Anda di halaman 1dari 15

VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA

(VAP)

Bambang Pujo Semedi


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intesif
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN

Ventilator-associated pneumonia (VAP) sampai saat ini masih menjadi salah satu infeksi
nosokomial yang paling umum terjadi di unit perawatan intensif (ICU) pada hampir sepertiga jumlah
seluruh pasien yang memerlukan ventilasi mekanis pada populasi yang awalnya tidak mengalami
infeksi.1 VAP merupakan salah satu komplikasi yang berpotensi meningkatkan morbiditas, mortalitas,
lama rawat di rumah sakit dan biaya perawatan pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik di ICU,
selain kejadian aspirasi, atelektasis, edema paru, tromboemboli vena, delirium, dan sindrom gangguan
pernapasan akut atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).2

Secara umum, ada dua tujuan yang terkait dengan penegakan diagnosis VAP, yaitu (1) untuk
membedakan apakah infeksi yang dialami seorang pasien adalah VAP atau karena extrapulmonary
bacterial infection. Hal ini sangat penting sebagai dasar pemilihan antibiotik empirik yang efektif
melawan mikroorganisme penyebab VAP sedini mungkin. Tujuan kedua yang tidak kalah penting
adalah untuk menghindari kemungkinan pemberian antibiotik yang tidak perlu kepada seorang pasien
yang sebenarnya hanya mengalami kolonisasi bakteri di jalan nafas atas tanpa menimbulkan infeksi.
Studi-studi epidemiologi telah membuktikan bahwa penggunakan antimikroba yang tidak tepat pada
pasien ICU memiliki konsekuensi jangka panjang yang sangat merugikan yaitu munculnya bakteri
patogen multiresisten yang mengakibatkan peningkatan resiko superinfeksi serius dan sulit diatasi.

DEFINISI VAP TERBARU

Pada tahun 2011, CDC mengadakan pertemuan bersama untuk membuat definisi baru VAP
yang bertujuan untuk meningkatkan akurasi diagnosis, kehandalan dan validitas pengawasan. Hasil
akhir dari kelompok kerja ini menghasilkan sistim berjenjang yang mencakup klasifikasi yang lebih
luas dari ventilator-associated events (VAE) (gambar 1), yang dikategorikan berdasarkan kriteria
obyektif untuk infection-related ventilator-associated condition (IVAC) dan kemudian secara lebih
spesifik dikategorikan berdasarkan possible-VAP dan probable-VAP (Gambar 1). Pada tahun 2013,
NHSN menggantikan definisi pneumonia sebelumnya dengan klasifikasi kelompok kerja VAE (Tabel
1).
Per definisi, VAC (ventilator associated condition) dapat ditegakkan apabila terjadi peningkatan
“kebutuhan oksigenasi yang menetap” (bukan bersifat temporer) pada pasien-pasien yang
menggunakan bantuan ventilasi mekanik selama periode dua hari. Definisi peningkatan “kebutuhan
oksigenasi yang menetap” adalah apabila terjadi peningkatan kebutuhan positive end expiratory
pressure (PEEP) minimal harian ≥ 3 cm H2O atau peningkatan fraksi minimum oksigen inspirasi
(FiO2) harian ≥ 20 poin dalam kurun waktu 2 (dua) hari. Jadi, untuk memenuhi syarat diagnosis VAC,
maka seorang pasien harus sudah diberikan ventilasi mekanik minimal 2 (dua) hari, dengan syarat
tambahan yaitu ada bukti bahwa kebutuhan oksigenasi selalu stabil atau telah mengalami perbaikan
klinis (kebutuhan oksigenasi telah turun) sebelum hari ditemukan adanya perburukan klinis, yang
ditandai dengan peningkatan kebutuhan oksigenasi.

VAC berubah menjadi IVAC apabila ada bukti bahwa telah terjadi peningkatan kebutuhan
oksigenasi (seperti yang tercantum dalam definisi VAC) disertai dengan adanya tanda-tanda klinis
infeksi, dan pasien telah mendapat terapi antibiotik oleh tim ICU. Syarat lain adalah pasien harus telah
mendapat bantuan ventilasi mekanik minimal 3 (tiga) hari dan menunjukkan tanda-tanda infeksi
dalam 2 (dua) hari sebelumnya atau 2 (dua) hari setelah terdiagnosis VAC. Selain itu, harus ada bukti
klinis bahwa pasien mengalami demam (> 38 OC) atau hipotermia (< 36 OC) atau leukositosis (≥
12.000 sel/mm3) atau leukopenia (≤ 4000) dan pemberian antimikroba baru sudah lebih dari atau sama
dengan 4 (empat) hari. IVAC menunjukkan hubungan kausal antara penyebab infeksi dan VAC.

