Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Keselamatan Pasien (Patient Safety)


Patient Safety Keselamatan pasien (patient safety) merupakan pencegahan
kesalahan dan efek samping yang terjadi pada pasien berkaitan dengan pelayanan
kesehatan (WHO, 2016). Institute for Healthcare Improvement (2016) menyatakan
definisi lain dari patient safety yaitu suatu usaha atau sistem untuk membuat pelayanan
kesehatan terus menerus lebih aman dengan cara mengurangi hal-hal yang
membahayakan atau merugikan pasien dan mortalitas yang bisa dicegah.
Patient safety juga bisa diartikan sebagai suatu disiplin dalam sektor pelayanan
kesehatan yang mengaplikasikan metode ilmu keselamatan (safety) untuk menuju sistem
pelayanan kesehatan yang terpercaya (Stavert, 2016). Pengertian lain menyebutkan
bahwa keselamatan pasien merupakan suatu atribut dari sistem pelayanan kesehatan yang
meminimalisir insiden beserta efeknya dan 10 memaksimalkan proses pemulihan
(recovery) dari adverse event (Stavert, 2016).

2.1.1 Tujuan Keselamatan Pasien (Patient Safety)


Tujuan keselamatan pasien berdasarkan Depkes RI (2008) adalah sebagai berikut:
1) Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
2) Meningkatkan akuntibilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
3) Menurunnya KTD di rumah sakit.
4) Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD.

2.2 Pasien Jatuh


Pasien jatuh merupakan kejadian pasien yang terjatuh ke lantai tanpa sengaja
dengan atau tanpa adanya cedera setelahnya (Agency for Healthcare Research and
Quality, 2013). Menurut American Nursing Association atau ANA (2009), pasien jatuh
merupakan kondisi pasien terjatuh langsung ke lantai atau menimpa sesuatu (peralatan) di
lantai yang terjadi tidak sengaja baik yang menimbulkan cedera atau tidak dan terjadi di
ruang perawatan. Sedangkan menurut pengertian yang lain, kejadian pasien jatuh adalah
kejadian yang mengakibatkan pasien atau seseorang mendadak terbaring atau terduduk di
lantai atau di tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
(Darmojo, 2004 dalam Syahailatua, 2013).
2.2.1 Faktor penyebab terjadinya jatuh
Kane (1994) dalam Darmojo (2004) mengungkapkan bahwa faktor penyebab jatuh
pada lansia ada 2 golongan yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik:
1) Faktor intrinsik
1. Sistem saraf pusat.

Stroke dan Trancient Iskemia Attack (TIA) yang mengakibatkan hemiparese


sering menyebabkan jatuh pada lansia Demensia
2. Dimensia
Demensia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya
fungsi intelektual dan ingatan atau memori sedemikian berat sehingga
menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari. Lansia dengan demensia
menunjukan persepsi yang salah terhadap bahaya lingkungan, terganggunya
keseimbangan tubuh dan apraxia sehingga insiden jatuh meningkat.
Hasil penelitian yang telah dilakukan Heinze (2008) menunjukan
bahwa lansia dengan demensia memiliki faktor resiko untuk mengalami
jatuh. Close (2005) mengungkapkan bahwa demensia adalah
neurodegenerative progresif sindrom yang mempengaruhi memori, bahasa,
perhatian, kemampuan pemecahan masalah dan signifikan meningkatkan
risiko jatuh. Resiko jatuh yang dapat menyebabkan cedera terjadi pada orang
yang lebih tua lebih besar jika dibandingkanmereka yang memiliki kognitif
utuh. Dalam beberapakasus jatuh mungkin sesuatu yang cukup berbahaya.
Namun, banyak kasus dapat menyebabkan cedera,takut jatuh, penurunan
fungsional dan selanjutnyajatuh. Demensia, yang mempengaruhi sekitar
lima untuktujuh persen dari orang dewasa lebih dari 60 di seluruh dunia.

