Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH PSIKOLOGI INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS


“Tunanetra”

Kelas E-2019

Disusun Oleh:
Devy Riska Ramadhanty (201910230311257)
M. Ari Taufiqurrahman (201910230311262)
Devany Angie Wulandari (201910230311288)
Syaqilla Lailatul Balqis (201910230311289)
Putri Nikmatul Azizah (201910230311292)
Diana Manzilatul Hasanah (201910230311304)

Dosen Pengampu:
Putri Saraswati, M.Psi

Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang
2022
A. SEJARAH DAN DEFINISI TUNANETRA
Istilah tunanetra merupakan dua kata penggabungan dari “tuna” dan “netra”, dalam KBBI
kata tuna yaitu dirugikan atau kurang sedangkan buta yaitu kerusakan mata. Sehingga
tunanetra adalah kerusakan yang terjadi pada mata. Secara umum individu dikatakan
tunanetra jika penglihatan berubah dari 20/200 atau lebih rendah atau ketajaman visualnya
tidak lebih dari 20 derajat (Fitriani, Wahidah., dkk, 2022). Menurut Muharomah (2016)
tunanetra adalah kondisi luka atau rusaknya indera penglihatan yang membuat individu
menjadi kurang dalam penglihatannya.

B. PREVALENSI TUNANETRA
Pada tahun 2008, Badan Pusat Statistik dan Pendataan Program Perlindungan Sosial
melakukan survey terhadap individu penyandang disabilitas. Didapatkan hasil sebanyak
207.087 jiwa merupakan penyandang disabilitas tuna netra. Pada tahun 2011, Pendataan
Program Perlindungan Sosial kembali melakukan survey. Data yang dihimpun dari Program
Perlindungan Sosial, sebanyak 5.921 anak penyandang disabilitas tuna netra. Tahun 2012,
hasil survey. Survey Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
didapatkan hasil sejumlah 1.780.200 jiwa menyandang disabilitas tuna netra.

C. PENYEBAB TUNANETRA
Terdapat 2 penyebab seseorang mengalami tuna netra:
1. Pre natal (sebelum lahir), hal ini dapat terjadi karna faktor keturunan dan pertumbuhan
janin selama masa dikandungan.
2. Post natal (setelah lahir) dapat terjadi pada ibu yang memiliki penyakit gohnorrae,
trachoma, dan yang terakhir karna kecelakaan.

D. KARAKTER PSIKOLOGI DAN PERILAKU TUNANETRA


Menurut mangunsong (2009), anak yang mengalami gangguan penglihatan atau tunanetra
adalah adanya penglihatan yang tidak normal. Secara fisik tunanetra memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Mengalami kesulitan dalam melohat dengan jarak dekat atau jauh dikarenakan
pandangannya yang kabur. Hal seperti ini biasa diteui pada kasus penglihatan myopia,
hyperopia, ataupun astigmalismus. Namun jenis gangguan penglihatan ini masih bisa
diatasi dengan penggunaan lensa kacamata atau lensa kontak sesuai dengan kebutuhan.
2. Kurang mampu dalam membedakan warna
3. Kesulitan dalam berdaptasi terhadap stimulus terang dan gelap.
4. Sangat sensitive terhadap cahaya terang atau photophobic
5. Ruang penglihatan yang cukup terabatas. Misal, hanya jelas melihat pada tepi atau
sentral.

Ciri lain dari gangguan penglihatan atau tunanetra dilihat dari beberapa aspek yaitu :
1. Aspek Fisik
Jalan tegak, tangan selalu di depan, dan berjalan tersendat.
2. Aspek Intelegensi
Intelegensi anak tunanetra sama dengan anak normal pada umumnyaa. Ada yang cerdas,
rata-rata dan rendah. Yang membedakan adalah bagaimana cara belajarnya yaitu
menggunakan huruf braile
3. Aspek Perilaku
Menutup diri, mengenal orang melalui suara/ rabaan dan sikap antispasi tinggi terhadap
orang yang pernah mengganggunya.

