Nama : Fadila
NIM : D1121181029
Percobaan : Pengeringan (Tray)
Asisten Percobaan : Wahyudi Rahman
Kelompok/ Waktu : 4 / Senin, 18 Juli 2022
Anggota Kelompok : Nurul Mutia Putri (D1121171016)
Fadila (D1121171028)
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2022
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Prinsip Percobaan
Instalasi penjernihan air multimedia filtrasi dilakukan dengan merakit
rangkaian pipa ¾ inch yang, dipasang stop kran ¾ inch tangki penampung gambut
yang berfungsi sebagai buka tutup aliran air menuju penampung. Kemudian
perakitan pipa ¾ inch dari keluaran air penampung menuju flowmeter dan
dipasang stop kran ¾ inch sebagai pengatur keluaran air menuju filter.
Selanjutnya, perakitan pipa menuju flowmeter sebagai alat ukur keluaran air ini
sejajar, apabila akan running maka stop kran keluaran air dari sumber mata air
menuju filter ditutup dan dibuka pada keluaran air di tangki penampung menuju
flowmeter. Kemudian ditambahkan kran ¾ inch pada rangkaian pipa yang
berfungsi sebagai kalibrasi agar keluaran air stabil dan konstan saat mengaliri
masing – masing media filter.
2.1 Filtrasi
Filtrasi adalah proses penyaringan untuk menghilangkan zat padat
tersuspensi dari air melalui media berpori. Filtrasi dapat juga diartikan sebagai
proses pemisahan liquid -liquid atau solid – liqiud dengan cara melewatkan liquid
melalui media berpori atau bahan-bahan berpori untuk menyisihkan atau
menghilangkan sebanyak-banyaknya butiran-butiran halus, zat padat tersuspensi
dari liqud. Proses filtarsi banyak dilakukan di industri, misalnya pada pemurnian
air minum, pemisahan kristal-kristal garam dari cairan induknya, pabrik kertas
dan lain-lain. Untuk semua proses filtrasi, umpan mengalir disebabkan adanya
tenaga dorong berupa beda tekanan, sebagai contoh adalah akibat gravitasi atau
tenaga putar. Secara umum filtrasi dilakukan bila jumlah padatan dalam suspensi
relatif lebih kecil dibandingkan zat cairnya (Suhana, 2004).
Pada semua proses filtrasi, umpan mengalir disebabkan oleh adanya
tenaga dorong berupa tekanan yang berbeda, sebagai contoh adanya proses filtrasi
disebabkal oleh gaya gravitasi atau tenaga putar. Filtrasi dengan aliran vertikal
dilakukan dengan membagi liquid ke beberap filter bed (2 atau 3 unit) secara
bergantian. Dikarenakan adanya pembagian unit ini menyebabkan proses rumit
dan tidak efektiv. Pada filter dengan aliran horizontal, proses dilakukan dengam
mengalirkan fluida melewati media filter secara horizontal. Cara ini dapat
dikatakam sederhama, praktis, dan tidak membutuhkan perawatan khusus
(Hendrisagung, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi proses filtrasi sebagai berikut
(Oxtoby, 2001)
1. Debit filtrasi
Debit yang terlalu besar akan menyebabkan tidak berfungsinya filter
secara efisien. Sehingga proses filtrasi tidak dapat terjadi dengan sempurna,
akibat adanya aliran air yang terlalu cepat dalam melewati rongga diantara
butiran media pasir. Hal ini menyebabkan berkurangnya waktu kontak antara
permukaan butiran media penyaring dengan air yang akan disaring. Kecepatan
aliran yang terlalu tinggi saat melewati rongga antar butiran menyebabkan
partikel– partikel yang terlalu halus yang tersaring akan lolos.
2. Konsentrasi kekeruhan
Konsentrasi kekeruhan sangat mempengaruhi efisiensi dari filtrasi.
