Anda di halaman 1dari 11

“ NIKAH BEDA AGAMA ”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Tafsir Ahkam

Dosen Pengampu : Dr. Kamal Fiqry Musa, Lc., M.A

Disusun Oleh :

Abdul Rohman 11190340000189

FAKULTAS USHULUDDIN

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memudahkan saya dalam menyusun makalah,
Mata kuliah “Tafsir Ahkam “. Tak lupa juga Shalawat serta salamnya semoga selalu
tercurahkan kepada baginda alam, yakni Nabi Muhammad SAW. tidak lupa juga shalawat
serta salamnya, semoga selalu tercurahkan kepada keluarganya, para sahabat, para tabi’in
atba-’attabiin sampai kepada umatnya hingga akhir zaman. Aamiin.

Saya mengucapkan rasa syukur kepada Allah ta’ala yang telah melimpahkan nikmat
sehat wal’afiat sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tentunya
dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan dan
kesalahan didalamnya. Semoga untuk kedepan saya bisa lebih baik lagi dalam menyajikan
makalah. Atas perhatianya saya ucapkan terimaksih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bogor, 19 Juni 2022

Penulis
PEMBAHASAN

1. Pengertian Nikah

Nikah dalam bahasa Arab bermakna (al-wath’u) yakni bersetubuh/berhubungan intim1


atau juga bisa bermakna penyambungan atau penghubungan. 2 Sementara menurut kamus
munawwir, arti lafaz nikah ialah berkumpul atau menindas, setubuh dan senggama.3

Nikah secara Terminologi di kalangan ulama ushul berkembang dua macam pendapat
tentang arti lafaz nikah,yaitu: Nikah menurut arti hakiki (arti aslinya) adalah setubuh dan
menurut arti majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan
kelamin antara pria dan wanita, demikian menurut golongan Hanafi.4

Meski pendapat diatas mengemukakan bahwa pada dasarnya pernikahan adalah akad
yang diatur oleh agama untuk memberikan laki-laki hak memiliki penggunaan faraj
(kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk berhubungan badan, akan tetapi perkawinan
dalam Islam memiliki pandangan bahwa pernikahan tidak hanya pengaturan aspek biologis
semata, melainkan persoalan psikologis, sosiologis, dan teologis. 5 Karena didalam
pernikahan, terdapat pertanggung jawaban kepada istri anak, masyarakat bahkan kepada
Allah.

2. Dasar Hukum Nikah

Pernikahan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup dan


perkembangannya. Untuk itu Allah Swt melalui utusan-Nya memberikan suatu tuntunan
mengenai pernikahan ini sebagai dasar hukum. Adapun dasar hukum perkawinan dalam
Islam adalah firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 21:

ٍ ‫س ُكنُ ْٓوا اِلَ ْي َها َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َر ْح َمةً ۗاِنَّ فِ ْي ٰذلِكَ اَل ٰ ٰي‬
َ‫ت لِّقَ ْو ٍم يَّتَفَ َّك ُر ْون‬ ْ َ‫اجا لِّت‬
ً ‫س ُك ْم اَ ْز َو‬ َ َ‫َو ِمنْ ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَنْ َخل‬
ِ ُ‫ق لَ ُك ْم ِّمنْ اَ ْنف‬

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


isteriisteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ArRuum: 21).

Selain ayat Al-Qur’an, adapun hadits-hadits Nabi yang berisi anjuran-anjuran untuk
menikah yaitu: “Dari Anas bin Malik r.a, bahwa Nabi SAW memuji Allah SWT dan
menyanjungNya. Kemudian beliau bersabda: “ Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku

1
Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer (alAshri) Arab- Indonesia, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 2003),
hlm. 1943
2
Ibid, hlm: 1026
3
A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,2002),
hlm. 1461
4
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala alMadzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al Fikr, t.th), Juz. IV, hlm. 3
5
Karsayuda, Perkawinan Beda Agama, (Yogyakarta :Total Media Yogyakarta, 2006), hlm.69.
makan dan aku pun mengawini perempuan. Maka barang siapa yang tidak suka akan sunnahku,
maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari Muslim).6

Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar hukum disyari’atkannya perkawinan tersebut di atas,
maka bisa ditegaskan hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh). Namun berdasarkan „illat-nya
atau dilihat dari segi kondisinya, maka perkawinan tersebut dapat berubah hukumnya menjadi wajib,
sunnah, makruh, haram dan mubah.

