Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PERBANDINGAN SISTEM EKONOMI

TENTANG
KELEMAHAN TEORI PERSAMAAN
KEPEMILIKAN TANAH

DOSEN PENGAMPU :

ANDRI S.E.,M.E

DISUSUN OLEH :

M HAFIZH ASA WIGUNA


(2051010383)

M NAUFAL SHAHENSA
()

RIFA KHAIRUNNISA
()

EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UIN RADEN INTAN LAMPUNG
2022M / 1442
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha kuasa,
karena berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami semua. Makalah
ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya yang diharapkan makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas makalah perbandingan sistem ekonomi tentang
KELEMAHAN TEORI PERSAMAAN KEPEMILIKAN TANAH .

Dalam penulisan makalah ini pembuat menyadari masih banyak kesalahan


yang perlu di perbaiki bersama, untuk itu kritik dan sarannya perlu untuk
disampaikan kepada kami. Agar penulisan makalah selanjutnya akan lebih baik
dan sekaligus sebagai upaya perbaikan dan penyempurnaan dimasa yang akan
datang. akhirnya kurang dan lebihnya kami ucapkan banyak terima kasih, penulis
berharap makalah ini bermanfaat bagi penulis sendiri lebih-lebih kepada seluruh
pembaca pada umumnya.

BANDAR LAMPUNG 12 APRIL 2022


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
B.RUMUSAN MASALAH
BAB II PEMBAHASAN
1. KEPEMILIKAN TANAH
2. TERJADINYAKEPEMILIKAN TANAH
3. PENCABUTAN KEPEMILIKAN TANAH
4. MEKANISME KEPEMILIKAN PENGUASAAN TANAH OLEH WARGA
NEGARA ASING DI INDONESIAM
5. HAH-HAK PENGUASAAN TANAH
BAB III PENUTUP
A.KESIMPULAN
B.DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tanah merupakan faktor produksi paling penting yang menjadi bahan kajian paling
serius para ahli ekonomi, karena sifatnya yang khusus yang tidak dimiliki oleh faktor produksi
lainnya. Manusia sebagai makhluk Allah diberi mandat untuk mengelola bumi dan isinya dalam
kapasitas sebagai khalifah di muka bumi. Berdasarkan sudut pandang sejarah, status
kepemilikan tanah terus berkembang mengikuti kompleksitas

masyarakat. Kebebasan seseorang atas hak propertinya hakikatnya juga dibatasi oleh
hak-hak orang lain baik secara individual maupun kelompok. Para ulama membagi jenis hak
milik menjadi tiga yang akan dibahas dalam makalah ini.
Adapun terjadinya kepemilikan tanah diatur pada Pasal 22 UUPA, serta pencabutan
kepemilikan tanah dalam hukum pertanahan nasional Indonesia diatur pada UUPA Pasal 27 dan
berbeda dalam hukum islam.

Hak kepemilikan tanah pun bisa didapatkan oleh warga negara asing seiring
perkembangan pembangunan negara dan pesatnya arus globalisasi melalui syarat dan
ketentuan sesuai hukum yang berlaku. Untuk itu seseorang membutuhkan sertifikat
kepemilikan tanah dengan tujuan memberikan kepastian hukum, namun sertifikat tersebut
memiliki kelemahan dan solusi.

B.RUMUSAN MASALAH

1. Apa yg di maksud teori kepemilikan tanah?


2. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan tanah?
BAB II
PEMBAHASAN

1. KEPEMILIKAN TANAH

Kepemilikan berasal dari kata "milik" yang berarti pendapatan seseorang yang diberi
wewenang untuk mengalokasikan harta yang dikuasai orang lain dengan keharusan untuk
selalu memperhatikan sumber( pihak ) yang menguasainya 1. Tanah adalah permukaan bumi
sebagaimana dalam Pasal 4 UUPA bahwa, atas dasar hak menguasai dari Negara… ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang.

Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan
bumi, sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang
berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar 2.

Dalam Islam, kepemilikan tanah oleh seseorang dalam konteks individual dalam relasi
sosial secara yuridis diakui. Pemilik tanah mempunyai kewenangan untuk menggunakan sesuai
dengan keinginannya. Tanah, di samping sebagai instrumen ekonomis, juga mempunyai
kandungan sosial-humanistik. Oleh karena itu, Islam melarang praktek monopoli asset/harta.
Dengan demikian, pemilikan harta oleh seseorang haruslah disertai dengan
pertanggungjawaban secara moral dan sosial.

Kepemilikan harta benda dalam Islam berbeda secara idiologis dengan sistem ekonomi
liberal-kapitalistik dan komunistik. Aliran liberal kapitalistik memandang hak milik sebagai hak
mutlak, setiap orang (individu) bebas untuk mencari, memiliki dan menggunakan benda
miliknya menurut kemauannya sendiri secara bebas sehingga memberi ruang yang bebas
lahirnya praktek moħopoli dan eksploitasi untuk menindas kelompok ekonomi lemah.
Sedangkan sistem ekonomi komunisme/Marxis tidak mengakui hak milik perorangan, karena
semua harta benda dimiliki dan dikuasai oleh negara3. Islam berada di antara dua ekstrimitas
ideologi besar yang memposisikan sebagai sistem ekonomi sintetis dengan mengedepankan
prinsip moderatisme (al-wasatiyat)4.

Kepemilikan seseorang atas tanah sebagaimana kepemilikan atas harta benda yang
lainya dalam konteks yuridis maupun etiká sosial haruslah dipandang sebagai kepemilikan yang
di dalamnya. juga harus mempertimbangkan aspek aspek yang bersifat sosial. Kebebasan
seseorang atas hak propertinya hakikatnya juga dibatasi oleh hak-hak orang lain baik secara
individual maupun kelompok.
Para ulama membagi jenis hak milik menjadi tiga;

1. hak milik individu (al milkiyah al-khässah) yaitu hak yang dimiliki oleh individu menggunakan
hak miliknya secara untuk otonom.
2. hak milik kolektif (al milkiyyah al-'ämmah) yaitu hak kepemilikan yang dimiliki oleh
masyarakat secara bersama-sama atas harta tertentu,
3. hak milik negara (al-milkiyah al-daulah) yaitu hak yang dimiliki oleh negara sebagai lembaga
yang diberi mandat oleh Tuhan melalui rakyat untuk mengelola seluruh asset untuk
kepentingan bersama. Ketiga kategori hak kepemilikan tersebut dalam kontek relaşi sosialnya
dimungkinkan akan terjadinya persinggungan karena perbedaan kepentingan .

2. Terjadinya Kepemilikan tanah

Tanah sebagai harta yang bernilai ekonomi memiliki karakteristik khusus dalam hal
perolehannya. Perolehan hak atas tanah bersifat originair yang berarti bersifat given dari Tuhan
yang bahan bakunya sudah ada sebelum manusia lahir5. Berbeda dengan kepemilikan harta
lainnya yang bersifat derivative yang perolehannya melalui kerja keras dari manusia untuk
memperolehnya. Hak milik atas tanah oleh rakyat dapat terjadi melalui 3 cara sebagaimana
diatur dalam Pasal 22 UUPA ;

1. terjadinya hak milik menurut hukum adat, yaitu dengan jalan pembukaan lahan baru,
misalnya pembukan lahan hutan sebagai lahan pertanian atau perkebunan.
2. berdasarkan penetapan pemerintah, terjadi karena permohonan pemberian hak milik atas
tanah oleh pemohon dengan prosedur dan persyaratan yang telah ditentukkan oleh Badan
Pertanahan Nasional.
3. berdasarkan ketentuan undang-undang dengan melalui konversi.

