan musyawarah dalam perkara-perkara yang harus
dimusyawarahkan. Sementara itu, lbnu Qayyim memperluas pemba-
hasan siyasah syar'iyyah dalam penegakan hukum yang tidak terdapat
nash atau dalilnya secara langsung dari Al-Qur' an maupun Hadits. Maka
beliau menguraikan panjang lebar masalah-masalah yang berkaitan
dengan kasus-kasus hukum acara dan pengadilan. Beliau membawakan
berbagai pembahasan yang merupakan contoh kasus penetapan hukum
dengan pendekatan siyasah syar'iyyah. Di antaranya adalah tentang
penetapan hukum yang pembuktiannya berdasarkan firasat (ketajaman
naluri dan mata batin hakim), amarat (tanda-tanda atau ciri-ciri yang
kuat), dan qarain (indikasi-indikasi yang tersembunyi).
Di antara argumen yang mendasari adanya kebijakan politik sya-
riat adalah apa yang telah dikemukakan di muka bahwa inti dari syariat
Islam adalah menegakkan keadilan, kemaslahatan dan kebahagiaan ma-
nusia di dunia dan akhirat. Maka walaupun secara tekstual tidak terda-
pat di dalam Al-Qur'an dan Hadits, tetapi jika sudah nyata ada keadilan
dan kemaslahatan maka di situlah hukum Allah berada dan tidaklah
mungkin bertentangan dengan syariat. Di samping itu ada bukti histo-
ris bahwa keputusan-keputusan hukum yang dilaksanakan pada masa
Khulafaur Rasyidin yang mengindikasikan sebagai kebijakan siyasah da-
lam bidang hukum. Di antara contoh-contoh tersebut adalah: Pertama,
tindakan Utsman membakar catatan-catatan wahyu yang dimiliki para
sahabat secara perorangan untuk disatukan dalam mushaf Imam. Kebi-

152

BAB 10 """"" KAJIAN POLITIK ISLAM

jakan ini sama sekali tidak mendapat dalil dari teks Al-Qur'an maupun
Hadits Nabi, tetapi kebijakan politik Utsman untuk kemaslahatan umat
dan persetujuan sebagian besar dari sahabat yang lain menunjukkan ke-
absahan keputusan tersebut. Kedua, keputusan Ali menghukum bakar
kaum zindik untuk menimbulkan efek jera atas tindakan yang dianggap
kejahatan luar biasa. Padahal Rasulullah sendiri membenci menghukum
dengan cara membakar. Ketiga, keputusan khalifah Umar untuk tidak
menghukum potong tangan pencuri yang miskin di masa krisis, tidak
memberikan bagian zakat kepada mualaf dari kalangan musyrik, dan
menetapkan jatuh talak tiga dalam satu majelis. Keempat, tindakan Abu
Bakar yang memutuskan memerangi para pembangkang zakat padahal
mereka masih sebagai Muslim yang bersyahadat dan menjalankan ke-
wajiban shalat Hasbi As Shiddieqy, sebagaimana dikutip oleh A. Djazuli,
merangkum objek atau wilayah cakupan siyasah syar'iyyah itu kepada
delapan bidang, yaitu: (1) siyasah dusturiyah syar'iyyah; (2) siyasah ta-
syri'iyah syar'iyyah; (3) siyasah qadhaiyah syar'iyyah; (4) siyasah maliyah
syar'iyyah; (5) siyasah idariyah syar'iyyah; (6) siyasah dauliyah; (7) siya-
sah tanfiziyah syra'iyah; (8) siyasah harbiyah syar'iyyah. 186
Dari definisi siyasah yang dikemukakan di atas mengandung be-
berapa pengertian. Pertama, bahwa tindakan atau kebijakan siyasah itu
untuk kepentingan orang banyak. Ini menunjukkan bahwa siyasah itu
dilakukan dalam konteks masyarakat dan pembuat kebijakannya pasti-
lah orang yang punya otoritas dalam mengarahkan publik. Kedua, ke-
bijakan yang diambil dan diikuti oleh publik itu bersifat altematif dari
beberapa pilihan yang pertimbangannya adalah mencari yang lebih
dekat kepada kemaslahatan bersama dan mencegah adanya keburu-
kan. Hal seperti itu memang salah satu sifat khas dari siyasah yang pe-
nuh cabang dan pilihan. Ketiga, siyasah itu dalam wilayah ijtihadi, yaitu
dalam urusan-urusan publik yang tidak ada dalil qath'i dari Al-Qur'an
dan Sunnah tetapi dalam wilayah kewenangan imam kaum Muslimin.
Sebagai wilayah ijtihadi maka dalam siyasah yang sering digunakan
adalah pendekatan qiyas dan masalahat mursalah. Oleh sebab itu, dasar
utama dari adanya siyasah syar'iyyah adalah keyakinan bahwa syariat Is-
lam diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat
dengan menegakkan hukum yang seadil-adilnya meskipun cara yang
ditempuhnya tidak terdapat dalam Al- Qur'an dan Sunnah secara eks-
plisit.
Jadi esensi dari siyasah syar'iyyah adalah kebijakan penguasa yang

