Anda di halaman 1dari 12

JAM’UL QUR’AN

(PENGUMPULAN AL QUR’AN)
Muhammad Imam Asy Syakir
dan
Sandi Pujiansyah

Pendahuluan
Sebagaimana telah masyhur di kalangan umat Islam, al Qur’an turun
kepada Nabi Muhammad saw. secara mutawatir dan tidak sekaligus, dengan
begitu maka keseluruhan struktur ayat juga suratnya hadir secara terpisah-pisah
kepada Nabi saw. Oleh karena itu, al Qur’an yang ada sekarang dalam bentuk
mushaf atau pula lembaran-lembaran yang dijiid, sebelumnya mengalami proses
yang panjang dalam pengkodifikasiannya dari bagian-bagian yang terpisah-pisah,
dari kulit binatang, pelepah kurma, batu, dan lain-lain.
Proses tersebut dikenal dengan isitilah jam’ul Qur’an atau pengumpulan al
Qur’an. Dalam pembahasan mengenai pengumpulan Qur’an ini, muncul diskursus
seperti berikut.
A. Pengumpulan Al Qur’an
Al Hakim berkata dalam al Mustadrak, Al Qur’an itu dikumpulkan dalam
tiga masa.1
1. Masa Nabi saw.
2. Masa Abu Bakar ra.
3. Masa Utsman ra. (Penertiban Surat)

1. Masa Nabi saw.


a. Penulis Wahyu Nabi Muhammad saw
Sekitar kurang lebih enam puluh lima sahabat ditugaskan oleh Nabi
Muhammad saw bertindak sebagai penulis wahyu. Mereka adalah Abban bin
Sa’id, Abu Umama, Abu Ayyub al Anshary, Abu Bakar as Sidiq, Abu Hudzaifah,
Abu Sufyan, Abu Salamah, Abu Abbas, Ubayy bin Ka’ab, al Arqam, Usaid bin al
Hudair, Aus, Buraida, Bashir, Tsabit bin Qais, Ja’far bin Abi Thalib, Jahm bin
Sa’ad, Suhaim, Hatib, Hudzaifah, Husain, Hanzalah, Huwaiti, Khalid bin Sa’id,
Khalid bin Walid, az Zubair bin al Awwam, Zubair bin Arqam, Zaid bin Tsabit,
Sa’ad bin Rabi’, Sa’ad bin Ubada, Sa’id bin Sa’id, Shurahbil bin Hasna, Thalhah,
Amir bin Fuhaira, Abbas, Abdullah bin al Arqam, Abdullah bin Abi Bakar,
Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin Zaid, Abdullah bin Sa’ad, Abdullah bin
Abdullah, Abdullah bin Amr, Utsaman bin Affan, Uqbah al A’la bin Uqbah, Ali
bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Amr bin al Ash, Muhammad bin Maslamah,

1
As Suyuthi, Al Itqaan fi ‘Ulumil Qur’an, Kairo, Darul Hadits, 2006. Halaman: 186.

1
Mu’adz bin Jabal, Mu’awiyyah, Ma’an bin ‘Adi, Mu’aqib bin Mughirah,
Mundhir, Muhajir, dan Yazid bin Abi Sufyan.2
b. Tradisi Penulisan Al Qur’an di Kalangan Sahabat
Praktik yang biasa di kalangan sahabat tentang penulisan Al Qur’an,
menyebabkan Nabi Muhammad melarang orang-orang menulis sesuatu selain Al
Qur’an, sebagaimana ucapan beliau, “dan siapa yang telah menulis sesuatu dariku
selain Al Qur’an, maka ia harus menghapusnya.”3 Beliau ingin agar Al Qur’an
dan hadits tidak ditulis pada halaman kertas yang sama agar tidak terjadi campur
aduk serta kekeliruan.4
Al Hakim meriwayatkan dalam al Mustadrak dengan sanad yang memenuhi
persyaratan Syaikhain (Bukhary dan Muslim) dari Zaid bin Tsabit, ia berkata:
“Kami menyusun Qur’an di hadapan Rasulullah saw. pada kulit binatang.5
c. Bentuk al Qur’an pada masa Nabi Muhammad saw.
Meski Nabi Muhammad telah mencurahkan segala upaya yang mungkin
dapat dilakukan dalam memelihara al Qur’an, beliau tidak merangkum semua
surah ke dalam satu jilid, sebagaimana ditegaskan oleh Zaid bin Tsabit dalam
pernyataannya,

