Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hospitalisasi adalah suatu proses oleh suatu alasan yang berencana dan
darurat, mengharuskan anak untuk tinggal dirumah sakit, menjalani terapi dan
perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah, selama proses tersebut anak
dapat mengalami kejadian berupa pengalaman yang sangat traumatik dan penuh
dengan stress (Saputra, 2017). Anak yang sakit dan harus dirawat dirumah sakit
akan mengalami masa sulit karena tidak dapat melakukan kebiasaan seperti
biasanya (Sufyanti dkk, 2015). Lingkungan dan orang-orang asing, perawatan
dan

berbagai prosedur yang dijalani oleh anak merupakan sumber utama stres, kecewa
dan cemas, terutama untuk anak yang pertama kali dirawat di rumah sakit
(Sufyanti dkk, 2015).

Anak menjalani perawatan di rumah sakit, biasanya anak akan dilarang


untuk banyak bergerak dan harus banyak beristirahat. Hal tersebut tentunya akan
mengecewakan anak sehingga dapat meningkatkan kecemasan pada anak

(Ramdaniati et al, 2016). Reaksi anak pada hospitalisasi secara garis besar adalah
sedih, takut dan bersalah karena menghadapi sesuatu yang belum pernah dialami
sebelumnya, rasa tidak aman, rasa tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu
yang biasa dialami dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan (Wong, 2009).
Dampak yang ditimbulkan dari hospitalisasi jika tidak segera diatasi maka akan
mempengaruhi

perkembangan psikososial, terutama pada anak- anak (Hela & Tjahjono, 2015).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purnomo (2016) di RSUD Kota


Madiun didapatkan bahwa dari 10 anak usia prasekolah (3-6 tahun) yang di rawat
di ruangan tersebut 2 (20%) anak mengalami kecemasan ringan, 4 (40%) anak
mengalami kecemasan sedang, dan 4 (40%) anak mengalami kecemasan berat.
Anak yang mengalami stress akan mengalami peningkatan kortisol, yang mana
kortisol tersebut akan menghambat pembentukan antibody, menurunkan sel darah

putih dan imunitas tubuh. Adanya penekanan system imun inilah nampaknya
akan

berakibat pada penghambatan proses penyembuhan, sehingga memerlukan waktu


perawatan yang cukup lama dan bahkan akan mempercepat terjadinya komplikasi
selama perawatan (Hela & Tjahjono, 2015). Khususnya pada masa prasekolah
(36tahun) reaksi anak terhadap hospitalisasi adalah menolak makan,sering
bertanya, menangis perlahan, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Sering
sekali hospitalisasi dipersepsikan oleh anak sebagai hukuman, sehingga ada
perasaan malu, takut sehingga menimbulkan reaksi agresif, marah, berontak, tidak
mau bekerja sama dengan perawat (Wong, 2009).

Bermain adalah suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau


mempraktikkan ketrampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi
kreatif mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Saharan,
2017). Bermain adalah media terbaik untuk belajar karena dengan bermain, anak-
anak akan berkomunikasi, belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan
melakukan apa yang dapat dilakukannya (Whaley dan Wong, 2009). Bermain
penting untuk mengembangkan emosi, fisik, dan pertumbuhan kognitif anak,
selain itu bermain
juga merupakan cara anak untuk belajar, bermain bisa menurunkan dampak
kecemasan dan untuk meningkatkan kreatifitas anak melalui beberapa jenis

permainan (Saputro, 2017). Bermain dapat digunakan sebagai media psiko terapi
atau pengobatan terhadap anak yang dikenal dengan terapi bermain (Pratiwi &

Deswita, 2016). Pada anak-anak yang belum bisa mengekspresikan perasaan dan

pikiran mereka misalnya pada anak usia prasekolah usia (3-6tahun) permainan
menggambar, melukis atau mewarnai merupakan permainan yang sesuai prinsip
bermain di Rumah Sakit dan dapat membantu mengekspresikan pikiran perasaan
cemas, takut, sedih, tegang dan nyeri (Ramdaniati, 2016).