Dalam hukum Islam, penguasaan seseorang atas suatu benda yang belum melahirkan
ada pemiliknya hak kepemilikan. Dengan demikian sifat kepemilikan berdasarkan cara ini
adalah kepemilikan yang bersifat baru yang didasarkan pada sebab kepemilikan yang dihasilkan
dari proses kerja.

3.Pencabutan kepemilikan tanah

A. Dalam Hukum Pertanahan Nasional Indonesia

Dalam hukum Pertanahan Nasional Indonesia, diatur dalam ketentuan hapusnya hak
milik dalam UUPA Pasal 27 yang menyatakan bahwa hak milik atas tanah akan hapus karena
dua sebab yaitu,

1. Tanahnya jatuh kepada negara, karena pencabutan hak, karena penyerahan secara suka rela
oleh pemiliknya, karena ditelantarkan atau karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan Pasal 26 ayat 6
2. Tanahnya musnah, dimaksud pada pasal 27 Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah kalau dengan sengaja tidak dipergunakan
sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya7. Dengan memperhatikan
ketentuan ini, negara mempunyai otoritas untuk mengatur hak atas tanah dan negara berhak
mencabut hak tersebut jika kepentingan umum menghendakinya.

B. Dalam Hukum Islam

Dalam Hukum Islam, prinsip dasar sebab kepemilikan adalah perpindahan hak yang
didasarkan pada prinsip rela (suka sama suka). Namun demikian dimungkinkan adanya
pencabutan hak milik dari pemiliknya tidak didasarkan asas suka rela demi kemaslahatan
umum, yaitu untuk menghindari lahirnya ekses negatif yang lebih banyak, dibanding
kemaslahatan yang bersifat spesifik dan individual. Status hukum pencabutan hak milik individu
berbeda beda disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Kaidah hukum umumnya bahwa
pengakuan Islam atas hak milik individu menjadikan upaya pencabutan hak milik adalah
perbuatan yang tidak dibenarkan baik pencabutan hak milik dalam relasi hak milik individu oleh
negara atau pencabutan oleh individu atas hak milik masyarakat.

4.Mekanisme Kepemilikan Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing Di


Indonesia

Seiring perkembangan pembangunan negara dan pesatnya arus globalisasi, kedudukan


negara tidak lagi hanya sebatas hubungan antara negara dengan warga negaranya, melainkan
juga hubungan antara negara dengan warga negara asing atau antara warga negara dengan
warga negara asing (WNA). Hubungan tersebut dapat berupa hubungan perkawinan,
kekerabatan, maupun hubungan dagang yang dikembangkan di Indonesia. Alhasil, WNA
memerlukan akses berupa alas hak atas tanah dalam hal pengurusan dagang.

Pengertian dari WNA berdasarkan pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2011 Tentang Keimigrasian yaitu “orang yang bukan Warga Negara Indonesia”. Konsep dari
‘warga’ dan ‘kewargaan’ dapat dimaknai bahwa konsep tersebut merupakan sebagai sebuah
konsep hukum (legal concept) tentang pengertian suatu subyek hukum (rechts subject) dalam
konteks perseorangan atau dalam konteks organisasi atau kelembagaan.

Hubungan hukum antara warga negara dengan WNA dalam hal perjanjian kepemilikan
tanah pada praktiknya, perjanjian tersebut mengatur pemilik tanah adalah seorang WNI dengan
investasi kepemilikan berasal dari dana WNA. Kepemilikan yang dimaksud adalah kepemilikan
secara tidak langsung, yakni suatu hubungan hukum antara WNI dengan WNA dalam bentuk
perjanjian yang disebut dengan nominee trustee agreement. Perjanjian tersebut berisi
pernyataan status kepemilikan hak atas tanah menjadi milik seorang WNI atau menggunakan
nama WNI di dalam akte perjanjian, namun secara faktual segala bentuk penguasaan atau
pengelolaan secara penuh dimiliki oleh WNA.

