Anda di halaman 1dari 19

BAB VII

PENEGAKAN HUKUM
A. Indonesia Sebagai Negara Hukum
Indonesia merupakan negara hukum. Hal tersebut tertulis secara eksplisit dalam
amandemen UUD NKRI 1945 pada pasal 1 ayat 3 yang menyatakan bahwa “Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan
belaka (machtsstat).”

Gagasan negara hukum ini pertama kali diungkapkan oleh Plato dalam buku
“nomoi”. Plato menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik dapat dicapai
dengan menempatkan supremasi hukum. Dalam buku tersebut, dijabarkan tentang gagasan
“nomocracy”. Nomocracy berasal dari Bahasa Yunani yaitu dari kata “nomos” dan “kratos”
atau “kratein”. “Nomos” berarti norma sedangkan “cratos atau kratein” yang artinya
pemerintahan. Jadi berdasarkan istilah, “Nomocracy” berarti penyelenggaraan pemerintahan
berdasarkan norma atau hukum. Istilah nomokrasi terkait dengan gagasan hukum sebagai
kekuasaan tertinggi.

Gagasan Plato tentang negara hukum didukung oleh muridnya. Aristoteles, yang
menuliskan ke dalam bukunya politica. Aristoteles mengemukakan hukum, adalah bentuk
kebijakan kolektif warga negara sehingga peran warga negara diperlukan untuk membentuk
hukum. Menurut Aristoteles menyatakan negara hukum merupakan negara yang berdiri
diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negara. Keadilan adalah prasyarat
tercapainya kebahagiaan warga negaranya. Untuk itu hukum dan peraturan harus
mencerminkan keadilan bagi warga negara. Negara hukum adalah dimana negara tersebut
diperintah oleh pemikiran yang adil dan tertuang dalam peraturan hukum. Pemerintah
hanyalah organ negara yang menjalankan hukum demi keadilan warga negara.

Gagasan tersebut merupakan gagasan awal negara hukum. Namun gagasan tersebut
belum terjadi pada zaman Yunani kuno. Gagasan negara hukum baru muncul kembali pada
abad 17 di Eropa Barat dan baru terwujud pada abad ke 19. Pada abad 19 berkembang aliran
individualism dan raja pada saat itu memiliki kekuasaan absolut dan sewenang-wenang. Hal
tersebut melatarbelakangi dorongan hadirnya negara hukum. Pada wilayah Eropa
continental munculah konsep rechtsstaat, sedangkan di negara Anglo Saxon muncullah

85
konsep rule of law (Harini, 2012: 134-136). Negara Anglo Saxon adalah negara-negara
maritim kepulauan yang terletak di Eropa. Negara-negara tersebut termasuk Inggris Raya
dan negara-negara lainnya di kepulauan Inggris serta Irlandia, Amerika Serikat dan
Australia. Anglo Saxon merupakan negara-negara berbudaya khas dan berbeda sejarah
sosial budaya dengan negara-negara di daratan Eropa Barat lainnya yang disebut
kontinental.

Gagasan tentang negara hukum kemudian dianut oleh negara-negara di dunia.


konsep negara hukum ditiap-tiap negara tersebut kemudian mengalami perkembangan sesuai
latarbelakang sejarah, sistem politik, hukum, ekonomi, sosial, kultural serta falsafah bangsa
yang berbeda-beda. Konsep negara hukum yang awalnya tidak boleh ikut kampus tangan
dalam kehidupan masyarakat berubah menjadi negara dituntut turut campur dalam
kehidupan masyarakat dalam mewujudkan keadilan sosial. Munculnya tuntutan tersebut
dalam negara hukum adalah karena masyarakat ternyata tidak dapat mengatasi
permasalahannya. Tuntutan tersebut mengakibatkan berkembangnya konsepsi negara hukum
klasik menjadi negara hukum modern.

Negara hukum klasik muncul karena dilatarbelakangi oleh kehidupan masyarakat


Eropa dimana golongan burjuis menuntut mendapatkan jaminan kemerdekaan dan kepastian
hukum. Golongan borjuis pada saat itu termasuk dalam kelompok dengan kekuatan ekonomi
yang tinggi namun golongan borjuis tidak atau belum mendapatkan tempat dalam orde
hukum yang ada pada saat itu.