Menggambar atau mewarnai merupakan salah satu permainan yang


memberikan kesempatan anak untuk bebas berekspresi dan sangat terapeutik
(sebagai permainan penyembuh). Anak dapat mengekspresikan perasaannya
dengan cara menggambar, ini berarti menggambar bagi anak merupakan suatu
cara untuk

berkomunikasi tanpa menggunakan kata-kata (Sufyanti dkk, 2015). Dengan


menggambar atau mewarnai gambar juga dapat memberikan rasa senang karena
pada dasarnya anak usia pra sekolah sudah sangat aktif dan imajinatif selain itu
anak masih tetap dapat melanjutkan perkembangan kemampuan motorik halus
dengan menggambar meskipun masih menjalani perawatan di rumah sakit
(Saharan, 2017). Mewarnai memberikan kesempatan pada anak untuk bebas
berekspresi dan sangat terapeutik (Sebagai permainan penyembuh/therapeutic
play) yang membuat anak mengekspresikan perasaannya sebagai komunikasi
tanpa menggunakan kata, warna juga merupakan media terapi untuk membaca
emosi seseorang dan dapat meringankan stress pada anak (Purnomo, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fricilia Euklesia


Wowiling, Amatus Yudi Ismanto, dan Abram Babakal (2013) tentang kecemasan
anak prasekolah yang mengalami hospitalisasi, hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai p value = 0,000 (<0,05) dengan tingkat kemaknaan 95% (α=0,05)
sehingga penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kecemasan yang dialami
anak pra sekolah mengalami penurunan sesudah terapi bermain. Hal tersebut
diperkuat oleh

penelitian Saharan (2017) dengan hasil p value=0,001 sehingga dapat


disimpulkan bahwa terapi bermain mewarnai dapat menurunkan kecemasan
hospitalisasi pada anak.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Menerapkan evidence based nursing mengenai terapi bermain mewarnai dalam


menurunkan kecemasan hospitalisasi pada pasien anak pra sekolah

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui keefektifan terapi bermain mewarnai dalam menurunkan kecemasan


hospitalisasi pada pasien anak pra sekolah

b. Membuktikan apakah terapi bermain mewarnai mampu menurunkan

kecemasan hospitalisasi pada pasien anak usia pra sekolah

C. Manfaat

a. Sebagai bahan kajian untuk meningkatkan pelayanan keperawatan di klinis

b. Memberikan gambaran pentingnya terapi bermain dalam menurunkan

kecemasan pada pasien anak hospitalisasi

c. Sebagai salah satu bacaan ilmiah penerapan evidence based nursing pada
keperawatan profesi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kecemasan Pada Anak Pra Sekolah

1. Pengertian

Kecemasan (ansietas/anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang


ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan

berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas ( Reality Testing


Ability/RTA, masih baik), kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami
keretakan kepribadian/ Splitting of Personality), perilaku dapat terganggu tetapi
masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2011).

2. Kecemasan Pada Anak

Derajat kecemasan yang tinggi terjadi pada anak usia antara dua sampai enam
tahun. Dalam jumlah tertentu kecemasan adalah sesuatu yang normal. Stres utama
dari masa bayi pertengahan sampai usia prasekolah adalah kecemasan akibat
perpisahan (Wong, 2009). Kecemasan yang timbul pada anak tidak selalu

bersifat patologi tetapi dapat juga disebabkan oleh proses perkembangan itu
sendiri atau karena tingkah laku yang salah satu dari orang tua. Menurut Nursalam
(2008), manifestasi cemas pada anak antara lain :

a. Fase protes

Perilaku yang dapat diobservasi pada fase ini yakni menangis, berteriak,
menghindari dan menolak kontak mata dengan orang asing, mencoba

menahan orang tua secara fisik untuk tetap tinggal. Perilaku-perilaku


tersebut dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. Protes seperti
menangis, dapat terus berlangsung hanya berhenti bila lelah, Pendekatan orang
asing dapat mencetuskan peningkatan stres.