Menurut klasifikasi baru dari VAE, pasien yang memenuhi kriteria VAC dan IVAC
selanjutnya akan dikelompokkan menuju diagnosis VAP, sesuai dengan bukti yang tersedia dari hasil
pemeriksaan dahak. Untuk mendiagnosis possible-VAP perlu analisis dahak kualitatif yang
ditunjang dengan bukti bahwa ada sekresi saluran nafas yang “purulen”, jumlah neutrofil ≥ 25 dan sel
skuamosa ≤ 10 per lapang pandang dengan mikroskop berdaya rendah atau berdasarkan hasil analisa
kualitatif, semikuantitatif, atau kultur kuantitatif dari sampel dahak yang diperoleh dari paru-paru,
bronkus, atau trakea menunjukkan hasil positif. Probable-VAP membutuhkan bukti adanya sekret
yang purulen dan memenuhi syarat nilai cut-off jumlah unit pembentuk koloni atau colony forming
unit (CFU), dari biakan kuman yang diperoleh dari sampel sputum yang diambil dari bagian saluran
napas (Tabel 1).
Gambar 1. Cakupan VAE. Gambaran yang lebih luas mengenai komplikasi terkait ventilator yang didefinisikan lebih sempit dalam setiap
tingkatan definisi oleh CDC menjadi : VAC, IVAC, possible- atau probable-VAP. FIO2, fraksi oksigen inspirasi; PEEP, positive end-
expiratory pressure.2

Syarat adanya sputum purulen dalam penegakkan diagnosis probable-VAP dapat diabaikan
apabila salah satu dari pemeriksaan kultur cairan pleura, histopatologi paru, tes diagnostik legionella
menunjukkan hasil “positif’ (teridentifikasi kuman) atau teridentifikasi adanya virus patogen yang
umum terjadi pada infeksi pernapasan dari sampel dahak.
Tabel 1. Pedoman Surveilans NHSN untuk mendiagnosis VAE

Sumber : Spalding MC, et.al. Ventilator Associated Pneumonia : New Definition. Crit Care Clin. 2017 Apr;33(2):277-292.

Sebelum adanya definisi VAE yang telah dibahas di atas, telah dikenal kriteria PNU 1 (tabel
2). Agar supaya komponen diagnosis PNU1 terpenuhi, pasien setidaknya harus memenuhi dua dari
empat kriteria paru, misalnya dahak berubah menjadi purulen secara akut, terjadi perubahan karakter
dahak (misalnya bau dan konsistensi), atau peningkatan kebutuhan untuk tindakan suction
(menunjukkan penambahan jumlah sekresi), dan takipnea. Karena tidak ada satu pun nilai yang
spesifik maka penilaiannya menjadi bersifat subjektif. Definisi VAP yang baru telah menetapkan
suatu batas nilai kualitatif dan kuantitatif dengan mempertimbangkan jumlah neutrofil dan unit
pembentuk koloni (CFU) dalam penegakan diagnosis possible-VAP dan probable-VAP. Kriteria VAC
dengan jelas juga mensyaratkan adanya peningkatan kebutuhan minimum FiO2 dan / atau PEEP dan
menetapkan durasi waktu relatif terhadap suatu periode yang dianggap “stabil” sebelumnya sebelum
menegakkan diagnosis VAP.2

Tabel 2. Definisi NHSN PNU 1

Sumber : Spalding MC, et. al. Ventilator Associated Pneumonia : New Definition. Crit Care Clin. 2017 Apr;33 (2):277-292.

Definisi baru NHSN mengenai VAE dibuat untuk menggantikan definisi PNU1 dalam menegakkan
diagnosis pneumonia. Kriteria VAE akan mengelompokkan pasien immunocompromise yang
mendapat bantuan ventilasi mekanik ke dalam sistim diagnosis berjenjang yang meliputi VAC, IVAC,
possible-VAP, dan probable-VAP. Setiap klasifikasi telah mencantumkan kriteria obyektif dan
sebagai upaya menyingkirkan subyektivitas akibat definisi PNU1 yang kurang spesifik. Penggunaan
kriteria VAE dalam praktek klinis dimaksudkan untuk membuat diagnosis VAP menjadi lebih
spesifik dengan cara menetapkan karakteristik-karakteristik tertentu serta membuat cakupan yang
lebih luas terkait penyebab masalah sistim pernafasan pada pasien yang menggunakan bantuan
ventilasi mekanik, serta untuk mengalihkan fokus dari VAP sebagai satu-satunya komplikasi yang ada
kaitannya dengan penggunaan ventilator.2

