Anda di halaman 1dari 15

1.

Pihak korban yang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum/ PMH harus
membuktikan adanya kesalahan dari pelaku jika disebabkan karena kelalaian/ kesengajaan,
tidak mudah. Dalam hukum ada doktrin res ipsa loquitor, membantu pihak korban untuk
membuktikan kasusnya. Doktrin tersebut membalikkan ajaran tradisional dimana kelalaian
tidak dapat hanya dipresumsi tetapi harus dibuktikan. Dalam bahasa Inggris doktrin res
ipsa loquitor berarti the thing speaks for itself, artinya benda tersebut yang berbicara, hanya
berlaku terhadap PMH dalam bentuk kelalaian/ negligence, tidak berlaku dalam bentuk
kesengajaan/ tanggung jawab mutlak. Pihak korban tidak perlu membuktikan adanya unsur
kelalaian dari pelaku, cukup dengan menunjukan fakta yang terjadi dan menarik
kesimpulan sendiri. Tidak perlu menjelaskan gimana pelaku berbuat sehingga
menyebabkan adanya PMH tersebut dan tidak mengetahui persisnya yang melakukan.

Doktrin tersebut merupakan bukti sirkumstansial mengenai fakta/ sejumlah fakta


yang masuk akal untuk ditarik kesimpulan. Doktrin tersebut dapat dipatahkan oleh bukti
sebaliknya, pelaku dapat membuktikan sebaliknya. Pelaku PMH dianggap telah lalai
dengan fakta yang ada tanpa perlu buktiin adanya unsur kelalaian, instrumen yang akibatin
timbulnya kerugian bagi korban ada dalam kontrol penuh pelaku, tanpa ada kelalaian tidak
akan ada perbuatan yang merugikan itu. Penerapan doktrin tersebut bukan untuk
membalikkan beban pembuktian dan mengubah kriteria tanggung jawab tetapi hanya
semata-mata untuk mempermudah korban dalam buktiin siapa yang bersalah dengan
menunjukan bukti sirkumstansial. Di Inggris diterapkan sejak 1809, dalam kasus Christie
V Griggs kasus kelalaian pengangkut orang terhadap penumpangnya. Contohnya dari letak
mobil tabrakan dapat disimpulkan bahwa mobilnya berlari sangat cepat.
Tujuan dari doktrin tersebut adalah untuk mencapai keadilan, pihak korban dalam
PMH di kasus tertentu sangat sulit untuk membuktikan adanya unsur kelalaian terlebih jika
bukti tersebut dalam kontrol pelaku, sulit untuk diakses oleh korban. Doktrin res ipsa
loquitor, menekankan pada penunjukan fakta kejadian oleh korban, meskipun memberikan
hak ke disangka sebagai pelaku untuk membuktikan ketidakbersalahannya. Doktrin
pembuktian terbalik, menekankan pada kewajiban dari pihak yang disangka sebagai pelaku
untuk membuktikannya. Doktrin tanggung jawab mutlak, menekankan pada penunjukan
fakta kejadian oleh korban dan tanggung jawab oleh pihak yang disangka sebagai pelaku
tanpa diberikan hak kepada yang disangka untuk membuktikan ketidakbersalahannya.
Penerapan doktrin res ipsa loquitor dapat dilihat dalam contoh pejalan kaki (korban)
berjalan di dekat sebuah toko milik pelaku PMH. Namun tiba-tiba 1 kaleng besar cat putih
jatuh dan mengenai pejalan kaki itu.
Tidak diketahui atas kecerobohan siapa cat tersebut jatuh tetapi jelas berasal dari
sebelah atas toko itu. Pihak korban hanya dapat membuktikan jika muntahan cat itu berasal
dari sebelah atas toko. Tetapi tidak dapat buktiin siapa yang menumpahkannya. Tidak
mungkin meminta orang dalam toko itu menjadi saksi. Jika ada mereka merupakan orang
pihak pemilik toko, lawan dari korban. Menerapkan doktrin res ipsa loquitor di kasus ini
korban tidak perlu buktiin siapa yang lalai, cukup tunjukkin fakta cat tersebut memang dari
sebelah atas toko yang dikuasai pihak pemilik toko. Tumpahnya cat itu harusnya ada yang
melakukan, sehingga pemilik toko dianggap telah melakukan PMH, kelalaian. Contoh lain,
jika seseorang jatuh dan cedera saat naik eskalator yang tiba- tiba berhenti di tempat
perbelanjaan. Menurut kelaziman eskalator tidak akan berhenti tanpa ada kelalaian
seseorang dan otoritas di tempat tersebut memiliki kewajiban untuk menjaganya secara
aman, berdasarkan doktrin res ipsa loquitor kelalaian dianggap terbukti.
Syarat- syarat berlakunya doktrin res ipsa loquitor diantaranya: Harus
menunjukkan kejadian tersebut biasanya tidak terjadi tanpa adanya kelalaian dari pelaku;
Harus menunjukkan kerugian tidak ikut disebabkan oleh tindakan korban/ pihak ketiga;
instrumen yang menyebabkan kerugian dalam kontrol eksklusif dari yang dituduh pelaku;
Penyebab kelalaian harus dalam lingkup kewajiban yang ada oleh pelaku kepada korban
dan bukan kesalahan korban, tidak ada kelalaian kontributif. Doktrin res ipsa loquitor tidak
diterapkan dalam kasus yang penyebabnya tidak dalam keadaan bersalah. Contohnya
kematian karena pohon tumbang. Kebiasaan pelaku dapat dipakai sebagai pedoman
penerapan doktrin res ipsa loquitor. Kebiasaan bertindak ceroboh, korban cukup
membuktikannya tanpa membuktikan dia yang melakukan tindakan PMH
tersebut. Penerapan doktrin tersebut banyak dilakukan terhadap pihak pelaku yang
menuntut tingkat kehati- hatian yang tinggi. Doktrin ini sering diterapkan terhadap pihak
perusahaan pengangkutan umum, khususnya yang mengangkut manusia seperti
perusahaan pengangkutan dengan kapal laut, bus umum, kereta api, dll, dimana dalam
menjalankan pekerjaannya diharapkan menerapkan kehati- hatian yang sangat tinggi.

