Anda di halaman 1dari 9

LOMBA ESAI NASIONAL “LASANA” 2022

Resiliensi Budaya Masyarakat Adat Trunyan


Dalam Menghadapi Sektor Pariwisata Pascapandemi

Oleh:
I Putu Sawitra Danda Prasetia

UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
PENDAHULUAN
“Adat itu peninggalan leluhur. Dibuat untuk kebaikan manusia.
Untuk apa kau lawan? Kau tidak akan menang”. - Oka Aurora
Kehidupan masyarakat adat Indonesia dengan kondisi budaya dan tradisinya yang
masih kental berpotensi untuk dikembangkan menjadi usaha ekonomi kreatif yaitu sektor
pariwisata. Pariwisata dapat berdampak positif dengan membantu meningkatkan
perekonomian lokal masyarakat adat. Tetapi disisi lain, pariwisata juga dapat memberikan
dampak negatif berupa degradasi kehidupan sosial - budaya bagi kehidupan masyarakat adat.
Provinsi Bali merupakan salah satu wilayah yang terkenal karena pariwisata adat dan budaya
masyarakatnya. Setiap tahun jutaan wisatawan baik domestik maupun mancanegara datang
berkunjung untuk menikmati keunikan budaya masyarakat adat Bali. Oleh karena itu, tak
heran jika pariwisata menjadi sumber terbesar pendapatan daerah Bali hingga penyumbang
devisa negara.
Salah satu desa di Bali yang sering dikunjungi oleh wisatawan adalah Desa Trunyan.
Masyarakat adat Desa Trunyan memiliki tradisi mepasah yaitu sebuah tradisi tidak
menguburkan jenazah yang menjadi daya tarik utama. Tradisi mepasah sebagai salah satu
wujud pembangunan kebudayaan masyarakat adat Desa Trunyan telah mengalami
pergeseran tranformasi kultur di era modern, dimana budaya tersebut bukan hanya menjadi
konsumsi masyarakat adat tetapi juga masyarakat luas. Selain tradisi mepasah, masyarakat
adat Desa Trunyan juga memiliki tradisi lainnya yang telah dikembangkan menjadi objek
pariwisata berbasis budaya dan sejarah, yaitu tarian barong brutuk dan Pura Pancering Jagat.
Dampak pandemi covid – 19 pada sektor pariwisata menyebabkan jumlah kunjungan
wisatawan mengalami penurunan yang signifikan (Kusuma, Yasintha, & Prabawati, 2022).
Masyarakat adat Trunyan bukan hanya merasakan dampak pandemi covid – 19 pada sektor
pariwisata tetapi juga pada pelaksanaan kehidupan sosial – budaya mereka. Masyarakat adat
Trunyan harus menerapkan protokol kesehatan untuk melaksanakan tradisinya. Beberapa
usaha yang telah dilakukan untuk mengurangi mengurangi resiko terpapar virus yaitu seperti
memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan penutupan sementara objek wisata
desa Trunyan (Putri, dkk., 2021).
Menurut Muchammad, Kurniawati, dan Rozakiyah (2021), dampak pandemi
menjadikan pelaku wisata melakukan resiliensi, yaitu sesuatu kemampuan beradaptasi
dengan baik ditengah situasi yang tidak memungkinkan. Masyarakat adat sangat
membutuhkan resiliensi karena kehidupan dan penghidupan mereka berkaitan langsung
dengan kondisi budaya dan alam sekitarnya. Terlebih ketika pandemi covid – 19 sedang
melanda, pemanfaatan budaya masyarakat adat Trunyan sebagai objek wisata, apabila tidak
didukung dengan kemampuan ketahanan yang baik akan berdampak pada kepunahan budaya
mereka. Untuk menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan pembangunan kebudayaan,
masyarakat adat Trunyan harus merespons sesuai dengan kapasitas dan sumber daya yang
dimilikinya sebagai upaya dalam menghadapi dampak pandemi covid – 19 dan sektor
pariwisata, sehingga akan terbentuk resiliensi masyarakat adat Desa Trunyan.
Berdasarkan pemaparan hal diatas, penulis tertarik untuk mengulas lebih dalam
bagaimana resiliensi pembangunan kebudayaan masyarakat adat Desa Trunyan dalam
menghadapi dampak ekonomi kreatif pariwisata pascapademi melalui sebuah ide esai yang
berjudul: “Resiliensi Budaya Masyarakat Adat Trunyan Dalam Menghadapi Sektor
Pariwisata Pascapandemi”.
ISI/PEMBAHASAN
Selayang Pandang Masyarakat Adat Trunyan
Masyarakat adat Desa Trunyan merupakan suku Bali Aga atau Bali Mula. Suku Bali
Aga merupakan kelompok masyarakat Bali yang mengganggap dirinya sebagai penduduk
Bali yang asli dan umumnya menempati wilayah pegunungan. Penyebutan suku Bali Aga
memiliki tujuan untuk membedakannya dengan masyarakat Bali keturunan Majapahit.
Masyarakat adat suku Bali Aga di Desa Trunyan memiliki budaya dengan ciri khasnya
tersendiri sehingga tampak mencolok dibandingkan dengan budaya Bali pada umumnya,
yang paling terkenal adalah tradisi meletakan jenazah diatas tanah. Secara geografis, Desa
Trunyan terletak di pinggir Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali.
Desa Trunyan berada pada ketinggian 1038 meter diatas permukaan laut dengan luas
wilayah mencapai 1.163 km2. Adapun batas – batas dari Desa Trunyan yaitu utara: Desa
Songan, barat: Danau Batur, selatan: Desa Abang, dan timur: Kabupaten Karangasem
(Aridiantari, dkk, 2020).
Desa Trunyan merupakan salah satu dari 15 Desa pendukung keberadaan kaldera
geopark Batur dan berdiri kokoh pada dataran bekas kikisan alam yang disebut belongan.
Desa Trunyan diyakini sebagai salah satu desa tertua di Bali, bahkan Indonesia karena
berdasarkan bukti arkeologis yang ditemukan Desa Trunyan telah ada sejak 10 abad yang
lalu. Sejarah terbentuknya masyarakat adat Desa Trunyan tidak terlepas dari legenda Taru
Menyan atau pohon kemenyan yang menjadi asal – usul nama desa tersebut. Diceritakan
pada suatu hari silam di kerajaan Dalem Solo di Pulau Jawa tercium bau yang sangat harum.
Bau tersebut menarik perhatian empat anak Raja Dalem Solo, kemudian karena penasaran
mereka pun pergi ke Bali untuk mencari sumber bau tersebut. Singkat cerita putra tertua
Raja berhasil menemukan sumber bau wangi tersebut dari sebuah pohon yang dikenal
sebagai Taru Menyan dan menikahi seorang gadis yang tinggal disekitar pohon tersebut.
Sang putra akhirnya menjadi pemimpin wilayah tersebut dan mengembangkan suatu
perabadaban yang kini dikenal sebagai Desa Trunyan. Untuk menjaga desa Trunyan dari
gangguan luar, sang putra tertua membuat peraturan untuk meletakan jenazah yang tidak
dikubur dibawah pohon taru menyan yang saat ini menjadi tradisi mepasah. Masyarakat adat
Trunyan masih mengenang sang putra tersebut dan istrinya sebagai leluhur dan diberi gelar
Raja Pancering Jagat dan Ratu Ayu Dalem Pingit Dasar (Aridiantari, dkk, 2020).

