Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN HARI I

Pencapaian Thailand dalam Universal Coverage


Thailand dianggap yang negara yang memiliki perkembangan cukup baik dalam mencapai
UC. Sejak tahun 2002, Thailand telah mencapai Universal Health Coverage untuk seluruh
penduduknya. Sebuah perjalanan yang tidak mudah dan penuh tantangan, yang dimulai sejak
27 tahun sebelumnya.
Dalam salah satu presentasinya, pemenang Prince Mahidol Award tahun 2009, Prof. Anne
Mills dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris mengatakan bahwa
"Thailand mengalami titik balik ketika pada tahun 2002 telah berhasil mengatasi perbedaan
dan mencapai kesepakatan untuk mencapai Universal Coverage". Sebelumnya, karena
pertentangan kepentingan, Thailand lambat meningkatkan kepesertaan jaminan kesehatan.
Namun kemudian, seiring dengan stabilitas politik, Thailand berhasil melibatkan seluruh
pemangku kepentingan (stakeholder) dan membuat program ini menjadi milik bersama.
"Kemauan politik adalah aspek yang penting untuk mencapai target Universal Coverage".
Selain itu, Anne Mills menekankan pentingnya pemerataan layanan kesehatan di Thailand.
"Karena reformasi pembiayaan kesehatan harus seiring (hand in hand) dengan penyediaan
layanan kesehatan" tambahnya.
Namun tantangan ke depan masih cukup banyak. Anne Mills memperingatkan bahwa
pengendalian biaya adalah tantangan yang tidak akan pernah selesai. Selain itu, Thailand
masih harus merangkul sector swasta dalam skema ini. "Sistem jaminan kesehatan yang baik
adalah yang membuat orang tidak lagi membedakan mutu layanan kesehatan yang disediakan
pemerintah atau swasta. Seperti di Inggris, orang tidak terlalu paham bahwa sebagian besar
layanan rawat jalan diselenggarakan oleh swasta namun uangnya berasal dari pemerintah".
Pengalaman Ghana dalam mengimplementasikan Asuransi Kesehatan Nasional
Menarik bahwa dalam salah satu sesi ditampilkan presentasi dari Ghana, Afrika, mengenai
pengalamannya menerapkan asuransi kesehatan sosial secara nasional. Ghana termasuk
negara berkembang berpenghasilan rendah yang dianggap cukup berhasil karena saat ini telah
ada sistem asuransi kesehatan nasional. Sejak tahun 2004 (hampir sama dengan pengesahan
SJSN di Indonesia), telah ditetapkan UU yang mengatur sistem asuransi kesehatan sosial.
Dengan UU ini semua orang yang berusia 18 tahun ke bawah (48% penduduk) mendapatkan
jaminan kesehatan, dan semua orang miskin mendapatkan subsidi pemerintah. Dengan
demikian, maka sekitar 70% penduduknya tercakup. Yang menarik, "di daerah pedesaan,
karena keterbatasan dokter, maka perawat atau kader terlatih dapat memberikan layanan
kesehatan" kata Dr Lutterodt, dari Kemenkes Ghana. Hal ini karena pemerintah Ghana
menyadari bahwa penyediaan layanan kesehatan sangat penting dalam mengimplementasikan
jaminan kesehatan. "Tidak ada gunanya sistem asuransi kesehatan tersedia tanpa ada petugas
kesehatan yang menyediakan layanan tersebut". Sistem pembayaran asuransi sosial di Ghana
kepada dokter dan perawat dianggap cukup memuaskan. "Mereka telah digaji oleh negara
sehingga mereka wajib menyediakan layanan kesehatan" kata Dr Lutterodt.
Pengalaman dari Thailand dan Ghana tadi menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Nampaknya
banyak yang bisa dipelajari oleh Indonesia, di antaranya bagaimana menyatukan berbagai
kepentingan politik dan bagaimana menyediakan pelayanan yang merata, walaupun dengan
kualitas terbatas, sampai daerah pedesaan terpencil.
Laporan Hari II
Kunjungan ke RS Kluaynamthai
Pada hari ini peserta konferensi diberi pilihan untuk melakukan kunjungan lapangan ke