Konsekuensi yuridis berlakunya doktrin res ipsa loquitor:


a. Lebih memberikan keadilan

Tidak adil jikan korban PMH harus menanggung sendiri kerugian akibat kelalaian orang
lain hanya karena pihak lain lebih banyak mengetahui kejadiannya tetapi tidak mau
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Doktrin res ipsa loquitor memindahkan beban
pembuktian ke pihak pelaku, pihak korban tidak perlu membuktikan cukup membeberkan
akibat yang terjadi padanya dan bagaimana sampai akibat itu terjadi serta buktiin bahwa
biasanya akibat itu baru terjadi jika ada kelalaian dari pihak pelaku PMH.

b. Presumsi kelalaian

Akibat diberlakukannya doktrin res ipsa loquitor, dengan membeberkan akibat dan fakta
yang menimbulkan akibat itu oleh hukum telah di presumsi pihak yang disangka pelaku
PMH dianggap telah melakukannya tanpa korban perlu membuktikannya. Beban
pembuktian pihak pelaku tidak bersalah ada di dirinya sendiri karena banyak mengetahui
hal kejadian itu, pembalikan alat bukti dari korban ke pelaku (pembuktian terbalik/
omkering van bewijslast)

c. Menjadi bukti sesuai situasi dan kondisi

Arti res ipsa loquitor, benda tersebut yang berbicara, pihak korban hanya buktiin fakta,
situasi dan kondisi di sekitar kejadian yang timbulkan kerugian dengan menarik
kesimpulan tertentu dan membiarkan fakta itu yang berbicara.

d. Memaksa pelaku untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya

Doktrin res ipsa loquitor diberlakukan karena pihak pelaku PMH lebih banyak mengetahui
dan banyak akses untuk membuktikan apa yang terjadi, memiliki banyak saksi/ alat bukti
lainnya. Oleh hukum pantas untuk menjelaskannya dengan membebankan pembuktian
bahwa dia tidak bersalah.

e. Konsekuensi terhadap pelaku ganda (pelaku salah satu diantara banyak orang, tidak
diketahui perisnya oleh korban)
Dalam kasus res ipsa loquitor salah satu/ lebih dari pelaku dapat dimintakan tanggung
jawabnya secara hukum meskipun korban tidak dapat menunjukan siapa yang bersalah dan
melakukannya, kewajiban pihak yang disangka untuk membuktikan dirinya tidak bersalah.
Persyaratan yuridis doktrin res ipsa loquitor dapat diterapkan dalam kasus pelaku ganda:
Mematuhi persyaratan standar untuk diterapkan doktrin res ipsa loquitor; Mematuhi
persyaratan tambahan, hubungan rekan profesional antar sesama pelaku dan; Memenuhi
persyaratan tambahan, semua memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan/ kesehatan
dari korban

