Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

MODERATE TETANUS
INSTALASI GAWAT DARURAT

Disusun Oleh ;
dr. Riska Tiara Annisa
Dokter Pembimbing ;
dr. Sumarmi

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN


KABUPATEN KUNINGAN
2022
DAFTAR ISI

1
BAB I PENDAHULUAN 3
BAB II LAPORAN KASUS 4
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 9
BAB IV ANALISA KASUS 19
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus merupakan penyakit serius yang mengancam nyawa yang menjadi
masalah kesehatan dunia terutama di negara yang berkembang dengan angka kejadian
1.000.000 pasien setiap tahunnya di dunia. Di Indonesia, insidensi berkisar
0.2/100.000 populasi.1-5
Penyakit ini disebabkan oleh toksin yang diproduksi bakteri basil anaerob
gram positif, Clostridium tetani yang dapat dicegah dengan pemberian vaksinasi.
C.tetani terdapat di lingkungan bebas, debu, benda berkarat, ataupun peralatan
operasi yang tidak steril.1-5
Berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC),
angka kejadian tetanus telah menurun melebihi 95% dibandingkan sejak pertama kali
penyakit ini ditemukan pada tahun 1947, dan angka kematian telah menurun 99%.
Pada tahun 2015, di United States, terdapat 29 kasus tetanus, dengan case fatality rate
13.2%. Angka kematian bervariasi, berkisar 60.000 kematian setiap tahun di dunia.
Implementasi vaksinasi tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974.
Program vaksinasi tetanus menurunkan angka kejadian tetanus pada negara-negara
berkembang. Namun, angka kematian akibat tetanus mencapai 50% pada pasien
berusia diatas 60 tahun dimana jarang mendapatkan vaksinasi tetanus.1-5
Di Indonesia, insidensi berkisar 0.2/100.000 populasi. Penyakit ini disebabkan
oleh toksin yang diproduksi bakteri basil anaerob gram positif, Clostridium tetani
yang dapat dicegah dengan pemberian vaksinasi. C.tetani terdapat di lingkungan
bebas, debu, benda berkarat, ataupun peralatan operasi yang tidak steril.1

3
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Tn. Wasto
b. Usia : 50 th
c. Jenis Kelamin : 14-07-1971
d. Alamat : Dsn. Wage, Cibingbin
e. Suku : Sunda
f. Agama : Islam
g. Masuk Rumah Sakit : 15-07-2022 (09.30)
B. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
; Kejang berulang dengan kekakuan diseluruh tubuh 1 hari SMRS.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
; Os datang dengan keluhan tubuh terasa kaku sejak 1 hari SMRS. 4
hari SMRS tumit kiri tertusuk paku saat sedang mencari kayu dan
tidak segera diobati.
2 hari kemudian os merasakan kekakuan pada tengkuk dan
mulut, masih dapat menelan makanan. 1 hari kemudian merasakan
kekakuan di mulut semakin memberat hingga sulit untuk berbicara
serta seluruh tubuh dirasakan kaku dan disertai kejang dengan posisi
tubuh kaku dengan kepala mendongak.
1 hari SMRS kejang semakin sering dan mulut tidak dapat
membuka sama sekali, sudah mulai kesulitan untuk menelan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
; Riwayat Hipertensi, Diabetes, Kejang disangkal
Riwayat vaksinasi tetannus tidak diketahui
d. Riwayat Keluarga
;-

4
e. Riwayat Pengobatan
: Os sempat dibawa ke IGD RS Ananda Bekasi namun menolak rawat.
Mendapatkan terapi ;
 Inj. Tetagam amp 1 x 3000 Unit i.v
 Inj. Metronidazole 500 mg vial 4 x 1 vial i.v
 Drip Diazepam 20 amp/ 24 jam
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Interna
i. Keadaan Umum ; Tampak Sakit Berat
ii. Kesadaran ; Compos Mentis
iii. Tanda-Tanda Vital;
 TD ; 130/80 mmHh
 N ; 119 x/mnt
 RR ; 28 x/mnt
 T ; 37,3 ‘C
 SpO2 ; 96 % room air
b. Status Generalisata
i. Kepala ; Normocephal, kuduk kaku (+)
ii. Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
iii. Mulut : Tresmus (+), tampak lock jaw.
iv. Thoraks ;
 Paru
- Inspeksi ; gerak napas simetris kanan-kiri,
retraksi intercostae (-)
- Perkusi ; sonor
- Auskultasi ; vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing
-/-

