Anda di halaman 1dari 21

Penilaian Kinerja Organisasi Sektor

Publik

NAMA KELOMPOK
9:

1. NI PUTU AYU MARINA (19)


2. NI KOMANG PIKA DINANTI (25)
3. I KOMANG DIPTA CAHYADI (27)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MAHASARASWATI
DENPASAR 2020
KATA
PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Tuhan atas segala anugrah-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya.
Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Gianyar, 17 Februari 2022

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................I
DAFTAR ISI...............................................................................................................................II
BAB I............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG............................................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH........................................................................................................1
1.3 TUJUAN PENELITIAN.......................................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...........................................................................................................................2
2.1 Penilaian Kinerja berdasarkan Value For Money Audit....................................................2
2.2 Penguraian Balanced Scorecard di Sektor Publik..............................................................8
2.3 Rasio-Rasio Keuangan bagi Organisasi Sektor Publik....................................................11
BAB III........................................................................................................................................16
PENUTUP...................................................................................................................................17
3.1 KESIMPULAN....................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................17

II
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tekanan terhadap organisasi sektor publik, khusus nya organisasi  pemerintahan baik pusat
dan daerah, serta perusahaan milik pemerintah, dan organisasi sektor publik lainnya untuk
memper baiki kinerja nya mendorong dibangunnya sistem manajemen organisasi publik
berbasis kinerja. Fokusnya adalah pengukuran kinerja organisasi sektor publik yang
berorientasi pada  penilaian hasil dan bukan lagi penilaian pada input  atau output  saja.
Pemerintah selama beberapa dekade telah bergulat dengan pengukuran input  dan output ,
bukan outcome. Pembahasan antara eksekutif dan legislatif  hanya berkutat pada anggaran dan
realisasi anggaran. Penilaian demikian hanya  berfokus pada penjelasan bagaimana sibuknya
pemerintah, namun tidak  menjelaskan mengenai dampak nyata aktivitas pemerintah terhadap
masyarakat. Padahal bagi masyarakat yang terpenting adalah hasilnya. Hal itu tidak berarti
penilaian input  tidak penting bagi pemerintah. Namun jika penilaian kinerja hanya berfokus
pada input  dan output saja, akibatnya organisasi sektor publik  tidak akan mampu melihat
keberadaannya sendiri bahwa ia ada untuk melayani masyarakat.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana penilaian Kinerja berdasarkan Value For Money Audit?

2. Bagaimana Penguraian Balanced Scorecard di Sektor Publik?

3. Bagaimana rasio-rasio Keuangan bagi Organisasi Sektor Publik?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui mengenai penilaian Kinerja berdasarkan Value For Money Audit

2. Mengetahui bagaimana Penguraian Balanced Scorecard di Sektor Publik

3. Mengetahui bagaimana rasio-rasio Keuangan bagi Organisasi Sektor Publik

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penilaian Kinerja berdasarkan Value For Money Audit


2.1.1 Definisi Value For Money
Menurut University of Cambridge (2010), Pendanaan Pendidikan Tinggi Dewan Inggris
(HEFCE) menggambarkan 'Nilai untuk uang' (VFM) adalah istilah yang digunakan untuk
menilai apakah organisasi telah memperoleh manfaat maksimal dari barang dan jasa yang baik
memperoleh dan memberikan, dalam sumber daya yang tersedia untuk itu. Beberapa elemen
mungkin subyektif, sulit diukur, tidak berwujud dan disalahpahami. Penghakiman Oleh karena
itu diperlukan ketika mempertimbangkan apakah VFM telah tercapai atau tidak
memuaskan. Tidak hanya mengukur biaya barang dan jasa, tetapi juga memperhitungkan
campuran kualitas, biaya, penggunaan sumber daya, kesesuaian untuk tujuan, ketepatan waktu,
dan kenyamanan untuk menilai apakah atau tidak, bersama-sama, mereka merupakan nilai yang
baik
Erlendsson (2002) menyatakan Value for money (VFM) adalah istilah yang digunakan
untuk menilai apakah organisasi telah memperoleh manfaat maksimal dari barang dan jasa yang
baik memperoleh dan memberikan, dalam sumber daya yang tersedia untuk itu. 
2.1.2 Tujuan Value For Money
a. Meningkatan efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan tepat
sasaran 
a. Meningkatkan mutu pelayanan public
b. Menurunkan biaya pelayanan publik karena hilangnya inefisiensi dan terjadinya
penghematan dalam penggunan input
c. Alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan public
d. Meningkatkan kesadaran akan uang publik (public costs awareness) sebagai akar
pelaksanaan akuntanbilitas public
e. Tujuan yang dikehendaki terkait pelaksanaan value for money: 
ekonomi: hemat cermat dalam pengadaan dan alokasi sumber daya 

