Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KESANTUNAN BERBAHASA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah

Analisis Kesalahan Berbahasa

Dosen Pengampu : Veni Nurpadillah, M.Pd.

Disusun Oleh:

KELOMPOK 12

1. Vivi Luthfiatus S. 1908110036

2. Rima Nurjannah 1908110037

3. Muhammad Wahdan Nuh 1908110038

4. Siti Maesaroh 1908110039

SEMESTER 4 A

JURUSAN TADRIS BAHASA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Kesantunan Berbahasa” ini tepat pada waktunya. Adapun dari tujuan makalah ini
adalah untuk menambah wawasan mengenai topik yang telah kami bahas dalam
makalah ini.

Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Veni Nurpadillah, M.Pd. selaku
dosen pengampu mata kuliah Analisis Kesalahan Berbahasa, yang telah
memberikan tugas terstruktur ini kepada kami sebagai penambah ilmu
pengetahuan serta wawasan. Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan sarannya untuk makalah yang telah
kami buat ini, agar makalah ini dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan di dalamnya kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Cirebon, 28 Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................1

C. Tujuan Penulisan............................................................................................2

D. Metode Penulisan...........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Pengertian Kesantunan Berbahasa.................................................................3

B. Prinsip Kesantunan Berbahasa.......................................................................4

C. Ciri Kesantunan Berbahasa............................................................................8

D. Bentuk Kesantunan Berbahasa Secara Linguistik..........................................9

E. Penyebab Ketidaksantunan Berbahasa........................................................10

E. Pengertian Norma........................................................................................12

G. Fungsi Norma..............................................................................................13

D. Pengertian Interpretatif dan Interaksi...........................................................14

BAB III PENUTUP...............................................................................................15

1. Simpulan........................................................................................................15

2. Saran..............................................................................................................15

Daftar Pustaka........................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bahasa digunakan oleh masyarakat sebagai alat komunikasi
antarsesama karena masyarakat itu terdiri atas berbagai lapisan, tentunya
bahasa yang digunakan akan bervariasi. Dalam kehidupan bermasyarakat,
seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah, tetapi sebagai
anggota dari kelompok sosial. Oleh karena itu, bahasa dan pemakaiannya
tidak diamati secara individual, tetapi dihubungkan dengan kegiatannya di
dalam masyarakat. Namun, untuk dapat berbahasa dengan santun tentunya
harus menguasai bahasa dengan baik.
Sebagai salah satu aktivitas berbahasa, berbicara merupakan
kemampuan berbahasa yang paling dominan digunakan oleh masyarakat.
Terkait dengan aktivitas berbicara yang dilakukan oleh manusia di tengah
kehidupan masyarakat maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks
kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa pada hakikatnya erat kaitannya
dengan hubungan sosial dalam masyarakat. Kesantunan berbahasa sendiri
merupakan pengungkapan gagasan, ide atau pendapat untuk saling membina
kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur yang disertai dengan
etika serta perilaku yang baik menurut norma-norma sosial budaya yang
berlaku dalam masyarakat. Jadi, sudah lazim apabila setiap penutur
memperlakukan kesantunan berbahasa sebagai suatu konsep yang tegas dan
harus diwujudkan dalam proses komunikasi antarsesama dalam kehidupan
bermasyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kesantunan berbahasa?
2. Bagaimana prinsip kesantunan berbahasa?
3. Apa saja ciri kesantunan berbahasa?
4. Apa saja bentuk kesantunan berbahasa secara linguistik?
5. Bagaimana penyebab ketidaksantunan berbahasa?
6. Apa pengertian norma?
7. Bagaimana fungsi norma?
8. Apa pengertian dari interpretatif dan interaksi?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari kesantunan berbahasa.
2. Mengetahui prinsip kesantunan berbahasa.
3. Mengetahui ciri kesantunan berbahasa.
4. Mengetahui bentuk kesantunan berbahasa secara linguistik.
5. Mengetahui penyebab ketidaksantunan berbahasa.
6. Mengetahui pengertian norma.
7. Mengetahui fungsi dari norma.
8. Mengetahui pengertian interpretatif dan interaksi.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan metode kajian pustaka,
dimana penulis mempelajari mengkaji berbagai referensi dan diperkuat
dengan pendapat dari beberapa ahli terkait tema pada makalah ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesantunan Berbahasa


