Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

STEVENS-JOHNSON SYNDROME

INSTALASI GAWAT DARURAT

Disusun Oleh ;

dr. Riska Tiara Annisa

Dokter Penanggungjawab Pasien ;

dr. Nina Roslina, Sp.DV

Dokter Pembimbing ;

dr. Sumarmi

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN

KABUPATEN KUNINGAN

2022

1
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

BAB II ILUSTRASI KASUS

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

Steven Johnsons Syndrome (SJS) dan Toxic epidermal necrolysis (TEN)


adalah kejadian yang sangat jarang, akut, dan potensial mengancam nyawa;
merupakan reaksi hipersensitivitas diperantarai kompleks imun yang sering berkaitan
dengan penggunaan obat. TEN mengakibatkan pengelupasan lapisan epidermis luas,
terjadi pemisahan lapisan dermal-epidermal junction dengan keterlibatan membran
mukosa. Keadaan umum dapat bervariasi dari ringan sampai berat.1

SJS/TEN dapat terjadi pada anak-anak ataupun orang dewasa, dan dapat
terjadi pada seluruh ras. Angka kejadian mencapai 1-10 kasus per 1 juta per tahun, di
mana 20% kasusnya adalah pediatrik. Tingkat mortalitas SJS antara 1% dan 4%,
sedangkan TEN meningkat hingga 25% dan 35%.2

TEN lebih sering terjadi pada perempuan, sedangkan SJS lebih sering terjadi
pada lakilaki. Kejadian meningkat seiring pertambahan usia dan beberapa faktor
predisposisi seperti faktor komorbiditas, meminum banyak obatobatan, faktor
genetik, imunosupresi (pada HIV kejadian meningkat 1000 kali dibandingkan
populasi umum, dengan kejadian 1 per 1000 kasus per tahun), keganasan,
penggunaan bersamaan radioterapi dan antikonvulsan.1,2

3
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


A. Nama : Diya Hernawati
B. Usia : 37 th 4 bln
C. Jenis Kelamin : Perempuan
D. Alamat : Perum Bumi Lestari, Jl Bima 4
E. Suku : Sunda
F. Agama : Islam
G. Masuk Rumah Sakit : 27 Juni 2022 (08.40)
H. Tanggal Pemeriksaan : 27 Juni 2022
2.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Muncul bintik merah hekitaman di muka dan dada sejak 1
minggu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Os data g dengan keluhan muncul bintik merah kehitaman
sejak 1 minggu di area muka dan dada. Mata dirasakan pedih sulit
menutup dan mulut juga dirasakan kering dan sulit menelan. Terdapat
beberapa sariawan di dalam mulut. Bintik kemerahan di area leher
berubah menjadi gelembung berisi cairan sejak 2 hari SMRS yang
semakin meluas. Bintik merah bertambah di area tangan, perut dan
punggung sejak 1 hari SMRS. Os sempat dirawat di Cikarang dengan
diagnose SLE (Sindroma Lupus Eritematosus) sejak ± 2 minggu
SMRS, dengan riwayat demam 1 bulan SMRS disertai nyeri nyeri
pada persendian. Os sering mengalami muncul kemerahan pada kulit
jika terpapar cahaya matahari sejak 1 tahun terakhir.

4
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat pembengkakan jantung sejak 3 tahun SMRS yang
terkontrol dan riwayat Hipertensi sejak ± 5 tahun SMRS yang
terkontrol.
d. Riwayat Keluarga
1. Riwayat alergi disangkal
2. Riwayat hipertensi pada ibu kandung
3. Riwayat penyakit jantung bawaan disangkal
e. Riwayat Pengobatan
a. Metilprednisolone 16 mg (1-1-0)
b. Furosemid 20 mg (1-0-0)
c.Paracetamol 500 mg tab 3x1 P.O
d. Omeprazole cap 2x1 P.O
e.Domperidone tab 3x1 P.O
f. Antasida tab 3x1 P.O
g. Amlodipine 10mg (0-1-0)
h. Ramipril 10mg (1-0-0)
i. Spironolacton 100mg (1-0-0)
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Interna
a.Keadaan Umum ; Tampak sakit sedang
b. Kesadaran ; Compos Mentis
c.Tanda-Tanda Vital;
1. TD ; 150/90 mmHh
2. N ; 119 x/mnt
3. RR ; 20 x/mnt
4. T ; 36,7 ‘C
5. SpO2 ; 99%