Golongan borjuis berjuang untuk mendapatkan tempat dalam orde hukum sehingga
mendapatkan jaminan kemerdekaan dan kepastian. Perjuangan mereka akhirnya
membuahkan hasil dalam perubahan yang besar dalam hukum yaitu prinsip “kesamaan
semua orang di hadapan hukum” (equality before the law) merupakan kemenangan besar
yang diraih oleh golongan borjuis. Disamping itu juga membuahkan adanya pembatasan
kekuasaan negara dalam kehidupan masyarakat sehingga negara hanya memiliki
kewenangan di bidang ketertiban dan keamanan saja, sedangkan diluar itu adalah domain
dari masyarakat sendiri untuk mengatur dan mengurusinya. Tahap inilah yang sering disebut
dengan istilah negara hukum klasik. Ada yang memberikan istilah Negara Hukum Klasik
(Classical Rule of Law ) dengan istilah negara hukum formil.

86
Konsepsi negara hukum klasik mengajarkan bahwa negara disebut baik apabila negara
tersebut sesedikit mungkin campur tangan dalam kehidupan masyarakat disebut juga negara
minimalis. Dalam konsepsi ini negara hanya mengurus ketertiban dan keamanan masyarakat
saja, sedangkan di luar itu negara tidak diperkenankan untuk terlibat dalam kehidupan
masyarakat.

Pada saat itu telah berkembang ideologi liberal dengan semboyan “laissezfaire laissez
aller” yang artinya biarlah setiap anggota masyarakat menyelenggarakan sendiri
kemakmurannya jangan negara ikut campur tangan. Dalam bidang hukum dan kenegaraan
aliran ini berpendapat bahwa negara harus bersifat pasif, sehingga sering disebut negara
penjaga malam (nachtwakerstaat) yaitu negara hanya mengawasi dan bertindak apabila
terjadi perselisihan antara anggota masyarakat dalam menyelenggarakan kepentingannya.

Awalnya keadaan di atas dapat berjalan dengan baik sehingga mendatangkan


kebahagiaan bagi kehidupan masyarakat, namun kondisi masyarakat segera berubah dengan
cepat karena industrialisasi telah berkembang dengan pesatnya sehingga menggeser sistem
perekonomian yang semula agraris diubah menjadi industri. Hal ini sangat dirasakan di
berbagai negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.

Perubahan sistem perekonomian yang demikian ini telah menimbulkan krisis sosial
ekonomi kehidupan masyarakat karena adanya jurang yang sangat dalam antara yang kaya
dengan yang miskin. Akibatnya tingkat pengangguran yang senantiasa meningkat akibat
efisiensi proses berproduksi serta kemiskinan dan meningkatnya angka kriminalitas.
Disamping itu juga terjadi pencemaran lingkungan karena keberadaan pabrik-pabrik yang
dibangun tidak teratur serta tingkat kesehatan masyarakat yang terus menurun. Krisis sosial
ekonomi yang amat parah (Great Depression) dirasakan oleh berbagai negara di Eropa Barat
dan Amerika serikat mulai tahun 1929 dan puncaknya dirasakan pada tahun 1930. Dengan
adanya krisis sosial ekonomi masyarakat telah menuntut agar negara campur tangan dalam
kehidupan masyarakat. Campur tangan negara sangat diperlukan karena masyarakat ternyata
tidak mampu untuk mengatasi permasalahannya sendiri.

Negara hukum modern (Modern Rule of Law) atau yang disebut dengan istilah
negara hukum materiil sangat membutuhkan peran aktif negara untuk campur tangan dalam
kehidupan bermasyarakat. Munculnya negara hukum modern ini karena adanya tuntutan
87
agar negara campur tangan untuk mengatasi permasalahan dalam kehidupan masyarakat.
Sehubungan itu sewaktu Presiden Franklin D. Roosevelt terpilih menjadi presiden Amerika
Serikat pada tahun 1933 telah mengemukakan suatu gagasan kehidupan yang baik (idea of
good life) dalam New Deal (Tatanan Baru) yaitu memberikan peran yang lebih luas kepada
negara agar secara aktif untuk mengusaha tercapainya suatu negara yang sejahtera (Welfare
state).