5
 Jantung
- Inspeksi ; ictus cordis normal di linea axilaris
anterior ICS 5
- Palpasi ; pulsasi ictus cordis di linea axilaris
anterior ICS 5
- Perkusi ;
o Batas jantung kanan ; linea
parasternalis dextra ICS 3
o Batas jantung kiri ; 2 cm linea
midclavicula sinistra ICS 6
o Batas pinggang jantung ; line parasternalis
sinistra ICS 3
- Auskultasi; Bunyi jantung I dan II regular,
murmur (-), Gallop (-)
v. Abdomen
 Inspeksi ; Datar, distribusi warna sama dengan kulit
sekitar
 Perkusi ; Thimpani seluruh lapang abdomen
 Auskultasi ; Bising usus (+) normal
 Palpasi ; Datar, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak
teraba, defans muscular (+).
vi. Ekstremitas ; Akral hangat, CRT (Capillary Refill Time) < 2
detik, hipertonus seluruh ekstremitas.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab (14-07-2022 – 15.43) RS Ananda
- Hemoglobin 15,9
- Trombosit 293.000
- Leukosit 8.100
- Hematocrit 44,8%

6
- LED 7 mm/jam
Lab (15-07-2022 – 10.06) RS 45 Kuningan
- Hemoglobin 15,9
- Trombosit 293.000
- Leukosit 10.660 ↑
- Hematocrit 46,4%
Kimia Klinik;
- GDS 109 mg/dL
- SGOT 23 U/L
- SGPT 25 U/L
- Ureum 40 mg/dL
- Kreatinin 0,72 mg/dL
Elektrolit;
- Natrium 139 mmol/L
- Kalium 4.4 mmol/L
- Kalsium 1.23 ion mmol/L
Rontgen Thoraks;
- Kardiomegali (-)
E. RESUME
; Os dengan keluhan kaku diseluruh tubuh disertai kejang sejak 1 hari SMRS.
Os tertusuk paku saat sedang mencari kayu 4 hari SMRS yang tidak segera
diobati. 2 hari SMRS os mulai merasakan kekakuan pada rahang dan tengkuk
namun masih dapat membuka mulut dan menelan makanan. 1 hari SMRS
kekakuan dirasakan seluruh tubuh disertai kejang-kejang dengan posisi kepala
mendongak dan seluruh tubuh kaku. Kekakuan di mulut semakin bertambah
namun masih dapat sedikit membuka mulut dan menelan makanan. Demam
disangkal. Os sudah mendapatkan suntikan tetagam 3000U iv dan Diazepam
drip 20 amp/24 jam serta luka bekas tusukan paku sudah di debridement di
IGD RS Ananda Bekasi namun menolak untuk rawat. Riwayat vaksinasi
tetanus tidak diketahui.

7
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tidak ada hambatan jalan napas,
napas regular, dan sirkulasi clear. Os dalam keadaan sadar penuh dan masih
dapat berkomunikasi namun dengan tresmus berat dimana kedua gigi
mengatup tak dapat dibuka (lock jaw appearance), bebrapa kali os mengalami
rejatan di IGD dengan posis tubuh melenting, kepala mendongak, ke empat
ekstremitas kaku.
Dari hasil pemeriksaan laborat didapatkan sedikit peningkatan leukosit
(10.600), lain lain masih dalam batas normal.
F. DIAGNOSIS BANDING
a. Epilepsi
b. Meningitis
c. Infeksi orofasial
G. DIAGNOSIS KERJA
Tetanus
H. PENATALAKSANAAN
i. IGD
 Oksigenasi nasal kanul 3 lpm -> NRM 12 lpm
 IVFD Asering 500 cc/8 jam
 Wound toilet
ii. Advis dr. Awaluddin Sp.S
 Inj. Diazepam 5 mg 5 x 1 amp i.v
 Inj. Metronidazole 3 x 500 mg amp i.v
 Pasang DC & NGT
 Rawat ruang iso bedah
 Swab antigen