Gambar 1 Lokasi Desa Trunyan.


Sumber: https://hirochan-group.com

Indigenous Tourism: Melalui Pariwisata Melestarikan Budaya sekaligus


Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Adat Trunyan
Masyarakat adat Bali Aga di Desa Trunyan memiliki berbagai budaya dan tradisi
unik yang merupakan warisan leluhur dan aset berharga sehingga keberadaannya harus
dijaga dan dilestarikan. Melalui pengembangan ekonomi kreatif pada sektor pariwisata
berbasis masyarakat adat (indigenous tourism) dapat menjadi solusi alternatif dalam
meningkatkan kesejahteraan sekaligus upaya pelestarian budaya dan tradisi masyarakat adat
Trunyan. Karena dengan pariwisata tak hanya dapat meningkatkan perekonomian lokal
tetapi juga kesadaran masyarakat adat Trunyan dalam melestarikan budayanya. Berikut ini
disajikan beberapa budaya dan tradisi masyarakat adat Trunyan yang menjadi daya tarik
wisata:
1. Tradisi Mepasah
Tradisi mepasah merupakan tradisi tidak menguburkan jenazah tetapi diletakan begitu
saja tanpa dikubur dalam sebuah cekungan tanah yang dipagari dengan sangkar bambu yang
disebut ancak saji. Tradisi ini merupakan ikonik utama dari pariwisata masyarakat adat
Trunyan sehingga diberi julukan sebagai desa tengkorak (skull village) oleh wisatawan.
Keunikan lain yang disajikan dari tradisi ini adalah bau dari jenazah yang konon katannya
tidak tercium busuk tetapi justru berbau wangi karena telah dinetralisir oleh bau pohon taru
menyan. Menurut kepercayaan masyarakat adat Trunyan, jenazah orang yang meninggal
harus diletakan dibawah pohon taru menyan ditempat yang disebut setra wayah. (Pranata,
2014). Jumlah tempat untuk meletakkan jenazah dalam tradisi mepasah hanya 11 buah,
dimana angka 11 merupakan angka spiritual tertinggi dan sakral (Umiarti & Sukana, 2016).

