Anda di halaman 1dari 9

Penyimpangan dalam ilmu kalam

Makalah Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu


Kalam
Disusun Oleh Kelompok 4:

Berenda Permata Sari ( 1532100093 )


Desi Ratna Sari(1532100100)

DOSEN PENGAMPU :
SRI HANDAYANI,M. Pd

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2015/2016
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. Wb.


Makalah ini bersumber pada pedoman “Sejarah Pemikiran Islam” tentang Ilmu Kalam. Makalah
ini disusun dengan harapan dapat monolong para mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan Ilmu Kalam
yang merupakan bagian dari mata kuliah dasar dari seluruh fakultas keguruan tinggi agama.
Makalah kami ini berjudul “Sejarah Kemunculan Ilmu Kalam danPermasalahannya.”Karena iu
kita bisa tau bagaimana sejarah Ilmu Kalam, ini merupakan salah satu wacana dalam mengisi kegiatan
agama, utamanya di kalangan dunia Perguruan tinggi Agama. Pada kesempatan ini kami mengucapkan
terima kasih kepada dosen pembimbing Sri Hidayati, M.Pd karena memberi kesempatan untuk kami
penyajian makalah ini tersebut.
Tentu banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah kami ini, karna itu kami mintah saran
dan kritikannya dari saudara/i sekalian. Dan semoga makalah ini menjadi hal yang bermanfaat bisa
menambah ilmu serta amal saleh.

Wassalamu’alaikum wr. Wb.

                                                                                    Palembang, Oktober 2015

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHUlUAN
A.    Latar belakang
B.    Rumusan masalah.....................................................................................................
    C.    Batasan Masalah.......................................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN
A.... Sejarah kemunculan Ilmu kalam dan Penyimpangan..........................................
 1.    Sejarah Kemunculan Ilmu Kalam..............................................................2
       2.    Timbulnya Persoalan Kalam......................................................................3
BAB III.................................................................................................................................
PENUTUP
A.    Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Mempelajari mata kuliah ilmu kalam merupakan salah satu dari tiga komponen rukun iman. Ketiga
komponen itu, yaitu nuthqun bi allisani (mengucapkan dengan lisan), ‘amalun bi al-arkani (melaksakan
dengan rukun-rukun), dan tash iqun bi al-qalbi (membenarkan dengan hati). Agar keyakinan itu dapat
tumbuh dengan kukunya, para ulama dahulu telah melakukan kajian secara mendalam.  
Ketiga komponen itu, dalam kajian ilmu-ilmu keislaman secara ilmiah, menjadi kajian utamanya.
Hanya terkadang berbeda-beda antara satu wilayah lain atau negara  lain. Memang diakui orang-orang
ilmuwan tertentu yang kurang memahami ilmu kalam.
Semoga makalah kami ini dapat memenuhi tuntunan sahabat-sahabat untuk mengenal lebih dekat
sejarah kemunculan ilmu kalam dan permasalahannya, yang selalu menjadi acuan perkembangannya
tersebut. kami ucapkan terimah kasih.
B. Rumusan masalah
1.      Bagaimana sejarah kemunculan ilmu Kalam ?
2.      Bagaimana timbulnya persoalan-persoalan Kalam ?
C. Batasan masalah
1.       Hanya membahas sejarah kemunculan ilmu Kalam
2.       Hanya membahas timbulnya persoalan-persoalan Kalam

3.        
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah kemunculan Ilmu kalam dan Permasalahannya


1. Sejarah kemuculan ilmu kalam
Sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam mencatat bahwa munculnya persoalan kalam justru
bermuara dari perbincangan umat tentang persoalan politik. Mungkin sebagian orang merasa aneh
kenapa di dalam Islam, sebagai agama, masalah pertama justru muncul persoalan politik bukan
persoalan keagamaan, seperti persoalan kalam atau persoalam fiqh. Namun, memang demikianlah
kenyataan sejarah masa lampau.
Sebagaimana diketahui, begitu pindah kemadinah pada tahun 622 M. Nabi Muhammad tidak hanya
sebagai pemimpin Agama, melainkan sekaligus sebagai pemimpin negara. Beliaulah orang pertama
mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini, sebelumnya di madinah belum pernah ada
kekuasaan politik, karena kenyataan Nabi Muhammad sebagai kepala perintah atau negara, inilah
maka jadi perhatiaan ketika beliau wafat terpusat pada masalah pengganti beliau sebagai kepala
pemerintah, demi tetap tegak dan berlanjutnya negara Madinah yang baru berdiri itu. Pemakaman
jenazah nabi terlaksana justru setelah persoalan politik ini, pengganti kepala negara, rampung
dimusyawarahkan. Dari sinilah awal timbulnya persoalan khalifah(pemimpin), penggantian Nabi sebagai
kepala negara atau pemerintah, yang dalam perkembangannya dari masa ke masa juga melahirkan
bermacam-macam pandangan dikalangan toko pemikir politik di dunia islam.
Kenyataan Nabi tidak menunjuk sahabat tertentu yang kelak akan menjadi pemimpin pemerintahan
sepeninggalan beliau, memaksa para tokoh umat terlibat dalam pembicaraan serius tentang siapa dan
golongan mana yang harus melanjutkan kepemimpinan Nabi. [1]
Pada pertemuan Saqifah Bani Sa’dah, pada hari kedua setelah Nabi wafat, dan melalui proses
musyawarah yang diliputi suasana tegang, akhirnya para wakil muhajarin dan Anshar sepakat memilih,
Abu Bakar sebagai pengganti atau khalifah Nabi untuk meminpin negara Madinah. Selanjutnya, Abu
Bakar digantikan oleh Umar bin al-khahthap, Umar digantikan oleh Ustman  bin Affan, dan Ustman
digantikan oleh li bin Thalip. Mereka berempat inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan al-
khulafa ar-Rasyidun.

