185 Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Uakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 22-23 .
148
•
BAB 10 """"" KAJIAN POLITIK ISLAM
oleh pemegang kekuasaan negara yang sejalan dengan jiwa dan prinsip
dasar syariat Islam untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat. Dari
asal usul kata siyasah dapat diambil dua pengertian. Pertama, siyasah
dalam makna negatifyaitu menggerogoti sesuatu. Seperti ulat atau nge-
ngat yang menggerogoti pohon, kutu busuk yang menggerogoti kulit
dan bulu domba sehingga pelakunya disebut s-US. Kedua, siyasah dalam
pengertian positif yaitu menuntun, mengendalikan, memimpin, me-
ngelola dan merekayasa sesuatu untuk kemaslahatan. Adapun penger-
tian siyasah dalam terminologi para fuqaha, dapat terbaca di antaranya
pada uraian Ibnul Qayyim ketika mengutip pendapat Ibnu 'Aqil dalam
kitab Al Funun yang menyatakan, siyasah adalah tindakan yang dengan
tindakan itu manusia dapat lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh
dari kerusakan meskipun tindakan itu tidak ada ketetapannya dari rasul
dan tidak ada tuntunan wahyu yang diturunkan. Dengan kata lain, dapat
dipahami bahwa esensi siyasah syar'iyyah itu ialah kebijakan penguasa
yang dilakukan untuk menciptakan kemaslahatan dengan menjaga ram-
bu-rambu syariat. Rambu-rambu syariat dalam siyasah adalah: (1) da-
lil-dalil kullydariAI-Qur'an maupun al-Hadits, (2) maqashid syari'ah, 3)
semangat ajaran Islam, (4) kaidah-kaidah kulliyahfiqhiyah.
Dari beberapa definisi di atas, esensi dari siyasah syar'iyyah yang
dimaksudkan adalah sama, yaitu kemaslahatan yang menjadi tujuan
syara' bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan
dan hawa nafsu manusia saja. Sebab, disadari sepenuhnya bahwa tujuan
persyarikatan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemasla-
hatan bagi manusia dalam segala segi dan aspek kehidupan manusia di
dunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang bisa membawa kepada
kerusakan, dengan kata lain setiap ketentuan hukum yang telah diga-
riskan oleh syariat adalah bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan
bagi manusia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwasanya siya-
sah syar'iyyah merupakan setiap kebijakan dari penguasa yang tujuan-
nya menjaga kemaslahatan manusia, atau menegakkan hukum Allah,
atau memelihara etika, atau menebarkan keamanan di dalam negeri,
dengan apa-apa yang tidak bertentangan dengan nash, baik nash itu ada
(secara eksplisit) ataupun tidak ada (secara implisit). Tujuan utama siya-
sah syar'iyyah adalah terciptanya sebuah sistem pengaturan negara yang
islami dan untuk menjelaskan bahwa Islam menghendaki terciptanya
suatu sistem politik yang adil guna merealisasikan kemaslahatan bagi
umat manusia di segala zaman dan di setiap negara.
• 149
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM
150
•
BAB 10 """"" KAJIAN POLITIK ISLAM
• 151
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM
152
•
BAB 10 """"" KAJIAN POLITIK ISLAM
jakan ini sama sekali tidak mendapat dalil dari teks Al-Qur'an maupun
Hadits Nabi, tetapi kebijakan politik Utsman untuk kemaslahatan umat
dan persetujuan sebagian besar dari sahabat yang lain menunjukkan ke-
absahan keputusan tersebut. Kedua, keputusan Ali menghukum bakar
kaum zindik untuk menimbulkan efek jera atas tindakan yang dianggap
kejahatan luar biasa. Padahal Rasulullah sendiri membenci menghukum
dengan cara membakar. Ketiga, keputusan khalifah Umar untuk tidak
menghukum potong tangan pencuri yang miskin di masa krisis, tidak
memberikan bagian zakat kepada mualaf dari kalangan musyrik, dan
menetapkan jatuh talak tiga dalam satu majelis. Keempat, tindakan Abu
Bakar yang memutuskan memerangi para pembangkang zakat padahal
mereka masih sebagai Muslim yang bersyahadat dan menjalankan ke-
wajiban shalat Hasbi As Shiddieqy, sebagaimana dikutip oleh A. Djazuli,
merangkum objek atau wilayah cakupan siyasah syar'iyyah itu kepada
delapan bidang, yaitu: (1) siyasah dusturiyah syar'iyyah; (2) siyasah ta-