Konsentrasi kekeruhan air baku yang sangat tinggi akan menyebabkan
tersumbatnya lubang pori dari media atau akan terjadi clogging. Sehingga
dalam melakukan filtrasi sering dibatasi seberapa besar konsentrasi kekeruhan
dari air baku (konsentrasi air influen) yang boleh masuk. Jika konsentrasi
kekeruhan yang terlalu tinggi, harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu,
seperti misalnya dilakukan proses koagulasi – flokulasi dan sedimentasi.
3. Kedalaman media, ukuran dan material
Tebal tipisnya media akan menentukan lamanya pengaliran dan daya
saring. Media yang terlalu tebal biasanya mempunyai daya saring yang sangat
tinggi, tetapi membutuhkan waktu pengaliran yang lama. Sebaliknya media
yang terlalu tipis selain memiliki waktu pengaliran yang pendek, kemungkinan
juga memiliki daya saring yang rendah. Demikian pula dengan ukuran besar
kecilnya diameter butiran media filtrasi berpengaruh pada porositas, laju
filtrasi, dan juga kemampuan daya saring, baik itu komposisisnya, proporsinya,
maupun bentuk susunan dari diameter butiran media. Keadaan media yang
terlalu kasar atau terlalu halus akan menimbulkan variasi dalam ukuran rongga
antar butir. Ukuran pori sendiri menentukan besarnya tingkat porositas dan
kemampuan menyaring partikel halus yang terdapat dalam air baku. Lubang
pori yang terlalu besar akan meningkatkan rate dari filtrasi dan juga akan
menyebabkan lolosnya partikel halus yang akan disaring. Sebaliknya lubang
pori yang terlalu halus akan meningkatkan kemampuan menyaring partikel dan
juga dapat menyebabkan clogging (penyumbatan lubang pori oleh partikel
halus yang tertahan) terlalu cepat.
2.2.4 Dakron
Dacron adalah polimer yang terdiri dari kopolimer etilen glikol dan dimetil
terflalat. Polimer ini disebut flatat. Dalam bentuk aslinya, polimer adalah amorf
dan kemudian benang dibuat dengan melelehkannya dan memaksanya melalui
jaring laba-laba. Manfaat yang diprioritaskan dalam pengujian ini di mana dacron
dapat digunakan untuk menyaring partikel-partikel kecil yang larut dalam air dan
dapat diaplikasikan pada berbagai jenis filter. (Bartak, dkk., 2012).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat
3.1.1 Peralatan Filtrasi
Kolom yang dilengkapi dengan isian kolom berturut-turut dari atas ke
bawah pasir halus, karbon aktif, ijuk, dakron sebagai partisi antar media,
flowmeter, tangki penampung yang berkapasitas 40 liter.
3.1.2 Alat pendukung lain
Penampung Filtrat, Erlenmeyer 300 mL, Labu Ukur 1000 mL dan 100 mL,
Stop watch, Pemanas Listrik, Gelas Ukur 5 mL, Pipet Ukur 10 mL dan 100 mL,
Gelas Piala 1000 mL, Buret 25 mL, Termometer, pHmeter, TDS meter, Pipet
Tetes.
3.2 Bahan
Pasir Halus, Karbon Aktif, Ijuk, Air Gambut, Asam Sulfat, H2SO4 8 N,
Kalium Permanganat KMnO4 0,01 N, Natrium oksalat (COONa)2.2H2O, Asam
Oksalat (COOH)2.2H2O
4.1 Hasil
4.2 Pembahasan
Air gambut merupakan air permukaan yang berasal dari daerah dengan
kondisi tanah bergambut. Di Indonesia, air tersebut banyak kita jumpai di daerah
Kalimantan dan Sumatra. Air gambut memiliki ciri-ciri intensitas warna yang
tinggi, tingkat keasaman rendah, dan kandungan zat organik yang tinggi. Warna
coklat kemerahan dan rendahnya tingkat keasaman pada air gambut merupakan
akibat dari tingginya kandungan zat organik yang terdapat didalamnya. Zat-zat
organik tersebut biasanya dijumpai dalam bentuk asam humus yang berasal dari
dekomposisi bahan organik seperti daun, pohon atau kayu. Air gambut diperlukan
proses pengolahan terlebih dahulu agar dapat menjadi air bersih dan digunakan
untuk keperluan manusia. Metode pengolahan yang dapat dilakukan diantaranya
adalah metode filtrasi. Filtrasi merupakamn metode penyaringan partikel padat
dari suatu fluida dengan melewatkannya pada medium penyaringan atau septum,
yang di atasnya padatan akan terendapkan.