Namun demikian, penghapusan temuan radiografi sebagai salah satu komponen definisi VAP
mungkin dapat menyebabkan diagnosis pneumonia subklinis (gejala tidak nyata) menjadi terabaikan.
ANGKA KEJADIAN

Survei yang dilakukan oleh National Healhtcare Safety Network (NHS) pada tahun 2012
menunjukkan insiden VAP berkisar antara 0,0 s/d 4,4 per 1000 hari pemakaian ventilator.3 Sedangkan
di dunia insidennya berkisar 5 – 67 % tergantung pada kasus dan cara diagnosis yang digunakan, dan
kejadian paling tinggi terjadi pada pasien imunokompromis, pasca bedah dan geriatri.4 Tingginya
angka VAP ini juga menjadi salah satu penyebab tingginya penggunaan antibiotik di ICU. Hampir
setengah jumlah antibiotik di ICU digunakan atas indikasi adanya VAP. Selain memperpanjang durasi
rawat inap s/d 5-9 hari lebih lama, VAP secara tidak langsung juga berhubungan dengan peningkatan
angka kematian sebesar 20-40%, dan beban biaya perawatan yang mencapai 12.000 - 35.000 dollar
Amerika per kasus.3

Data yang diperoleh dari tim PPI (Program Pengendali Infeksi) RSUD Dr. Soetomo
menyebutkan insiden terjadinya VAP di IRIR pada tahun 2016 adalah 7,4 per 1000 hari pemakaian
ventilator, sedangkan di ROI angka insiden VAP pada tahun 2016 adalah 6,1 per 1000 hari pemakaian
ventilator.5 Angka yang cukup besar jika dibandingkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh CDC
pada tahun 2012 yaitu 4,4 per 1000 hari pemakaian ventilator.

PATOFISIOLOGI VAP

Kejadian VAP kebanyakan berawal dari proses aspirasi organisme dari orofaring ke bronkus
distal maupun akibat inhalasi kontaminan yang terdapat di sirkuit ventilator yang diikuti dengan
pembentukan biofilm oleh bakteri. Bakteri tersebut kemudian akan mengalami proliferasi dan
menginvasi parenkim paru. Pada keadaan normal, organisme di dalam rongga mulut dan orofaring
didominasi oleh Streptococcus viridans, Haemophilus species dan organisme anaerob. Air liur
mengandung immunoglobulin dan fibronectin yang berfungsi menjaga keseimbangan organisme
rongga mulut. Namun pada pasien sakit kritis keseimbangan tersebut berubah, sehingga organisme
yang dominan di dalam rongga mulut adalah batang gram negatif aerob dan Staphylococcus aureus.6,7
Bakteri patogen tersebut dapat masuk ke saluran pernafasan bawah melalui mekanisme :6

1. Mikroaspirasi yang terjadi terjadi selama proses intubasi maupun selama perawatan dengan
ventilator.
2. Invasi bakteri melalui lapisan biofilm yang terdapat di dalam lumen ETT (bakteria gram
negatif dan spesies jamur)
3. Genangan dan tetesan aspirat yang berasal di atas cuff (balon) ETT saat pasien menggunakan
ventilator
4. Penurunan kemampuan mukosilier untuk membersihkan cairan mukus sehingga mengalir
mengikuti gaya gravitasi ke dalam jalan nafas bawah.

Faktor-faktor pejamu seperti ada atau tidaknya penyakit dasar, paparan antibiotik, dan jenis
tindakan operasi sebelumnya sangat berpengaruh terhadap munculnya VAP pada seorang pasien.
Seorang pasien kritis yang mengalami penurunan sistim imunitas akan menyebabkan fungsi
fagosistosis terganggu. Keadaan seperti ini secara tidak langsung akan meningkatkan risiko terjadinya
VAP.6

Organisme penyebab penyebab VAP umumnya sangat dipengaruhi oleh durasi penggunaan
ventilator mekanik. Kuman penyebab VAP yang terjadi lebih awal (early onset) umumnya merupakan
kuman patogen yang masih banyak sensitif terhadap antibiotik. Namun, kasus VAP yang muncul
belakangan (late onset) umumnya karena kuman yang banyak resisten terhadap berbagai jenis
antibiotik. Bakteri penyebab early onset VAP antara lain : Streptococcus pneumoniae (spesies
streptococcus yang lainnya), Hemophilus influenzae, Methicillin-Sensitive Staphylococcus aureus
(MSSA), Antibiotic-sensitive enteric gram-negative bacilli, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Enterobacter sp, Proteus sp dan Serratia marcescens. Bakteri penyebab Late onset VAP umumnya
merupakan bakteri MDR (Multidrug Resistance) seperti, Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus
(MRSA), Acinetobacter baumaniii, Pseudomonas aeruginosa, dan bakteri ESBL (Extended-spectrum
beta-lactamase).6

