Anda di halaman 1dari 10

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH INSTABILITY POSTURAL DAN

IMPECUNITY/POVERTY (PENURUNAN/TIADA PENGHASILAN) LANSIA SAKIT


PADA NY. T DI KELUARGA

RIFA VIRGIANI CHAERUNISSA

190113057

Dosen Pembimbing

Ns. Desridius Chalid,S.Kep.,M.Kes

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ABDI NUSANTARA
JAKARTA, 2021

Jalan Swadaya No.19, Jatibening, Pondok gede, RT.002/RW.014, Jatibening, Kec. Pondok
gede, Kota Bekasi, Jawa Barat 17412
1. Definisi
Gangguan keseimbangan postural merupakan hal yang sering terjadi pada lansia.
Apabila keseimbangan postural lansia tidak terkontrol, maka akan dapat meningkatkan
resiko jatuh (Siburian, 2006). Faktor risiko jatuh pada lansia meliputi faktor intrinsik (host)
dan faktor ekstrinsik (environmental). Faktor intrinsik terdiri dari: permasalahan
keseimbangan dan berjalan, kelemahan otot, riwayat jatuh sebelumnya, penggunaan alat
bantu, permasalahan penglihatan, radang sendi, depresi, permasalahan kognitif, serta
usia lebih dari 80 tahun. Faktor ekstrinsik meliputi: penggunaan alas kaki yang tidak tepat,
permukaan lantai yang licin atau kasar, pencahayaan yang kurang, serta banyaknya
hambatan yang terdapat pada lingkungan (Rubenstein, 2002).
Setiap tahunnya terdapat satu per tiga lansia di dunia yang berumur di atas 65 tahun
mengalami jatuh. Angka ini cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Jatuh dan osteoporosis secara bersamaan mengakibatkan terjadinya fraktur panggul
pada lansia. Sebanyak 38% lansia yang jatuh dan dirawat di rumah sakit mengalami
fraktur panggul dan 90% kejadian fraktur panggul dialami oleh lansia berumur 70 tahun
ke atas (British Columbia, 2004). Sekitar satu per empat kematian di AS disebabkan oleh
jatuh dan terjadi pada 13% populasi lansia yang berusia di atas 65 tahun. Sekitar 30-73%
lansia yang mengalami jatuh cenderung akan terjadi jatuh yang berulang. Jatuh yang
berulang menjadi alasan utama ketergantungan lansia pada lingkungan sekitar. Efek
panjang yang dirasakan lansia yaitu berkurangnya rasa percaya diri, depresi, hingga
terisolasi secara sosial (Josephson, 2006).
2. Etiologi
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang
melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di
lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka
(Darmojo, 2004).
Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar menjadi
berada di permukaan tanah tanpa disengaja. Dan tidak termasuk jatuh akibat pukulan
keras, kehilangan kesadaran, atau kejang. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab
yang spesifik yang jenis dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan
sadar mengalami jatuh (Stanley, 2006).
3. Faktor Resiko
a. Faktor Instrinsik
Faktor instrinsik adalah variabel-variabel yang menentukan mengapa
seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam kondisi yang sama
mungkin tidak jatuh (Stanley, 2006). Faktor intrinsik tersebut antara lain adalah
gangguan muskuloskeletal misalnya menyebabkan gangguan gaya berjalan,
kelemahan ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkope yaitu kehilangan kesadaran
secara tiba-tiba yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak dengan
gejala lemah, penglihatan gelap, keringat dingin, pucat dan pusing (Lumbantobing,
2004).
b. Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitarnya)
diantaranya cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tersandung benda-
benda (Nugroho, 2000). Faktor-faktor ekstrinsik tersebut antara lain lingkungan yang
tidak mendukung meliputi cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin,
tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak stabil, atau tergeletak di bawah, tempat
tidur atau WC yang rendah atau jongkok, obat-obatan yang diminum dan alat-alat
bantu berjalan (Darmojo, 2004).
4. Penyebab Jatuh dari Lingkungan Rumah
Faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan jatuh adalah penerangan yang tidak baik
(kurang atau menyilaukan), lantai yang licin dan basah, tempat berpegangan yang tidak
kuat/tidak mudah dipegang dan alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang tidak
stabil dan tergeletak di bawah. (Darmojo, 2004).
Menurut Friedman, 1998 adalah kondisi interior rumah meliputi bagaimana ruangan-
ruangan tersebut dilengkapi oleh perabot , kelayakan perabot, penerangan yang tidak
memadai dan eksterior rumah meliputi lantai, tangga, jeruji dalam keadaan buruk,
tempat obat-obatan tidak terjangkau dan pintu masuk dan pintu keluar ke rumah tidak
terdapat penerangan dan ruang gerak yang cukup untuk keluar dari rumah, kabel listrik
telanjang di lantai, kolam renang yang tidak di pagari secara memadai.
5. Akibat Jatuh
Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan psikologis.
Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang panggul. Jenis
fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan, lengan
atas dan pelvis serta kerusakan jaringan lunak. Dampak psikologis adalah walaupun
cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki
banyak konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, penbatasan dalam
aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh (Stanley, 2006).
6. Komplikasi
Menurut Kane (1996), yang dikutip oleh Darmojo (2004), komplikasi-komplikasi jatuh
adalah :
a. Perlukaan
Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat
sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena, patah tulang
atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah, tungkai atas.
b. Disabilitas
Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan dengan
perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan kepercayaan
diri dan pembatasan gerak.
c. Kematian
7. Pencegahan
Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari Darmojo (2004), ada 3 usaha pokok untuk
pencegahan jatuh yaitu :
a. Identifikasi Faktor Resiko
Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya
faktor instrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan assessment keadaan sensorik,
neurologis, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering menyebabkan jatuh.
Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh
harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai
rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat, peralatan
rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergerser sendiri) sebaiknya
diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu jalan/tempat aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin
sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya
dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.
b. Penilaian Gaya Berjalan / Gait
Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam
melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Bila goyangan badan pada saat
berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi
medis. Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya
menapak dengan baik, tidak mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki
dengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita
cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat
kelainan/penurunan
c. Mengatur/Mengatasi Faktor Situasional
Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut usia dapat
dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara periodik. Faktor
situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan
lingkungan , faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan
kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh melampaui batasan yang
diperbolehgkan baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan
lanjut usia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi
untuk terjadinya jatuh.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk tiap kasus karena
perbedaan faktor-faktor yang bekerjasama mengakibatkan jatuh. Bila penyebab
merupakan penyakit akut penangananya menjadi lebih mudah, lebih sederhana, dan
langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh secara efektif. Tetapi lebih banyak pasien
jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga diperlukan terapi gabungan antara
obat, rehabilitasi, perbaikan lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lanjut usia itu. Pada
kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya
pembatasan bepergian/aktivitas fisik, penggunaan alat bantu gerak.
Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan penurunan
fungsional terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot sehingga
memperbaiki fungsionalnya. Sering terjadi kesalahan, terapi rehabilitasi hanya diberikan
sesaat sewaktu penderita mengalami jatuh. Padahal terapi ini diperlukan secara terus-
menerus sampai terjadi peningkatan kekuatan otot dan status fungsional.
Terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan keseimbangan difokuskan untuk
mengatasi penyebab/faktor yang mendasarinya. Penderita dimasukkan dalam progam
gait training dan pemberian alat bantu berjalan. Biasanya progam rehabilitasi ini dipimpin
oleh fisioterapis.
Penderita dengan dizziness syndrom, terapi ditujukan pada penyakit kardiovaskuler
yang mendasari, menghentikan obat-obat yang menyebabkan hipotensi postural seperti
beta bloker, diuretic dan antidepresan. Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah
memperbaiki lingkungan rumah/tempat kegiatan lanjut usia seperti tersebut di
pencegahan jatuh (Darmojo, 2004).
9. Fokus Pengkajian
Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan assesmen seperti dibawah ini : ( Kane,
1994; Fischer, 1982 )
1. Riwayat Penyakit ( Jatuh )
Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau
keluarganya. Anamnesis ini meliputi :
a. Seputar jatuh : mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset, tersandung,
berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari jongkok, sedang
makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang batuk atau bersin, sedang
menoleh tiba – tiba atau aktivitas lain.
b. Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar – debar, nyeri kepala tiba-tiba,
vertigo, pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak nafas.
c. Kondisi komorbid yang relevan : pernah stroke, Parkinsonism, osteoporosis,
sering kejang, penyakit jantung, rematik, depresi, defisit sensorik.
d. Review obat – obatan yang diminum : antihipertensi, diuretik, autonomik
bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik.
e. Review keadaan lingkungan : tempat jatuh, rumah maupun tempat – tempat
kegiatannya.

2.Pemeriksaan Fisik
a. anda vital : nadi, tensi, respirasi, suhu badan ( panas / hipotermi ).
b. Kepala dan leher : penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus,
gerakan yang menginduksi ketidakseimbangan, bising Jantung : aritmia,
kelainan katup.
c. Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer,
kelemahan otot, instabilitas, kekakuan, tremor.
d. Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi problem kaki (
podiatrik ), deformitas.