Gambar 2 Tradisi Mepasah Masyarakat Adat Trunyan.


Sumber: https://kumparan.com/
2. Tarian Barong Brutuk
Barong brutuk merupakan tarian sakral masyarakat adat Trunyan yang hanya ditarikan
setiap 2 tahun sekali pada bulan purnama keempat menurut kalender saka Bali (sasih kapat)
di Pura Pancering Jagat. Barong brutuk mengandung konsep kesetaraan gender dalam
budaya masyarakat adat Bali Aga yang disebut lanang – wadon (pria dan wanita). Barong
brutuk hanya dapat ditarikan oleh remaja laki – laki yang sebelumnya harus melakukan
penyucian diri selama 42 hari (Umiarti & Sukana, 2016). Barong brutuk diyakini oleh
masyarakat adat Trunyan sebagai sosok penjaga dan pelindung dari marabahaya. Tarian
barong brutuk menampilkan kesan yang lebih primitif dari tarian Bali pada umumnya,
dimana penari barong brutuk mengenakan pakaian yang terbuat daun pisang kering (keraras)
dan topeng purba dari batok kelapa. Daya tarik utama dari barong brutuk ialah pecutan
senjata yang dapat menyembuhkan segala penyakit. Desa Trunyan juga memiliki Pura
Pancering Jagat yang menyajikan wisata sejarah dan spiritual dengan objek utama berupa
arca megalitik setinggi 4 meter yang disebut Datonta.
Gambar 3 Barong Brutuk.
Sumber: https://foto.tempo.co/

Gambar 4 Pura Pancering Jagat dan Arca Datonta.


Sumber: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
Resiliensi Pembangunan Kebudayaan Trunyan Terhadap Sektor Pariwisata
Pascapandemi
Dinamika mata pencaharian masyarakat adat Trunyan yang semula berfokus pada
sektor pertanian dan kini menjadi pariwisata, oleh sebab kebudayaan mereka yang unik dan
menarik perhatian masyarakat luas untuk lebih mengenal dan menikmati kebudayaan
tersebut. Keberadaan pariwisata dalam kehidupan masyarakat adat Trunyan tidak
berdampak negatif dengan mengganggu maupun menghancurkan budaya dan tradisi
setempat, tetapi justru ikut berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan dan
pembangunan serta pelestarian kebudayaan lokal. Pariwisata menjadi salah satu sumber
pemasukan masyarakat adat Trunyan dalam melaksanakan pembangunan kebudayaan.
Masyarakat adat Trunyan menerapkan ajaran tri hita karana dan awig – awig (aturan adat)
yang mendukung keharmonisan pariwisata dan kebudayaan.
Resiliensi masyarakat adat Trunyan tercipta pada kondisi dimana pembangunan
kebudayaan dan pariwisata saling menjaga satu sama lainnya. Pandemi covid – 19
menciptakan resiliensi sosial masyarakat adat Trunyan dengan memperkuat eksistensi
pembangunan kebudayaan sambil menemukan peluang ekonomi melalui pariwisata.
Resiliensi masyarakat adat Trunyan dapat memberikan gambaran dari bagaimana praktik
nyata respons kebudayaan terhadap pariwisata pascapandemi dengan mengutaman tiga pilar
pariwisata berkelanjutan menurut Espiner (2017) dalam (Fauziatunnisa, Rengganis, &
Asyraf, 2021) yaitu pertumbuhan ekonomi, pertanggungjawaban ketahanan sosial budaya,
dan perlindungan lingkungan. Resiliensi masyarakat adat Trunyan pada sektor pariwisata
pascapandemi yang berkelanjutan dapat didukung dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi, seperti pembuatan website hingga promosi melalui media sosial.

pr

Gambar 5 Model Resiliensi Budaya Masyarakat Adat Trunyan Pascapandemi.