Negara kesejahteraan senantiasa mengutamakan kepentingan seluruh masyarakatnya


yaitu kemakmuran dan keamanan sosial yang akan dicapai, dengan demikian tugas-tugas
negara semakin luas dan kompleks. Sehubungan itu diperlukan adanya birokrasi yang ada di
tingkat pusat maupun di daerah untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Penataan tugas
kenegaraan yang dilaksanakan oleh birokrasi dimaksudkan agar pelaksanaan tugas dapat
berjalan secara profesional dengan menempatkan masing-masing orang pada jabatan yang
sesuai dengan bidang keahliannya. Dengan cara demikian dapat diharapkan menjamin
seluruh proses kegiatan dapat terlaksana secara efektif dan efisien.

B. Pengertian dan Ciri Negara Hukum


Untuk memenuhi kriteria atau ukuran suatu negara itu dapat dikategorikan sebagai
negara hukum atau bukan negara hukum, ada beberapa penulis buku yang menggunakan
istilah yang berbeda-beda misalnya ada yang menggunakan istilah anasir, prinsip, unsur,
syarat, elemen, dan ciri, namun dari berbagai istilah tersebut memiliki kandungan yang sama
yaitu kriteria atau ukuran suatu negara dapat dikategorikan sebagai negara hukum ataukah
bukan negara hukum.

Menurut Imanuel Kant, negara hukum harus memiliki dua unsur yaitu:

1. Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia;


2. Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara.

Menurut Julius Stahl menjelaskan bahwa rechtsstaat yaitu mencakup empat ciri sebagai
berikut:

1. Adanya jaminan hak asasi manusia.

88
2. Adanya pemisah atau pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Adanya peradilan administrasi negara.

Berbeda pendapat Dicey, bahwa negara hukum harus memenuhi tiga unsur berikut:

1. Supremasi hukum, artinya yang berdaulat atau yang mempunyai kekuasaan tertinggi
adalah hukum.
2. Kedudukan yang sama di depan hukum, artinya setiap orang tanpa memandang statusnya
mempunyai derajat yang sama dalam menghadapi hukum.
3. Terjaminnya hak asasi manusia dalam undang-undang atau UUD.

Paul Scholten berpendapat bahwa rechtsstaat meliputi dua unsur yaitu pertama
kawula mempunyai hak terhadap raja, individu terhadap persekutuan. Hak itu meliputi dua
hal, yang pertama diakui adanya suasana (sfeer) dari individu, yang pada hakekatnya
dikurangkan dari kekuasaan negara, yang kedua pelanggaran sfeer individui hanya dapat
dilakukan dengan peraturan undang-undang. Unsur yang kedua, ialah pembagian kekuasan
pemerintahan dalam triaspolitika (Montesquieu) atau pembagian dalam empat (quatas poli)
atau pembagian dalam lima (quintas politica).

J.B.J.M ten Berge menyebutkan prinsip-prinsip negara hukum adalah sebagai berikut:

1. Asas Legalitas

Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam
undang-undang yang merupakan peraturan umum. Undang-undang secara umum harus
memberikan jaminan (terhadap warga negara) dan tindakan (pemerintah) yang sewenang-
wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh
organ pemerintahan harus ditemukan dasarnya pada undang-undang tertulis (undang-
undang formal).

2. Perlindungan hak-hak asasi.


3. Pemerintah terikat pada hukum
4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum harus
ditegakkan ketika hukum itu dilanggar. Pemerintah harus menjamim bahwa di tengah

89
masyarakat terdapat instrumen yuridis penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa
seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum
publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah.
5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka.
Superioritas hukum tidak dapat ditampilkan jika aturan-aturan hukum hanya
dilaksanakan organ pemerintahan. Oleh karena itu, dalam setiap negara hukum
diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka.

Di wilayah Anglo Saxon diwakili pendapat A. V Dicey menyebutnya dengan istilah


“The rule of Law” dengan mengemukakan kriteria sebagai berikut:

1. Supremacy of Law (supremasi hukum)


2. Equality before the law (persamaan di depan hukum)
3. Due Process of Law (proses hukum)

International Commission of Jurist pada konferensi di Bangkok tahun 1965 telah


menentukan syarat-syarat representative goverment, under the rule of law, sebagai berikut:

1. Adanya proteksi konstitusional,


2. Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak,
3. Adanya pemilihan umum yang bebas,
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat,
5. Adanya kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi,
6. Adanya pendidikan kewarganegaraan.