ْ ‫سلَّ َم َولَ ْم يَ ُك ْن ْالقُ ْرآن ُج ِم َع فِي ش‬


.‫َيء‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ َ ِ‫قُب‬
ّ ِ‫ض النَّب‬
َ ‫ي‬
“Saat Nabi Muhammad wafat, al Quran masih belum dikumpulkan dalam satuan
bentuk buku.”6
Disini kita perlu memperhatikan penggunaan kata ‘pengumpulan’ bukan
‘penulisan’. Dalam komentarnya, al Khattabi menyebut, “Catatan ini memberi
isyarat akan kelangkaan buku tertentu yang memiliki ciri khas tersendiri.
Sebenarnya, kitab al Qur’an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi
Muhammad. Hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga masih
belum tersusun.”7
Penyusunan al Qur’an dalam satu jilid utama boleh jadi merupakan satu
tantangan karena nasikh dan mansukh yang muncul kemudian dan perubahan
ketentuan hukum maupun kata-kata dalam ayat tertentu memerlukan penyertaan
ayat lain secara tepat. Hilangnya satu format halaman akan sangat merendahkan
penyertaan ayat-ayat yang baru serta surahnya karena wahyu tidak berhenti untuk
beberapa saat sebelum Nabi Muhammad wafat. Dengan wafatnya Nabi
Muhammad berarti wahyu berakhir untuk selamanya. Tidak akan terdapat ayat
lain, perubahan hukum, serta penyusunan ulang. Ini berarti kondisi itu telah

2
Prof. Dr. M.M. al A’zami, The History of The Qur’anic Text from Revelation to Compilation: A
Comparative Study with the Old and New Testaments, Jakarta, Gema Insani Press, 2005. Halaman:
72.
3
ُ ‫آن فَ ْليَ ْم‬
Muslim, Shahih Muslim, Kitab az Zuhd. )‫(الحديث‬...ُ‫حه‬ ِ ‫غي َْر ْالقُ ْر‬
َ ‫عنِّي‬ َ ‫َو َم ْن َكت‬
َ ‫َب‬
4
Prof. Dr. M.M. al A’zami, Op.cit., halaman: 73.
5
)‫(الحديث‬....‫كنّا عند رسول هللا ص نألف القرأن من الرقاع‬
6
Ibnu Hajar al Asqalaniy, Fathul Bari. Jam’ul Qur’an.
7
As Suyuthi, Op.cit., halaman:

2
mapan dalam waktu yang tepat guna memulai penyatuan al Qur’an ke dalam satu
jilid. Allah swt. Memberi bimbingan para sahabat dalam memberi pelayanan
terhadap al Qur’an sebagaimana mestinya memenuhi janji pemeliharaan
selamanya terhadap Kitab-Nya.
ْ ‫ِإنَّا نَحْ ُن‬
ُ ِ‫نزلنَا ال ِذّ ْك َر َو ِإنَّا لَهُ لَ َحاف‬
. َ‫ظون‬
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al Quran, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya.”8
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya.”9 Rasulullah saw adalah hafiz
(penghafal) Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat
dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan
sumber risalah. Qur’an diturunkan selama dua puluh tahun lebih, proses
penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai
sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dlam dada dan ditempatkan
dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati mempunyai daya hafal yang kuat.
Hal itu karena umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-
berita, syair-syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan di hati mereka.10
Karena itulah, pada masa ini al Qur’an secara dominan masih tersimpan
dalam bentuk hafalan-hafalan di ingatan para sahabat.
Dalam kitab shahih-nya Bukhary telah mengemukakan tentang adanya
tujuh hafiz, melalui tiga riwayat11.
1. Abdullah bin Mas’ud
2. Salim bin Ma’qal bekas hamba sahaya Abu Hudzaifah
3. Mu’adz bin Jabal
4. Ubay bin Ka’ab
5. Zaid in Tsabit
6. Abu Zaid bin Sakan, dan

8
Q.S. Al Hijr (15), ayat: 9.
9
Q.S. Al Qiyamah (75), ayat: 17
10
Manna Khalil al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor, Litera AntarNusa, 2009. Halaman:
179.
11
- Riwayat yang pertama dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, “Aku telah mendengar Rasulullah
saw berkata: ‘Ambillah Qur’an dari empat orang, Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz, dan
Ubay bin Ka’ab.” (Keempat orang tersebut, dua orang dari Muhajirin, yaitu Abdullah bin
Ma’ud dan Salim, dan dua orang dari Anshar, yaitu Mu’adz dan Ubay. )
- Riwayat yang kedua dari Qatadah, “Aku telah bertanya kepada Anas bin Malik: “Siapakah
orang yang hafal Qur’an di masa Rasulullah? Dia menjawab, ‘Empat orang. Semuanya dari
kaum Anshar, mereka adalah Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu
Zaid.’ Aku bertanya kepadanya, ‘Siapakah Abu Zaid itu?’ ia menjawab, salah seorang
pamanku.”
- Riwayat ketiga dari Tsabit, dari Anas, “Rasulullah wafat sedang Qur’an belum dihafal kecuali
oleh empat orang: ‘Abu Darda’, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid.”