E. IDENTIFIKASI DAN ASESMEN TUNANETRA


Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengidentikasi anak penyandang
tuna netra yaitu :
1. Untuk mengidentikasi anak yang belum sekolah dapat dilakukan dengan pendataan dan
bekerjasama dengan perangkat desa, RT, RW setempat.
2. Untuk mengidentifikasi anak-anak yang sudah bersekolah, dapat dilakukan dengan cara :
 Menghimpun data tentang anak
Guru dapat menghimpun data kondisi seluruh siswa di kelas berdasarkan gejala yang
tampak dengan menggunakan alat identifikasi anak dengan hambaran motorik.
 Menganalisis data dan mengklasifikasi anak
Membuat daftar nama anak yang diindikasi mengalami kelainan sesuai dengan ciri-
ciri dan standar nilainya. Adapun klasifikasi individu dengan gangguan penglihatan
diantaranya :
a. Berdasarkan waktu terjadinya ganggian penglihatan
- Tuna netra dari sejak atau sebelum lahir. Mereka sama sekali tidah
memiliki pengalaman dalam melihat.
- Tuna netra setelah lahir atau pada usia kecil. Mereka sudah memiliki kesan
dan pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
- Tuna netra pada usia sekolah atau pada saat usia remake. Mereka telah
memiliki kedan dan pengalama visual serta memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap proses perkembangan dirinya.
- Tuna netra pada usia dewasa. Mereka mampu melakukan latihan-latihan
penyesuaian diri dengan penuh kesadaran.
- Tuna netra usia lanjut. Karena faktor usia, biasanya mereka sudah cukup
sulit mengikuti latihan-latihan untuk melakukan penyesuaian diri.
b. Berdasarkan kemampuan daya penglihatan
- Tuna netra ringan (defective vision / low vision)
Mereka memiliki hambatan dalam penglihatan tetapi masih mampu
mengikuti program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan atau
kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
- Tuna netra setengah berat (patially sighted)
Mereka yang kehilangan Sebagian daya penglihatan, sehingga harus
menggunakan bantuan kaca pembesar. Mampu mengikuti pendidikan biasa
atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
- Tuna netra berat (totally blind)
Mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
c. Berdasarkan pemeriksaan klinis
- Tuna netra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan
atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
- Tuna netra yang memiliki penglihatan antara 20/70 sampai 20/200 yang
kondisinya lebih baik melalui perbaikan.
d. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata
- Myopia
Myopia atau rabun jauh adalah kelainan yang hanya mampu melihat dalam
jarak dekat. Bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Untuk
membantu penderita myopia, digunakan kacamata dengan lensa negative.
- Hypermetropi
Hypermetropi atau rabun dekat adalah kelainan yang hanya mampu
melihat dalam jarak jauh. Bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan
retina. Penglihatan akan jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu
penderita hypermetropi, digunakan kacamata dengan lensa positif.
- Astigmatisme
Astigmatisme atau silinder merupakan penyimpangan atau penglihatan
yang kabur karena bayangan objek benda tidak terfokus jatuh di retina baik
pada jarak dekat maupun jarak jauh. Penderita ini biasanya dibantu dengan
kacamata lensa silindris.
 Mengadakan pertemuan kasus
Melakukan koordinasi dengan kepala sekolah, dewan guru, orang tua/wali, tenaga
professional, guru pembimbing.

Setelah dilakukan identifikasi, langkah berikutnya adalah melaksanakan asesmen.


Asesmen dilakukan untuk mengumpulkan data secara menyeluruh agar program pelatihan
yang dirancang akan sesuai kebutuhan anak. Menurut Palmer O. James (2003), terdapat
beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mengasesmen individu yang mengalami tuna
netra yaitu;
1. Skala penilaian
Skala penelitian merupakan salah satu alat non tes yang tidak ada jawaban salah dan
benar. Skala ini memiliki kelebihan mudah dan cepat dalam pelaksanaannya tetapi
memiliki kelmahan dimana dapat bersifat bias karena proses penilaian yang salah.
2. Wawancara
Wawancara digunakan sebagai teknik asesmen karena mudah untuk dilakukan, fleksibel,
dan luwes untuk anak-anak. Dari wawancara maka akan mudah untuk mendapatkan
jawaban dan penjelasan yang lebih detail.
3. Observasi
Observasi dilakukan dengan pengamatan yang cermat untuk tujuan tertentu. Tujuan
observasi adalah untuk mengetahui bagaimana perilaku yang ditunjukkan anak
tunarungu. Observasi yang dapat dilakukan yaitu observasi klinis dan observasi
pengukuran. Observasi klinis dilakukan untuk siswa yang mengalami hambatan fisik.
Teknik ini sangat cocok bila dilakukan oleh guru. Berikutnya adalah observasi
pengukuran, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan mengamati lingkungan yang
dapat memberikan penjelasan terkait penyebab permasalahan individu tuna netra.
4. Tes formal dan informal
Tes formal dan informal yang diberikan dapat dilakukan secara kelompok maupun
perorangan. Macam-macam tes formal menurut Williems Mc. N (2004) adalah tes
intelegensi, tes bakat, dan tes pendengaran.
5. Penilaian klinis
Penilaian klinis biasa dilakukan apabila subjeknya adalah anak kecil. Penilaian ini juga
dilakukan berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan data diagnosa oleh tenaga
professional.
Adapun komponen asesmen yang digunakan dalam menilai individu berkebutuhan khusus tuna
netra yaitu :