3. Gangguan sistem sensorik


Gangguan sistem sensorik bisa mengenai sensori, rasa nyeri dan
sensasi. Gangguan sensori dapat berupa katarak, glaukoma, degenerasi
makular, gangguan visus pasca stroke dan retinopati diabetika meningkat
sesuai dengan umur. Entropoin, ektropoin atau epifora yang menyebabkan
gangguan penglihatan meningkat insiden jatuh tetapi kebutaan tidak
meningkat insiden tersebut. Hasil penelitian Kerr et. all. (2011) melaporkan
bahwa gangguan penglihatan memiliki resiko untuk menyebabkan kejadian
jatuh atau insiden lainnya yang membuat lansia cidera. Adanya gangguan
penglihatan pada lansia menyebabkan lansia kesulitan saat berjalan sehingga
lansia sering menabrak objek kemudian terjatuh. Lord (2006) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa seorang lansia yang memiliki katarak
kemudian dilakukan operasi merupakan salah satu strategi yang efektif
untuk mengurangi resiko jatuh.
4. Gangguan sistem kardiovaskuler
Insiden gagal jantung kongestif dan infak miokard meningkat sesuai
dengan umur. Hipertensi dan kardia aritmia juga sering ditemukan pada
lansia. Gangguan sistem kardiovaskuler akan menyebabkan syncope.
Syncope sering menyebabkan jatuh pada lansia.

5. Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme sering mengakibatkan jatuh. Gangguan ini
terutama pada gangguan regulasi cairan berupa dehidrasi. Dehidrasi bisa
disebabkan oleh diare, demam, asupan cairan yang kurang atau penggunaan
diuretik berlebihan.
6. Gangguan gaya berjalan

Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola jalan.
Keseimbangan, kekuatan dan fleksibilitas diperlukan untuk
mempertahankan postur tubuh yang baik. Ketiga elemen itu merupakan
dasar untuk mewujudkan pola jalan yang baik setiap individu. Gangguan
gaya jalan dapat disebabkan oleh gangguan muskuloskeletal dan ini
berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Hasil Penelitian yang
telah dilakukan oleh Housdorff et.all (2003) menunjukan bahwa faktor gaya
berjalan pada pasien parkinson memiliki hubungan dengan kejadian jatuh.
Louis et. all. (2005) menyatakan dalam penelitiannya bahwa pasien stroke
kronis memiliki gangguan keseimbangan dan mobilitas dalam berjalan
sehingga mereka memiliki resiko untuk mengalami jatuh saat berjalan.
2) Faktor ekstrinsik
a) Lingkungan
Lingkungan yang sering dihubungkan dengan jatuh pada lansia antara
lain alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak
di bawah, tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi rendah dan licin,
tempat berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah dipegang, lantai tdak
datar, licin atau menurun, karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang
tebal/menekuk pinggirnya dan benda-benda alas lantai yang licin atau
mudah tergeser, lantai licin atau basah dan penerangan yang tidak baik
(kurang atau menyilaukan).
b) Aktifitas
Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktifitas biasa
seperti berjalan, naik turun tangga dan mengganti posisi. Hanya sedikit
sekali jatuh terjadi pada lansia melakukan aktifitas berbahaya seperti
mendaki gunung atau olahraga berat.
c) Obat-obatan
Kadar obat dalam serum tidak stabil karena perubahan
farmakokinetik akibat proses menua dan penyakit juga sering menyebabkan
intoksikasi obat pada lansia. Disamping itu, obat yang diresapkan dapat
menyebabkan konfusi pusing, mengantuk yang dapat menyebabkan
keseimbangan dan mobilitas (Perry dan Potter, 2001).

2.2.2 Pencegahan Pasien Jatuh


Turuna (2009) menyatakan pencegahan dilakukan berdasarkan atas faktor
resiko yang menyebabkan jatuh seperti : neuromuskular, muskuloskeletal,
penyakit yang sedang di derita, pengobatan yang sedang di jalani, gangguan
keseimbangan dan gaya berjalan, gangguan visual, ataupun faktor lingkungan.
Dibawah ini akan diurakan beberapa metode pencegahan jatuh pada orang tua :
1) Latihan fisik
Latihan fisik di harapkan dapat mengurangi resiko jatuh denganmeningkatkan
kekuatan tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi, dan
meningkatkan reaksi terhadap bahaya lingkungan, latihan fisik juga bisa
mengurangi kebutuhan obat- obatan sedatif. Latihan fisik yang dianjurkan yang
melatih kekuatan tungkai, tidak terlalu berat dan semampunya. Salah satunya
adalah berjalan kaki.
2) Manajemen obat-obatan
Gunakan dosis kecil yang efektif dan spesifik, perhatikan terhadap efek
samping dan reaksi obat. Gunakan alat bantu berjalan jika memang di perlukan
selama pengobatan, kurangi pemberian obat- obatan yang sifatnya untuk waktu
lama terutama sedatif dan tranquilisers, hindari pemberian obat multiple (lebih
dari empat macam) kecuali atas indikasi klinis kuat menghentikan obat yang
tidak diperlukan.
3) Modifikasi lingkungan