Salah satu contoh penerapan doktrin res ipsa loquitor dalam kasus pelaku
ganda, seorang korban menderita kecelakaan karena meledaknya botol minuman yang baru
dibelinya. Doktrin itu dapat diterapkan baik penjual, agen/ produsen dapat dinyatakan
bertanggung jawab atas kejadian itu, korban tidak perlu membuktikan siapa yang
sebenarnya bersalah. Doktrin res ipsa loquitor merupakan bagian dari bidang hukum acara
khususnya pembuktian, hukum publik, bersifat memaksa/ dwingen. Sistem pembuktian
perdata Indonesia, mengenal alat bukti persangkaan yang ditarik kesimpulannya oleh
hakim. Ada 2 macam persangkaan yaitu menurut UU dan menurut kesimpulan hakim
(Pasal 1915 KUHPer). Doktrin res ipsa loquitor dapat diberlakukan di Indonesia melalui
alat bukti persangkaan yang disimpulkan oleh hakim sesuai aturan yang berlaku.
2. Dokter dan pasien memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi oleh UU,
kedudukannya seimbang. Kewajiban perlakuan medis oleh dokter harus sesuai dengan
standar umum kedokteran dan operasional. Jika ada pelanggaran menjadi salah satu syarat
malpraktek kedokteran. Seorang dokter tidak hanya menjalankan pekerjaan melayani tetapi
(Pasal 51 UU Praktik Kedokteran) terikat pada kode etik profesi antara lain standar profesi
kedokteran yaitu niat/ itikad baik dokter didasari etika profesinya, kemampuan rata- rata
dari keahlian kedokteran disesuaikan dengan tempat, sarana dan prasarana pelayanan
kesehatan. Dokter merupakan manusia biasa, dapat melakukan kesalahan dalam
menjalankan profesinya baik sengaja/ dolus dan tidak sengaja/ lalai, culpa. Dalam
menyembuhkan pasien terkadang tidak selalu berhasil, dapat cacat hingga kematian. Jika
terjadi masyarakat dengan tingkat kecerdasan tinggi bersikap lebih kritis. Pada umumnya
kegagalan praktek medis dianggap sebagai akibat adanya malpraktek, akibatnya pasien
yang merasa tidak puas membawa ke jalur hukum.

Perbuatan pelayanan medis yang dapat dipersalahkan harus mengandung sifat


melawan hukum yang dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti: pelanggaran
terhadap standar profesi kedokteran; pelanggaran standar prosedur operasional;
pelanggaran hukum; pelanggaran kode etik kedokteran; pelanggaran prinsip-prinsip umum
kedokteran; pelanggaran kesusilaan umum; terapi tidak sesuai dengan kebutuhan medis
pasien dan terapi tidak sesuai dengan informed consent dsb. Dalam malpraktek kedokteran
adanya kerugian akibat wanprestasi/ PMH tergantung pada alasan gugatan yang diajukan
oleh pasien. Dalam membuktikan kelalaian dalam malpraktik medis tidak mudah karena
sikap culpa dalam malpraktek pidana harus berupa culpa lata (gross negligence), bentuk
kelalaian berat (tidak berbuat hati- hati semestinya/ sangat hati- hati tetapi pada prinsipnya
perbuatan itu tidak boleh dilakukan). Setiap tindakan medis memiliki resiko sekecil apapun
tindakannya jika terjadi resiko yang tidak dapat diperkirakan dokter tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban.

Hasil yang tidak diharapkan dalam praktik kedokteran dapat disebabkan beberapa
kemungkinan yaitu: hasil dari komplikasi penyakit yang tidak ada hubungannya dengan
tindakan medis yang dilakukan dokter; hasil dari resiko yang tidak dapat dihindari, yaitu
resiko yang tidak dapat diketahui sebelumnya (unforesseable), dikarenakan ilmu
kedokteran sifat ilmu empiris dan sifat tubuh manusia yang bervariasi serta rentan akan
pengaruh eksternal; risiko yang sudah diketahui sebelumnya (foresseeable) tetapi dianggap
dapat diterima (acceptable), dan telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui
oleh pasien untuk dilakukan, yaitu: risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya
cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan, dapat dikendalikan. Contohnya efek
samping obat, perdarahan, dan infeksi pada pembedahan, dll. Resiko yang derajat
probabilitas dan keparahannya besar yaitu apabila tindakan medis yang berisiko harus
dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh terutama dalam
keadaan gawat darurat. Resiko medis dalam ilmu hukum terdapat adagium non fit injura
atau assumption of risk, jika seseorang menempatkan dirinya ke dalam suatu bahaya yang
sudah diketahui maka tidak dapat menuntut pertanggungjawaban pada orang lain jika itu
terjadi.