3
7. Abu Darda’
2. Masa Abu Bakar ra.
Zaid bin Tsabit berkata: “Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan
berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada di sana. Abu
Bakar berkata: ‘Umar datang kepadaku dan mengatakan, bahwa perang di
Yamamah telah menelan banyak korban dari kalangan qurra, dan ia khawatir
kalau-kalau terbunuhnya para qurra itu juga akan terjadi di tempat-tempat lain,
sehingga sebagian besar Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku
memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Qur’an. Maka aku katakan
kepadanya, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah? Tetapi Umar menjawab dan bersumpah, Demi Allah,
perbuatan tersebut baik (Wallahi khairun). Ia terus menerus membujukku
sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerima usulnya dan akhirnya aku
sependapat dengan Umar.’ Zaid berkata lagi: ‘Abu Bakar kepadaku: ‘Engkau
seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau
telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah Qur’an dan
kumpulkanlah.’ ‘Demi Allah’, kata zaid lebih lanjut, ‘sekiranya mereka
memintaku untuk memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku dari
pada perintah mengumpulkan Qur’an. Karena itu aku menjawab: ‘Mengapa Anda
berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah?’ Abu
Bakar menjawab: ‘ Demi Allah, itu baik (Wallahi khairun).’ Abu Bakar tetap
membujukku sehingga Allah membukakan hatiku sebagaimana Ia telah
membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka aku pun mulai mencari Qur’an.
Aku mengumpulkannya dari pelepah kurma (‘usub), kepingan-kepingan batu
(likhaf), dan hafalan para penghafal (shuduurir rijaal), sampai akhirnya aku
mendapatkan akhir surah at Taubah pada Abu Khuzaimah al Anshari, yang tidak
kudapatkan pada orang lain, yaitu ayat, “Sesungguhnya telah datang kepadamu
seorang rasul dari kaummu sendiri.... hingga akhir surah. Lembaran-lembaran
(hasil kerjaku) tersebut kemudian disimpan oleh Abu Bakar sehingga wafatnya.
Sesudah itu, kemudian berpindah tangan kepada Umar sewaktu masih hidup,
selanjutnya berada di tangan Hafsah binti Umar.12
Dan dalam riwayat lain dari Ibnu Abi Daud,
: ‫ع ْن أَبِي ِه" أ َ َّن أ َ َبا َب ْكر قَا َل ِلعُ َمر َو ِلزَ ْي ٍد‬
َ ‫ع ْر َوة‬
ُ ‫ط ِريق ِهشَام بْن‬ َ ‫ضا ِم ْن‬ ً ‫َو ِع ْند ِابْن أ َ ِبي دَ ُاودَ أ َ ْي‬
".ُ‫َّللا فَا ْكت ُ َباه‬
َّ ‫َيء ِم ْن ِكت َاب‬ ْ ‫علَى ش‬ َ ‫علَى َباب ْال َمس ِْجد فَ َم ْن َجا َء ُك َما ِبشَا ِهدَي ِْن‬ َ ‫ا ُ ْقعُدَا‬
“Bahwasannya Abu Bakar mengatakan pada ‘Umar dan Zaid, “Duduklah kalian
berdua di depan pintu gerbang Masjid Nabawi. Jika ada orang yang membawa
(memberi tahu) Anda tentang sepotong (bagian) ayat dari Kitab Allah dengan
dua saksi, maka tulislah.”13
3. Masa Utsman ra. (Penertiban Surat)

12
Lihat, Shahih Bukhary, bab jam’il Qur’an. Dan As Suyuthi, Al Itqaan fi ‘Ulumil Qur’an, fi
jam’ihi wa tartibihi. Kairo, Darul Hadits, 2006. Halaman 186. Dan Az Zarkasy, Al Burhan fi
‘Ulumil Qur’an, fi bayani jam’hi wa min hifdzihis min shahabati rodliallahu ‘anhum.
13
Ibnu Hajar al Asqalaniy, Fathul Bari. Jam’ul Qur’an.