Di Indonesia simposium mengenai negara hukum pemah diadakan di Jakarta tahun


1966, yakni pada awal berdirinya orde baru, yang berusaha menyusun berbagai konsep
terkait dengan upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang
menghasilkan ciri-ciri negara hukum sebagai berikut:

a. Pengakuan dan Perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan


dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu
kekuasaan atau kekuatan apapun juga.
c. Adanya pembatasan kekuasaan.

90
d. Asas legalitas.

Uraian unsur-unsur negara hukum hasil simposium di Jakarta tahun 1966 tersebut
dipadukan dengan kekuatan dalam UUD 1945, yaitu:

a. Pengakuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia


Tujuan utama pembentukan negara salah satunya adalah untuk melindungi hak
asasi manusia. Sebagai negara hukum, negara kita bukan hanya memberikan
pengakuan terhadap hak asasi manusia, tetapi juga menerapkan dalam berbagai aspek
kehidupan, seperti dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan,
termasuk bidang pendidikan.
b. Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak
Peradilan adalah pelaksana proses pengakuan hukum sebagai cabang kekuasaan
kehakiman. Pada Pasal 24 ayat (l) UUD 1945 menegaskan bahwa “kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.”
c. Pembatasan Kekuasaan
Pemegang kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Oleh karena itu,
dalam UUD I945 terwujud dalam pemisahan kekuasaan antara legislatif yang
dipegang oleh DPR, eksekutif, dan yudikatif oleh MA dan MK. Ketiga cabang
kekuasaan tersebut masing-masing yang telah ditentukan dalam UUD 1945 Serta
saling mengawasi dan mengimbangi.
d. Asas Legalitas
Segala tindakan pemerintah harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan
yang sah dan tertulis. Dalam UUD 1945, diatur batas-batas wewenang lembaga-
lembaga negara. Misalnya, Pasal 4 ayat (l) UUD 1945 menegaskan bahwa “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan.” Artinya, sekalipun
Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan, segala tindakannya tetap
dibatasi oleh ketentuan dalam UUD 1945.

Terdapat tiga sistem unsur hukum yaitu unsur kelembagaan, unsur aturan, dan unsur
perilaku subjek hukum. Unsur tersebut mencangkup kegiatan: pembuatan hukum,
pelaksanaan, dan penerapan hukum, peradilan atas pelanggaran hukum yang biasa disebut

91
penegakan hukum dalam arti sempit, persyaratan dan pendidikan hukum, dan pengelolaan
informasi hukum.

Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut UU Nomor 10


Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


b. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Daerah

Jenis hirarki tersebut dapat disebut sebagai sumber hukum formal, yaitu tempat di
mana dapat ditemukan norma hukum. Sumber hukum materiil adalah sumber yang
mempengaruhi isi dari norma hukum. Secara materiil norma hukum dapat bersumber pada
norma agama, norma susila, dan norma kesopaan. Pembentukan peraturan perundang-
undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya
dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.

Penegakan Hukum dalam artian luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan
menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau
penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, baik melalui prosedur arbritase
(perwasitan) dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya. Selain dalam pengertian luas
dapat dilihat dalam arti yang sempit. Dalam arti sempit, penegakan hukum mencakup
kegiatan “menindak” setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-
undangan melalui proses peradilan. Hanya mencakup melakukan kegiatan penindakan
terhadap pelanggaran hukum.

C. Konsep Penegakan Hukum Di Indonesia


Konstitusi RIS 1945, yaitu UUDS 1950 kemudian menjadi UUD 1945 yang disahkan
pada 18 Agustus 1945, telah memuat konsep negara hukum sebagaimana terdapat dalam
Pasal 4 ayat (l) berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar”, pasal 27 ayat (1) berbunyi, “Segala warga negara

92
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak kecualinya.”

Penjelasan tentang UUD 1945 pada bagian sistem, pemerintahan negara, menyatakan
bahwa:

1. Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan


belaka (machtsstaat).
2. Pemeritahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolute
(kekuasaan yang tidak terbatas).

Beberapa ketentuan dalam UUD 1945 hasil perubahan ketiga (2001) yang
memperkuat konsep negara hukum adalah rumusan pasal l ayat (3) yang berbunyi, “Negara
Indonesia adalah negara hukum.” Hal itu berarti bahwa dalam menjalankan tugas tindakan
pemerintahan dan rakyat harus berdasarkan hukum, tidak boleh sewenang-wenang.