Parameter yang digunakan pada praktikumm ini adalah TDS, pH, dan
kandungan zat organik . Nilai Total Dissolve Solid (TDS) merupakan ukuran zat
terlarut (baik itu zat organik maupun anorganik) yang terdapat pada sebuah
larutan. TDS menggambarkan jumlah zat terlarut dalam part per million (ppm)
atau sama dengan milligram per liter (mg/L). Kandungan TDS yang berbahaya
adalah pestisida yang berasal dari aliran permukaan. Beberapa padatan total
terlarut alami berasal dari pelapukan dan pelarutan batu dan tanah.
Sesuai regulasi dari Enviromental Protection Agency (EPA) USA,
menyarankan bahwa kadar maksimal kontaminan pada air minum adalah sebesar
500 mg/L (500 ppm). Kini banyak sumber-sumber air yang mendekati ambang
batas ini. Saat angka penunjukan TDS mencapai 1000 mg/L maka sangat
dianjurkan untuk tidak dikonsumsi manusia. Umumnya, tingginya angka TDS
disebabkan oleh kandungan potassium, khlorida, dan sodium yang terlarut di
dalam air. Ion-ion ini memiliki efek jangka pendek (short-term effect) tapi ion-ion
yang bersifat toksik (seperti timah arsenic, kadmium, nitrat dan banyak lainnya)
banyak juga yang terlarut di dalam air. Air minum ideal adalah yang memiliki
level TDS 0 – 50 ppm.
Nilai TDS yang diperoleh pada Tabel 4.1 mempunyai nilai TDS yang
berbeda pada masing-masing bukaan katub. Hal tersebut dikarena tidak adanya
pengendapan air gambut pada masing-masing bukaan katub. Pengendapan
seharusnya dilakukan terlebih dahulu sebelum diuji dengan cara menyaring air
sampel dengan menggunakan kertas saring sehingga keduanya terpisah, dimana
padatan tersuspensi ini memiliki ukuran molekul yang lebih besar dari padatan
terlarut sehingga padatan tersuspensi akan tertinggal pada kertas saring saat
dilakukan penyaringan, sedangkan padatan terlarut berhasil melewati saringan.
Endapan yang tertinggal dalam kertas saring sebagai TSS atau Total Suspended
Solids sedangkan padatan yang tidak ikut tersaring sebagai TDS atau Total
Disolved Solid. Adanya endapan tersebut kemudian dilakukan pengujian air
gambut. Faktor lain diindikasikan bahwa waktu pengambilan sampel uji yang
terlalu cepat yaitu hanya berlangsung selama 10 menit, sehingga kinerja media
filtrasi tidak berlangsung dengan baik.
Berdasarkan hasil percobaan, didapatkan hasil perubahan atau penurunan
kadar TDS pada sampel air gambut. Akan tetapi, meskipun secara statistika
dikatakan bahwa perlakuan filtrasi telah memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap penurunan kadar TDS, adanya perlakukan filtrasi ternyata hanya mampu
menurunkan TDS dalam jumlah yang kecil dan belum mencapai hasil maksimal
yang diharapkan. Adanya kandungan padatan atau material terlarut dari adsorben
yang ikut terlarut dalam air gambut diduga disebabkan oleh proses aktivasi atau
proses pre-treatment (seperti pencucian) yang dilakukan pada adsorben kurang
maksimal atau tidak sempurna, sehingga masih banyak pengotor-pengotor yang
dapat ikut terlarut dalam sampel air gambut dan berkontribusi terhadap kurang
maksimalnya penurunan kadar TDS
Menurut Nurhayati, dkk (2018), belum maksimalnya proses filtrasi dalam
menurunkan kadar TDS juga disebabkan oleh adsorben atau media adsorbsi yang
digunakan saat filtrasi telah jenuh dengan adsorbat, sehingga kemampuan adsorbsi
adsorbat berupa polutan-polutan atau zat pencemar dalam sampel air gambut
menurun. Kejenuhan terjadi karena tingginya kadar polutan dalam air gambut
membuat adsorben telah menjerap polutan dengan jumlah yang besar sehingga
sudah hampir tidak mampu lagi menjerap polutan-polutan dalam sampel air
gambut. Jika adsorben jenuh, maka adsorben tidak dapat berfungsi lagi sebagai
adsorben dan harus diregenerasi atau diganti dengan yang baru.