4
Dari Anas ra. Bahwasannya Hudzaifah bin al Yaman datang kepada
Utsman. ia pernah ikut berperang melawan penduduk Syam dalam penaklukkan
Armenia dan Azerbaijan bersama penduduk Irak. Hudzaifah amat terkejut oleh
perbedaan mereka dalam bacaan. Lalu ia berkata kepada Utsman: ‘Selamatkanlah
umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah Kitab)
sebagaimana perselisihan oran-orang Yahudi dan Nashrani.’Utsman kemudian
mengirim surat kepada Hafshah yang isinya: ‘ Sudilah kiranya Anda kirimkan
kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Qur’an itu, kami akan
menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan
mengembalikannya.’ Hafshah mengirimkannya kepada Utsman, dan Utsman
memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan
Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya. Mereka pun
menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Utsman berkata kepada ketiga Quraisy
itu:
‫ فإنه إنما نزل‬,‫إذا اختلفتم أنتم و زيد بن ثابت في شيء من القرآن فاكتبوه بلسان قريش‬
.‫بلسانهم‬
“Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari
Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena Qur’an itu diturunkan dalam
bahasa Quraisy.”
Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya
menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu
kepada Hafshah. Selanjutnya Utsman mengirimkan ke setiap wilayah mushaf baru
tersebut dan memerintahkan agar semua Qur’an atau mushaf lainnya dibakar. Zaid
berkata: ‘ Ketika kami menyalin mushaf, saya teringat akan satu ayat dari surah al
Ahzaab yang pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah, maka kami
mencarinya dan kami dapatkan pada Khuzaimah bin Tsabit al Anshary. Ayat itu
ialah,
...‫من المؤمنين رجال صدقوا ما عاهدوا هللا عليه‬
“Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah.”14 Lalu kami tempatkan ayat ini pada surah
tersebut dalam mushaf.”15
B. Perbedaan Penghimpunan Al Qur’an pada Masa Abu Bakar dan
Utsman
Ibnu Tiin dan Ulama yang lainnya berkata, perbedaan penghimpunan
antara masa Abu Bakar dan Utsman adalah Abu Bakar menghimpun al Qur’an
karena takut hilangnya bagian-bagian dari al Qur’an disebabkan wafatnya para
penghafalnya. Sementara pada masa Utsman lebih disebabkan karena bermacam-
macamnya ragam qira’ah (bacaan) al Qur’an. Sehingga orang-orang pada masa itu

14
Q.S. Al Ahzaab (33), ayat: 23.
As Suyuthi, Al Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, Kairo, Darul Hadits, 2006. Halaman: 190. Dan Manna
15

Khalil al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor, Litera AntarNusa, 2009. Halaman: 193.

5
membaca al Qur’an dengan bahasa (dialek) mereka masing-masing secara
bebas.16
Dalam keterangan lain disebutkan, pengumpulan Qur’an yang dilakukan
Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan atau catatan Qur’an yang bertebaran
di kulit-kulit binatang, tulang belulang dan pelepah kurma, kemudian
dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang
tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak di-mansukh dan mencakup ke tujuh
huruf sebagaimana ketika Qur’an itu diturunkan.
Sedangkan pengumpulan yang dilakukan Utsman adalah menyalinnya
dalam satu huruf di antara ketujuh huruf itu, untuk mempersatukan kaum
Muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam
huruf lainnya.
C. Tertib Ayat
Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari
al Qur’an. Tertib atau urutan ayat-ayat Qur’an ini adalah tauqifi, ketentuan dari
Rasulullah saw. Az Zamakhsyari berkata: ‘(penempatan) ayat-ayat adalah
pengetahuan yang bersifat tauqifi tak ada ruang untuk qiyas di dalamnya.’17
Rasulullah telah membaca sejumlah surah dengan tertib ayat-ayatnya
dalam shalat atau dalam khutbah Jum’at, seperti surah al Baqarah, Ali ‘Imran, dan
Nisaa’. Juga hadits shahih menyatakan bahwa Rasulullah membaca surah al A’raf
dalam shalat Magrib dan dalam shalat Shubuh hari Jum’at membaca surah Alif
Lam Mim. Tanzilul kitabi la raiba fihi (as Sajdah), dan Hal ata ‘alal insani (ad
Dahr), juga membaca surah Qaf pada waktu khutbah, surah Jumu’ah dan surah
Munafiqun dalam shalat Jum’at.
Pula, Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa Qur’an yang telah
disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan Ramadlan dan
pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan Jibril
terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Qur’an seperti yang ada dalam mushaf
yang beredar di antara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. As Suyuthi,
setelah menyebutkan hadits-hadits berkenaan dengan surah-surah tertentu
mengemukakan: “Pembacaan srah-surah yang dilakukan Nabi di hadapan para
sahabat itu menunnjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah taufiqi.
Sebab, para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan
yang mereka dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti
demikian kepada tingkat mutawatir.”18
D. Tertib Surah
Surah adalah sejumlah ayat Qur’an yang mempunyai permulaan dan
kesudahan.
16
As Suyuthi, Op.cit., Halaman: 192.
17
As Suyuthi, Ibid., Halaman: 208.
18
As Suyuthi, Ibid., Halaman: 195. Dan Manna Khalil al Qattan, Op.cit., halaman: 207