b. Fase putus asa

Perilaku yang dapat diobservasi pada fase ini yakni tidak aktif, menarik diri dari
orang lain, depresi, sedih, tidak komunikatif, lamanya perilaku tersebut
berlangsung bervariasi.

c. Fase pelepasan

Pada fase ini perilaku yang dapat diobservasi antara lain menunjukkan

peningkatan minat terhadap lingkungan sekitar, berinteraksi dengan orang asing


atau pemberi asuhan yang dikenalnya, membentuk hubungan baru namun
dangkal, tampak bahagia, pelepasan biasanya terjadi setelah perpisahan yang
terlalu lama dengan orang tua. Selain itu anak juga menunjukkan perilaku yang
kaku dan kekhawatiran yang berlebih terhadap suatu aturan. Sebagian anak
menunjukkan sikap pemalu, dan tidak merasa nyaman dengan suatu hobi atau
kegiatan rekreasi bersama. Tidak jarang diantara mereka menyadari bahwa
keadaan dan kekhawatiran yang dialami lebih disebabkan karena situasi yang
sedang terjadi, namun mereka tidak dapat menghentikan kecemasan tersebut.

Berikut ini bentuk perilaku dari gangguan kecemasan umum pada anakanak:

a. Gelisah, gemetar, berkeringat dingin.

b. Jantung berdengup kencang, sesak nafas.

c. Sering buang air kecil.

d. Susah berkonsentrasi.

e. Menangis, berdiam diri, ketakutan.


f. Mudah merasa lelah.

g. Menghindari interaksi dengan orang baru.

h. Merasa ingin melarikan diri dari tempat tersebut.

3. Cara Penilaian Kecemasan Pada Anak

Fasial Image Scale (FIS) merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengetahui
tingkat kecemasan seserorang berdasarkan pada ekspresi yang ditunjukkan oleh
pasien. Pengukuran tingkat kecemasan dengan FIS ini menggunakan sistem skor
dari 1 sampai dengan 5. Skor 1 menunjukkan ekspresi wajah sangat senang
sedangkan skor 5 menunjukkan ekspresi wajah sangat tidak senang
(Asmarawanti, 2015).

Gambar 1 Facial Image Scale

B. Konsep Hospitalisasi

1. Pengertian

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana

atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi

dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Saputro, 2017).


Sedangkan menurut Wong (2000) Hospitalisasi merupakan Suatu kejadian krisis
pada anak, saat anak sakit dan dirawat dirumah sakit. Kejadian ini terjadi karena
anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah
sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap
anak maupun orang tua dan keluarga. Selama proses tersebut, anak dan orang tua
dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian
ditunjukkan dengan pengalaman yang traumatik dan menimbulkan stress. Pasien
anak yang dirawat di rumah sakit masih sering mengalami stress hospitalisasi
yang berat, khususnya takut terhadap pengobatan, asing dengan lingkungan baru
dan takut terhadap petugas (Nursalam, 2008).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Hospitalisasi Pada Anak Menurut


Saputro (2017), Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi anak terhadap sakit dan
rawat inap di Rumah Sakit antara lain:

a. Pola asuh keluarga

Pola asuh keluarga yang terlalu protektif dan selalu memanjakan anak juga dapat
mempengaruhi reaksi takut dan cemas anak dirawat di rumah sakit. Beda dengan
keluarga yang suka memandirikan anak untuk aktivitas sehari-hari anak akan
lebih kooperatif bila dirumah sakit.

b. Keluarga

Keluarga yang terlalu khawatir atau stres anaknya yang dirawat di rumah sakit
akan menyebabkan anak menjadi semakin stres dan takut.

c. Pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya


Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dirawat di
rumah sakit sebelumnya akan menyebabkan anak takut dan trauma. Sebaliknya
apabila anak dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan
menyenangkan anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter.

d. Support system yang tersedia

Anak mencari dukungan yang ada dari orang lain untuk melepaskan tekanan
akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan kepada
orang terdekat dengannya misalnya orang tua atau saudaranya. Perilaku ini
biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di
rumah sakit, didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat
merasa takut dan cemas bahkan saat merasa kesakitan.

e. Ketrampilan koping dalam menangani stressor.