Jika resiko itu muncul saat pelayanan medis maka pasien tidak dapat menuntut
pertanggungjawaban ke tenaga medis. Kalangan kesehatan berpendapat bahwa pasien
kedudukannya sangat kuat sehingga dapat menuntut untuk suatu hasil yang tidak
memenuhi harapannya. Adapun masyarakat yang menganggapnya sebagai takdir, tidak
mengetahui malpraktik yang bisa dilaporkan agar mendapat kompensasi/ perbaikan.
Catatan medis yang sering tidak lengkap membuat sulit untuk melacak prosedur
penanganan oleh dokter. Tidak semua kasus dapat dikatakan malpraktek karena kesalahan
dokter merupakan kesalahan profesi, tidak mudah untuk membuktikannya di pengadilan
namun tidak berarti tidak dapat dibuktikan. Dalam mencari kebenaran materiil suatu kasus,
memerlukan bukti yang mendukung. Contohnya dalam perkara kelalaian dokter yang
mengakibatkan pasien menderita luka ringan, berat/ meninggal dunia tidak cukup
dibuktikan dengan bukti surat, harus ditunjang alat bukti lain. Metode yang dapat
digunakan dalam membuktikan malpraktek medis yaitu dengan doktrin res ipsa loquitor.
Doktrin tersebut dapat diterapkan jika fakta yang ditemukan memenuhi kriteria seperti:
fakta yang tidak mungkin terjadi jika dokter tidak lalai; fakta yang terjadi berada di bawah
tanggung jawab dokter dan pasien tidak ikut menyumbang timbulnya fakta itu/ tidak ada
contributory negligence. Pembuktian dengan doktrin tersebut masih harus diuji apakah
fakta dapat dijadikan bukti adanya unsur kesalahan/ kelalaian.
Contoh doktrin res ipsa loquitor dapat dilihat dalam kasus gunting yang tertinggal
dalam perut pasien, tidak mungkin terjadi jika tidak ada kelalaian. Hal itu berada dibawah
tanggung jawab dokter dan pasien dalam keadaan terbius sehingga tidak mungkin ada
contributory negligence. Medical Error (MD) dan Medical Violence (MV), MD dimana
dokter sudah bertindak benar sesuai prosedur namun efek yang tidak diharapkan terjadi
maka tidak dapat disalahkan. MV dimana dokter telah bertindak salah tidak sesuai prosedur
jelas melakukan kesalahan/ kelalaian. Penerapan doktrin tersebut dapat dilihat dalam
putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 109/Pid.B/2009/PN BNA, Putusan
Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 181/PID/2009/PT BNA dan Mahkamah Agung
Nomor 455 K/Pid/2010, terhadap Terdakwa dr. Taufik Wahyudi Mahady, Sp.OG bin
Dr.Rusli Mahady yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana karena kealpaannya
menyebabkan orang lain luka hingga berhalangan melakukan pekerjaan untuk sementara
waktu. Terdakwa dinilai telah melakukan kelalaian ketika operasi Caesar, perut korban
tertinggal kain kasa 20 x 10 cm pada bekas operasi lama yang dilakukan terdakwa dan
terdakwa tidak bertanggung jawab dikatakan korban alergi jahitan. Ada perbedaan dasar
pertimbangan hukum dalam masing- masing putusan pada ketiga tingkat pengadilan dalam
penyelesaian kasusnya.

Faktor yang menjadi perbedaan dalam dasar pertimbangan hakim dikarenakan


adanya perbedaan persepsi kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) berdasarkan UU No. 29/2004, untuk memeriksa pelanggaran disiplin
yang dilakukan oleh dokter. Menurut Pasal 64, yang berwenang memutuskan ada/ tidak
malpraktek adalah MKDKI (tidak untuk memeriksa dan memutus perkara pidana),
peradilan pidana tidak berwenang memeriksa dan mengadili sebelum MKDKI melakukan
tugas dan kewajibannya. Namun tidak menghilangkan tugas hak setiap orang untuk
melaporkan dugaan tindak pidana ke pihak berwenang (Pasal 66 ayat (3) UU praktik
kedokteran). MKDKI tidak memiliki kewenangan absolut dan relatif sebagaimana diatur
di dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP. MKDKI dibentuk oleh UU no 29 tahun 2004, bersifat
independen. Factor ke-2, IDI menjatuhkan sanksi ke terdakwa sehingga terdakwa sudah
dihukum secara organisasi. Faktor ke-3, perbuatan terdakwa tidak dapat dikategorikan
malpraktek medis, merupakan resiko medis, konsekuensi dari tindakan medis oleh dokter
atas persetujuan pasien/ keluarga yang bersangkutan. Faktor ke-4, perbedaan persepsi dan
penafsiran hakim dalam ketentuan Pasal 361 KUHP menyebutkan jika kejahatan dilakukan
dalam menjalankan suatu jabatan/pencarian/ pekerjaannya. Perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa bukanlah pelanggaran terhadap standar profesi dan standar operasional prosedur
tetapi merupakan kealpaan yang menyebabkan korban luka-luka (Pasal 90 KUHP)
sehingga timbul penyakit/ halangannya untuk pekerjaannya, Pasal 360 ayat (2) KUHP.

Perbedaan pemahaman malpraktek medis dengan kelalaian medis menyebabkan


tindakan medis yang salah disebut sebagai malpraktek. Resiko dalam pengobatan dan
kesalahan penilaian tidak dapat disebut sebagai malpraktek medis/ kelalaian. Penentuan
kesalahan tugas profesi kesehatan dibedakan menjadi kesalahan medis dan yuridis.
Malpraktek terbagi menjadi ethical malpractice dan legal malpractice. Medical
malpractice dilakukan dengan kelalaian sedangkan unlawful profession dengan
kesengajaan. Penerapan doktrin res ipsa loquitor, memberikan keadilan dimana korban
yang tidak mengetahui kejadiannya karena tidak memiliki akses tidak perlu membuktikan
kesalahan pelaku, cukup membeberkan akibat yang terjadi padanya, dan bagaimana sampai
akibat tersebut terjadi serta membuktikan biasanya akibat seperti itu baru terjadi jika ada
kelalaian/kesengajaan dari pihak pelaku. Oleh hukum di presumsi bahwa pihak yang
disangka pelaku PMH dianggap telah melakukannya dengan kelalaian. Adanya fakta,
situasi dan kondisi menarik kesimpulan dan membiarkan fakta itu yang berbicara sendiri.
Pelaku dibebankan pembuktian untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Doktrin res
ipsa loquitor dapat dipatahkan jika pelaku dapat membuktikan sebaliknya. Tujuan doktrin
tersebut adalah untuk memudahkan korban dalam membuktikan siapa yang bersalah
dengan bukti sirkumstansial.
3. Dalam kecelakaan lepasnya aliran listrik tidak jarang disertai tindakan ganti rugi.
Jika korban ingin menuntut tergugat karena kelalaiannya maka harus didasari dengan
doktrin res ipsa loquitor. Doktrin tersebut berfungsi untuk menyiratkan anggapan kelalaian
merupakan fakta dari fakta fisik yang terjadi pada kecelakaa. Dimana ada kemungkinan
yang masuk akal bahwa hal itu tidak mungkin terjadi jika pihak yang memiliki kendali
melakukan perawatan yang tepat dan pencegahan. Jika tergugat sudah mengendalikannya
dengan baik sebagaimana harusnya, dapat membantah anggapan kelalaian yang
dilakukannya disertai bukti. Keadilan menuntut orang yang mengoperasikan pembangkit
listrik dan menyediakan listrik untuk konsumsi harus berhati- hati. Doktrin res ipsa
loquitor berlaku ketika cedera tersebut disebabkan oleh kabel/ peralatan yang tidak berada
dibawah pengawasan tergugat, dimana produsen listrik merupakan perusahaan
penanggung terhadap luka akibat pelepasannya.

Di Inggris, terdapat anggapan jika seseorang mempertahankan pada tempatnya


suatu perantaraan berbahaya seperti binatang buas, bahan peledak tinggi, maka ia
merupakan penjamin akan cedera yang diakibatkan lepasnya perantaraan itu. Doktrin ini
belum diterapkan dan diterima di AS dan Rylands v. Fletcher sudah ditolak hampir di
semua pengadilan. Dalam yurisdiksi, produsen listrik bertanggung jawab, tidak ada
pendapat yang menandakan itu merupakan tanggung jawab tergugat. Denver Consol.
Electric Co. v. Lawrence, saat penggugat menyalakan lampu rumahnya mengalami
gangguan, menyebabkan cedera kemudian menggugatnya. Perlengkapan tersebut ada
dalam kendali penggugat dan tergugat tidak memiliki pengawasan. Hal ini membuktikan
pemeriksaan parsial perlengkapan sudah dilakukan dan menunjukan dalam keadaan
perbaikan yang baik serta memperlihatkan bahwa kotak konverter tergugat ada cacat dan
sudah dihilangkan karena tidak aman setelah adanya kejadian itu. Pengadilan memutuskan
keputusan penggugat tidak dapat diganggu karena adanya kesaksian yang menunjukkan
jika terdakwa lalai. Dari fakta yang diberikan penggugat, juri menemukan jika tergugat
lalai karena tidak benar saat memeriksa.

Perusahaan Asuransi Kebakaran Nasional v. Denver yang diputuskan di pengadilan


banding Colorado, sebelum keputusan MA Colorado, tidak ada referensi mengenai doktrin
res ipsa loquitor. Augusta Co.v. Beagles, memberikan fakta bahwa penggugat dikerjakan
oleh perusahaan kayu sebagai teknisi listrik, terkejut saat menyentuh kabel listrik yang
hidup dimana merupakan peralatan yang dimiliki dan dikendalikan oleh perusahaan
kayu. Doktrin res ipsa loquitor mengatur, dari bukti yang ada menunjukkan 2 hal yaitu
soket lampu yang menggantung dari kabel menyebabkan cedera dan kabel primer dan
sekundernya milik tergugat di luar gedung sudah dibiarkan bersatu sehingga mengalirkan
arus penuh ke gedung itu. Hal itu membuktikan bahwa ada kelalaian dari tergugat dan
terdapat kontribusi penggugat di dalamnya. Quincy Co. v. Schmitt, penggugat terluka saat
menyalakan lampu listrik yang berada di bawah kendalinya. Bukti yang ada menunjukkan
kabel berada dalam kondisi baik, perusahaan mengakui jika trafo miliknya rusak yang
disebabkan oleh badai listrik. Doktrin res ipsa loquitor diterapkan, namun kasus ini tidak
tepat karena pertanyaan sebenarnya adalah apakah badai listrik menyebabkan kerusakan
itu/ diakibatkan oleh kelalaian tergugat. Juri memutuskan perusahaan sudah lalai yang
tentunya tidak dapat diganggu saat naik ke banding.

Wheeler v. Northern Ohio Traction Co, kasir bank yang melengkapi semua
peralatan listrik di dalamnya tewas saat menyalakan lampu listrik di lemari besi dan
penyebabnya tidak dapat dijelaskan. Dalam kasus ini diyakini jika doktrin res ipsa loquitor
dikendalikan. Reynolds v. Narragansett Co, dalam fakta yang sama bukti itu bertentangan
apakah transformatornya rusak atau tidak. Namun pengadilan menolak untuk menunggu
temuan juri yang mendukung penggugat dan menyatakan bahwa bukti kondisi rusak trafo
memperkenalkan adanya doktrin res ipsa loquitor. Pengadilan Kentucky berpendapat tugas
perusahaan listrik adalah memastikan kabel yang dipakai untuk mengirim listrik dibuat dan
diisolasi dengan benar. Paynter J mengatakan kepada MA Kentucky bahwa adanya bahaya
dari kekuatan yang disuplai maka dalam menggunakannya harus hati- hati untuk
memberikan perlindungan. Aliran listrik yang mengalir hanya dapat dihentikan oleh agensi
dari sumbernya dimana agensi tersebut mengendalikannya dari pembangkit listrik. Pihak
yang mengontrol memiliki kekuatan untuk mematikannya dan harus
mengetahui kondisinya agar tetap aman.

Hoboken Co v. United, dalam kasusnya dinyatakan jika perusahaan listrik


bertanggung jawab atas kondisi aman peralatannya jika ada kerusakan maka akan dimintai
pertanggungan atas cedera yang ditimbulkan. San Juan Co v. Requena, dimana peralatan
interior yang mengakibatkan cedera tidak berada di bawah kendali perusahaan listrik. Trafo
dari terdakwa rusak, penerapan doktrin res ipsa loquitor dalam kasus ini tidak sesuai
dengan kasus lainnya karena semua peralatan berada dibawah kendali tergugat. Pada kasus
Memphis Co v. Letson, menyatakan terdakwa bertanggung jawab, pengadilan dengan
tegas menghindari mengatakan apakah doktrin res ipsa loquitor berlaku/ tidak hal ini
dikarenakan kelalaian tergugat terbukti. Dimana adanya persilangan antara kabel primer
dan sekunder di luar gedung. Kasus Hebert v. Hudson Co, dimana adanya penerapan
doktrin res ipsa loquitor dan adanya fakta yang melemahkan kasus tersebut secara praktis
karena adanya anggapan terdakwa dan perusahaan distributor adalah perusahaan yang
sama.

Adapun kasus yang menolak penerapan doktrin res ipsa loquitor salah satunya
dalam kasus National Insurance Company v. Denver Company. Kasus tersebut mengenai
kebakaran yang disebabkan oleh listrik yang keluar melalui peralatan interior sebuah
gedung dan terbukti berada dibawah kendali manajemen pemilik gedung. Kecelakaan itu
tidak dapat dijelaskan serta tidak ada bukti kelalaian pihak tergugat, perusahaan penjamin
tidak dapat memulihkannya dan doktrin res ipsa loquitor tidak berlaku di kasus ini.
Tanggung jawab yang terletak di perusahaan tidak dipercayai di kasus ini sehingga buat
mereka yang melamar harus memastikan kabel diisolasi di tempat tertentu. Jika gagal maka
mereka akan bertanggung jawab atas kerusakan yang mungkin terjadi karena kelalaian atau
sifat konstruksi yang tidak terampil. Pihak yang memasang kabel harus bertanggung jawab
atas segala kerusakan akibat kelalaian, diharapkan saat memasangnya dilakukan dengan
cerdas dan mempekerjakan orang yang berkompeten.

Kasus ini tidak bertentangan dengan Denver Consol. Electric Co. v. Lawrence,
dimana dalam kasus tersebut terdapat bukti kuat mengenai kelalaian terdakwa dan
pengadilan hanya menyatakan jika temuan juri tidak akan diganggu. Dalam kasus itu
doktrin National Fire Insurance Company v. Denver Co., dijadikan sebagai hukum
Colorado, sebagaimana dikutip sebagai otoritas yang menentang penerapan res ipsa
loquitor oleh pengadilan West. Virginia, Tennessee, Colorado, Arkansas dan Kansas, dan
pengadilan ini bahkan belum merujuk pada kasus Hukum. Di Memphis Co. v. Speers,
dimana seekor kuda terbunuh saat memasang tiang bermuatan listrik tinggi
dikomunikasikan melalui kabel listrik yang dimiliki dan dibangun secara pribadi yang
dibalut listrik oleh terdakwa. Pengadilan mengutip Maysville Gas Co. v. Thomas dan
National Fire Insurance Company v. Denver Co, secara tegas menolak kepemilikan kasus
Kentucky. Pengadilan mengatakan bahwa sesuai dengan yang ada di Colorado menyatakan
tidak ada tanggung jawab jika tidak ada kendali atas kabel dan pengetahuan soal cacat yang
mengakibatkan cedera.

Byrd v. Pine Bluff Corp, karyawan terdakwa pergi ke sebuah rumah dimana kabel
sudah dipasang oleh pemiliknya, terdakwa tidak memiliki kendali dan karyawan itu
meninggal karena terkena arus listriknya. Kasus ini ditetapkan tergugat tidak dibebankan
tanggung jawab karena tugas untuk memelihara dan memperbaiki kabel rumah ada di
pemiliknya. Pengadilan mengadopsi doktrin National Fire Insurance Co. v. Denver Co,
dimana ada tugas berkelanjutan untuk melakukan perawatan yang benar guna memastikan
dalam kondisi aman. Pemilik memiliki hak untuk memasang kabel sendiri dan yang
mengontrak perusahaan penerangan hanya menyediakan listrik dan tidak bertanggung
jawab atas kabel itu sehingga ada anggapan kelalaian tergugat karena gagal menjaga kabel
tetap terisolasi. Kasus Kansas tentang Hoffman v. Leavenworth, terdakwa terikat kontrak
dengan pemerintah untuk menyediakan arus listrik untuk penerangan dan keperluan motor
di Reservasi Militer Fort Leavenworth. Dalam putusannya menyatakan tidak ada tindakan
yang dapat dilakukan atas kematian karena kontak dengan alat listrik di tempat itu karena
tidak dapat dikendalikan terdakwa.

Dari kasus- kasus tersebut ada yang dikabulkan dan tidak, analisis dari semua
kasus tersebut adalah berkaitan dengan tanggung jawab ada dua prinsip. Dimana satu pihak
akan memakai miliknya sendiri, tidak melukai pihak lain dan tuntutan hukumannya apa
yang masuk akal ada di bawah lingkungan untuk mencegah cedera itu. Dalam penggunaan
aliran listrik harus berhati hati untuk hindari kerusakan. Pihak yang bertanggung jawab
dalam menggunakannya, pihak furnishing tidak diwajibkan memelihara inspeksi seperti
disimpan dengan aman, selama tidak dikenakan biaya dengan pengetahuan soal cacat di
dalamnya akan adil dan masuk akal jika keimanan itu akan dipertahankan (dianggap
bertindak sesuai dengan kehati- hatian dan keamanan). Dalam Fickeisen v. Wheeling
Electrical Co, penggugat terbunuh karena guncangan dari kabel pelanggan tergugat
menyatakan doktrin res ipsa loquitor tidak dapat diterapkan dan terdakwa tidak
bertanggung jawab. Pengendalian memperlakukan kasus ini sebagai kesan pertama di west
virginia dan berdasarkan pendapat dalam kasus - kasus yang sudah diberikan sanksi serta
menolak doktrin kasus Kentucky dibawah keadaan fakta yang serupa dalam Perry v. Ohio.

