Laporan hari ke IV
Bismarc atau Beveridge? Pilihan mencapai Universal Coverage
Pada hari ini diskusi dan pemaparan dari para peserta yang cukup menarik adalah mengenai
pilihan antara sistem berbasis pajak atau berbasis asuransi. Seperti diketahui secara umum
terdapat dua cara untuk mencapai universal coverage yaitu dengan cara menarik pajak dari
rakyat dan sebagian dari pajak akan dialokasikan untuk memberikan layanan kesehatan, atau
melalui penarikan premi dengan cara memotong gaji. Mekanisme melalui pajak, atau tax
based system dipelopori oleh politisi Inggris pada tahun 1945, William Beveridge.
Sedangkan mekanisme melalui penarikan premi dipelopori oleh Kanselir Jerman Otto von
Bismarc pada tahun 1883.
Peserta dari Taiwan memaparkan bagaimana sistem di Taiwan berbasis Bismarc sejak tahun
1980an. Inggris menggunakan sistem Beveridge, sedangkan sistem di Thailand sebenarnya
adalah sistem campuran, sebagian Bismarc sebagian Beveridge. Ketika peserta menanyakan
mana yang lebih baik, ternyata jawabannya semuanya baik. Hal ini karena menurut Jui-fen
Rachel Lu dari Taiwan, di Taiwan peserta puas, pasien kalau mau boleh langsung ke spesialis
asal mau membayar co payment US$10. Di Thailand, peserta miskin dan hampir miskin serta
kelompok informal ditanggung negara (lewat model Beveridge) sedangkan kelompok formal
ditarik premi (model Bismarc). Ternyata di Thailand program ini cukup "pro poor" artinya
mencapai sasaran, dan equity cukup baik. Kesimpulannya, "model untuk mencapai universal
coverage yang lebih cocok di negara berkembang adalah model campuran karena biasanya
sector informal masih cukup banyak dan sulit untuk menarik premi wajib dari mereka"
demikian, Dr Toomas Palu dari Bank Dunia sebagai moderator.
Bagaimana mengukur Keberhasilan Universal Coverage?
Apakah universal coverage berarti semua orang mempunyai kartu asuransi? Ternyata tidak.
Dalam diskusi yang dipimpin oleh David B. Evans dari Bank Dunia ini, terdapat banyak
indicator sebenarnya untuk menilai keberhasilan Universal Coverage. Pertama setiap orang
harus memiliki akses untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Tidak ada gunanya orang
memiliki kartu asuransi atau kartu jaminan kalau tidak ada fasilitas kesehatan yang mudah
dicapai. Kedua harus ada benefit package yang memadai. Kalau yang dijamin oleh asuransi
hal-hal yang remeh dan murah (hanya rawat jalan, tapi tidak menjamin operasi jantung,
hemodialisis, atau kanker), dan peserta masih harus membayar out of pocket maka percuma.
Yang ketiga adalah seberapa besar cost sharing yang harus dibayar ketika memanfaatkan
layanan kesehatan. Semakin sedikit, kalau bisa nol, semakin baik. Secara singkat hal ini dapat
digambarkan dengan diagram di bawah ini:
Dengan menggunakan indicator indicator di atas maka barulah dapat disebut Universal
Coverage berhasil.