Penglihatan
Pemeriksaan mata oleh omtalmolog atau optometris
Asesmen fungsi penglihatan
Asesmen efisiensi penglihatan
Evaluasi penggunaan alat bantu penglihatan
Inteligensi/Kepribadian
Perkembangan kognitive
Fungsi intelektual
Keterampilan Sensori/Motorik
Perkembangan motorik kasar dan halus
Kemampuan perseptual
Keterampilan Akademik/Perkembangan Konsep
Prestasi, baca, tulis, mengeja, dan matematika
Perkembangan bahasa
Keterampilan mendengar dan menyimak
Konsep: waktu, kualitas, posisi, arah, urutan dll
Keterampilan belajar
Sosial/Emosi/Afektif
Kontrol perilaku
Belajar sosial dan afektif
Keterampilan adaptif
Rekreasi dan waktu luang
Kecakapan hidup
ADL
OM
Penggunaan transportasi
Karir dan Vokasional

F. PERTIMBANGAN PENDIDIKAN UNTUK TUNANETRA


1. Braille
Braille adalah sistem membaca dan menulis yang biasa digunakan oleh anak tunanetra
dalam bentuk simbol huruf, kata atau simbol lain dalam tulisan grafis. Tulisan braille
terdiri dari kumpulan titik-titik timbul (sel) yang membentuk formasi tertentu. Braille
adalah alat utama untuk pendidikan tunanetra, itu adalah sarana untuk memperoleh
informasi dan sarana untuk mengekspresikan diri dalam bentuk tulisan.
2. Pemanfaatan sisa penglihatan
Muncul fakta bahwa sebagian besar anak tunanetra masih memiliki sisa penglihatan,
sehingga muncul kecenderungan baru untuk mendorong anak tunanetra menggunakan
sisa penglihatannya. Guru di kelas harus mendorong anak-anak tunanetra untuk
menggunakan sisa penglihatan sebanyak mungkin. Sebagian besar anak tunanetra harus
membaca huruf cetak daripada braille karena huruf cetak akan lebih cepat dapat
melukiskan gambar serta lebih mudah untuk mendapatkan bahan bacaannya. Ada dua
strategi umum untuk membantu anak tunanetra membaca teks cetak, yaitu: (a)
penggunaan buku tulisan yang berisi cetakan besar, (b) penggunaan alat atau kaca
pembesar atau alat audio visual lainnya.
3. Pemanfaatan kemampuan mendengar
Kecenderungan mendengar pada anak tunanetra otomatis akan meningkat, namun peran
guru juga sangat penting dalam menyediakan atau memastikan kelas dalam keadaan
bebas dari gangguan suara lainnya.

G. INTERVENSI TERAPI UNTUK TUNANETRA


Program pendidikan yang umum digunakan untuk siswa tunanetra dan low vision
berkisar dari kelas umum hingga institusi khusus
1. Kelas umum/reguler, yaitu: guru di kelas dibantu oleh guru khusus (shadow) untuk
menyiapkan materi dan pendidikan bagi siswa tunanetra.
2. Program guru kunjung, yaitu: siswa tunanetra berada dalam kelas biasa, tetapi juga
mendapatkan latihan untuk pelajaran khusus seperti keterampilan mendengar atau
menggunakan optacon.
3. Program ruang sumber, yaitu: siswa tunanetra bersama teman sekelasnya menerima suatu
pelajaran, namun pada saat tertentu menerima program tertentu pula dalam suatu ruangan
khusus.

Siswa tunanetra bisa mendapatkan kurikulum sekolah biasa, namun ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dengan menambahkan kurikulum plus dengan pengajar yang ahli.

H. TRANSISI MENUJU TAHAP DEWASA


Seorang penyandang tunanetra yang berada pada tahapan perkembangan dewasa awal
dituntut untuk memenuhi tugas perkembangan yang ada. Namun, mereka juga menghadapi
tantangan yang besar dalam melaksanakan tugas perkembangannya. Kondisi tersebut dapat
memberikan pengaruh terhadap kondisi mentalnya.
Menurut Crews & Campbell 2004 (dalam Mega Tala H. dkk. 2014) ketika individu
tunanetra memasuki masa dewasa awal, permasalahan yang sering dialami adalah
ketidakmampuan untuk bekerja karena keterbatasan yang dimiliki dan hidup produktif,
memperoleh pasangan hidup, diasingkan karena sering dipandang negatif oleh lingkungan
sekitar, dan selalu bergantung kepada orang lain. Dampak lain yang dirasakan individu
dewasa awal pada tuna netra adalah perasaan kehilangan kemampuan untuk mengikuti
aturan sosial. Individu tunanetra juga cenderung memiliki kecemasan yang berkaitan dengan
tugas perkembangan pada masa dewasa awal yaitu memiliki pasangan dan pekerjaan.

I. JURNAL INTERVENSI
1. Judul Artikel
“Meningkatkan Kemampuan Mengenal Huruf Braille Melalui Media Kartu Huruf Anak
Tunanetra”
2. Tahun : 2012
3. Penulis : Rani Sattria
4. Permasalahan
Siswa tunanetra di SDLB N 35 Painan memiliki kesulitan dalam membaca huruf braille.
Seperti dalam menentukan, mengidentifikasi hingga mengenali titik-titik huruf braille.
Hal ini terjadi karena siswa ini kurang mampu menggunakan perabaannya dengan
sempurna dalam membaca huruf braille, penguasaan orientasi serta motivasi dari
lingkungan sekitar anak sangat kurang, sehingga mengakibatkan membaca yang
seharusnya telah dikuasi belum tertanam dengan baik dalam diri anak tersebut.
5. Metode Intervensi
Peneliti melakukuan intervensi dengan menggunakan media kartu huruf untuk anak
tunanetra yang dituliskan atau ditempelkan pada kertas karton sesuai dengan kebutuhan.
Pelatihan dengan menggunakan kartu huruf ini dilakukan selama delapan hari secara
terus menerus.
6. Hasil
Setelah diberikan intervensi, subjek menunjukkan hasil peningkatan yang cukup
signifikan. Siswa tersebut telah mampu mengidentifikasi titik-titik huruf braille dengan
baik. Pada hari pertama subjek dapat mengenal huruf braille sebanyak 36%, hari kedua
subjek dapat mengenal huruf sebanyak 50%, hari ketiga subjek dapat mengenal huruf
63%, hari keempat subjek dapat mengenal huruf sebanyak 55%, dan hari kelima subjek
dapat mengenal huruf sebanyak 81%, hari keenam 93%, hari ketujuh 93%, dan hari
kedelapan 93% dengan benar.
7. VIDEO TUNANETRA
https://youtu.be/mc2jarme_20
Daftar Pustaka

Desiningrum, D. R. (2017). Psikologi anak berkebutuhan khusus. Yogyakarta: Psikosain.


Fitriani, Wahidah., dkk. (2022). Gambaran subjective wellbeing pada penyandang tunanetra di
slb a lima puluh kota sumatera barat. Jurnal Pendidikan dan Konseling, 4(1), 490-498.
Harimukhti, Tala M. & Kartika Sari D. (2014). Eksplorasi Kesejahteraan Psikologis Individu
Dewasa Awal Penyandang Tunanetra. Jurnal Psikologi Undip. 13 (1): 64-77.
Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Depok: LPSP3 UI.
Nurhasanah. (2021). Pengembangan pembelajaran orientasi mobilitas sosial dan komunikasi
(omsk) dalam membentuk karakter anak tunanetra (studi kasus yayasan raudlatul makfufin
serpong kota tangerang selatan). Skripsi. Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Jakarta. Haryanto dan Syamsi, Ibnu. (2019).
Pengantar Identifikasi dan Asesmen : Suatu Tinjauan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:
UNY Press.
Pratiwi, M. M. S. (2011). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.
Purwanto, H. (1998). Ortopedagogik umum. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Sabilillah, M. F., Taftazani, R. Z., Sopianah, Y., & Fatmasari, D. (2016). Pengaruh dental braille
education (DBE) terhadap oral hygiene pada anak tunanetra. Jurnal Kesehatan Gigi, 3(2), 7-
13.
Satria, R. (2012). Meningkatkan Kemampuan Mengenal Huruf Braille Melalui Media Kartu
Huruf Anak Tunanetra. Jurnal Penelitian Pendidikan Khusus, 1(3).
Setiawan, A. (2018). KONSEP DIRI ORANG TUA pada ANAK TUNA WICARA di SLB
NEGERI SEMARANG (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Semarang).
Sunanto, Juang. Asesmen dan Pembelajaran Bagi Tunanetra. FIP UPI. (Online).
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196105151987031-
JUANG_SUNANTO/ASESMEN_DAN_PEMBELAJARAN_BAGI_TUNANETRA.pdf.
Diakses tanggal 4 April 2022.

Anda mungkin juga menyukai