3. Syarat dan Rukun Nikah

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), dan sesuatu yang termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Syarat yaitu
sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi
sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkai pekerjaan itu. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah)
yang memenuhi rukun dan syarat. Pernikahan yang didalamnya terdapat akad, layaknya
akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan
akad.7

Adapun rukun nikah adalah:

a) Mempelai laki-laki b) Dua orang saksi c) Mempelai perempuan c) Wali d) Shigat ijab
qabul

Adapun syarat nikah ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun pernikahan, yaitu
syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul. Syarat-syarat pernikahan
merupakan dasar bagi sahnya pernikahan dalam Islam. Apabila syarat-syaratnya itu
terpenuhi, maka pernikahan itu sah dan menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri.

1. Syarat-syarat mempelai laki-laki (calon suami)

a) Bukan mahram dari calon isteri, b) Tidak terpaksa atas kemauan sendiri, c) Orangnya
tertentu, jelas orangnya, d) Tidak sedang ihram.

2. Syarat-syarat mempelai perempuan (calon istri) : a) Tidak ada halangan syarak, yaitu
tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang masa iddah b) Merdeka, atas kemauan sendiri
c) Jelas orangnya dan d) Tidak sedang berihram.

3. Syarat-syarat wali: a. Laki-laki, b) Baligh c) Tidak dipaksa d) Adil dan e) Tidak sedang
ihram.

4. Syarat-syarat saksi: a) Laki-laki (minimal dua orang) b) Baligh c) Adil d) Tidak sedang
ihram e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul.

5. Syarat-syarat ijab qabul : a) Ada ijab. (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali. b) Ada
qabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami. c) Memakai kata-kata “nikah” “tazwij. d)
Antara ijab dan qabul, bersambungan, tidak boleh terputus. e) Antara ijab dan qabul jelas
6
Az-Zabidi, Imam, Ringkasan Hadits Sahih Al-Bukhari, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), cet.1 h.429.
7
Prof.Dr.H.M.A Tihami, M.A, M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H, Fikih Munakahat Kajian Fikih
Nikah Lengkap, PT Raja Grafindo Persada, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet. Ke-3, h. 12.
maksudnya f) Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang dalam keadaan haji dan umrah
g) Majlis ijab dan qabul harus dihadiri minimal empat orang yaitu calon mempelai pria atau
wakilnya, wali dari calon mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.8

4. Hukum Nikah Beda Agama

Pandangan agama Islam terhadap perkawinan beda agama, pada prinsipnya tidak
memperkenankannya. Dalam al-Qur’an dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam
dengan orang musyrik seperti yang tertulis dalam surat alBaqarah ayat 221

Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku baik bagi laki-laki
maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama
Islam. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa mereka yang tidak beragama Islam itu
musyrik. Akan tetapi seorang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita beragama
Nasrani atau Yahudi (kalau di Indonesia Katolik dan Protestan) hal ini disebabkan karena
Islam dengan Katolik dan Protestan sama-sama mengajarkan iman kepada Allah, kepada
kitab”nya, kepada Rasul Allah (EOH, 2001, hal. 118).

Dan didalam Al-Qur ’an terdapat tiga ayat yang secara tekstual membicarakan
pernikahan beda agama, antara orang Islam dengan bukan muslim. Pertama, surah al-
Baqarah (2): 221, mengenai larangan orang muslim menikah dengan orang musyrik. Kedua,
surah al-Mumtahanah (60): 10, mengenai larangan orang Islam menikah dengan orang kafir.
Ketiga, surah al-Maidah (5): 5, mengenai larangan wanita muslimat menikah dengan laki-laki
Ahl al-Kitab dan kebolehan lelaki orang muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitab. Dalam
tiga ayat tersebut di atas dapat dilihat adanya larangan yang tegas dalam al-Qur’an antara
orang Islam dengan orang musyrik, orang kafir dan laki-laki Ahl al-Kitab dengan wanita
muslimat, sementara di tengah-tengah masyarakat muslim telah didapati banyak yang
melakukan pernikahan beda agama.

a. Larangan Menikah Orang Muslim Menikah Dengan Orang Musyrik

Larangan orang muslim menikah dengan orang musyrik terdapat dalam Qs. Al-
Baqarah ayat 221 yang berbunyi :

Artinya : Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan
perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang
beriman lebih baik dari laki-laki musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak
ke neraka sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah)
menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.