berbagai tempat. Saya memilih mengunjungi RS Kluaynamthai, sebuah RS Swasta dengan
200 tempat tidur dengan omzet Rp 169 Milyar per tahun. Dari jumlah tersebut, 72%
pendapatannya berasal dari asuransi kesehatan sosial Thailand. Saya berpikir, RS ini adalah
RS Swasta "biasa" yang karena tidak memiliki pasar komersial memilih dikontrak
pemerintah. Namun ketika sampai di sana, kesan itu salah sama sekali. Bila dibandingkan
Jakarta, mungkin penampilan RS ini tidak kalah dengan RS MMC. RS ini milik sebuah
keluarga pengusaha. RS ini juga memiliki satelit yang juga dikontrak oleh pemerintah untuk
melayani peserta asuransi sosial. Dengan demikian rujukan berjalan optimal.
Saat ini di Bangkok terdapat 321 RS swasta yang dikontrak oleh pemerintah, dalam hal ini
National Health Security Office. NHSO adalah organisasi otonom yang diberi tugas khusus
untuk mengimplementasi Universal Coverage di Thailand. RS Kluaynamthai adalah RS yang
dianggap mempunyai kinerja cukup baik oleh NHSO. Salah satunya karena sudah terdapat
sistem informasi manajemen yang baik. Di RS Kluaynamthai, dokter diminta menginputkan
informasi mengenai pasien yang diperiksanya sehingga bisa diketahui sejarah penyakit serta
akan mempermudah utilization review. Pada kunjungan kami ke sana diperlihatkan
bagaimana dengan mudah dikaji apakah seorang dokter akan memberikan pengobatan
rasional atau tidak.
Sistem rujukan di RS tersebut juga patut dipuji karena sudah menggunakan teknologi
telekonferens. Ditunjukkan kepada peserta konferensi bagaimana seorang dokter umum dapat
berkonsultasi dengan dokter spesialis di RS tentang penanganan pasien Parkinson's Disease
yang sudah kronis. Pasien tersebut tidak perlu harus setiap saat pergi ke RS untuk periksa ke
Neurolog, namun cukup ke dokter umum untuk pemeliharaan. Memang pada saat diagnosis
dan terapi awal pasien tersebut dirujuk, namun selanjutnya dokter umum di klinik satelit yang
menangani.
Hal ini tentu berdampak pada tidak terlalu banyaknya orang yang harus antre di RS. Saya
juga sempat mewawancarai pasien yang sedang menunggu di RS tersebut. Pasien mengaku
cukup puas dengan pelayanan dan tidak terlalu lama menunggu, sekitar 30 menit.
Dapat dipahami bahwa ketika ada kunjungan dari tamu, semua hal-hal baik yang dilaporkan.
Oleh karena itu saya mencoba bertanya untuk menggali permasalahan yang dihadapi. Saya
menanyakan bagaimana kepuasan dokter spesialis di sini? Apakah mereka puas dengan
sistem pembayaran oleh NHSO? Apakah dokter sering terlambat? Apakah dokter juga
praktek di tempat lain? Jawabannya: "Ya kalau mereka tidak puas tentu sudah sejak dulu
kami tidak mau kontrak dengan NHSO. Mengenai sistem pembayaran mereka tentu
mengharapkan yang lebih baik. Namun itu wajar di mana-mana tentu orang menharapkan
dibayar lebih tinggi". Sedangkan mengenai disiplin, dokter di Thailand menurut mereka
cukup professional: mereka datang tepat waktu dan semua dokter di RS swasta tersebut
adalah dokter penuh waktu (fulltime).
Ketika dalam perjalanan pulang, saya bersama delegasi Indonesia membahas lebih lanjut
hasil kunjungan tersebut. Dapatkah kondisi seperti ini diterapkan di Indonesia? Salah satu
delegasi menjawab: tentu saja bisa. Peraturan kita sudah mendukung adanya sistem rujukan
berjenjang, pembatasan dokter spesialis berpraktek, akreditasi mutu rumah sakit dan
sebagainya. Bahkan salah peserta Indonesia mengatakan sistem informasi yang ada di salah
satu RS rujukan di Indonesia "lebih canggih dan lebih bagus" dari yang dilihatnya di
Thailand. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik untuk menerapkan aturan tersebut,
katanya. Saya hanya terdiam.