5
b. Status Generalisata
a.Kepala ; Normocephal
b. Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-,
lagoftalmus +/+,
1) Palpebra Orbita dextra et sinistra macula
hiperpigmentosa, krusta (+).
c.Telinga: macula hiperpigmentasi
d. Hidung; macula hiperpigmentasi
e.Mulut : erosi disertai krusta kehitaman labia superior et
inferior, macula hiperpigmentasi
f. Leher : JVP 5 ±2 mmHg, macula hiperpigmentosa , bulla,
Nikolsky sign (+).
g. Thoraks ; macula eritema-hiperpigmentosa, konfluens,
bentuk tak beraturan, ukuran milier-plakat meninggi dari
permukaan kulit normal, batas sebagian tegas sebagian tak
tegas,
1) Paru
1. Inspeksi ; gerak napas simetris kanan-kiri, retraksi
intercostae (-)
2. Perkusi ; sonor seluruh lapang paru
3. Palpasi ; sensasi nyeri tajam jika disentuh
4. Auskultasi; vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
2) Jantung
1. Inspeksi ; ictus cordis normal di linea axilaris
anterior ICS 5
2. Palpasi ; pulsasi ictus cordis di linea axilaris
anterior ICS 5
3. Perkusi ;
a. Batas jantung kanan ; linea sternalis
sinistra ICS 5

6
b. Batas jantung kiri ; 2 cm linea
midclavicula sinistra ICS 6
c. Batas pinggang jantung ; line parasternalis
sinistra ICS 3
4. Auskultasi; Bunyi jantung I dan II regular, murmur
(-), Gallop (-)
h. Abdomen
1) Inspeksi ; Datar, macula hiperpigmentasi
2) Perkusi ; Thimpani seluruh lapang abdomen
3) Auskultasi ; Bising usus (+) normal
4) Palpasi ; Nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba.
5) Macula eritema-hiperpigmentosa, konfluens, bentuk tak
beraturan, ukuran milier-plakat meninggi dari
permukaan kulit normal, batas sebagian tegas sebagian
tak tegas, epidermosis (+) pada truncus anterior et
posterior.
i. Ekstremitas ; Akral hangat, CRT (Capillary Refill Time) < 2
detik, macula eritema pada kedua ekstremitas superior.
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium

Hasil
Hemoglobin 11.6
Leukosit 10.33
Hematokrit 32.0
Trombosit 40
Eritrosit 4.01
GDS 104
SGOT 77
SGPT 58

7
Ureum 124
Creatinin 2.52
Natrium 123
Kalium 4.6
Kalsium 1,04

b. EKG

2.5 RESUME
Os datang dengan keluhan muncul bintik merah kehitaman sejak 1
minggu di area muka dan dada. Mata dirasakan pedih dan mulut juga
dirasakan kering dan sulit menelan. Terdapat beberapa sariawan di dalam
mulut. Bintik kemerahan di area leher berubah menjadi gelembung berisi
cairan sejak 2 hari SMRS yang semakin meluas. Bintik merah bertambah di
area tangan, perut dan punggung sejak 1 hari SMRS. Os sempat dirawat di
Cikarang dengan diagnose SLE (Sindroma Lupus Eritematosus) sejak ± 2
minggu SMRS, dengan riwayat demam 1 bulan SMRS disertai nyeri nyeri
pada persendian. Os sering mengalami muncul kemerahan pada kulit jika
terpapar cahaya matahari sejak 1 tahun terakhir.

8
Riwayat pembengkakan jantung sejak 3 tahun SMRS yang terkontrol
dan riwayat Hipertensi sejak ± 5 tahun SMRS yang terkontrol.
Riwayat keluarga, alergi disangkal, hipertensi pada ibu kandung,
jantung bawaan disangkal.
Riwayat pengobatan obat yang dikonsumsi pasien dari rumah sakit di
cikarang; metilprednisolone 16 mg (1-1-0), furosemid 20 mg (1-0-0),
paracetamol 500 mg tab 3x1 P.O, omeprazole cap 2x1 P.O, domperidone tab
3x1 P.O, antasida tab 3x1 P.O, amlodipine 10mg (0-1-0), ramipril 10mg (1-0-
0), spironolacton 100mg (1-0-0).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital yaitu tekanan darah
150/90 mmHg, nadi 119 x/mnt. Bintik merah dan hitam di wajah dirasa pedih,
bibir dan mata lecet dan dirasakan pedih hingga kesulitan berbicara, mulut
dirasakan panas, mata pedih dan sulit menutup. Lepuh di leher mulai
mengelupas. Sesak napas dan lemas, os kesulitan menelan, dan tidak dapat
menutup mata.
Status Dermatologi:
- Distribusi : Generalisata
- Ad region : Wajah, bibir, mata, leher, dada, punggung, perut, dan
lengan kanan dan kiri.
- Lesi : Multiple, sebagian diskret dan sebagian konfluen,
bentuk tak teratur dan beberapa teratur, ukuran milier-plakat
menimbul dari permukaan, batas sebagian tegas dan sebagian
tidak, stadium sebagian basah dan sebagian kering.
- Efloresensi: macula eritema, papula eritema, plak eritema, erosi
dan krusta sanguinolenta, bulla, epidermolisis 9%.
Status Oftalmologis: ODS
- Palpebra superior et inferior; kering, silia rontok, krusta,
macula eritema, lagoftalmus.
Pemeriksaan Nikolsky sign (+).