2. Timbulnya Persoalan Kalam


Pada masa pemerintahan dua khalifah pertama, Abu Bakar dan Umar, roda pemerintah berjalan
dengan baik dan kehidupan politik dapat dikatakan cukup tenang. Namun, pada masa khalifah Ustman
keadaan mulai beruba terutama tahun kedua dari 12 tahun masa pemerintahannya.
Secara pribadi, khalifah Ustman bin Affan tidak berbeda dengan dua khalifah pendahulu nya.
Namun sayang, keluarganya Bani Umayah terus mengagalkan dan Ustman sendiri melemah menghadapi
pengagalan serta ambisi keluarga tersebut sehingga ia terpaksa memberikan berbagai kedudukan dan
fasilitas kepada mereka.
Ustman megangkat mereka sebagai gubernur di berbagai daerah kekuasaan Islam. Gubernur-
gubernur yang sebelumnya diangkat oleh umar bin al-Khathtab. khalifah yang tidak pernah memikirkan
kepentingan keluarganya diberhentikan oleh Ustman untuk digantikan oleh orang-orang dari pihak
keluarganya.[2]
Kebijakan politik Ustman yang merangkul sanak keluarga ini menimbulkan rasa tidak simpatik
terhadap dirinya. Para sahabat yang mulanya menyongkong Ustman, setelah melihat dan tindakan yang
kurang tepat itu, kini mulai menjauh dirinya. Sementara itu, perasaan tidak senang muncul pula di
daerah-daerah. Terutama Mesir, sebagai reaksi tidak senang terhadap dijatuhkannya Umar bin al-Ash
dari jabatan gubernur untuk digantikan oleh Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, salah seorang keluarga
Ustman, disekitar lima ratus orang berkumpul dan kemudian bergerak menuju Madinah untuk
melakukan aksi protes. Kehadiran para pelaku aksi proses ini akhirnya bersifat fatal bagi diri khalifah
Ustman, ia terbunuh oleh para pemuka aksi protes tersebut.
Sepeninggalan Ustman bin Affan, Ali Abi Thalib terpilih sebagai khalifah keempat. Namun situasi
politik yang dihadapainya terlanjur sudah terganggu bahkan lebih buruk dari keadaan sebelumnya.
Naiknya Ali sebagai khalifah ternyata tidak disetujui oleh semua pihak. Khalifah Ali menghadapi
tantangan dari dua kubuh sekaligus, dari pihak Muawiyah, gubernur Damasakus dan keluarga dekat
Ustman bin Affan.
Tantangan Thalhah dan Zubair berakibat terjadi kontak senjata dengan pihak khalifah Ali di Irak
pada tahun 656 M, dalam sejarah Islam terkenal dengan sebutan perang jamal. Pada peristiwa berdarah
tersebut, Thalhah dan Zubair mati terbunuh, sementara Aisyah selamat dan di kirim kembali ke
Mekkah.
Sebagaimana halnya Thalhah dan Zubair, Muawiyah tidak mengakui Ali sebagai khalifah. Ia
menuntut agar Ali segera mengadili dan menghukum oknum yang terlibat dalam pembunuhan Ustman.
Karena tuntutan ini dapat tanggapan serius, akhirnya Muawiyah menuduh Ali terlibat antara paling
tidak, melindungi para pelaku pembunuhan khalifah Ustman tersebut.
Pembangkangan Muawiyah ini rupanya juga berakhir pada bentrokan senjata. Peperangan yang
terjadi antara pasukan khalifah Ali dan pasukan Muawiyah, dalam sejarah Islam dikenal dengan perang
Shiffin.
Di tengah-tengah berkecamuk nya peperangan, bala tentara khalifah Ali terus bergerak maju dan
berhasil mendesak pasukan Muawiyah sehingga yang disebut terakhir dapat dipastikan akan kalah dan
bersiap-siap meniggalkan medan pertempuran. Namun, Amr bin al-Ash, orang kepercayaan dan tangan
kanan Muawiyah yang terkenal politikus licik, menggunakan siasat berdamai dengan mengangkat kitab
suci Al-quran di ujung tombak, pihak Ali kini dihadapkan kepada salah satu dari dua pilihan, yaitu
apakah harus menerima tawaran damai atau harus menolak. Karena tahu bahwa itu hanya siasat atau
tipu muslihat ketika mendesak dan akan kalah, dan tetap melanjutkan serbuan yang akan menghasilkan