6
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surah-surah Qur’an.19
1. Tertib surah itu tauqifi
Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi
sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan
demikian, Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib
sebagaimana tertib-ayat-ayatnya, seperti yang ada di tangan kita sekarang ini,
yaitu tertib mushaf Utsman yang tak ada seorang sahabat pun yang
menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (‘ijma) atas tertib
surah, tanpa suatu perselisihan apa pun.
Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasulullah telah membaca
beberapa surah secara tertib di dalam shalatnya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan
bahwa Nabi pernah membaca beberapa surah mufassal (surah-surah pendek)
dalam satu rakaat. Bukhary meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia
mengatakan tentang surah Bani Israil, Kahfi, Maryam, Taha, dan Anbiya’: ‘Surah-
surah itu termasuk yang diturunkan di Mekah dan yang pertama-tama aku
pelajari.’
Ibnu Aystah meriwayatkan dalam kitab Al Masahif dari Ibnu Wahb, dari
Sulaiman bin Bilal ia berkata: ‘Aku mendengar Rabi’ah ditanya orang, ‘mengapa
surah Baqarah dan Ali Imran didahulukan, padahal sebelum kedua surah itu telah
diturunkan delapan puluh sekian surah Makki, sedang keduanya diturunkan di
Medinah?’ ia menjawab: ‘Kedua surah itu memang didahulukan dan Qur’an
dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya.’
Kemudian katanya: ‘Ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu
dipertanyakan.’20
Ibnul Hishar menguatkan dengan perkataannya, “Tertib surah dan
peletakkan ayat-ayat pada tempatnya itu berdasarkan wahyu semata.”21
2. Tertib surah itu ijtihadi
Dikatakan bahwa teretib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat,
mengingat adanya perbedaan teretib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya
mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian
Mudatsir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzzamil, dan seterusnya hingga akhir
surah makki dan madani.
Dalam mushaf Ibnu Mas’ud yang pertama ditulis adalah surah Baqarah,
kemudian Nisaa’, dan kemudian Ali ‘Imran.
Dalam mushaf ubay yang pertama di tulis ialah Fatimah, Baqarah,
kemudian Nisaa’ dan kemudian Ali Imran.
Diriwayatkan Ibnu Abbas berkata: “Aku bertanya kepada Utsman:
‘Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk kategori masani