Laporan Hari V
1. Prihatin dengan situasi dimana 150 juta orang di seluruh dunia menderita kesulitan
keuangan yang parah setiap tahun untuk membayar biaya layanan kesehatan yang
tinggi, dan 100 juta orang diantaranya terjerumus ke bawah garis kemiskinan
karenanya, sehingga menghambat pembangunan sosial dan ekonomi yang
berkelanjutan;
2. Menyadari cakupan kesehatan universal di mana semua orang dapat menggunakan
layanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa takut miskin karena pembayaran;
adalah instrumen dasar dalam mewujudkan hak atas kesehatan dan kesempatan yang
sama oleh semua warga negara;
3. Mengingatkan kembali adanya bukti global yang mendukung pentingnya cakupan
kesehatan universal, khususnya Laporan Kesehatan Dunia dan Resolusi Majelis
Kesehatan Dunia (WHA) 64.9 Mei 2011 mengenai Struktur Pembiayaan Kesehatan
Berkelanjutan dan Cakupan Universal Health;
4. Menyadari manfaat dari cakupan layanan kesehatan universal untuk mendorong
ekuitas, meningkatkan kesehatan dan mengurangi kemiskinan terutama kaum miskin
dan sektor informal;
5. Menggarisbawahi kontribusi berharga cakupan kesehatan universal untuk mencapai
derajat kesehatan yang berhubungan dengan Millenium Development Goal 1
(memberantas kemiskinan ekstrim dan kelaparan); MDG 4 (mengurangi angka
kematian anak); MDG 5 (meningkatkan kesehatan ibu); dan MDG 6 (memerangi HIV
/ AIDS, malaria dan penyakit lainnya);
6. Menyadari pentingnya sistem kesehatan yang kuat, responsif dan cakupan layanan
kesehatan primer yang luas serta bermutu baik untuk pelaksanaan yang efektif dari
cakupan kesehatan universal;
7. Menyadari kebutuhan untuk memperkuat kapasitas lembaga penelitian untuk
kebijakan dan sistem kesehatan sehingga dapat menghasilkan bukti untuk pengambil
kebijakan, merancang sistem cakupan kesehatan universal, mengevaluasi dan
menyesuaikan kebijakan
8. Menyadari bahwa cakupan kesehatan universal adalah mungkin bahkan pada negara
dengan tingkat sosial-ekonomi yang rendah asalkan tersedia komitmen politik dan
finansial yang berkelanjutan dan adanya dukungan dari masyarakat luas serta mitra
pembangunan internasional.
9. SETUJU untuk bekerja sama dalam menerjemahkan niat ini ke dalam kebijakan dan
tindakan nyata yang menjadikan cakupan kesehatan universal kenyataan bagi semua
orang, memastikan kesehatan yang lebih baik bagi semua orang, khususnya mereka
yang paling membutuhkannya.
10. BERKOMITMEN dalam menjadikan Cakupan Kesehatan Universal sebagai agenda
nasional dan meneruskannya supaya lebih cepat dibahas di PBB atau di pertemuan
pertemuan tingkat tinggi yang akan datang yang berhubungan dengan kesehatan dan /
atau pembangunan sosial, termasuk melalui Majelis Umum PBB.
Prof Ali Ghufron Mukti, Wamenkes RI memberikan paparan di PMAC 2012
Salah satu yang paling menonjol dalam mempersiapkan UHC menurut Walaiporn
Patcharanarumol adalah penguatan pelayanan primary care di Thailand. Tahun 1980
dimulai pergerakan penguatan sistem kesehatan nasional di Thailand dengan
menekankan daerah rural. Selama 5 tahun, pembiayaan kesehatan diarahkan pada
daerah rural tanpa ada investasi dana untuk daerah perkotaan. Beberapa agenda
peningkatan kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan di daerah antara lain pemberian
insentif yang besar bagi tenaga kesehatan yang bekerja ke daerah rural. Kemudian
pendidikan kesehatan gratis bagi putra-putri daerah yang kembali ke daerahnya. Diikuti
kejelasan jenjang karir bagi tenaga kesehatan yang bekerja di daerah (level 1 sampai
level 11). Lalu, perbaikan dan penambahan insfrastruktur kesehatan, peralatan medis
dan penyediaan obat dan sediaan farmasi yang mencukupi. Terakhir, penyediaan
rumah, transportasi dan rekreasi bagi tenaga kesehatan yang berkerja di daerah rural.