Pengaturan suhu ruangan supaya tidak terlalu panas atau dingin untuk
menghindari pusing akibat suhu. Meletakan barang-barang yang memang
seringkali diperlukan berada dalam jangkauan tanpa harus berjalan dulu. Bila
memang perlu gunakan karpet untuk antislip di kamar mandi atau lantai.
Perhatikan kualitas penerangan di rumah agar tidak sampai ada kabel listrik
pada lantai yang biasa dilintasi. Pasang pegangan tangan pada tangga, bila
perlu pasang lampu tambahan untuk daerah tangga. Singkirkan barang-barang
yang bisa membuat terpeleset dari jalan yang biasa dilewati.gunakan lantai yang
tidak licin dan atur letak furnitur agar tidak menggangu jalan yang biasa di lewati
dan menghindari tersandung. Pasang pegangan tangan di tempat yang di
perlukan seperti dikamar mandi. Hindari penggunaan furnitur yang beroda.
4) Memperbaiki kebiasaan lansia
Berdiri dari posisi duduk atau jongkok dengan cara tidak terlalu cepat dan
tidak dengan mengangkat barang sekaligus. Mengambil barang dengan cara yang
benar dari lantai dan hindari olahraga berlebihan.
5) Alas kaki
Hindari sepatu berhak tinggi, tidak berjalan dengan kaus kaki karena sulit
untuk menjaga keseimbangan. Memakai alas kaki yang antislip.
6) Alat bantu jalan
Terapi untuk pasien dengan gangguan berjalan dan keseimbangan di fokuskan
untuk mengatasi atau mengeliminasi penyebab atau faktor yang mendasarinya.
Pada penggunaanya, alat bantu jalan memang membantu meningkatkan
keseimbangan, namun di sisi lain menyebabkan langkah yang terputus dan
kecendrungan tubuh untuk membungkuk, terlebih jika alat bantu tidak
menggunakan roda, karena itu penggunaan alat bantu ini haruslah
direkomendasikan secara individual. Apabila pada lansia yang kasus gangguan
berjalannya tidak dapat ditangani dengan obat-obatan maupun pembedahan.
Oleh karena itu, penangananya adalah dengan alat bantu jalan seperti cane
(tongkat), crutch (tongkat ketiak).
2.3 Anak
2.3.1 Pengertian Anak
Pengertian Anak seseorang merupakan salah satu tolak ukur dalam kajian
hukum untuk menentukan kualifikasi pertanggungjawaban atas perbuatan yang
dilakukannya. Oleh karena itu, batasan dalam penelitian ini lebih berorientasi dan
menitik beratkan pada batasan usia dalam memberikan pengertian tentang anak.
Secara umun, pengertian anak mengalami perkembangan secara variatif. Pengertian
anak adalah sebagai manusia yang masih kecil. Dalam sumber lain dijelaskan bahwa
anak adalah keadaan manusi normal yang masih muda usia dan sedang menentukan
identitasnya serta sangat labil jiwanya, sehingga sangat mudah dipengaruhi
lingkungannya. Sementara itu menurut Romli Atmasasmita, anak adalah seorang
yang masih dibawah umur dan belum dewasa, serta belum kawin.
2.3.2 Karakteristik Anak
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki motivasi
belajar yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan anak perempuan (Laela, 2008). 3-
5 tahun merupakan masa puncak untuk anak berkembang. Perilakunyapun beragam dari
rasa ingin tahu yang besar, suka berfantasi dan berimajinasi dan masa potensial untuk
anak belajar
2.4 Dewasa
2.4.1 Pengertian Dewasa
Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja. Masa remaja yang ditandai
dengan pencarian identitas diri, pada masa dewasa awal, identitas diri ini didapat sedikit-
demi sedikit sesuai dengan umur kronologis dan mental ege-nya.
Erickson (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) mengatakan bahwa seseorang yang
digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat dan
komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk
keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi (merasa tersisihkan dari
orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain).
Hurlock (1990) mengatakan bahwa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun samapi
kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai
berkurangnya kemampuan reproduktif.
Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda (young ) ialah mereka yang berusia
20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999), orang
dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition)
transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role
trantition).
