Anda di halaman 1dari 2

Nama : MUHAMMAD ARIF

NIM : G1D121149

SUKU KOMBAI KOROWAI

Suku ini teridentifikasi sekitar 30 hingga 35 tahun yang lalu. Sebelumnya, suku Korowai
menempati pedalaman Papua tanpa pernah berkomunikasi dengan dunia luar. Menempati
kawasan yang terletak kurang lebih 150 km dari Laut Arafura, suku ini bertahan hidup dengan
cara berburu berbagai macam hewan di hutan.

Hingga kemudian pada tahun 1975 – 1978, tim misionaris dari Belanda yang dipimpin oleh
Johannes Veldhuizen menemukan suku ini, kemudian mulai mengadakan penginjilan di daerah
tersebut.

Suku Korowai memiliki beberapa adat serta tradisi yang cukup unik, salah satunya yaitu
membangun rumah pohon. Bukan rumah pohon yang hanya didirikan beberapa meter dari
permukaan tanah, namun suku ini membangun rumah setinggi hingga puluhan meter di atas
pohon.

Selain keunikan berupa rumah di atas pohon, Suku Korowai juga memiliki bahasa percakapan
sehari-hari berupa bahasa Awyu-Dumut yang biasa digunakan sebagai bahasa komunikasi oleh
kebanyakan suku di Papua Tenggara.

Mereka juga mengenal pesta sagu yang dilakukan sebagai perayaan peristiwa tertentu seperti
kelahiran bayi ataupun pernikahan. Dalam pesta ini, umumnya orang Korowai menyembelih
babi sebagai hidangan dan pertanda bahwa ada peristiwa besar yang patut dirayakan.

Karena bertempat tinggal di atas pohon, julukan manusia pohon seringkali disematkan untuk
orang-orang Korowai. Bukan tanpa alasan, hal tersebut mereka lakukan untuk melindungi diri
dari serangan hewan buas dan risiko banjir.

Pada tahun 1990, ketika para misionaris meninggalkan suku tersebut, masyarakat Korowai mulai
menerima bantuan dari pemerintah dan terlibat dari proyek-proyek kehutanan yang diprakarsai
oleh perusahaan asing.

Banyaknya hutan di Korowai yang kini dipakai untuk perkebunan kelapa sawit. Hal ini tentunya
berpengaruh kepada berkurangnya kebutuhan makanan mereka termasuk sagu dan ulat sagu
yang menjadi makanan pokok mereka. Melihat permasalahan ini, pemerintah justru
menyalahartikan dan malah memberikan bantuan berupa beras, mi instan, pakaian bekas, ikan
kaleng, susu formula, dan semua makanan kota. Hal ini bukannya tidak baik bagi mereka,
melainkan mereka akan melupakan hal yang biasa mereka lakukan dan menjadikan sebuah
perubahan pola makan. Hal ini berimbas kepada perubahan makanan dari sagu yang memiliki
proses lama untuk akhirnya bisa dinikmati menjadi beras yang dapat langsung dimasak, begitu
pula dengan mi instan yang dengan mudah bisa dimakan dalam bentuk dimasak maupun tidak.

Suku Korowai yang terbiasa memakan makanan dengan unsur gizi yang baik kini mulai
merasakan adanya bentuk modernisasi dari bantuan makanan yang justru merusak pola
kesehatan mereka. Selanjutnya, hal itu berefek panjang.

Secara tidak langsung melupakan tradisi dan kebudayaan yang sudah secara turun-temurun
mereka lakukan. Tak heran jika nantinya masa depan budaya Korowai akan tergerus dengan
kebutuhan akan beras, pakaian, dan lain sebagainya yang mereka perlukan, dan tentunya mereka
pun harus memiliki uang yang dapat mereka peroleh dengan menjual tanah lapang dan hutan
yang tadinya menjadi sumber kehidupan mereka.

Dan solusi saya untuk tidak menghilangkan tradisi mereka ialah dengan tidak mengajarkan
kebergantungan kepada mereka seperti memberi beras,pakaian dan apalagi mengenali mereka
dengan alat alat modern saat .contohnya handphone, yang membuat mereka menjual tanah
lapang perkebunan mereka yang padahal lebih baik kita mengajarkan mereka untuk menanam
padi ladang atau sayur sayuran yang bibitnya diberi oleh pemerintah tanpa harus mengirim
mereka beras yang membuat mereka kebergantungan untuk membeli beras.

Anda mungkin juga menyukai