kemenangan. Setelah melalui pertimbangan akhirnya khalifah Ali walau diselimuti semacam
perasaan, terpaksa menerima tawaran damai dan selanjutnya diadakan tahkim atau arbitase. Untuk
melaksanakan tahkim tersebut, ditunjuk satu orang wakil dari masing-masing pihak, Amr bin al-Ash
mewakilli pihak Muawiyah dan Abu Musa mewakili pihak Ali. Menurut sejarah, kedua wakil pelaksana
tahkim tersebut sebenarnya telah bersepakat menjatuhkan kedua pemuka yang sedang bertikai, Ali dan
Muawiyah. Ketika hasil tahkim di umumkan, Amr bin Ash mempersilakan Abu Musa bin al-asy’ari,
sebagai orang yang lebih tua, tampil lebih dulu untuk mengumumkan kepada khalayak apa yang telah
mereka sepakati, yaitu menjatuhkan Ali dan Muawiyah. Namun, ketika giliran berbicara tiba kepada
Amr al-Ash, teryata tokoh yang licik ini berkhianat dan membelok dari sepakat, ia hanya mengulangi
keputusan menjatuhkan Ali dan menolak menjatuhkan Muawiyah bahkan langsung mengangkatnya
sebagai khalifah pengganti Ustman.[3]
Hasil tahkim yang dinodai kelicikan dan daya tipu Amr bin al-Ash ini tentu sangat mengecewakan
dan merugikana Ali, dan sebaliknya menguntungkan Muawiyah. khalifah yang sah jelas Ali, dan
Muawiyah tak lebih dari gubernur yang membangkang kepada otoritas khalifah. Namun dengan adanya
tahkim ini, kedudukan Muawiyah berubah menjadi khalifah tidak resmi. Kiranya sangatlah wajar bila
khalifah Ali menolak tunduk kepada tahkim dan tidak mau meletakkan jabatan kekhalifahan pada akhir
hayatnya, ditahun 166 M.
Sementara itu, dibarisan Ali sendiri terdapat sekelompok orang yang tidak setuju terhadap sikap
dan kebijaksaan Ali menerima  tawaran Muawiyah, yang jelas merupakan tipu muslihat belaka, lebih-
lebih setelah mengetahui hasil tahkim seperti dikemukakan di atas. Mereka memandang Ali dengan
sikapnya yang demikian, telah bersalah. Akhirnya dengan  tegas mereka menolak hasil tahkim dan
menyatakan keluar dari barisan Ali. Kaum al-Khwarij menentang Ali sekaligus Muawiyah. Dengan
demikian, kini khalifah Ali kembali menghadapi dua kubuh lawan, kaum al-Khawarij dan Muawiyah.
Dalam menghadapi dua lawan di atas, semula Ali bersiap-siap untuk mengahapi Muawiyah terlebih
dahulu. Ketika khalifah Ali dan bala tentaranya siap menyerang Muawiyah, tiba-tiba terdengar berita
bahwa al-Khawarij sedang menuju Madinah untuk melakukan penyerangan. Dengan demikian, khalifah
Ali otomatis mengalikan perhatiaan dan mengarahkan kekuatkan militernya untuk menghadapi kaum al-
Khawarij. Namun setelah yang disebut terakhir berhasil dikalahkan, kekuatan militer khalifah Ali yang
tersisa sudah sulit melanjutkan usaha untuk menjatuhkan Muawiyah seperti yang direncanakan semula.
Sementara itu Muawiyah terus seluasa berkuasa di Damakus, dan setelah khalifah Ali meninggal, ia
dengan mudah memperoleh pengakuan khalifah dari umat Islam.
Kaum al-Khawiyah yang semula tidak setuju dengan sikap Ali yang mau berdamai dengan Muawiyah,
dan menolak tahkim yang merassa tidak Islam, lebih lanjut menyangkut persoalan Kalam, mereka
memperbincangkan persoalan iman dan kufur. Tema pembicaraan yang pertama mereka angkat adalah
siapa yang tetap dalam iman dan siapa yang telah kafir, terutama mereka yang telah terlibat dalam
tahkim atau arbitase tersebut.
Kaum al-Khawarij menganggap Ali, Muawiyah, Abu Musa, dan Amr al-Ash telah kafir, keluar dari
Islam karena dipandang tidak menetapkan hukum berdasarkan Al-quran, inilah awal sejarah muncul nya
persoalan kalam atau teologi dalam diskusi umat Islam. Demikianlah, kaum al-Khawarij yang semula
lahir ditengah-tengah perkembangan politik mulai berbicara soal kalam.