D. Lembaga Penegak Hukum


Untuk menjalankan hukum sebagaimana mestinya, maka dibentuk beberapa lembaga
aparat penegak hukum, yaitu antara lain: Kepolisian yang berfungsi utama sebagai lembaga
penyidik; Kejaksaan yang fungsi utamanya sebagai lembaga penuntut; Kehakiman yang
berfungsi sebagai lembaga pemutus/pengadilan; dan lembaga penasehat atau memberi
bantuan hukum.
1. Kepolisian
Kepolisian negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban di dalam negeri. Dalam kaitannya dengan hukum,
khususnya Hukum Acara Pidana, Kepolisian negara bertindak sebagai penyelidik dan
penyidik. Menurut Pasal 4 UU nomor 8 tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara RI. Penyelidik
mempunyai wewenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
Pidana;
b. Mencari keterangan dan barang bukti;
c. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
93
d. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:
a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
b. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
c. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
d. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
Setelah itu, penyelidik berwewenang membuat dan menyampaikan laporan hasil
pelaksanaan tindakan tersebut di atas kepada penyidik. Selain selaku penyelidik, polisi
bertindak pula sebagai penyidik. Menurut Pasal 6 UU No.8/1981 yang bertindak sebagai
penyidik yaitu:
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
Penyidik, karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. Menerima laporan dan pengaduan dari seorang tentang adanya tindak Pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2. Kejaksaan
Dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Pasal 1 dinyatakan bahwa “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan

94
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang.”
Jadi, Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan. Sedangkan yang dimaksud penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan. Berdasarkan penjelasan
tersebut, maka Jaksa (penuntut umum) berwewenang antara lain untuk:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan;
b. Membuat surat dakwaan;
c. Melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri sesuai dengan peraturan yang
berlaku;
d. Menuntut pelaku perbuatan melanggar hukum (tersangka) dengan hukuman
tertentu;
e. Melaksanakan penetapan hakim, dan lain-lain. Yang dimaksud penetapan
hakim adalah hal-hal yang telah ditetapkan baik oleh hakim tunggal maupun
tidak tunggal (majelis hakim) dalam suatu putusan pengadilan. Putusan
tersebut dapat berbentuk penjatuhan pidana, pembebasan dari segala
tuntutan, atau pembebasan bersyarat.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan atau penegakan hukum, Kejaksaan
berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan. Berdasarkan Pasal 4 UU No. 16 tahun 2004 tentang "Kejaksaan
Republik Indonesia" pelaksanaan kekuasaan negara di bidang penuntutan tersebut
diselenggarakan oleh:
a. Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.
b. Kejaksaan Tinggi, berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi.
c. Kejaksaan negeri, berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.

95
Tugas dan wewenang Kejaksaan bukan hanya dalam bidang Pidana, tetapi juga di
bidang Perdata dan Tata usaha negara, di bidang ketertiban dan kepentingan umum, serta
dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Dalam Pasal 30 UU No. 16 tahun 2004 tentang "Kejaksaan Republik Indonesia"
dinyatakan bahwa di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerintah.
Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
(a) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
(b) Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
(c) Pengawasan peredaran barang cetakan;
(d) Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
(e) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
(f) Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.
3. Kehakiman
Kehakiman merupakan suatu lembaga yang diberi kekuasaan untuk mengadili.
Adapun Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk mengadili. Menurut Pasal 1 UU Nomor 8 tahun1981 tentang Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengadili adalah serangkaian tindakan hakim

96
untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur,
dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang tersebut.
Dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan serta kebenaran, hakim diberi
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Artinya, hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh kekuasaan-kekuasaan lain dalam memutuskan perkara. Apabila hakim
mendapat pengaruh dari pihak lain dalam memutuskan perkara, maka cenderung
keputusan hakim itu tidak adil, yang pada akhirnya akan meresahkan masyarakat dan
wibawa hukum dan hakim akan pudar.
E. Lembaga Peradilan
1. Kedudukan Lembaga Peradilan
Pengadilan atau lembaga peradilan adalah suatu lembaga penegakan hukum di
Indonesia. Lembaga ini sebagai alat perlengkapan negara yang diberi tugas
mempertahankan tegaknya hukum di Indonesia.
Pengadilan adalah badan atau pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman,
hal ini tertuang pada UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan
kehakiman sendiri berarti kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila dan demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Sedangkan peradilan adalah tugas atau fungsi yang dijalankan oleh pengadilan.
Tugas pokok dari pengadilan adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
2. Jenis Lembaga Peradilan di Indonesia
Menurut Pasal 24 UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
a. Peradilan Umum
Menurut UU No.8 tahun 2004, peradilan umum adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Kekuasaan