Laporan Hari III


Pada Kamis 26 Januari 2012 Prince Mahidol Award Conference (PMAC) dibuka secara
resmi oleh Putri Mahachakri Sirindorn. Pada kesempatan itu juga dibacakan pidato utama
(key note speech) dari pemenang Prince Mahidol Award 2011, Dr. Ruth Bishop, penemu
vaksin untuk rotavirus diare. Yang menarik juga ditampilkan key note speech dari Varshaben
Jayantibhai Thakor, seorang wanita dari India yang menjadi pelopor pengembangan jaminan
kesehatan berbasis masyarakat di India. Ms Thakor hanya berpendidikan lulus SD di
negaranya (kelas 7). Namun PMAC memang sengaja mengundangnya untuk memberi
inspirasi bahwa seorang wanita sederhana seperti dirinya dapat membuat perubahan bagi
masyarakat di pedesaan Gujarat, India. Ms Thakor adalah pelopor program berbasis
masyarakat bernama SEWA yaitu semacam koperasi yang salah satu usahanya adalah
menyelenggarakan asuransi kesehatan.
Acara dilanjutkan dengan diskusi panel dengan judul "Universal Health Coverage: Utopia or
Mirage to Human Development?". Dalam diskusi panel ini dibahas apakah mungkin
mencapai UC, apakah UC hanya merupakan fatamorgana (mirage) atau bahkan utopia
(khayalan atau cita-cita yang tidak mungkin dicapai) ?. Tentu saja para panelis yang terdiri
dari WHO, Bank Dunia, Menteri Kesehatan Vietnam dan Thailand menganggap bahwa UC
dapat dicapai.
Memang tidak mungkin mencapai kualitas UC yang sama di semua negara kata wakil Bank
Dunia, Daniel Cotlear. Baru-baru ini bank dunia mengadakan survey di 20 negara
berkembang mengenai perkembangan UC. Salah satu temuannya adalah setiap negara
mempunyai cara dan jalan (path) sendiri-sendiri untuk mencapai UC. Sehingga tidak ada
"blue print" atau cetak biru yang sama. Namun tetap ada prinsip-prinsip yang sama yang
harus dicapai dalam UC. Wakil dari WHO, Carissa Etiene, mengatakan bahwa bagaimanapun
secara umum belanja kesehatan untuk mencapai UC harus cukup. Selain itu, alokasi biaya
kesehatan harus dikelola dengan baik. Secara singkat, dalam bahasa Inggris, "More money to
health and more health to money". Namun, panelis mengingatkan bahwa dalam membiayai
UC sebenarnya tidak harus mahal. Pelajaran dari negara berkembang mengenai bagaimana
membiayai kesehatan yang baik tanpa biaya berlebihan (Good Health at Low Cost) sudah
diterbitkan di buku yang dapat diungguh di laman ini http://ghlc.lshtm.ac.uk/
Bagaimana Mencari Sumber Dana bagi UC dan Apa Peran Asuransi Swasta?
Tentu saja, untuk mencapai UC tidak hanya diperlukan retorika, komitmen, pernyataan
dukungan dan sebagainya. Dalam salah satu diskusi panel dibahas dari mana sumber
dananya. Diskusi yang menghadirkan Laos, Gabon dan Korea ini membahas bagaimana
menambah alokasi anggaran pemerintah untuk mencapai UC. Laos menambah pajak listrik
dari Pembangkit Listrik Tenaga Air, Gabon menambahkan biaya dari pulsa telepon genggam,
dan Korea dari pajak tembakau dan alcohol (atau yang sering disebut "sin tax"). Ketiga
negara tersebut berhasil menambah anggaran untuk jaminan kesehatan dan mengalokasikan
sebagian untuk promosi kesehatan (terutama iklan anti rokok).
Pembahas dari Inggris mengomentari cukup tajam mengenai sumber dana yang dapat digali,
selain yang sudah dilakukan di negara-negara tersebut di atas. "Sebenarnya perusahaan-
perusahaan dan bank-bank besar yang saat ini menjadi penyebab krisis ekonomi dunia harus
bertanggung jawab lebih besar. Mereka seharusnya diminta membayar pajak lebih besar,
sehingga tidak membebani masyarakat".
Lalu apabila program UC akan diselenggarakan oleh Pemerintah dan dananya adalah dari
Pajak, bagaimana asuransi swasta berperan? Pertanyaan ini dijawab oleh salah seorang
peserta diskusi panel dari Nepal: boleh dilibatkan namun jangan sampai mendominasi. Dr
Ravindra dari Nepal mengutip studi dari para ahli ekonomi kesehatan bahwa "jangan sampai
kita meniru apa yang sudah terjadi di Amerika Serikat. Di sana peran asuransi swasta sudah
sedemikian besar sehingga sudah sulit dikontrol lagi. Bahkan terdapat bukti bahwa asuransi
swasta bukannya mengurangi biaya kesehatan tetapi malah menambahnya". Jadi seberapa
besar sebaiknya peran swasta? "Paling banyak, pasar asuransi swasta adalah 15%. Lebih dari
itu negara anda berada dalam masalah".