Sebuah studi multisenter yang dilakukan di 72 rumah sakit dari 10 negara Asia, dengan besar
sampel 2554 telah menunjukkan bahwa tiga spesies bakteri terbanyak penyebab VAP merupakan
bakteri gram negatif, yang meliputi Acinetobacter baumanii, Pseudomonas aeruginosa, dan
Klebsiella pneumonia.8 Penelitian yang dilakukan di ICU RSAB Harapan Kita pada tahun 2012 juga
mendapatkan hasil bahwa kuman penyebab VAP adalah bakteri gram negatif, yaitu Pseudomonas
aeruginosa, Sternotrophomonas malthophilia, Enterobacter aerogenosa, dan Klebsiella pneumoniae.9

Insidens VAP akibat jamur dan virus sebenarnya rendah, dan umumnya didapatkan pada
pasien-pasien dengan gangguan sistim imun tubuh.6

Klebsiella pneumoniae merupakan kuman penyebab terbanyak kejadian VAP di unit


perawatan intensif RSUD Dr Soetomo dengan persentase 33%, diikuti oleh Pseudomonas aeroginosa
(22,7%), Acinetobacter baumanii (16,7%), Eshericia coli (16,7%) serta Enterobacter aeroginosa dan
Kluyvera ascorbata masing-masing sebesar 5,6%. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa
penelitian yang dilakukan sebelumnya, dimana disebutkan bakteri gram negatif merupakan penyebab
utama VAP.10 Dalam reviewnya Kalanuria et all menyebutkan bahwa mikroba yang umumnya
menjadi penyebab early VAP adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Methycillin
Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA) serta bakteri gram negatif yang masih sensitif terhadap
antibiotik di antaranya Eschericia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Enterobacter, sp. Sedangkan late
VAP umumnya disebabkan oleh bakteri multi resisten antibiotik di antaranya kuman Methycillin
Resistance Staphylococcus aureus (MRSA), Acinetobacter baumanii, Pseudomonas aeruginosa dan
kelompok extended spectrum β-lactamase (ESBL).6

CARA MENDIAGNOSIS VAP

Penegakkan diagnosis menggunakan definisi NHSN tidak dapat diterapkan dengan mudah,
dan lebih cocok digunakan untuk surveilans. Sedangkan dalam klinis praktis yang perlu dilakukan
pertama-tama adalah mendiagnosis adanya pneumonia. Hingga saat ini belum ada satu pun algoritma
maupun standar emas pemeriksaan yang disepakati sebagai acuan untuk menegakkan diagnosis VAP.

Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) (tabel 3) saat ini banyak digunakan sebagai
rujukan untuk mendiagnosis VAP dengan angka sensitifitas dan spesifisitas 65 % (95 % CI 61–69 %)
dan 64 % (95 % CI 60–67 %), dimana CPIS ≥ 6 dinyatakan berkorelasi tinggi dengan kemungkinan
VAP.6

American College of Chest Physicians menyatakan bahwa diagnosis VAP secara klinis
ditegakkan bila ada gambaran infiltrat baru dan menetap pada foto polos dada yang disertai dengan
salah satu tanda berikut ini, yaitu : (1) hasil biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme
yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea, (2) kavitasi pada foto polos dada, gejala
pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut ini : (1) demam, (2) leukositosis dan (3) sekret
purulen.6

Sampel kultur atau biakan trakea diperoleh melalui teknik Broncho-Alveolar Lavage (BAL),
mini-BAL atau PSB (Protected Specimen Brushing) dan pengambilan aspirat endotrakeal. Sebuah
penelitian yang dilakukan Canadian Clinical Trials menunjukkan bahwa keluaran klinis yang
diperoleh dari pengambilan sampel secara invasif menggunakan teknik BAL (kultur kuantitatif) dan
pengambilan sampel noninvasif melalui aspirat endotrakeal (kultur non kuantitatif) tidak berbeda.11
Sebuah meta-analisis Cochrane, juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap angka
mortalitas, antara grup invasif (BAL) dengan non invasif (tracheal suction), yaitu 26.6 % vs 24.7 %.6
Tabel 3. CPIS