97
kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, dan berpuncak pada Mahkamah Agung.
1) Pengadilan Negeri
a) Merupakan pengadilan tingkat pertama.
b) Tersusun dari pimpinan, hakim anggota, panitera sekretaris, dan juru
sita.
c) Bertugas untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara
pidana dan perdata di tingkat pertama.
d) Memiliki wewenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana
yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
e) Daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten dan berkedudukan di
ibu kota kabupaten/kota.
f) Terbentuk dengan keputusan presiden.
2) Pengadilan Tinggi
a) Merupakan pengadilan tingkat banding.
b) Susunan terdiri atas pemimpin, hakim anggota, panitera dan sekretaris.
c) Tugas dan wewang sebagai berikut:
1) Mengadili perkara yang diputuskan oleh pengadilan negeri dalam
daerah hukumnya yang dimintakan banding.
2) Mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan
mengadili antara pengadilan negeri di daerah hukumnya.
d) Daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi dan berkedudukan di
ibukota provinsi.
3) Mahkamah Agung
a) Telah diatur dalam UU No.5 tahun 2004 (perubahan dari UU No.14
tahun1970) tentang Mahkamah Agung.
b) Susunan MA terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera dan
sekretaris jendral.
c) Memiliki wewenang:
1) Mengadili tingkat kasasi.

98
2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang.
d) Kedudukan berada di ibu kota Negara.
b. Peradilan Agama
Peradilan Agama telah diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Menurut UU tersebut, Peradilan Agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang tersebut. Terdiri
atas pengadilan agama, pengadilan tinggi agama, dan berpuncak pada Mahkamah
Agung.
1) Pengadilan Agama
a) Pengadilan tingkat pertama dan dibentuk berdasarkan Kepres.
b) Susunan terdiri dari: pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan
juru sita.
c) Kedudukannya berada pada daerah kota atau ibu kota kabupaten.
2) Pengadilan Tinggi Agama
a) Merupakan peradilan tingkat banding dan dibentuk dengan undang-
undang.
b) Susunannya terdiri dari: pimpinan, hakim anggota, panitera, dan
sekretaris.
c) Kedudukan berada pada ibu kota provinsi.
c. Peradilan Tata Usaha
Diatur dalam Undang-undang N0.9 Tahun 2004 (perubahan atas Undang-
undang No.5 tahun 1986) tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut UU No.9
tahun 2004, peradilan tata usaha negara adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara.
Sengketa tata usaha negara sendiri berarti sengketa yang timbul dalam bidang
tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat
tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kekuasaan kehakiman di lingkungannya meliputi pengadilan tata usaha negara,
pengadilan tinggi tata usaha negara, dan berpuncak pada Mahkamah Agung.

99
1) Pengadilan Tata Usaha Negara
a) Merupakan pengadilan tingkat pertama.
b) Kedudukan di ibu kota kabupaten/kota.
c) Dibentuk dengan kepres.
d) Susunan terdiri atas: pimpinan, hakim anggota, panitera, dan
sekretaris.
2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
a) Merupakan pengadilan tingkat banding.
b) Kedudukan di ibu kota provinsi.
c) Dibentuk dengan undang-undang.
d. Peradilan Militer
Peradilan militer telah diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1997.
Peradilan militer adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di
lingkungan militer.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer meliputi:
1) Pengadilan Militer
Pengadilan militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama pidana
yang terdakwanya adalah:
a) Prajurit yang berpangkat kapten ke bawah.
b) Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit.
c) Seseorang yang atas keputusan panglima dengan persetujuan menteri
kehakiman harus diadili oleh pengadian militer.
2) Pengadilan Militer Tinggi
Pengadilan militer tinggi mempunyai kekuasaan sebagai berikut:
a) Memeriksa dan memutus perkara yang terdakwanya adalah:
1) Prajurit yang berpangkat mayor ke bawah.
2) Yang berdasarlan undang-undang dipersamakan dengan
prajurit.
3) Seseorang yang atas keputusan panglima dengan persetujuan
menteri kehakiman harus diadili oleh pengadilan militer tinggi.