2
efisiensi: Berdaya guna dalam penggunaan sumber daya efektivitas: berhasil guna dalam
arti mencapai tujuan dan sasaran.  equity: Keadilan dalam mendapatkan pelayanan
publik. equality: Kesetaran dalam penggunaan sumber daya. 

2.1.3 Karakteristik Value For Money Audit


Performance audit pada dasarnya mirip perluasan audit keuangan. Pengertian
audit dalam audit keuangan (Malan, 1984): suatu proses yang sistematis untuk
memperoleh & mengevaluasi bukti secara obyektif tentang asersi atas tindakan &
kejadian ekonomi, kesesuaiannya dengan standar yang ditetapkan & kemudian
mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak pengguna laporan tersebut. Fokus
performance audit: pemeriksaan pada tindakan & kejadian ekonomi yang
menggambarkan kinerja entitas atau fungsi yang diaudit. Definisi audit kinerja
(Malan, 1984) adalah suatu proses sistematis untuk memperoleh & mengevaluasi
bukti secara obyektif, agar dapat melakukan penilaian secara independen atas
ekonomi & efisiensi operasi, efektivitas dalam pencapaian hasil yang diinginkan,
& kepatuhan terhadap kebijakan, peraturan & hukum yang berlaku, menentukan
kesesuaian kinerja yang dicapai dengan kriteria yg ditetapkan, serta
mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak pengguna laporan tersebut. Kinerja
suatu organisasi dinilai baik jika organisasi mampu melaksanakan tugas dalam rangka
mencapai tujuan pada standar tinggi dengan biaya rendah. Salah satu hal yang
membedakan VFM audit dengan conventional audit adalah dalam hal laporan audit.
a. Audit Konvensional, hasil audit berupa opini auditor secara independen &
obyektif tentang kewajaran laporan keuangan sesuai dengan kriteria standar
yang ditetapkan, tanpa pemberian rekomendasi perbaikan.
b. VFM audit tidak sekedar menyampaikan kesimpulan berdasarkan tahapan
audit yang dilaksanakan, akan tetapi juga dilengkapi dengan rekomendasi
untuk perbaikan di masa mendatang.
2.1.4 Audit 3E
1. Audit Ekonomi & Efisiensi

3
Ekonomi mempunyai arti biaya terendah. Efisiensi mengacu pada rasio terbaik antara
output dengan biaya (input), karena diukur dalam unit yang berbeda maka efisiensi dapat
terwujud dengan sumber daya yang ada dapat dicapai output yang maksimal, atau output dapat
dicapai dengan sumber daya yang sekecil-kecilnya.

Tujuan audit ekonomi & efisiensi adalah untuk menentukan :

a. Apakah setiap entitas telah memperoleh, melindungi,& menggunakan sumber daya


(seperti karyawan, gedung, ruang,& peralatan kantor) secara ekonomis & efisien;
b. Penyebab terjadinya praktik yang tak ekonomis atau tak efisien, termasuk
ketidakmampuan organisasi dalam mengelola sistem informasi, prosedur
administrasi, & struktur organisasi.

Pada audit ekonomi & efisiensi, ukuran output idealnya dispesifikasikan oleh organisasi yang
bersangkutan dan ukuran tersebut digunakan untuk mengukur kinerja manajer. Auditor harus
mampu menilai apakah output telah dihasilkan dengan biaya yang lebih rendah atau apakah
biaya yang terjadi dapat menghasilkan output yang lebih besar.
Untuk mengetahui apakah organisasi menghasilkan output yang optimal dengan sumber daya
yang dimilikinya, auditor dapat membandingkan output yang telah dicapai pada periode yang
bersangkutan dengan :
a. Standar yang telah ditetapkan sebelumnya,
b. Kinerja tahun – tahun sebelumnya,
c. Unit lain pada organisasi yang sama atau pada organisasi yang berbeda.