Persoalan di atas telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu sebagai berikut:
1.      Aliran Khawarij yang menyatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari
islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2.      Aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat besar tetap mukmin dan bukan kafir.
Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak
mengampuninya.
3.      Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat diatas.bagi mereka, orang yang berdosa
besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Orang yang serupa ini mengambil posisi antara kedua
posisi mukmin dan kafir.[4]
Dalam perkembangan selanjutnya, pembicaraan al-Khawarij tentang iman  dan kufur ini
tidak  hanya dihubungkan dengan tindakan menerapkan suatu hukum tidak berdasar Al-quran,
seperti proses tahkim yang ditempuh oleh Ali dan Maawiyah, melainkan dihubungkan dengan pelaku
dosa besar inilah yang kemudian berpengaruh dalam pertumbuhan berbagai aliran kalam.
Dari pembicaraan kaum al-Khawarij tentang iman dan kufur, yang dihubungkan dengan pelaku
tahkim dan pelaku dosa besar, berbagai persoalan kalam lain terus bermunculan dan berkembang
sehingga lahir disiplin ilmu yang terkenal ilmu kalam.
Disiplin ilmu ini diberi nama Ilmu Kalam karena antara lain, masalah yang sangat dibicarakan oleh
para mutakallim pada masa-masa pertama adalah masalah Kalam Allah, Al-quran, atau karena dalam
rangka memperkuat pendapat para mutakallin (ahli ilmu kalam) sangat mengandalkan kelincahan
berbicara atau karena para mutakallin tersebut membericarakan apa yang tidak dibicarakan oleh para
salaf atau karena cara pembuktian atas kepercayaan agama menyerupai logika didalam filsafat. Untuk
membedakan dengan logika yang digunakan dalam filsafat, cara pembuktian para mutakallin itu di
namai kalam[5]
Ilmu Kalam ini pula  disebut Ilmu Tuhid, Ilmu Ushuluddin, dan Ilmu Aqaid. Disebut Ilmu
Tauhid karena tujuan pokok dari ilmu ini adalah “meng-Esa-kan Tuhan,” baik dzat, sifat, maupun
perbuatannya. Diberi nama Ilmu Ushuliddin karena objek kajiannya adalah masalah sendi-sendi atau
dasar dari ajaran Islam. Ilmu kalam sama dengan tauhid, tetapi argumentasinya lebih di konsentrasikan
pada penguasahaan logika. Oleh karena itu, sebagian teologi menganggap bahwa ilmu kalam berbeda
dengan tauhid. Adapun Ilmu Aqaid adalah masalah akidah atau kepercayaan dalam agama Islam.[6]
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
       Adapun kesimpulan dari makalah tentang Sejarah Kemunculan Kalam dan Permasalahannya
ialah sebagai berikut:
1.      Dari pembicaraan kaum al-Khawarij tentang iman dan kufur, sehingga berbagai Kalam
bermunculan dan berkembang hingga Dinasti Bani Abbas, disinilah mulai muncul disiplin Ilmu
ini yang diberi nama Ilmu Kalam.
2.       Persoalan-persoalan kalam dipicu kemunculannya oleh persoalan-persoalan politik tentang
kekhalifahan(pemimpin). Yang dipimpin Oleh Nabi Muhammad sebagai kepala pemerintah
ketika beliau wafat dan dari sinilah muncul persoalan-persoalan Kalam.

                                                                                       

DAFTAR PUSTAKA

Nasution,Harun. 1972.Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI press


Nurdin,Amin. 2012.Teologi Ilmu Kalam:  Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah
Rozak,Abdul. 2012.Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
[1] Amin Nurdin, Teologi Ilmu Kalam: Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 1-2.

[2]  Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972),
hlm. 3.

[3] Ibid., hlm. 4-5.


[4] Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 34.
[5] Ibid., hlm. 35.
[6] Ibid., hlm. 36.

Anda mungkin juga menyukai