Selanjutnya pengaruh proses filtrasi terhadap pH air gambut yang dapat
dilihat pada Tabel 4.2. Berdasaran hasil yang diperoleh, semua pH yang diperolah
sudah sesuai berdasarkan parameter pH dari air minum yang masih diizinkan oleh
Permenkes RI No.416/Menkes/PER/IX/1990 tentang Persyaratan Kualitas Air
Bersih adalah dalam rentang 6-9,0. Pada Tabel 4.2 bahwa diketahui nilai pH yang
diperoleh pada bukaan katub 12,5; 25; dan 50 % menghasilkan nilai pH yang
sesuai dengan nilai baku mutu yang dianjurkan untuk dimanfaatkan yaitu dengan
nilai pH 6,28; 6,35; dan 6,30.
Peran media yang digunakan mampu menekan kadar asam larutan sampel
uji. Pengolahan air gambut dengan menggunkan bahan-bahan alam seperti pasir,
ijuk, carbon aktif mampu menyisihkan bahan-bahan organik dan logam berat
dalam air gambut. Hal ini sesuai dengan penelitian Kiswanto (2017), Model alat
penyaringan air gambut dengan media tawas, pasir dan arang tempurung
didapatkan hasil yang telah memenuhi standar baku air minum untuk beberapa
parameter ( Fe, TDS, pH, Zn, F, NO 3 dan NO2 ) sesuai dengan Permenkes RI NO.
907 Tahun 2002. Naiknya nilai pH ada air gambut di karenakan terjerapnya bahan
bahan yang bersifat asam dari air gambut oleh adsorben saat proses filtrasi, di
mana bahan-bahan ini dapat menjadi penyumbang keasaman pada sampel air
gambut.
Selanjutnya, pengaruh filtrasi air gambut terhadap zat organik. Zat organik
adalah zat yang banyak mengandung unsur karbon. Contohnya antara lain benzen,
chloroform, detergen, methoxychlor, dan pentachlorophenol. Dengan adanya
kandungan zat organik di dalam air berarti air tersebut sudah tercemar,
terkontaminasi rembesan dari limbah dan tidak aman sebagai sumber air bersih
dan minum. Parameter ini memiliki batasan maksimal 10 mg/liter berdasarkan
Permenkes RI No.416/Menkes/ PER/IX/1990 tentang persyaratan kualitas air.
Berdasarkan hasil uji kandungan bahan organik pada Tabel 4.3 dengan
menggunakan metode titrasi (KMnO4) pada sampel uji menghasilkan jumlah
kandungan bahan organik yaitu pada bukaan katub 12,5 % menghasilkan
kandungan organik sebesar 126,4 mg/L, pada bukaan katub 25 % menghasilkan
kandungan organik sebesar 237 mg/L dan terakhir pada bukaan katub 50 %
sebesar 151,68 mg/L. kandungan bahan organik tertinggi ada pada bukaan katub
50 % sebesar 164,32 mg/L, hal tersebut di dindikasikan bahwa pada bukaan
tersebut sampel uji air gambut memiliki kecepatan debit alir yang kuat daripada
bukaan katub 12,5 % dan 25 % sehingga sedikit waktu yang terjadi untuk
melakukan filter pada air gambut yang menyebabkan kandungan organik yang ada
ikut serta pada sampel uji.