186 Ibid., h. 27.

• 153
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM

dilakukan untuk menciptakan kemaslahatan dengan menjaga ram-


bu-rambu syariat. Rambu-rambu syariat dalam siyasah adalah: (1) dalil-
dalil kully, dariAl- Qur'an maupun al-Hadits; (2) maqdshid syari'ah; (3)
semangat ajaran Islam; (4) kaidah-kaidah kulliyahfiqhiyah.

C. ASAL USUL KAJIAN KETATANEGARAAN ISLAM


Perbincangan mengenai Islam dan politik dalam pemikiran poli-
tik Islam merupakan isu sentral yang selalu menarik untuk dibicarakan,
terutama di era Modernisasi saat ini. Sebab di kalangan para ahli sendi-
ri masih terdapat perbedaan pendapat dalam melihat Islam dan politik
atau negara.
Permasalahan krusial yang dihadapi umat Islam setelah wafatnya
Nabi Muhammad SAW adalah masalah kepemimpinan, siapa yang akan
menggantikan kedudukan beliau sebagai pemimpin umat. Hal ini terja-
di karena baikAl-Qur' an maupun Sunnah Nabi sendiri tidak secara tegas
dan perinci menjelaskan bagaimana sistem dan bentuk pemerintahan
yang harus dilakoni oleh umat Islam setelah beliau. Hal ini menimbul-
kan berbagai penafsiran dan perbedaan pendapat yang pada giliran
berikutnya akan memengaruhi substansi pemikiran mereka mengenai
politik atau negara.
Di sisi lain, dalam perkembangan sejarah Islam, keragaman pe-
mikiran politik ini melahirkan pula berbagai praktik ketatanegaraan
yang berbeda di kalangan umat Islam. Perbedaan tersebut semakin
mengental ketika Islam menghadapi kolonialisme barat pada abad ke-19
M. Barat, di samping menguasai daerah-daerah Islam, juga melakukan
ekspor terhadap pemikiran dan ideologi-ideologi politik mereka. Hal ini
mendapat respons dari kalangan umat Islam sendiri, baik dengan cara
menerima bulat-bulat, menolak mentah-mentah, maupun mengapre-
siasikannya secara kritis dengan mengambil nilai-nilainya yang dipan-
dang positif dan membuang nilai-nilainya yang negara.
Polarisasi dari ketiga sikap ini lahir dari tiga pandangan yang ber-
beda tentang Islam dan ketatanegaraan a tau politik. Sikap pertama lahir
dari pemikiran bahwaAl-Qur'an tidak membawa konsep tentang negara
yang baku dan Nabi Muhammad SAW juga tidak dimaksudkan oleh Al-
lah untuk menciptakan kekuasaan politik. Tugas Nabi Muhammad SAW
hanyalah sebagai pembawa wahyu bukan sebagai pemimpin politik atau
untuk mendirikan negara. Karena itu, umat Islam harus meniru barat
untuk mencapai kemajuan mereka. 187 Adapun sikap kedua lahir dari