Prosedur audit ekonomi dan efisienisi meliputi:


a. Perencanaan audit,
b. Mereview sistem akuntansi & pengendalian interen,
c. Menguji sistem akuntansi & pengendalian interen,
d. Melaksanakan audit,
e. Menyampaikan laporan.

2. Audit Efektivitas

4
Efektivitas berkaitan dengan pencapaian tujuan. Menurut Audit Commission (1986), efektivitas
berarti menyediakan jasa yang benar sehingga memungkinkan pihak yang berwenang untuk
mengimplementasikan kebijakan dan tujuannya. Tujuan audit efektivitas (audit program) untuk
menentukan:
a. Tingkat pencapaian hasil/manfaat yang diinginkan
b. Kesesuaian hasil dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya
c. Apakah entitas yang diaudit telah mempertimbangkan alternatif lain
yang memberikan hasil yang sama dengan biaya yang terendah.
Tujuan pelaksanaan audit efektivitas/audit program secara rinci adalah :
a. Menilai tujuan program (baru/sedang berjalan) apakah sudah memadai dan tepat;
b. Menentukan tingkat pencapaian hasil suatu program yang diinginkan;
c. Menilai efektivitas program dan/atau unsur program secara terpisah;
d. Mengidentifikasi faktor penghambat kinerja yang baik & memuaskan;
e. Menentukan apakah manajemen telah mempertimbangkan alternatif pelaksanakan
program yang memberi hasil lebih baik & biaya lebih rendah;
f. Menentukan apakah program tersebut saling melengkapi, tumpang-tindih atau
bertentangan dengan program lain yang terkait;
g. Mengidentifikasi cara untuk dapat melaksanakan program tersebut dengan lebih
baik;
h. Menilai ketaatan terhadap peraturan yang berlaku untuk program tersebut;
i. Menilai apakah SPM sudah cukup memadai untuk mengukur, melaporkan, &
memantau tingkat efektivitas program;
j. Menentukan apakah manajemen telah melaporkan ukuran yang sah & dapat
dipertanggungjawabkan mengenai efektivitas program.

Efektivitas berkenaan dengan dampak suatu output bagi pengguna jasa. Mengukur
efektivitas kegiatan harus didasarkan pada kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Jika belum
tersedia, auditor bekerja sama dengan top management & badan pembuat keputusan untuk
menghasilkan kriteria tersebut dengan berpedoman pd tujuan pelaksanaan program. Meskipun
efektivitas program tak dapat diukur secara langsung, beberapa alternatif untuk mengevaluasi
pelaksanaan program yaitu proksi untuk mengukur dampak/ pengaruh, evaluasi oleh konsumen,

5
evaluasi yang menitikberatkan pada proses bukan pada hasil.
Tingkat komplain & permintaan dari pengguna jasa dapat sebagai proksi pengukuran
standar kinerja. Evaluasi pelaksanaan program mempertimbangkan hal:
a. Apakah program tersebut relevan atau realistis
b. Apakah ada pengaruh dari program tersebut,
c. Apakah program telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dan
d. Apakah ada cara yang lebih baik dalam mencapai hasil.

Tiga kategori kegiatan VFM audit secara umum:


a. By product VFM work
Pekerjaan VFM audit yang merupakan tujuan sekunder biasanya kurang terstruktur. Tipe
pekerjaan: berupaya untuk mencari penghematan dengan jalan melakukan sedikit perubahan
dalam praktik kerja & memiliki manfaat yang substansial.
b. An arrangement review
Pekerjaan VFM audit: untuk menjamin bahwa klien melakukan tugas administrasi yang
diperlukan untuk mencapai VFM berdasarkan peraturan formal yang ada .
Dalam Arrangement Review Auditor dapat mengecek & menilai keberadaan peraturan
formal semacam ini, serta memberikan gambaran bagi auditor untuk mereview kinerja.
c. Performance rivew
Pekerjaan yang dilakukan untuk menilai secara obyektif VFM yang dicapai oleh klien &
membandingkannya dengan kriteria (pembanding) yang valid. Penilaian terhadap kinerja
klien dapat dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dengan kinerja masa
Ialu, target yang ditetapkan sebelumnya atau kinerja organisasi sejenis lainnya.