No Skor 0 1 2
1. Temperatur (oC) ≥ 36,5 & ≤ 38,4 ≥ 38,5 & ≤ 38,9 ≥ 39 & ≤ 36,4
2. TLC (Total Lung Capacity) ≥ 4 & ≤ 11 < 4 atau > 12 (-)
3. Sekret trakea (-) Tidak purulen Purulen
4. Oksigenasi (PaO2/FiO2 mmHg) > 240 atau ARDS (-) ≤ 240 & tidak ada ARDS
5. Foto thoraks Opasitas (-) Opasitas difus Opasitas lokal
6. Peningkatan infiltrat pada foto thorax (-) (-) (+) tanpa gagal jantung dan ARDS)
7. Kultur/ biakan dari aspirat trakea Tidak ada Didapatkan pertumbuhan kuman
pertumbuhan dalam jumlah besar
kuman patogen atau
didapatkan
pertumbuhan kuman
patogen dalam
jumlah minimal

VAP BUNDLE

VAP bundle berisi tentang kumpulan prosedur yang ditujukan untuk menurunkan insidens
VAP. Pencegahan VAP pada dasarnya dapat dilakukan dengan mencegah mikroaspirasi berulang,
menurunkan kolonisasi pada jalan nafas atas dan saluran pencernaan oleh bakteri patogen, maupun
kontaminasi pada ventilator dan sirkuitnya.3

Sebuah penelitian multisenter di Korea membuktikan bahwa VAP Bundle dapat menurunkan
angka kejadian VAP dari 4,4 menjadi 1,08 per 1000 hari pemakaian ventilator.6 Adapun yang
termasuk dalam ventilator bundle antara lain adalah :

1. Memposisikan pasien setengah duduk (elevation head of bed 30 - 45°) :


Alasan dilakukan tindakan ini adalah untuk mengurangi risiko aspirasi cairan atau aspirat
aerodigestif yang berasal dari orofaring dan gastrointestinal, selain untuk meningkatkan
volume paru saat proses ventilasi.
2. Interupsi sedasi harian (daily interupted sedation) dan menilai kesiapan ekstubasi
menggunakan algoritma SAT (spontaneouss awakening trial) dan SBT (spontaneoues
breathing trial) secara rutin.
Sedasi yang berkepanjangan akan mengakibatkan akumulasi obat yang memperlama
durasi penggunaan ventilator.11 Beberapa penelitian meta-analisis menyimpulkan bahwa
interupsi sedasi yang dilakukan setiap hari dan SBT secara rutin akan memperpendek hari
penggunaan ventilator (device exposure) dan menurunkan risiko terjadinya VAP.12
Penggunaan metode ventilasi non invasif pasca ekstubasi dapat dipertimbangkan pada pasien
risiko tinggi, dan penggunaan sedasi mengakibatkan pasien kurang kooperatif. Beberapa
penelitian yang menunjukkan penurunan kejadian VAP pada pasien yang mendapat ventilasi
non invasif, dibanding dengan yang menggunakan ventilator mekanik (invasif) dengan pipa
endotrakeal atau trakeostomi.12,13
3. Penggunaan subglotic secretion drainase (SSD) :
Sekret yang tertumpuk di atas balon pipa endotrakeal (endotracheal tube) dapat
masuk ke endobronkial saat balon dikempeskan. Bakteri dapat masuk kesaluran nafas bawah
bila terjadi aspirasi bakteri yang ada di orofaring maupun saluran pencernaan atau sekret yang
turun dari pipa endotrakeal yang mengalami kebocoran. Metode suction konvensional tidak
dapat digunakan untuk menyedot sekret yang tertumpuk di daerah tersebut. Beberapa pipa
endotrakeal saat ini telah dilengkapi dengan subglotic suction. Meta-analisis yang dilakukan
di beberapa senter menunjukkan bahwa subglotic secretion drainage dapat menurunkan angka
kejadiaan VAP.11 Pasien yang terintubasi memiliki risiko mengalami aspirasi mikroskopis
akibat hilangnya fungsi protektif laring karena keberadaan pipa endotrakeal, efek sedasi yang
menumpulkan refleks jalan nafas, regurgitasi akibat disfungsi sfingter gastroesofagus, nutrisi
enteral, dan posisi.
Beberapa studi telah dilakukan untuk memperoleh desain pipa endotrakeal yang
diharapkan dapat mengurangi kejadian VAP, baik dari segi material, bentuk cuff, dan desain
inovatif lainnya seperti SSD (subglottic secretion drainage). Kollef dkk, membuktikan bahwa
angka kejadian VAP dapat diturunkan sampai 35,9 % bila digunakan pipa endotrakeal
berlapis perak (silver coated ETT) dibanding dengan ETT konvensional.12 Perak telah diteliti
memiliki aktivitas antimikroba spektrum luas, mencegah adesi bakteri ke dalam ETT, dan
menghambat pembentukan biofilm layer di dalam ETT. Penggantian balon standar dari bahan
polyvinyl chloride dengan balon dengan bahan polyureththrane (polyureththrane cuff [PUC])
juga dapat menurunkan risiko kebocoran aspirat di sekitar balon. Pada tahun 1992, pipa
endotrakeal yang dilengkapi SSD dilaporkan dapat menurunkan insidens VAP. Hasil meta-
analisis dari lima studi RCT yang dipublikasikan pada tahun 2005 oleh Dezfulian dkk
menyimpulkan bahwa penggunaan SDD adalah salah satu upaya yang efektif untuk mencegah
VAP.12
4. Menghindari penggantian tubing atau sirkuit secara berkala :
Kondensasi uap air dalam sirkuit ventilator sangat berisiko mengakibatkan kontaminasi.
Penggantian dan manipulasi komponen dari sirkuit ventilator mungkin dapat menyebabkan
uap air yang terkontaminasi masuk ke dalam bronkus dan saluran nafas bawah melalui lumen
pipa endotrakeal. Beberapa penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa penggantian
sirkuit secara periodik justru akan meningkatkan risiko terjadinya VAP dan meningkatkan
biaya rawat inap jika dibandingkan dengan penggantian sirkuit yang hanya dilakukan sesuai
indikasi.12
5. Oral hygiene menggunakan chlorhexidine (CHG) atau povidone iodine (PI) :
Kolonisasi yang terdapat di orofaring termasuk plak pada gigi telah teridentifikasi sebagai
faktor risiko terjadinya VAP, karena ada kemiripan jenis bakteri yang diisolasi dari cavum
orofaring atau plak gigi dengan jenis bakteri yang diutemukan di aspirat trakea. CHG dan PI
(Povidone Iodine) merupakan jenis antiseptik yang dilaporkan memiliki efek antibakterial,
dengan tingkat resistansi terhadap kuman patogen nosokomial yang tetap rendah walaupun
digunakan dalam waktu yang lama. Studi metaanalisis yang dipublikasikan pada tahun 2006
menunjukkan bahwa penggunaan dekontaminasi oral berhubungan dengan pengurangan
kejadian VAP.12