187 Lihat Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, cet. l,

154

BAB 10 '""""' KAJIAN POLITIK ISLAM

pandangan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dalam meng-
atur seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Qur'an ibarat supermarket
telah menyediakan sistem politik yang mesti diikuti oleh umatnya. Hal
demikian diimplementasikan pula oleh Nabi Muhammad SAW dalam
membangun Madinah sebagai negara dan pemerintahan pertama da-
lam sejarah Islam yang kemudian dilanjutkan oleh khalifah-khalifah se-
sudah beliau. Inilah yang mesti diteladani dan diikuti oleh umat Islam. 188
Sikap ketiga, menyatakan bahwa Islam memang tidak menyedia-
kan konsep negara yang baku untuk dijadikan acuan dalam pengelolaan
negara dan pemerintahan. Tetapi, Islam juga tidak membiarkan umat-
nya tanpa petunjuk dan pedoman dalam mengelola negara dan peme-
rintahan. Islam hanya memberikan seperangkap tata nilai yang mesti
dikembangkan oleh umatnya sesuai dengan tuntutan situasi, masa dan
tempat serta permasalahan yang mereka hadapi. Karena itu, Islam tidak
melarang umatnya untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran dari luar,
termasuk dari barat sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran Islam itu sendiri. Sehingga dari berbagai kesamaan dan perbe-
daan tentang negara yang lebih dikenal di dunia timur agar terjadi per-
paduan di antara keduanya yang secara saksama mempunyai sumber
yang satu yakni dari Islam itu sendiri.
Memperbincangkan Islam dengan politik dewasa ini, tentu saja
tidak bisa hanya merujuk pada masa awal Islam, masa Rasul danAl-Khu-
lafa Al-Rasyidun, sekalipun selalu dipandang "ideal" untuk saat itu,
tidak terlalu tepat untuk dijadikan sebagai satu-satunya cermin dalam
menghadapi modernitas saat ini. Dengan luasnya hamparan ruang dan
memanjangnya rentang waktu kehadiran Islam, kita tidak bisa meng-
asumsikan Islam begitu saja. Islam yang diterima sekarang ini tidak lain
adalah Islam yang telah menjelma melalui proses pergumulan sejarah
manusia dalam segala dimensinya. Islam yang telah menyejarah (Islam
historis). Karena itu, realitas pluralisme, modernisme, sekularisme, dan
hegemoni Nation State-sebagai realitas kepolitikan kontemporer harus
menjadi agenda dalam diskursus sosial politik Islam kontemporer. Bu-
kan sekadar itu, seluruh ranah kebudayaan dan peradaban, termasuk
roh dari setiap perkembangan zaman, penting untuk menjadi pertim-
bangan dalam memahami dan merumuskan Islam pada zamannya.
Dalam konteks yang disebutkan, AbdullahAhmedAn-Na'im meng-

Uakarta: Rader Jaya Pratama, 2001), h. 31.


188 Lihat Al-Maududi, A'la Abu, The Islamic Law and Constitution, diterjemahkan oleh
Asep Hikmaht dengan Judul, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, cet. l,
(Bandung: Mizan, 1990 ), h. 236.

• 155
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM

atakan bahwa jika kita ingin memahami semua yang terjadi di masa lalu
dan sedang terjadi sekarang di dunia Muslim, seyogianya kita menga-
presiasi watak universalitas dan posisi sentral agama sebagai suatu fak-
tor dalam kehidupan Islam. Berbeda dengan agama-agama besar dunia
lainnya. "Islam sejak masa hidup pendirinya, identitas agama dan pe-
merintahan melekat tak terhapuskan dalam angan-angan umat Islam,
yang dibentuk oleh teks-teks suci, sejarah, dan pengalaman mereka".
Lebih dari itu, tidak mengherankan jika kebanyakan gerakan sosial dan
politik dalam sejarah modern umat Islam dijadikan sebagai kekuatan
pemersatu dan pemberi dorongan. 189
Perspektif di atas, dapat dipahami jika para pemikir Islam merasa
kesulitan dalam menentukan hubungan "sosial politik" yang sesuai de-
ngan kehendak ajaran Islam. Termasuk dalam kesulitan ini adalah me-
lakukan respons terhadap wujud negara yang telah berubah sedemikian
rupa dewasa ini. Selain tidak ada nash (teks) Al-Qur'an yang secara te-
gas-eksplisit menentukan bentuk negara sebagai klaim Islam, juga buk-
ti-bukti historis-sosiologis di dalam masyarakat Muslim menunjukkan
ketiadaan (nilai) bentuk tunggal negara, apalagi dalam metamorfosis ne-
gara sekarang. Itulah sebabnya kita menyaksikan dalam sejarah politik
umat Islam, relasi agama-negara (din-dawlah) menjadi demikian plural.
Ada yang meyakini agama, dalam hal ini Islam dan negara serta politik
tidak dapat dipisahkan (Integrated), seperti yang dianut oleh kalangan
Syiah. Ada yang memandang agama dan negara harus berhubungan
secara simbiotis, berhubungan secara timbal balik dan saling memer-
lukan, seperti yang dikemukakan oleh Al-Mawardi (w.450 H/1058 M),
Ibn Taimiyah (w. 728 H/1328 M), dan Ibn Khaldum (w. 808 H/1406 M).
Sementara ada juga yang memahami bahwa agama dan negara bersifat
sekularistik, seperti yang dikemukakan oleh Ali Abd Raziq (w. 1966 M).
Masing-masing dari penganut paradigma ini mengklaim dan berdasar-
kan pada sumber ajaran Islam. 190
Bertolak dari apa yang dikemukakan di atas, kajian ini mencoba
untuk melihat kembali tentang "Islam dan politik" dengan membu-
ka kembali kandungan Al-Qur'an, kemudian menelusuri sejarah keta-
tanegaraan dalam dunia Islam, khususnya praktik ketatanegaraan yang
dilakoni oleh Nabi Muhammad SAW dan empat khalifah Al-Khulafa