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus ditandai dengan spasme
otot yang periodik dan berat. Sampai saat ini tetanus masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang karena akses program
imunisasi yang buruk.6
Tetanus dapat didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut atau
kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan
leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, serta terdapat
riwayat luka ataupun kecelakaan sebelumnya.7
2.2 ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Clostridium tetani.
Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa
pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja
binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa
tahun. Jika spora menginfeksi luka seseorang, bersamaan dengan daging atau
bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan
toksin yang bernama tetanospasmin.8
Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora, memberikan
gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. Spora ini bisa
tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani merupakan bakteri
yang motil karena memiliki flagella, dimana menurut antigen flagellanya,
dibagi menjadi 11 strain dan memproduksi neurotoksin yang sama. Spora
yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan
baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. tetani dapat bertahan dari air
mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada suhu
121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang

9
atau bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh
penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.7
2.3 PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka
yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara
masuknya spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk
oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang
kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat.7
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi
hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, leukosit yang
mati, benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang
kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif.7
Clostridium tetani menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolysin dan
tetanospasmin. Tetanolysin merupakan suatu hemolisin dan bersifat oxygen
labile (mudah diinaktivasi oleh oksigen), sedangkan tetanospasmin
merupakan suatu neurotoksin yang bersifat heat labile (tidak tahan panas).
Tetanolysin merupakan suatu toksin yang dikode oleh plasmid. Toksin ini
secara serologis mirip dengan Streptolysin O (Streptococcus pyogenes) dan
hemolisin yang dihasilkan oleh clostridium perfringens dan listeria
monocytogenes. Kepentingan klinis dari toksin ini tidak diketahui karena
sifatnya yang mudah dihambat oleh oksigen dan serum kolesterol.6
Tetanospasmin adalah toksin yang berperan dalam manifestasi klinis
dari tetanus. Begitu toksin ini terikat dengan saraf, toksin tidak dapat
dieliminasi. Penyebaran tetanospasmin dapat melalui hematogen ataupun
limfogen yang kemudian mencapai targetnya di ujung saraf motorik.6
Toksin ini memiliki 2 subunit dan 3 domain, subunit A (light chain)
dan subunit B (heavy chain). Begitu toksin disekresikan, suatu protease
endogen akan memecah tetanospasmin mejadi 2 subunit. Reseptor untuk
toksin ini adalah gangliosida pada neuron motoris. Domain pengikat
karbohidrat (carbohydrate- binding domain) pada ujung karboksi-terminal

10
subunit B berikatan dengan reseptor asam sialat yang spesifik dan
glikoprotein pada permukaan sel saraf motorik. Toksin akan diinternalisasi
oleh vesikel endosom.6
Asidifikasi endosom akan menyebabkan perubahan konformasi ujung
N-terminal subunit B, kemudian terjadi insersi subunit B kedalam membran
endosom, sehingga memungkinkan subunit A keluar menembus membran
endosom menuju ke sitosol. Toksin mengalami retrograde axonal transport
dari perifer kemudian menuju saraf presinaps, tempat toksin tersebut bekerja.
Subunit A merupaan suatu zinc-dependent metalloprotease yang memecah
vesicleassociated membrane protein-2, VAMP-2 (atau sinaptobrevin). Protein
ini merupakan komponen utama SNARE-complex yang berperan dalam
endositosis dan pelepasan neurotransmitter. Toksin ini menghambat pelepasan
neurotransmitter inhibitorik, yaitu glisin dan gamma-amino butyric acid
(GABA).6
Hal ini menyebabkan aktifitas motor neuron menjadi tidak terinhibisi
dan memberikan gambaran kekakuan otot, spasme dan paralisis spastik.
Proses ini terjadi di semua sinaps, termasuk neuromuscular junction (NMJ).
Otototot yang memiliki jaras persarafan (neuronalpathways) terpendek akan
terkena lebih dahulu, seperti otot-otot mastikasi. Sehingga pada awal gejala
dapat timbul trismus (kaku rahang) dan disfagia.6
2.4 GEJALA KLINIS
Periode inkubasi tetanus antara 3−21 hari (ratarata 7 hari). Pada 80%
−90% penderita, gejala muncul 1–2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu
sejak munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut
periode onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan
menentukan prognosis. Makin singkat (periode onset < 48 jam dan periode
inkubasi < 7 hari) menunjukkan makin beraty penyakitnya.8