TERAPI ANTIBIOTIK PADA VAP

Pemilihan antibiotik empiris untuk VAP sebaiknya mengacu pada pola kepekaan kuman dan
data antibiogram yang ada di rumah sakit masing-masing, selain mempertimbangkan onset
munculnya VAP. Ketepatan pemilihan antibiotik bertujuan menentukan durasi minimal terapi
antibiotik yang efektif sehingga dapat memperkecil kejadian resistensi kuman. VAP late onset (> 4
hari kalender pemakaian ventilator) pada umumnya memerlukan antibiotik spektrum luas, sedangkan
early VAP (< 4 hari kalender pemakaian ventilator) dapat diterapi menggunakan antibiotik dengan
spektrum yang lebih sempit.6,12

Data antibiogram yang didapat dari pola kuman lokal sangat dibutuhkan sebagai rujukan
terapi empiris. Namun apabila data kuman lokal tidak tersedia maka dapat digunakan rekomendasi
yang tersedia sebagai referensi. Deeskalasi pada terapi antibiotik empiris merupakan salah satu kunci
untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik.

Beberapa strategi tatalaksana antibiotik pada VAP antara lain adalah dengan memberikan
antibiotik spektrum luas (broad spectrum), tidak lebih dari empat jam sejak setelah pasien yang
dirawat di ICU terdiagnosa sebagai VAP. Strategi tersebut selain bertujuan menurunkan mortalitas,
mencegah disfungsi organ, mempersingkat lama perawatan di rumah sakit, dan meminimalkan
resistensi juga diharapkan meningkatkan efektivitas pembiayaan. Penundaan terapi antibiotik akan
meningkatkan risiko kematian pada penderita VAP.5 Tabel berikut memuat beberapa rekomendasi
antibiotik untuk VAP yang dapat diadopsi apabila data lokal tidak tersedia (tabel 4 dan 5).
Tabel 4. Rekomendasi Antibiotik pada VAP5
Early Onset VAP Late onset VAP
Cephalosphorin generasi 2 atau 3
Cephalosphorine generasi 4
Contoh : Ceftriaxone 2 g perhari; cefuroxime 1,5 g tiap 8
Contoh : Cefepime 1-2 g tiap 8 jam; Ceftazidime 2 g tiap 8 jam
jam; Cefotaxime 2 g tiap 8 jam
ATAU
ATAU
Fluoroquinolones Carbapenem
Contoh : Levofloxacine 750 mg perhari; Contoh : imipenem + cilastin 500 mg tiap 6 jam atau 1 g tiap 8
Moxifloxacine 400 mg perhari jam; meropenem 1 g tiap 8 jam
ATAU ATAU
Beta-lactam plus betalactamase inhibitor
Aminopenicillin plus Betalactamase inhibitor Contoh : piperacillin + tazobactam 4,5 g tiap 6 jam
Contoh : Ampicillin + Sulbactam 3 g tiap 8 jam DENGAN TAMBAHAN
ATAU Aminoglycoside
Contoh : Amikacin 20 mg/kg /hari;
Gentamicin 7 mg/kg/hari
Tobramicin 7 mg/kg/hari
ATAU
Antipseudomonal fluoroquiolone
Contoh : Ciprofloxacine 400 mg tiap 8 jam; levofloxacin 750
Ertapenem 1 g perhari mg perhari
DENGAN TAMBAHAN
Antibiotik yang mencakup MRSA
Contoh : Vancomycin 15 mg/kg tiap 12 jam
ATAU
Linezolid 600 mg tiap 12 jam