Laporan hari ke IV
Bismarc atau Beveridge? Pilihan mencapai Universal Coverage
Pada hari ini diskusi dan pemaparan dari para peserta yang cukup menarik adalah mengenai
pilihan antara sistem berbasis pajak atau berbasis asuransi. Seperti diketahui secara umum
terdapat dua cara untuk mencapai universal coverage yaitu dengan cara menarik pajak dari
rakyat dan sebagian dari pajak akan dialokasikan untuk memberikan layanan kesehatan, atau
melalui penarikan premi dengan cara memotong gaji. Mekanisme melalui pajak, atau tax
based system dipelopori oleh politisi Inggris pada tahun 1945, William Beveridge.
Sedangkan mekanisme melalui penarikan premi dipelopori oleh Kanselir Jerman Otto von
Bismarc pada tahun 1883.
Peserta dari Taiwan memaparkan bagaimana sistem di Taiwan berbasis Bismarc sejak tahun
1980an. Inggris menggunakan sistem Beveridge, sedangkan sistem di Thailand sebenarnya
adalah sistem campuran, sebagian Bismarc sebagian Beveridge. Ketika peserta menanyakan
mana yang lebih baik, ternyata jawabannya semuanya baik. Hal ini karena menurut Jui-fen
Rachel Lu dari Taiwan, di Taiwan peserta puas, pasien kalau mau boleh langsung ke spesialis
asal mau membayar co payment US$10. Di Thailand, peserta miskin dan hampir miskin serta
kelompok informal ditanggung negara (lewat model Beveridge) sedangkan kelompok formal
ditarik premi (model Bismarc). Ternyata di Thailand program ini cukup "pro poor" artinya
mencapai sasaran, dan equity cukup baik. Kesimpulannya, "model untuk mencapai universal
coverage yang lebih cocok di negara berkembang adalah model campuran karena biasanya
sector informal masih cukup banyak dan sulit untuk menarik premi wajib dari mereka"
demikian, Dr Toomas Palu dari Bank Dunia sebagai moderator.
Bagaimana mengukur Keberhasilan Universal Coverage?
Apakah universal coverage berarti semua orang mempunyai kartu asuransi? Ternyata tidak.
Dalam diskusi yang dipimpin oleh David B. Evans dari Bank Dunia ini, terdapat banyak
indicator sebenarnya untuk menilai keberhasilan Universal Coverage. Pertama setiap orang
harus memiliki akses untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Tidak ada gunanya orang
memiliki kartu asuransi atau kartu jaminan kalau tidak ada fasilitas kesehatan yang mudah
dicapai. Kedua harus ada benefit package yang memadai. Kalau yang dijamin oleh asuransi
hal-hal yang remeh dan murah (hanya rawat jalan, tapi tidak menjamin operasi jantung,
hemodialisis, atau kanker), dan peserta masih harus membayar out of pocket maka percuma.
Yang ketiga adalah seberapa besar cost sharing yang harus dibayar ketika memanfaatkan
layanan kesehatan. Semakin sedikit, kalau bisa nol, semakin baik. Secara singkat hal ini dapat
digambarkan dengan diagram di bawah ini:
Dengan menggunakan indicator indicator di atas maka barulah dapat disebut Universal
Coverage berhasil.
 