3. Assesmen Fungsional
Dilakukan observasi atau pencarian terhadap :
a. Fungsi gait dan keseimbangan : observasi pasien ketika dari bangku langsung
duduk dikursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar badan, ketika
mau duduk dibawah.
b. Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat bantu,
memakai kursi roda atau dibantu.
Aktifitas kehidupan sehari – hari : mandi, berpakaian, bepergian, kontinens.

10. PrioritasMasalah :
1. Resiko tinggi jatuh
2. Konstipasi
3. Distress Spiritual
11. Implementasi
Melakukan tindakan apa yang harus dilakukan saat itu pada klien dan catat apa
tindakan yang telah dilakukan pada klien, tindakan ini merupakan aplikasi kongrit
dari rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan
klien yang telah dilakukan oleh perawat.
12. Evaluasi
Langkah akhir dari proses keperawatan, di mana evaluasi adalah kegiatan yang
dilakukan secara terus-menerus yangdilibatkan klien, perawata dan anggota tim
kesehatan lainnya yang terdiri dari S.O.A.P.
1. Definisi
Impecunity pada Lansia Impecunity atau yang dalam bahasa Indonesia berarti
kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana seseorang memiliki pendapatan jauh lebih
rendah dari rata-rata pendapatan sehingga tidak banyak memiliki kesempatan untuk
mensejahterakan dirinya (Suryawati, 2005).
Pada konteks kemiskinan yang dialami oleh lansia maka hal penting yang harus
dipertanyakan adalah mengapa lansia bisa sampai mengalami kemiskinan. Berbagai teori
telah menyebutkan dan fakta telah membuktikan bahwa ketika seseorang memasuki
usia lanjut maka akan terjadi proses penurunan fungsi tubuh.
Penurunan fungsi tubuh tersebut dapat memengaruhi produktivitas lansia ketika
bekerja. Sehingga fenomena yang terjadi pada lansia adalah adanya fase pension baik
bagi pekerja formal maupun informal. Pada lansia pekerja formal terdapat sistem
batasan usia maksimum seseorang dipekerjakan sehingga ia akan diberhentikan dari
pekerjaanya. Sedangkan orang dengan pekerjaan informal (misal berdagang) memang
tidak ada pensiun atau pemberhentian bekerja namun penurunan fungsi tubuh seiring
bertambahnya usia pasti akan memaksa seseorang untuk menurunkan intensitas
pekerjaannya atau justru menghentikannya sendiri.
Miller (2009) mengemukakan bahwa fase berhenti kerja atau pensiun pasti akan dialami
oleh seluruh lansia dan pada saat itu mengakibatkan pendapatan (uang) menurun serta
perubahan peran dan status sosial. Pada fase tersebut tugas lansia adalah harus mampu
beradaptasi dengan masa pensiun dan penurunan pendapatan yang terjadi (Rosdahl dan
Kowalski, 2012).
Dari uraian diatas maka dapat penulis tarik kesimpulan bahwa impecunity pada lansia
adalah suatu kondisi dimana lansia mengalami penurunan atau bahkan kehilangan
pendapatan dikarenakan ketidakmampuan lansia untuk bekerja secara produktif karena
perubahan fungsi tubuh yang terjadi.
2. Perubahan Fisik Lansia yang Berhubungan dengan Impecunity
Berikut beberapa perubahan pada lansia serta dampak yang terjadi yang karenanya
lansia dapat dikatakan sudah tidak memenuhi lagi kriteria untuk bekerja secara produktif
sehingga terjadi penurunan pendapatan:
1) Penurunan penglihatan, akan mengakibatkan kesulitan dalam beraktivitas
sehari-hari, berisiko jatuh, dan kecelakaan/insiden lainnya (Wang, C.W., et al.,
2014).
2) Demensia/penurunan daya ingat, akan menyebabkan lansia butuh
pendampingan dalam berbagai kegiatan, terutama kegiatan instrumental
(bepergian, mencuci, menelepon, dan lain sebagainya) dan pemenuhan
kebutuhan dasar (Ananta & Wulan, 2011).
3) Penurunan kekuatan otot, akan menyebabkan lansia kesulitan melakukan
kegiatan fungsional seperti kemampuan mobilitas dan aktivitas perawatan
diri (Utomo, 2010).
4) Penurunan pendengaran, berisiko tinggi terjadi kesalahan dalam
berkomunikasi (Ciorba, et al., 2012).
5) Faktor Lain Penyebab Ketidaklayakan Bekerja pada Lansia Menurut Turner
dan Helms (1995) lansia sudah tidak layak dipekerjakan karena:
1) Pekerja lanjut usia adalah pekerja yang lambat dalam bekerja, kurang