Tabel 5. Rekomendasi regimen antibiotik untuk bakteri multidrug resistent dan infeksi jamur5
Patogen Terapi
Methicillin resistant Staphylococcus Aeureus
Lihat tabel 2
(MRSA)
Pseudomonas aeruginosa Direkomendasikan terapi antibiotik ganda. Lihat table 2
Carbapenem
Contoh : imipenem + cilastin; 1 g tiap 8 jam, meropenem 1 g tiap 8 jam
ATAU
Acinetobacter Species Beta-lactam / beta-lactamase inhibitor
Contoh : ampicillin + sulbactam 3 g tiap 8 jam
ATAU
Tigecycline 100 mg loading dose, dilanjutkan 50 mg tiap 12 jam

Extended spectrum beta lactamase (ESBL) Carbapenem


positive enterobacteriacae Contoh : imipenem + cilastin 1 g tiap 8 jam atau meropenem 1 g tiap 8 jam

Fluconazole 800 mg tiap 12 jam;


Fungi Caspofungin : loading dose 70 mg dilanjutkan 50 mg perhari;
Voriconazole (untuk aspergillus species): 4 mg/kg BB tiap 12 jam
Macrolides (contoh : azithromycin)
Legionella ATAU
Fluoroquinolones (contoh : levofloxacin)

Penilaian ulang kondisi pasien dan data klinis sebaiknya dilakukan dalam 48 – 72 jam,
dengan tujuan untuk menentukan kelanjutan pemberian terapi antibiotik (gambar 2). Dalam satu studi
yang dilakukan oleh Swoboda, dkk., ditemukan bahwa setengah dari jumlah antibiotik untuk terapi
empiris VAP di dua ICU bedah ternyata diberikan pada pasien yang bukan pneumonia.6 Semua
pasien VAP kecuali yang disebabkan oleh bakteri gram negatif seharusnya cukup mendapat terapi
antibiotik tidak lebih dari 7 hari. Namun, pada pasien VAP dengan penyebab Pseudomonas
aeruginosa atau Acinetobacter sp, terapi antibiotik dapat diberikan lebih lama (maksimal dua minggu)
untuk mencegah risiko terjadinya kekambuhan.
Pertimbangan penggantian antibiotik dilakukan apabila secara progresif terjadi perburukan
kondisi dan/atau hasil pemeriksaan mikrobiologi menunjukkan hasil yang tidak sesuai. Penyesuaian
dosis, rute, dan cara pemberian antibiotik sebaiknya dilakukan pada pasien yang mengalami sepsis,
atau gangguan fungsi ginjal atau liver.6 Pemahaman tentang farmakokinetik dan farmakodinamik
antibiotik sangat diperlukan agar mampu memilih jenis antibiotik, menentukan dosis, rute dan cara
pemberian. Selain menilai kondisi klinis pasien, penilaian respons terapi juga dapat dilakukan dengan
melihat parameter lain misalnya hasil pemeriksaan darah lengkap (hitung sel darah putih, oksigenasi),
foto polos dada maupun pemeriksaan mikrobiologi spesimen saluran napas yang dilakukan secara
serial. Pasien yang tidak menunjukkan respons baik terhadap terapi antibiotik perlu dievaluasi ulang
untuk menyingkirkan kemungkinan : (1) adanya proses patologis lain yang menyerupai pneumonia
(atelektasis, gagal jantung kongestif, emboli paru, trauma paru), (2) mikroorganisme multidrug
resistant, atau (3) infeksi yang tidak disebabkan oleh bakteri, (4) infeksi dari organ lain, dan (5)
sumber infeksi yang memerlukan source control.7

Curiga VAP

Kirim pemeriksaan:
- Kultur darah
- Kultur aspirat trakhea
- Kultur lain yang berhubungan
- Serum procalcitonin, CRP

Dugaan VAP : ringan Dugaan VAP : sedang Dugaan VAP : tinggi


Mikroskopis : negatif Mikroskopis : belum diketahui Mikroskopis : positif

Mulai pemberian antibiotik spektrum luas.