19
Manna Khalil al Qattan, Ibid., halaman: 207
20
As Suyuthi, Op.cit., Halaman: 200..
21
Ibid., Halaman: 199.

7
dan Bara’ah yang termasuk mi’in untuk kamu gabungkan kedunya menjadi satu
tanpa kamu tuliskan diantara keduanya bismillahir rahmanir rahim, dan kamu
pun meletakannya pada as-sab’ut tiwal (tujuh surah panjang) Utsman menjawab:
‘Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang mempunyai bilangan ayat.
apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu dan
mengatakan: ‘Letakkanlah ayat ini pada surah yang di dalamnya terdapat ayat anu
dan anu. ‘Surah anfal termasuk surah pertama yang turun di Madinah sedang
surah Bara’ah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surah Anfal serupa
dengan kisah dalam surah Bara’ah, sehingga aku mengira bahwa surah Bara’ah
adalah bagian dari surah Anfal. Dan dalam wafatnya Rasulullah tidak
menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah merupakan bagian dari surah
Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan diantara
keduanya tidak aku tuliskan bismillahir rahmanir rahim serta aku meletakkannya
pula pada as-sab’ut tiwal.
3. Tertib surah itu sebagian tauqifi dan sebagian lagi ijtihadi
Dikatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya
berdasarkan ijtihaj para sahabat.
Ibn Hajar mengatakan: “Tertib sebagian surah-surah atau sebagian
besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai tauqifi. “Untuk mendukung pendapatnya
ini ia mengemukakan hadis Huzaifah as-Saqafi yang di dalamnya antara lain
termuat:
‫ب ِم ْن ْالقُ ْرآن فَأ َ َردْت أ َ ْن ََل أ َ ْخ ُرج َحتَّى‬ ِ ‫ي ِح ْز‬ َ َ ‫ط َرأ‬
َّ ‫ع َل‬ َ : ‫سلَّ َم‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫سول‬ ُ ‫فَقَا َل َلنَا َر‬
‫ َكيْف ت ُ َح ِ ّزبُونَ ْالقُ ْرآن ؟‬: ‫سلَّ َم قُ ْلنَا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ َّ ‫سول‬ ُ ‫ص َحاب َر‬ ْ َ ‫سأ َ ْلنَا أ‬
َ َ‫ قَا َل ف‬. ‫ضيه‬ ِ ‫أ َ ْق‬
َ ‫ع ْش َرة َوث َ ََلث‬
، ‫ع ْش َرة‬ َ ‫س َور َوإِحْ دَى‬ ُ ‫س َور َوتِسْع‬ ُ ‫سبْع‬ َ ‫س َور َو‬
ُ ‫س َور َوخ َْمس‬ ُ ‫ نُ َح ِ ّزبُهُ ث َ ََلث‬: ‫قَالُوا‬
. ‫صل ِم ْن ق َحتَّى ت َْختِم‬ َّ َ‫َو ِح ْزب ْال ُمف‬
“Rasulullah berkata kepada kami, ‘telah datang kepadaku waktu untuk membaca
hizb (bagian) dari Quran, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai. ‘Lalu
kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah: ‘Bagaimana kalian membuat
pembagian Qur’an? Mereka menjawab: ‘Kami membagikan menjadi tiga surah,
lima surah, tujuh surah, sembilan surah, sebelas surah, tiga belas surah, dan
bagian al-mufassal dari Qaf sampai kami khatam.”22
Kata Ibnu Hajar lebih lanjut: “Ini menunjukan bahwa tertib surah-surah
seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surah pada masa Rasulullah.
‘Dan katanya: ‘Namun mungkin juga bahwa yang telah tertib pada waktu itu
hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain.”
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa
pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para
sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian
sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka
sebelum Qur’an dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Utsman Qur’an
dikumpulkan, ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada satu huruf (logat)
22
Lihat Ibnu Hajar, Fathul Bari, Ta’liful Qur’an.

8
dan umat pun menyepakatinya, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka
ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap
berpegang pada mushafnya masing-masing.
E. Ar Rasmul Utsmani
Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu metode
khusus dalam penulisan Qur’an yang disetujui oleh Utsman. para Ulama
menemakan metode tersebut dengan ar Rasmul Utsmani lil Mushaf, yaitu degan
dinisbahkan kepada Utsman. tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang
status hukumnya.
1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasam Utsmani buat Qur’an ini
bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan Qur’an, dan harus
sungguh-sungguh disucikan. Mereka menisbahkan tauqifi dalam penulisan
Qur’an kepada Nabi.
‫وفرق‬
ّ ,‫ وانصب الياء‬,‫حرف القلم‬
ّ ‫ و‬,‫ ألق الدواة‬:)‫فذكروا أنه قال لمعوية (أحد كتبة الوحي‬
ّ ‫ و‬,‫ ومدّ الرحمن‬,‫سن هلل‬
‫ وضع قلمك على أذنيك‬,‫جود الرحيم‬ ّ ‫ و ح‬,‫تعور الميم‬
ّ ‫ وَل‬,‫السين‬
.‫ فإنه أذكرك‬,‫اليسرى‬
“Mereka menyebutkan bahwa Nabi pernah mengatakan kepada Mu’awiyah, salah
seorang penulis wahyu: ‘Letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan ‘ya’,
bedakan ‘sin’, jangan kamu miringkan ‘mim’, baguskan tulisan lafal ‘Allah’,
panjangkan ‘ar Rahman’, baguskan ‘ar Rahim’, dan letakkanlah penamu pada
telinga kirimu, karena yang demikian akan lebiih dapat mengingatkan kamu.”
2. Banyak ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan tauqifi dari Nabi,
tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman dan
diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib
dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Imam Ahmad berpendapat
“Haram hukumnya menyalahi tulisan Mushaf Utsman dalam hal wawu, ya’
alif, atau yang lain.” 23
3. Segolongan orang berpendapat bahwa rasm Utsmani itu hanyalah sebuah
istilah, tatacara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang telah
mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersiar luas di
antara mereka.
Abu Bakar al Baqilani menyebutkan dalam kitabnya al Intisar, “Tak
ada yang diwajibkan oleh Allah mengenai (cara atau bentuk) penulisan
mushaf. Karena itu para penulis Qur’an dan Mushaf tidak diharuskan
menggunakan rasm tertentu yang diwajibkan kepada mereka sehingga tidak
boleh cara lain, hal ini mengingat kewajiban semacam ini hanya dapat
diketahui melalui pendengaran (dalil sam’iy) dan tauqifi. Dan dalam nash-
nash dan konsep Qur’an tidak dijelaskan bahwa rasm atau penulisan Qur’an
itu hanya dibolehkan menurut cara khusus dan batas tertentu yang tidak boleh