Apabila mekanisme koping anak baik dalam menerima dia harus dirawat di rumah
sakit akan lebih kooperatif anak tersebut dalam menjalani perawatan di rumah
sakit.

3. Dampak Hospitalisasi Pada Anak

Menurut Wong (2009), penyakit dan hospitalisasi merupakan krisis bagi anak,
terutama karena adanya stress akibat perubahan lingkungan dan kondisi dari sehat
menjadi sakit, serta anak mempunyai keterbatasan dalam mekanisme koping
dalam menghadapi stressor. Menurut wong (2009), stressor yang ditunjukkan
anak usia prasekolah pada saat hospitalisasi adalah :

a. Cemas akibat perpisahan


Kecemasan akibat perpisahan adalah stres terbesar yang dialami anak usia

prasekolah saat hospitalisasi. Kecemasan tersebut ditunjukkan dengan cara


menolak makan, mengalami sulit tidur, menangis, selalu menanyakan orang tua,
dan menarik diri.

b. Kehilangan kendali

Kehilangan kendali pada anak usia prasekolah akan meningkatkan persepsi


ancaman dan dapat mempengaruhi anak dalam melakukan mekanisme koping.

Kehilangan kendali pada anak usia prasekolah diakibatkan oleh adanya

perubahan rutinitas, retriksi fisik, serta ketergantungan yang harus dipatuhi.

c. Cedera tubuh
Konflik psikoseksual anak sangat rentan terhadap ancaman cedera tubuh.
Prosedur invasif yang dilakukan terhadap anak menimbulkan sakit maupun tidak
menjadi ancaman anak usia prasekolah karena konsep integritas tubuh yang
belum berkembang dengan baik.

d. Nyeri

Reaksi nyeri pada usia prasekolah hampir sama dengan anak usia toddler . Anak
usia prasekolah akan mendorong orang yang akan melakukan prosedur agar
menjauh, mencoba mengamankan atau menyingkirkan peralatan, atau berusaha
mengunci dirinya ditempat yang aman.

C. Konsep Bermain

1. Pengertian

Bermain adalah media terbaik untuk belajar karena dengan bermain,


anak-anak akan berkomunikasi, belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan,
dan melakukan apa yang dapat dilakukannya (Whaley & Wong, 2009). Bermain
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh
kesenangan tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Saputro (2017) menjelaskan

bahwa bermain sebagai aktifitas yang dapat dilakukan anak sebagai upaya
stimulasi pertumbuhan dan perkembangannya dan bermain pada anak di rumah
sakit menjadi media bagi anak untuk mengekspresikan perasaan, relaksasi dan
distraksi perasaan yang tidak nyaman. Sedangkan menurut Wong (2009) bermain
merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan
bermain merupakan media terbaik untuk belajar karena dengan bermain, anak –

anak akan berkata-kata atau berkomunkasi, belajar menyesuaikan diri dengan


lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya dan mengenal
waktu, jarak, serta suara.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa bermain


merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh
kesenangan tanpa mempertimbangakan hasil akhir sebagai cara untuk
mengekspresikan perasaan, relaksasi, distraksi perasaan tidak nyaman dan tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan anak karena bermain sama dengan bekerja pada
orang dewasa yang dapat menurunkan stress anak, media bagi anak untuk

berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya (Purwati, 2017).