11
Tabel 1; Derajad Keparahan menurut Cole and Youngman
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan
otot yang lebih dahulu terjadi pada kelompok otot dengan jalur neuronal
pendek. Oleh karena itu, gejala yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat
masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung.
Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus
sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otot- otot
trunkal mengakibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan
tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris.8
Spasme otot yang muncul spontan dapat diprovokasi oleh stimulus
fisik, visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan
dapat menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang.
Spasme laring dapat terjadi dalam waktu singkat, mengakibatkan obstruksi
saluran napas atas akut dan henti napas.8
Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan
otot-otot dada. Bila spasme berkepanjangan, dapat terjadi hipoventilasi berat
dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal
napas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia
biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan membersihkan
sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling berat
terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3

12
sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu
lagi.8
Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila
spasme otot tidak terkendali. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa
hari setelah spasme dan berlangsung 1−2 minggu. Meningkatnya tonus
simpatis yang dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan
hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar
katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi,
bradikardia dan asistol yang tibatiba. Gambaran gangguan otonom lain
meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia,
stasis lambung dan ileus.8
Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas
spasme paroksismal kadang cukup untuk mengakibatkan ruptur otots pontan
dan hematoma intramuskular. Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra
dapat terjadi, biasanya pada vertebra torakal. Gagal ginjal akut merupakan
komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis
karena spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi atelektasis,
penumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius,
ulkus dekubitus, trombosis vena, dan tromboemboli.8
2.5 PROGNOSIS
Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keparahannya menjadi
ringan (bila tidak ada kejang umum/generalized spam), sedang (bila sekali
muncul kejang umum), berat (bila kejang umum yang berat sering terjadi).
Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi.
Makin pendek masa inkubasi, prognosis makin buruk. Terdapat beberapa
sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett adalah yang paling
banyak digunakan. 13
Selain skoring Ablett, terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis
tetanus seperti Dakar score dan Phillips score. Kedua sistem skoring ini
memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula

13
manifestasi neurologis dan kardiak. Phillips score juga memasukkanstatus
imunisasi pasien. 13

Tabel 2; Derajad Tetanus Menurut Abelt

Tabel 3; Skor Dakar.


Dengan penilaian skor 0−1 dengan severitas ringan dengan
mortalitas10%, 2−3 dinyatakan severitas sedang dengan mortalitas 10%−20%,
skor 4 dengan kategori severitas berat dengan mortalitas 20%−40%, dan skor
5−6 dinyatakan severitas sangat berat dengan mortalitas >50%.13

14
Tabel 4; Skor Philips
Sedangkan berdasarkan skor Phillips, pasien mendapatkan skor <9
masuk kategori ringan, 9-18 dengan kategori sedang, dan 19 dinyatakan
berat. 13
Outcome pasien tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas
pengobatan yang tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60%
dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya
13% sampai 25%. Hanya sedikit penelitian jangka panjang pada pasien yang
berhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering sembuh
sempurna. Beberapa pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi
yang menetap dan gangguan keseimbangan, berbicara, dan memori.6
2.6 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana dari penyakit tetanus dibagi menjadi 3 yaitu netralisasi
toksin dengan tetanus imunogloblulin, eliminasi bakteri dengan pemberian
agen antimikroba (penisilin, metronidazole), dan tatalaksana suportif untuk
meminimalisir ketidaknyamanan dan stimulasi berlebihan.9
Tatalaksana yang dapat diberikan yaitu dengan menghentikan produksi
toksin dengan kontrol sumber misalnya dengan operasi debridement dan
menetralisir tetanospasmin yang belum berikatan dan belum mencapai
sistem saraf pusat dengan pemberian tetanus immunoglobulin (TIG) yang

15
merupakan tatalaksana utama. Rekomendasi dosis pemberian TIG adalah
500-6000 IU, dosis optimal tidak diketahui. Bila human TIG tidak tersedia,
dapat diberikan anti tetanus serum (ATS) dengan dosis 100.000-200.000 IU,
atau dengan 500-1.000IU/kgBB. Tidak ada konsensus tetap mengenai dosis
spesifik.9
Pemberian TIG dan anti tetanus serum (ATS) harus langsung sedini
mungkin ketika diagnosa klinis ditegakkan untuk menetralisir toksin.10
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap
imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya;
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian intramuskular. Bila tidak tersedia maka digunakan
ATS dengan dosis 100.000- 200.000 unit diberikan 50.000 unit
intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000
unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan
ketiga.11
CDC menyarankan pemberian vaksin tetanus pada pasien dengan luka
kategori bersih, luka minor, dan tidak diketahuinya data vaksin atau kurang
dari 3 vaksin pada pasien. Namun, pada pasien dengan luka mayor seperti
avulsi, luka tusuk, dan luka bakar dan luka kategori kotor akibat
terkontaminasi tanah, debu, feses maupun saliva, harus diberikan tambahan
tetanus immunoglobulin, perawatan agresif pada luka dan pemberian
antibiotik. Pada pasien dengan data vaksinasi yang lengkap, tidak diperlukan
lagi pemberian vaksin baik pada luka bersih maupun kotor.8
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek
toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus
sebaiknya ditangani di ICU agar bisa diobservasi secara berkelanjutan.
Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi stimulus
ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang. Pasien
diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus

16
diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai
penuntun terapi.12
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme
laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu
respirasi. Sekresibronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning
yang sering. Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan napas terutama jika
ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres
pernapasan. Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma,
dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia
akses ventilator.3, 5
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien
tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil
kemungkinannya mengalami spasme otot. 5 Diazepam efektif mengatasi
spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam
yang di- rekomendasikan adalah 0,1−0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2−4
jam sesuai gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia < 2 tahun
adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2−3 mg/kgBB setiap 3 jam. Spasme
harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan
< 10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat badan ≥ 10 kg, atau
diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/ kgBB/kali. Setelah spasme berhenti,
pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan
klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis
awitan 0,1- 0,2 mg/ kgBB IV untuk menghilangkan spasme akut, diikuti
infus tetesan tetap 15−40 mg/ kgBB/ hari. Setelah 5−7 hari dosis diazepam
diturunkan bertahap 5−10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa
orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik
bila tidak dijumpai spasme spontan, kesadaran membaik (tidak koma) dan
tidak dijumpai gangguan pernapasan.11
Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturat khususnya
fenobarbital dan Fenotiazin seperti klorpromazin, penggunaannya dapat

17
menguntungkan pasien dengan gangguan otonom. Fenobarbital diberikan
dengan dosis 120−200 mg intravena, dan diazepam dapat ditambahkan
terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari. Klorpromazin diberikan setiap
4−8 jam dengan dosis dari 4−12 mg bagi bayi sampai 50−150 mg bagi
dewasa. Morfin bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan sebagai
tambahan sedasi benzodiazepine.12
Pasien tetanus berat sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3
minggu sampai spasme mereda. Insiden ventilator-associated pneumonia
pada pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%. 1 Infeksi nosokomial umum
terjadi karena lamanya perjalanan penyakit tetanus dan masih merupakan
penyebab penting kematian. Pencegahan komplikasi respirasi meliputi
perawatan mulut yang baik (oral Hygiene), fisioterapi dada dan suction
trakea. Sedasi adekuat selama prosedur invasif mencegah provokasi spasme
atau ketidakstabilan otonom.6
Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin
dalam jumlah cukup untuk mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan
katabolisme protein. Formula asam amino sangat membantu membatasi
katabolisme protein.12
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus
pemberian obat-obatan. Bila sampai hari ketiga infus belum dapat dilepas,
sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah
spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-
obatan dengan perhatian khusus pada risiko aspirasi. Emboli paru juga
merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak digunakan
antikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan. Risiko tromboemboli dan
perdarahan harus di pertimbangkan. Gerakan pasif harus terus diberikan jika
digunakan pelumpuh otot.12

18
BA IV
ANALISA KASUS

Dari anamnesis didapatkan trismus dan kekakuan fasial dan leher


(rhesus sardonicus), nyeri tumit kiri (vulnus punctum) tanpa disertai demam,
yang semakin memberat 1 hari kemudian, disertai disfagia dan opositotonus
(kekakuan trunkal) dengan kejang-kejang posisi kepala mendongak dan
seluruh tubuh kaku. Trismus dan disfagia semakin bertambah berat.
Os tertusuk paku saat sedang mencari kayu 4 hari SMRS yang tidak
segera diobati.
3 hari os dibawa kr IGD RS Ananda Bekasi dan sudah mendapatkan
suntikan tetagam 3000U iv dan Diazepam drip 20 amp/24 jam serta sudah di
lakukan debridement.
Dari temuan klinis didapatkan tidak ada hambatan jalan napas, napas
regular, dan sirkulasi clear, ddengan tekanan darah 130/80 mmHg, dan heart
rate 119 kali per menit, frekuensi napas 28, suhu 37,3 ‘C, dan saturasi oksigen
93% udara ruang. Os dalam keadaan sadar penuh dan masih dapat
berkomunikasi, beberapa kali os mengalami rejatan di IGD (opositotonus),
terdapat lockjaw/risus sardonikus dengan trismus berat. Berdasarkan
klasifikasi Cole and Youngman masuk dalam kategori grade III dengan
gresmus bera, onset kurang dari 3 hari, dan masa inkubasi kurang dari 10 hari.
Berdasarkan skor ablett masuk dalam kategori derajad 3 atau berat dari
adanya trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme memanjang, adanya
disfagia, namun belum disertai adanya serangan apneu, nadi masih kurang
hdari 120 dan frekuensi napas belum lebih dari 40 kali per menit.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap, dan didapatkan sedikit peningkatan leukosit (10.600), lain lain masih
dalam batas normal. Seperti yang diketahui bahwa darah rutin pasien tetanus
tidak menunjukkan hasil yang bermakna, hanya terdapat peningkatan leukosit.

19
Sedangkan untuk dilakukan kultur memrlukan waktu lama dan bukan
merupakan konfirmasi diagnoda, hanya sebagai konfirmasi adanya C. tetani.
Prognosis pasien jika dilihat berdasarkan skor Dakar didapatkan nilai
4 yang berarti keparahan berat dengan mortalitas 20-40%, sedangkan jika
dilihat dari skor Phillips didapatkan nilai 11 dengan kategori sedang.
Pasien dirawat di ruang isolasi bedah, dimana untuk perawatan pasien
tetanus dengan ruangan yang gelap, tenang. Ruangan yang paling ideal untuk
perawatan tetanus adalah di ruang ICU. Penanganan pasien dilakukan
eliminasi penyebab dengan dilakukan debridemen luka serta pemberian
antibiotic metronidazole 4x500 mg, dilakukan netralisasi toksin dengan
pemberian tetagam 3000U im sesegera mugkin, serta untuk menangani
spasmik dan rigiditas diberikan sedasi dengan benzodiazepine (diazepam) 0,1-
0,3 mg/kgBB tiap 4 jam.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahieu R, Reydel T, Maamar A, Tadié J-M, Jamet A, Thille AW, et al.


Admission of tetanus patients to the ICU: a retrospective multicentre
study. Ann Intensive Care [Internet]. 2017 Nov 7 [cited 2019 May
24];7(1).
2. Sri M, Dp WW, Gb MT, Dpg S. Clinical Aspects of Tetanus in Bali,
Indonesia. :7
3. de Jong PR, de Heer-Groen T, Schröder CH, Jansen NJG. Generalized
tetanus in a 4-year old boy presenting with dysphagia and trismus: a case
report. Cases J. 2009;2(1):7003.
4. Hassel B. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of
Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms.
Toxins. 2013 Jan 8;5(1):73–83.
5. Utami IN, Arifin, Susilo RSB, Redhono D, Sumandjar T. Respiratory
failure in tetanic patient: maintenance of airway problem in intensive care
unit setting. IOP Conf Ser Earth Environ Sci. 2018 Mar;125:012153.
6. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are &
pain. Vol. 6 No. 3. [Internet]. 2006 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.ceaccp.oxfordjournals.org content/6/4/164.3.full.pdf
7. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia (PAPDI); Tetanus. 2014. Internal Publishing.
8. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4
9. Hill JD. Tetanus: A Case Report following an Upper Extremity Injury.
Clin Med Rev Case Rep [Internet]. 2016 Feb 29 [cited 2019 May
24];3(2).

21
10. Ferreira FC, Angelis Silva F de, Fernandes Campos MR. Case Report:
Accidental Tetanus. J Infect Dis Treat [Internet]. 2016 [cited 2019 May
24];02(02).
11. Mcelaney P, Iyanaga M, Monks S, Michelson E. The Quick and Dirty:
A Tetanus Case Report. Clin Pract Cases Emerg Med. 2019 Jan
22;3(1):55–8.
12. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et
al. Management and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-
54.
13. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al.
Neurological aspects of tropical disease: tetanus. J Neurol Neurosurg
Psychiatry.2000;69:292-301.

22

Anda mungkin juga menyukai