23
Manna Khalil al Qattan, Op.cit., halaman: 215.

9
dilanggar. Dalam nash sunnah juga tidak terdapat satu keterangan pun yang
mewajibkan dan menunjukkan hal tersebut. Dalam kesepakatan umat tidak
terdapat pula pendapat yang mewajibkannya. Juga tidak ditunjukkan oleh kias
berdasarkan syari’at, qiyas syar’i. Bahkan, sunnah menunjukkan
dibolehkannya cara penulisan Qur’an menurut cara yang mudah sebab
Rasulullah menyuruh untuk menuliskannya, tetapi tidak menjelaskan kepada
mereka atau melarang seseorang menuliskannya dengan cara tertentu.
Sehingga berbeda-beda tulisan Mushaf. Di antara mereka ada yang
menuliskan kata menurut pengucapan lafal, dan ada pula yang menambah dan
mengurangi, karena ia tahu bahwa yang demikian itu hanyalah sebuah cara.
Dan orang pun mengetahui keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itulah
diperbolehkan menuliskannya dengan huruf-huruf Kufi dan bentuk tulisan
pertama dan boleh pula menjadikan kata ‘kalam’ dalam bentuk kaf,
membengkokkan semua alif dan boleh juga menuliskannya tanpa mengikuti
cara ini semua. Juga diperbolehkan menulis Mushaf dengan tulisan dan ejaan
kuno, dengan tulisan dan ejaan baru, dan dengan tulisan dan ejaan
pertengahan. Apabila tulisan-tulisan Mushaf dan kebanyakan huruf-hurufnya
berbeda dan beragam bentuknya, sedang setiap orang diperbolehkan
menuliskan menurut kebiasaannya, menurut apa yang lebih mudah, populer,
dan utama, tanpa dianggap dosa dan melanggar, maka diketahuilah bahwa
mereka tidak wajib menuliskan menurut cara tertentu, seperti qiraat. Hal
tersebut karena tulisan-tulisan itu hanyalah tanda-tanda dan rasm yang
berfungsi sebagai isyarat, lambang dan rumus. Setiap rasm yang
menunjukkan kata dan menentukan cara pembacaannya haruslah dibenarkan
dan harus dibenarkan pula penulisan rasm itu dalam bentuk bagaimanapun
juga. Ringkasnya, setiap orang yang mengatakan bahwa manusia harus
mengikuti rasm tertentu yang wajib diikuti, ia harus menunjukkan alasan
(hujjah) atas kebenaran pendapatnya itu. Dan tentu saja ia tidak akan dapat
menunjukkannya.”24
Bertitik tolak dari pendapat ini sebagian orang sekarang menyerukan untuk
menuliskan al Qur’anul Karim dengan kaidah –kaidah imla’ yang sudah tersiar
luas dan diakui, sehingga akan memudahkan para pembaca yang sedang belajar
untuk membacanya. Dan di saat membaca Qur’an ia tidak merasakan adanya
perbedaan rasm Qur’an dan rasm imla’ istilahi yang diakui dan dipelajarinya.
Manna Khalil al Qattan menilai pendapat kedua itulah yang kuat, yakni
Qur’an harus ditulis dengan rasm Utsmani yang sudah dikenal dalam penulisan
Mushaf.
Rasm Utsmani adalah rasm (bentuk ragam tulis) yang telah diakui dan
diwarisi oleh umat Islam sejak Utsman. dan pemeliharaan rasm Utsmani
merupakan jaminan kuat bagi penjagaan Qur’an dari perubahan dan penggantian
hurf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan menuliskannya menurut istilah imla’ di
setiap masa, maka hal ini akan mengakibatkan perubahan Mushaf dari masa ke
masa. Bahkan kaidah-kaidah imla’ itu sendiri berbeda-beda kecenderungannya