Sumber: olahan pribadi dari Fauziatunnisa, Rengganis,dan Asyraf (2021)
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu kehidupan
masyarakat adat Indonesia dengan kental berpotensi untuk dikembangkan menjadi usaha
ekonomi kreatif yaitu sektor pariwisata. Salah satunya adalah masyarakat adat Trunyan,
yang memiliki objek wisata utama tradisi mepasah, yaitu tradisi meletakan jenazah dibawah
pohon kemenyan yang dipercaya tidak memiliki bau busuk. Terdapat juga tarian sakral
barong brutuk yang primitif, dan Pura Pancering Jagat dengan arca megalitiknya.
Pembangunan kebudayaan masyarakat adat Trunyan yang dimulai saat desa tersebut baru
dibentuk oleh Putra Raja Dalem Solo hingga saat ini masih bertahan dan tetap melestarikan
budaya dan tradisinya. Saat pandemi covid – 19 melanda, kunjungan wisatawan dan
pembangunan kebudayaan masyarakat adat Trunyan sangat merasakan dampaknya, dimana
terdapat penurunan kunjungan wisatawan dan pembatasan aktivitas kebudayaan. Oleh
karena itu, masyarakat adat Trunyan memerlukan resiliensi. Resiliensi masyarakat adat
Trunyan mampu menciptakan suatu gambaran bagaimana pariwisata dan kebudayaan dapat
berjalan harmonis, melestarikan budaya sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat
adat dan menciptakan pariwisata pascapandemi yang berkelanjutan.
Saran
Adapun saran dari penulis, yaitu:
1. Kepada masyarakat adat Trunyan agar tetap melaksanakan pembangunan
kebudayaan disamping kegiatan pariwisata pascapandemi.
2. Kepada pemerintah agar selalu mendukung pelestarian kebudayaan dan pariwisata
masyarakat adat Trunyan.
3. Kepada masyarakat luas agar dapat lebih meningkatkan kepedulian terhadap
masyarakat adat Trunyan pada khususnya, dan masyarakat adat seluruh Indonesia
pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aridiantari, P., Lasmawan, I., & Suastika, I. (2020). Eksistensi Tradisi Dan Budaya
Masyarakat Bali Aga Pada Era Globalisasi Di Desa Trunyan. Ganesha Civic
Education Journal, 2(2).
Fauziatunnisa, Z. A., Rengganis, P. I., & Asyraf, M. A. (2021). Pesona Pegringsingan :
Mengulik Sejarah dan Dinamika Resiliensi Adat Tradisi Masyarakat Desa
Tenganan Pegringsingan Bali dalam Mendukung Pembangunan Pariwisata
Berkelanjutan. Jurnal El Tarikh, 02(2), 81 - 93.
Kusuma, B. O., Yasintha, P., & Prabawati, N. (2022). Resiliensi Masyarakat Desa Batuan
Kabupaten Gianyar pada Sektor Pariwisata Pasca Covid-19. Citizen Charter, 2(1),
118 - 126. Retrieved Agustus 12, 2022, from
https://ojs.unud.ac.id/index.php/citizen/article/view/88143
Muchammad, E. B., Kurniawati, E., & Rozakiyah, D. (2021). Resiliensi Pelaku Wisata
Masyarakat Desa Ngadas dalam Menghadapi Pandemi COVID-19. Sosietas Jurnal
Pendidikan Sosiologi, 11(2), 1051 - 1060.
Pranata, I. W. (2014). Tradisi Mepasah di Setra Wayah Desa Trunyan, Kintamani, Bangli
dan Pemanfaatannya Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah Peminatan di SMA
Berbasis Kurikulum 2013.
Pratiwi, A. E., Triyono, S., Rezkiyanto, I., Asad, A. S., & Khollimah, D. A. (2018).
Eksistensi masyarakat adat di tengah globalisasi. Jurnal Civics: Media Kajian
Kewarganegaraan, 15(2), 95 - 108.
Putri, A., Sandrina, D., Al Hakim, M., Ahyadi, M., Rivaldo, R., & Tanuhardjanto, R.
(2021). Analisis Tradisi Pemakaman Trunyan Berdasarkan Perspektif Sosial
Budaya Dan Hukum Terkait Hak Asasi Manusia Pada Masa Covid-19. Jurnal Ilmu
Budaya, 9(1), 62 - 71.
Umiarti, A. T., & Sukana, M. (2016). Desa Trunyan: Pengalaman Wisata Penuh Makna
Copyright. Denpasar: Pustaka Larasan.

Anda mungkin juga menyukai