Ada dua riwayat yang menjadi penyebab turunnya ayat di atas. Pertama, sebagai
jawaban atas permohonan Ibnu Abi Murthid al-Ghaznawi yang meminta izin kepada Nabi
Muhammad s.a.w. untuk menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan

8
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006), Cet. ke-2, h. 57-58.
terpandang. Lantaran itu turunlah ayat, Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik
sehingga mereka beriman. (pangkal ayat 221).

Kedua, berkenaan dengan Abdullah bin Rawahah yang mempunyai seorang hamba
sahaya yang hitam. Pada suatu hari dia marah kepadanya sampai menamparnya, kemudian
dia menyesal. Atas perbuatan itu dia menghadap Nabi Muhammad s.a.w. untuk menceritakan
hal tersebut dan menyatakan; Saya memerdekakannya dan menikahinya, dan dia
melaksanakan janjinya itu. Ketika itu banyak orang yang mencela dan mengejeknya. Ayat di
atas turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Dan sesungguhnya seorang hamba wanita
yang beriman, lebih baik dari wanita (merdeka) yang musyrik walaupun ia menarik hatimu.
Untuk menegaskan bahwa menikah dengan seorang hamba sahaya muslimah lebih baik dari
menikah9

Berdasarkan penafsiran Hamka, M. Quraish Shihab, Ibnu Katsir dan Sayyid Quthb
terhadap surah al-Baqarah (2) : 221, dapat dilihat mengapa Allah SWT melarang orang Islam
menikah dengan orang musyrik karena rumah tangga itu harus dibangun atas dasar yang
kokoh yaitu keyakinan yang sama, keyakinanlah yang akan diwariskan ke anak cucu bukan
kecantikan, ketampanan dan kakayaan atau kekuasaan, semuanya akan luntur dan hancur.
Jika keyakinan antara ayah dan ibu berbeda, keyakinan yang mana lagi yang akan diwariskan
ke anak cucu.10

b. Larangan Menikah Wanita Muslimat Menikah Dengan Lelaki Kafir & Lelaki
Muslim Menikah Dengan Wanita Kafir

Ayat yang melarang wanita-wanita muslimat menikah dengan lelaki kafir, dan lelaki-
lelaki muslim menikah dengan wanita-wanita kafir, yaitu dalam surah al-Mumtahanah (60):
10, Allah SWT berfirman :

Yang Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuanperempuan


mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah
lebih mengetahui tentang keimanan mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka jangan kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir
(suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir
itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami mereka) mahar yang telah
mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan
wanita-wanita kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan;
dan biarlah mereka meminta kembali mahar yang telah mereka berikan. Demikianlah hukum
Allah yang telah ditetapkan-Nya di antara kamu dan Allah Maha Mengetahui, Maha
Bijaksana.

Terdapat enam riwayat yang menjelaskan mengenai sebab turunnya ayat di atas. 11 Di
antaranya, ada riwayat yang menjelaskan bahwa setelah Rasulullah mengadakan Perjanjian

9
Dr. H. Syamruddin Nasution, PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM AL-QUR’AN. Hlm 269
10
Dr. H. Syamruddin Nasution, PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM AL-QUR’AN. Hlm 274-275
11
Qamaruddin Shaleh (1982), op.cit., h. 75.
Hudaibiyah dengan kafir Quraish musyrik. Di dalam naskah perjanjian tersebut, antara lain
dijelaskan bahwa Rasulullah harus mengembalikan wanita-wanita mukminat yang hijrah dari
Makkah ke Madinah. Maka ayat tersebut di atas turun yang memerintahkan kepada
Rasulullah agar wanita-wanita mukminat itu tidak boleh dikembalikan ke suami-suami
mereka yang masih kafir di Makkah. Dalam riwayat lain ada dikemukakan bahwa Saidah,
isteri Shaifi bin al-Rahib hijrah dari Makkah ke Madinah dan meninggalkan suaminya yang
masih kafir di Makkah. Ia hijrah setelah Perjanjian Hudaibiyah. Kaum kafir Quraish
menuntut pengembaliannya. Dengan turunnya ayat di atas, dia tidak dikembalikan Nabi.