24
Ibid., halaman: 216.

10
pada masa yang sama, dan bervariasi pula dalam beberapa kata di antara satu
negeri dengan negeri lain.
Perbedaan bentuk tulisan yang disebutkan oleh Abu Bakar al Baqilani
adalh satu hal, dan rasm imla’ adalah hal lain sebab perbedaan bentuk tulisan
adalah perubahan dalam bentuk huruf, bukan dalam rasm kata. Mengenai alasan
kemudahan membaca bagi para siswa dan pelajar dengan meniadakan
pertentangan antara rasm imla’ istilahi, tidaklah dapat menghindarkan perubahan
tersebut yang akan mengakibatkan kekurangcermatan dalam penulisan Qur’an.
Dalam Syu’abul Iman al Baihaqi mengatakan: “Barang siapa menulis
Mushaf, hendaknya ia memperhatikan ejaan (kaidah imla’) yang mereka pakai
dalam penulisan mushaf-mushaf dahulu, janganlah menyalahi mereka dalam hal
itu dan jangan pula mengubah apa yang telah mereka tulis sedikit pun. Ilmu
mereka lebih banyak, lebih jujur hati dan lisannya, serta lebih dapat dipercaya
daripada kita. Maka bagi kita tidak pantas menyangka bahwa diri kita lebih tahu
dari mereka.”25
F. Perbaikan Rasm Utsmani
Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena
semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih
murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian
titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya
percampuran (dengan bahasa non-Arab), maka para penguasa merasa pentingnya
ada perbaikan syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang
benar. Para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan untuk
hal itu. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu
adalah Abul Aswad ad Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa Arab,
atas permintaan Ali bin Abi Thalib.
Diriwayatkan, konon Abul Aswad ad Du’ali pernah mendengar seorang
qari membaca firman Allah ‫( إن هللا بريئ من المشركين ورسو ِله‬at Taubah, 9:3).
Kesalahan qari itu pada pembacaan kasrah ‘lam’ dalam kata ‫رسو ِله‬. Hal ini
mengejutkan Abul Aswad dan katanya: “Maha Tinggi Allah untuk meninggalkan
Rasul-Nya.” Kemudian ia pegi menghadap Ziyad, Gubernur Basrah, dan katanya:
“Kini aku akan penuhi apa yang pernah Anda minta padaku.”
As Suyuthi menyebutkan dalam al Itqan bahwa Abul Aswad ad Du’ali
adalah orang pertama yang melakukan usaha itu atas perintah Abdul Malik bin
Marwan, bukan atas perintah Ziyad. Ketika itu orang telah membaca Mushaf
Utsman selama lebih dari empat puluh tahun hingga masa kekhalifahan Abdul
Malik. Tetapi masih juga banyak orang yang membuat kesalahan dan kesalahan
itu merajalela di Irak. Maka para penguasa memikirkan pembuatan tanda baca,
titik, dan syakal.

25
Ibid., halaman: 217.

11
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena
khawatir akan terjadi penambahan dalam Qur’an, berdasarkan ucapan Ibnu
Mas’ud: “Bersihkanlah Qur’an dan jangan dicampur adukkan dengan apa pun.”
Namun, kemudian akhirnya hal itu sampai kepada hukum boleh dan
bahkan anjuran. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Daud dari al Hasan dan Ibnu Sirin
bahwa keduaya mengatakan: “Tidak ada salahnya memberikan titik pada
Mushaf.” Dan diriwayatkan pula Rabi’ah bin Abi Abdurrahman mengatakan:
“Tidak mengapa memberi syakal pada Mushaf.” An Nawawi mengatakan:
“Pemberian titik dan pensyakalan Mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia
dapat menjaga Mushaf dari kesalahan dan penyimpangan.”26
G. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa
kemurnian atau autentifikasi al Qur’an tetap terjaga dengan usaha-usaha yang
telah dilakukan generasi terbaik dari umat Islam. Dan hal ihwal yang selalu
dijadikan dalih untuk melemahkan kepercayaan terhadap Qur’an dan kecermatan
pengumpulannya tak dapat menegasikan janji Allah, “Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.”27

Wallahu ‘Alaam bish Shawwab

26
Ibid., halaman: 218.-221.
27 ْ ُ‫ِإنَّا نَحْ ن‬
Q.S. al Hijr (15), ayat: 9. َ‫نزلنَا ال ِذّ ْك َر َو ِإنَّا لَهُ لَ َحافِظُون‬

12

Anda mungkin juga menyukai