2. Tujuan Terapi Bermain

Asmarawanti (2015) mengemukakan beberapa tujuan dari terapi bermain antara

lain:

a. Untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada saat sakit
anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangannya, walaupun
demikian selama anak dirawat di rumah sakit, kegiatan stimulasi

pertumbuhan dan perkembangan masih harus tetap di lanjutkan untuk menjaga


kesinambungannya.

b. Mengespresikan perasaan, keinginan dan fantasi, serta ide-idenya pada saat anak
sakit dan dirawat di rumah sakit anak mengalami berbagai perasaan yang sangat
tidak menyenangkan. Pada anak yang belum dapat mengespresikannya secara
verbal, permainan adalah media yang sangat efektif untuk mengeskpresikannya.

c. Mengembangkan kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah,

permainan akan menstimulasi daya pikir, imajinasi dan fantasinya untuk


menciptakan sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya.

d. Dapat beradaptasi secara efektif terhadap sters karena sakit dan dirawat di rumah
sakit.

3. Bermain untuk Anak yang Dirawat di Rumah Sakit

Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh


dengan stres, baik bagi anak maupun orang tua. Beberapa bukti ilmiah
menunjukkan bahwa lingkungan rumah sakit itu sendiri merupakan penyebab
stres bagi anak dan orang tuanya, baik lingkungan fisik rumah sakit seperti
bangunan ruang rawat, alat-alat, bau yang khas, pakaian putih petugas kesehatan
maupun lingkungan sosial, seperti sesama pasien anak, ataupun interaksi dan
sikap petugas kesehatan itu sendiri. Perasaan seperti takut, cemas, tegang, nyeri
dan perasaan yang tidak menyenangkan lainnya, sering kali dialami anak
(Sufyanti dkk, 2015).

Untuk itu, anak memerlukan media yang dapat mengekspresikan

perasaan tersebut. Media yang paling efektif adalah melalui kegiatan bermain,
permainan yang terapeutik didasari oleh pandangan bahwa bermain bagi anak
merupakan aktifitas yang sehat dan diperlukan untuk kelangsungan tumbuh
kembang anak dan memungkinkan untuk dapat menggali dan mengekspresikan
perasaan pikiran anak, mengalihkan perasaan nyeri dan relaksasi. Dengan
demikian, kegiatan bermain harus menjadi bagian integral dari pelayanan
kesehatan anak dirumah sakit (Pratiwi & Deswita, 2016).

4. Terapi Bermain dengan Mewarnai Gambar

f. Pengertian Terapi Bermain Mewarnai

Menurut Ramdaniati (2016) mewarnai merupakan proses memberi warna

pada suatu media, mewarnai gambar diartikan sebagai proses memberi warna
pada media yang sudah bergambar. Mewarnai buku gambar adalah terapi
permainan melalui buku gambar untuk mengembangkan kreativitas

pada anak untuk mengurangi stress dan kecemasan serta meningkatkan


komunikasi pada anak (Wong, 2009).

g. Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai

Menurut Wong (2009) Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan

pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak. Pada saat itu, data yang masuk
melalui lima panca indera (penglihatan, penciuman, pengecapan,
pendengaran, dan sentuhan) semua masuk melalui otak tengah (thalamus)

dan direkam, disimpan secara tidak sadar oleh hipocampus dan muatan emosi
tersimpan di amigdala. Menurut Adriana (2013) Melalui mewarnai gambar,
seorang dapat menuangkan simbolisasi tekanan atau kondisi traumatis yang
dialaminya kedalam coretan dan pemilihan warna. Dinamika secara psikologis
menggambarkan bahwa individu dapat menyalurkan perasaan-perasaan yang
tersimpan dalam bawah sadarnya dan tidak dapat dimunculkan kedalam realita
melalui gambar.