189 Lihat Abdullah Ahmed An-Na'im, Demokrasi Syari'ah, Terjemahan Ahmad Sunedi dan
Amrullah Arrani dari Toward Islamic Reformation Civil liberties, Human Right and
International Law, (Yogyakarta: LKIS, 1994), h. 7-8.
190 Lihat M. Din Syamsuddin, "Usaha Pencaharian Konsep Negara dalam Sejarah

Pemikiran Politik Islam", Jurnal Ulumul Qur'an No. 2 vol. IV, Th. 1993, h. 4-9.

156

BAB 10 '""""' KAJIAN POLITIK ISLAM

Al-Rasyidun, dan secara sepintas melakukan pengamatan terhadap pola


pemerintahan di negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara
Islam.

D. URGENSI KAJIAN POLITIK ISLAM


Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan, Islam dan politik
merupakan dua istilah yang dipahami memiliki hubungan yang sangat
erat antara keduanya, namun sebaliknya, juga dipahami tidak mempu-
nyai hubungan, karena keduanya memiliki domain yang berbeda. Se-
mentara pandangan yang lain melihat bahwa Islam hanya menawarkan
nilai-nilai berupa etika dan moral dalam pengelolaan kehidupan ber-
sama khususnya dalam pengelolaan politik. Betapa pun telah banyak
usaha yang dilakukan untuk memahami kedua istilah tersebut, studi
ini akan berusaha memahaminya dengan menggunakan perspektif dan
pendekatan rasional-filosofis terhadap landasan normatif, Al-Qur'an
dan Hadis Nabi serta landasan historisnya yang dipraktikkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Seperti telah dikatakan, perspektif yang digunakan
dalam studi ini adalah dengan melihat Islam dan politik sebagai dua isti-
lah yang berkembang dalam sejarah pemikiran politik Islam sejak masa
lalu sampai sekarang ini. Caranya adalah, lebih dahulu mempertajam
karakteristik atau merumuskan tugas-tugas Nabi Muhammad SAW da-
lam bidang muamalah sebagai bagian dari tugas-tugas negara dan pe-
merintahan dilihat dari sudut ketatanegaraan, dan menghubungkannya
dengan corak penafsiran mereka terhadap doktrin Islam. Perspektif dan
pendekatan seperti itu, diharapkan dapat membuka cakrawala baru un-
tuk memahami kecenderungan-kecenderungan ideologis dan perilaku
politik dalam masyarakat Muslim.
Selain perspektif dan pendekatan seperti diuraikan di atas, ada dua
tujuan lain yang ingin dicapai dalam studi ini. Pertama, mempertajam
karakteristik tugas-tugas nabi dalam bidang muamalah sebagai bagian
dari tugas ketatanegaraan untuk menghindari kesalahpahaman dalam
penggunaannya sebagai istilah teknis dalam suatu kajian ilmiah. Rumus-
an-rumusan yang membedakan karakteristik pemikiran itu, diharapkan
bukan saja berguna untuk kajian ini, tetapi juga untuk kajian-kajian se-
lanjutnya tentang tema yang sama. Rumusan demikian juga diharapkan
akan menjadi salah satu sumbangan akademis terkait kajian politik.
Kedua, kajian ini ingin menunjukkan adanya pengaruh, yaitu ada-
nya elektif afinitas, atau pilihan yang sesuai antara pandangan-panda-
ngan dasar Islam dan politik, serta konsistensi psikologis antara panda-