Berdasarkan Pasal 9 dan Pasal 21 ayat (1) UUPA, disebutkan bahwa hanya WNI saja
yang dapat memiliki hak milik atas tanah sedangkan bagi WNA hanya diberikan Hak Pakai atau
dapat juga Hak Sewa Untuk Bangunan sebagaimana Pasal 41 dan Pasal 42 UUPA. Pada
kenyataannya, status Kepemilikan Hak Milik juga diincar oleh banyak WNA yang sangat ingin
mendapatkan hak tanah tertinggi tersebut. Selain bisa menjadi investasi (menanamkan modal
atau dana) dengan harapan bisa mendapat keuntungan dimasa mendatang, juga menjadi alat
untuk mendapatkan kredit di semua bank yang ada di Indonesia dengan beban jaminan hak
tanggungan. Disisi lain, status Hak Milik dijamin secara yuridis sebagai hak terkuat dan
terpenuhi. Artinya, Hak Milik memiliki penguasaan sesuatu yang dimilikinya secara penuh dan
kuat tidak terkalahkan serta tidak memiliki batasan waktu kepemilikan. Hal inilah yang
menjadikan alasan mengapa banyak WNA sangat menginginkan kepemilikan atas Hak Milik
tanah tersebut, meskipun diperoleh dengan cara yang tidak berhak. Kelebihan status Hak Milik
menurut UUPA adalah sifatnya yang turun-temurun dari generasi sebelumnya ke generasi
penerusnya, sehingga dapat diwariskan pada turunannya tanpa batas generasi dan batas
waktu, dengan kata lain berarti bebas.

Secara yuridis, WNA yang berada di Indonesia dapat memperoleh alas hak atas tanah
dengan status Hak Pakai. Walaupun begitu, terdapat persyaratan bagi WNA yakni harus
mengurus Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) ataupun Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) serta
memiliki paspor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 43
Tahun 2015 Tentang Prosedur Teknis Ahli Tinggal Kunjungan Menjadi Izin Tinggal Terbatas Dan
Izin Tinggal Terbatas Menjadi Izin Tinggal Tetap. Hak pakai tentu saja memiliki jangka waktu
yang terbatas sehingga berbeda dengan pemegang hak milik yang alas haknya tidak dibatasi
kecuali jika terjadi peralihan hak. Namun, pemegang Hak Pakai masih bisa menerima manfaat
berupa ganti kerugian jika dikemudian hari jangka waktu Hak Pakai berakhir, sepanjang
bangunan atau benda-benda di atasnya masih diperlukan.

Apabila WNA tersebut sudah memiliki KITAP atau KITAS lalu masa berlakunya berakhir
dan tidak diperpanjang lagi paling lambat selama satu tahun atau dengan meninggalkan
Indonesia, maka ia tidak bisa mewariskan tanahnya maupun mengalihkan tanahnya yang ada di
Indonesia kepada orang lain selama satu tahun semenjak meninggalkan Indonesia. Dalam hal
ini kedudukan tanahnya akan kembali menjadi milik Negara.

Bagi WNA yang ingin mendirikan tempat tinggal atau rumah di Indonesia, maka dapat
mendirikannya di atas tanah Hak Pakai. Selain Hak Pakai atau pendirian rumah di atas lahan
Hak Pakai, WNA juga dapat memiliki Hak Sewa Untuk Bangunan dalam keperluan lain, misalnya
untuk digunakan dalam pengelolaan bisnis. Statusnya hanyalah Hak Sewa Untuk Bangunan
dengan dibuktikan adanya kesepakatan yang dilakukan secara tertulis terhadap sewa menyewa
bangunan atau rumah yang dilakukan antara pemilik bangunan atau rumah dengan WNA yang
menjadi penyewanya (Perjanjian Sewa-Menyewa).