Prasyarat pelaksanaan proses audit kinerja pada organisasi sektor publik:


a. Auditor (orang/lembaga yang melakukan audit), auditee (pihak yang diaudit),
recipent (pihak yang menerima hasil audit) Auditor sebagai pihak pertama memegang
peran utama dalam audit kinerja karena dapat mengakses informasi keuangan &
informasi manajemen dari organisasi yang diaudit serta memiliki kemampuan profesional
& bersifat independen. Auditee sebagai pihak kedua terdiri dari manajemen atau pekerja
organisasi yang bertanggungjawab kepada recipent. Recipent merupakan pihak ke-3

6
yang menerima laporan yang terdiri dari beberapa kelompok antara lain: tingkatan yang
lebih tinggi dalam organisasi yang sama, dewan komisaris, stockholder, masyarakat, &
investor secara individual/kelompok. Untuk menjadi profesional auditor sektor publik
diperlukan beberapa syarat:
1) Seorang auditor harus telah diakui dapat melakukan pemeriksaan (audit);
a) Mempunyai pemahaman tentangg akun yang ada, sesuai dengan peraturan yang
berlaku serta mentaati perundangan.
b) Auditor telah diakui kemampuannya dalam melakukan praktik audit.
c) Auditor harus dapat memahami apakah klien telah memanfaatkan sumber daya
yang dimiliki secara ekonomis, efisien, & efektif.
2) Seorang auditor harus mematuhi kode etik yang berlaku.
3) Seorang auditor harus dapat melakukan audit dengan bertanggungjawab, karena
terdorong oleh kesadaran bahwa audit yang akan dilaksanakannya pada organisasi sektor
publik, terutama untuk memenuhi kepentingan masyarakat.
4) Dua prosedur utama praktik auditing terhadap kinerja orang secara komprehensif
yaitu management and technical review dan special studies.
b. Hubungan akuntabilitas antara auditee (subordinate) & audit recipent (otoritas
yang lebih tinggi)
c. Independensi antara auditor & auditee
d. Pengujian & evaluasi terdiri atas aktivitas yang menjadi tanggung jawab auditee
oleh auditor untuk audit recipent.

3 Value For Money Sebagai Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah


Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh tata cara
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik.
Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli
dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang
memburuk.
Semakin pesatnya perkembangan dalam dunia usaha, menyebabkan persaingan
semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya Akuntabilitas

7
Publik pada perusahaan publik dan semakin rumitnya masalah-masalah yang
dihadapi oleh organisasi publik dalam menjalankan fungsi pengendalian dan
pengawasan kegiatan perusahaan. Untuk mencapai Akuntabilitas Publik yang
baik dengan digunakannya pengukuran kinerja Value For Money. Maka menurut
Mardiasmo (2004:121) dalam bukunya “Akuntansi Sektor Publik” menyatakan
bahwa: “Akuntabilitas Publik bukan sekedar kemampuan menunjukan bagaimana
uang publik dibelanjakan, akan tetapi meliputi kemampuan menunjukan bahwa
uang publik tersebut telah dibelanjaka secara ekonomis, efisien dan efektif (Value
For Money).”

Sedangkan menurut Ihyaul Ulum (2004:270) dalam bukunya “Akuntansi Sektor


Publik” menyatakan bahwa: “Manfaat implementasi konsep Value For Money pada
organisasi sektor public antara lain:
a. Meningkatkan efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang
diberikan tepat sasaran;
b. Meningkatkan mutu pelayanan publik;
c. Menurunkan biaya pelayanan publik karena hilangnya inefisiensi dan
terjadinya penghematan dalam penggunaan input;
d. Alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik; dan
e. Meningkatkan kesadaran akan uang publik (public cost awareness) sabagai
akar pelaksanaan Akuntabilitas Publik.”

2.2 Penguraian Balanced Scorecard di Sektor Publik


Balance Scorecard (BSC) adalah sistem manajemen (bukan hanya sebuah sistem
pengukuran) yang dapat membantu organisasi untuk menjelaskan visi dan strategi
mereka dan menerapkannya dalam kegiatan operasinya. BSC memberikan umpan balik,
baik dari sisi proses kegiatan internal maupun hasil-hasil dari luar, dalam rangka
perbaikan kinerja dan hasil suatu organisasi secara terus menerus. Ketika
diimplementasikan, BSC mentransformasikan perencanaan strategis dari hanya sekedar
wacana akademis menjadi sesuatu yang nyata. BSC pun dapat dipergunakan di dalam
pemerintahan. Karena dengan BSC pimpinan pemerintahan dapat mengetahui apa
harapan rakyat dan apa kebutuhan pegawai pemerintah untuk memenuhi harapan rakyat