• 157
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM

ngan-pandangan dasar itu dengan penafsiran terhadap term-term yang


dipahami membawa konsep politik atau ketatanegaraan. Generalisasi
teoretis terhadap elektif afinitas antara pandangan-pandangan dasar
antara Islam dan politik dengan penafsiran yang dilakukan oleh para
ahli itu, dapat membantu merumuskan garis-garis pandangan umum,
untuk menjelaskan kecenderungan tipologis pemikiran para ulama poli-
tik dalam melihat hubungan antara Islam dan politik.
Generalisasi teoretis dari kedua tujuan di atas, diharapkan dapat
memberi sumbangan teoretis-walaupun hanya dalam bentuk yang
sederhana-mengenai Islam dan politik. Penulis sadar bahwa kajian ini
hanya akan memberikan rumusan teoretis, karena Islam dan politik
merupakan ajaran non-substansi, yaitu ajaran yang selalu berubah dan
berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat
yang mengitarinya.

E. PERKEMBANGAN KAJIAN SIYASAH, DARI PERIODE KLASIK


HINGGA MODERN KONTEMPORER
1. Perkembangan Kajian Siyasah Periode Klasik
Ciri yang menandai perkembangan ini adalah kemapanan yang
terjadi di dunia Islam. Secara politik, Islam memegang kekuasaan dan
pengaruhnya di pentas Intemasional. Pada periode ini terdapat dua di-
nasti yaitu Bani Umaiyah (661-750 M) dan bani Abbas (750-1258). Pada
masa kekuasaan Bani Umaiyah, kajianfiqh siyasah masih belum mun-
cul. Bani Umaiyah lebih mengarahkan kebijaksanaan politiknya pada
pengembangan wilayah kekuasaan. Pada masa daulat Bani Abbas baru-
lah kajian fiqh siyasah ini mulai dikembangkan. Namun demikian, kuat-
nya pengaruh negara membuat kajian yang dikembangkan oleh para
ulama cenderung mendukung kekuasaan. Inilah yang terjadi di kalang-
an ulama Sunni pada umumnya.
Pada periode klasik ini pada umumnya diwamai oleh kepentingan-
kepentingan golongan. Dalam hal ini, kelompok Sunni masih mendomi-
nasi percaturan politik ketika itu dan para pemikir politiknya mengem-
bangkan doktrin-doktrin mereka di bawah patronasi kekuasaan. Sejalan
dengan meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan transfer
ilmu asing (terutama Yunani Kuno) ke dalam Islam, gagasan-gagasan
politik pada abad klasik ini juga ditandai dengan pengaruh-pengaruh
asing.
Periode pertengahan ditandai dengan hancurnya kerajaan Abbasi-
yah pada 1258 M di tangan tentara Mongol. Pada masa itu kekuatan