Dari segi fisik, masa dewasa awal adalah masa dari puncak perkembangan fisik.
Perkembangan fisik sesudah masa ini akan mengalami degradasi sedikit-demi sedikit,
mengikuti umur seseorang menjadi lebih tua. Segi emosional, pada masa dewasa awal
adalah masa dimana motivasi untuk meraih sesuatu sangat besar yang didukung oleh
kekuatan fisik yang prima. Sehingga, ada steriotipe yang mengatakan bahwa masa remaja
dan masa dewasa awal adalah masa dimana lebih mengutamakan kekuatan fisik daripada
kekuatan rasio dalam menyelesaikan suatu masalah.
Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja. Masa remaja yang ditandai dengan
pencarian identitas diri, pada masa dewasa awal, identitas diri ini didapat sedikit-demi
sedikit sesuai dengan umur kronologis dan mental ege-nya.
Erickson (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) mengatakan bahwa seseorang yang
digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat dan
komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk
keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi (merasa tersisihkan dari
orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain).
Hurlock (1990) mengatakan bahwa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun samapi
kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai
berkurangnya kemampuan reproduktif.
Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda (young ) ialah mereka yang berusia
20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999), orang
dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition)
transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role
trantition).
Dari segi fisik, masa dewasa awal adalah masa dari puncak perkembangan fisik.
Perkembangan fisik sesudah masa ini akan mengalami degradasi sedikit-demi sedikit,
mengikuti umur seseorang menjadi lebih tua. Segi emosional, pada masa dewasa awal
adalah masa dimana motivasi untuk meraih sesuatu sangat besar yang didukung oleh
kekuatan fisik yang prima. Sehingga, ada steriotipe yang mengatakan bahwa masa remaja
dan masa dewasa awal adalah masa dimana lebih mengutamakan kekuatan fisik daripada
kekuatan rasio dalam menyelesaikan suatu masalah.
2.4.2 Karakteristik Dewasa
Dewasa awal adalah masa kematangan fisik dan psikologis. Menurut Anderson (dalam
Mappiare : 17) terdapat 7 ciri kematangan psikologi, ringkasnya sebagai berikut:
a.       Berorientasi pada tugas, bukan pada diri atau ego; minat orang matang berorientasi
pada tugas-tugas yang dikerjakannya,dan tidak condong pada perasaan-perasaan diri
sendri atau untuk kepentingan pribadi.
b.      Tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan kerja yang efesien; seseorang
yang matang melihat tujuan-tujuan yang ingin dicapainya secara jelas dan tujuan-tujuan
itu dapat didefenisikannya secara cermat dan tahu mana pantas dan tidak serta bekerja
secara terbimbing menuju arahnya.
c.       Mengendalikan perasaan pribadi; seseorang yang matang dapat menyetir perasaan-
perasaan sendiri dan tidak dikuasai oleh perasaan-perasaannya dalam mengerjakan
sesuatu atau berhadapan dengan orang lain. Dia tidak mementingkan dirinya sendiri,
tetapi mempertimbangkan pula perasaan-perasaan orang lain.
d.      Keobjektifan; orang matang memiliki sikap objektif yaitu berusaha mencapai
keputusan dalam keadaan yang bersesuaian dengan kenyataan.
e.       Menerima kritik dan saran; orang matang memiliki kemauan yang realistis, paham
bahwa dirinya tidak selalu benar, sehingga terbuka terhadap kritik-kritik dan saran-saran
orang lain demi peningkatan dirinya.
f.       Pertanggungjawaban terhadap usaha-usaha pribadi; orang yang matang mau
memberi kesempatan pada orang lain membantu usahan-usahanya untuk mencapai
tujuan. Secara realistis diakuinya bahwa beberapa hal tentang usahanya tidak selalu dapat
dinilainya secara sungguh-sunguh, sehingga untuk itu dia bantuan orang lain, tetapi tetap
dia bertanggungjawab secara pribadi terhadap usaha-usahanya.
g.      Penyesuaian yang realistis terhadap situasi-situasi baru; orang matang memiliki cirri
fleksibel dan dapat menempatkan diri dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapinya
dengan situasi-situasi baru.