Pengertian kafir dalam surah al-Mumtahanah (60): 10, adalah kafir musyrik termasuk
di dalamnya kafir Ahl al-Kitab. Sedang dalam surah al-Baqarah (2): 221, mereka disebut
musyrik, termasuk juga didalamnya Ahl al-Kitab. Dengan demikian, menurut Hamka dan M.
Quraish Shihab pengertian kafir dalam surah al-Mumtahanah (60): 10, adalah kafir musyrik
termasuk didalamnya kafir Ahl al-Kitab. Substansi di antara keduanya adalah sama, tidak
berbeda, yaitu mereka disebut kafir musyrik dan kafir Ahl al-Kitab.12

c. Diperboehkanya Lelaki Muslim Menikah Dengan Wanita-Wanita Ahl Kitab

Ayat yang memperbolehkan lelaki-lelaki muslim menikah dengan wanita-wanita Ahl al-
Kitab, yaitu dalam surah al-Maidah ayat 5, Allah SWT berfirman:

Yang Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu (segala) yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan
(dihalalkan) bagimu (menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yang
beriman dan wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab
sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan bukan untuk

Menurut Buya Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar, ayat ini menjelaskan bahwa orang
mukmin dihalalkan kawin dengan wanita Ahl al-Kitab, asal telah dibayar maharnya. Yaitu
wanita-wanita Yahudi dan Nashrani yang dikawini tidak usah terlebih dahulu masuk Islam;
sebab dalam agama tidak ada paksaan. Tetapi kebolehan yang diberikan ini menurut Hamka,
adalah kepada lelaki yang kuat iman yang di dalam dirinya telah ada sinar Tauhid dan tidak
ditakuti dia goyah dari agamanya karena berlainan agama dengan isterinya. Dia tetap menjadi
suami yang memimpin dalam rumah tangganya. Memberikan contoh yang baik dalam
ketaatan kepada Allah SWT. Sebagai suami menjadi teladan bagi keluarganya dan keluarga
isterinya. Sebaliknya, kepada lelaki yang lemah iman, keizinan ini tidak diberikan, sebab di
zaman penjajahan Belanda ada lelaki Islam yang tertarik kawin dengan wanita Kristen,
berakibat kucar-kacir agamanya, sengsara di akhir hidupnya.13

5. THALAK
12
Dr. H. Syamruddin Nasution, PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM AL-QUR’AN. Hlm 286-287
13
Hamka (1983), Tafsir Al-Azhar, j. 6. op.cit., h. 143-144.
a. Pengertian Thalak

Menurut bahasa, talak berasal dari kata u‫ق‬u‫ل‬u‫ا‬u ‫ط‬u‫ل‬u‫ا‬u‫ ا‬u: u‫ل‬u‫ا‬u ‫س‬u‫ر‬u‫ل‬u‫إ‬u‫ ا‬yang bermaksud
melepaskan, meninggalkan atau melepaskan ikatan perkawinan.1 Dalam kitab
kifayatul akhyar disebutkan bahwa talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan. 14
Menurut istilah, seperti yang dituliskan al-Jaziri, talak adalah melepaskan ikatan ( H‫د‬H‫ي‬H‫ق‬H‫ل‬H‫ا‬
H‫ل‬H‫( ح‬atau bisa juga disebutkan pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang
telah ditentukan. 15

b. Jenis-Jenis Thalak

Secara umum, talak dibagi dalam beberapa jenis, yaitu:

1. Dilihat dari Sighat (Ucapan atau Lafaz) Thalak

Jika ditinjau dari segi ini, talak dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: 16

 Talak Sharih (Talak Langsung)

Ini adalah talak yang diucapkan oleh suami kepada istrinya dengan lafaz atau
ucapan yang jelas. Meski diucapkan tanpa ada niat atau saksi, akan tetapi suami tetap
dianggap menjatuhkan cerai. Hal ini telah ditegaskan dalam Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah:

u‫ة‬u‫ي‬u‫ ن‬u‫ر‬u‫ي‬u‫غ‬u‫ ب‬u‫ق‬u‫ال‬u‫ط‬u‫ل‬u‫ ا‬u‫ه‬u‫ ب‬u‫ع‬u‫ق‬u‫ ي‬u‫ح‬u‫ي‬u‫ر‬u‫ص‬u‫ل‬u‫ ا‬u‫ن‬u‫ أ‬u‫ى‬u‫ل‬u‫ ع‬u‫ا‬u‫و‬u‫ق‬u‫ف‬u‫ت‬u‫ا‬u‫و‬

Artinya: “Para ulama sepakat bahwa talak dengan lafaz sharih (tegas) statusnya sah,
tanpa melihat niat (pelaku).”

Contoh lafaznya:

 Aku menceraikanmu
 Engkau aku ceraikan
 Engkau kutalak satu, dan lain sebagainya.

 Talak Kinayah (Talak Tidak Langsung)

Ini adalah talak yang diucapkan oleh suami kepada istrinya dengan menggunakan
kata-kata yang di dalamnya mengandung makna perceraian, meski tidak secara
langsung.