8
itu. Ada beberapa keuntungan bagi pemerintahan apabila menggunakan BSC yaitu :
a. BSC menempatkan seluruh organisasi dalam proses pembelajaran;
b. Keputusan penganggaran yang lebih rasional;
c. Memfasilitasi perbaikan kinerja;
d. Memperbaiki komunikasi kepada stakeholders;
e. Memberikan data untuk acuan (benchmark)

2.2.1 Proses implementasi BSC dapat diuraikan sebagai berikut:


a) Mendefinisikan Tujuan, Sasaran, Strategi, Dan Program Organisasi
Kita tidak bisa menilai segala sesuatu jika tidak mempunyai kriteria yang jelas
sebagai pedoman penilaian. Demikian juga, jika kita hendak menilai kinerja
organisasi harus mempunyai kriteria yang jelas. Kriteria ini adalah indikator
pencapaian tujuan, sasaran, strategi, dan program. Dengan demikian langkah
pertama pengukuran kinerja dengan BSC adalah pendefinisian tujuan, sasaran,
strategi, dan program sebagai dasar menentukan indikator pengukuran.
b) Merumuskan Framework Pengukuran Setiap Jenjang Manajerial.
Dalam tahap ini dirumuskan area pengukuran kinerja secara bertingkat dengan
berpedoman pada struktur organisasi yang ada untuk diarahkan pada
pencapaian tujuan dengan tingkat kedalaman yang berbeda-beda. Selain itu
juga dirumuskan pengukuran kinerja untuk setiap individu, team, dan
kelompok organisasi.
c) Mengintegrasikan Pengukuran ke Dalam Sistem Manajemen.
Sistem pengukuran kinerja yang telah dirumuskan merupakan sub sistem
manajemen organisasi. Oleh karena itu, sistem pengukuran kinerja harus
diitegrasikan ke dalam sistem manajemen baik formal maupun non formal
organisasi. Sistem pengukuran kinerja merupakan bagian dari perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, motivasi dan pengendalian yang
ditetapkan organisasi.

d) Monitoring Sistem Pengukuran Kinerja.

9
Implementasi sistem pengukuran kinerja harus selalu dimonitor karena organisasi
selalu menghadapi lingkungan yang dinamis. Kondisi pada saat sistem
didesaian sangat mungkin tidak relevan lagi akibat perubahan lingkungan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring terhadap ukuran yang telah
ditetapkan dan hasilnya secara terus menerus secara konsisten, dan
mengevaluasinya untuk memperbaiki sistem pengukuran pada periode
berikutnya. Menghadapi turbulensi lingkungan ini, organisasi kemungkinan
mengubah strategi pencapaian tujuannya. Monitoring dilakukan dengan
mengidentifikasi permasalahan berkaitan dengan (1) Bagaimana organisasi
berjalan sampai saat ini?, (2) Bagaimana efektivitas strategi organisasi dalam
pencapaian tujuan?, (3) Bagaimana strategi berubah sejak awal hingga akhir?
(3) Bagaimana sistem pengukuran bisa mencapai strategi yang berubah-ubah?
(4) Bagaimana organisasi bisa memperbaiki sistem pengukuran?.

2.2.2 Tujuan Balanced Scorecard


Balanced Scorecard System pertama kali dikenalkan sebagai alat untuk menilai
kinerja pada perusahaan komersial. Namun, sebetulnya pemanfaatan BSC ini bisa oleh
semua jenis organisasi. BSC dapat digunakan dengan berbagai macam cara. Pada
organisasi publik yang mengedepankan layanan publik, BSC perlu diadaptasikan
sehingga menghasilkan pengukuran yang sesuai dengan tujuan utama organisasi. Pada
organisasi komersial model BSC sebagaimana dirumuskan Norton & Kaplan,
menempatkan perpekstif finansial di atas ketiga perspektif lainnya. Hal ini berarti
bahwa semua komponen kinerja non finansial dilakukan dalam rangka
mengoptimalkan kinerja finansial misalnya profit dan return on investment (ROI).

2.2.3 Syarat-syarat Efektifitas BSC (Quinlivan, 2000):


a. Ada definisi yang jelas atas tujuan individu, team, unit organisasi, dan
organisasi.
b. Memahami hubungan antara proses internal yang bernilai tambah dengan
outcome yang dihasilkan.