Tarigan (2015:45) kesantunan adalah dapatnya ungkapan-ungkapan itu
secara tepat menerangkan aneka asimetris yang seperti itu dan
konsekuensinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lakoff dalam
Rahardi (2009: 27) menyatakan bahwa kesopanan berbahasa dapat dicermati
dari tiga hal, yakni dari sisi keformalan, ketidaktegasannya, dan peringkat
kesejajaran atau kesekawanannya. Semakin tidak formal, semakin tidak tegas,
semakin rendah peringkat kesejajarannya maka dipastikan bahwa tuturan itu
akan memiliki kesopanan yang lebih rendah. Sebaliknya, semakin formal,
semakin tegas, semakin jarak kesekawanannya, akan semakin tinggilah
tingkat kesopanan berbahasanya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
kesantunan berbahasa adalah tidak hanya kesopanan dan kehalusan dalam
menggunakan bahasa ketika berkomunikasi melalui lisan maupun tulisan
akan tetapi memerlukan konsep wajah negatif dan positif kepada lawan tutur
tergantung situasi dan kondisinya. Sopan santun adalah dengan suatu norma
dan perilaku yang dianggap khas untuk sebuah situasi tertentu dalam sebuah
percakapan yang membantu seseorang untuk lebih menghargai lawan
bicaranya.
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang
dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena didalam
komunikasi, penutur dan  petutur tidak hanya dituntut menyampaikan
kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan
hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur  tetap terjaga apabila
masing- masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan.
Dengan perkataan lain, baik penutur maupun petutur memiliki kewajiban
yang sama untuk menjaga muka. Kesantunan (politeness), kesopansantunan
atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam

3
masyarakat. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi
lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita
tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekadar menyampaikan ide
yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur
budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu
bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak
sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif,
misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois,
tidak  beradat, bahkan tidak berbudaya. Tata cara berbahasa sangat penting
diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi
kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus
mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar  mengajar bahasa.
Dengan mengetahui tata cara berbahasa diharapkan orang lebih bisa
memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tata cara
berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut:
1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.
2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.
3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan.
4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara.
6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.
Tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku
bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tata cara berbahasa orang Inggris
berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-
sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tata cara berbahasa orang Jawa berbeda
dengan tata cara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama
berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah
mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya.
B. Prinsip Kesantunan Berbahasa
Proses komunikasi yang dilakukan oleh seseorang kepada lawan bicara
harus memegang prinsip-prinsip kesopanan berbahasa. Dijelaskan oleh Leech

4
dan Wijana dalam Nadar (2009: 29) bahwa dalam suatu interaksi para pelaku
memerlukan prinsip lain selain prinsip kerjasama yaitu prinsip kesopanan.
Prinsip sopan santun berfungsi menjaga keseimbangan sosial dan keramahan
hubungan dalam percakapan. Hanya dengan hubungan yang demikian kita
dapat mengharapkan bahwa keberlangsungan percakapan akan dapat
dipertahankan sehingga dalam bertutur prinsip sopan santun diperlukan untuk
menjaga keharmonisan tuturan dalam hubungan sosial.
Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan,
yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur,
dan orang lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang dibicarakan penutur
dan lawan tutur. Menurut Rahardi (2005: 60-66) dalam bertindak tutur yang
santun, agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada peserta tutur,
komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip kesantunan
berbahasa.
Prinsip kesopanan mempunyai sejumlah maksim yakni:
1. Maksim Kearifan (Tact Maxim)
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.
a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin;
b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
Maksim kearifan ini mengacu pada mitra tutur. Leech dalam
Rusminto mengemukakan bahwa ilokusi tidak langsung cenderung lebih
sopan dari pada ilokusi yang bersifat langsung22. Hal ini didasari dua
alasan sebagai berikut.
a. Ilokusi tidak langsung menambah derajat kemanasukaan
b. Ilokusi tidak langsung memiliki daya yang semakin kecil dan semakin
tentatif.
Rahardi (2005: 60) mengungkapkan gagasan dasar dalam maksim
kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta
pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi
keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain
dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan

5
melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang
santun. Wijana (1996: 56) menambahkan bahwa semakin panjang tuturan
seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan
kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara
tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang
diutarakan secara langsung. Dalam maksim kebijaksanaan ini, Leech
(1993: 206) menggunakan istilah maksim kearifan.
2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Maksim kedermawanan mengandung prinsip sebagai berikut.
a. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin,
b. Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
Maksim kedermawanan ini menggunakan skala pragmatik yang sama
dengan maksim kearifan, yakni skala untung rugi, karena maksim
kedermawanan mengacu pada diri penutur. Hal inilah yang menyebabkan
maksim kedermawanan berbeda dengan maksim kearifan, sebab dalam
maksim kearifan tidak tersirat adanya unsur kerugian pada diri penutur.
Rahardi (2005: 61) mengatakan bahwa dengan maksim
kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan
diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang
lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya
sendiri danmemaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Chaer (2010: 60)
menggunakan istilah maksim penerimaan untuk maksim kedermawanan
Leech.
3. Maksim Pujian (Approbation Maxim)
Maksim pujian berbunyi, sebagai berikut.
a. Kecamlah mitra tutur sesedikit mungkin;
b. Pujilah mitra tutur sebanyak mungkin
Maksim ini lebih mementingkan aspek negatifnya, yaitu ‘jangan
mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan tentang orang lain
terutama tentang mitra tutur kepada mitra tutur. Menurut Wijana (1996:
57) maksim penghargaan atau pujian ini diutarakan dengan kalimat

6
ekspresif dan kalimat asertif. Nadar (2009: 30) memberikan contoh
tuturan ekspresif yakni mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih,
memuji, dan mengungkapkan bela sungkawa. Dalam maksim ini
menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat
kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang
lain. Rahardi (2005: 63) menambahkan, dalam maksim penghargaan
dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam
bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain.
Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling
mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain.
4. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.
a. pujilah diri sendiri sesedikit mungkin;
b. kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
Hal ini berarti bahwa memuji diri sendiri merupakan pelanggaran
terhadap prinsip sopan santun dan sebaliknya mengecam diri sendiri
merupakan suatu tindakan yang sopan dalam percakapan, karena semakin
penutur mengecam dirinya maka semakin sopanlah tuturan tersebut.
Lebih dari itu, sepakat dan mengiyakan pujian orang lain terhadap diri
sendiri juga merupakan pelanggaran pada maksim kerendahan hati ini.
5. Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim)
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.
a. Usahakan agar ketaksepakatan antara diri penutur dan mitra tutur
terjadi sedikit mungkin;
b. Usahakan agar kesepakatan antara diri penutur dengan mitra tutur
terjadi sebanyak mungkin.
Maksim kesepakatan ini berdiri sendiri dan menggunakan skala
kesepakatannya sebagai dasar acuannya. Hal ini disebabkan oleh adanya
acuan ganda yang menjadi sasaran maksim kesepakatan ini, yaitu dua
pemeran sekaligus (mitra tutur dan penutur). Dalam sebuah percakapan
diusahakan penutur dan mitra tutur menunjukkan kesepakatan tentang

7
topik yang dibicarakan. Jika itu tidak mungkin, penutur hendaknya
berusaha kompromi dengan melakukan ketidaksepakatan sebagian, sebab
bagaimanapun ketidaksepakatan sebagian lebih disukai daripada
ketidaksepakatan sepenuhnya.
6. Maksim Simpati (Sympathy Maxim)
Sama halnya dengan maksim kesepakatan, maksim simpati tidak
berpasangan dengan maksim lainnya. Maksim ini menggunakan skala
simpati sebagai dasar acuannya. Sasaran pada maksim simpati ini adalah
penutur dan mitra tutur. Maksim simpati mengandung prinsip sebagai
berikut:
a. Kurangilah rasa antipati antara diri penutur dengan mitra tutur hingga
sekecil mungkin;
b. Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara penutur dan mitra
tutur.
Bila lawan tutur memperoleh keberuntungan atau kebahagiaan
penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika lawan tutur mendapat
kesulitan atau musibah, penutur sudah sepantasnya menyampaiknya rasa
duka atau belasungkawa sebagai tanda simpati. Sikap antipati terhadap
salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun.
Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap
sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu
sopan santun di dalam masyarakat (Rahardi, 2005: 5).
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesantunan,
kesopansantunan, atau etika adalah tatacara, adat, atau yang berlaku dalam
masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan
disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan
sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena
itu, kesantunan ini biasa disebut tata krama.
C. Ciri Kesantunan Berbahasa
Kesantunan berbahasa seseorang, dapat diukur dengan beberapa jenis
skala kesantunan. Chaer (2010: 63) menyatakan bahwa yang dimaksud