14
Taqituddin, Kifayatul Akhyar, Juz II (Bandung: Al- Haromain Jaya, 2005), 84
15
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Madhahib Al-Arba’ah, Juz IV (Kairo: Dar Fikr,t.t), 278.
16
https://www.orami.co.id/magazine/talak
Suami yang mengucap lafaz talak kinayah dan tidak ada niat untuk menceraikan
istrinya, dianggap tidak jatuh talak.

2. Dilihat dari Pelaku Perceraian

Jika ditinjau dari segi tersebut, cerai atau talak terbagi menjadi 2 jenis, yakni:

1. Cerai Talak oleh Suami

Ini merupakan jenis perceraian yang paling umum terjadi, di mana suami menjatuhkan
talak kepada istrinya. Status perceraian terjadi tanpa harus menunggu keputusan dari
pengadilan agama.

Talak jenis ini dibedakan menjadi lima, yaitu:

 Talak Raj’i Yaitu proses perceraian saat suami mengucapkan talak satu atau dua
kepada istrinya, tapi suami bisa rujuk dengan istrinya saat istri masih  dalam masa
iddah. Saat masa iddah habis atau lewat, rujuk yang dilakukan oleh suami tidak
dibenarkan kecuali harus dengan akad nikah yang baru.
 Talak Bain Ini adalah proses perceraian saat suami mengucapkan atau melafazkan
talak tiga kepada istrinya. Dalam kasus ini, suami tidak boleh rujuk dengan
istrinya, kecuali istri telah menikah kembali dengan orang lain lalu istri diceraikan
oleh suami barunya dan telah habis masa iddahnya.
 Talak Sunni Ini adalah perceraian saat suami mengucapkan talak kepada istri yang
belum disetubuhi ketika istri dalam keadaan suci dari haid.
 Talak Bid’i Yaitu perceraian saat suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang
masih dalam masa haid atau istri yang dalam keadaan suci dari  haid akan tetapi
sudah disetubuhi.
 Talak Taklik, yaitu perceraian yang terjadi akibat syarat atau sebab-sebab tertentu.
Jadi apabila suami melakukan sebab atau syarat-syarat tersebut, maka terjadilah
perceraian.

2. Gugat Cerai oleh Istri

Ada cerai talak oleh suami, ada juga gugat cerai oleh istri. Ini merupakan proses
perceraian ketika pihak istri mengajukan permohonan gugat cerai atas suaminya
kepada Pengadilan Agama, dan sebelum lembaga pemerintah tersebut memutuskan
secara resmi, maka perceraian dianggap belum terjadi. Ada dua istilah terkait gugat
cerai yang dilakukan oleh istri atas suaminya, yakni:

 Fasakh, merupakan pengajuan perceraian yang dilakukan seorang istri atas


suaminya tanpa adanya kompensasi yang diberikan oleh istri kepada sang suami.
 Khulu’ merupakan proses perceraian atas permintaan dari pihak istri dan suami
setuju dengan hal tersebut dengan syarat sang istri memberikan imbalan kepada
sang suami.

C. Dasar Hukum Thalak

 Qs. Al-Baqarah ayat 229, Allah SWT berfirman :

‫ش ْيـًٔا آِاَّل اَنْ يَّ َخافَٓا اَاَّل يُقِ ْي َما‬ َ ‫س ِر ْي ۢ ٌح بِا ِ ْح‬
َ َّ‫سا ٍن ۗ َواَل يَ ِح ُّل لَ ُك ْم اَنْ تَْأ ُخ ُذ ْوا ِم َّمٓا ٰاتَ ْيتُ ُم ْوهُن‬ ٍ ‫سا ۢ ٌك بِ َم ْع ُر ْو‬
ْ َ‫ف اَ ْو ت‬ َ ‫ق َم َّر ٰت ِن ۖ فَا ِ ْم‬
ُ ‫اَلطَّاَل‬
‫حدُو َد هّٰللا ۗ فَانْ خ ْفتُم اَاَّل يقيما حدُو َد هّٰللا ۙ فَاَل جنَاح َعلَيهما فيما ا ْفتَدَتْ به ۗ ت ْل َك حدُو ُد هّٰللا فَاَل تَعتَدُوهَا ۚومنْ يتَع َّد حدُو َد هّٰللا‬
ِ ْ ُ َ َّ َ َ ْ ْ ِ ْ ُ ِ ِٖ َ ِْ َ ِ ْ َ ُ ِ ْ ُ َ ُِْ ْ ِ ِ ِ ْ ُ
ٰ ٰۤ َ
َ‫ول ِٕى َك ُه ُم الظّلِ ُم ْون‬ ُ ‫فا‬

Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zali”.(Q.S. Al-Baqarah: 229).