9
2.6 DIAGNOSIS BANDING
1. Stevens-Johnson Syndrome (SJS)
2. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
3. Eritema Multiforma Mayor
4. Lupus Eritematous
2.7 DIAGNOSIS KERJA
Stevens-Johnson Syndrome
2.8 PEMERIKSAAN ANJURAN
Profil Ana Test, X-ray Thorax
2.9 PENATALAKSANAAN
IGD
- Inj. Furosemid 1x1 amp
- Inj. Domperidone 3x1 amp
- Amlodipine 1x10 mg tab P.O
- Ramipril 1x10 mg tab P.O
- Spironolacton 1x100 mg P.O
Advice dr. Rio Sp.PD
- Terapi lanjut
- IVFD Assering 500 cc/12 jam
- Raber dr. Sp.DV
- Antasida stop
- Rencana cek ANA test
Advice dr. Nina Sp.DV
- Metilprednisolone 40 mg/hari (3-0-2 tab 8 mg)
- Cetirizine tab 1x10 mg P.O
- Cream Mometasone Furoat 1x sehari (bercak merah)
- Nystatin drop 4x4 mg (sariawan)
- Kompres NaCl 0,9% pada luka lecet.

10
2.10 PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Dubia
 Quo ad functionam : Dubia
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

11
2.11 FOLLOW UP
 Laboratorium

Tanggal
28/06 29/06 30/06 01/07 03/07 04/07 05/07
Hb 11.2 11.1 11.7 10.4
Leu 10.8 9.67 7.52 6.60
Hct 31.18 31.3 32.6 29.9
Tr 25 50 72 104
Erit 3.86 3.87 4.07 3.60
Na 127 124 128 131
K 5.6 7,3 6.5 7.9
Ca 1,10 1.22 1.26 1.24
Ur 186 198 193 231
Cr 4.04 3.99 4.24 4.19
Albumin 2.0
Ot 22
Pt 20
HIV No-R
HBsAg (-)
HCV (-)
D-Dimer 2050
Chol tot 246
Trigliserid 173
UL Keruh, Prot (+)

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Stevens-Johnson syndrome (SJS) dan toxic epidermal necrolysis
(TEN) adalah kejadian yang sangat jarang, akut, dan potensial mengancam
nyawa; merupakan reaksi hipersensitivitas diperantarai kompleks imun yang
sering berkaitan dengan penggunaan obat. SJS/TEN mengakibatkan
pengelupasan lapisan epidermis luas, terjadi pemisahan lapisan dermal-
epidermal junction dengan keterlibatan membran mukosa. Keadaan umum
dapat bervariasi dari ringan sampai berat.1
Gejala klinis mayor EM (Steven-Johnson’s Syndrome) mirip dengan
minor EM, hanya pada mayor EM, lesi minimal muncul di 3 lokasi misal-
nya pada mukosa oral dan kulit, serta salah satu dari mukosa konjungtiva,
genital, faring, laring, esofagus atau bronkial. Secara klinis EM dibagi
menjadi minor EM dan mayor EM (Steven-Johson Syndrome/SJS). Sekitar
20-30% kasus minor EM terjadi pada mukosa oral, lesi juga dapat dijumpai
pada kulit, mukosa mata, dan genitalia. Lesi berupa vesikula multipel, yang
setelah pecah menimbulkan ulser/erosi dan nyeri. Minor EM di mukosa oral
membuat pasien menderita akibat nyeri dari lesi, sehingga mengganggu
asupan makanan/nutrisi, selanjutnya daya tahan tubuh akan menurun. Gejala
klinis mayor EM (Steven-Johnson’s Syndrome) mirip dengan minor EM,
hanya pada mayor EM, lesi minimal muncul di 3 lokasi misal-nya pada
mukosa oral dan kulit, serta salah satu dari mukosa konjungtiva, genital,
faring, laring, esofagus atau bronkial.3,4
TEN lebih sering terjadi pada perempuan, sedangkan SJS lebih sering
terjadi pada lakilaki. Kejadian meningkat seiring pertambahan usia dan
beberapa faktor predisposisi seperti faktor komorbiditas, meminum banyak
obatobatan, faktor genetik, imunosupresi (pada HIV kejadian meningkat
1000 kali dibandingkan populasi umum, dengan kejadian 1 per 1000 kasus