8
dengan skala kesantunan adalah peringkat kesantunan, mulai dari yang tidak
santun sampai dengan yang paling santun.
Berdasarkan keenam maksim kesantunan yang dikemukakan Leech
(1993: 206), Chaer (2010: 56-57) memberikan ciri kesantunan sebuah tuturan
sebagai berikut:
1. Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang
itu untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.
2. Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan
dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
3. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih
santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).
Zamzani, dkk. (2010: 20) merumuskan beberapa ciri tuturan yang baik
berdasarkan prinsip kesantunan Leech, yakni sebagai berikut:
1. Tuturan yang menguntungkan orang lain.
2. Tuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri.
3. Tuturan yang menghormati orang lain.
4. Tuturan yang merendahkan hati sendiri.
5. Tuturan yang memaksimalkan kecocokan tuturan dengan orang lain.
6. Tuturan yang memaksimalkan rasa simpati pada orang lain.
Dalam sebuah tuturan juga diperlukan indikator-indikator untuk
mengukur kesantunan sebuah tuturan, khususnya diksi. Pranowo (2009: 104)
memberikan saran agar tuturan dapat mencerminkan rasa santun, yakni
sebagai berikut:
1. Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan pada orang lain.
2. Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan akan menyinggung
perasaan lain.
3. Gunakan kata “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang
lain.
4. Gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain melakukan
sesuatu.
D. Bentuk Kesantunan Berbahasa Secara Linguistik

9
1. Diksi
Salah satu faktor penentu bentuk kesantunan yaitu penggunaan pilihan
kata (diksi) yang tepat sesuai dengan peristiwa tutur dan lawan tutur.
Contoh diksi yang tepat pada situasi pergaulan:
Mahasiswa : “Eh itu Teh Fera belum selesai kuliahnya?”
Kata “belum” pada tuturan di atas menandakan bahwa penutur
berbicara secara wajar dan tidak berlebih-lebihan. Tuturan di atas
menyatakan bahwa mahasiswa heran melihat kakak tingkatnya yang
seharusnya sudah lulus tetapi masih berada di kampus. Tuturan dengan
menggunakan kata “belum” dapat dikatakan santun karena penutur
berbicara dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak ada motivasi untuk
menyinggung perasaan orang lain.
2. Intonasi
Faktor intonasi sangat mempengarui kesan lawan tutur terhadap
sebuah tuturan. Penutur akan dikatakan santun ketika ia mampu menguasai
perasaan, emosi yang ada dalam dirinya ketika berkomunikasi dengan
orang lain. Pelafalan yang jelas akan membuat komunikasi berjalan
dengan lancar. Begitupun nada tuturan harus sesuai situasi, topik
pembicaraan, lawan tutur, dan jarak. Penutur yang berbicara dengan nada
keras pada lawan tuturnya dengan jarak yang dekat akan memberikan
kesan bahwa penutur tidak dapat berbicara dengan santun. Sebaliknya jika
penutur berbicara dengan nada lemah lembut pada lawan tutur yang berada
pada jarak dekat dengannya, maka ia akan dikatakan penutur yang santun.
3. Struktur Kalimat
Penggunaan struktur yang benar mempengaruhi penilaian lawan tutur
terhadap sebuah tuturan. Penutur hendaknya menggunakan struktur
kalimat yang baik, dapat dipahami dan diterima dengan udah tanpa
menyinggung perasaan lawan tutur.
E. Penyebab Ketidaksantunan Berbahasa