10
c. Mengintegrasikan model pengukuran kinerja BSC dalam suatu manajemen
strategic, manajemen kinerja, dan sistem penghargaan pegawai.

Pada dasarnya manajemen kinerja dan penilaian kualitas bukan ditujukan untuk
memperbaiki pelayanan, tetapi hanya membantu mengidentifikasi area yang perlu
diperbaiki sehingga bisa lebih focus. BSC digunakan sebagai alat pendukung untuk
komunikasi, motivasi, dan mengevaluasi strategi organisasi utama. Dengan BSC ini
manajemen bisa lebih efektif, tetapi BSC tidak menjamin manajemen efektif. Hal ini
bisa terjadi jika manajemen tidak tepat men-derived visi dan strategi organisasi dalam
ukuran-ukuran kinerja BSC.

2.3 Rasio-Rasio Keuangan bagi Organisasi Sektor Publik

1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah


Rasio ini akan menunjukkan seberapa besar dana sendiri (Pendapatan Asli Daerah) yang diguna
kan untuk membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masy
arakat. Semakin besar rasio ini berarti ketergantungan terhadap bantuan dari pihak luar semakin
berkurang seperti hibah, bantuan pemerintah pusat maupun propinsi. Rasio ini pun menggambar
kan seberapa besar partisipasi masyarakat dalam melakukan pembangunan karena PAD diperole
h dari masyarakat melalui pajak, retribusi daerah yang menjadi komponen utama dalam PAD.
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat dirumuskan sebagai berikut :
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah = Pendapatan Asli Daerah (PAD) / Bantuan Pemeri
ntah Pusat/Propinsi dan Pinjaman
(Semakin tinggi rasio di atas maka semakain baik kinerja suatu lembaga sektor publik.)
Pola Hubungan Kemandirian Keuangan Daerah

11
Menurut Hersley dan Blanchard ( dalam Halim 2007 :169) dikemukakan hubungan tentang pemerin
tah pusat dengan daerah dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah, yang paling utama yaitu m
engenai hubungan pelaksanaan undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah p
usat dengan pemerintah daerah yaitu :

1. Pola hubungan instruktif, di mana peranan pemerintah pusat lebih


dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak
mampu melaksanakan otonomi daerah).
2. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah
mulai berkurang karena daerah dianggap sedikit lebih mampu
melaksanakan otonomi daerah.
3. Pola hubungan partisipatif, peranan pemerintah pusat sudah mulai
berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya

mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi daerah.

12
4. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah
tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam
melaksanakan urusan otonomi daerah.
2 Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah
setiap pemerintahan telah memiliki estimasi Pendapatan Asli Daerah yang tentunya disusun ber
dasarkan potensi-potensi yang dimiliki suatu daerah. Tidak tertutup kemungkinan dalam realisas
inya, Pendapatan Asli Daerah lebih besar atau lebih kecil dari yang telah diestimasikan. Rasio Ef
ektivitas PAD ini menunjukkan seberapa efektif suatu daerah dalam merealisasikan PAD yang t
elah dianggarkan tersebut.
Dapat dirumuskan sebagai berikut :
Rasio Efektifitas   =  Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) / Target Peneri
maan PAD yang ditetapkan  Berdasarkan Potensi Riil Daerah
(Semakin tinggi rasio di atas maka semakin baik kinerja suatu lembaga sektor publik, karena se
mua rencana benar-benar terlaksana dan hal itu berarti bahwa kinerjanya terbukti)
Adapun rumus menghitung Rasio Efektifitas PAD adalah

Kriteria Rasio Efektivitas Menurut Mahmudi (2010) adalah:


1. Jika diperoleh nilai < 75% berarti tidak efektif
2. Jika diperoleh nilai 75% - 89% berarti kurang efektif
3. Jika diperoleh nilai 90% - 99% berarti cukup efektif
4. Jika diperoleh nilai sama dengan 100% berarti efektif
5. Jika diperoleh nilai > 100% berarti sangat efektif.
3. Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah
dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah tentunya dikeluarkan biaya-biaya, hal ini akan me
nggambarkan kinerja pemerintah dalam melakukan pemungutan pendapatan yang diimbangi den
gan biaya yang memenuhi batas kewajaran.
Dapat dirumuskan sebagai berikut :
Rasio Efisiensi PAD = Biaya yang Dikeluarkan untuk Memungut PAD / Realisasi Penerim
aan Pendapatan Asli Daerah

13
Kinerja pemerintahan daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien
apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau di bawah 100%.