13
per tahun), keganasan, penggunaan bersamaan radioterapi dan
antikonvulsan.1,2
2.2 EPIDEMIOLOGI
SJS/TEN dapat terjadi pada anak-anak ataupun orang dewasa, dan
dapat terjadi pada seluruh ras. Angka kejadian mencapai 1-10 kasus per 1
juta per tahun, di mana 20% kasusnya adalah pediatrik. Tingkat mortalitas
SJS antara 1% dan 4%, sedangkan TEN meningkat hingga 25% dan 35%.2
2.3 ETIOLOGI
Penyebab pasti seringkali sukar ditentukan oleh karena SSJ dapat
disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa faktor penyebab diantaranya
infeksi (virus [herpes simplex, mycoplasma pneumonia, vaksinia], jamur
[koksidioidomikosis, histoplasma], bakteri [streptokokus, Staphylococcus
haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonela], dan parasit
[malaria]), makanan (coklat), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol,
tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin,
kinin, oxicam-NSAID, dan asetaminofen [parasetamol]), penyakit kolagen,
keganasan, kehamilan, dan vaksinasi. Faktor fisik (udara dingin, sinar
matahari, sinar X) berperan sebagai pencetus.5,6
Sebagian besar kasus SSJ (74%-94% kasus) berkaitan dengan respon
imun terhadap obat.5-7 Obat tersering dilaporkan sebagai penyebab adalah
golongan salisilat, sulfonamid, penisilin, oxicam-NSAID, antiepilepsi,
nevirapine, dan allopurinol. Keterlibatan kausal ditujukan terhadap obat
yang diberikan sebelum masa awitan gejala klinis yang dicurigai (dapat
sampai 21 hari). Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua
obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal.8,9
a. Obat
Obat merupakan penyebab utama SJS (50% - 80% kasus) dan
TEN (hingga 80% kasus); infeksi atau kombinasi infeksi dan obat, serta
keganasan juga dapat sebagai penyebab. Telah ditemukan lebih dari 100

14
jenis obat sebagai penyebab SJS atau TEN. biasanya muncul setelah 8
minggu pertama konsumsi obat, tergantung dosis.1,10,11
Antibiotik paling banyak menyebabkan SJS/TEN; diikuti
analgetik, obat batuk-pilek, NSAID, psikoepileptik, dan antigout.12 Pada
golongan antibiotik, penisilin dan sulfonamid adalah yang paling sering,
mencapai 26% kasus.2,12 Sedangkan golongan antikonvulsan adalah
fenitoin, lamotrigin, karbamazepin, asam valproat, oxkarbazepin, dan
barbiturat; antikonvulsan dapat mencetuskan SJS dalam 60 hari pertama
pemakaian.12 Obat antiretrovirus sebagai penyebab SJS adalah
nevirapin.11,12 Beberapa obat yang juga telah dilaporkan menjadi
penyebab SJS adalah modafinil, allopurinol dosis lebih besar atau sama
dengan 200 mg per hari, mirtazapin, TNF alfa antagonis, kokain,
sertralin, pantoprazol, tramadol.12

b. Infeksi
Infeksi adalah penyebab kedua tersering setelah obat. 13,14 Virus
yang telah banyak dilaporkan sebagai penyebab SJS adalah: Herpes
simplex virus (19,7% kasus), cytomegalovirus, HIV, Coxsackie virus,
influenza, hepatitis, smallpox, dan mumps. Pada anak, Epstein-Barr
virus dan enterovirus mungkin juga menjadi penyebab. 2 Infeksi/bakteri
yang dikaitkan dengan SJS adalah Streptokokus grup A beta hemolitik,
difteri, brucellosis, lymphogranuloma venerum, mikobakteria,
Mycoplasma pneumonia, rickets, tularemia, tifoid.2,12 Infeksi jamur
penyebab SJS adalah paracoccidiomycosis, dermatofitosis, dan