Berdasarkan hasil percobaan, semakin kecil bukaan kran maka semakin
sedikit zat organik. Dimana kandungan zat orgnik terendah diperoleh pada bukaan
12,5% sebesar 126,4 mg/L dan kandungan zat organik terbesar pada bukaan 50%
dengan nilai 164,32 mg//L. Pengaruh besarnya bukaan kran terdahap waktu
kontak air dengan media-media yang digunakan sebagai filter menyebabkan pada
bukaan 12,5% air memiliki waktu kontak yang cukup lama, sehingga kandungan
yang ada di dalam air terperangkap dan teradsorbsi di media filter (Roslinda,
2019). Sehingga diperoleh bukaan 12,5% mememiliki nilai kandungan organik
yang sedikit.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada percobaan modul filtrasi dapat ditarik kesimpulan Setelah dilakukan
filtrasi pada bukaan katub 12,5 % memperoleh nilai pH sebesar 6,08, bukaan
katub 25 % diperoleh nilai pH sebesar 6,13, dan terakhir pada bukaan katub 50 %
diperoleh nilai pH sebesar 6,09
1. Nilai TDS setelah dilakukan filtrasi berturut-turut sebesar 145 ppm, 141
ppm, dan 125 ppm
2. Hasil uji kandungan organik pada air gambut diperoleh kandungan organik
terbesar ada pada bukaan katub 50 % sebesar 1619,5 mg/L, sedangkan
pada bukaan katub 12,5 % dan 25 % diperoleh kandungan organik sebesar
513,5 mg/L dan 237 mg/L
5.2 Saran
Saran pada percobaan filtrasi ini yaitu waktu yang diperlukan untuk
melakukan filtrasi sebaiknya melebihi waktu 10 menit. Hal tersebut dikarenakan
semakin lama waktu yang diperlukan untuk melakukan filtrasi maka kinerja
media yang digunakan semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
Eri, I. R. dan Hadi, W. 2010. Kajian Pengolahan Air Gambut Menjadi Air Bersih
dengan Kombinasi Proses Upflow Anaerobic Filter dan Slow Sand Filter.
Jurusan Teknik Lingkungan FTS-ITS. Surabaya
Kiswanto, dkk. 2017. Model Pengolahan Air Gambut Menjadi Air Minum
Berbasis Masyarakat. Journal Of Aceh Aquatic Science. 1 (1): 220-230
Kusnaedi. 2002. Mengolah Air Gambut dan Air Kotor untuk Air Minum. Jakarta:
Swadaya
Naswir, Muhammad. 2009. Kajian Pemanfaatan Air Gambut Untuk Air Minum
Rumah Tangga. Jambi: Universitas Jambi.
Nurhasni, N., Firdiyono, F., & Sya’ban, Q. 2012. Penyerapan Ion Aluminium
dan Besi dalam Larutan Sodium Silikat Menggunakan Karbon aktif.
Jurnal Kimia Valensi, 2(4).
Oxtoby, D.W. 2001. Prinsip-prinsip Kimia Modern Jilid 1 Edisi 4. Erlangga.
Jakarta
Roslinda, E. dan Hardiansyah, G., 2019. Teknologi Multimedia Filter. Fakultas
Kehutanan. Pontinak. Jurnal PPM, Volume 3, no.1 tahun 2019
Suhana, A. 2004. Membuat Perangkat Air Siap Minum. Puspa Swara. Jakarta.
Suherman, D dan Nyoman, S. 2013. Menghilangkan Zat Warna dan Zat Organik
Air Gambut dengan Metode Koagulasi-Flokulasi Suasana Basa. Ris.Geo.
23 (2): 125-137.
WHO. 2004. Guidelines for Drinking Water Quality. Third edition. Geneva.
LAMPIRAN
KMnO4 mg/L ¿
[ (10+ a ) b− (10 x c ) ] 1 x 31,6 x 1000 xf
d
Dimana :
Volume pengenceran
f=
Volume awal air gambut
100
f =
20
f =5
Sehingga dapat diketahui kandungan organik pada air gambut sebagai berikut :