Tunda pemberian terapi
antibiotik Pertimbangkan flora lokal, pola resistensi kuman, antibiogram

Perbaikan klinis atau penurunan kadar CRP


atau procalcitonin dalam 48-72 jam

Ya Tidak

Kultur negatif Kultur positif Kultur negatif

Pertimbangan Deeskalasi antibiotik jika memungkinkan,


berikan terapi selama 5-7 hari dan lakukan Cari penyebab lain
stop antibiotik
penilaian ulang

Gambar 2. Alur penanganan VAP6


KESIMPULAN

VAP merupakan suatu masalah medis serius yang terjadi ICU dan sangat mempengaruhi lama
perawatan di ICU, biaya perawatan keseluruhan, morbiditas dan mortalitas pasien. Definisi dan
tatalaksana VAP terus berkembang sampai saat ini, namun belum ada satu pun yang telah disepakati.
Definisi baru yang dibuat memungkinkan penilaian yang lebih obyektif dan deteksi dini terhadap
kondisi atau terkait penggunaan ventilator dibandingkan definisi sebelumnya walaupun belum banyak
diterapkan karena tidak praktis. Upaya pencegahan VAP lebih ditekankan untuk menurunkan insidens
VAP. Penerapan ventilator bundle dapat mengurangi insidens VAP. Deteksi dini, diagnosis, algoritma
penanganan dan penggunaan antibiotik yang rasional merupakan faktor kunci dalam penanganan
VAP.

REFERENSI

1. Van Vught LA, Klowenberg PM, Spitoni C, et al, for the MARS Consortium. Incidence, risk
factors, and attributable mortality of secondary infections in the inten- sive care unit after
admission for sepsis. JAMA 2016;315(14):1469–79.
2. Spalding MC, et.al. Ventilator Associated Pneumonia : New Definition. Crit Care Clin. 2017
Apr;33(2):277-292.
3. Centers for Disease Control and Prevention, CDC. Module D ‘Device-associated Module
VAE’, (January) 2017., pp. 1–44
4. Barbier F, Andremont A, Wolff M, et al. Hospital-acquired pneumonia and
ventilator-
associated pneumonia: recent advances in epidemiology and management. Curr Opin Pulm
Med. 2013; 19(3): 216–28.


5. Database PPI (Program Pengendali Infeksi) RSUD Dr. Soetomo. 2016.
6. Kalanuria, A. A., Zai, W. and Mirski, M. ‘Ventilator-associated pneumonia in the ICU.’,
Critical care (London, England), 18(2), 2014. pp. 208. doi: 10.1186/cc13775.
7. Suk Lee, M., Walker, V., Chen, L. F., Sexton, D. J. and Anderson, D. J.‘The epidemiology of
ventilator-associated pneumonia in a network of community hospitals: a prospective
multicenter study.’, Infection control and hospital epidemiology : the official journal of the
Society of Hospital Epidemiologists of America, 34 (7), 2013. pp. 657–62. doi:
10.1086/670991.
8. Chung DR, Song JH, Kim SH, Thamlikitkul V, Huang SG, Wang H, et al. High prevalence of
multidrug-resistant nonfermenters in hospital-acquired pneumonia in Asia. Am J Respir Crit
Care Med. 2011; 184:1409–1417
9. Widyaningsih, R. and Buntaran, L. ‘Pola Kuman Penyebab Ventilator Associated Pneumonia
(VAP) dan Sensitivitas Terhadap Antibiotik di RSAB Harapan Kita’, Sari Pediatri, 13(6),
2012. pp. 384–390.
10. American Thoracic Society, Infectious Diseases Society of America: Guidelines for the
management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated, and healthcare-associated
pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2005, 171:388–416.
11. Canadian Critical Care Trials Group: A randomized trial of diagnostic techniques for
ventilator-associated pneumonia. N Engl J Med, 2013, 355:2619–2630.
12. Dudeck MA, Weinner LM, Allen B. NHSN Report Data Summary for 2012: Device
Associated Module. American Journal Infection Control. 2013; 41: 1148-1166.
13. Kollef MH. Prevention of hospital-associated pneumonia and ventilator-associated
pneumonia. Crit Care Med. 2004; 32:1396-1405.

Anda mungkin juga menyukai