15
histoplasmosis.2 Sebagian besar pasien yang didiagnosis SJS, dilaporkan
mengalami infeksi saluran pernapasan atas sebelumnya.2,12
c. Genetik
Human leukocyte antigen yang diduga menjadi penyebab SJS antara
lain:12
- HLA-B*1502, berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap
karbamazepin,1 fenitoin, lamotrigin12
- HLA-B*5802, berkaitan dengan peningkatan risiko t e r h a d a p
karbamazepin14
- HLA-A*3101, berkaitan d e n g a n peningkatan risiko t e r h a d a p
karbamazepin14
- HLA-B*5801, berkaitan dengan peningkatan risiko t e r h a d a p
allopurinol1,11,12,14
- HLA-B*44, ras putih yang memiliki gen ini lebih berisiko untuk
mengalami SJS
- HLA-A29, berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap sulfonamid
- HLA-B12, berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap sulfonamid
dan NSAID
- HLA-DR7, berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap sulfonamid
- HLA-A2, berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap NSAID
- HLA-A*0206, memiliki hubungan yang kuat dengan SJS dan
komplikasi pada mata
- HLA-DQB1*0601, memiliki hubungan yang kuat dengan SJS dan
komplikasi pada mata

Beberapa jenis gen HLA tersebut berkaitan dengan peningkatan


risiko SJS jika terpapar dengan obat spesifik.

2.4 PATOFISIOLOGI
Patogenesis SSJ sampai saat ini masih belum jelas walaupun sering
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Pada beberapa

16
kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3
dan fibrin, serta circulating immune complex dalam sirkulasi.5,6
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang
dapat merangsang respon imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun
beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya
virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat
aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak
dan terbebas akibat infeksi, inflamasi atau proses metabolik). 6 Circulating
immune complex (CIM) dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusaan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas
sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat
sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya
reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.5 Kerusakan epidermis
membawa beberapa implikasi, yaitu kegagalan fungsi kulit yang
menyebabkan terjadinya kehilangan cairan tubuh, kegagalan termoregulasi,
dan meningkatkan risiko infeksi.
2.5 GEJALA KLINIS
Secara klinis SJS/TEN dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan luas
area tubuh yang terlibat (BSA= Body Surface Area). (Tabel 2) Gejala klinis
SJS/TEN dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase akut dan fase akhir disertai gejala
sisa.

17
A. Fase Akut
SJS/TEN secara klinis dimulai 8 minggu setelah terpapar obat. 1
Gejala awal atau gejala prodormal dapat tidak spesifik, seperti demam
dan flu like symptoms (gatal dan rasa terbakar pada mata, nyeri
menelan, batuk, dengan dahak produktif, pilek, nyeri kepala, malaise,
dan artralgia). Gejala dapat berlangsung hingga 1 minggu.1,15
Setelah periode ini, akan muncul lesi kemerahan disertai rasa
terbakar yang simetris pada wajah, bagian atas tubuh, dan bagian atas
ekstremitas. Bagian distal lengan dan tungkai, biasanya tidak terkena. 1
Lesi kulit memiliki karakterisitik sebagai berikut:
 Lesi awal akan tampak sebagai makula eritema hingga merah
kehitaman, makula purpurik, bentuk ireguler yang secara progresif
akan berkonfluens.1 Kemudian lesi berkembang menjadi papul,
vesikel, bula, plak urtikaria yang biasanya tidak gatal.10,12,15
 Lesi tipikal akan memberikan gambaran seperti ‘target’, yaitu lesi
terlihat memiliki 2 zona warna, pada bagian sentral atau inti
tampak vesikel, purpurik, atau nekrotik; zona ini dikelilingi oleh
makular eritema. Gambaran ini adalah patognomonik.12 Lesi
atipikal akan memberikan gambaran seperti EM (eritema
multiform), yaitu terdiri dari 3 zona yang berbentuk cincin
konsentrik.2
Lesi awal akan dimulai pada wajah dan dada yang selanjutnya
menyebar simetris ke arah luar.11 Lesi dapat terjadi di mana saja, paling
sering di telapak tangan, telapak kaki, bagian dorsum tangan, dan bagian
ekstensor extremitas bawah.12 Daerah lesi akan terasa nyeri terhadap
sentuhan.13 Selanjutnya, 3 hingga 5 hari kemudian akan terjadi
pelepasan lapisan epidermis dan terbentuk bula rapuh dan ruptur
meninggalkan lapisan sel kulit mati yang luas. Nikolsky’s sign positif di
area sekitar lesi.1,12-11,15 Nikolsky’s sign tidak spesifik untuk SJS/ TEN,
karena juga dapat timbul pada penyakit kulit autoimun.11