syri'iyah syar'iyyah; (3) siyasah qadhaiyah syar'iyyah; (4) siyasah maliyah
syar'iyyah; (5) siyasah idariyah syar'iyyah; (6) siyasah dauliyah; (7) siya-
sah tanfiziyah syra'iyah; (8) siyasah harbiyah syar'iyyah. 186
Dari definisi siyasah yang dikemukakan di atas mengandung be-
berapa pengertian. Pertama, bahwa tindakan atau kebijakan siyasah itu
untuk kepentingan orang banyak. Ini menunjukkan bahwa siyasah itu
dilakukan dalam konteks masyarakat dan pembuat kebijakannya pasti-
lah orang yang punya otoritas dalam mengarahkan publik. Kedua, ke-
bijakan yang diambil dan diikuti oleh publik itu bersifat altematif dari
beberapa pilihan yang pertimbangannya adalah mencari yang lebih
dekat kepada kemaslahatan bersama dan mencegah adanya keburu-
kan. Hal seperti itu memang salah satu sifat khas dari siyasah yang pe-
nuh cabang dan pilihan. Ketiga, siyasah itu dalam wilayah ijtihadi, yaitu
dalam urusan-urusan publik yang tidak ada dalil qath'i dari Al-Qur'an
dan Sunnah tetapi dalam wilayah kewenangan imam kaum Muslimin.
Sebagai wilayah ijtihadi maka dalam siyasah yang sering digunakan
adalah pendekatan qiyas dan masalahat mursalah. Oleh sebab itu, dasar
utama dari adanya siyasah syar'iyyah adalah keyakinan bahwa syariat Is-
lam diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat
dengan menegakkan hukum yang seadil-adilnya meskipun cara yang
ditempuhnya tidak terdapat dalam Al- Qur'an dan Sunnah secara eks-
plisit.
Jadi esensi dari siyasah syar'iyyah adalah kebijakan penguasa yang
• 153
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM
187 Lihat Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, cet. l,
154
•
BAB 10 '""""' KAJIAN POLITIK ISLAM
pandangan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dalam meng-
atur seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Qur'an ibarat supermarket
telah menyediakan sistem politik yang mesti diikuti oleh umatnya. Hal
demikian diimplementasikan pula oleh Nabi Muhammad SAW dalam
membangun Madinah sebagai negara dan pemerintahan pertama da-
lam sejarah Islam yang kemudian dilanjutkan oleh khalifah-khalifah se-
sudah beliau. Inilah yang mesti diteladani dan diikuti oleh umat Islam. 188
Sikap ketiga, menyatakan bahwa Islam memang tidak menyedia-
kan konsep negara yang baku untuk dijadikan acuan dalam pengelolaan
negara dan pemerintahan. Tetapi, Islam juga tidak membiarkan umat-
nya tanpa petunjuk dan pedoman dalam mengelola negara dan peme-
rintahan. Islam hanya memberikan seperangkap tata nilai yang mesti
dikembangkan oleh umatnya sesuai dengan tuntutan situasi, masa dan
tempat serta permasalahan yang mereka hadapi. Karena itu, Islam tidak
melarang umatnya untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran dari luar,
termasuk dari barat sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran Islam itu sendiri. Sehingga dari berbagai kesamaan dan perbe-
daan tentang negara yang lebih dikenal di dunia timur agar terjadi per-
paduan di antara keduanya yang secara saksama mempunyai sumber
yang satu yakni dari Islam itu sendiri.
Memperbincangkan Islam dengan politik dewasa ini, tentu saja
tidak bisa hanya merujuk pada masa awal Islam, masa Rasul danAl-Khu-
lafa Al-Rasyidun, sekalipun selalu dipandang "ideal" untuk saat itu,
tidak terlalu tepat untuk dijadikan sebagai satu-satunya cermin dalam
menghadapi modernitas saat ini. Dengan luasnya hamparan ruang dan
memanjangnya rentang waktu kehadiran Islam, kita tidak bisa meng-
asumsikan Islam begitu saja. Islam yang diterima sekarang ini tidak lain
adalah Islam yang telah menjelma melalui proses pergumulan sejarah
manusia dalam segala dimensinya. Islam yang telah menyejarah (Islam
historis). Karena itu, realitas pluralisme, modernisme, sekularisme, dan
hegemoni Nation State-sebagai realitas kepolitikan kontemporer harus
menjadi agenda dalam diskursus sosial politik Islam kontemporer. Bu-
kan sekadar itu, seluruh ranah kebudayaan dan peradaban, termasuk
roh dari setiap perkembangan zaman, penting untuk menjadi pertim-
bangan dalam memahami dan merumuskan Islam pada zamannya.
Dalam konteks yang disebutkan, AbdullahAhmedAn-Na'im meng-
• 155
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM
atakan bahwa jika kita ingin memahami semua yang terjadi di masa lalu
dan sedang terjadi sekarang di dunia Muslim, seyogianya kita menga-
presiasi watak universalitas dan posisi sentral agama sebagai suatu fak-
tor dalam kehidupan Islam. Berbeda dengan agama-agama besar dunia
lainnya. "Islam sejak masa hidup pendirinya, identitas agama dan pe-
merintahan melekat tak terhapuskan dalam angan-angan umat Islam,
yang dibentuk oleh teks-teks suci, sejarah, dan pengalaman mereka".
Lebih dari itu, tidak mengherankan jika kebanyakan gerakan sosial dan
politik dalam sejarah modern umat Islam dijadikan sebagai kekuatan
pemersatu dan pemberi dorongan. 189
Perspektif di atas, dapat dipahami jika para pemikir Islam merasa
kesulitan dalam menentukan hubungan "sosial politik" yang sesuai de-
ngan kehendak ajaran Islam. Termasuk dalam kesulitan ini adalah me-
lakukan respons terhadap wujud negara yang telah berubah sedemikian
rupa dewasa ini. Selain tidak ada nash (teks) Al-Qur'an yang secara te-
gas-eksplisit menentukan bentuk negara sebagai klaim Islam, juga buk-
ti-bukti historis-sosiologis di dalam masyarakat Muslim menunjukkan
ketiadaan (nilai) bentuk tunggal negara, apalagi dalam metamorfosis ne-
gara sekarang. Itulah sebabnya kita menyaksikan dalam sejarah politik
umat Islam, relasi agama-negara (din-dawlah) menjadi demikian plural.
Ada yang meyakini agama, dalam hal ini Islam dan negara serta politik
tidak dapat dipisahkan (Integrated), seperti yang dianut oleh kalangan
Syiah. Ada yang memandang agama dan negara harus berhubungan
secara simbiotis, berhubungan secara timbal balik dan saling memer-
lukan, seperti yang dikemukakan oleh Al-Mawardi (w.450 H/1058 M),
Ibn Taimiyah (w. 728 H/1328 M), dan Ibn Khaldum (w. 808 H/1406 M).
Sementara ada juga yang memahami bahwa agama dan negara bersifat
sekularistik, seperti yang dikemukakan oleh Ali Abd Raziq (w. 1966 M).
Masing-masing dari penganut paradigma ini mengklaim dan berdasar-
kan pada sumber ajaran Islam. 190
Bertolak dari apa yang dikemukakan di atas, kajian ini mencoba
untuk melihat kembali tentang "Islam dan politik" dengan membu-
ka kembali kandungan Al-Qur'an, kemudian menelusuri sejarah keta-
tanegaraan dalam dunia Islam, khususnya praktik ketatanegaraan yang
dilakoni oleh Nabi Muhammad SAW dan empat khalifah Al-Khulafa
189 Lihat Abdullah Ahmed An-Na'im, Demokrasi Syari'ah, Terjemahan Ahmad Sunedi dan
Amrullah Arrani dari Toward Islamic Reformation Civil liberties, Human Right and
International Law, (Yogyakarta: LKIS, 1994), h. 7-8.
190 Lihat M. Din Syamsuddin, "Usaha Pencaharian Konsep Negara dalam Sejarah
Pemikiran Politik Islam", Jurnal Ulumul Qur'an No. 2 vol. IV, Th. 1993, h. 4-9.
156
•
BAB 10 '""""' KAJIAN POLITIK ISLAM
• 157
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM
158
•
BAB 10 '""""' KAJIAN POLITIK ISLAM
• 159
HANDBOOK METODOLOGI STUDI ISLAM
160
•