Sistem pelayanan kesehatan di Thailand menggunakan sistem rujukan berjenjang, mulai
dari primary care unit (PCU) yang berjumlah kurang lebih 8.000 PCU seluruh Thailand,
800 rumah sakit distrik sebagai rumah sakit sekunder dan rumah sakit tersier yang
biasanya di level provinsi dan atau rumah sakit pendidikan. PCU juga disebut sebagai
rumah sakait promotif dan preventif (P&P). Tiap PCU dan rumah sakit memiliki standar
minimum layanan yang ditetapkan secara nasional.
Untuk primary health unit (PCU) atau istilah lain Rural Health Center (PHC) setidaknya
memiliki: pertama, terdiri dari 3-8 staf (sebagian besar adalah perawat yang lulus dari
MOPH nursing school). Kedua, setiap PCU mengkover 5.000-10.000 jumlah penduduk.
Ketiga, melakukan kontrak kerjasama dengan district hospital untuk mekanisme rujukan.
Keempat, jika tidak ada dokter, district hospital yang akan merotasi dokternya ke PHC
secara bergilir. Kelima, sistem rekam medis menggunakan unik ID dari pencatatan sipil
dan disimpan dalam bentuk family folder untuk memastikan pelayanan dokter keluarga
yang komprehensif. Keenam, sekarang merevolusi menjadi sub-districy health
promotion hospitals. Ketujuh, berbagai skema insentif disediakan, salah satunya dalam
bentuk penghargaan tiap tahun bagi PHC yang sudah mencapai standar pelayanan
yang telah ditetapkan.
District hospital merupakan layanan rujukan pertama bagi PCU. District ini terdiri dari 2-8
dokter mengakomodasi sampai 50.000 populasi. Terdapat setidaknya 2 dokter spesialis
terutama penyakit dalam dan bedah, serta 60-150 tempat tidur. Kemudian, district juga
menyediakan berbagai pelayanan, termasuk mobile clinic untuk menjangkau daerah-
daerah pelosok. NHSO mengkontrak rumah sakit district yang sudah memiliki jejaring
layanan primer. Pasien/peserta UHC harus mengikuti mekanisme rujukan dimana
mereka terdaftar. Jika pasien melakukan bypassing primary care dimana dia terdaftar,
maka pasien harus membayar sendiri 100 persen biaya kesehatannya. Namun demikian
pasien memiliki keleluasan untuk pindah kepesertaan dari satu PHC ke PHC lain
maksimum 4 kali per tahun.
Gambar: Kontrak Jejaring Pelayanan Kesehatan antara NHSO dan Rumah Sakit Distrik
Perubahan pola pelayanan rujukan dari tahun 1977-2010 menunjukkan meningkatnya
presentasi pelayanan primary health care dari tahun ke tahun. Jumlah kunjungan
Primary health center hanya 29 persen dari total kunjungan pada tahun 1977, dan tahun
2010 meningkat menjadi 54 persen. Reformasi pelayanan rujukan didukung dengan
peningkatan alokasi anggaran kesehatan dari tahun ke tahun, mulai dari 3.4 persen di
tahun 1972 menjadi 8.1 persen pada tahun 2004, kemdian tahun 2011 mencapai 14
persen dari anggaran nasional. Ini penting bagi Thailand untuk mendukung UHC.
Mekanisme pembayaran pelayanan kesehatan juga mengalami transformasi, yang pada
awalnya hanya sebatas pada pembayaran kegiatan kuratif dengan mekanisme kapitasi
untuk layanan rawat jalan dan DRG untuk layanan rawat inap, ditambah beberapa
skema reimburstment bagi fasilitas kesehatan untuk beberapa aktivitas yaitu promotif
dan preventif dengan mengcover palayanan screening (screening kanker tertentu,
screening TB, dll). Diikuti, penggantian biaya untuk pelayanan Outreach ke masyarakat.
Terakhir, kegiatan Home Visit dengan menggunakan sistem family folder. Integrasi
pelayanan kesehatan menjadi syarat bagi terselenggaranya universal health coverage .