10
Pranowo (melalui Chaer, 2010: 69) menyatakan bahwa ada beberapa
faktor atau hal yang menyebabkan sebuah pertuturan itu menjadi tidak santun.
Penyebab ketidaksantunan itu antara lain.
1. Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar
Menurut Chaer (2010: 70) kritik kepada lawan tutur secara langsung
dan dengan menggunakan kata-kata kasar akan menyebabkan sebuah
pertuturan menjadi tidak santun atau jauh dari peringkat kesantunan.
Dengan memberikan kritik secara langsung dan menggunakan kata-kata
yang kasar tersebut dapat menyinggung perasaan lawan tutur, sehingga
dinilai tidak santun.
Contoh: “Pemerintah memang tidak becus mengelola uang. Mereka
bisanya hanya mengkorupsi uang rakyat saja.”
Tuturan di atas jelas menyinggung perasaan lawan tutur. Kalimat di
atas terasa tidak santun karena penutur menyatakan kritik secara langsung
dan menggunakan kata-kata yang kasar.
2. Dorongan rasa emosi penutur
Chaer (2010: 70) mengungkapkan, kadang kala ketika bertutur
dorongan rasa emosi penutur begitu berlebihan sehingga ada kesan bahwa
penutur marah kepada lawan tuturnya. Tuturan yang diungkapkan dengan
rasa emosi oleh penuturnya akan dianggap menjadi tuturan yang tidak
santun.
Contoh: “Apa buktinya kalau pendapat anda benar? Jelas-jelas
jawaban anda tidak masuk akal.”
Tuturan di atas terkesan dilakukan secara emosional dan kemarahan.
Pada tuturan tersebut terkesan bahwa penutur tetap berpegang teguh pada
pendapatnya, dan tidak mau menghargai pendapat orang lain.
3. Protektif terhadap pendapat
Menurut Chaer (2010: 71), seringkali ketika bertutur seorang penutur
bersifat protektif terhadap pendapatnya. Hal ini dilakukan agar tuturan
lawan tutur tidak dipercaya oleh pihak lain. Penutur ingin memperlihatkan

11
pada orang lain bahwa pendapatnya benar, sedangkan pendapat mitra
tutur salah. Dengan tuturan seperti itu akan dianggap tidak santun.
Contoh: “Silakan kalau tidak percaya. Semua akan terbukti kalau
pendapat saya yang paling benar.”
Tuturan di atas tidak santun karena penutur menyatakan dialah yang
benar; dia memproteksi kebenaran tuturannya. Kemudian menyatakan
pendapat yang dikemukakan lawan tuturnya salah.
4. Sengaja menuduh lawan tutur
Chaer (2010: 71) menyatakan bahwa acapkali penutur menyampaikan
tuduhan pada mitra tutur dalam tuturannya. Tuturannya menjadi tidak
santun jika penutur terkesan menyampaikan kecurigaannya terhadap mitra
tutur.
contoh: “Hasil penelitian ini sangat lengkap dan bagus. Apakah yakin
tidak ada manipulasi data?”
Tuturan di atas tidak santun karena penutur menuduh lawan tutur atas
dasar kecurigaan belaka terhadap lawan tutur. Jadi, apa yang dituturkan
dan juga cara menuturkannya dirasa tidak santun.
5. Sengaja memojokkan mitra tutur
Chaer (2010: 72) mengungkapkan bahwa adakalanya pertuturan
menjadi tidak santun karena penutur dengan sengaja ingin memojokkan
lawan tutur dan membuat lawan tutur tidak berdaya. Dengan ini, tuturan
yang disampaikan penutur menjadikan lawan tutur tidak dapat melakukan
pembelaan.
Contoh: “Katanya sekolah gratis, tetapi mengapa siswa masih diminta
membayar iuran sekolah? Pada akhirnya masih banyak anak-anak yang
putus sekolah.”
Tuturan di atas terkesan sangat keras karena terlihat keinginan untuk
memojokkan lawan tutur. Tuturan seperti itu dinilai tidak santun, karena
menunjukkan bahwa penutur berbicara kasar, dengan nada mara, dan rasa
jengkel.
F. Pengertian Norma