Laporan Hari V

Penutupan dan Pernyataan Bangkok


Pada hari ini PMAC 2012 ditutup dengan membuat pernyataan bersama sebagai berikut:
Pernyataan Bangkok (Bangkok Statement) untuk Pencapaian Universal Coverage.
Kami, Menteri Kesehatan dan peserta Prince Mahidol Award 2012, "Moving Towards
Universal Coverage: Health Financing Matter", berkumpul di Bangkok, Thailand pada 24
– 28 Januari 2012 untuk belajar dan berbagi pengalaman antara pemerintah, akademisi, sipil
masyarakat, sektor swasta dan mitra pembangunan:

1. Prihatin dengan situasi dimana 150 juta orang di seluruh dunia menderita kesulitan
keuangan yang parah setiap tahun untuk membayar biaya layanan kesehatan yang
tinggi, dan 100 juta orang diantaranya terjerumus ke bawah garis kemiskinan
karenanya, sehingga menghambat pembangunan sosial dan ekonomi yang
berkelanjutan;
2. Menyadari cakupan kesehatan universal di mana semua orang dapat menggunakan
layanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa takut miskin karena pembayaran;
adalah instrumen dasar dalam mewujudkan hak atas kesehatan dan kesempatan yang
sama oleh semua warga negara;
3. Mengingatkan kembali adanya bukti global yang mendukung pentingnya cakupan
kesehatan universal, khususnya Laporan Kesehatan Dunia dan Resolusi Majelis
Kesehatan Dunia (WHA) 64.9 Mei 2011 mengenai Struktur Pembiayaan Kesehatan
Berkelanjutan dan Cakupan Universal Health;
4. Menyadari manfaat dari cakupan layanan kesehatan universal untuk mendorong
ekuitas, meningkatkan kesehatan dan mengurangi kemiskinan terutama kaum miskin
dan sektor informal;
5. Menggarisbawahi kontribusi berharga cakupan kesehatan universal untuk mencapai
derajat kesehatan yang berhubungan dengan Millenium Development Goal 1
(memberantas kemiskinan ekstrim dan kelaparan); MDG 4 (mengurangi angka
kematian anak); MDG 5 (meningkatkan kesehatan ibu); dan MDG 6 (memerangi HIV
/ AIDS, malaria dan penyakit lainnya);
6. Menyadari pentingnya sistem kesehatan yang kuat, responsif dan cakupan layanan
kesehatan primer yang luas serta bermutu baik untuk pelaksanaan yang efektif dari
cakupan kesehatan universal;
7. Menyadari kebutuhan untuk memperkuat kapasitas lembaga penelitian untuk
kebijakan dan sistem kesehatan sehingga dapat menghasilkan bukti untuk pengambil
kebijakan, merancang sistem cakupan kesehatan universal, mengevaluasi dan
menyesuaikan kebijakan
8. Menyadari bahwa cakupan kesehatan universal adalah mungkin bahkan pada negara
dengan tingkat sosial-ekonomi yang rendah asalkan tersedia komitmen politik dan
finansial yang berkelanjutan dan adanya dukungan dari masyarakat luas serta mitra
pembangunan internasional.
9. SETUJU untuk bekerja sama dalam menerjemahkan niat ini ke dalam kebijakan dan
tindakan nyata yang menjadikan cakupan kesehatan universal kenyataan bagi semua
orang, memastikan kesehatan yang lebih baik bagi semua orang, khususnya mereka
yang paling membutuhkannya.
10. BERKOMITMEN dalam menjadikan Cakupan Kesehatan Universal sebagai agenda
nasional dan meneruskannya supaya lebih cepat dibahas di PBB atau di pertemuan
pertemuan tingkat tinggi yang akan datang yang berhubungan dengan kesehatan dan /
atau pembangunan sosial, termasuk melalui Majelis Umum PBB.
Prof Ali Ghufron Mukti, Wamenkes RI memberikan paparan di PMAC 2012 
 