2.5 Lansia
2.5.1 Pengertian Lansia
Seseorang yang usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial
(UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan). Lansia adalah mereka yang berusia 60 tahun
keatas. Menua merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan menurunnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh (Kholifah,
2016). Proses menua merupakan suatu proses yang alami dan menjadi bagian dari proses
kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Manusia
tidak akan secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa
dan akhirnya menjadi tua (Kholifah, 2016). World Health Organization (WHO)
menggolongkan lanjut usia menjadi 3 yaitu : Lansia (elderly) 60 -74 tahun, lansia tua
(old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

2.5.2 Karakteristik Lansia


Lansia memiliki beberapa karateristik. Rhosma (2014) karakteristik lansia dibagi
menjadi 3, yaitu:
a. Lansia yang berusia 60 tahun keatas (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang
Kesehatan)
b. Lansia dengan kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual hingga kondisi maladatif
c. Lansia dengan lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
2.5.3 Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia.
Terdapat beberapa perubahan yang terjadi pada lansia (Potter and Perry, 2009)
antara lain:
a. Sistem kulit
Pada periode lansia (ageing), lansia mengalami hilangnya elastisitas kulit,
perubahan pigmentasi, atrofi kelenjar, penipisan rambut dan pertumbuhan kuku yang
lambat.
b. Sistem Pendengaran
Pada lansia terjadi presbiacusis atau hilangnya kemampuan pendengaran sekitar
50% terjadi pada usia diatas 65 tahun.
c. Sistem Penglihatan
Lansia mengalami penurunan daya akomodasi mata (presbyopia), hilangnya
respon terhadap sinar, penurunan adaptasi terang gelap dan lensa mata sudah mulai
menguning.
d. Sistem Respirasi
Terjadinya penurunan otori batuk, pengeluaran otori, debu, iritan saluran napas
berkurang dan terjadi peningkatan infeksi saluran nafas.
e. Muskuloskeletal
Pada lansia terjadi penurunan massa dan kekuatan otot, dehidrasi pada diskus
intervetrebralis (penurunan panjang) dan degenerative pada sendi. Kekuatan otot, daya
tahan, dan koordinasi dipengaruhi oleh perubahan usia dimulai sekitar 40 tahun, kekuatan
otot menurun secara bertahap, menghasilkan penurunan kseseluruhan 30% dan samapi
80% pada usia 80 tahun dengan penurunan kekuatan otot pada ekstremitas bawah (Miller,
2012).
Kekuatan otot yang berkurang dikaitkan dengan hilangnya massa otot yang
berkaitan dengan usia (Miller, 2012). Lansia yang menpunyai keluhan kesehatan
umumnya mengalami kelelahan, penyusutan tulang dan otot, rematik, serta penurunan
kesehatan dan nyeri pada sendi. Selain itu, terjadi penurunan mobilitas, menurunnya
orientasi terhadap satu ruang, dan bergerak semakin lambat (Uny et al., 2015).

2.6 Pengkajian Pasien Resiko Jatuh


2.6.1 Yang Harus Diperhatikan
a)      Usia
b)      Riwayat Jatuh
c)      Aktivitas ( ADL )
d)     Defisit  (Penglihatan, pendengaran )
e)      Kognitif
f)       Pola  BAB dab BAK
g)      Mobilitas / otoric
h)      Pengobatan :
1)   Antihipertensi
2)   Hiploglikemik
3)   Antidepresan
4)   Neurotropik
5)   Sedatif,  Diuretik
6)   Laxative
2.6.2   Assesmen Resiko Jatuh
a)      Memonitor pasien sejak masuk
b)      Memonitor dengan ketat pada pasien yang mempunyai risiko tinggi :
memberikan tanda/ alert ( sesuai warna universal
c)      Libatkan pasien atau keluarga dalam upaya pencegahan risiko jatuh
d)     Laporan peristiwa pasien jatuh
2.6.3      Klasifikasi Tindakan Sesuai Skor Keparahan
1.      Resiko Rendah (skor 0-5)
a)      Pastikan bel mudah dijangkau oleh pasien
b)      Roda tempat tidur dalam keadaan terkunci
c)      Posisikan tempat tidur pada posisi terendah
d)     Pagar pengaman tempat tidur dinaikkan
2.   Resiko Sedang (6-13)
a)      Lakukan senua pedoman pencegahan untuk resiko rendah
b)      Pasangkan gelang khusus (warna kuning) sebagai tanda pasie resiko jatuh
c)      Tempatkan tanda resiko pasien jatuh pada datar nama pasien (warna
kuning)
d)     Beri tanda resiko pasien jatuh pada pint kamar pasien
3.  Resko Tinggi (>= 14)
a) Lakukan semua pedoman pencegahan untuk resiko rendah dan sedang
b)   Kunjungi dan monitor pasien setiap satu jam
c) Tempatkan pasien dikamar yang paling dekat dengan nurse station (jika
memungkinkan
2.6.4        Alat Bantu Assessment
1.      Pasien Dewasa Rawat Inap
a)      Morse Fall Scale
b)      Hendrich II Fall Risk Model
2.      Pasien Dewasa Rawat Jalan
a)      Anamnesa riwayat jatuh
b)      Get Up and Go
c)      Timed Get Up and Go
3.      Pasien Anak-Anak Rawat Inap
a)      Schmid “Little Schmidy”
b)      Humpty Dumpty

Anda mungkin juga menyukai