4. Rasio Aktivitas
rasio ini melakukan perbandingan antara aktivitas-aktivitas baik dari segi apa yang dilaksanakan
maupun kapan pelaksanaannya.
Secara garis besar aktivitas yang membutuhkan belanja dalam pemerintahan adalah dibag
i menjadi dua kelompok besar yaitu belanja rutin dan belanja pembangunan. Demikian pula pel
aksanaan aktivitas tersebut dapat terbagi-bagi dalam beberapa periode (bagian dalam tahunan).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuang
an Daerah khususnya pasal 37 menyebutkan bahwa daerah menyampaikan laporan triwulan pela
ksanaan APBD kepada DPRD. Tujuan dari pelaporan triwulan tersebut disamping sebagai kontr
ol jangka pendek juga diharapkan adanya pemerataan pelaksanaan dalam tiap periodenya. Apabi
la dalam tiap periodenya tidak merata berarti ada pemanfaatan tenaga kerja tidak merata pula. Te
rkadang pula dalam pelaporan triwulan khususnya pada triwulan awal belanja akan diperkecil se
hingga laporan APBD terlihat surplus (dengan asumsi realisasi penerimaan sesuai dengan anggar
an) ini berarti akan terjadi penumpukan beban pada triwulan akhir.
         Rasio belanja terhadap APBD = Total belanja rutin / Total APBN

         Rasio belanja pembangunan terhadap APBN = Total belanja pembangunan / Total APBD

Rasio Aktivitas ini akan melihat keserasian antara belanja rutin terhadap APBD dan keserasian a
ntara belanja pembangunan terhadap APBD.

5. Derajat Desentralisasi Fiskal

14
merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan keuangan pemerintah daerah
dalam membiayai belanja daerah. Berdasarkan ukuran tersebut dapat diketahui besaran kema
mpuan penghimpunan dana yang berasal dari daerah itu sendiri. Selanjutnya ukuran ini dinya
takan sebagai Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal adalah
suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerint
ahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan publi
c sesuai dengan banyaknya kewenangan pemerintah yang dilimpahkan.
Derajat Desentralisasi = Pendapatan Asli Daerah (PAD) / Total Penerimaan Daerah

6. Rasio Ketergantungan
merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat ketergantungan
pemerintah daerah menggunakan dana-dana yang diberikan pemerintah.
Rasio Ketergantungan =Pendapatan Transfer/ Total Penerimaan Daerah
(Semakin tinggi rasio ketergantungan maka semakin buruk pemerintah daerah karena tidak adan
ya dana dari penghasilan daerah sendiri yang seharusnya dapat membiayai kebutuhan daerahnya
sendiri)

7. Debt Service Coverage Ratio (DSCR)


Dalam melaksanakan roda pemerintahan, tiap daerah diperbolehkan untuk melakukan pin
jaman dari pihak luar, namun pemerintah harus memiliki rasio DSCR minimal 2,5. Rasio
DSCR tersebut akan menggambarkan kemampuan dalam melakukan pembayaran pinjam
an dari pihak ketiga tersebut. DSCR dihitung dengan melakukan perbandingan antara pen
jumlahan PAD, Bagian Daerah (BD), dan Dana Alokasi Umum (DAU) dikurangi Belanj
a Wajib (BW) dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga dan biaya pinjaman lainnya y
ang jatuh tempo.
Dapat dirumuskan sebagai berikut :
DSCR = (PAD+BD+DAU-BW) / (Angsuran Pokok+Bunga+Biaya pinjaman jatuh tempo)
8. Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio)
Untuk mengetahui komponen-komponen (Pendapatan, PAD, Belanja, Belanja Rutin dan
sebagainya) mana yang perlu mendapatkan perhatian sebaiknya melihat terlebih dahulu p
ertumbuhan komponen-komponen tersebut. Selain ini ratio pertumbuhan ini akan menunj