Melalui mewarnai gambar, seseorang secara tidak sadar telah mengeluarkan


muatan amigdalanya, yaitu mengekspresikan rasa sedih, tertekan, stres,
menciptakan gambaran – gambaran yang membuat kita kembali merasa

bahagia, dan membangkitkan masa-masa indah yang pernah kita alami

bersama orang – orang yang kita cintai. Melalui aktifitas mewarnai gambar, emosi
dan perasaan yang ada didalam diri bisa dikeluarkan, sehingga dapat menciptakan
koping yang positif. Koping positif ini ditandai dengan perilaku dan emosi yang
positif. Keadaan tersebut akan membantu dalam mengurangi stress/cemas yang
dialami anak. (Asmarawanti, 2015).
BAB III

METODE PENULISAN

A. Rancangan Solusi yang Ditawarkan

Step 0 : menumbuhkan semangat berpikir


kritis (bertanya dan menyelidiki)

Perancangan observasi kegiatan mewarnai untuk menurunkan cemas pada pasien.

Step 1 : menanyakan pertanyaan klinik dengan menggunakan PICO/PICOT:

P : anak usia pra sekolah yang mengalami


kecemasan hospitalisasi

I : bermain teraupetik mewarnai

C : tidak ada intervensi pembanding

O : tingkat kecemasan menurun

T :-

Step 2 : Mencari dan mengumpulkan bukti-bukti (artikel penelitian) yang relevan


dengan PICO/PICOT.

Perancang mencari artikel mengenai mewarnai untuk menurunkan cemas pada

pasien.
Step 3 : Melakukan penelitian kritis terhadap bukti-bukti (artikel penelitian).
Menerapkan kritisi jurnal dengan prinsip validity, reability, importance pada
format critical appraisal yang terlampir.

Step 4 : Mengintegrasikan bukti-bukti (artikel penelitian) terbaik dengan


pandangan ahli di klinik serta memperhatikan keinginan dan manfaatnya bagi
klien dalam membuat keputusan atau perubahan.

Perancang menentukan keputusan dengan konsultasi ke pembimbing klinik,


sesuai kebutuhan klien dan artikel penelitian terbaik.

Step 5 : Mengevaluasi outcome dari perubahan yang telah diputuskan berdasarkan

bukti-bukti (artikel penelitian).

Perancang melakukan evaluasi intervensi dan mengkaji ulang manfaat intervensi


dalam perubahan pelayanan berdasarkan EBP dengan kualitas baik.

Step 6 : Menyebarluaskan hasil EBP

Perancang menyusun proposal hingga presentasi laporan hasil dan intervensi yang
telah dilakukan sebagai penerapan EBP.

B. Target dan Luaran

1. Target : diberikan pada pasien anak usia pra sekolah yang mengalami kecemasan
hospitalisasi, kesadaran kompomentis (GCS 13-15), pasien kooperatif.

2. Luaran : mampu menurunkan kecemasan hospitaslisasi yang dirasakan

pasien.

C. Prosedur Pelaksanaan

1. Tahap Awal

Memilih pasien untuk dijadikan responden berdasarkan kriteria inklusi yaitu


pasien dengan nyeri ringan – sedang, kesadaran kompomentis (GCS: 13-15),

pasien kooperatif.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Pra Intervensi

1) Mendapatkan persetujuan pasien

2) Melakukan kontrak waktu


3) Melakukan pengkajian kecemasan pada pasien anak dengan

menggunakan FIS ( Facial Image Scale).

b. Tahap Intervensi

Melakukan terapi bermain mewarnai bersama anak untuk mengurangi kecemasan


hospitalisasi pada pasien anak.

c. Post Intervensi

Melakukan pengkajian kecemasan dengan FIS setelah interevensi untuk


mengetahui efektifitas tindakan yang dilakukan.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Data Umum Responden


Nama Pasien : An.A

Umur : 2 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : belum sekolah

Tanggal Masuk : 7 November 2019

Tanggal Pengkajian : 7 November 2019

Diagnosa Medis : Glossitis

Nomor Register : XXXXXX


Pasien masuk ke ruang Melati RSUD Ungaran tanggal 7 November 2019
dengan diagnosa Glossitis, pasien baru pertama kali masuk rumah sakit dan
setelah dilakukan pengkajian kecemasan dengan menggunakan FIS didapatkan
hasil skala 3. Kemudian pasien diberikan intervensi bermain teraupetik mewarnai
untuk menurunkan kecemasan, setelah dilakukan mewarnai selama 15-20 menit
dikaji kembali skala kecemasan dengan menggunakan FIS didapatkan hasil skala
1, pasien nampak senang dan menikmati kegiatan mewarnai.