 
Salah satu yang paling menonjol dalam mempersiapkan UHC menurut Walaiporn
Patcharanarumol adalah penguatan pelayanan primary care di Thailand. Tahun 1980
dimulai pergerakan penguatan sistem kesehatan nasional di Thailand dengan
menekankan daerah rural. Selama 5 tahun, pembiayaan kesehatan diarahkan pada
daerah rural tanpa ada investasi dana untuk daerah perkotaan. Beberapa agenda
peningkatan kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan di daerah antara lain pemberian
insentif yang besar bagi tenaga kesehatan yang bekerja ke daerah rural. Kemudian
pendidikan kesehatan gratis bagi putra-putri daerah yang kembali ke daerahnya. Diikuti
kejelasan jenjang karir bagi tenaga kesehatan yang bekerja di daerah (level 1 sampai
level 11). Lalu, perbaikan dan penambahan insfrastruktur kesehatan, peralatan medis
dan penyediaan obat dan sediaan farmasi yang mencukupi. Terakhir, penyediaan
rumah, transportasi dan rekreasi bagi tenaga kesehatan yang berkerja di daerah rural.
Sistem pelayanan kesehatan di Thailand menggunakan sistem rujukan berjenjang, mulai
dari primary care unit (PCU) yang berjumlah kurang lebih 8.000 PCU seluruh Thailand,
800 rumah sakit distrik sebagai rumah sakit sekunder dan rumah sakit tersier yang
biasanya di level provinsi dan atau rumah sakit pendidikan. PCU juga disebut sebagai
rumah sakait promotif dan preventif (P&P). Tiap PCU dan rumah sakit memiliki standar
minimum layanan yang ditetapkan secara nasional.
Untuk primary health unit (PCU) atau istilah lain Rural Health Center (PHC) setidaknya
memiliki: pertama, terdiri dari 3-8 staf (sebagian besar adalah perawat yang lulus dari
MOPH nursing school). Kedua, setiap PCU mengkover 5.000-10.000 jumlah penduduk.
Ketiga, melakukan kontrak kerjasama dengan district hospital untuk mekanisme rujukan.
Keempat, jika tidak ada dokter, district hospital yang akan merotasi dokternya ke PHC
secara bergilir. Kelima, sistem rekam medis menggunakan unik ID dari pencatatan sipil
dan disimpan dalam bentuk family folder untuk memastikan pelayanan dokter keluarga
yang komprehensif. Keenam, sekarang merevolusi menjadi sub-districy health
promotion hospitals. Ketujuh, berbagai skema insentif disediakan, salah satunya dalam
bentuk penghargaan tiap tahun bagi PHC yang sudah mencapai standar pelayanan
yang telah ditetapkan.
District hospital merupakan layanan rujukan pertama bagi PCU. District ini terdiri dari 2-8
dokter mengakomodasi sampai 50.000 populasi. Terdapat setidaknya 2 dokter spesialis
terutama penyakit dalam dan bedah, serta 60-150 tempat tidur. Kemudian, district juga
menyediakan berbagai pelayanan, termasuk mobile clinic untuk menjangkau daerah-
daerah pelosok. NHSO mengkontrak rumah sakit district yang sudah memiliki jejaring
layanan primer. Pasien/peserta UHC harus mengikuti mekanisme rujukan dimana
mereka terdaftar. Jika pasien melakukan bypassing primary care dimana dia terdaftar,
maka pasien harus membayar sendiri 100 persen biaya kesehatannya. Namun demikian
pasien memiliki keleluasan untuk pindah kepesertaan dari satu PHC ke PHC lain
maksimum 4 kali per tahun.

Gambar: Kontrak Jejaring Pelayanan Kesehatan antara NHSO dan Rumah Sakit Distrik

 
Perubahan pola pelayanan rujukan dari tahun 1977-2010 menunjukkan meningkatnya
presentasi pelayanan primary health care dari tahun ke tahun. Jumlah kunjungan
Primary health center hanya 29 persen dari total kunjungan pada tahun 1977, dan tahun
2010 meningkat menjadi 54 persen. Reformasi pelayanan rujukan didukung dengan
peningkatan alokasi anggaran kesehatan dari tahun ke tahun, mulai dari 3.4 persen di
tahun 1972 menjadi 8.1 persen pada tahun 2004, kemdian tahun 2011 mencapai 14
persen dari anggaran nasional. Ini penting bagi Thailand untuk mendukung UHC.
Mekanisme pembayaran pelayanan kesehatan juga mengalami transformasi, yang pada
awalnya hanya sebatas pada pembayaran kegiatan kuratif dengan mekanisme kapitasi
untuk layanan rawat jalan dan DRG untuk layanan rawat inap, ditambah beberapa
skema reimburstment bagi fasilitas kesehatan untuk beberapa aktivitas yaitu promotif
dan preventif dengan mengcover palayanan screening (screening kanker tertentu,
screening TB, dll). Diikuti, penggantian biaya untuk pelayanan Outreach ke masyarakat.
Terakhir, kegiatan Home Visit dengan menggunakan sistem family folder.  Integrasi
pelayanan kesehatan menjadi syarat bagi terselenggaranya universal health coverage . 

Anda mungkin juga menyukai