18
Lapisan kulit mati akan memudahkan infeksi sekunder. Bakteri
yang paling sering adalah Staphylococcus aureus dan Pseudomonas
aeruginosa. Sepsis adalah penyebab utama kematian pada SJS/TEN. 12,13
Infeksi sekunder akan mengakibatkan timbulnya jaringan parut dan
berhubungan dengan meningkatnya morbiditas.12 Area lesi yang luas
akan mengakibatkan nyeri hebat, kehilangan cairan dan protein yang
masif, electrolyte imbalance, resistensi insulin, status hiperkatabolik,
infeksi dan bakteremia, syok hipovolemik dengan gagal ginjal, dan
gagal multi organ.13,15 Reepitelisasi akan terjadi 1 minggu setelah onset
dan berlangsung selama 3 minggu. Lebih cepat pada anak-anak.13
Keterlibatan mukosa dapat terjadi pada dua atau lebih permukaan
mukosa.1 Kelainan mukosa yang paling sering adalah mukosa mulut
(100%), disusul genital (50%).10 Lesi mukosa dapat muncul lebih awal
ataupun bersamaan dengan lesi kulit.12 Tanda pada mukosa yang terlibat
adalah eritema, edema, bula, ulserasi, dan nekrosis.1,12 Lesi mukosa
diawali enanthem dan edema, selanjutnya menimbulkan erosi dan
pseudomembran pada mata, mulut, genital, tenggorokan, dan saluran
napas atas pada hingga 90% kasus. Pada 10% hingga 30% kasus dapat
terjadi lesi pada gastrointestinal dan respirasi.2
Keterlibatan mata pada 39% hingga 61% kasus, terjadi antara 2
hingga 6 minggu setelah terpapar obat.11,13 Keterlibatan pada mata
meliputi lesi konjungtiva ditandai hiperemia, sekret purulen, erosi,
kemosis, fotofobia, dan lakrimasi;1 selain itu, terdapat edema kelopak
mata, terbentuk membran atau pseudomembran pada mata hingga erosi
kornea, pada kasus berat dapat terjadi lesi sikatrik, symblepharon, ulkus
kornea, dan uveitis anterior.1,2,10-13
Sistem fisiologi lain yang dapat terkena meliputi paru
(pneumonia, pneumonitis interstitial, acute respiratory distress
syndrome, ventilasi mekanik), gastrointestinal (diare, melena, ulserasi
usus halus, perforasi kolon, intususepsi pada usus halus, stenosis,

19
striktur, stomatitis), renal (proteinuria, mikroalbuminuria, hematuria,
dan azotemia),1 vulvovaginitis, dan urethritis.13
B. Fase Akhir dan Gejala Sisa
Gejala sisa sering terjadi pada fase akhir TEN. Gejala paling
sering adalah hiper- dan hipopigmentasi kulit (62,5%),1 komplikasi mata
(50%), distrofi kuku (37,5%). Komplikasi akhir pada mata meliputi
kekeringan mata (46%), trikiasis (16%), symblepharon (14%),
distikiasis (14%), kehilangan penglihatan (5%), entropion (5%),
ankyloblepharon (2%), laphgoltalmos (2%), ulkus kornea (2%). 11
Komplikasi jangka panjang mukosa terjadi pada 73% pasien yang
memiliki keterlibatan mukosa di fase akut.11
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis SJS/TEN berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
histologi. Anamnesis yang baik mengenai riwayat pemakaian obat dan
infeksi serta pemeriksaan fisik merupakan hal terpenting.11,12 Gejala klinis
tipikal meliputi lesi makula eritemotasa kulit disertai Nikolsky sign positif
dalam beberapa jam setelah onset, ditandai timbulnya bula setelah
penekanan di area sekitar lesi.11,12