B. Pembahasan

Hospitalisasi adalah suatu proses oleh suatu alasan yang berencana dan darurat,
mengharuskan anak untuk tinggal dirumah sakit, menjalani terapi dan perawatan
sampai pemulangannya kembali ke rumah, selama proses tersebut anak dapat
mengalami kejadian berupa pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan
stress (Saputra, 2017). Anak yang sakit dan harus dirawat dirumah sakit akan
mengalami masa sulit karena tidak dapat melakukan kebiasaan seperti biasanya

(Sufyanti dkk, 2015). Lingkungan dan orang-orang asing, perawatan dan


berbagai prosedur yang dijalani oleh anak merupakan sumber utama stres,
kecewa dan cemas, terutama untuk anak yang pertama kali dirawat di rumah sakit
(Sufyanti dkk, 2015).

Bermain adalah suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau


mempraktikkan ketrampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi
kreatif mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Saharan,
2017). Bermain adalah media terbaik untuk belajar karena dengan bermain, anak-
anak akan berkomunikasi, belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan
melakukan apa yang dapat dilakukannya (Whaley dan Wong, 2009).

Menggambar atau mewarnai merupakan salah satu permainan yang memberikan


kesempatan anak untuk bebas berekspresi dan sangat terapeutik (sebagai
permainan penyembuh). Anak dapat mengekspresikan perasaannya dengan cara
menggambar, ini berarti menggambar bagi anak merupakan suatu cara untuk
berkomunikasi tanpa menggunakan kata-kata (Sufyanti dkk, 2015). Dengan
menggambar atau mewarnai gambar juga dapat memberikan rasa senang karena
pada dasarnya anak usia pra sekolah sudah sangat aktif dan imajinatif selain itu
anak masih tetap dapat melanjutkan perkembangan kemampuan motorik halus
dengan menggambar meskipun masih menjalani perawatan di rumah sakit
(Saharan, 2017). Mewarnai memberikan kesempatan pada anak untuk bebas
berekspresi dan sangat terapeutik (Sebagai permainan penyembuh/therapeutic
play) yang membuat anak mengekspresikan perasaannya sebagai komunikasi
tanpa menggunakan kata, warna juga merupakan media terapi untuk membaca
emosi seseorang dan dapat meringankan stress pada anak (Purnomo, 2016).

Dari penelitian diatas peneliti berpendapat bahwa skala kecemasan pasien sesudah
diberikan terapi bermain mewarnai berkurang yang ditandai dengan penurunan
skala kecemasan dari skala 3 menjadi skala 1 serta pasien menunjukkan
perubahan ekspresi wajah, nampak senang dan antusias saat melakukan terapi
bermain mewarnai. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Fricilia Euklesia
Wowiling,

Amatus Yudi Ismanto, dan Abram Babakal (2013) tentang kecemasan anak

prasekolah yang mengalami hospitalisasi, hasil penelitian menunjukkan bahwa


nilai

p value = 0,000 (<0,05) dengan tingkat kemaknaan 95% (α=0,05) sehingga


penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kecemasan yang dialami anak pra
sekolah mengalami penurunan sesudah terapi bermain. Hal tersebut diperkuat
oleh

penelitian Saharan (2017) dengan hasil p value=0,001 sehingga dapat


disimpulkan bahwa terapi beramin mewarnai dapat menurunkan kecemasan
hospitalisasi pada anak.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan serta diuraikan pada

pembahasan yang terpapar di bab 4, maka penulis dapat memberikan kesimpulan

bahwa terapi bermain mewarnai dapat mengurangi skala kecemasan yang


dirasakan

pasien selain itu bermain teraupetik bewarnai dapat meningkatkan kemampuan


motorik anak.