5.Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah


Hak menguasai adalah suatu bentuk hubungan hukum atas penguasaan yang nyata
terhadap suatu benda untuk digunakan atau dimanfaatkan bagi kepentingannya sendiri.Di
dalam istilah hak menguasai mengandung arti adanya fungsi pengawasan (kontrol) secara fisik
terhadap benda yang dikuasainya. Salah satu prinsip hak menguasai adalah kekuasaan untuk
mempertahankan hak-

haknya terhadap pihak-pihak yang berusaha menganggunya. Dalam Hukum Pertanahan


Nasional (Hukum Agraria) dikenal beberapa jenis Hak penguasaan atas tanah yang secara
hierarki adalah sebagai berikut:

1.Hak Bangsa Indonesia


2. Hak Menguasai dari Negara
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
4. Hak-hak individual atau perseorangan atas tanah yang terdiri dari hak-hak atas tanah, wakaf
dan hak-hak jaminan atas tanah.

1) Hak Bangsa Indonesia

Bahwa tanah menjadi Hak Bangsa Indonesia tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 sa-
mpai dengan 3 UUPA. Hak Bangsa adalah sebutan yang diberikan oleh para ilmuwan hukum
tanah pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret dengan bumi, air dan ruang angkasa
Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang dimaksudkan dalam
Pasal 1 ayat 2 dan 3 diatas. UUPA sendiri tidak memberikan nama yang khusus. Hak ini
merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam Hukum Tanah Nasional. Hak-hak
penguasaan tanah yang lain, secara langsung ataupun tidak langsung bersumber padanya. Hak
Bangsa mengandung 2 unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur kewenangan untuk mengatur
dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya. Hak Bangsa
atas tanah bersama tersebut bukan hak kepemilikan dalam pengertian yuridis.Maka dalam
rangka Hak Bangsa ada Hak Milik perorangan atas tanah. Tugas ke-wenangan untuk mengatur
penguasan dan memimpin penggunaan tanah bersama ter-sebut pelaksanaannya dilimpahkan
kepada Negara. Bahwa Hak Bangsa tersebut meliputi tanah yang ada dalam wilayah Negara
Republik Indonesia dan otomatis yangnmenjadi Subyek Hak Bangsa seluruh rakyat Indonesia
sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia yaitu generasi-generasi terdahulu,
sekarang dan generasi-generasi yang akan datang.

2). Hak Menguasai Dari Negara


Mengenai Hak Menguasai dari Negara ini tertuang dalam ketentuan Pasal 2 UUPA.
Apabila dicermati atas ketiga wewenang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA
diatas, maka dapat ditafsirkan bahwa negara berperan sebagai penguasa atas seluruh kekayaan
alam baik diatas per-mukaan bumi maupun di dalam bumi (termasuk tanah) di wilayah Negara
Republik Indonesia. Hak menguasai dari Negara merupakan salah satu bentuk penguasaan atas
tanah yang bersumber pada konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu Pasal 33 ayat(3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :

“Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.Ketentuan tersebut kemudian dijabarkan
lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria. Hak Menguasai dari
Negara seperti yang diejawantahkan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 tersebut mengandung arti bahwa negara berperan sebagai pemegang hak penguasaan
atas tanah yang tertinggi, yang ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang
Pokok Agraria yang menyatakan negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat memegang
kekuasaan tertinggi atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.

3) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Istilah Hak Ulayat ini dipakai dalambhukum positif Indonesia misalnya dalam Penjelasan
Pasal 3 UUPA dan Permeneg Agraria/ Kepala BPN No.5/1999 26tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Boedi Harsono, 2006: 53-59). Supomo
menggunakan istilah hak pertuanan. Istilah Hak Ulayat ataupun Hak Pertuanan serta istilah-
istilah lain yang serupa adalah terjemahan dari istilah Bahasa Belanda cipatan Van Vollenhoven
yaitu beschikkingrecht.27Dimanakah Hak Ulayat itu diatur? Adapun dasar hukum pengaturan
tentang Hak Ulayat adalah: Pada era reformasi saat ini keberadaan hak-hak ulayat masyarakat
hukum adat telah mendapat pengakuan secara tegas dari Negara, pengakuan tersebuttertuang
dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi:28“Negara Mengakui dan
Menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”