20
Pada pemeriksaan histologi cara krioseksi atau biopsi yang
ditempatkan dalam larutan formalin sederhana, akan didapatkan nekrosis
seluruh lapisan epidermis akibat apoptosis keratinosit dan pengelupasan
lapisan epidermis, akan ditemukan pula vakuolisasi lapisan epidermis,
pemisahan lapisan epidermis dan dermis, serta infiltrasi sel limfosit di regio
perivaskuler.1,12,13,15 Untuk menyingkirkan penyakit autoimun lainnya, perlu
pemeriksaan imunofluoresen; pada SJS/TEN tidak akan ditemukan deposit
imunoglobulin dan/ komplemen pada lapisan epidermis atau zona epidermis-
dermis.1,12,11
Meskipun tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik, ditemukan
abnormalitas fungsi hati dan fungsi ginjal, leukositosis tidak spesifik karena
infeksi bakterial sekunder.12,11,15 TNF alfa, IL-2, IL-6, dan CRP serum akan
meningkat namun tidak rutin diperiksa. Tes provokasi obat adalah
kontraindikasi.2
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama SJS/TEN adalah autoimmune blistering
disease, seperti dermatosis linear IgA, pemfigus paraneoplastik, pemfigus

21
vulgaris, dan pemfigoid bullosa, eritema multiform, acute generalized
exanthematous pustulosis (AGEP), disseminated fixed bullous drug eruption,
dan staphylococcal scaled skin syndrome (SSSS). Diagnosis banding lain
adalah limfoma, angioimmunoblastic lymphadenopathy, viral rash, sifilis
stadium sekunder, luka bakar, eritroderma, herpetic gingivostomatitis, graft
versus host disease, dan autoimmune vasculitis.11,12,16
2.8 PENATALAKSANAAN
Keberhasilan penanganan SSJ sangat ditentukan oleh pengenalan
gejala secara dini, menghentikan atau mengatasi faktor penyebab dan
pemberian terapi suportif yang adekuat. Deteksi faktor penyebab yang paling
umum yaitu penggunaan obat sebelumnya dan penghentiannya segera, telah
terbukti dapat menurunkan angka mortalitas dan memperbaiki prognosis.7,9
Terapi suportif merupakan tata laksana yang penting pada pasien
SSJ.17 Pasien yang umumnya datang dengan keadaan umum berat
membutuhkan cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang
sesuai secara parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan
kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik
dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Perawatan yang baik
terhadap lesi pada kulit akan mengurangi kemungkinan infeksi dan rasa
nyeri.17 Blister pada kulit dapat dikompres dengan larutan salin atau borowi.
Hindari penggunaan salep kulit yang mengandung sulfa. Lesi kulit yang
terbuka dirawat seperti luka bakar, sehingga koordinasi dengan unit luka
bakar sangat diperlukan. Lesi di mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut
dan salep gliserin. Pengendalian rasa nyeri dengan oxicam-NSAIDs
sebaiknya tidak diberikan mengingat merupakan salah satu obat yang telah
terbukti sering sebagai faktor penyebab SSJ.17
Pengobatan infeksi sekunder pada kulit, sebagai terapi awal dapat
diberikan antibiotik spektrum luas, dapat digunakan gentamisin
5mg/kgBB/hari intramuskuler. Pemberian antibiotika selanjutnya
berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan

22
darah. Pemilihan antibiotika sebaiknya tidak menggunakan golongan sulfa
dan penisilin yang memiliki resiko tinggi untuk terjadinya SSJ.17
Pemberian kotikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih
kontroversial. Beberapa peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid
sistemik beralasan bahwa kortikosteroid akan menurunkan beratnya
penyakit, mempercepat konvalesensi, mencegah komplikasi berat,
menghentikan progresifitas penyakit dan mencegah kekambuhan.9,17
Beberapa literatur menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat
mengurangi inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu
sintesa lipokortin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu kortikosteroid
dapat meregulasi respons imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin.
Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid berargumentasi bahwa
kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka, meningkatkan resiko
infeksi, menutupi tanda awal sepsis, perdarahan gastro-intestinal dan
meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus dipertimbangkan yaitu
harus tappering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 3-5 hari,
maka sebaiknya pemberian kortikosteroid dihentikan.9,17
Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) pada SSJ
juga masih kontroversi. Beberapa studi klinis berpendapat bahwa pemberian
IVIG dengan dosis 1 gr/ kgBB/hari selama tiga hari berturut-turut dapat
menurunkan progresivitas penyakit SSJ. Pemberian IVIG akan menghambat
reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS. 17,18
Konsultasi dilakukan kepada bagian oftalmologi untuk kelainan pada mata.
Untuk mencegah sekuele pada mata dapat diberikan airmata artifisial, atau
gentamisin tetes mata bila ada dugaan infeksi sekunder. Secara rutin pasien
SSJ juga dikonsulkan ke bagian kulit dan kelamin untuk perawatan yang
komprehensif. Konsultasi kepada bagian bedah plastik dilakukan
sehubungan dengan perawatan lesi kulit terbuka yang biasanya dirawat
sebagaimana luka bakar.17

23
2.9 PROGNOSIS
Tingkat keparahan dan prognosis dinilai menggunakan SCORTEN.1,11

Pada kasus yang tidak berat prosnosisnya baik dan penyembuhan


terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau dengan pengobatan terlambat dan tidak adekuat, angka
kematian berkisar antara 5-15%. Adanya sekuele seperti gangguan
pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan juga memperburuk prognosis.9,17
Kematian dapat disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, bronkopneumonia, serta septicemia.
2.10 KOMPLIKASI
SSJ sering menimbulkan komplikasi pada mata, diantaranya ulkus
kornea dan simblefaron. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, nefritis, miositis,
mielitis, poliartritis serta yang terberat adalah septikemia.9,17

24
Perhatian khusus harus diberikan terhadap komplikasi pada mata.
Konsultasi spesialis mata lebih awal dan terapi kortikosteroid topikal serta
lubrikasi mata.9

25
BAB IV
ANALISIS KASUS

DAFTAR PUSTAKA
1. Valeyrie L, Claude J. Epidermal necrolysis (stevens-johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,editors.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York: Mc Graw
Hill; 2008. p.349-55
2. Wong A, Malvestiti AA, Hafner M. Stevens Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis: A review. Rev Assoc Med Brass. 2016;62(5):468-73
3. Field A, Longman L. Erythema multiforme. In: Tyldesy’s oral medicine.
eds. 5th ed. New York: Oxford University Press, 2004: 136.
4. Laskaris G. Erythema multiforme. In: Laskaris G. eds. Treatment of oral
diseases, A concise textbook. New York: Thieme Stuttgart, 2005: 66
5. Levi N, Bastuji-Garin S, Mockenhaupt M, Roujeau JC, Flahault A, Kelly JP,
et al. Medications as risk factors of Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis in children: a pooled analysis. Pediatrics. 2009;123(2)
e:297-304.
6. Roujeau JC, Kelly JP, Naldi L, Rzany B, Stern RS, Anderson T, et al.
Medication use and the risk of Stevens-Johnson syndrome or toxic epidermal
necrolysis. N Engl J Med. 1995;333(24):1600-7.
7. Singalavanija S, Limpongsanurak W. Stevens-Johnson syndrome in Thai
children: a 29-year study. J Med Assoc Thai. 2011;94 suppl 3:S85-90.
8. Auquier-Dunant A, Mockenhaupt M, Naldi I, Correia O, Schroder W,
Roujeau JC. Correlations between clinical pattern and causes of erythema
multiforme majus, Stevens-Johnson syndrome, and toxic epidermal
necrolysis: results of an international prospective study. Arch Dermatol.
2002;138(8):1019-24

26
9. Morelli JG. Vesiculobullous Disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB Stanton BF, editors. Nelson textbook of pediatrics. 18th Ed.
Philadelphia: WB Saunders; 2007;2685-93.
10. Djuanda A, Hamzah M. Sindrom stevens-johnson. In: Djuanda A, Hamzah
M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6th Ed. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2010. p.163-5
11. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens Johnson
syndrome. Orphanet J Rare Dis. 2010;5(39):16p
12. Anne S, Kosanam S, Prasanthi L. Stevens Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis: A review. IJPR. 2014;4(4):158-65
13. Alerhand S, Casella C, Koyfman A. Stevens Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis in the pediatric population. Pediatr Emer Care.
2016;32:472-8
14. Bohigian GM. The history of Stevens Johnson syndrome and current
management. Hist Ophthal Intern. 2015;1:87-9
15. Magana BR, Langner AL. Stevens Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis in children: A literature review of current treatments. EMJ
Dermatol. 2016;4(1):83- 9
16. Yacoub MR, Berti A, Campochiaro C, Tombetti E, Ramirez GA, Nico A, et
al. Drug induced exfoliative dermatitis: state of the arts. Clin Mol Allergy.
2016;4(9):13
17. Khalili B, Bahna SL. Pathogenesis and recent therapeutic trends in Stevens-
Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Ann Allergy Asthma
Immunol. 2006;97(3):272- 80.
18. Metry DW, Jung P, Levy ML. Use of intravenous immunoglobulin in
children with stevens-johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis:
seven cases and review of the literature. Pediatrics. 2003;112(6 Pt 1):1430- 6

27

Anda mungkin juga menyukai