 Qs. At-Thalaq ayat 1-2

َ‫وا ٱهَّلل َ َربَّ ُك ْم ۖ اَل ت ُْخ ِر ُجوهُنَّ ِم ۢن بُيُوتِ ِهنَّ َواَل يَ ْخ ُر ْجن‬ ۟ ُ‫وا ٱ ْل ِع َّدةَ ۖ َوٱتَّق‬
۟ ‫ص‬ َ ِّ‫ٰيََٓأيُّ َها ٱلنَّبِ ُّى ِإ َذا طَلَّ ْقتُ ُم ٱلن‬
ُ ‫سٓا َء فَطَلِّقُوهُنَّ لِ ِع َّدتِ ِهنَّ َوَأ ْح‬
ٰ
‫ث بَ ْع َد َذلِكَ َأ ْم ًرا‬ َ ‫ِإٓاَّل َأن يَْأتِينَ بِ ٰفَ ِح‬
َ ‫ش ٍة ُّمبَيِّنَ ٍة ۚ َوتِ ْلكَ ُحدُو ُد ٱهَّلل ِ ۚ َو َمن يَتَ َع َّد ُحدُو َد ٱهَّلل ِ فَقَ ْد‬
َ ‫ظلَ َم نَ ْف‬
ُ ‫س ۥهُ ۚ اَل تَ ْد ِرى لَ َع َّل ٱهَّلل َ يُ ْح ِد‬

‫ش ٰ َه َدةَ هَّلِل ِ ۚ ٰ َذلِ ُك ْم‬ ۟ ‫ى َع ْد ٍل ِّمن ُك ْم َوَأقِي ُم‬


َّ ‫وا ٱل‬ ْ ‫ُوا َذ َو‬۟ ‫ش ِهد‬ ْ ‫وف َوَأ‬ٍ ‫وف َأ ْو فَا ِرقُوهُنَّ بِ َم ْع ُر‬ ٍ ‫س ُكوهُنَّ ِب َم ْع ُر‬ ِ ‫فَِإ َذا َبلَ ْغنَ َأ َجلَ ُهنَّ فََأ ْم‬
ِ ‫يُو َعظُ بِ ِهۦ َمن َكانَ يُْؤ ِمنُ بِٱهَّلل ِ َوٱ ْليَ ْو ِم ٱ ْل َءا ِخ ِر ۚ َو َمن َيت‬
‫َّق ٱهَّلل َ يَ ْج َعل لَّهۥُ َم ْخ َر ًجا‬

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali
mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan
barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu sesuatu hal yang baru 2 Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian
itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar”.(Q.S. Al-Thalaq: 1-2).
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Madhahib Al-Arba’ah, Juz IV (Kairo:


Dar Fikr,t.t), 278.
Az-Zabidi, Imam, Ringkasan Hadits Sahih Al-Bukhari, (Jakarta: Pustaka Amani,
2002), cet.1 h.429.
A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif,2002), hlm. 1461
Ibid, hlm: 1026
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala alMadzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al Fikr,
t.th), Juz. IV, hlm. 3
Dr. H. Syamruddin Nasution, PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM AL-
QUR’AN. Hlm 269
Dr. H. Syamruddin Nasution, PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM AL-
QUR’AN. Hlm 274-275
Dr. H. Syamruddin Nasution, PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM AL-
QUR’AN. Hlm 286-287
Hamka (1983), Tafsir Al-Azhar, j. 6. op.cit., h. 143-144.
https://www.orami.co.id/magazine/talak
Karsayuda, Perkawinan Beda Agama, (Yogyakarta :Total Media Yogyakarta,
2006), hlm.69.
Prof.Dr.H.M.A Tihami, M.A, M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H, Fikih
Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, PT Raja Grafindo Persada, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), Cet. Ke-3, h. 12.
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja,
2006), Cet. ke-2, h. 57-58.
Qamaruddin Shaleh (1982), op.cit., h. 75.
Taqituddin, Kifayatul Akhyar, Juz II (Bandung: Al- Haromain Jaya, 2005), 84
Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer (alAshri) Arab- Indonesia, (Yogyakarta :
Multi Karya Grafika, 2003), hlm. 1943

Anda mungkin juga menyukai