B. Saran

1. Bagi Perawat / Rumah Sakit

Perawat diharapkan dapat meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien dengan


gangguan rasa nyaman: cemas dengan cara menerapkan bermain teraupetik
mewarnai untuk mengurangi kecemasan.

2. Bagi Institusi

Diharapkan penelitian ini dijadikan referensi dan digunakan bagi mahasiswa


untuk menambah pengetahuan dibidang kesehatan yaitu dengan memberikan

bermain teraupetik mewarnai untuk mengurangi kecemasan pada pasien anak usia
pra sekolah yang mengalami kecemasan hospitalisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Asmarawanti, & Lustyawati, S., (2015). Penerapan terapi bermain mewarnai gambar
untuk menurunkan tingkat kecemasan hospitalisasi anak usia pra sekolah (3-6
tahun), (online), (stikesmi.ac.id, diakses tanggal 7 November 2019).

Saputro, H., & Fazrin, I., (2017). Penurunan tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi
dengan penerapan terapi bermain, (online),

(http://ejournal.unikama.ac.id/index.php/JKI, diakses tanggal 7 November 2019).


Sufyanti, Y., dkk, (2015). Efektivitas penurunan stres hospitalisasi anak dengan terapi
beramin dan terapi musik, (online), (https://www.unair.ac.id, diakses tanggal 7
November 2019).

Ramdaniati S., Hermaningsih S., & Muryati, (2016). Comaprison study of art
therapy and
play therapy in reducing anxiety on pre-school children who experience
hospitalization, (http://www.scirp.org/journal/ojn, diakses tanggal 7 November
2019).
Hela, M., & Tjahjono, H.D, (2015), pengaruh terapi bermain terhadap kecemasan anak
yang mengalami hospotalisasi di ruang Mirah Delima RS William Booth
Surabaya, (online), (Jurnal Keeperawatan, diakses tanggal 7 November 2019).

Wowiling, F.E., Ismanto, A.Y., & Babakal, A., (2013). Pengaruh terapi bermain
mewarnai gambar terhadap tingkat kecemasan pada anak usia pra sekolah akibat
hospitalisasi di ruuanagan Irina E BLU RSUP.PROF.DR.R.D.KANDOU Manado,
(Universitas Sam Ratulangi Manado, diakses tanggal 7 November 2019).

Saharan, P., (2017). Asses the effectiveness of play interventions on anxiety among of
Ymuna Nagar, Hryana: An Experimental Study, (online), (www.IJARND.com,
diakses tanggal 7 November 2019).

Pratiwi, E.S., & Deswita., (2016). Perbedaan pengaruh terapi bermain mewarnai gambar
dengan bermain puzzle terhadap kecemasan anak usia prasekolah di IRNA RSUP
Dr.M.Djamil Padang, (online), (Universitas Andalas, diakses tanggal 7 November
2019).

Adriana, D. 2013. Tumbuh kembang dan terapi bermain pada anak . Jakarta: Salemba
Medika.
Hawari, D. 2011. Manajemen stres cemas dan depresi. Jkarta : FKUI.
Purnomo, D., (2016). Pengaruh terapi bermain dengan teknik bercerita terhadap
kecemasan akibat hospitalisasi pada anak usia pra sekolah di RSUD Kota Madiun,
(online), (stikes Bhakti Husada Mulia Madiun, diakses tanggal 7 November
2019).

Wong, D.L, Eaton, M.H., Wilson, M.L., Schwartz, P. 2009. Buku ajar kepetawatan
pediatrik . Vol.2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai