Pihak korban yang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum/ PMH harus
membuktikan adanya kesalahan dari pelaku jika disebabkan karena kelalaian/ kesengajaan,
tidak mudah. Dalam hukum ada doktrin res ipsa loquitor, membantu pihak korban untuk
membuktikan kasusnya. Doktrin tersebut membalikkan ajaran tradisional dimana kelalaian
tidak dapat hanya dipresumsi tetapi harus dibuktikan. Dalam bahasa Inggris doktrin res
ipsa loquitor berarti the thing speaks for itself, artinya benda tersebut yang berbicara, hanya
berlaku terhadap PMH dalam bentuk kelalaian/ negligence, tidak berlaku dalam bentuk
kesengajaan/ tanggung jawab mutlak. Pihak korban tidak perlu membuktikan adanya unsur
kelalaian dari pelaku, cukup dengan menunjukan fakta yang terjadi dan menarik
kesimpulan sendiri. Tidak perlu menjelaskan gimana pelaku berbuat sehingga
menyebabkan adanya PMH tersebut dan tidak mengetahui persisnya yang melakukan.
Tidak adil jikan korban PMH harus menanggung sendiri kerugian akibat kelalaian orang
lain hanya karena pihak lain lebih banyak mengetahui kejadiannya tetapi tidak mau
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Doktrin res ipsa loquitor memindahkan beban
pembuktian ke pihak pelaku, pihak korban tidak perlu membuktikan cukup membeberkan
akibat yang terjadi padanya dan bagaimana sampai akibat itu terjadi serta buktiin bahwa
biasanya akibat itu baru terjadi jika ada kelalaian dari pihak pelaku PMH.
b. Presumsi kelalaian
Akibat diberlakukannya doktrin res ipsa loquitor, dengan membeberkan akibat dan fakta
yang menimbulkan akibat itu oleh hukum telah di presumsi pihak yang disangka pelaku
PMH dianggap telah melakukannya tanpa korban perlu membuktikannya. Beban
pembuktian pihak pelaku tidak bersalah ada di dirinya sendiri karena banyak mengetahui
hal kejadian itu, pembalikan alat bukti dari korban ke pelaku (pembuktian terbalik/
omkering van bewijslast)
Arti res ipsa loquitor, benda tersebut yang berbicara, pihak korban hanya buktiin fakta,
situasi dan kondisi di sekitar kejadian yang timbulkan kerugian dengan menarik
kesimpulan tertentu dan membiarkan fakta itu yang berbicara.
Doktrin res ipsa loquitor diberlakukan karena pihak pelaku PMH lebih banyak mengetahui
dan banyak akses untuk membuktikan apa yang terjadi, memiliki banyak saksi/ alat bukti
lainnya. Oleh hukum pantas untuk menjelaskannya dengan membebankan pembuktian
bahwa dia tidak bersalah.
e. Konsekuensi terhadap pelaku ganda (pelaku salah satu diantara banyak orang, tidak
diketahui perisnya oleh korban)
Dalam kasus res ipsa loquitor salah satu/ lebih dari pelaku dapat dimintakan tanggung
jawabnya secara hukum meskipun korban tidak dapat menunjukan siapa yang bersalah dan
melakukannya, kewajiban pihak yang disangka untuk membuktikan dirinya tidak bersalah.
Persyaratan yuridis doktrin res ipsa loquitor dapat diterapkan dalam kasus pelaku ganda:
Mematuhi persyaratan standar untuk diterapkan doktrin res ipsa loquitor; Mematuhi
persyaratan tambahan, hubungan rekan profesional antar sesama pelaku dan; Memenuhi
persyaratan tambahan, semua memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan/ kesehatan
dari korban
Salah satu contoh penerapan doktrin res ipsa loquitor dalam kasus pelaku
ganda, seorang korban menderita kecelakaan karena meledaknya botol minuman yang baru
dibelinya. Doktrin itu dapat diterapkan baik penjual, agen/ produsen dapat dinyatakan
bertanggung jawab atas kejadian itu, korban tidak perlu membuktikan siapa yang
sebenarnya bersalah. Doktrin res ipsa loquitor merupakan bagian dari bidang hukum acara
khususnya pembuktian, hukum publik, bersifat memaksa/ dwingen. Sistem pembuktian
perdata Indonesia, mengenal alat bukti persangkaan yang ditarik kesimpulannya oleh
hakim. Ada 2 macam persangkaan yaitu menurut UU dan menurut kesimpulan hakim
(Pasal 1915 KUHPer). Doktrin res ipsa loquitor dapat diberlakukan di Indonesia melalui
alat bukti persangkaan yang disimpulkan oleh hakim sesuai aturan yang berlaku.
2. Dokter dan pasien memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi oleh UU,
kedudukannya seimbang. Kewajiban perlakuan medis oleh dokter harus sesuai dengan
standar umum kedokteran dan operasional. Jika ada pelanggaran menjadi salah satu syarat
malpraktek kedokteran. Seorang dokter tidak hanya menjalankan pekerjaan melayani tetapi
(Pasal 51 UU Praktik Kedokteran) terikat pada kode etik profesi antara lain standar profesi
kedokteran yaitu niat/ itikad baik dokter didasari etika profesinya, kemampuan rata- rata
dari keahlian kedokteran disesuaikan dengan tempat, sarana dan prasarana pelayanan
kesehatan. Dokter merupakan manusia biasa, dapat melakukan kesalahan dalam
menjalankan profesinya baik sengaja/ dolus dan tidak sengaja/ lalai, culpa. Dalam
menyembuhkan pasien terkadang tidak selalu berhasil, dapat cacat hingga kematian. Jika
terjadi masyarakat dengan tingkat kecerdasan tinggi bersikap lebih kritis. Pada umumnya
kegagalan praktek medis dianggap sebagai akibat adanya malpraktek, akibatnya pasien
yang merasa tidak puas membawa ke jalur hukum.
Hasil yang tidak diharapkan dalam praktik kedokteran dapat disebabkan beberapa
kemungkinan yaitu: hasil dari komplikasi penyakit yang tidak ada hubungannya dengan
tindakan medis yang dilakukan dokter; hasil dari resiko yang tidak dapat dihindari, yaitu
resiko yang tidak dapat diketahui sebelumnya (unforesseable), dikarenakan ilmu
kedokteran sifat ilmu empiris dan sifat tubuh manusia yang bervariasi serta rentan akan
pengaruh eksternal; risiko yang sudah diketahui sebelumnya (foresseeable) tetapi dianggap
dapat diterima (acceptable), dan telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui
oleh pasien untuk dilakukan, yaitu: risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya
cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan, dapat dikendalikan. Contohnya efek
samping obat, perdarahan, dan infeksi pada pembedahan, dll. Resiko yang derajat
probabilitas dan keparahannya besar yaitu apabila tindakan medis yang berisiko harus
dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh terutama dalam
keadaan gawat darurat. Resiko medis dalam ilmu hukum terdapat adagium non fit injura
atau assumption of risk, jika seseorang menempatkan dirinya ke dalam suatu bahaya yang
sudah diketahui maka tidak dapat menuntut pertanggungjawaban pada orang lain jika itu
terjadi.
Jika resiko itu muncul saat pelayanan medis maka pasien tidak dapat menuntut
pertanggungjawaban ke tenaga medis. Kalangan kesehatan berpendapat bahwa pasien
kedudukannya sangat kuat sehingga dapat menuntut untuk suatu hasil yang tidak
memenuhi harapannya. Adapun masyarakat yang menganggapnya sebagai takdir, tidak
mengetahui malpraktik yang bisa dilaporkan agar mendapat kompensasi/ perbaikan.
Catatan medis yang sering tidak lengkap membuat sulit untuk melacak prosedur
penanganan oleh dokter. Tidak semua kasus dapat dikatakan malpraktek karena kesalahan
dokter merupakan kesalahan profesi, tidak mudah untuk membuktikannya di pengadilan
namun tidak berarti tidak dapat dibuktikan. Dalam mencari kebenaran materiil suatu kasus,
memerlukan bukti yang mendukung. Contohnya dalam perkara kelalaian dokter yang
mengakibatkan pasien menderita luka ringan, berat/ meninggal dunia tidak cukup
dibuktikan dengan bukti surat, harus ditunjang alat bukti lain. Metode yang dapat
digunakan dalam membuktikan malpraktek medis yaitu dengan doktrin res ipsa loquitor.
Doktrin tersebut dapat diterapkan jika fakta yang ditemukan memenuhi kriteria seperti:
fakta yang tidak mungkin terjadi jika dokter tidak lalai; fakta yang terjadi berada di bawah
tanggung jawab dokter dan pasien tidak ikut menyumbang timbulnya fakta itu/ tidak ada
contributory negligence. Pembuktian dengan doktrin tersebut masih harus diuji apakah
fakta dapat dijadikan bukti adanya unsur kesalahan/ kelalaian.
Contoh doktrin res ipsa loquitor dapat dilihat dalam kasus gunting yang tertinggal
dalam perut pasien, tidak mungkin terjadi jika tidak ada kelalaian. Hal itu berada dibawah
tanggung jawab dokter dan pasien dalam keadaan terbius sehingga tidak mungkin ada
contributory negligence. Medical Error (MD) dan Medical Violence (MV), MD dimana
dokter sudah bertindak benar sesuai prosedur namun efek yang tidak diharapkan terjadi
maka tidak dapat disalahkan. MV dimana dokter telah bertindak salah tidak sesuai prosedur
jelas melakukan kesalahan/ kelalaian. Penerapan doktrin tersebut dapat dilihat dalam
putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 109/Pid.B/2009/PN BNA, Putusan
Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 181/PID/2009/PT BNA dan Mahkamah Agung
Nomor 455 K/Pid/2010, terhadap Terdakwa dr. Taufik Wahyudi Mahady, Sp.OG bin
Dr.Rusli Mahady yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana karena kealpaannya
menyebabkan orang lain luka hingga berhalangan melakukan pekerjaan untuk sementara
waktu. Terdakwa dinilai telah melakukan kelalaian ketika operasi Caesar, perut korban
tertinggal kain kasa 20 x 10 cm pada bekas operasi lama yang dilakukan terdakwa dan
terdakwa tidak bertanggung jawab dikatakan korban alergi jahitan. Ada perbedaan dasar
pertimbangan hukum dalam masing- masing putusan pada ketiga tingkat pengadilan dalam
penyelesaian kasusnya.
Wheeler v. Northern Ohio Traction Co, kasir bank yang melengkapi semua
peralatan listrik di dalamnya tewas saat menyalakan lampu listrik di lemari besi dan
penyebabnya tidak dapat dijelaskan. Dalam kasus ini diyakini jika doktrin res ipsa loquitor
dikendalikan. Reynolds v. Narragansett Co, dalam fakta yang sama bukti itu bertentangan
apakah transformatornya rusak atau tidak. Namun pengadilan menolak untuk menunggu
temuan juri yang mendukung penggugat dan menyatakan bahwa bukti kondisi rusak trafo
memperkenalkan adanya doktrin res ipsa loquitor. Pengadilan Kentucky berpendapat tugas
perusahaan listrik adalah memastikan kabel yang dipakai untuk mengirim listrik dibuat dan
diisolasi dengan benar. Paynter J mengatakan kepada MA Kentucky bahwa adanya bahaya
dari kekuatan yang disuplai maka dalam menggunakannya harus hati- hati untuk
memberikan perlindungan. Aliran listrik yang mengalir hanya dapat dihentikan oleh agensi
dari sumbernya dimana agensi tersebut mengendalikannya dari pembangkit listrik. Pihak
yang mengontrol memiliki kekuatan untuk mematikannya dan harus
mengetahui kondisinya agar tetap aman.
Adapun kasus yang menolak penerapan doktrin res ipsa loquitor salah satunya
dalam kasus National Insurance Company v. Denver Company. Kasus tersebut mengenai
kebakaran yang disebabkan oleh listrik yang keluar melalui peralatan interior sebuah
gedung dan terbukti berada dibawah kendali manajemen pemilik gedung. Kecelakaan itu
tidak dapat dijelaskan serta tidak ada bukti kelalaian pihak tergugat, perusahaan penjamin
tidak dapat memulihkannya dan doktrin res ipsa loquitor tidak berlaku di kasus ini.
Tanggung jawab yang terletak di perusahaan tidak dipercayai di kasus ini sehingga buat
mereka yang melamar harus memastikan kabel diisolasi di tempat tertentu. Jika gagal maka
mereka akan bertanggung jawab atas kerusakan yang mungkin terjadi karena kelalaian atau
sifat konstruksi yang tidak terampil. Pihak yang memasang kabel harus bertanggung jawab
atas segala kerusakan akibat kelalaian, diharapkan saat memasangnya dilakukan dengan
cerdas dan mempekerjakan orang yang berkompeten.
Kasus ini tidak bertentangan dengan Denver Consol. Electric Co. v. Lawrence,
dimana dalam kasus tersebut terdapat bukti kuat mengenai kelalaian terdakwa dan
pengadilan hanya menyatakan jika temuan juri tidak akan diganggu. Dalam kasus itu
doktrin National Fire Insurance Company v. Denver Co., dijadikan sebagai hukum
Colorado, sebagaimana dikutip sebagai otoritas yang menentang penerapan res ipsa
loquitor oleh pengadilan West. Virginia, Tennessee, Colorado, Arkansas dan Kansas, dan
pengadilan ini bahkan belum merujuk pada kasus Hukum. Di Memphis Co. v. Speers,
dimana seekor kuda terbunuh saat memasang tiang bermuatan listrik tinggi
dikomunikasikan melalui kabel listrik yang dimiliki dan dibangun secara pribadi yang
dibalut listrik oleh terdakwa. Pengadilan mengutip Maysville Gas Co. v. Thomas dan
National Fire Insurance Company v. Denver Co, secara tegas menolak kepemilikan kasus
Kentucky. Pengadilan mengatakan bahwa sesuai dengan yang ada di Colorado menyatakan
tidak ada tanggung jawab jika tidak ada kendali atas kabel dan pengetahuan soal cacat yang
mengakibatkan cedera.
Byrd v. Pine Bluff Corp, karyawan terdakwa pergi ke sebuah rumah dimana kabel
sudah dipasang oleh pemiliknya, terdakwa tidak memiliki kendali dan karyawan itu
meninggal karena terkena arus listriknya. Kasus ini ditetapkan tergugat tidak dibebankan
tanggung jawab karena tugas untuk memelihara dan memperbaiki kabel rumah ada di
pemiliknya. Pengadilan mengadopsi doktrin National Fire Insurance Co. v. Denver Co,
dimana ada tugas berkelanjutan untuk melakukan perawatan yang benar guna memastikan
dalam kondisi aman. Pemilik memiliki hak untuk memasang kabel sendiri dan yang
mengontrak perusahaan penerangan hanya menyediakan listrik dan tidak bertanggung
jawab atas kabel itu sehingga ada anggapan kelalaian tergugat karena gagal menjaga kabel
tetap terisolasi. Kasus Kansas tentang Hoffman v. Leavenworth, terdakwa terikat kontrak
dengan pemerintah untuk menyediakan arus listrik untuk penerangan dan keperluan motor
di Reservasi Militer Fort Leavenworth. Dalam putusannya menyatakan tidak ada tindakan
yang dapat dilakukan atas kematian karena kontak dengan alat listrik di tempat itu karena
tidak dapat dikendalikan terdakwa.
Dari kasus- kasus tersebut ada yang dikabulkan dan tidak, analisis dari semua
kasus tersebut adalah berkaitan dengan tanggung jawab ada dua prinsip. Dimana satu pihak
akan memakai miliknya sendiri, tidak melukai pihak lain dan tuntutan hukumannya apa
yang masuk akal ada di bawah lingkungan untuk mencegah cedera itu. Dalam penggunaan
aliran listrik harus berhati hati untuk hindari kerusakan. Pihak yang bertanggung jawab
dalam menggunakannya, pihak furnishing tidak diwajibkan memelihara inspeksi seperti
disimpan dengan aman, selama tidak dikenakan biaya dengan pengetahuan soal cacat di
dalamnya akan adil dan masuk akal jika keimanan itu akan dipertahankan (dianggap
bertindak sesuai dengan kehati- hatian dan keamanan). Dalam Fickeisen v. Wheeling
Electrical Co, penggugat terbunuh karena guncangan dari kabel pelanggan tergugat
menyatakan doktrin res ipsa loquitor tidak dapat diterapkan dan terdakwa tidak
bertanggung jawab. Pengendalian memperlakukan kasus ini sebagai kesan pertama di west
virginia dan berdasarkan pendapat dalam kasus - kasus yang sudah diberikan sanksi serta
menolak doktrin kasus Kentucky dibawah keadaan fakta yang serupa dalam Perry v. Ohio.
Tidak berlakunya doktrin res ipsa loquitor juga terlihat dalam kasus Minneapolis,
Co v. Cronon. Doktrin tersebut tidak berlaku karena kabel bagian dalam toko pandai besi
tidak ada dalam kendali terdakwa. Pengadilan meninjau perusahaan asuransi kebakaran
Nasional v. Denver, Perusahaan; Memphis Co v. Speers; dan Keefe v. Narragansett, dan
menyetujui doktrin yang ditetapkan di sana. Di kasus Harter v. Colfax, dimana doktrin res
ipsa loquitor tidak berlaku karena peralatan listrik di hotel tidak dipelihara oleh tergugat.
Dari Kasus- kasus itu terlihat jika doktrin res ipsa loquitor tidak dapat diterapkan jika
kecelakaan itu disebabkan oleh alat yang rusak di bawah manajemen penggugat; atau pada
kasus yang melibatkan tanggung jawab yang terbagi, di mana kecelakaan yang tidak dapat
dijelaskan mungkin disebabkan oleh salah satu dari beberapa penyebab. Dalam semua
kasus lain yang mendukung penerapan res ipsa loquitor ditemukan bahwa ada bukti dari
beberapa tindakan kelalaian dari pihak tergugat dan karenanya doktrin tersebut tidak perlu
digunakan. Doktrin ini dapat diterapkan jika bagian dari alat listrik yang menyebabkan
cedera tidak berada di bawah kendali dan pengawasan pembela.
4. Res ipsan loquitor berasal dari Bahasa Latin, dokrin yang membantu penggugat
untuk membuktikan adanya kelalaian, kecelakaan tersebut berbicara untuk dirinya sendiri,
sesuai fakta. Doktrin tersebut penting karena terkadang sulit bagi korban untuk
membuktikan kelalaian. Saat menerapkan doktrin res ipsa loquitor, penggugat harus
membuktikan 2 hal yaitu kecelakaan itu biasanya tidak terjadi kecuali seseoranag ceroboh
dan membuktikan terdakwa mengendalikan apapun yang menyebabkan kecelakaan itu. 4
elemen utama dalam kasus kelalaian yaitu tugas, pelanggaran, penyebab dan kerusakan. 2
doktrin hukum yang membantu untuk membuktikan kelalaian yaitu doktrin res ipsa
loquitor yang memungkikan kelalaian (merugikan elemen tugas dan pelanggaran)
dibuktikan berdasarkan keadaan sekitarnya dan kelalaian itu sendiri yang menginginkan
terjadinya pelanggaran dari pelanggaran hukum yang ada. Fakta dan keadaan yang ada
berkaitan dengan cedera memungkinkan untuk menganggap kelalaian itu sudah terjadi.
Pada kasus kelalaian umum, penggugat harus membuktikan jika terdakwa berhutang
kewajiban ke korban dan gagal memenuhi kewajiban itu. Dalam res ipsa loquitor kelalaian
tergugat tidak perlu dibuktikan karena sudah dianggap ada dari fakta- fakta yang ada.
Elemen doktrin resipsa loquitor yaitu terdakwa ada dalam kendali eksklusif atas
situasi yang menyebabkan cedera; cidera tersebut biasanya tidak terjadi jika tidak ada
kelalaian dari terdakwa dan cedera korban bukan karena tindakan/ kontribusinya sendiri.
Unsur- unsur tersebut terpenuhi maka beban pembuktian bergeser ke tergugat untuk
membuktikan ia tidak lalai. Salah satu contoh kasus yang dapat menerapkan doktrin
tersebut adalah kasus Bryne Vs Boadle di Inggris. Doktrin Res ipsa loquitor dapat
diterapkan dalam malpraktik medis. Peristiwa tersebut biasanya tidak terjadi jika tidak ada
kelalaian, menimbulkan kerugian sehingga dapat dimintai pertanggung jawaban kecuali
dapat membuktikan bahwa tidak lalai. Untuk membuktikan kelalaian penggugat haruus
menetapkan bahwa terdapat UU yang mendefinisikan standar perilaku tertentu; terdakwa
melanggar UU itu penggugat merupakan pihak yang ingin dilingungi UU itu dan
penggugat menderita cedera yang dirancang untuk dicegah oleh UU itu. Kelalaian per se
sering dipakai dalam kasus kecelakaa mobil jika bisa menunjukan pengemudi melanggar
UU lalu lintas yang menyebabkan kecelakaan, kelalaian dianggap sebagai pelanggaran
tidak perduli seberapa kecil. Salah satu contohnya dapat dilihat pada kasus badan
legislative Minnesota yang memberlakuan UU yang wajibkan perusahaan kereta api untuk
memelihara pagar dan perlintasan jalan. Res ipsa loquitor dan kelalaian per se adalah
doktrin yang membantu dalam membuktikan pelanggaran tugas dalam kasus kelalaian
tertentu yang memungkinkan kelalaian untuk disimpulkan dari keadaan.
Bukti langsung diketahui saat melihatnya, memiliki saksi yang memberikan secara
langsung apa yang perlu dibuktikan. Bukti sirkumtansial/ bukti tidak langsung adalah bukti
dari fakta – fakta yang ada yang saling berkaitan kemudian menarik kesimpulan dari fakta
tersebut. Bukti sirkumtansial tidak berarti lebih buruk terkadang sangat kuat karena berasal
dari bukti langsung. Bukti sirkumtansial memiliki 2 langkah proses penalaran yatiu harus
memutuskan apakah mempercayai apa yang dikatakan saksi yang merupakan bukti
langsung yang benar kemudian harus memutuskan kapan kesimpulannya. Bukti
sirkumtansial memiliki cara penalaran yang berbeda, tergantung dengan apa yang mau
dibuktikan. Bukti sirkumtansial sangat penting terutama dalam kasus pidana karena
membutuhkan membuktikan rest dan intention. Dalam kasus pidana sangat penting
memakai bukti sirkumtansial untuk hak proposisi. Sebagian besar kasus tidak dapat
dibuktikan tanpa bukti sirkumtansial. Beberapa kasus dibangun sepenuhnya berdasarkan
sirkumtansial, hanya itu yang dimiliki. Bukti langsung, dimana saat mempercayai saksi
sehingga membuktikan fakta yang di berikannya. Dalam bukti sirkumtansial berbeda
dengan bukti langsung, dimana memerlukan suatu proses penalaran dari fakta- fakta yang
ada kemudian memutuskannya.
Hal tersebut terlihat sama namun bukti sirkumtansial dapat datang dari semua hal
bukan masalah mengenai percaya saksi tetapi apakah percaya/ tidak bukti tertentu yang
bermacam- macam. Bukti sirkumtansial harus melakukan evaluasi semua bukti yang ada
berbeda dengan bukti langsung yang tidak mengharuskannya. Bukti sirkumtansial
terkadang membutuhkan bukti lain sehingga dalam menyimpulkannya menjadi lebih rumit
dan harus berhati- hati untuk memastikannya. Bukti sirkumtansial digunakan oleh
pengadilan, salah satunya dalam kasus R Y Villaroman. Instruski kepada juri berguna
untuk memperingatkan resiko bukti sirkumtansial. Dalam instruksinya harus
mengingatkan juri bahwa inferensi bersalah harus menjadi satu-satunya kesimpulan yang
masuk akal dari fakta. Bagian terpenting dalam bukti sirkumtansial adalah harus ada bagian
ekstra dalam proses penalaran. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang istimewa antara
bukti langsung atau bukti langsung.