Anda di halaman 1dari 6

Khutbah pertama

Jamaah Shalat Idul Adha Rahimakumullah

Marilah selalu memanjatkan syukur kepada Allah SWT karena pada pagi hari ini kita
masih diberikan karunia untuk melakukan shalat Idul Adha di masjid yang penuh
berkah. Demikian pula diberikan kesempatan bertemu keluarga, sahabat, tetangga
yang mungkin jarang kita temui di hari biasa. Karenanya, ini adalah waktu istimewa
yang disediakan untuk kita, umat Islam. Karenanya, mari aneka nikmat yang ada kita
pergunakan dengan sebaik mungkin untuk meningkatkan takwallah yang diwujudkan
dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. 

hadirin yang Berbahagia

Baru saja kita rebahkan diri kita, bersimpuh di depan pintu kebesaran Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Baru saja kita mengakhiri shalat dengan menyebarkan
salam sejahtera kepada semua makhluk sekitar. Sejak tadi malam sampai pagi ini, kita
memenuhi langit dengan suara takbir kita. Allahu akbar allahu akbar allahu akbar la
ilahaillahu allahu akbar. Allahu akbar walillahil hamdu. 

Di belahan dunia lain, di Mekah al-Mukkaramah, di hari-hari ini, jutaan umat Islam dari
segenap penjuru dunia berdatangan dan berkumpul di tanah suci melakukan ibadah
haji. Gemuruh dan gema kaum muslimin dan muslimat yang sedang menunaikan
ibadah haji menyambut panggilan ilahi dengan mengucapkan talbiyah.
Labbaikallahuma labbaik. Labbaika la syarika laa labbaik. Innal hamda wan nikmata la
wal mulk la syarika laka.

Maasyiral Muslimin yang Dirahmati Allah 

Idul Ahda yang khas dengan ibadah kurban merupakan bentuk rasa syukur pada
Allah. Demikian ini karena banyaknya Allah telah melimpahkan anugerah pada kita. Kita
telah diberi banyak hal oleh Allah Subhanahu Wa Taala. Anggota tubuh yang kita miliki
dari mulai kepala, telinga, tangan, kaki, hidung, dan lain-lain. Semuanya adalah nikmat
yang tidak mungkin terbeli. Jika dihitung berapa nominal harganya, pastilah tidak bisa
dinominalkan. Pastilah bermiliar-miliar.

Demikian juga, udara yang dihirup, biji-bijian yang dimakan, kendaraan yang
ditumpangi, semuanya disediakan oleh Allah Subhanahu Wa Taala yang Maha-
Pengasih dan Maha-Penyayang untuk manusia. Wallahu khalaqa lakum ma fil ardli
jami’a. Allah Subhanahu Wa Taala telah menciptakan yang ada di dunia untuk kalian
semua. Semua kalau dihitung dengan nominal angka manusia, pasti tiada terhingga.

Artinya: Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah,
kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah
ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian
apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang
yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang
meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-
mudahan kamu bersyukur. (QS. Al-Hajj: 36).
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah 

Hari Raya Idul Adha selalu saja menjadi rekonstruksi sejarah masa lampau. Sejarah
kehidupan figur-figur agung para kekasih Allah Subhanahu Wa Taala, yaitu figur
Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihis Salam, figur sang anak hebat Nabi Ismail, dan figur sang ibu
luar biasa, Siti Hajar. Prosesi yang mengharu biru sejarah umat manusia adalah
penyembelihan Nabiyullah Ibrahim AS pada putra tercintanya Nabi Ismail yang akhirnya
diganti kambing oleh Allah. Selain sebagai bentuk kepatuhan pada titah Allah SWT,
ibadah kurban adalah merupakan bentuk solidaritas atas sesama yang tercecer dari
mobilitas sosial. Untuk mereka, yakni orang-orang fakir dan miskin. Apalagi, di tengah
kondisi perekonomian yang lesu di negara Indonesia imbas Covid-19, menyebabkan
makin sulitnya kehidupan saudara-saudara kita, adalah kewajiban untuk membantu. 

Nabi SAW sangat mengecam keras orang yang enggan berkurban, karena dalam Islam
ibadah kurban bukan hanya ritus persembahan untuk meningkatkan spritualitas
seseorang atau juga bukan tontonan kesalihan orang kaya semata. Namun, lebih dari
itu, kurban adalah dalam rangka memperkuat kepekaan sosial, menyantuni fakir miskin
dan membuat gembira orang sengsara. Kurban mencerminkan pesan Islam bahwa
seseorang hanya dapat taqarrub pada Allah, bila ia sebelumnya telah dekat dengan
saudara-saudaranya yang kekurangan. 

Hadirin yang Dirahmati Allah

Selain itu, ada beberapa hal yang dapat kita petik dalam sirah dan kehidupan
agung Nabi Ibrahim AS dan keluarganya.