15
ukkan kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberh
asilan yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Sebaiknya pertumbuhan ini
dinyatakan dalam bentuk persentase.
Pertumbuhan yang diukur dalam organisasi sektor publik meliputi :

a. Pertumbuhan Aset = Mengukur perubahan dari aset antara satu periode dengan periode y
ang lain.
Rumusnya : (Aset akhir – Aset Awal) (100%) / Aset awal

b. Pertumbuhan Utang = Mengukur perubahan dari Utang antara satu periode dengan perio
de yang lain.
Rumusnya : (Utang  akhir – Utang Awal) (100%) / Utang awal

c. Pertumbuhan Ekuitas = Mengukur perubahan dari Ekuitas antara satu periode dengan per
iode yang lain.
Rumusnya : (Ekuitas akhir – Ekuitas Awal) (100%)  / Ekuitas awal

d. Pertumbuhan Pendapatan = Mengukur perubahan dari Pendapatan antara satu periode de


ngan periode yang lain.
Rumusnya : (Pendapatan akhir – Pendapatan Awal) (100%) / Pendapatan awal

e. Pertumbuhan Belanja = Mengukur perubahan dari Belanja antara satu periode dengan per
iode yang lain.
Rumusnya : ( Belanja Akhir – Belanja Awal) (100%)  / Belanja awal

f. Pertumbuhan Surplus/Defisit = Mengukur perubahan dari Surplus/Defisit antara satu peri


ode dengan periode yang lain.
Rumusnya : (Surplus/Defis akhir – Surplus/Defis Awal) (100%)  / Surplus/Defis awal

g. Pertumbuhan SiLPA/SiKPA = Mengukur perubahan dari SiLPA/SiKPA antara satu perio


de dengan periode yang lain.
Rumusnya : (SiLPA/SiKPA – SiLPA/SiKPA Awal) (100%) / SiLPA/SiKPA awal
BAB III

16
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
'Nilai untuk uang' (VFM) adalah istilah yang digunakan untuk menilai apakah organisasi
telah memperoleh manfaat maksimal dari barang dan jasa yang baik memperoleh dan
memberikan, dalam sumber daya yang tersedia untuk itu. Beberapa elemen mungkin subyektif,
sulit diukur, tidak berwujud dan disalahpahami. Penghakiman Oleh karena itu diperlukan ketika
mempertimbangkan apakah VFM telah tercapai atau tidak memuaskan.
Balance Scorecard (BSC) adalah sistem manajemen (bukan hanya sebuah sistem
pengukuran) yang dapat membantu organisasi untuk menjelaskan visi dan strategi mereka dan
menerapkannya dalam kegiatan operasinya. BSC memberikan umpan balik, baik dari sisi proses
kegiatan internal maupun hasil-hasil dari luar, dalam rangka perbaikan kinerja dan hasil suatu
organisasi secara terus menerus. Ketika diimplementasikan, BSC mentransformasikan
perencanaan strategis dari hanya sekedar wacana akademis menjadi sesuatu yang nyata. BSC
pun dapat dipergunakan di dalam pemerintahan.

DAFTAR PUSTAKA

17
Penulis. 2011. “NIM 7123220008 CHAPTER II”.
http://digilib.unimed.ac.id/5662/9.%20NIM %20%207123220008%20CHAPTER
%20II.pdf
Moh Mahsun. 2011. “Pengukuran Kinerja Di Sektor Publik”.
http://mohmahsun.blogspot.co.id/2011/04/balance-scorecard-di-organisasi-sektor.html
Zetsu. 2010. “balance Scorecard di Sektor Publik”.
http://zetzu.blogspot.co.id/2010/10/balance-scorecard-di-sektor-publik.html
Moh Mahsun. 2010. Value For Money Audit Economy”.
http://mohmahsun.blogspot.co.id/2011/04/value-for-money-audit-economy.html
Desiana Nurul Aini. 2011. “Value For Money Sebagai Salah Satu Metode
Pengukuran Kinerja”.
http://sayabisamelakukansemuanyadisini.blogspot.co.id/2011/06/value-for-money-
sebagai-salah-satu.html
Icka Chaz Guinea. 2011. “Rasio Rasio Yang digunakan Untuk Menganalisis
Laporan Keuangan Sektor Publik”. http://icka-imckaz.blogspot.com/2012/10/rasio-rasio-
yang-digunakan-untuk.html
Amelia Mustika. 2022. RMK Bab 9 Rasio Keuangan Sektor Publik”.
https://id.scribd.com/document/453901721/rmk-bab-9-rasio-keuangan-sektor-publik

18

Anda mungkin juga menyukai