Tidak berlakunya doktrin res ipsa loquitor juga terlihat dalam kasus Minneapolis,
Co v. Cronon. Doktrin tersebut tidak berlaku karena kabel bagian dalam toko pandai besi
tidak ada dalam kendali terdakwa. Pengadilan meninjau perusahaan asuransi kebakaran
Nasional v. Denver, Perusahaan; Memphis Co v. Speers; dan Keefe v. Narragansett, dan
menyetujui doktrin yang ditetapkan di sana. Di kasus Harter v. Colfax, dimana doktrin res
ipsa loquitor tidak berlaku karena peralatan listrik di hotel tidak dipelihara oleh tergugat.
Dari Kasus- kasus itu terlihat jika doktrin res ipsa loquitor tidak dapat diterapkan jika
kecelakaan itu disebabkan oleh alat yang rusak di bawah manajemen penggugat; atau pada
kasus yang melibatkan tanggung jawab yang terbagi, di mana kecelakaan yang tidak dapat
dijelaskan mungkin disebabkan oleh salah satu dari beberapa penyebab. Dalam semua
kasus lain yang mendukung penerapan res ipsa loquitor ditemukan bahwa ada bukti dari
beberapa tindakan kelalaian dari pihak tergugat dan karenanya doktrin tersebut tidak perlu
digunakan. Doktrin ini dapat diterapkan jika bagian dari alat listrik yang menyebabkan
cedera tidak berada di bawah kendali dan pengawasan pembela.
4. Res ipsan loquitor berasal dari Bahasa Latin, dokrin yang membantu penggugat
untuk membuktikan adanya kelalaian, kecelakaan tersebut berbicara untuk dirinya sendiri,
sesuai fakta. Doktrin tersebut penting karena terkadang sulit bagi korban untuk
membuktikan kelalaian. Saat menerapkan doktrin res ipsa loquitor, penggugat harus
membuktikan 2 hal yaitu kecelakaan itu biasanya tidak terjadi kecuali seseoranag ceroboh
dan membuktikan terdakwa mengendalikan apapun yang menyebabkan kecelakaan itu. 4
elemen utama dalam kasus kelalaian yaitu tugas, pelanggaran, penyebab dan kerusakan. 2
doktrin hukum yang membantu untuk membuktikan kelalaian yaitu doktrin res ipsa
loquitor yang memungkikan kelalaian (merugikan elemen tugas dan pelanggaran)
dibuktikan berdasarkan keadaan sekitarnya dan kelalaian itu sendiri yang menginginkan
terjadinya pelanggaran dari pelanggaran hukum yang ada. Fakta dan keadaan yang ada
berkaitan dengan cedera memungkinkan untuk menganggap kelalaian itu sudah terjadi.
Pada kasus kelalaian umum, penggugat harus membuktikan jika terdakwa berhutang
kewajiban ke korban dan gagal memenuhi kewajiban itu. Dalam res ipsa loquitor kelalaian
tergugat tidak perlu dibuktikan karena sudah dianggap ada dari fakta- fakta yang ada.
Elemen doktrin resipsa loquitor yaitu terdakwa ada dalam kendali eksklusif atas
situasi yang menyebabkan cedera; cidera tersebut biasanya tidak terjadi jika tidak ada
kelalaian dari terdakwa dan cedera korban bukan karena tindakan/ kontribusinya sendiri.
Unsur- unsur tersebut terpenuhi maka beban pembuktian bergeser ke tergugat untuk
membuktikan ia tidak lalai. Salah satu contoh kasus yang dapat menerapkan doktrin
tersebut adalah kasus Bryne Vs Boadle di Inggris. Doktrin Res ipsa loquitor dapat
diterapkan dalam malpraktik medis. Peristiwa tersebut biasanya tidak terjadi jika tidak ada
kelalaian, menimbulkan kerugian sehingga dapat dimintai pertanggung jawaban kecuali
dapat membuktikan bahwa tidak lalai. Untuk membuktikan kelalaian penggugat haruus
menetapkan bahwa terdapat UU yang mendefinisikan standar perilaku tertentu; terdakwa
melanggar UU itu penggugat merupakan pihak yang ingin dilingungi UU itu dan
penggugat menderita cedera yang dirancang untuk dicegah oleh UU itu. Kelalaian per se
sering dipakai dalam kasus kecelakaa mobil jika bisa menunjukan pengemudi melanggar
UU lalu lintas yang menyebabkan kecelakaan, kelalaian dianggap sebagai pelanggaran
tidak perduli seberapa kecil. Salah satu contohnya dapat dilihat pada kasus badan
legislative Minnesota yang memberlakuan UU yang wajibkan perusahaan kereta api untuk
memelihara pagar dan perlintasan jalan. Res ipsa loquitor dan kelalaian per se adalah
doktrin yang membantu dalam membuktikan pelanggaran tugas dalam kasus kelalaian
tertentu yang memungkinkan kelalaian untuk disimpulkan dari keadaan.
Bukti langsung diketahui saat melihatnya, memiliki saksi yang memberikan secara
langsung apa yang perlu dibuktikan. Bukti sirkumtansial/ bukti tidak langsung adalah bukti
dari fakta – fakta yang ada yang saling berkaitan kemudian menarik kesimpulan dari fakta
tersebut. Bukti sirkumtansial tidak berarti lebih buruk terkadang sangat kuat karena berasal
dari bukti langsung. Bukti sirkumtansial memiliki 2 langkah proses penalaran yatiu harus
memutuskan apakah mempercayai apa yang dikatakan saksi yang merupakan bukti
langsung yang benar kemudian harus memutuskan kapan kesimpulannya. Bukti
sirkumtansial memiliki cara penalaran yang berbeda, tergantung dengan apa yang mau
dibuktikan. Bukti sirkumtansial sangat penting terutama dalam kasus pidana karena
membutuhkan membuktikan rest dan intention. Dalam kasus pidana sangat penting
memakai bukti sirkumtansial untuk hak proposisi. Sebagian besar kasus tidak dapat
dibuktikan tanpa bukti sirkumtansial. Beberapa kasus dibangun sepenuhnya berdasarkan
sirkumtansial, hanya itu yang dimiliki. Bukti langsung, dimana saat mempercayai saksi
sehingga membuktikan fakta yang di berikannya. Dalam bukti sirkumtansial berbeda
dengan bukti langsung, dimana memerlukan suatu proses penalaran dari fakta- fakta yang
ada kemudian memutuskannya.
Hal tersebut terlihat sama namun bukti sirkumtansial dapat datang dari semua hal
bukan masalah mengenai percaya saksi tetapi apakah percaya/ tidak bukti tertentu yang
bermacam- macam. Bukti sirkumtansial harus melakukan evaluasi semua bukti yang ada
berbeda dengan bukti langsung yang tidak mengharuskannya. Bukti sirkumtansial
terkadang membutuhkan bukti lain sehingga dalam menyimpulkannya menjadi lebih rumit
dan harus berhati- hati untuk memastikannya. Bukti sirkumtansial digunakan oleh
pengadilan, salah satunya dalam kasus R Y Villaroman. Instruski kepada juri berguna
untuk memperingatkan resiko bukti sirkumtansial. Dalam instruksinya harus
mengingatkan juri bahwa inferensi bersalah harus menjadi satu-satunya kesimpulan yang
masuk akal dari fakta. Bagian terpenting dalam bukti sirkumtansial adalah harus ada bagian
ekstra dalam proses penalaran. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang istimewa antara
bukti langsung atau bukti langsung.

Anda mungkin juga menyukai