100
b) Memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang
telah diputuskan oleh pengadilan militer dalam daerah hukumnya yang
dimintakan banding.
c) Memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa, mengadili antara
pengadilan militer dalam derah hukumnya,
3) Pengadilan Militer Utama
Pengadilan militer utama memeriksa dan memutus pada tingkat
banding perkara pidana sengketa tata usaha angkatan bersenjata yang telah
diputus pada tingkat pertama oleh pengadilan militer tinggi yang dimintakan
banding.
4) Pengadilan Militer Pertempuran
Pengadilan militer pertempuran memeriksa serta memutus pada
tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 Undang-undang No. 31 Tahun 1997
tentang peradilan militer. Pengadilan militer militer pertempuran bersifat
mobilisasi mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah
hukum di daerah pertempuran.
3. Tingkat Peranan dan Fungsi Lembaga Peradilan
a. Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri)
Pengadilan tingkat pertama dibentuk oleh menteri kehakiman atas
persetujuan Mahkamah Agung. Fungsi pengadilan tingkat pertama adalah
memeriksa tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan yang diajukan
oleh tersangka keluarganya atau kuasanya kepada ketua pengadilan dengan
menyebut alasan-alasannya.
Wewenang pengadilan tingkat pertama adalah memeriksa dan
memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang,
khususnya tentang:
1) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian tuntutan.
2) Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya
dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan

101
b. Pengadilan Tingkat Kedua (Pengadilan Tinggi)
Fungsi pengadilan tingkat kedua adalah sebagai berikut:
1) Menjadi pimpinan bagi pengadilan-pengadilan negeri di dalam
wilayah hukumnya.
2) Melakukan pengawasan terhadap jalannya perdilan negeri di daerah
wilayah hukumnya dan menjaga supaya peradilan itu diselesaikan
dengan seksama dan sewajarnya.
3) Mengawasi dan meneliti perbuatan para hakim pengadilan negeri di
wilayah hukumnya.
4) Untuk kepentingan negara dan keadilan, pengadilan tinggi dapat
memberikan peringatan, teguran, dan petunjuk yang dipandang perlu
kepada pengadilan negeri dalam daerah hukumnya.
c. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung memiliki fungsi sebagai berikut:
1) Sebagai puncak segala peradilan dan sebagai peradilan tertinggi untuk
semua lingkungan dan memberi pimpinan kepada pengadilan yang
bersangkutan.
2) Melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua
lingkungan peradilan dan menjaga peradilan agar terselenggara dengan
seksama dan sewajamya.
3) Mengawasi perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan.
4) Memberi peringatan, teguran, dan petunjuk yang dipandang perlu.

4. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial


Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial adalah lembaga
negara yang berkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
a. Mahkamah Agung (UU No. Tahun 2004)
Merupakan Iembaga RI yang melaksanakan kekuasaan yudikatif.
1) Berhak memberi pertimbangan dalam bidang hukum kepada presiden
mengenai pemberian/penolakan grasi.

102
2) Berhak mengadakan kasasi atau pembatalan terhadap putusan atau
penetapan dalam tingkat akhir dari pengadilan.
3) Memiliki wewenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundangan di bawah undang-undang.
4) Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a) Permohonan kasasi.
b) Sengketa kewenangan mengadili.
c) Permohonan peninjauan kembali keputusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum yang pasti.
b. Mahkamah Konstitusi (UU No.24 Tahun 2003)
Mahkamah konstitusi merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Mahkamah
konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
1) Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945.
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara.
3) Memutus pembubaran partai politik.
4) Memutus perselisihan tentang pemilu.
5) Memberi putusan atas pendapat DPR atau (Impeachment) bahwa
presiden dan/atau wakil presiden diduga telah melakukan
penyelenggaraan hukum berupa penghianatan terhadap Negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela,
tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan / atau wakil presiden
(pasal 7B (1) UUD 1945).
c. Komisi Yudisial (UU No.22 Tahun 2004)
Komisi Yudisial adalah lembaga yang dibentuk berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman. Lembaga ini dibentuk berdasarkan pasal 24B UUD 1945
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan wewenang lain
untuk menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

103

Anda mungkin juga menyukai