Walaupun zaman modern terus berkembang seperti sekarang ini keberadaan hukum
adat masih mendapat pengakuan oleh negara serta hak-hak yang melekat pada hukum adat
tersebut terutama hak tanah hukum adat (Hak Ulayat) sepanjang dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia tetap akan dipertahankan keberadaannya demi terciptanya
keadilan, kemakmuran dan kebahagian hidup dalam lingkungan hukum adat tersebut.

4) Hak-Hak Perorangan atau Individual terdiri dari:37


Hak-Hak Atas Tanah (Pasal 4) 38 Hak atas tanah bersifat primer:
Hak atas tanah primer adalah hak atas tanah yang berasal dari tanah negara yang terdiri dari:
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan Hak Pakai
atas tanah negara. Hak atas tanah yang bersifat sekunder: Hak atas tanah sekunder berasal dari
tanah yang dikuasai pihak lain, meliputi Hak Guna Bangunan (HGB) diatas tanah Hak
Pengelolaan atau HaB tanah Hak Milik, Hak Pakai diatas Tanah Pengelolaan atau Hak Pakai
diatas tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Gadai (gadai tanah). Hak Usaha Bagi
Hasil (perjanjian bagi hasil), Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN

Kepemilikan seseorang atas tanah sebagaimana kepemilikan atas harta benda yang
lainya dalam konteks yuridis maupun etiká sosial haruslah dipandang sebagai kepemilikan yang
di dalamnya. juga harus mempertimbangkan aspek aspek yang bersifat sosial. Kebebasan
seseorang atas hak propertinya hakikatnya juga dibatasi oleh hak-hak orang lain baik secara
individual maupun kelompok.
Tanah sebagai harta yang bernilai ekonomi memiliki karakteristik khusus dalam hal
perolehannya. Perolehan hak atas tanah bersifat originair yang berarti bersifat given dari Tuhan
yang bahan bakunya sudah ada sebelum manusia lahir5. Berbeda dengan kepemilikan harta
lainnya yang bersifat derivative yang perolehannya melalui kerja keras dari manusia untuk
memperolehnya

B.DAFTAR PUSTAKA
Referensi :
1. Agus,Gunawan. Kepemilikan dalam islam. Jurnal keislaman, kemasyarakatan dan
kebudayaan. Vol. 18 No.2. juli-desember 2017.
2. Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya,
Bagian Pertama, Jilid I.Djambatan, Jakarta, 2003,hal 18.
3. Garrick Small, "The Dimensions of Human Action and Property", Pacific Rim Property
Research Journal Vol. 9 No. 3 Desember 2003, hlm. 3.
4. Abdel Hameed M. Bashir, "Property Rights, Institution and Economic Development: In
Islamic Perspective", Humanumics Vol. 18 No. 3/4, 2002, hlm. 76.
Referensi :
5. Alfred Marshall, Principles of Economics (London: Macmillan And Co., Limitted ST. 1952),
hlm. 123.
6. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak atas Tanah (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2004), hlm. 128-129. Lihat pula, Boedi
7. Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
8. Ega Permatadani & Anang Dony Irawan. KEPEMILIKAN TANAH BAGI WARGA
NEGARA ASING DITINJAUDARI HUKUM TANAH INDONESIA. Khatulistiwa Law
Review. Vol. 2 No. 2. Oktober 2021
9 Irawan Soerodjo, Hukum Pertanahan Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL)
Eksistensi,Pengaturan dan Praktik, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, 2014, hal.5.
10bid, hal. 6 yang dikutip dari Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah nasional,
Djambatan, Jakarta, hal 19-20.
11 Irwan Soerodjo, Op.Cit, 2014, hal. 7
12 bid, hal. 14-15

Anda mungkin juga menyukai