Pelajaran pertama adalah pertanyaan Allah Subhanahu Wa Taala pada Nabi


Ibrahim, faiana tadzhabun. Ketika Nabi Ibrahim yang dikenal kara raya dengan seribu
ekor domba, tiga ratus ekor lembu, dan seratus ekor unta, beliau ditanya: Hendak ke
mana ia pergi? Maka beliau menjawab: Inni dzahibun ila rabbi sayahdin. (QS. At-
Takwir: 26). Artinya: Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku dan dia memberi
petunjuk padaku.
Bagi Ibrahim, tujuan akhir hidup manusia bukan kekayaan, bukan pangkat, bukan
jabatan dan sebagainya, tetapi tujuan hidup manusia adalah Allah Subhanahu Wa
Taala. Karena seperti dimaklumi sebagai sunnatullah, manusia selalu bergerak sesuai
naluri bawaan, ingin memperluas wawasan dan pengalaman hidupnya. Untuk
memfasilitasi manusia, maka diciptakanlah berbagai sarana kehidupan mulai dari
sandal, sepatu, jalan, kendaraan hingga peralatan yang lain agar manusia bisa hidup
dengan nyaman. Manusia juga membangun jembatan, menggunakan jalur lautan dan
juga udara. Manusia juga mengapling-kapling lautan dan udara sedemikian rupa
sehingga mengurangi kemacetan di daratan.

Dalam perjalanan dan pengembaraan manusia secara fisik untuk mengetahui luasnya
dunia, pada akhirnya terhambat secara teknis. Kemacetan tetap terjadi di daratan,
lautan maupun udara. Oleh karena itu, manusia menciptakan internet dan teknologi
fotografi serta televisi. Di masa sekarang, manusia hanya dengan duduk di komputer
atau televisi, mereka sudah dapat menjangkau dunia yang lebih luas dan warna-warni,
meskipun disajikan dalam bentuk potongan gambar, rekaman video atau foto. Mereka
menyebutnya sebagai sebuah keniscayaan di era visual age. 

Islam –seperti diperlihatkan Nabi Ibrahim—mentrandensikan jalan menuju Tuhan


sebagai jalan kebahagiaan dan jalan menuju akhirat. Islam memberikan dimensi moral
spritual agar aktivitas manusia memiliki tujuan yang lebih bermakna, bukan hanya
sekedar mobilitas fisik tanpa tujuan yang bersifat ilahi. 

Pertanyaan Allah pada Nabi Ibrahim adalah pertanyaan moral yang penuh makna:
Hendak dibawa ke mana harta kita? Hendak dibawa mobil kita? Hendak dibawa ke
mana jabatan kita? Hendak dibawa ke mana pangkat kita? Hendak dibawa ke mana
ilmu kita? Hendak dibawa ke mana tubuh kita? 

Di tengah hiruk pikuk manusia dengan berbagai aktivitasnya, maka menjadi penting
untuk menanyakan kembali pertanyaan Ibrahim AS. Karena bisa jadi, yang primer bagi
manusia secara faktual dewasa ini adalah avoiding the pain, menghindari apa pun yang
menyakitkan. Lalu juga looking for the pleasure, mengejar apa pun yang dirasakan
menyenangkan. Sehingga yang muncul hanyalah kehidupan materi duniawi belaka.
Sebagaimana dikatakan oleh Prof Komarudin Hidayat, bahwa salah satu dimensi dan
misi manusia sebagai moral being adalah menegakkan nilai-nilai moral dalam
kehidupannya di manapun berada. Moral being ini harus diwujudkan dalam ruang-ruang
kantor, di kamar rumah, di masjid, di restoran, di warung kopi dan sebagainya. 

Tujuan hidup kita, lagi-lagi seperti teladan Nabi Ibrahim, adalah harus tertuju pada
Allah. Tuhan semesta alam. Inna shalati wa nusuki wamahyaya wa mamati lillahi rabbil
alamin. Sesungguhnya shalatku, matiku, hidupku adalah untuk Allah. Setiap shalat, kita
sudah seringkali mengikrarkan dalam lisan kita. 

Hadirin yang Dimuliakan Allah 

Pelajaran berharga lainnya yang kita bisa teladani dari Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam
adalah bahwa tujuan tertinggi manusia adalah seperti doa Nabi Ibrahim. Rabbi hab li
minasshalihin. Ya Allah berilah kami anak-anak yang salih. Nabi Ibrahim meminta anak
yang salih. Bukan anak yang pintar, bukan anak yang kaya raya. Bukan anak yang
punya jabatan luar biasa. Bukan anak yang punya pangkat setinggi langit. Karena
apalah arti anak kaya, anak berpangkat dan jabatan, anak yang pintar tapi mereka tidak
salih. Karena itu, kata kuncinya adalah anak salih.

Untuk mewujudkan anak yang salih, tentu bukan hal yang mudah. Pertama: keluarga
adalah hal utama dan pertama dalam mewujudkan anak salih. Jangan remehkan peran
keluarga. Anak yang salih dan salihah, pasti tidak luput dalam pendidikan keluarga
sejak dini seperti dilakukan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar. Keduanya berjibaku
membentuk karakter Ismail sedemikian rupa. Mereka mengajarkan pendidikan agama
pada Ismail sejak dini. Ini sama dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam
mendidik anak-anak muslim: Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara: Mencintai
Nabimu, mencintai ahlu baitnya dan membaca Al-Qur’an. (HR. Tabrani).

Dalam hadits yang lain Nabi bersabda:

 
Artinya: Didiklah anak-anakmu karena mereka hidup di zaman yang tidak sama dengan
zamanmu.

Jamaah yang Berbahagia

Kedua, memberi keteladanan (uswah) pada anak-anak kita. Bagaimana pun,


keteladanan merupakan dakwah yang sangat manjur dalam mengarahkan anak.
Dengan keteladanan yang ditampakkan sehari-hari, maka yang demikian ini akan
mempengaruhi anak-anak. Keluarga yang mempertontonkan kejujuran dan
kedermawanan akan berpengaruh bagi anaknya. Sebaliknya, keluarga yang
mempertontonkan kedustaan dan kebakhilan juga akan anaknya meniru.

Anda mungkin juga menyukai