158

BAB 10 '""""' KAJIAN POLITIK ISLAM

politik Islam mengalami kemunduran. Karena itu, kecenderungan pe-


mikiran politik Islam juga mengalami perubahan. Tokoh yang mengala-
mi langsung tragedi penyerangan tentara Mongol ke Baghdad adalah
Ibn Taimiyah (1263-1328). Pengalaman pahit ini kemudian membekas
dalam kepribadian Ibn Taimiyah dan memengaruhi pemikiran politik-
nya. Kajiannya tentang Fikih siyasah ini tertuang antara lain dalam kitab
Al-Siyasah al-Syari'ah ft Ishlah al-Ra'iyah, Majmu' al-Fatawa dan Minhaj
al-Sunnah.
Pemikir politik lainnya yaitu Ibn khaldun (1332-1406) yang panda-
ngan politiknya antara lain tertuang dalam Mukadimah. Di antara tesis-
nya yang berbeda dengan pemikir Sunni lainnya adalah interpretasinya
yang kontekstual terhadap Hadits Nabi yang mensyaratkan suku Qurai-
sy sebagai kepala negara. la menganggap Hadis ini bersifat kondisional
karena suku apa saja bisa memegang posisi puncak pemerintahan Islam
selama ia mempunyai kecakapan dan kemampuan.
2. Perkembangan Kajian Siyasah Modern Kontemporer
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, kekuatan Eropa memberi
pengaruh besar terhadap realitas dan teori politik Islam. Sejarah kon-
temporer Timur Tengah bermula ketika kemerdekaan diberikan kepa-
da bangsa-bangsa di wilayah itu setalah Perang Dunia II. Berakhirnya
dominasi Inggris dan Perancis diikuti dengan diperolehnya kemerde-
kaan negara-negara di daerah Turki, Iran, Mesir, Irak, Transyordania,
Syria, dan Lebanon. Sementara Arab Saudi memperoleh kemerdekaan
penuh di bawah kekuasan Ibn Sa'ud yang membangun negaranya atas
dasar ajaran kaum muwahhidan yang berasal dari Muhammad 'Abd
al-Wahhab (Wahhabi).
Dari tahun 1952-1967 dunia diwarnai kepemimpinan Presiden Me-
sir Jamal Abdul Nasser. Sementara persoalan Palestina menjadi faktor
yang menentukan corak perkembangan di negara-negara Islam. Selain
itu, muncul pemimpin-pemimpin kuat lain di Timur Tengah. Pada ta-
hun 1970, Hafiz I-Asad merebut kekuasaan di Syria, dan pada tahun
1971, Saddam Hussayn merebut kekuasaan di Irak.
Terdapat dua faktor utama yang memengaruhi perkembangan
politik di Timur Tengah. Pertama, pendudukan Israel atas tepi barat
dan jalur Gaza setelah perang 1967 menyebabkan lahirnya nasionalisme
Palestina dan terbentuknya organisasi Palestina yang berjuang untuk
mendirikan negara Palestina merdeka. Kedua, bangkitnya aktivitasme
politik yang berdasarkan Islam yang sesungguhnya bukan hal baru, teta-
pi muncul dengan kekuatan baru. Ideologi gerakan ini terutama berakar

• 159
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM

pada pemikiran tokoh-tokoh Ikhwan al-Muslimun, seperti Sayyid Qutb


dan Sa'id Hawwa.
Revolusi Iran tahun 1979 memberi pengaruh luas pada dunia Is-
lam. Keberhasilan revolusi itu memberi dorongan kepada umat Islam di
mana saja yang kecewa dengan modal pembangunan model barat un-
tuk menginginkan kembalinya instuisi Islam yang menjamin lahirnya
pemerintahan yang adil dan makmur. Yang terpenting, keberhasilan
revolusi Iran menghancurkan dominasi Amerika Serikat di Teluk Persia.
Berbagai ketegangan mewarnai hubungan antarnegara di Timur
Tengah sebagai akibat dari perdamaian Mesir-Israel, perang Irak-Iran,
invasi Irak atas Kuwait, persoalan Palestina, dan invasi Amerika Serikat
atas Irak. Namun, satu-satunya persoalan paling pelik di Timur Tengah
adalah konflik di Palestina, khususnya setelah berdirinya negara Israel
pada tahun 1948, akibat kekalahan negara-negara Arab dalam perang
Arab-Israel. Hingga saat ini, ketegangan lsrael-Palestina masih terus
berkembang.
Di bidang sosial, zaman kontemporer ditandai dengan isu-isu yang
menyita pikiran dan kegiatan pemimpin umat Islam. Seperti isu-isu ten-
tang sosialisme dan kapitalisme, fundamentalisme agama, sekulerisme,
dan bahan isu-isu kebebasan beragama, perempuan dan jender, dan
lingkungan hidup. Teks-teks keagamaan dan konteks budaya dan geo-
politik sangat memengaruhi pemikiran Muslim kontemporer yang tidak
henti-hentinya bersifat dinamis. Secara akademis, teori-teori politik juga
muncul dan tangan-tangan pemikir politik kontemporer, seperti Sayyid
Quthb dari Mesir, Abu al-A'la Mawdudi, dari Pakistan dan juga Imam
Khumeini dari Iran. Tetapi kebanyakan tulisan mereka lebih bercorak
juris, ketimbang filosofis yang menjadi kajian utama.

160

Anda mungkin juga menyukai