12
Norma berasal dari bahasa Belanda yaitu 'norm' yang berarti patokan,
pedoman, atau pokok kaidah. Sementara, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga
kelompok dalam masyarakat. Norma yang ada dalam masyarakat berisi tata
tertib aturan dan petunjuk standar. Kemudian norma yang berlaku dalam
masyarakat biasanya berisi aturan tak tertulis. Meski tak tertulis, norma atau
aturan yang ada secara sadar dipatuhi oleh masyarakat. Jadi, norma memang
pada dasarnya dibuat untuk dilaksanakan. Ada berbagai macam-macam
norma, yakni norma agama, norma kesopanan, norma hukum, dan norma
kesusilaan. Pengertian Norma Menurut Para Ahli, di bawah ini merupakan
pengertian norma menurut para ahli, diantaranya sebagai berikut :
1. Isworo Hadi Wiyono
Menurut Isworo Hadi Wiyono, pengertian norma ini merupakan suatu
peraturan atau petunjuk hidup yang memberi ancar-ancar perbuatan mana
yang boleh dijalankan serta juga perbuatan mana yang harus dihindari
untuk mewujudkan ketertiban dan juga keteraturan dalam masyarakat.
2. E. Ultrecht
Menurut E. Ultrecht, arti norma merupakan semua petunjuk hidup yang
mengatur tata tertib didalam suatu masyarakat atau juga bangsa yang
mana peraturan itu diwajibkan untuk ditaati oleh tiap-tiap masyarakat,
apabila ada yang melanggar maka akan ada tindakan/sanksi dari
pemerintah.
3. John J. Macionis
Menurut John J. Macionis, pengertian norma ini merupakan aturan-aturan
serta juga harapan-harapan masyarakat yang memandu sebuah perilaku
anggota-anggotanya.
4. Soerjono Soekano
Menurut Soerjono Soekano, pengertian norma ini merupakan sebuah
perangkat aturan supaya hubungan antar manusia di dalam masyarakat
terjalin dengan baik.
G. Fungsi Norma

13
Norma memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan di masyarkat.
Fungsi-fungsi norma tersebut ialah sebagai berikut:
1. Bisa mencegah terjadinya benturan kepentingan masyarakat
2. Dapat menciptakan kehidupan masyarakat menjadi aman, tenteram, dan
tertib.
3. Memberi petunjuk atau pedoman bagi setiap individu dalam menjalani
kehidupan di masyarakat.
4. Membantu mencapai tujuan bersama dalam masyarakat.
5. Mengatur tingkah laku masyarakat agar sesuai nilai yang berlaku.
6. Memberikan batasan, yaitu berupa larangan atau perintah dalam
berperilaku dan bertindak.
7. Memaksa individu dalam menyesuaikan dan beradaptasi dengan
normanorma yang berlaku yang ada dalam masyarakat serta menyerap
nilai-nilai yang diharapkan.
H. Pengertian Interpretatif dan Interaksi
Pengertian interpretatif adalah suatu kata yang bersifat adanya kesan,
pendapat dan pandangan yang berhubungan dengan adanya tafsiran.
Sedangkan interaksi merupakan suatu proses yang sifatnya timbal balik dan
mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku, baik melalui kontak langsung
atau tidak langsung.

14
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
B. Saran

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdulloh. (2019). Prinsip Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Masyarakat Desa


Betung Kecamatan Pematangsawa Kabupaten Tanggamus. Ksatra:
Jurnal Kajian Bahasa dan Sastra, 1(1), 97-108.
http://jurnal.stkippgribl.ac.id/index.php/ksastra.
Mislikhah, St. (2014). Kesantunan Berbahasa. Ar-Raniry: International Journal of
Islamic Studies, 1(2), 285-296. www.journalarraniry.com.
Anggraini, N., Rahayu, N., & Bambang, D. (2019). Kesantunan Berbahasa
Indonesia dalam Pembelajaran di Kelas X MAN 1 Model Kota
Bengkulu. Jurnal Ilmiah Korpus, 3(1), 42-54.
Devianty, Rina. (2020). Prinsip Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Tindak
Tutur Mahasiswa. Jurnal Repository, 1-99.
http://repository.uinsu.ac.id/id/eprint/8476.
Mardiyah. (2016). Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Berkomunikasi Dosen
dan Mahasiswa IAIN Raden Intan Lampung. Terampil: Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran Dasar, 3(1), 45-62.
Putri, A. S. (2019, Desember 14). Ruang dan Interaksi Antarruang: Pengertian,
Syarat dan Bentuknya. Dipetik Mei 29, 2021, dari Kompas.com:
https://www.kompas.com/.

16

Anda mungkin juga menyukai