(bahkan tidak dapat) memenuhi persyaratan standar produktivitas yang
ditentukan perusahaan.
2) Pekerja lanjut usia banyak yang tidak fleksibel, sulit dilatih dan
dikembangkan karena mereka sulit untuk dapat menerima perubahan.
3) Gaji pekerja lanjut usia akan menambah beban perusahaan yang rasionya
sudah tidak realistis lagi dengan peningkatan kinerjanya.
3. Dampak Impecunity pada Lansia
1) Dampak Bagi Lansia itu Sendiri
Penurunan penghasilan bagi lansia akan menyebabkan stres dan depresi (Kurniasih,
2013).
Selain itu lansia yang cenderung benar-benar tidak melakukan kegiatan apa-apa
setelah pensiun juga berisiko tinggi mengalami depresi (Hayati dan Nurviyandari,
2013).
Bahkan pada lansia laki-laki dapat terjadi gangguan konsep diri dikarenakan
perannya sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah tidak lagi berjalan optimal
(Lee & Smith, 2009).
2) Dampak Bagi Pembangunan Sosial-Ekonomi
Orlicka (2015) dalam studinya menjelaskan bahwa peningkatan populasi usia lanjut
dan kemiskinan yang terjadi pada lansia dapat berdampak pada pembangunan
ekonomi bagi pemerintah.
3) Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Dethier et al. (2011) turut mendukung
dengan menjabarkan terdapat korelasi antara berapa jumlah uang pensiun yang
didapat seorang lansia dengan tingkat kemiskinan dan kesejahteraan suatu wilayah.
4. Pengkajian Fokus
A. Data Demografi
1) Jenis Kelamin Laki-laki yang mengalami penurunan pendapatan cenderung
berisiko depresi lebih tinggi dibandingkan perempuan karena laki-laki
merupakan kepala keluarga yang mempunyai peran besar dalam keluarga
(Lee dan Smith, 2009).
2) Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan lansia dapat mempengaruhi
pendapatan uang pensiunan dan mekanisme koping yang dilakukan (Hayati,
2014).
3) Anggota Keluarga Kaji berapa jumlah anggota keluarga inti dan berapa orang
yang sekiranya masih dalam masa pembiayaan klien.
4) Pekerjaan Terdahulu dan Penghasilan Pekerjaan lansia sebelum
pensiun/berhenti bekerja perlu dikaji. Tidak semua pekerjaan apalahi yang
bukan pegawai akan dapat uang pensiun. Selain itu jumlah uang pensiunan
juga dapat memengaruhi tingkat stress dan depresi lansia (semakin rendah
jumlah uang pensiun yang diterima maka semakin tinggi tingkat stress dan
depresi) (Kurniasih, 2013).
B. Riwayat Kesehatan Dahulu dan Sekarang
Perlu dikaji terkait penyakit yang pernah diderita untuk memprediksi apakah lansia
tersebut dapat terserang penyakit yang sama lagi dikemudian hari atau justru
menderita komplikasi akibat penyakit primernya terdahulu. Hal tersebut berkaitan
dengan pembiayaan yang mungkin akan dibebankan pada lansia apalagi jika lansia
tersebut tidak memiliki keanggotaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara komprehensif (head to toe/per sistem) wajib dilakukan
meski tidak ada keluhan berarti yang dirasakan lansia guna mengantisipasi penyakit
degeneratif.
5. Diagnosa Keperawatan yang Dapat Muncul
1) Koping Tidak Efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan sistem
pendukung/strategi koping Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia,
D.0096, Kategori: Psikologis, Subkategori: Integritas Ego
2) Penampilan Peran Tidak Efektif berhubungan dengan faktor ekonomi Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia, D.0125, Kategori: Relasional, Subkategori:
Interaksi Sosial
3) Manajemen Kesehatan Keluarga Tidak Efektif berhubungan dengan kesulitan
ekonomi Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, D.0115, Kategori:
Perilaku, Subkategori: Penyuluhan dan Pembelajaran
6. Implementasi
Melakukan tindakan apa yang harus dilakukan saat itu pada klien dan catat apa
tindakan yang telah dilakukan pada klien, tindakan ini merupakan aplikasi kongrit
dari rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan
klien yang telah dilakukan oleh perawat.
7. Evaluasi
Langkah akhir dari proses keperawatan, di mana evaluasi adalah kegiatan yang
dilakukan secara terus-menerus yangdilibatkan klien, perawata dan anggota tim
kesehatan lainnya yang terdiri dari S.O.A.P.

Anda mungkin juga menyukai